Aspirasi Benda Asing Pada Anak
Aspirasi Benda Asing Pada Anak
PENDAHULUAN
Benda asing terus menjadi masalah serius pada anak-anak dan dewasa
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Cakir et al., 2012).
Benda asing harus dikeluarkan segera mungkin sebelum menimbulkan
komplikasi yang dapat mengancam nyawa (Sahadan et al., 2011). Peristiwa
tertelan dan tersangkutnya benda asing pada esofagus juga terus merupakan
masalah utama pada semua umur (Yunizaf, 2011).
Sekitar 75 sampai 85% kasus aspirasi benda asing terdapat pada anak-
anak dibawah umur 15 tahun, dimana penderita terbanyak adalah anak kurang
dari 3 tahun (Ṣentṻrk and Ṣen, 2011). Anak-anak sering meletakkan benda
asing di dalam mulut dan secara tidak sadar akan menelan benda asing
tersebut. Benda asing tersebut akan menetap di dalam esofagus sebanyak 80%
dan dapat juga ditemukan pada saluran nafas sebanyak 20% (Abdurehim et
al., 2014).
Jenis benda asing yang sering dijumpai pada traktus trakeobronkial
adalah jenis organik seperti sisa-sisa makanan (jenis kacang-kacangan yang
paling sering dijumpai) dan jenis anorganik seperti plastik (Orji and Akpeh,
2010). Pada esofagus, koin merupakan benda asing terbanyak yang dapat
dijumpai dan diikuti oleh tulang ayam, tulang ikan, dan peniti (Ekim, 2010).
Pada penderita aspirasi benda asing sering diawali dengan gejala
tersedak (74%), diikuti dengan batuk (73%), mengi (50%), dan sesak nafas
(47%) (Orji and Akpeh, 2010). Gejala lain yang sering ditemukan bila benda
asing terdapat pada esofagus adalah kesulitan menelan, nyeri, dan air liur yang
berlebihan (Ekim, 2010).
Di Amerika Serikat, diperkirakan terdapat 3500 – 6000 pasien
meninggal dunia setiap tahunnya akibat aspirasi benda asing dimana 600
orang diantaranya anak-anak dibawah 15 tahun (Saki et al., 2009). Selain itu,
tercatat juga 1500 – 1600 pasien meninggal dunia setiap tahunnya akibat
komplikasi dari tertelannya benda asing (Erbil et al., 2013).
TINJAUAN TEORI
2.1.2 Etiologi
Benda asing pada esofagus dapat dibagi menjadi golongan
anak dan dewasa. Pada anak-anak dapat disebabkan oleh anomali
kongenital termasuk stenosis kongenital, web, fistel
trakeoesofagus, dan pelebaran pembuluh darah. Belum tumbuhnya
gigi molar untuk dapat menelan dengan baik, koordinasi proses
menelan dan sfingter laring yang belum sempurna pada usia 6
bulan sampai 1 tahun, retardasi mental, gangguan pertumbuhan,
dan penyakit neurologik juga dapat menjadi faktor predisposisi
pada anak-anak. Pada orang dewasa, tertelannya benda asing sering
dialami oleh pemakai gigi palsu, pemabuk, dan pada pasien
gangguan mental (Yunizaf, 2011). Pemakaian gigi palsu
merupakan hal yang paling sering terjadi pada orang dewasa
karena menurunnya sensasi pada rongga mulut (Rathore et al.,
2009).
Kasus tertelannya benda asing sering terjadi pada populasi
anak-anak. Aspirasi benda asing dapat menyebabkan kelainan yang
serius dan bahkan menyebabkan kematian. Menurut data National
Safety Council tahun 1995, sesak napas karena penyebab mekanik
mencakup 5% (167 kasus) dari semua penyebab kematian yang
tidak disengaja pada populasi anak di bawah usia 4 tahun di
Amerika Serikat.Sebagian besar dari kematian ini terjadi pada anak
berusia kurang dari 1 tahun (81 kematian, yang mencakup 10%
dari kematian yang tidak disengaja pada anak yang berusia kurang
dari 1 tahun)2,3. Sebagian besar kasus terjadi pada anak berusia
kurang dari 3 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia
rata-rata adalah 1–2 tahun.
Tiga faktor penyebab utama adalah anak-anak mempunyai
kecenderungan untuk memasukkan benda asing ke dalam mulut
atau menangis, berlari dan bermain dengan membawa benda di
mulut mereka; dan mereka belum mempunyai gigi molar untuk
mencerna makanan tertentu.Berbeda dengan orang dewasa, benda-
benda asing yang tertelan oleh anak-anak cenderung tersangkut di
sisi kanan. Hal ini disebabkan karena anatomi bronkus anak-anak
memiliki sudut yang lebih landai pada bronkus kanan
dibandingkan bronkhus kiri hingga usia kurang lebih 15 tahun.
2.1.3 Patofisiologi
Sebagian besar benda asing yang tertelan adalah organik
(81%). Benda asing organik, seperti kacang-kacangan, mempunyai
sifat higroskopik sehingga mudah menjadi lunak dan mengembang
oleh air. Dapat juga terjadi jaringan granulasi di sekitar benda
asing sehingga gejala sumbatan bronkus makin mengebat
akibatnya timbul gejala laringotrakeobronkitis, toksemia, batuk dan
demam yang tidak terus menerus (iregular).
Benda asing anorganik menimbulkan reaksi jaringan yang
lebih ringan dan lebih mudah didiagnosa dengan pemeriksaan
radiologis karena umumnya bersifat radioopak.Benda asing yang
terbuat dari metal tipis, seperti peniti atau jarum, dapat masuk ke
dalam bronkus yang lebih distal dengan gejala batuk spasmodik.
Benda-benda asing yang lama berada di bronkus dapat
menyebabkan terjadi perubahan patologik jaringan sehingga dapat
menimbulkan komplikasi, seperti penyakit paru-paru kronik
supuratif, bronkiektasis, abses paru dan jaringan granulasi yang
menutupi benda asing.
Benda asing di bronkus biasanya terjadi pada anak di
bawah usia 2 tahun. Biasanya didapatkan riwayat yang khas, yaitu
pada saat benda atau makanan di dalam mulut, sang anak tertawa
atau menjerit sehingga pada saat inspirasi laring terbuka dan
makanan atau benda asing tersebut masuk ke dalam laring. Pada
saat benda asing tersebut terjepit di sfingter laring, pasien batuk
berulang-ulang (paroksismal) sehingga terjadi sumbatan pada
trakea, mengi dan sianosis. Bila benda asing telah masuk ke dalam
trakea atau bronkus, kadang-kadang terjadi fase asimtomatik
selama 24 jam atau lebih, kemudian diikuti oleh fase pulmonar,
dengan gejala yang bergantung pada derajat sumbatan bronkus.
Riwayat batuk bersifat sangat sensitif tetapi tidak spesifik
untuk gejala aspirasi benda asing. Sedangkan riwayat sianosis atau
stridor sangat spesifik namun tidak sensitif untuk aspirasi benda
asing.
Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing
ke dalam saluran napas antara lain faktor personal (umur, jenis
kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, dan tempat tinggal), kegagalan
mekanisme proteksi (tidur, kesadaran menurun, alkoholik, dan
epilepsi), faktor fisik (kelainan dan penyakit neurologik), proses
menelan yang belum sempurna pada anak, faktor gigi, medikal dan
surgikal (tindakan bedah, ekstraksi gigi, dan belum tumbuhnya gigi
molar pada anak berumur <4 th), faktor kejiwaan (emosi dan
gangguan psikis), ukuran dan bentuk serta sifat benda asing, dan
faktor kecerobohan (meletakkan benda asing di mulut, persiapan
makanan yang kurang baik, makan atau minum tergesa-gesa,
makan sambil bermain pada anak-anak, dan memberikan kacang
atau permen pada anak yang gigi molarnya belum lengkap).
2.1.4 WOC
2.1.5 Tanda dan Gejala
Gejala awal
Gejala awal yang timbul dapat berupa tersedak, serangan
batuk keras dan tiba-tiba, sesak napas, rasa tidak enak di dada,
mata berair, rasa perih di tenggorokan dan di kerongkongan. Gejala
awal seringkali ringan dan berlangsung singkat, sehingga gejala ini
sering tidak diperhatikan.
Periode laten atau tanpa gejala
Setelah gejala awal dilalui diikuti periode bebas gejala yang
disebut masa laten. Masa laten ini mulai beberapa jam sampai
beberapa tahun. Pada periode ini dapat dijumpai gejala sakit
menelan karena terjadinya pembengkakan di daerah laring.
Gejala susulan atau lanjutan
Gejala susulan tidak spesifik, sebagai akibat perubahan
fisiologis atau patologis yang ditimbulkan benda asing. Gejala
susulan ini sangat bergantung pada lokasi dan bentuk kelainan
yang ditimbulkannya.
a. Benda asing di dalam hidug
Gejala yang ditimbulkan oleh benda asing di dalam
hidung umumnya unilateral, seperti hidung tersumbat, beringus
kental, dan berbau.
b. Benda asing di dalam nasofaring.
Benda asing yang masuk ke dalam nasofaring akan
menimbulkan gejala seperti yang disebutkan pada gejala awal
di atas. Lintah yang dapat masuk ke dalam hidung atau
nasofaring dapat menimbulkan perdarahan berulang dari
hidung.
c. Benda asing di dalam laring.
Laring merupakan daerah yang sempit dan peka,
sehingga mudah mengalami peradangan, edema, spasme,
dan lain-lain. Oleh karena itu, benda asing yang masuk ke
dalam laring dapat menimbulkan gejala yang beragam,
seperti sesak napas, stridor, mengi, nyeri pada saat
menelan, berbicara, atau bernapas dalam, serak atau parau
hingga afoni, batuk serak disertai stridor, hemoptisis,
retraksi interkostal, epigastrial, dan supraklavikular, serta
detak jantung yang meningkat. Bila terjadi sumbatan total,
dapat timbul sianosis dan kematian.
d. Benda asing didalam trakea
Benda asing di dalam trakea akan dikeluarkan melalui
batuk dan eskalasi mukosiliar. Apabila gagal benda asing
tersebut akan menetap di dalam trakea atau masuk ke dalam
bronkus. Di dalam trakea benda asing dapat menimbulkan
berbagai akibat yang dapat berubah-ubah karena masih dapat
berpindah tempat(mobile). Akibat yang ditimbulkan dapat
berupa obstruksi, reaksi peradangan, atau konstriksi. Gejala
patognomonik terdiri dari batuk, sesak, dan suara mengi yang
terdengar sangat mirip dengan asma, sehingga disebut sebagai
asmatoid.
Apabila benda asing masih dapat berpindah tempat
(mobile) pada saat batuk atau ekspirasi dengan pemeriksaan
auskultasi di daerah tiroid, dapat didengar suara hentakan
benda asing ke pita suara atau daerah subglotis. Tanda ini
disebut audible slap. Dengan palpasi tanda ini kadang-kadang
dapat dirasakan dan disebut sebagai palpatory thud.
e. Benda asing didalam bronkus
Bentuk ini merupakan bentuk tersering, dan dapat
mencapai 83−90% kasus. Gejala yang terjadi merupakan akibat
langsung dari benda asing yang teraspirasi, seperti obstruksi
atau konstriksi (sesak napas, suara napas yang melemah atau
berkurang, mengi yang kadang-kadang bilateral dan sulit
sembuh), peradangan (bronkitis, bronkiektasis, pneumonia
lobaris yang sering berulang, abses, empiema), atau merupakan
akibat yang tidak langsung seperti atelektasis dan emfisema.
Gejala mengi dapat timbul segera setelah aspirasi terjadi, atau
dapat berjalan kronis. Apabila obstruksi terjadi pada kedua
bronkus utama, dapat terjadi sesak yang berat hingga anoksia.
Kadang-kadang dapat terjadi hemoptisis setelah beberapa bulan
atau tahun. Apabila benda asing tersebut berasal dari tumbuhan
disebut sebagai bronkitis arakiditis atau vegetalis, dengan
gejala batuk, demam septik, dan sesak.
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik
Pada setiap pasien yang diduga mengalami aspirasi benda
asing, dapat dilakukan pemeriksaan radiologik untuk membantu
menegakkan diagnosis. Benda asing yang berupa radioopak dapat
dibuat foto rontgen segera setelah kejadian, sedangkan pada benda
yang berupa radiolusen hanya terlihat komplikasi yang terjadi
seperti emfisema atau atelektasis setelah 24 jam pertama.
Pemeriksaan rontgen pada benda asing radiolusen dalam waktu
kurang dari 24 jam setelah kejadian sering menunjukkan gambaran
radiologis yang belum berarti (Yunizaf, 2011).
Pemeriksaan radiologik tidak hanya menunjukkan lokasi
benda asing, namun dapat juga menunjukkan jumlah dan ukuran
benda asing. Selain itu, komplikasi yang terjadi juga dapat terlihat
(Ambe et al., 2012).
Bronkoskopi harus dilakukan pada pasien aspirasi benda
asing pada saluran nafas jika benda asing tidak dapat didiagnosis
melalui pemeriksaan radiologik. Pemeriksaan bronkoskopi perlu
dilakukan dengan cepat, karena semakin cepat pemeriksaan
dilakukan semakin sedikit komplikasi yang akan terjadi. Selain
sebagai sarana diagnosis, pemeriksaan bronkoskopi juga dilakukan
sebagai terapi pada pasien dengan kasus benda asing pada saluran
nafas (Saki et al., 2009).
2.1.7 Komplikasi
Keterlambatan diagnosis merupakan faktor utama
terjadinya komplikasi pada aspirasi benda asing. Terlalu lama nya
benda asing didalam saluran nafas dapat memicu terbentuknya
jaringan granulasi dan infeksi paru yang rekuren. Penyebab lain
terjadinya komplikasi adalah keterlambatan dilakukannya
bronkoskopi. Pasien yang menjalani bronkoskopi lebih dari 24 jam
setelah aspirasi benda asing memiliki komplikasi dua kali lipat
dibandingkan dengan pasien yang menjalani bronkoskopi pada 24
jam pertama (Shlizerman et al., 2010).
Komplikasi dapat terjadi baik dari benda asing nya sendiri
maupun dari prosedur pengangkatan benda asing. Komplikasi yang
dapat terjadi berupa pneumonia, edema jalan nafas, sesak nafas,
bronkiektasis, bronkitis, jaringan granuloma, trakeitis, dan
pneumothorax (Sahadan et al., 2011). Beberapa peneliti
menganjurkan penggunaan kortikosteroid sebelum dan sesudah
bronkoskopi untuk mengurangi kejadian edema jalan nafas pasca
intervensi (Yetim et al., 2012).
2.1.8 Penatalaksanaan
Manajemen pada fase akut biasanya timbul sebelum anak
datang ke Rumah Sakit. Sebagian besar anak akan batuk dengan
hebat sebagai refleks untuk mengeluarkan benda asing tersebut.
Selama anak masih dapat batuk, berbicara dan menangis, tidak
dibutuhkan tindakan secepatnya. Tidak diperbolehkan melakukan
tindakan memasukkan jari tangan ke daerah orofaringeal pada anak
kecuali benda asing yang masuk tersebut terlihat di daerah
posterior faring. Pada anak kurang dari 1 tahun, tindakan chest
thrush dan back slap dengan posisi tengkurap adalah tindakan yang
dianjurkan untuk mengatasi benda asing tersebut.Untuk anak lebih
dari 1 tahun, abdominal thrush merupakan tindakan yang
direkomendasikan. Tindakan ini ditujukan untuk memberikan
tekanan pada diafragma sehingga tekanan intratorakal meningkat
dan pada akhirnya terjadi peningkatan tekanan intratrakeal yang
dapat mengeluarkan benda asing tersebut.
Sebelum ditemukannya bronkoskopi pada awal 1900,
kematian akibat aspirasi benda asing dapat mencapai angka 50%.
Saat ini, angka tersebut jauh menurun hingga kurang dari 1%.
Perkembangan terhadap teknik operasi, instrumentasi dan anestesia
modern, menyebabkan bronkoskopi dapat bermanfaat pada lebih
dari 95% pasien dengan komplikasi kurang dari 1%. Bronkoskopi
yang digunakan merupakan bronkoskopi tipe rigid yang dilakukan
di meja operasi dengan anak dibawah anastesi umum. Sebaiknya
tidak menggunakan ventilasi tekanan positif karena dapat
memperdalam masuknya benda asing. Bronkoskopi yang lebih
fleksibel tidak memiliki peran dalam tatalaksana. Bronkoskopi tipe
ini berguna untuk tujuan diagnostik. Pengobatan konservatif seperti
antibiotik dan bronkodilator dapat diberikan menyertai tindakan
diatas. Sebagian besar anak sudah diperbolehkan pulang dalam
waktu 24 jam setelah tindakan. Beberapa benda asing yang masuk
ke saluran napas tidak dapat dikeluarkan dengan tindakan
bronkoskopi. Untuk kasus tersebut diperlukan tindakan
torakokotomi terbuka. Terapi inhalasi dan drainase postural tidak
memiliki peran pada kelainan ini. Tindakan tersebut dapat
menimbulkan komplikasi lebih berat seperti obstruksi jalan napas
dan gagal jantung.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka
Betz,L.Cecily, dkk.2002.Buku Saku Keperawatan Pediatri.Jakarta:EGC
ISBN : 979-448-580-2