Anda di halaman 1dari 45

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERI

HIDROLISAT PROTEIN HASIL FERMENTASI


TELUR IKAN CAKALANG

RIFKI PRAYOGA ADITIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Antioksidan


dan Antibakteri Hidrolisat Protein Hasil Fermentasi Telur Ikan Cakalang adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2018

Rifki Prayoga Aditia


NRP C351140211
RINGKASAN

RIFKI PRAYOGA ADITIA. Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Hidrolisat


Protein Hasil Fermentasi Telur Ikan Cakalang. Dibimbing oleh DESNIAR dan
WINI TRILAKSANI.

Telur ikan cakalang sebagai hasil samping pengolahan ikan asap dan ikan
kayu potensial dimanfaatkan sebagai hidrolisat protein. Hidrolisis menggunakan
fermentasi bakteri diharapkan menghasilkan peptida bioaktif yang bersifat
antioksidan dan antibakteri pada hidrolisat protein telur ikan cakalang. Penelitian
ini bertujuan untuk: (1) menentukan pengaruh fermentasi spontan dan tidak
spontan (starter) terhadap karakteristik mikrobiologi dan kimiawi selama
fermentasi telur ikan cakalang; (2) menentukan aktivitas antioksidan dan
antibakteri hidrolisat protein telur ikan cakalang dan; (3) menentukan profil asam
amino dari hidrolisat protein telur ikan cakalang.
Pembuatan hidrolisat protein menggunakan 3 perlakuan fermentasi yaitu:
(1) fermentasi spontan (FS); (2) fermentasi menggunakan starter tunggal
L. plantarum SK (5) (FL) dan; (3) fermentasi menggunakan bakteri endogenous
serta ditambah bakteri L. plantarum SK (5) (FSL). Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa total BAL (bakteri asam laktat) pada perlakuan FS
mengalami peningkatan selama 48 jam fermentasi dan selanjutnya menurun
hingga akhir fermentasi. Total BAL pada perlakuan FSL mengalami perubahan
yang statis selama fermentasi, sedangkan pada perlakuan FL total BAL
mengalami penurunan selama 48 jam fermentasi dan kemudian cenderung statis
hingga akhir fermentasi. Total mikroba aerob pada perlakuan FS dan FSL
mengalami penurunan hingga jam ke-48 fermentasi dan kemudian jumlahnya
sama dengan total BAL, sedangkan pada perlakuan FL total mikroba aerob dari
awal hingga akhir fermentasi jumlahnya sama dengan total BAL. Peningkatan
total asam terjadi pada ketiga perlakuan hingga jam ke-48 fermentasi yang diikuti
oleh penurunan nilai pH. Nilai absorbansi pengujian asam amino bebas dan bobot
hidrolisat protein pada perlakuan FS meningkat paling tinggi selama fermentasi,
sedangkan pada perlakuan FL cenderung tetap dari awal hingga akhir fermentasi.
Aktivitas antioksidan dari hidrolisat protein perlakuan FS dan FSL
mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu fermentasi, sedangkan pada
perlakuan FL tidak terjadi perubahan selama fermentasi. Hasil pengujian aktivitas
antibakteri menunjukkan bahwa zona hambat teringgi dengan kategori sedang
terjadi pada hidrolisat protein perlakuan FL dan FSL pada konsentrasi 0.5 mg/µL
dengan lama fermentasi 48 jam. Hidrolisat protein terpilih dari perlakuan FS, FSL
dan FL mengandung 17 unsur asam amino. Asam amino yang paling tinggi
keberadaannya adalah asam glutamat dan asam aspartat.

Kata kunci: antibakteri, antioksidan, fermentasi, hidrolisat protein, telur ikan


cakalang.
SUMMARY
RIFKI PRAYOGA ADITIA. Antioxidant and Antibacterial Activity of Protein
Hydrolysate from Cakalang Fish Roe Fermentation. Supervised by DESNIAR and
WINI TRILAKSANI.

Skipjack roe as a smoked fish industry by-product potentially to be utilized


as a protein hydrolysate. Hydrolysis using bacterial fermentation is expected to
produce antioxidant and antibacterial bioactive peptide in skipjack roe protein
hydrolysate. The aims of this study were: (1) to determine the effect of
spontaneous and non spontaneous (starter) fermentation on microbiological and
chemical characteristics during fermentation; (2) to measure the antioxidant and
antibacterial activity of skipjack roe protein hydrolysate and; (3) to analyze the
amino acid profile of skipjack roe protein hydrolysate.
Productions of protein hydrolysate using 3 fermentation treatments were: (1)
spontaneous fermentation (FS); (2) fermentation using single starter
L.plantarum SK (5) (FL) and; (3) fermentation using endogenous bacteria plus
L. plantarum SK (5) (FSL). The results showed that LAB (lactic acid bacteria)
count on the FS treatment increased during 48 hours of fermentation and then
decreased until the end of fermentation. The static changes LAB count occured in
the treatment of FSL during fermentation, whereas on the FL treatment LAB
count decreased during 48 hours fermentation and tend to be static until the end of
fermentation. Aerobic microbial count of FS and FSL treatment decreased during
48 hours of fermentation and then the amount similar with total BAL, whereas the
microbial count of FL treatment from beginning to end fermentation was equal to
total lactic acid bacteria. The absorbance value of free amino acid at FS treatment
highly increased during fermentation, meanhwile at FL treatment tend to be static
until the end of fermentation.
The antioxidant activity of protein hydrolysates of FS and FSL treatment
decreased with increasing fermentation time, meanwhile the FL treatment did not
change during fermentation. The results of antibacterial activity assay showed that
the highest inhibitory zone with the medium category occurred in the protein
hydrolysates of FL and FSL treatment at 0.5 mg/μL with 48 hours fermentation.
Selected protein hydrolysates from the treatment of FS, FSL and FL contained of
17 amino acid. The highest amino acids present were glutamic acid and aspartic
acid.

Keywords: antibacterial, antioxidant, fermentation, protein hydrolysate, skipjack


roe.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERI
HIDROLISAT PROTEIN HASIL FERMENTASI
TELUR IKAN CAKALANG

RIFKI PRAYOGA ADITIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Asadatun Abdullah, SPi MSM MSi
Judul Tesis : Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Hidrolisat Protein Hasil
Fermentasi Telur Ikan Cakalang
Nama : Rifki Prayoga Aditia
NIM : C351140211

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Desniar, SPi MSi Dr Ir Wini Trilaksani, MSc


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Hasil Perairan

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng

Tanggal Ujian: 2 Februari 2018 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini berjudul Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri
Hidrolisat Protein Hasil Fermentasi Telur Ikan Cakalang. Tesis ini merupakan
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister sains (MSi) di Program
Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Desniar, SPi MSi
sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Wini Trilaksani, MSc sebagai
anggota komisi pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Teknologi Hasil
Perairan yang banyak memberikan arahan, bimbingan, saran dan dukungan
selama proses penelitian dan penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Dr Asadatun Abdullah, SPi MSM MSi selaku penguji luar komisi
dan Dr Eng Uju, SPi MSi selaku perwakilan gugus kendali mutu yang telah
memberikan banyak saran untuk perbaikan tesis ini. Penghargaan yang tinggi
penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang telah mendukung dan banyak
memanjatkan doa untuk kelancaran dalam menimba ilmu di Institut Pertanian
Bogor. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman
pascasarjana THP 2014 dan para staf Laboratorium Program Studi Teknologi
Hasil Perairan atas bantuannya selama penelitian.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis
ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2018

Rifki Prayoga Aditia


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
2 METODE PENELITIAN 3
Waktu dan Tempat 3
Bahan dan Alat 3
Prosedur Penelitian 3
Prosedur Analisis 5
Analisis Data 10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Karakteristik dan Komposisi Kimia Telur Ikan Cakalang 10
Pertumbuhan dan Aktivitas Pengasaman oleh Bakteri selama
Fermentasi Telur Ikan Cakalang 12
Aktivitas Proteolitik Bakteri selama Fermentasi 14
Aktivitas Antioksidan 17
Aktivitas Antibakteri 19
Komposisi Asam Amino 21
4 SIMPULAN DAN SARAN 23
Simpulan 23
Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 23
LAMPIRAN 29
RIWAYAT HIDUP 33
DAFTAR TABEL

1 Komposisi kimia telur ikan cakalang, tongkol dan tuna sirip kuning 11
2 Pertumbuhan dan aktivitas pengasaman oleh bakteri selama fermentasi
telur ikan cakalang 12
3 Aktivitas antibakteri hidrolisat protein telur ikan cakalang 20

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 4


2 Telur ikan cakalang 11
3 Nilai absorbansi pada pengujian ninhidrin (A) dan bobot hidrolisat
protein selama fermentasi telur ikan cakalang (B) pada perlakuan FS
( ), FL ( ) dan FSL ( ) 15
4 Nilai IC50 hidrolisat protein telur ikan cakalang perlakuan FS ( ),
FSL ( ), dan FL ( ) 17
5 Komposisi asam amino hidrolisat protein telur ikan cakalang perlakuan
FS ( ), FSL ( ), dan FL ( ) 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai absorbansi pada pengujian ninhidrin dan bobot hidrolisat protein


yang dihasilkan dari proses fermentasi telur ikan cakalang 30
2 Perhitungan konsentrasi hidrolisat protein dan kontrol positif yang
digunakan pada pengujian aktivitas antibakteri 30
3 Profil asam amino hidrolisat protein 31
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produksi perikanan tangkap Indonesia pada tahun 2015 mencapai 6 juta ton,
angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil ikan terbesar
kedua di dunia setelah Tiongkok. Salah satu komoditas utama yang memiliki
kontribusi besar dalam industri perikanan tangkap Indonesia adalah ikan cakalang
(Katsuwonous pelamis). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementrian
Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2015 jumlah tangkapan ikan ini mencapai
507 ribu ton atau 8.37% dari total produksi perikanan tangkap Indonesia
(KKP 2015). Ikan jenis ini banyak dimanfaatkan untuk dijadikan bahan baku ikan
kayu dan cakalang asap (Rahajeng 2012; Rieuwpassa et al. 2013).
Industri pengolahan ikan cakalang (Katsuwonous pelamis) pada umumnya
banyak menyisakan hasil samping berupa telur. Sebagian besar telur ikan yang
dihasilkan dari industri tersebut banyak yang tidak termanfaatkan dan hanya
terbuang begitu saja (Rieuwpassa et al. 2013). Telur ikan cakalang memiliki
proporsi 1.5-3% dari bobot tubuh serta memiliki kandungan protein yang cukup
tinggi yaitu sebesar 20.15% (Bledsoe et al. 2003; Intarasirisawat et al. 2010).
Perlu dilakukan upaya penanganan dan pemanfaatan telur ikan cakalang untuk
meningkatkan nilai tambah, serta mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan.
Telur ikan cakalang dapat dimanfaatkan menjadi hidrolisat protein ikan.
Hidrolisat protein ikan merupakan produk yang dihasilkan dari penguraian protein
ikan menjadi peptida sederhana dan asam amino melalui proses hidrolisis oleh
enzim, asam, basa dan fermentasi (Jemil et al. 2014; Kristinsson dan Rasco 2000).
Hidrolisat protein pada umumnya digunakan sebagai bahan tambahan pangan
karena memiliki nilai gizi yang tinggi berupa asam amino, selain itu hidrolisat
protein juga biasa dimanfaatkan sebagai flavour enhancer dan bahan pengemulsi
(Intarasirisawat et al. 2012; Ovissipour et al. 2011). Hasil dari berbagai penelitian
menyebutkan bahwa peptida yang terdapat dalam hidrolisat protein ternyata
memiliki sifat bioaktif diantaranya yaitu bersifat antioksidan dan antibakteri
(Najafian dan Babji 2011; Jemil et al. 2014).
Antioksidan dan antibakteri sangat berguna bagi bidang kesehatan dan
pangan. Antioksidan sering digunakan dalam bentuk suplemen untuk membantu
meningkatkan kesehatan tubuh dan mengurangi resiko terjadinya penyakit akibat
radikal bebas seperti kanker, diabetes, penuaan dini, dan jantung koroner.
Antioksidan dan antibakteri juga digunakan sebagai pengawet untuk mencegah
terjadinya oksidasi lemak serta membantu menghambat pertumbuhan bakteri
penyebab kebusukan pada makanan (Intarasirisawat et al. 2014; Najafian dan
Babji 2011). Hidrolisat protein yang memiliki aktivitas antioksidan juga bisa
dijadikan sebagai alternatif pengganti antioksidan sintetis seperti butylated
hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluena (BHT), dan prophyl gallate
(PG) yang diketahui mampu menginduksi kerusakan DNA serta menimbulkan
toksik pada bahan pangan (Luo et al. 2012).
Fermentasi merupakan teknik tertua dalam pengawetan makanan, selain
rendah biaya, fermentasi juga dapat menghasilkan produk yang memiliki nilai gizi
tinggi (Phakde et al. 2014). Torino et al. (2012) menyatakan bahwa peptida
2

bioaktif dapat dihasilkan melalui proses fermentasi. Berdasarkan penelitian


Rajapakse et al. (2014) diketahui bahwa fermentasi saus kerang secara spontan
memiliki aktivitas penghambatan terhadap radikal DPPH sebesar 72% pada
konsentrasi 200 µg/mL. Jemil et al. (2014) juga meneliti bahwa hidrolisat protein
dari ikan sardin (Sardinella aurita) yang difermentasi menggunakan bakteri
B. subtilis A26 memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri S. aureus dan
E. coli sebesar 12.0±2.0 mm dan 16.0±2.0 mm pada konsentrasi 0.2 mg/µL.
Torino et al. (2012) menyatakan bahwa hidrolisat protein hasil hidrolisis
dengan fermentasi bisa menghasilkan peptida bioaktif yang sifatnya berbeda. Hal
tersebut dipengaruhi oleh aktivitas dan spesifitas protease dari bakteri yang
berperan dalam fermentasi. Berdasarkan hasil penelitian Kurniati (2015) diketahui
bahwa bakteri Lactobacillus plantarum SK (5) memiliki aktivitas enzim sebesar
0.443 U/mL. Bakteri ini sangat berpotensi digunakan sebagai starter fermentasi
karena memiliki aktivitas enzim tertinggi diantara bakteri lain hasil isolasi dari
bekasam ikan nila. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan eksplorasi
tentang potensi aktivitas antioksidan dan antibakteri dari hidrolisat protein yang
dihasilkan melalui fermentasi baik secara spontan maupun tidak spontan
(menggunakan starter bakteri).

Perumusan Masalah

Indonesia memiliki hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)


yang cukup melimpah. Sebagian hasil tangkapan ikan cakalang banyak diolah
menjadi ikan kayu dan cakalang asap. Hasil dari proses pengolahan tesebut
banyak menyisakan hasil samping berupa telur ikan yang dapat dimanfaatkan
sebagai hidrolisat protein. Hidrolisat protein diketahui memiliki peptida bioaktif
yang bersifat antioksidan dan antibakteri. Penelitian mengenai hidrolisat protein
sebagai antioksidan dan antibakteri sangat penting dilakukan karena bisa
bermanfaat bagi bidang kesehatan dan pangan. Peptida bioaktif dapat dihasilkan
melalui proses fermentasi. Peptida bioaktif yang dihasilkan melalui proses
fermentasi dapat menghasilkan sifat yang berbeda, hal tersebut dipengaruhi oleh
aktivitas dan spesifitas protease dari bakteri yang berperan selama fermentasi.
Perlu dilakukan ekplorasi tentang aktivitas antioksidan dan antibakteri dari
hidrolisat protein yang dihasilkan dari fermentasi telur ikan cakalang baik secara
spontan maupun tiadk spontan (menggunakan starter bakteri).

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:


1. Menentukan pengaruh fermentasi spontan dan tidak spontan (menggunakan
starter bakteri) terhadap karakteristik mikrobiologi dan kimiawi selama
fermentasi telur ikan cakalang.
2. Menentukan aktivitas antioksidan dan antibakteri dari hidrolisat protein telur
ikan cakalang.
3. Menentukan profil asam amino dari hidrolisat protein telur ikan cakalang.
3

2 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2016 sampai Februari 2017
di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil
Perairan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah telur ikan cakalang
yang didapat dari hasil samping pengolahan ikan cakalang asap di Desa Galala
Kota Ambon, Provinsi Maluku. Bakteri yang digunakan sebagai starter
fermentasi yaitu Lactobacillus plantarum SK (5) koleksi (Desniar 2012). Bahan
lain yang digunakan meliputi deMan Rogosa and Sharpe Agar (MRSA), deMan
Rogosa and Sharpe Broth (MRSB), Plate Count Agar (PCA), Mueller Hinton
Agar (MHA), CaCO3, glukosa, NaOH, phenolphthalein, dan 2,2-diphenyl-1-
picrylhydrazyl (DPPH). Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
inkubator (IS900 Yamato), autoklaf (SM52 Yamato), oven drying sterilizer
(SH62), HPLC, homogenizer (Nissel AMS), centrifuge (himac CR 21G),
spektrofotometer UV-Vis dan freeze dryer.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang meliputi persiapan


kultur bakteri L. plantarum SK (5), preparasi bahan baku, pembuatan hidrolisat
protein telur ikan cakalang dan karakterisasi hirolisat protein telur ikan cakalang.
Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Kultur Bakteri L. plantarum SK (5)


Pemasukan isolat bakteri L. plantarum SK (5) sebanyak satu ose ke dalam
media agar miring yang telah disetrilisasi, kemudian dilakukan inkubasi selama
48 jam pada suhu 37 oC. Bakteri yang telah tumbuh pada agar miring diambil
sebanyak satu ose dan dimasukkan ke dalam 26 mL media MRSB, kemudian
dilakukan inkubasi kembali selama 16 jam pada suhu 37 oC. Penuangan dilakukan
pada media MRSB yang telah ditumbuhi bakteri L. plantarum SK (5) ke dalam
260 mL kultur kerja, kemudian dilakukan inkubasi pada suhu 37 oC hingga
jumlah sel mencapai 108-9 CFU/mL.

Preparasi Bahan Baku


Penghancuran dilakukan pada telur ikan cakalang menggunakan blender,
selanjutnya dihomogenisasi dengan akuades steril dengan perbandingan 1:2 (b/v).
Penambahan glukosa sebanyak 1% ke dalam sampel, selanjutnya pemasukan
bahan baku yang telah dipreparasi ke dalam botol kaca steril.
4

Sampel telur ikan Uji proksimat


cakalang

Penghancuran sampel

Homogenisasi dengan
akuades steril 1:2 (w/v)

Sampel telur ikan Glukosa


cakalang yang telah 1% (b/v)
homogen

Pemasukan sampel ke
wadah fermentasi

Sterilisasi sampel dengan suhu


o
121 C selama 15 menit

Kultur
L. plantarum SK (5)
10%

Sampel diberi kode FS Sampel diberi kode FL Sampel diberi kode FSL

Fermentasi selama 96
jam pada suhu 37 oC
secara mikroaerofilik - Penghitungan
total mikroba
Pengamatan sampel pada jam dan total BAL
ke-0, 48, dan 96 jam - Analisis pH dan
total asam
tertitrasi
Inaktivasi BAL pada suhu 95 oC
selama 15 menit

Padatan Sentrifuse 10.000 g


selama 20 menit

Asam amino Filtrat


bebas - Penghitungan bobot
hidrolisat protein
- Uji aktivitas
Liofilisasi (freeze drying)
antioksidan
- Uji aktivitas
antibakteri
Hidrolisat protein - Profil asam amino

Gambar 1. Diagram alir penelitian


5

Pembuatan Hidrolisat Protein Telur Ikan Cakalang


Proses pembuatan hidrolisat protein telur ikan cakalang pada penelitian ini
menggunakan metode fermentasi. Fermentasi telur ikan cakalang dilakukan
berdasarkan modifikasi dari Torino et al. (2012). Fermentasi dilakukan
menggunakan 3 perlakuan. Perlakuan pertama yaitu fermentasi menggunakan cara
spontan tanpa menggunakan kultur starter yang diberi kode FS. Perlakuan kedua
yaitu fermentasi yang hanya menggunakan starter bakteri L. plantarum SK (5)
sebanyak 10% (v/v) yang diberi kode FL, khusus untuk perlakuan ini sampel telur
ikan cakalang terlebih dahulu disterilisasi pada suhu 121 oC selama 15 menit.
Perlakuan ketiga yaitu fermentasi menggunakan starter bakteri
L. plantarum SK (5) sebanyak 10% (v/v) yang diberi kode FSL. Fermentasi
dilakukan dalam kondisi mikroaerofilik pada suhu 37 oC selama 96 jam.
Pengamatan terhadap proses fermentasi dilakukan setiap 0, 48, dan 96 jam untuk
melihat jumlah total mikroba, total bakteri asam laktat, pH, dan total asam
tertitrasi.
Proses fermentasi dihentikan dengan cara memanaskan sampel pada suhu
o
95 C selama 15 menit, selanjutnya sampel disentrifugasi dengan kecepatan
10000 g selama 15 menit untuk memisahkan filtrat dari padatannya. Filtrat yang
telah didapat dianalisis asam amino bebasnya, kemudian dilakukan liofilisasi
dengan metode freeze drying. Semua perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan. Sampel telur ikan cakalang yang belum terfermentasi atau sampel pada
jam ke-0 dijadikan sebagai kontrol negatif.

Karakterisasi Hidrolisat Protein Telur Ikan Cakalang


Hidrolisat protein telur ikan cakalang yang telah dikeringkan kemudian
dilakukan karakterisasi yang meliputi, uji aktivitas antioksidan, antibakteri dan
analisis profil asam amino.

Prosedur Analisis

Kadar Air (BSN 1992)


Analisis kadar air yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada
SNI 01-2891-1992 butir 5.1. Analisis kadar air diawali dengan pengeringan cawan
porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 15 menit hingga diperoleh berat
konstan. Cawan tersebut kemudian diletakkan ke dalam desikator dan dibiarkan
sampai dingin kemudian ditimbang. Tahap selanjutnya adalah penimbangan
sampel seberat 1-2 g. Cawan yang berisi sampel tersebut dimasukkan ke dalam
oven bersuhu 105 oC selama 3 jam. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam
desikator dan dibiarkan sampai dingin, kemudian ditimbang. Perhitungan kadar
air adalah sebagai berikut:
Kadar air (%) = x 100%

Keterangan : W1 = Berat cawan kosong (g)


W2 = Berat cawan dengan sampel (g)
W3 = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g)
6

Kadar Abu (BSN 1992)


Analisis kadar abu yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada
SNI 01-2891-1992 butir 6.1. Prinsip penetapan kadar abu adalah dengan
menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik. Analisis kadar abu
diawali dengan cawan porselen yang dibersihkan dan dikeringkan dalam oven
bersuhu 105 oC selama 30 menit. Cawan tersebut kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang dan dimasukkan ke
dalam cawan porselen. Sampel tersebut selanjutnya dibakar di atas kompor listrik
sampai tidak mengeluarkan asap. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
tanur pada suhu 550 oC selama 6 jam. Proses pengabuan dilakukan sampai abu
berwarna putih keabu-abuan. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator
selama 30 menit dan ditimbang. Perhitungan kadar abu adalah sebagai berikut:

Kadar abu (%) = x 100%

Keterangan: W = Berat sampel sebelum diabukan (g)


W1 = Berat cawan dan sampel setelah diabukan (g)
W2 = Berat cawan kosong (g)

Kadar Protein (BSN 1992)


Analisis kadar protein yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada
SNI 01-2891-1992 butir 7.1. Analisis kadar protein dilakukan untuk mengetahui
kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Prinsip analisis ini
adalah senyawa nitrogen diubah menjadi amonium sulfat oleh H2SO4 pekat.
Amonium sulfat yang terbentuk diuraikan dengan NaOH. Amoniak yang
dibebaskan diikat dengan asam borat kemudian dititar dengan larutan baku asam.
Sampel ditimbang seberat 0.51 g, kemudian dimasukkan ke dalam tabung
Kjeldahl 100 mL. Selenium sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam tabung dan
ditambahkan 25 mL H2SO4 pekat. Tabung yang berisi larutan tersebut dipanaskan
sampai mendidih dan warna larutan menjadi hijau bening (sekitar 2 jam). Sampel
didinginkan dan diencerkan dengan menambahkan akuades hingga 100 mL pada
labu takar. Larutan tersebut kemudian dipipet sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke
dalam alat penyuling kemudian ditambah larutan NaOH 30% sebanyak 5 mL dan
beberapa tetes indikator PP.
Penyulingan dilakukan selama lebih kurang 10 menit. Cairan dalam ujung
tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer berisi 10 mL H3BO3 2% dan 3
tetes indikator (cairan methyl red dan bromcresol green) yang ada di bawah
kondensor. Ujung pendingin dibilas dengan air suling. Sampel kemudian dititrasi
menggunakan HCl 0.01 N hingga warna larutan erlenmeyer berubah warna
menjadi merah muda kembali. Perhitungan kadar protein adalah sebagai berikut:

( )
Nitrogen (%) =

Kadar protein (%) = % Nitrogen x FK

Keterangan: FP = Faktor pengenceran


FK = Faktor konversi (6.25)
7

N HCl = Normalitas HCl


14.007 = Bobot atom nitrogen

Kadar Lemak (BSN 1992)


Analisis kadar lemak yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada
SNI 01-2891-1992 butir 8.1. Sampel sebanyak 1-2 g (W1) dimasukkan ke dalam
kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak yang dialasi dengan
kapas. Labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) kemudian
disambungkandengan tabung Soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam
ruang ekstraktor tabung Soxhlet dan disiram dengan heksana atau pelarut lemak.
Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi Soxhlet, kemudian dipanaskan pada
suhu 80 oC menggunakan pemanas listrik selama 6 jam.
Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut
lemak menguap. Proses destilasi membuat pelarut tertampung di ruang ekstraktor,
pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Labu lemak
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 15 menit. Labu kemudian
didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar
lemak adalah sebagai berikut:

Kadar lemak (%) = x 100%

Keterangan: W1 = Berat sampel (g)


W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)

Kadar Karbohidrat (by difference)


Kadar karbohidrat total dilakukan dengan metode carbohydrate by
difference atau metode pengurangan. Perhitungan kadar karbohidrat total adalah
sebagai berikut:

Karbohidrat (%) = 100% - (% Kadar air + % abu + % protein + % lemak)

Total Mikroba dan Total Bakteri Asam Laktat (BSN 2006a)


Analisis total mikroba dan bakteri asam laktat mengacu pada
SNI 01.2332.3-2006. Jumlah sel diukur menggunakan metode penghitungan
cawan pada media PCA untuk total mikroba dan MRSA + CaCO3 0.5% untuk
total BAL. Prosedur kerja diawali dengan pembuatan media PCA dan MRSA,
kemudian disterilisasi dalam autoclave selama 15 menit pada tekanan 1 atm
dengan suhu 121 oC . Media yang telah disterilisasi dipertahankan suhunya dalam
oven 50 °C untuk menjaga agar media tidak membeku.
Sampel sebanyak 10 mL dilarutkan ke dalam 90 mL larutan BPW steril
sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Larutan dipipet 1 mL dan dimasukkan ke
dalam tabung l yang berisi 9 mL larutan BPW steril untuk mendapatkan
pengenceran 10-2, demikian seterusnya sampai pengenceran 10-9. Tiga
pengenceran terakhir dipipet 1 mL dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril.
Pengenceran dilakukan secara duplo.
Media yang dibuat kemudian ditambahkan ke dalam setiap cawan petri.
Media PCA dan MRSA yang membeku pada cawan petri kemudian disimpan di
8

dalam inkubator untuk media PCA sedangkan untuk media MRSA diinkubasi
dengan kondisi mikroaerofilik pada suhu 37 oC selama 48 jam. Pengamatan
dilakukan dengan cara menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri.
Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni
bakteri antara 25-250 koloni dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

N = [( ) ( )] ( )

Keterangan : N = jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per mL


ΣC = jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung
n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung
n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung
d = pengenceran pertama yang dihitung.

pH (AOAC 1995)
Elektroda pH meter dicelupkan ke dalam larutan sampel sampai muncul
hasil yang stabil kemudian catat pH sampel tersebut. Elektroda kemudian dibilas
dengan akuades dan dikeringkan.

Total Asam Tertitrasi (AOAC 1995)


Pengukuran total asam diawali dengan penimbangan sampel 10 g. Sampel
kemudian ditambahkan dengan akuades 50 mL dan dihomogenisasi menggunakan
homogenizer. Hasil homogenisasi tersebut dimasukkan ke dalam labu takar dan
ditambahkan aquades sampai dengan tanda tera 100 mL. Sampel diaduk dan
didiamkan selama 30 menit. Larutan yang berisi sampel tersebut disaring dan
dipipet sebanyak 10 mL untuk dimasukkan ke dalam beaker glass. Sampel
kemudian ditambahkan 2-3 tetes fenolftalein dan dititrasi dengan NaOH 0.1 N
sampai warna berubah menjadi merah muda. Perhitungan total asam yang
terbentuk adalah sebagai berikut:

Total Asam =

Keterangan: V NaOH = Volume NaOH yang terpakai


N NaOH = Normalitas NaOH yang terukur
FP = Faktor Pengencer
90 = BM Asam laktat

Uji Ninhidrin (Wang 2009)


Uji ninhidrin dilakukan untuk menentukan adanya asam amino bebas dalam
suatu bahan. Ninhidrin bereaksi dengan gugus amino pada asam amino bebas
membentuk senyawa berwarna ungu. Pareaksi terdiri dari 0.35 g ninhidrin dalam
100 mL etanol 95%. Cara pengujiannya adalah 0,1 mL filtrat sampel ditambah
dengan 1 mL pereaksi ninhidrin didalam tabung reaksi. Tabung ditutup rapat
dengan parafilm, lalu dipanaskan pada suhu 80-100 oC selama 4-7 menit sampai
terbentuk warna ungu. Kadar asam amino bebas diketahui dengan
spektrofotometer UV-vis pada panjang gelombang 570 nm.
9

Bobot Hidrolisat Protein


Sebanyak 40 mL filtrat hidrolisat protein dikeringkan dengan freeze dryer,
selanjutnya hidrolisat protein kering yang didapatkan ditimbang bobotnya.

Aktivitas Antioksidan Metode DPPH (Wu et al. 2003)


Hidrolisat protein dilarutkan dalam pelarut akuades pada berbagai
konsentrasi. Sebanyak 2 mL sampel hidrolisat protein direaksikan dengan 0.15
mM DPPH sebanyak 2 mL pada tabung reaksi. Campuran kemudian divortex dan
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit, kemudian larutan diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm. Pengukuran aktivitas antioksidan
menggunakan rumus sebagai berikut:

Persen Inhibisi (%) =

Nilai konsentrasi sampel dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada


sumbu x dan y pada persamaan regresi linear.

Aktivitas Antibakteri (Holo et al. 1991)


Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi sumur agar
(agar well diffusion) yang mengacu kepada Holo et al. (1991). Bakteri uji yaitu
Staphylococcus aureus dan Echerichia coli diinokulasikan ke dalam media NB
steril dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam sampai OD mencapai
0.5-0.8. Sebanyak 20 μL bakteri uji dimasukkan ke dalam 20 mL media Mueller
Hinton Agar (MHA) steril, kemudian media dituang ke dalam cawan steril secara
aseptis. Setelah media Mueller Hinton Agar (MHA) memadat, kemudian
dilubangi menggunakan pipet tetes steril yang berdiameter 6 mm. Setelah itu
hidrolisat protein konsentrasi 10 mg di dalam 20 μL akuades dipipet ke dalam
lubang sumur, sebagai kontrol positif dimasukkan kloramfenikol dengan
konsentrasi 0.015 mg/μL. Cawan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 6 jam,
selanjutnya dilakukan pengukuran diameter zona hambat di sekeliling lubang.

Profil Asam Amino (AOAC 2005)


Komposisi asam amino ditentukan dengan menggunakan HPLC. Perangkat
HPLC dibilas dengan eluen selama 2-3 jam. Syringe yang akan digunakan dibilas
dengan akuades sampai bersih. Analisis asam amino terdiri dari empat tahap:
a. Tahap pembuatan hidrolisat protein
Preparasi sampel, yaitu tahap pembuatan hidrolisat protein, sampel
ditimbang 0.1 gram dan dihancurkan. Sampel ditambahkan HCl 6 N sebanyak
10 mL, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC selama 24 jam.
b. Tahap pengeringan
Sampel disaring dengan kertas saring milipore. Penyaringan ini bertujuan
agar larutan yang dihasilkan benar-benar bersih, terpisah dari padatan. Hasil
saringan diambil sebanyak 30 µL dan ditambahkan dengan 30 µL larutan
pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran metanol, pikotiosianat dan
trietilamin dengan perbandingan 4:4:3.
c. Tahap derivatisasi
Larutan derivatisasi sebanyak 30 µL ditambahkan pada hasil pengeringan,
larutan derivatisasi dibuat dari campuran metanol, natrium asetat dan trietilamin
10

dengan perbandingan 3:3:4. Proses derivatisasi dilakukan agar detektor mudah


untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel, selanjutnya dilakukan
pengenceran dengan cara menambahkan 20 mL asetonitrit 60% atau buffer
natrium asetat 1 M, lalu dibiarkan selama 20 menit.
d. Tahap injeksi ke HPLC
Hasil saringan diambil sebanyak 40 µL untuk diinjeksikan ke dalam HPLC.
Perhitungan konsentrasi asam amino yang ada pada bahan dilakukan dengan
pembuatan kromatogram standar dengan menggunakan asam amino yang telah
siap dipakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kandungan
asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan :
C = Konsentrasi standar asam amino (μg/mL)
FP = faktor pengenceran
BM = Bobot molekul dari masing-masing asam amino (g/mol)
Kondisi HPLC pada saat berlangsungnya hidrolisis asam amino adalah
sebagai berikut:
Kolom : Ultra techspere
Laju aliran fase mobil : 1 mL/menit
Detektor : Fluoresensi
Fase mobil : Bufer A(Na-Asetat, Na-EDTA, Metanol, THF), Bufer B
(methanol 95% dan air)
Panjang gelombang : 350-450 nm

Analisis Data

Data hasil penelitian merupakan hasil rata-rata dari tiga kali ulangan beserta
nilai standar deviasinya yang diolah menggunakan Microsoft Excel 2010. Data
tersebut dianalisis secara deskriptif, disajikan dalam bentuk grafik, diagram dan
tabel.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik dan Komposisi Kimia Telur Ikan Cakalang

Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan hidrolisat protein adalah telur
ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Telur ikan cakalang didapatkan dari hasil
samping industri pengolahan ikan cakalang asap di Desa Galala, Kota Ambon,
Maluku. Adapun karakteristik fisik telur ikan cakalang dapat dilihat pada Gambar
2.
11

Gambar 2 Telur ikan cakalang

Telur ikan yang dalam bahasa inggris disebut fish roe merupakan kumpulan
oosit yang membentuk untaian (Mahmoud et al. 2008). Telur ikan cakalang
memiliki proporsi sekitar 1.5-3% dari bobot tubuh ikan (Bledsoe et al. 2003).
Telur ikan terdiri dari 11% albumin, 75% ovoglobulin dan 13% kolagen
(Sikorsi 1994). Sel telur pada ikan seluruhnya terisi oleh kuning telur. Kuning
telur yang berada pada bagian tengah keadaannya lebih pekat dari pada bagian
pinggir karena adanya sitoplasma yang banyak terdapat pada sekeliling telur.
Telur ikan pada umumnya berbentuk bulat dengan diameter yang bervariasi
menurut spesies (Piccinetti et l. 2013). Komposisi kimia pada telur ikan cakalang,
tongkol dan tuna sirip kuning disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia telur ikan cakalang, tongkol dan tuna sirip kuning
Tuna sirip
Komposisi kimia (%) Cakalang Tongkol*
kuning**
Air (%) 75.53±0.35 72.23±0.96 77.3±0.10
Protein (%) 20.29±0.10 18.44±0.27 18.20±0.00
Lemak (%) 1.69±0.13 5.68±0.11 2.4±0.10
Abu (%) 1.95±0.05 2.10±0.29 1.5±0.20
Karbohidrat (by difference) (%) 0.54±0.43 1.55±0.11 0.6±0.00
Sumber: * = Intarasirisawat et al. (2010)
** = Lee et al. (2016)

Komposisi kimia paling dominan pada telur ikan setelah air adalah protein
(Tabel 1). Kadar protein pada telur ikan cakalang memiliki presentase lebih tinggi
jika dibandingkan dengan protein pada ikan tongkol dan tuna sirip kuning. Telur
ikan cakalang pada penelitian ini tergolong memiliki kadar protein tinggi.
Bledsoe et al. (2003) menyatakan bahwa telur ikan dikategorikan berprotein
tinggi apabila memiliki kadar protein lebih dari 16%. Kocatepe et al. (2012)
menyatakan bahwa kadar protein pada telur ikan erat kaitannya dengan tinggi
rendahnya kadar air. Rendahnya kadar air akan berdampak pada tingginya kadar
protein pada telur ikan, begitu juga sebaliknya. Sikorsi (1990) menambahkan
bahwa ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam
jumlah besar. Vuorela et al. (1979) menyatakan bahwa kadar protein pada telur
ikan juga tergantung pada tingkat kematangan gonad, semakin tinggi tingkat
kematangannya maka kadar proteinnya semakin meningkat.
12

Hasil uji komposisi kimia telur ikan cakalang menunjukkan bahwa kadar
lemak pada telur ikan cakalang memiliki presentase paling kecil dibandingkan
dengan ikan tongkol dan tuna sirip kuning. Kadar lemak telur ikan cakalang pada
penelitian ini tergolong sangat rendah. Ackman (1989) menyatakan bahwa ikan
dapat dikategorikan menjadi 4 golongan berdasarkan kandungan lemak pada
tubuhnya yaitu ikan berlemak sangat rendah (<2%), berlemak rendah (2-4%),
berlemak sedang (4-8%) dan berlemak tinggi (>8%).
Berdasarkan hasil pengujian komposisi kimia telur ikan cakalang dapat
disimpulkan, bahwa telur ikan cakalang sangat berpotensi dijadikan produk
hidrolisat protein ikan. Alasan tersebut didasari oleh tingginya kadar protein dan
rendahnya kadar lemak yang terkandung di dalam telur ikan cakalang.
Chalamaiah et al. (2012) menyatakan bahwa hasil samping pengolahan ikan yang
mengandung protein tinggi sangat cocok apabila dimanfaatkan menjadi hidrolisat
protein ikan. Hidrolisat protein ikan merupakan produk hasil penguraian protein
ikan menjadi peptida rantai pendek dan asam amino. Yarnpakdee et al. (2012)
menyatakan bahwa tingginya lemak pada bahan baku hidrolisat protein akan
berdampak pada mudahnya hidrolisat protein mengalami oksidasi lemak. Hal
tersebut akan mengakibatkan timbulnya aroma yang tidak sedap seperti bau amis
pada hidrolisat protein ikan.

Pertumbuhan dan Aktivitas Pengasaman oleh Bakteri selama


Fermentasi Telur Ikan Cakalang

Pertumbuhan bakteri merupakan proses yang terdiri dari reaksi anabolisme


dan katabolisme. Pertumbuhan bakteri umumnya terdiri dari empat fase, yaitu fase
lag atau adaptasi, fase log, fase stasioner serta fase kematian. Masing-masing fase
yang terjadi menunjukkan perubahan aktivitas fisiologi sel di dalam media selama
pertumbuhan (Maier et al. 2009). Hasil pertumbuhan dan aktivitas pengasaman
bakteri selama fermentasis dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Pertumbuhan dan aktivitas pengasaman oleh bakteri selama fermentasi


telur ikan cakalang
Total Total
Lama Total BAL
Metode Mikroba Asam
fermentasi (log pH
Fermentasi Aerob (log Tertitrasi
(jam) CFU/mL)
CFU/mL) (%)
0 5.77±0.29 8.76±0.12 5.95±0.28 0.87±0.05
FS 48 8.38±0.03 8.36±0.13 4.65±0.05 2.57±0.23
96 7.26±0.08 6.99±0.10 5.39±0.30 2.06±0.16
0 7.90±0.18 8.09±0.10 5.60±0.10 1.17±0.18
FL 48 6.82±0.17 6.77±0.16 4.09±0.03 3.96±0.32
96 6.75±0.10 6.67±0.21 4.08±0.03 4.18±0.16
0 8.18±0.11 8.65±0.48 5.67±0.08 1.06±0.03
FSL 48 7.92±0.03 7.91±0.06 4.24±0.06 3.20±0.27
96 7.97±0.27 7.87±0.21 4.87±0.19 2.72± 0.11
13

Pertumbuhan bakteri yang terjadi selama fermentasi dapat dilihat dari


perubahan total BAL dan total mikroba aerob. Total BAL menunjukkan
keberadaan populasi bakteri asam laktat, sedangkan total mikroba aerob
menunjukkan keberadaan semua mikroba yang terdapat selama fermentasi. Total
BAL dan total mikroba aerob pada perlakuan FL sama dari awal hingga akhir
fermentasi, hal tersebut dikarenakan bakteri yang terhitung sebagai total mikroba
dan total BAL adalah satu jenis bakteri yang sama yaitu L. plantarum SK (5).
Total mikroba aerob pada perlakuan FS dan FSL di awal fermentasi lebih tinggi
dibandingkan dengan total BAL, namun setelah terjadi fermentasi selama 48 jam
total mikroba aerob mengalami penurunan dan jumlahnya sama dengan total
BAL. Terjadinya penurunan total mikroba aerob mengindikasikan bahwa terjadi
penghambatan pertumbuhan terhadap bakteri lain selain golongan BAL. Hal ini
juga terjadi pada penelitian Torino et al. (2012) bahwa selama fermentasi lentil
dengan perlakuan spontan dan menggunakan starter bakteri L. plantarum terjadi
penghambatan pertumbuhan terhadap bakteri golongan enterobakteria.
Yin et al. (2002) menambahkan bahwa selama fermentasi ikan makarel
menggunakan starter bakeri L. plantarum terjadi penghambatan terhadap
pertumbuhan bakteri Staphylococcus dan Pseudomonas. Shirai et al. (2000)
menyatakan bahwa BAL memiliki kemampuan untuk mengubah glukosa menjadi
asam laktat. Akumulasi asam laktat selama fermentasi akan berdampak pada
penurunan pH lingkungan, sehingga akan menghambat pertumbuhan bakteri yang
tidak tahan terhadap asam. Desniar (2012) menyatakan bahwa selain
memproduksi asam laktat, bakteri L. plantarum SK (5) juga mampu memproduksi
komponen yang bersifat antimikroba seperti bakteriosin, sehingga memungkinkan
penghambatan pertumbuhan terhadap bakteri lain.
Total BAL pada perlakuan FS mengalami peningkatan hingga jam ke-48
fermentasi yaitu mencapai 8.38±0.03 log CFU/mL, kemudian menurun sebanyak
1 log pada jam ke-96. Pola perubahan total BAL pada perlakuan FS juga terjadi
pada penelitian Shirai et al. (2001) bahwa pertumbuhan BAL selama 48 jam
fermentasi spontan limbah udang mengalami peningkatan dari 2.90 log CFU/g
menjadi 7.80 log CFU/g dan setelah itu jumlahnya menurun menjadi
6.50 log CFU/g pada jam ke-96. Peningkatan total BAL selama 48 jam fermentasi
menunjukkan bahwa BAL sedang berada pada fase log. Menurut
Pepper et al. (2015) pada fase log mikroba membelah dengan cepat dan konstan,
pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
yang sesuai serta ketersediaan nutrisi yang mencukupi untuk pertumbuhan.
Penurunan total BAL yang terjadi pada akhir fermentasi menandakan bahwa BAL
telah memasuki fase kematian, menurut Gaman dan Sherrington (1994) terjadinya
penurunan laju pertumbuhan disebabkan oleh kekurangan materi pertumbuhan
seperti vitamin dan unsur mineral di dalam medium pertumbuhan serta energi
cadangan di dalam sel yang sudah habis.
Penurunan total BAL sebanyak 1 log terjadi pada perlakuan FL selama 48
jam fermentasi, kemudian total BAL tidak mengalami perubahan yang berarti
hingga jam ke-96 fermentasi. Total BAL pada perlakuan FSL cenderung
mengalami perubahan yang statis dari awal hingga akhir fermentasi. Hal serupa
juga terjadi pada hasil penelitian Lee et al. (2016) bahwa terjadi pertumbuhan
BAL yang statis selama 60 hari fermentasi miso menggunakan starter bakteri
L. plantarum yaitu berkisar 5.8-6.0 log CFU/g. Terhambatnya pertumbuhan ini
14

disebabkan oleh adanya proses adaptasi bakteri L. plantarum SK (5) terhadap


lingkungan yang baru. Pepper et al. (2008) menyatakan bahwa lamanya fase
adaptasi bakteri sangat ditentukan oleh jumlah sel yang diinokulasikan, kondisi
fisiologis dan morfologis bakteri, serta media kultivasi yang sesuai.
Total asam tertitrasi menunjukkan banyaknya asam organik yang
terkandung dalam produk selama fermentasi. Peningkatan total asam tertitrasi
selama fermentasi akan mengakibatkan penurunan nilai pH. Penurunan pH pada
ketiga perlakuan terjadi hingga 48 jam fermentasi. Hal yang sama juga terjadi
pada penelitian Torino et al. (2012) bahwa nilai pH pada fermentasi spontan lentil
mengalami penurunan dari 6.63 menjadi 3.72 selama 48 jam fermentasi.
Yin et al. (2002) juga menambahkan bahwa terjadi penurunan nilai pH dari 6.3
menjadi 4.3 selama 72 jam fermentasi ikan makarel menggunakan starter
L. plantarum. Antara et al. (2004) menyatakan bahwa penurunan nilai pH selama
fermentasi disebabkan oleh adanya akumulasi asam organik berupa laktat, asetat,
suksinat dan propionat sebagai hasil dari metabolisme bakteri anaerob dalam
mencerna glukosa menjadi bahan baku energi.
Nilai pH pada perlakuan FL mengalami penurunan paling rendah jika
dibandingkan dengan perlakuan FSL dan FS. Hal tersebut diduga karena adanya
akumulasi asam laktat secara dominan yang berasal dari starter tunggal bakteri
L. plantarum SK (5). Menurut Desniar (2012) bakteri L. plantarum SK (5)
merupakan bakteri homofermentatif yang mampu memproduksi asam laktat
secara dominan. Ross et al. (2002) menambahkan bahwa bakteri homofermentatif
mampu mengubah lebih dari 90% substrat gula menjadi asam laktat. Ray (2004)
menyatakan bahwa asam laktat merupakan asam organik yang memiliki konstanta
disosiasi (pKa) paling rendah diantara asam organik lain yang dihasilkan oleh
BAL yaitu sebesar 3.8. Semakin kecil nilai pKa asam organik maka akan
mengakibatkan semakin kuat kadar keasamannya.
Nilai pH pada perlakuan FS dan FSL mengalami peningkatan pada akhir
fermentasi, sedangkan pada perlakuan FL tidak terjadi perubahan. Menurut
Zaman et al. (2010) peningkatan nilai pH pada proses fermentasi disebabkan oleh
meningkatnya jumlah biogenik amin karena proses dekarboksilasi asam amino
bebas oleh bakteri. Gardini et al. (2016) menyatakan bahwa proses dekarboksilasi
yaitu terlepasnya grup karboksil dari ikatan asam amino dan berubah menjadi
karbon dioksida (CO2), sehingga menyebabkan kenaikan pH lingkungan. Stadnik
et al. (2010) mengemukakan bahwa sejumlah bakteri asam laktat seperti
Lactobacillus, Enterococcus, Carnobacterium, Pediococcus, Lactococcus dan
Leuconostoc memiliki kemampuan mengubah asam amino menjadi biogenik
amin. Gardini et al. (2016) menambahkan bahwa tiramin merupakan senyawa
biogenik amin yang paling umum diproduksi oleh BAL.

Aktivitas Proteolitik Bakteri selama Fermentasi

Fermentasi merupakan salah satu cara yang bisa digunakan untuk


menghasilkan bioaktif peptida. Fermentasi melibatkan peran bakteri proteolitik
dalam memecah substrat protein menjadi bentuk yang lebih sederhana yaitu
peptida dan asam amino. Aktivitas proteolitik bakteri dapat dilihat melalui
keberadaan asam amino bebas yang terpecah dan terlarut ke dalam air selama
15

proses fermentasi (Torino et al. 2012). Keberadaan asam amino bebas yang
terlarut di dalam air dapat dianalisis secara kuantitatif menggunakan metode
ninhidrin (2,2-dihydroxyindane-1,3-dione). Prinsip dari metode ini yaitu melihat
perubahan warna yang terjadi pada ninhidrin, dari semula berwarna kuning akan
berubah menjadi ungu apabila bereaksi dengan asam amino (Wang 2009).
Penghitungan bobot hidrolisat protein juga merupakan salah satu parameter yang
dapat digunakan untuk melihat aktivitas pemecahan substrat protein oleh bakteri
selama proses fermentasi. Semakin banyak peptida dan asam amino yang
dihasilkan selama fermentasi maka akan semakin meningkat bobot produk
hidrolisat protein yang dihasilkan (Purbasari 2008). Hasil pengujian ninhidrin dan
penghitungan bobot hidrolisat protein disajikan pada Gambar 3.

(A)
2,0
Absorbansi 570 nm

1,6

1,2

0,8

0,4

0,0
0 48 96
Lama fermentasi (jam)

(B)
80
Bobot hidrolisat protein (g/L)

70

60

50

40

30
0 48 96
Lama fermentasi (jam)

Gambar 3 Nilai absorbansi pada pengujian ninhidrin (A) dan bobot hidrolisat
protein selama fermentasi telur ikan cakalang (B) pada perlakuan
FS ( ), FSL ( ) dan FL ( ).

Peningkatan absorbansi pada pengujian asam amino bebas memiliki pola


yang sama dengan pertambahan bobot hidrolisat protein (Gambar 3). Hasil ini
juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pubasari (2008) bahwa terjadi
peningkatan rendemen hidrolisat protein kerang mas ngur (Atactodea striata)
16

sebanyak 8.7% setelah dihirolisis selama 12 jam. Peningkatan rendemen ini juga
diikuti oleh peningkatan nilai absorbansi pada pengujian ninhidrin yaitu
meningkat dari 0.281 menjadi 0.445. Wang (2009) menyatakan bahwa terjadinya
peningkatan absorbansi pada pengujian ninhidrin disebabkan oleh semakin
banyaknya keberadaan asam amino bebas di dalam sampel. Ninhidrin akan
bereaksi dengan asam amino bebas membentuk aldehida dengan satu atom C
lebih pendek dari asam amino asalnya dan melepaskan molekul NH3 dan CO2.
Ninhidrin yang telah bereaksi akan membentuk hidrindantin. Hasil positif ditandai
dengan terbentuknya kompleks berwarna biru/keunguan yang disebabkan oleh
molekul ninhidrin dan hidrindantin yang bereaksi dengan NH3 setelah asam amino
tersebut dioksidasi.
Nilai absorbansi pada perlakuan FS meningkat selama 48 jam fermentasi
dan cenderung tidak mengalami perubahan yang berarti pada jam ke-96
fermentasi. Hal yang serupa juga terjadi pada bobot hidrolisat protein yang
dihasilkan, yaitu terjadi peningkatan bobot sebanyak 36.17 mg/L selama 48 jam
fermentasi dan cenderung tidak berubah pada akhir fermentasi. Aktivitas
pemecahan protein pada perlakuan FS ini bisa dikaitkan dengan aktivitas
pertumbuhan BAL yang terjadi selama fermentasi. Terjadinya aktivitas
pemecahan protein yang sangat tinggi selama 48 jam fermentasi dikarenakan BAL
sedang mengalami fase log, sedangkan aktivitas pemecahan yang rendah setelah
48 jam fermentasi dikarenakan BAL mulai memasuki fase kematian (Tabel 2).
Menurut Ricci et al. (2010) pemecahan protein menjadi peptida dan asam amino
bebas selama fermentasi disebabkan oleh aktivitas proteolitik dari bakteri.
Menurut Kabadjova-Hristova et al. (2006) aktivitas proteolitik dari bakteri akan
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah sel bakteri di dalam suatu media
pertumbuhan dan akan menurun ketika bakteri mulai memasuki fase lag dan
kematian.
Perubahan nilai absorbansi pada perlakuan FSL menunjukkan peningkatan
hingga akhir fermentasi, begitu juga dengan bobot hidrolisat protein yang
dihasilkan. Jika dibandingkan perlakuan FS peningkatan nilai absorbansi pada
perlakuan FSL meningkat lebih lambat. Hal serupa juga terjadi pada penelitian
Torino et al. (2012) bahwa asam amino bebas yang terurai dan terlarut di dalam
air pada fermentasi spontan lebih banyak jika dibandingkan dengan fermentasi
menggunakan starter L. plantarum. Asam amino bebas pada fermentasi spontan
meningkat sebanyak 0.9 mmol Leu/g setelah fermentasi 48 jam, sedangkan pada
fermentasi menggunakan L. plantarum hanya meningkat sebanyak
0.5 mmol Leu/g. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Lee et al. (2016)
bahwa aktivitas pemecahan protein pada perlakuan fermentasi dengan
penambahan starter L. plantarum lebih rendah jika dibandingkan dengan
perlakuan fermentasi spontan yang disebabkan oleh adanya penghambatan
pertumbuhan bakteri proteolitik endogenous. Penghambatan tersebut bisa terjadi
karena adanya kompetisi dalam penggunaan nutrisi serta adanya pengaruh
komponen antibakteri yang diproduksi oleh starter bakteri L. plantarum.
Selama proses fermentasi nilai absorbansi dan bobot hidrolisat protein pada
perlakuan FL tidak memperlihatkan adanya peningkatan. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa aktivitas pemecahan protein selama fermentasi pada
perlakuan FL tidak terjadi. Tidak terjadinya pemecahan protein disebabkan oleh
terjadinya proses adaptasi bakteri L. plantarum SK (5) terhadap lingkungan yang
17

baru (Tabel 2). Enzim proteolitik yang dihasilkan oleh bakteri


L. plantarum SK (5) ketika berada pada fase adaptasi diduga memiliki aktivitas
yang sangat rendah, sehingga belum mampu untuk memecah substrat protein
menjadi peptida dan asam amino. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian
Kabadjova-Hristova et al. (2006) bahwa pada fase adaptasi aktivitas proteolitik
yang dihasilkan bakteri Lactobacillus kefir DR22x sangat rendah yaitu sekitar
20 EU/mL, sedangkan pada fase eksponensial aktivitas proteolitik meningkat
tajam hingga mencapai 550 EU/mL.

Aktivitas Antioksidan

Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH. Parameter


yang digunakan untuk menginterpretasikan hasil pengujian adalah nilai IC50 yang
didefinisikan sebagai konsentrasi senyawa antioksidan yang menyebabkan
hilangnya 50% aktivitas DPPH. Hasil pengujian aktivitas antioksidan hidrolisat
protein telur ikan cakalang dapat dilihat pada Gambar 4.

2,0
1,6 1,65

1,6 1,47
1,36
IC50 (mg/mL)

1,2
0,71 0,76
0,8 0,66 0,64 0,66

0,4

0,0
0 48 96
Lama fermentasi (hari)

Gambar 4 Nilai IC50 hidrolisat protein telur ikan cakalang


perlakuan FS ( ), FSL ( ), dan FL ( ).

Aktivitas antioksidan pada hidrolisat protein mengalami perbedaan selama


fermentasi. Nilai IC50 hidrolisat protein perlakuan FS meningkat pada jam ke-48
fermentasi dan selanjutnya tidak terjadi perubahan pada akhir fermentasi. Nilai
IC50 hidrolisat protein perlakuan FSL terus mengalami peningkatan dari awal
hingga akhir fermentasi, sedangkan pada hidrolisat protein perlakuan FL tidak
mengalami perubahan berarti selama fermentasi. Menurut Torino et al. (2012)
aktivitas antioksidan pada hidrolisat protein sangat dipengaruhi oleh jenis peptida
yang terbentuk selama fermentasi, pembentukan peptida ini dipengaruhi oleh
aktivitas dan spesifitas protease bakteri yang berperan dalam fermentasi.
Wu et al. (2003) juga menyatakan bahwa berat molekul dan komposisi asam
amino pada peptida yang terbentuk selama hidrolisis sangat mempengaruhi
aktivitas antioksidan pada hidrolisat protein.
18

Aktivitas antioksidan yang dihasilkan oleh hidrolisat protein perlakuan FS,


FSL dan FL masih lebih rendah dibandingkan dengan aktivitas antioksidan pada
kontrol, yaitu asam askorbat yang memiliki nilai IC50 sebesar 0.016 mg/mL.
Aktivitas antioksidan hidrolisat protein pada penelitian ini masih lebih baik
dibandingkan dengan hasil penelitian Torino et al. (2014) yang melaporkan
bahwa hidrolisat protein ikan sarden (Sardinella aurita) dan ikan pari
(Dasyatis pastinaca) hasil fermentasi dengan bakteri Bacillus subtilis A26
memiliki IC50 sebesar 4.04 mg/mL dan 2.93 mg/mL. Chalamiah et al. (2015) juga
melaporkan bahwa aktivitas antioksidan pada hidrolisat protein telur ikan mas
(Cyprinus carpio) hasil hidrolisis dengan enzim pepsin memiliki IC50 sebesar
2.26 mg/mL.
Peningkatan nilai IC50 yang terjadi pada hidrolisat protein perlakuan FS dan
FSL seiring bertambahnya waktu fermentasi menandakan bahwa terjadi
penurunan aktivitas antioksidan. Samaranayaka (2010) menyatakan bahwa
penurunan aktivitas antioksidan seiring bertambahnya waktu hidrolisis disebabkan
oleh rusaknya urutan peptida antioksidatif yang terbentuk pada tahap awal proses
hidrolisis. Klompong et al. (2007) menambahkan bahwa perubahan ukuran
peptida yang semakin mengecil seiring bertambahnya waktu hidrolisis juga
bertanggung jawab terhadap penurunan aktivitas antioksidan dari hidrolisat
protein. Hal tersebut dikuatkan oleh penelitian You et al. (2008) bahwa hidrolisat
protein ikan loach (Misgurnus anguillicaudatus) yang didominasi oleh ikatan
peptida dengan bobot molekul <500 Da memiliki aktivitas penghambatan
terhadap radikal bebas DPPH lebih rendah dibandingkan dengan hidrolisat protein
yang didominasi oleh ikatan peptida dengan bobot molekul 1000-3000 Da.
Wu et al. (2003) juga melaporkan bahwa dari fraksi bobot molekul hidrolisat
protein ikan makarel (Scomber austriasicus) diketahui bahwa peptida dengan
bobot molekul 1400 Da memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan peptida dengan bobot molekul 900 dan 200 Da.
Cheng et al. (2010) menyatakan bahwa terlalu lama hidrolisis akan
mengakibatkan sifat hidrofobik dari peptida menurun, sehingga kemampuan
berikatan dengan radikal peroksil menjadi berkurang.
Nilai IC50 pada hidrolisat protein perlakuan FL tidak mengalami perubahan
yang berarti setelah dilakukan fermentasi. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya
aktivitas pemecahan protein selama proses fermentasi (Gambar 3), sehingga
kemungkinan peptida antioksidatif tidak dihasilkan. Keberadaan peptida
antioksidatif dari hasil fermentasi sangat diharapkan karena bisa meningkatkan
aktivitas antioksidan pada hidrolisat protein. Elias et al. (2008) menerangkan
bahwa peptida yang terbentuk dari proses hidrolisis protein memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan protein induk atau asam
aminonya. Kim dan Kim (2007) menyatakan bahwa peptida antioksiatif biasanya
terdiri dari 3-20 residu asam amino dan aktivitasnya tergantung pada komposisi
asam amino penyusunnya.
Udenigwe dan Aluko (2011) telah meneliti bahwa jenis asam amino sangat
berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan yang dihasilkan. Asam amino seperti
lisin dan leusin menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi terhadap radikal
superoksida. Asam amino hidrofobik, aromatik, acidic dan asam amino
mengandung gugus sulfur memiliki aktivitas tinggi dalam menghambat radikal
bebas DPPH dan H2O2. Hal ini juga didukung oleh penelitian Chi et al. (2015)
19

yang berhasil mengisolasi peptida dari hidrolisat protein ikan cakalang


(Katsuwonus pelamis). Hasil isolasi didapatkan peptida dengan aktivitas
penghambatan terhadap radikal bebas DPPH tertinggi yaitu
tirosin-isoleusin-valin-tirosin-triptofan yang sebagian besar merupakan asam
amino hidrofobik dan aromatik. Himaya et al. (2012) menambahkan bahwa
keberadaan asam amino hidrofobik di dalam peptida dapat meningkatkan
availabilitas terhadap target yang bersifat hidrofobik seperti membran sel. Posisi
asam amino hidrofobik dan aromatik pada sisi karboksil dan N terminal peptida
juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas antioksidan. Keberadaan
asam amino aromatik pada struktur peptida mampu meningkatkan aktivitas
antioksidan karena dengan mudah mampu mendonorkan proton pada radikal yang
kekurangan elektron dan pada waktu yang bersamaan melalui struktur resonansi
mampu menjaga kestabilannya untuk tidak berubah menjadi radikal bebas lain.
Kim (2013) menyatakan bahwa telah banyak laporan mengenai potensi
aktivitas antioksidan dari peptida bioaktif, tetapi mekanisme yang tepat mendasari
efek antioksidan belum sepenuhnya dijelaskan secara komprehensif. Menurut
Chalamiah et al. (2013) secara umum kemampuan peptida dalam menghambat
radikal DPPH diakibatkan karena kemampuannya dalam mendonorkan elektron,
sehingga membuat radikal bebas menjadi stabil. Molyneux (2004) menerangkan
bahwa radikal DPPH yang mendapatkan donor elektron akan berubah menjadi
bentuk tereduksinya yaitu 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH-H). Proses reduksi
radikal DPPH menjadi DPPH-H ini ditandai dengan terjadinya perubahan warna
dari ungu menjadi kuning pucat.

Aktivitas Antibakteri

Aktivitas antibakteri diuji menggunakan metode difusi sumur agar (agar


well diffusion). Metode ini telah banyak digunakan dalam pengujian antibakteri
karena relatif lebih sederhana dalam pengerjaannya. Kontrol positif yang
digunakan yaitu kloramfenikol yang merupakan antibiotik dengan spektrum luas
dan aktif terhadap banyak bakteri. Aktivitas antibakteri dari hidrolisat protein
telur ikan cakalang diuji terhadap dua jenis bakteri yaitu E. coli dan S. aureus
yang masing-masing mewakili bakteri dari golongan Gram-negatif dan
Gram-positif. Adanya aktivitas antibakteri ditandai dengan terbentuknya zona
hambat terhadap pertumbuhan bakteri di sekitar sumur. Hasil pengujian aktivitas
antibakteri hidrolisat protein telur ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa penggunaan
konsentrasi hidrolisat protein sangat berpengaruh terhadap zona hambat yang
terbentuk, semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin luas zona
hambat yang terbentuk. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Pelczar dan Chan
(2008) bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu bahan antibakteri maka aktivitas
antibakteri yang dihasilkan semakin kuat. Pan et al. (2009) mengkategorikan
besaran diameter zona hambat yang terbentuk pada uji antibakteri yaitu: diameter
zona hambat rendah (0-3 mm), sedang (>3-6 mm) dan diameter zona hambat
tinggi (>6 mm).
20

Tabel 3 Aktivitas antibakteri hidrolisat protein telur ikan cakalang


Konsentrasi Zona Hambat (mm)
Metode
Bakteri Uji (mg/µL) Lama Fermentasi (jam)
Fermentasi
0 48 96
0.25 - - -
FS
0.50 - - -
0.25 - 2.5±0.7 2.5±0.7
E. coli FL
0.50 - 5.5±0.7 5.5±0.7
0.25 - 1.0±0.0 -
FSL 0.50 - 4.5±0.7 1.5±0.7
0.25 - - -
FS
0.50 - - -
0.25 - 2,5±0,7 2.5±0.7
S. aureus FL
0.50 - 6,0±1,4 6.0±1.4
0.25 - 1,5±0,7 -
FSL
0.50 - 4,5±0,7 1.5±0.7
Ket: - = Tidak terbentuk zona hambat

Zona hambat tertinggi terdapat pada perlakuan FL konsentrasi 0.50 mg/µL


dengan lama waktu fermentasi 48 jam. Zona hambat tersebut digolongkan ke
dalam kategori sedang. Hasil tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kontrol kloramfenikol yang memiliki zona hambat terhadap E. coli
sebesar 16±1.4 mm dan S. aureus sebesar 16.5±0.7 mm. Aktivitas antibakteri
pada penelitian ini masih lebih lemah dibandingkan dengan aktivitas antibakteri
hidrolisat protein ikan sardin yang dilaporkan oleh Jemil et al. (2014), yaitu
memiliki zona hambat terhadap E. coli sebesar 12±2.0 mm dan S. aureus sebesar
16±1.0 mm pada konsentrasi 0.2 mg/µL. Senyawa antibakteri pada perlakuan FL
diduga bukan berasal dari peptida melainkan dari asam organik yang dihasilkan
bakteri L. plantarum SK (5) selama fermentasi. Hal tersebut didasari oleh tidak
terjadinya pemecahan protein selama fermentasi (Gambar 3) dan terjadinya
peningkatan asam tertirasi selama fermentasi yang mengakibatkan penurunan pH
hingga mencapai 4 (Tabel 2). Desniar (2012) menyatakan bahwa bakteri
L. plantarum SK (5) mampu menghasilkan senyawa antibakteri berupa asam
laktat. Alakomi et al. (2000) menyatakan bahwa sifat antimikrob dari asam laktat
dikarenakan rendahnya pH. Asam laktat pada pH 4 dapat menyebabkan gangguan
pada permeabilitas membran luar bakteri Escherichia coli, Pseudomonas
aeruginosa dan Salmonella enterica. Ross et al. (2002) menambahkan bahwa
pengaruh antimikroba dari asam organik umumnya mengganggu potensial
membran sel, menghambat transpor aktif, mengurangi pH intraseluler dan
penghambatan bermacam-macam fungsi metabolik. Asam organik mempunyai
aksi yang luas dan dapat menghambat bakteri Gram positif dan Gram negatif,
khamir dan kapang.
Adanya aktivitas antibakteri juga diperlihatkan pada hidrolisat protein
perlakuan FSL. Zona hambat tertinggi terdapat pada konsentrasi 0.5 mg/µL
dengan lama waktu fermentasi 48 jam. Zona hambat tersebut juga termasuk ke
dalam kategori sedang. Aktivitas antibakteri dari hidrolisat protein FSL diduga
berasal dari peptida hasil penguraian protein atau dari senyawa antibakteri yang
dihasilkan oleh L. plantarum SK (5). Hal ini didasari dari terjadinya penguraian
21

protein (Gambar 3) dan meningkatnya asam tertirasi selama fermentasi (Tabel 2).
Chakka et al. (2015) juga menyatakan hal yang serupa bahwa aktivitas antibakteri
pada produk fermentasi berasal dari senyawa antibakteri yang dihasilkan oleh
bakteri asam laktat atau dari peptida hasil penguraian protein.
Menurut Najafian dan Babji (2012) peptida antimikrobial umumnya terdiri
kurang dari 50 gabungan asam amino dengan bobot molekul <10 kDa dan hampir
50% terdiri dari asam amino hidrofobik. Hal ini juga didukung oleh penelitian
Sun et al. (2015) yang berhasil mengisolasi peptida antibakteri dari hidrolisat
protein S. platensis. Peptida tersebut memiliki bobot molekul sebesar 1878.97 Da
dengan sekuen KLVDASHRLATGDVAVRA, serta memiliki rasio hidrofobisitas
sebesar 50%. Peptida yang diisolasi tersebut mampu menghambat pertumbuhan
bakteri E. coli dan S. aureus dengan zona hambat sebesar 16 mm dan 12 mm.
Rosenfeld et al. (2010) melaporkan bahwa peningkatan rasio antara hidrofobisitas
dan muatan positif akan meningkatkan aktivitas antimikroba dan netralisasi
lipopolisakarida bakteri. Aktivitas antimikroba meningkat linier dengan
peningkatan hidrofobisitas peptida, maka peptida dengan hidrofobisitas berbeda
akan berbeda pula aktivitas antimikrobanya. Grau-Campistany et al. (2015)
menyatakan bahwa pembentukan pori transmembran hanya memungkinkan
apabila ada kesesuaian hidrofobisitas yaitu peptida harus mampu meregangkan
lubang pada lipida bilayer pada membran untuk menginduksi kebocoran membran
dan membunuh bakteri.
Zona hambat yang terbentuk pada bakteri S. aureus cenderung memiliki
diameter yang lebih luas dibandingkan dengan zona hambat pada bakteri E. coli.
Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Jemil et al. (2014) bahwa aktivitas antibakteri pada hidrolisat protein ikan sarden
lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif dibandingkan bakteri
Gram-negatif. Sensitivitas penghambatan yang berbeda antara bakteri
Gram-positif dan Gram-negatif disebabkan oleh struktur dinding sel yang
berbeda. Jewestz et al. (2001) menerangkan bahwa struktur dinding sel bakteri
Gram-positif berlapis tunggal dengan kandungan lipid yang rendah (1-4%),
sehingga memudahkan bahan bioaktif masuk ke dalam sel. Struktur dinding sel
bakteri Gram-negatif lebih kompleks, terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan luar
lipoprotein, lapisan tengah lipopolisakarida yang berperan sebagai penghalang
masuknya bahan bioaktif antibakteri dan lapisan dalam berupa peptidoglikan
dengan kandungan lipida tinggi (11-12%).

Komposisi Asam Amino

Pengujian asam amino bertujuan untuk menentukan komposisi asam amino


penyusun dari hidrolisat protein telur ikan cakalang. Hidrolisat protein yang diuji
merupakan hidrolisat protein yang memiliki aktivitas antioksidan dan antibakteri
tertinggi dari masing-masing perlakuan setelah dilakukan proses fermentasi. Hasil
pengujian komposisi asam amino pada hidrolisat protein telur ikan cakalang dapat
dilihat pada Gambar 5.
22

1,2
Kadar asam amino (%)
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0

Gambar 5 Komposisi asam amino hidrolisat protein telur ikan cakalang


perlakuan FS ( ), FSL ( ), dan FL ( ).

Terdapat 17 asam amino penyusun hidrolisat protein telur ikan cakalang


pada perlakuan FS, FL dan FSL dengan lama fermentasi 48 jam. Asam amino
glutamat merupakan asam amino yang keberadaannya paling tinggi pada ketiga
hidrolisat protein, selain itu juga terdapat asam amino hidrofobik (alanin, valin,
metionin, isoleusin, leusin) dan aromatik (fenilalanin, tirosin). Keberadaan asam
amino ini pada struktur peptida diketahui dapat meningkatkan aktivitas
antioksidan dan antibakteri. Udenigwe dan Aluko (2011) menyatakan bahwa asam
amino seperti asam aspartat, asam glutamat dan asam amino hidrofobik
mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat terhadap radikal DPPH.
Chi et al. (2015) menambahkan bahwa keberadaan asam amino yang tergolong
aromatik seperti fenilalanin dan tirosin pada sekuen peptida akan meningkatkan
aktivitas antioksidan dari peptida. Rosenfeld et al. (2010) melaporkan bahwa
peningkatan rasio asam amino yang bersifat hidrofobik pada struktur peptida akan
meningkatkan aktivitas antibakteri dari peptida.
Hidrolisat protein dari ketiga perlakuan fermentasi tersebut juga sangat
berpotensi untuk dijadikan flavour enhancer. Hal tersebut dikarenakan komposisi
asam amino hidrolisat potein telur ikan cakalang didominasi oleh asam glutamat
dan asam aspartat. Ovissipour et al. (2011) menyatakan bahwa asam glutamat,
asam aspartat, glisin dan alanin merupakan asam amino yang berperan dalam
meningkatkan aroma (flavour enhancer) pada produk perikanan.
Komposisi asam amino sangat menentukan kualitas hidrolisat protein,
terutama asam amino esensial. Asam amino esensial adalah jenis yang dibutuhkan
oleh tubuh manusia, namun tubuh tidak mampu memproduksinya sendiri,
sehingga kebutuhannya hanya bisa dicukupi dari asupan makanan. Asam amino
yang termasuk kedalam golongan asam amino esensial meliputi histidin, arginin,
treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin, dan lisin. Asam amino
esensial tertinggi pada hidrolisat protein perlakuan FS adalah fenilalanin,
sedangkan pada hidrolisat protein perlakuan FL dan FSL adalah treonin dan
metionin. Menurut Abdullah et al. (2013) fenilalanin memiliki fungsi mengurangi
rasa sakit dan mengatasi depresi, fenilalanin juga diperlukan oleh kelenjar tiroid
untuk memproduksi tiroksin yang dapat mencegah penyakit gondok. Asam amino
23

treonin memiliki peranan dalam pembentukan kolagen, membantu fungsi hati,


jantung, dan mencegah serangan epilepsi. Asam amino metionin sangat
dibutuhkan tubuh untuk memecah lemak agar tidak terjadi penumpukan di arteri,
serta mengandung belerang yang sangat penting berfungsi sebagai antioksidan
alami pada tubuh.

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Fermentasi pada perlakuan FS memberikan pengaruh terhadap peningkatan


total BAL selama 48 jam fermentasi, sedangkan pada perlakuan FL dan FSL total
BAL cenderung tetap. Perlakuan FS, FL dan FSL mengalami perubahan kimiawi
selama fermentasi yaitu terjadi penurunan nilai pH dan peningkatan total asam
tertitrasi selama 48 jam fermentasi. Aktivitas antioksidan dari hidrolisat protein
perlakuan FS dan FSL mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu
fermentasi, sedangkan untuk hidrolisat protein perlakuan FL tidak mengalami
perubahan dari awal hingga akhir fermentasi. Zona hambat yang tergolong sedang
terjadi pada hidrolisat protein perlakuan FL dan FSL pada konsentrasi 0.5 mg/µL
dengan lama fermentasi 48 jam. Hidrolisat protein terpilih dari perlakuan FS,
FSL dan FL mengandung 17 unsur asam amino. Asam glutamat dan asam aspartat
merupakan asam amino yang paling tinggi keberadaannya.

Saran

Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut tentang potensi peptida bioaktif yang
dihasilkan dari fermentasi ini diantaranya pengujian antihipertensi, antikoagulan
dan imunomodulator. Waktu fermentasi perlu dipersingkat untuk mendapatkan
aktivitas antioksidan yang optimum serta menghindari pembentukan peptida
dengan bobot molekul terlalu kecil. Penelitian selanjutnya bisa menggunakan
kultur bakteri yang lebih beragam untuk melihat potensi peptida bioaktif yang
dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah A, Nurjanah, Hidayat T. Profil asam amino dan asam lemak kerang
bulu. JPHPI. 16(2):159-167.
Ackman RG. 1989. Nutritional composition of fats in seafoods. Prog Food
Nutri Sci. 13(3):161-241.
24

Alakomi HL, Skytta E, Saarela M, Mattila-sandholm T, Latva-kala K, Helander


IM. 2000. Lactic acid permeabilizes gram negative bacteria by
disrupting the outer membrane. Appl Environ Microbiol. 66:2001-2005.
Antara NS, Sujaya IN, Yokota A, Asano K, Tomita F. 2004. Effects of
indigenous starter cultures on the microbial and physicochemical
characteristics of urutan, a balinese fermented sausage. J Biosci Bioeng.
98(2):92-98.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of
Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Virginia (US):
Association of Official Analytical Chemist Inc.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist.
Virginia (US): Association of Official Analytical Chemist, Inc.
Bledsoe GE, Bledsoe CD, Rasco B. 2003. Caviars and fish roe products. Crit
Rev Food Sci Nutr. 43(3):317-356.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992. Cara Uji
Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006a. SNI 01-2332.3-2006. Cara Uji
Mikrobiologi-Bagian 3: Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) Pada
Produk Perikanan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
Chakka AK, Elias M, Jini R, Sakhare PZ, Bhaskar N. 2015. In-vitro antioxidant
and antibacterial properties of fermentatively and enzymatically prepared
chicken liver protein hydrolysates. Journal of Food Science Technology.
52(12):8059-8067
Chalamaiah M, Jyothirmayi T, Diwan PV, Kumar BD. 2015. Antioxidant activity
and functional properties of enzymatic protein hydrolysates from common
carp (Cyprinus carpio) roe (egg). J Food Sci Technol. 52(9):5817-5825.
Chalamaiah M, Kumar B, Hemalatha R. Jyothirmayi T. 2012. Fish protein
hydrolysates: Proximate composition, amino acid composition, antioxidant
activities and applications: a review. Food Chem. 135:3020-3038.
Cheng Y, Xiong Y, Chen J. (2010). Antioxidant and emulsifying properties of
potato protein hydrolysate in soybean oil-in-water emulsions. Food Chem.
120(1):101-108.
Chi CF, Hu FY, Wang B, Li Z, Luo HY. 2015. Influence of Amino Acid
Compositions and Peptide Profiles on Antioxidant Capacities of Two
Protein Hydrolysates from Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) Dark
Muscle. Mar Drugs. 13:2580-2601.
Desniar. 2012. Karakteristik bakteri asam laktat dari produk fermentasi ikan
(bekasam) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Elias RJ, Kellerby SS, Decker EA. 2008. Antioxidant activity of proteins and
peptides. Crit Rev Food Sci Nut. 48:430-441.
Gaman PM, Sherrington. 1994. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikrobiologi. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada University Press.
Gardini F, Ozogul Y, Suzzi G, Tabanelli G, Ozogul F. 2016. Technological
factors affecting biogenic amine content in foods: a review. Front.
Microbiol. 7:12-18.
Grau-Campistany A, Strandberg E, Wadhwani P, Reinchert J, Burk J, Rabana F,
Ulrich AS. 2015. Hidrophobic mismatch demonstrated for membranolytic
25

peptides, and their use as molecular rulers to measure bilayer thickness in


native cells. Sci Rep. 5:9388.
Himaya SWA, Ryu B, Ngo DH, Kim SK. 2012. Peptide isolated from japanese
flounder skin gelatin protects against cellular oxidative damage. J Agric
Food Chem. 60:9112-9119.
Holo H, Nilssen, Ness IF. 1991. Lactococcin A, a new bacteriocin from
Lactococcus lactis subsp. cremoris: isolation and characterization of
the protein and its gene. J Bacteriol. 173(12):3879-3887.
Intarasirisawat R, Benjakul S, Visessanguan W. 2010. Chemical compositions of
the roes from skipjack, tongol and bonito. Food Chem. 124:1328-1334.
Intarasirisawat R, Benjakul S, Visessanguan W, Wu J. 2012. Antioxidative and
functional properties of protein hydrolysate from defatted skipjack
(Katsuwonous pelamis) roe. Food Chem. 135:3039-3048.
Intarasirisawat R, Benjakul S, Visessanguan W, Wu J. 2014. Effects of skipjack
roe protein hydrolysate on properties and oxidative stability of fish emulsion
sausage. Food Sci Tech. 58:280-286.
Jawestz E, Melnick JL, Adelberg EA. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Nani W,
penerjemah. Jakarta (ID): Salemba Medika
Jemil I, Jridi M, Nasri R, Ktari N, Salem RBS, Mehiri M, Hajji M, Nasri M. 2014.
Functional, antioxidant and antibacterial properties of protein hydrolysates
prepared from fish meat fermented by Bacillus subtilis A26. Process
Biochem. 30:1-10.
Kabadjova-Hristova P, Bakalova S, Gocheva B, Moncheva P. 2006. Evidence for
proteolytic activity of Lactobacilli isolated from kefir grains. Biotechnol.
20(2):89-94.
Kim SJ, Kim S. 2007. Purification and characterization of antioxidant peptide
from hoki (Johnius belengerii) frame protein by gastrointestinal
digestion. J Nut Bio. 18(1):31-38.
Kim SK. 2013. Marine Proteins and Peptides, Biological Activities and
Applications. Oxford (UK): John Wiley dan Sons, Ltd.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan RI. 2015. Kelautan dan Perikanan
dalam Angka Tahun 2015. Jakarta (ID): Pusat Data, Statistik dan Informasi.
Kocatepe D, Turan H, Kaya Y, Erden R, Erdogdu F. 2012. Proximate chemical
composition of whiting (Merlangius merlangus euxinus nordmann, 1840)
roe. J Aquat Food Prod T. 21:362-368.
Kristinsson HG, Rasco BA. 2000. Biochemical and functional properties of
Atlantic salmon (Salmo salar) muscle proteins hydrolyzed with various
alkaline proteases. J Agric Food Chem. 48(3):657-666
Kurniati N, Mubarik NR, Desniar. 2015. Optimization of production of protease
Lactobacillus plantarum SK (5) from bekasam with response surface
methodology. J Biotechnol. 12(2):123-130.
Lee HJ, Park SH, Yoon IS, Lee GW, Kim YJ, Kim JS, Heu MS. 2016. Chemical
composition of protein concentrate prepared from Yellowfin tuna
(Thunnus albacares) roe by cook-dried process. Fish Aqua Sci. 19(12):1-8.
Lee YC, Kung HF, Huang YL, Wu CH, Huang YR, Tsai YH. 2016. Reduction of
biogenic amines during miso fermentation by Lactobacillus plantarum as
a starter culture. JFP. 79(9):1556-1561.
26

Luo HY, Wang B, Li ZR, Chi CF, Zhang QH, He GY. 2012. Preparation and
evaluation of antioxidant peptide from papain hydrolysate of Sphyrna
lewini muscle protein. Food Sci Technol. 51:281-288.
Maier RM, Pepper IL, Gerba CP. 2009. Environmental Microbiology. London
(UK): Academic Press, Elsevier. hlm 38-42.
Mahmoud KA, Linder M, Fanni J, Parmentier M. 2008. Characterisation of the
lipid fractions obtained by proteolytic and chemical extractions from
rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) roe. Process Biochem. 43(4):376-
383.
Molyneux P. 2004. The use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazil
(DPPH) for estimating antioxidant activity. J Sci Technol. 26(2):211-219.
Najafian L dan Babji AS. 2011. A review of fish-derived antioxidant and
antimicrobial peptides: their production, assessment, and applications.
Peptides. 33:178-185.
Njinkoue JM, Gouado I. Tchoumbougnang F, Ngueguim JH, Ndinteh DT,
Fomogne-Fodjo CY, Schwigert FJ. 2016. Proximate composition, mineral
content and fatty acid profile of two marine fishes from Cameroonian
coast: Pseudotolithus typus (Bleeker, 1863) and Pseudotolithus elongatus
(Bowdich, 1825). NFS J. 4:27-31.
Suzuki Y, Kosaka M, Shindo K, Kawasumi T, Kimoto-Nira H, Suzuki C. 2013.
Identification of Antioxidants Produced by Lactobacillus plantarum. Biosci
Biotechnol Biochem. 77(6):1299–1302.
Ovissipour M, Kenari AA, Motamedzadegan A, Rasco B, Nazari RM. 2011.
Optimization of protein recovery during hydrolysis of yellowfin tuna
(Thunnus albacares) visceral proteins. J Aquat Food Prod T. 20:148-159.
Pan X, Chen F, Wu T, Tang H, Zhao Z. 2009. The acid, bile tolerance and
antimicrobial property of Lactobacillus acidophilus NIT. Food Cont.
20(6):598-602.
Pelczar MJ, Chan ESC. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. Hadioetomo RS,
Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, Penerjemah. Jakarta (ID): UI-Press.
Terjemahan dari: Elements of Microbiology.
Peper, Ian. Gerba C, Gentry T, Maier R. 2008. Enviromental Microbiology: 2nd
Edition. Salt Lake City (US): Academic Press.
Phakde G, Elavarasan K, Shamasundar BA. 2014. Angiotensin I converting
enzyme (ace) inhibitory activity and antioxidant activity of fermented fish
product ngari as influenced by fermentation period. J Pharm Bio Sci.
5(2):134-142.
Piccinetti C, Natale A Di, Arena P. 2013. Eastern bluefin tuna (Thunnus thynnus)
reproduction and reproductive areas andseason. Sci Pap. 69(2):891-912.
Purbasari D. 2008. Produksi dan karakterisasi hidrolisat protein dari kerang mas
ngur (Atactodea striata) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahajeng M. 2012. Warta ekspor: ikan tuna Indonesia [editorial]. Ditjen PEN.
3(6):9-10.
Rajapakse N, Mendis E, Jung WK, Je JY, Kim Sk. 2004. Purification of a radical
scavenging peptide from fermented mussel sauce and its antioxidant
properties. Food Res Int. 38:175-182
Ray B. 2004. Fundamental Food Microbiology. Ed. ke-3. New York (US): CRC
Press. Hlm 225-231, 483-490.
27

Ricci I, Artacho R, Olalla M. 2010. Milk protein peptides with angiotensin


I converting enzyme inhibitory (ACEI) activity. Crit Rev Food Sci Nut.
50:390-402.
Rieuwpassa FJ, Santoso J, Trilaksani W. 2013. Karakterisasi sifat fungsional
kosentrat protein telur ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis. 5(2): 299-309.
Rosenfeld Y, Lev N, Shai Y. 2010. Effect of the hydrophobicity to net ositive
charge ratio on antibacterial and anti-endotoxin activities of structurally
similar antimicrobial peptide. Biochemistry. 49:853-861.
Ross RP, Morgan S, Hill C. 2002. Preservation and fermentation: past, present
and future. Int J Food Microbiol. 79(1):3-16.
Samaranayaka AGP. 2010. Pacific hake (Merluccius productus) fish protein
hydrolysates with antioxidative properties [tesis]. Vancouver (CA):
University of British Columbia.
Shirai K, Guerrero I, Huerta S, Saucedo G, Castillo A, Gonzales O, Hall GM.
2001. Effect of initial glucose concentration and inoculation level of lactic
acid bacteria in shrimp waste ensilation. EMT J. 28:446-452.
Sikorski EZ. 1990. Seafood: Resources, Nutritional Compotition and
Preservation. Florida (US): CRC Press. Inc.
Stadnik J, Dolatowski Z.J. (2010). Biogenic amines in meat and fermented meat
products. Acta Sci Pol Technol Aliment. 9(3):251-263.
Sun Y, Chang R, Li Q, Li B. 2015. Isolation and characterization of an
antibacterial peptide from protein hydrolysates of Spirulina platensis. Eur
Food Res Technol. 242(5):685-692.
Torino MI, Limon RI, Martinez-villaleunga C, Makinen S, Pihlanto A,Vidal-
valverde C, Frias Juana. 2012. Antioxidant and antihypertensive properties
of liquid and solid state fermented lentils. Food Chem. 136:1030-1037.
Udenigwe CC, Aluko RE. 2011. Chemometric analysis of the amino acid
requirement of antioxidant food protein hydrolysates. Int J Mol Sci. 12(5):
3148-3161.
Vuorela R, Kaitaranta J, Linko R. 1979. Proximate composition of fish roe in
relation to maturity. J Inst Can Sci Technol Aliment. 12(4):186-188.
Wang NS. 2009. Amino acid assay by ninhidrin colorimetric method [Internet].
[diunduh 2016 April 25. Tersedia pada: https://terpconnect.umd.edu/~nsw/
ench485/lab3a.htm.
Wu Hui-chun, Chen HM, Shiau CY. 2003. Free amino acids and peptides as
related to antioxidant properties in protein hydrolysates of mackerel
(Scomber austriasicus). Food Res. 36:949-957.
Yarnpakdee S, Benjakul S, Nalinanon S, Kristinsson H G. 2012. Lipid oxidation
and fishy odour development in protein hydrolysate from nile tilapia
(Oreochromis niloticus) muscle as affected by freshness and antioxidants.
Food Chem. 132:1781-1788.
Yin LJ, Pan CL, Jiang ST. 2002. Effect of lactic acid bacterial fermentation
On the characteristics of minced mackerel. J Food Sci. 67(2):786-792.
You, L. Zhao M, Cui C, Zhao H, Yang B. 2009. Effect of degree of hydrolysis on
the antioxidant activity of loach (Misgurnus anguillicaudatus) protein
hydrolysates. IFSET. 10:235-240.
28

Zaman MZ, Bakar FA, Selamat J, Bakar J. 2010. Occurrence of biogenic amines
and amines degrading bacteria in fish sauce. Czech J Food Sci. 28(5):440-
449.
29

LAMPIRAN
30

Lampiran 1 Nilai absorbansi pada pengujian ninhidrin dan bobot hidrolisat


protein yang dihasilkan dari proses fermentasi telur ikan cakalang

Nilai
Bobot
Lama absorbansi
Perlakuan hidrolisat
fermentasi (570 nm)
fermentasi protein
(jam) pengujian
(mg/L)
ninhidrin
0 0.21±0.04 42.5±4.13
FS 48 1.93±0.05 78.7±1.66
96 1.98±0.01 77.5±3.31
0 0.20±0.03 40.41±1.04
FL 48 0.25±0.03 41.17±2.18
96 0.28±0.02 41.91±2.88
0 0.23±0.04 43.25±1.15
FSL 48 0.82±0.07 66.58±1.70
96 1.65±0.18 78.5±1.25

Lampiran 2 Perhitungan konsentrasi hidrolisat protein dan kontrol positif yang


digunakan pada pengujian aktivitas antibakteri

 Konsentrasi hidrolisat protein


a. Konsentrasi 0.50 mg/
=
x = 300
Hidrolisat protein sebanyak 150 mg dilarutkan dengan akuades sebanyak
300 .

b. Konsentrasi 0.25 mg
Sediaan hidrolisat protein konsentrasi 0.50 mg/ diambil 150 dan
ditambahkan dengan akuades sebanyak 150

 Kloramfenikol
Konsentrasi 0.015 mg/
=
x = 1000
Kloramfenikol sebanyak 15 mg dilarutkan dengan akuades sebanyak 1000 .
31

Lampiran 3 Profil asam amino hidrolisat protein

Jenis asam amino Kadar Asam Amino (%)


FS FSL FL
Asam aspartat 0.46 0.48 0.52
Asam glutamat 0.97 1.12 1.04
Serin 0.30 0.33 0.28
Glisin 0.28 0.34 0.30
Histidin 0.21 0.26 0.24
Arginin 0.33 0.42 0.51
Treonin 0.29 0.32 0.40
Alanin 0.37 0.25 0.29
Prolin 0.20 0.19 0.15
Tyrosin 0.21 0.20 0.19
Valin 0.25 0.24 0.26
Metionin 0.29 0.37 0.31
Sistein 0.34 0.26 0.16
Iso-leusin 0.18 0.24 0.24
Leusin 0.29 0.30 0.28
Phenil alanin 0.32 0.25 0.35
Lisin 0.28 0.30 0.31
32

RIWAYAT HIDUP

Rifki Prayoga Aditia dilahirkan di Lampung Timur,


30 Maret 1991 sebagai anak pertama dari pasangan Istoyo dan
Rofiatun. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Diponegoro, lulus pada tahun 2014.
Penulis melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2) di Institut
Pertanian Bogor (IPB) tahun 2014 pada Program Studi
Teknologi Hasil Perairan.
Penulis melakukan penelitian tesis dengan judul “Aktivitas Antioksidan dan
Antibakteri Hidrolisat Protein Hasil Fermentasi Telur Ikan Cakalang” sebagai
syarat untuk menyelesaikan studi program Magister pada Program Studi
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai