Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari
gangguan yang mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma,
yang merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas
dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit yang menimbulkan
obstruksi saluran napas, termasuk didalamnya ialah asma, bronkitis kronis.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan
gangguan fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan
oleh adanya penyempitan saluran napas dan tidak banyak mengalami perubahan
dalam masa observasi beberapa waktu.
Penyakit paru obtruksi menahun (PPOK) adalah aliran udara mengalami
obstruksi yang kronis dan pasien mengalami kesulitan dalam pernafasan. PPOK
sesungguhnya merupakan kategori penyakit paru-paru yang utama dan bronkitis
kronis, dimana keduanya menyebabkan perubahan pola pernafasan (Reeves,
2001 : 41).
Penyakit Paru Obsruksi Kronik menurut Niluh G. Yasin (2003) adalah
kondisi obstruksi irevisibel progresif aliran udara dan ekspirasi biasanya ditandai
dengan kesulitan bernafas, batuk produktif, serta intolenransi aktifitas.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Penyakit Paru
Obstruksi Kronik merupakan penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis
kronis, bronkietaksis dan emfisema, obstruksi tersebut bersifat progresif disertai
hiperaktif aktivitas bronkus.

2. ETIOLOGI
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut
Arief Mansjoer (2002) adalah :
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi Udara
3. Paparan Debu, asap
4. Gas-gas kimiawi akibat kerja
5. Riwayat infeki saluran nafas
6. Bersifat genetik yakni definisi a-l anti tripsin
Sedangkan penyebab lain Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut David
Ovedoff (2002) yaitu : adanya kebiasaan merokok berat dan terkena polusi udara
dari bahan kimiawi akibat pekerjaan. Mungkin infeksi juga berkaitan dengan virus
hemophilus influenza dan strepto coccus pneumonia.
Faktor penyebab dan faktor resiko yang paling utama menurut Neil F.
Gordan (2002) bagi penderita PPOK atau kondisi yang secara bersama
membangkitkan penderita penyakit PPOK, yaitu :
1. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi.
2. Jenis kelamin pria lebih beresiko dibanding wanita
3. Merokok
4. Berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak
dirasakan.
5. Keterbukaan terhadap berbagai polusi, seperti asap rokok dan debu
6. Polusi udara
7. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia dan bronkitus
8. Asma episodik, orang dengan kondisi ini beresiko mendapat penyakit paru
obstuksi kronik.
9. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif
muda, walau pun tidak merokok.
3. Patofisiologi
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001)
adalah :
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan
mengiritasi saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang
mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun,
dan lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap
selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus
menjadi menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena
metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan
dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan
fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel
asing termasuk bakteri, pasien kemudian menjadi rentan terkena infeksi.
Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur
pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat
bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat.
Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut menyebabkan alveoli yang ada di
sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi
pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan
peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi
kerusakan campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari
berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan
ventilasi–perfusi ini menyebabkan hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam
darah. Keseimbangan normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah
kapiler pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan
ventilasi tetap sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau
bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap
sama atau berkurang sedikit.
Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan
perubahan pada pertukaran oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas
yang diakibatkan oleh semua perubahan patologis yang meningkatkan resisten
jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran
oksigen atau karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar
karbondioksida meningkat. Metabolisme menjadi terhambat karena kurangnya
pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme anaerob yang
mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan defisit energi.
Akibatnya pasien lemah dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi juga menjadi berkurang yang dapat menyebabkan anoreksia.

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk
bernafas.
Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah
malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai
dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat
pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut.
Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi
batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan
berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan
mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang
menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan
secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan
yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi
dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera
makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak
cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK
lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga
dalam melakukan pernafasan.

5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Doenges (2000) antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya
diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda
vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan
apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk
memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi
misalnya bronkodilator.
3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma,
penurunan emfisema.
4. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
5. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat
dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
7. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis
misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat
(bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH
normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap
hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
8. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi,
kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus
mukosa yang terlihat pada bronkus.
9. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
10. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
11. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.

6. Gejala Klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini
harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala
yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang
timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Kadang- kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa
disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering
dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien
sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif
lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak
napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai skala
sesak menurut British Medical Research Council (MRC) (Tabel 2.1) (GOLD,
2009).

Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga
1 tingkat
3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah
beberapa menit
5 Sesak bila mandi atau berpakaian

7. Penatalaksaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2000) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a) Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi
ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5
g/hari.
b) Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis
yang memproduksi beta laktamase.
c) Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau
doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan
peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d) Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e) Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan
baik.
f) Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan
nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a) Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x
0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b) Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas
tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.
c) Fisioterapi.
d) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e) Mukolitik dan ekspektoran.
f) Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g) Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar
terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi
pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab
dan edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan
medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah
gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek
samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk
klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial
dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa
inflamasi adalah merupakan proses fundamental dalam asma, maka
inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta dua adrenergik lebih
sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa obat
mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek samping
yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta
dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas,
kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
2. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada
pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas
darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit.
Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena
perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat
pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk
mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika
merokok dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat
menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok.
Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang
dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling
nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan
teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir
dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik profilaktik,
terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada
proses penyakit tahap lanjut.
3. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik,
drainase postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah
batuk, dan bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental.
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Terkadang
diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda
dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari
pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru.
Biasanya dilakukan segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien
mengalami penyakit dikedua sisi parunya, dalam kondisi seperti ini,
tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian paru yang
banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang terjadi
sebelum mengatasi sisi lainnya.
4. Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas
hidup, memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan
nafas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih
(2003) mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan untuk mengobati
ventilasi dan menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan
cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi
pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan
pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang
berkesinambungan.

8. Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah
infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan
hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi
pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute
Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi
kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
1. Acute Respiratory Failure (ARF).
Acute Respiratory Failure (ARF) terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas
darah bagi pasien penyakit paru obstruksi menahun menunjukkan tekanan
oksigen arterial PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan
karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika
pasien atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka
pasien tersebut dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk
ventilasi secara mekanik.
2. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran
ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit
pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi
sekunder bagi paru-paru yang rusak pada penderita penyakit paru obstruksi
menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh
secara menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka
hal ini akan merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan
penyakit paru obstruksi menahun, hipoksemia kronis menyebabkan
vasokonstriksi kapiler paru-paru yang kemudian akan meningkatkan
resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan ini terjadi
peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel kanan
lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel kanan
menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah
dibatasi hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer
dan istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang lain karena
darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh
hipertrofi ventrikel kanan. Digitalis hanya digunakan pada penyakit
jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
3. Pneumothoraks
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti
udara sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam
rongga pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga yang
khusus yakni berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan parietal
paru-paru Fungsi cairan pleural adalah untuk membantu gerakan paru-
paru menjadi lancar dan mulus selama pernafasan berlangsung. Ketika
udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-paru untuk
pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini
menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.
4. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya
yaitu pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang
terakumulasi di rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara
terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi
tempat menangkapnya udara untuk pertukaran gas menjadi benar-benar
tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi pernafasan
dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-paru, mengganggu
berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam
alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi
di dinding alveolar.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan dengan melakukan anamnesis pada pasien. Data-data
yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
1. Identitas Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, nomor
registrasi, pekerjaan pasien, dan nama penanggungjawab.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari
pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstriksi Kronik (PPOK) didapatkan keluhan berupa sesak
nafas.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
c. Pasien dengan PPOK biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda
seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan
menurun dan sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu
muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau
menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah sebelumnya pasien pernah masuk RS dengan
keluhan yang sama.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-
penyakit yang sama.
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.

3. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
a. Bernafas
Kaji pernafasan pasien. Keluhan yang dialami pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronik ialah batuk produktif/non produktif, dan sesak
nafas.
b. Makan dan Minum
Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS
pasien dengan PPOK akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari
sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen. Peningkatan
metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit.
c. Eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan
defekasi sebelum dan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang
lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan
konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
d. Gerak dan Aktivitas
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan
Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
e. Istirahat dan tidur
Akibat sesak yang dialami dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh
terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu akibat
perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke
lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir,
berisik dan lain sebagainya.
f. Kebersihan Diri
Kaji bagaimana toiletingnya apakah mampu dilakukan sendiri atau harus
dibantu oleh orang lain.
g. Pengaturan suhu tubuh
Cek suhu tubuh pasien, normal(36°-37°C), pireksia/demam(38°-40°C),
hiperpireksia=40°C< ataupun hipertermi <35,5°C.
h. Rasa Nyaman
Observasi adanya keluhan yang mengganggu kenyamanan pasien. Nyeri
dada meningkat karena batuk berulang (skala 5)
i. Rasa Aman
Kaji pasien apakah merasa cemas atau gelisah dengan sakit yang
dialaminya
j. Sosialisasi dan Komunikasi
Observasi apakan pasien dapat berkomunikasi dengan perawat dan
keluarga atau temannya.
k. Bekerja
Tanyakan pada pasien, apakan sakit yang dialaminya menyebabkan
terganggunya pekerjaan yang dijalaninya.
l. Ibadah
Ketahui agama apa yang dianut pasien, kaji berapa kali pasien
sembahyang, dll.
m. Rekreasi
Observasi apakah sebelumnya pasien sering rekreasi dan sengaja
meluangkan waktunya untuk rekreasi. Tujuannya untuk mengetahui teknik
yang tepat saat depresi.
n. Pengetahuan atau belajar
Seberapa besar keingintahuan pasien untuk mengatasi sesak yang
dirasakan. Disinilah peran kita untuk memberikan HE yang tepat dan
membantu pasien untuk mengalihkan sesaknya dengan metode pemberian
nafas dalam.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kebersihan jalan napas tidak efektif.
2. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
3. Nyeri Akut

3. RENCANA KEPERAWATAN
N DIAGNOSA
O KEPERAWATAN NOC NIC

1. Kebersihan jalan napas  Mendemonstrasikan 1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas


tidak efektif. batuk efektif dan suara cairan/hari kecuali terdapat kor
nafas yang bersih, tidak pulmonal.
ada sianosis dan 2. Ajarkan dan berikan dorongan
dyspneu (mampu meng penggunaan teknik pernapasan
eluarkan sputum, diafragmatik dan batuk.
mampu bernafas 3. Bantu dalam pemberian
dengan mudah, tidak tindakan nebuliser, inhaler
ada pursed lips). dosis terukur
 Menunjukkan jalan nafas 4. Lakukan drainage postural
yang paten (klien tidak dengan perkusi dan vibrasi
merasa tercekik, irama pada pagi hari dan malam hari
nafas, frekuensi sesuai yang diharuskan
pernafasan dalam 5. instruksikan pasien untuk
rentang normal, tidak menghindari iritan seperti asap
ada suara nafas rokok aerosol, suhu yang
abnormal). ekstrim, dan asap.
 Tanda Tanda vital dalam 6. Ajarkan tentang tanda-tanda
dini infeksi yang harus
rentang normal (tekanan dilaporkan pada dokter dengan
darah (sistole 110- segera: peningkatan
130mmHg dan diastole sputum,perubahan warna
70 - 90mmHg), nadi (60- sputum, kekentalan sputum,
100x menit), pernafasan peningkatan napas pendek,
(18-24x/menit). rasa sesak didada, keletihan.
7. Berikan antibiotik sesuai yang
diharuskan.
8. Berikan dorongan pada pasien
untuk melakukan imunisasi
terhadap influenzae dan
streptococcus pneumoniae.

2. Risiko perubahan nutris  Adanya peningkatan 1. kebiasaan diet, masukan


i kurang dari kebutuhan berat badan sesuai makanan saat ini.
tubuh. dengan tujuan. 2. Catat derajat kesulitan
 Berat badan ideal sesuai makan. Evaluasi berat badan
dengan tinggi badan. dan ukuran tubuh.
 Mampu mengidentifikasi 3. Auskultasi bunyi usus
kebutuhan nutrisi 4. Berikan perawatan oral

 Tidak ada tanda tanda sering, buang sekret.

malnutrisi 5. Dorong periode istirahat I

 Tidak terjadi penurunan jam sebelum dan sesudah

berat badan yang berarti. makan.


6. Pesankan diet lunak, porsi
kecil sering, tidak perlu
dikunyah lama.
7. Hindari makanan yang
diperkirakan dapat menghasil
kan gas.
8. Timbang berat badan tiap
hari sesuai indikasi.
3. Nyeri Akut  Pemberian analgesic 1. Mengendalikan agen-agen
 Manajemen medikasi farmakologi untuk
 Manajemen nyeri mengurangi atau

 Bantuan analgesic yang menghilangkan nyeri

dikendalikan oleh 2. Memfasilitasi penggunaan

pasien (patient obat resep atau obat bebas

controlled analgesia). secara aman dan efektif.

 Manajemen sedasi 3. Meningkatkan atau


mengurangi nyeri sampai
pada tingkat kenyamanan
yang dapat di terima oleh
pasien.
4. Mempermudah pengendalian
pemberian dan pengaturan
analgesik oleh pasien.
5. Memberikan sedative,
memantau respon pasien, dan
memberikan dukungan
fisiologis yang dibutuhkan
selama prosedur diagnostic
atau terapeutik.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa


Medis NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Media Action.
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta :
FIP. IKIP.
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.
Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan
Manajemen Edisi 2. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Buku Kedokteran.
Engram, Barbara. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume
1. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi
Kronis Eksasebrasi Akut Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam
Medis Pasien Rawat Inap Di RSUD SRAGEN. Sragen : Jurnal
Keperawatan.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku
Kedokteran.
Nazir. 2000. Metode Penelitian. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Nursalam. 2001. Proses dan Prinsip Keperawatan : Konsep dan Praktik. Jakarta
: Salemba Medika.
Reeves, Charlene J. 2001. Buku Satu Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai