Hidrolisat Protein
Hidrolisat Protein
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Telur ikan cakalang sebagai hasil samping pengolahan ikan asap dan ikan
kayu potensial dimanfaatkan sebagai hidrolisat protein. Hidrolisis menggunakan
fermentasi bakteri diharapkan menghasilkan peptida bioaktif yang bersifat
antioksidan dan antibakteri pada hidrolisat protein telur ikan cakalang. Penelitian
ini bertujuan untuk: (1) menentukan pengaruh fermentasi spontan dan tidak
spontan (starter) terhadap karakteristik mikrobiologi dan kimiawi selama
fermentasi telur ikan cakalang; (2) menentukan aktivitas antioksidan dan
antibakteri hidrolisat protein telur ikan cakalang dan; (3) menentukan profil asam
amino dari hidrolisat protein telur ikan cakalang.
Pembuatan hidrolisat protein menggunakan 3 perlakuan fermentasi yaitu:
(1) fermentasi spontan (FS); (2) fermentasi menggunakan starter tunggal
L. plantarum SK (5) (FL) dan; (3) fermentasi menggunakan bakteri endogenous
serta ditambah bakteri L. plantarum SK (5) (FSL). Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa total BAL (bakteri asam laktat) pada perlakuan FS
mengalami peningkatan selama 48 jam fermentasi dan selanjutnya menurun
hingga akhir fermentasi. Total BAL pada perlakuan FSL mengalami perubahan
yang statis selama fermentasi, sedangkan pada perlakuan FL total BAL
mengalami penurunan selama 48 jam fermentasi dan kemudian cenderung statis
hingga akhir fermentasi. Total mikroba aerob pada perlakuan FS dan FSL
mengalami penurunan hingga jam ke-48 fermentasi dan kemudian jumlahnya
sama dengan total BAL, sedangkan pada perlakuan FL total mikroba aerob dari
awal hingga akhir fermentasi jumlahnya sama dengan total BAL. Peningkatan
total asam terjadi pada ketiga perlakuan hingga jam ke-48 fermentasi yang diikuti
oleh penurunan nilai pH. Nilai absorbansi pengujian asam amino bebas dan bobot
hidrolisat protein pada perlakuan FS meningkat paling tinggi selama fermentasi,
sedangkan pada perlakuan FL cenderung tetap dari awal hingga akhir fermentasi.
Aktivitas antioksidan dari hidrolisat protein perlakuan FS dan FSL
mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu fermentasi, sedangkan pada
perlakuan FL tidak terjadi perubahan selama fermentasi. Hasil pengujian aktivitas
antibakteri menunjukkan bahwa zona hambat teringgi dengan kategori sedang
terjadi pada hidrolisat protein perlakuan FL dan FSL pada konsentrasi 0.5 mg/µL
dengan lama fermentasi 48 jam. Hidrolisat protein terpilih dari perlakuan FS, FSL
dan FL mengandung 17 unsur asam amino. Asam amino yang paling tinggi
keberadaannya adalah asam glutamat dan asam aspartat.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERI
HIDROLISAT PROTEIN HASIL FERMENTASI
TELUR IKAN CAKALANG
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Asadatun Abdullah, SPi MSM MSi
Judul Tesis : Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Hidrolisat Protein Hasil
Fermentasi Telur Ikan Cakalang
Nama : Rifki Prayoga Aditia
NIM : C351140211
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini berjudul Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri
Hidrolisat Protein Hasil Fermentasi Telur Ikan Cakalang. Tesis ini merupakan
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister sains (MSi) di Program
Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Desniar, SPi MSi
sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Wini Trilaksani, MSc sebagai
anggota komisi pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Teknologi Hasil
Perairan yang banyak memberikan arahan, bimbingan, saran dan dukungan
selama proses penelitian dan penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Dr Asadatun Abdullah, SPi MSM MSi selaku penguji luar komisi
dan Dr Eng Uju, SPi MSi selaku perwakilan gugus kendali mutu yang telah
memberikan banyak saran untuk perbaikan tesis ini. Penghargaan yang tinggi
penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang telah mendukung dan banyak
memanjatkan doa untuk kelancaran dalam menimba ilmu di Institut Pertanian
Bogor. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman
pascasarjana THP 2014 dan para staf Laboratorium Program Studi Teknologi
Hasil Perairan atas bantuannya selama penelitian.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis
ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
2 METODE PENELITIAN 3
Waktu dan Tempat 3
Bahan dan Alat 3
Prosedur Penelitian 3
Prosedur Analisis 5
Analisis Data 10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Karakteristik dan Komposisi Kimia Telur Ikan Cakalang 10
Pertumbuhan dan Aktivitas Pengasaman oleh Bakteri selama
Fermentasi Telur Ikan Cakalang 12
Aktivitas Proteolitik Bakteri selama Fermentasi 14
Aktivitas Antioksidan 17
Aktivitas Antibakteri 19
Komposisi Asam Amino 21
4 SIMPULAN DAN SARAN 23
Simpulan 23
Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 23
LAMPIRAN 29
RIWAYAT HIDUP 33
DAFTAR TABEL
1 Komposisi kimia telur ikan cakalang, tongkol dan tuna sirip kuning 11
2 Pertumbuhan dan aktivitas pengasaman oleh bakteri selama fermentasi
telur ikan cakalang 12
3 Aktivitas antibakteri hidrolisat protein telur ikan cakalang 20
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Produksi perikanan tangkap Indonesia pada tahun 2015 mencapai 6 juta ton,
angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil ikan terbesar
kedua di dunia setelah Tiongkok. Salah satu komoditas utama yang memiliki
kontribusi besar dalam industri perikanan tangkap Indonesia adalah ikan cakalang
(Katsuwonous pelamis). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementrian
Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2015 jumlah tangkapan ikan ini mencapai
507 ribu ton atau 8.37% dari total produksi perikanan tangkap Indonesia
(KKP 2015). Ikan jenis ini banyak dimanfaatkan untuk dijadikan bahan baku ikan
kayu dan cakalang asap (Rahajeng 2012; Rieuwpassa et al. 2013).
Industri pengolahan ikan cakalang (Katsuwonous pelamis) pada umumnya
banyak menyisakan hasil samping berupa telur. Sebagian besar telur ikan yang
dihasilkan dari industri tersebut banyak yang tidak termanfaatkan dan hanya
terbuang begitu saja (Rieuwpassa et al. 2013). Telur ikan cakalang memiliki
proporsi 1.5-3% dari bobot tubuh serta memiliki kandungan protein yang cukup
tinggi yaitu sebesar 20.15% (Bledsoe et al. 2003; Intarasirisawat et al. 2010).
Perlu dilakukan upaya penanganan dan pemanfaatan telur ikan cakalang untuk
meningkatkan nilai tambah, serta mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan.
Telur ikan cakalang dapat dimanfaatkan menjadi hidrolisat protein ikan.
Hidrolisat protein ikan merupakan produk yang dihasilkan dari penguraian protein
ikan menjadi peptida sederhana dan asam amino melalui proses hidrolisis oleh
enzim, asam, basa dan fermentasi (Jemil et al. 2014; Kristinsson dan Rasco 2000).
Hidrolisat protein pada umumnya digunakan sebagai bahan tambahan pangan
karena memiliki nilai gizi yang tinggi berupa asam amino, selain itu hidrolisat
protein juga biasa dimanfaatkan sebagai flavour enhancer dan bahan pengemulsi
(Intarasirisawat et al. 2012; Ovissipour et al. 2011). Hasil dari berbagai penelitian
menyebutkan bahwa peptida yang terdapat dalam hidrolisat protein ternyata
memiliki sifat bioaktif diantaranya yaitu bersifat antioksidan dan antibakteri
(Najafian dan Babji 2011; Jemil et al. 2014).
Antioksidan dan antibakteri sangat berguna bagi bidang kesehatan dan
pangan. Antioksidan sering digunakan dalam bentuk suplemen untuk membantu
meningkatkan kesehatan tubuh dan mengurangi resiko terjadinya penyakit akibat
radikal bebas seperti kanker, diabetes, penuaan dini, dan jantung koroner.
Antioksidan dan antibakteri juga digunakan sebagai pengawet untuk mencegah
terjadinya oksidasi lemak serta membantu menghambat pertumbuhan bakteri
penyebab kebusukan pada makanan (Intarasirisawat et al. 2014; Najafian dan
Babji 2011). Hidrolisat protein yang memiliki aktivitas antioksidan juga bisa
dijadikan sebagai alternatif pengganti antioksidan sintetis seperti butylated
hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluena (BHT), dan prophyl gallate
(PG) yang diketahui mampu menginduksi kerusakan DNA serta menimbulkan
toksik pada bahan pangan (Luo et al. 2012).
Fermentasi merupakan teknik tertua dalam pengawetan makanan, selain
rendah biaya, fermentasi juga dapat menghasilkan produk yang memiliki nilai gizi
tinggi (Phakde et al. 2014). Torino et al. (2012) menyatakan bahwa peptida
2
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
2 METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2016 sampai Februari 2017
di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil
Perairan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah telur ikan cakalang
yang didapat dari hasil samping pengolahan ikan cakalang asap di Desa Galala
Kota Ambon, Provinsi Maluku. Bakteri yang digunakan sebagai starter
fermentasi yaitu Lactobacillus plantarum SK (5) koleksi (Desniar 2012). Bahan
lain yang digunakan meliputi deMan Rogosa and Sharpe Agar (MRSA), deMan
Rogosa and Sharpe Broth (MRSB), Plate Count Agar (PCA), Mueller Hinton
Agar (MHA), CaCO3, glukosa, NaOH, phenolphthalein, dan 2,2-diphenyl-1-
picrylhydrazyl (DPPH). Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
inkubator (IS900 Yamato), autoklaf (SM52 Yamato), oven drying sterilizer
(SH62), HPLC, homogenizer (Nissel AMS), centrifuge (himac CR 21G),
spektrofotometer UV-Vis dan freeze dryer.
Prosedur Penelitian
Penghancuran sampel
Homogenisasi dengan
akuades steril 1:2 (w/v)
Pemasukan sampel ke
wadah fermentasi
Kultur
L. plantarum SK (5)
10%
Sampel diberi kode FS Sampel diberi kode FL Sampel diberi kode FSL
Fermentasi selama 96
jam pada suhu 37 oC
secara mikroaerofilik - Penghitungan
total mikroba
Pengamatan sampel pada jam dan total BAL
ke-0, 48, dan 96 jam - Analisis pH dan
total asam
tertitrasi
Inaktivasi BAL pada suhu 95 oC
selama 15 menit
Prosedur Analisis
( )
Nitrogen (%) =
dalam inkubator untuk media PCA sedangkan untuk media MRSA diinkubasi
dengan kondisi mikroaerofilik pada suhu 37 oC selama 48 jam. Pengamatan
dilakukan dengan cara menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri.
Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni
bakteri antara 25-250 koloni dengan rumus perhitungan sebagai berikut:
N = [( ) ( )] ( )
pH (AOAC 1995)
Elektroda pH meter dicelupkan ke dalam larutan sampel sampai muncul
hasil yang stabil kemudian catat pH sampel tersebut. Elektroda kemudian dibilas
dengan akuades dan dikeringkan.
Total Asam =
Keterangan :
C = Konsentrasi standar asam amino (μg/mL)
FP = faktor pengenceran
BM = Bobot molekul dari masing-masing asam amino (g/mol)
Kondisi HPLC pada saat berlangsungnya hidrolisis asam amino adalah
sebagai berikut:
Kolom : Ultra techspere
Laju aliran fase mobil : 1 mL/menit
Detektor : Fluoresensi
Fase mobil : Bufer A(Na-Asetat, Na-EDTA, Metanol, THF), Bufer B
(methanol 95% dan air)
Panjang gelombang : 350-450 nm
Analisis Data
Data hasil penelitian merupakan hasil rata-rata dari tiga kali ulangan beserta
nilai standar deviasinya yang diolah menggunakan Microsoft Excel 2010. Data
tersebut dianalisis secara deskriptif, disajikan dalam bentuk grafik, diagram dan
tabel.
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan hidrolisat protein adalah telur
ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Telur ikan cakalang didapatkan dari hasil
samping industri pengolahan ikan cakalang asap di Desa Galala, Kota Ambon,
Maluku. Adapun karakteristik fisik telur ikan cakalang dapat dilihat pada Gambar
2.
11
Telur ikan yang dalam bahasa inggris disebut fish roe merupakan kumpulan
oosit yang membentuk untaian (Mahmoud et al. 2008). Telur ikan cakalang
memiliki proporsi sekitar 1.5-3% dari bobot tubuh ikan (Bledsoe et al. 2003).
Telur ikan terdiri dari 11% albumin, 75% ovoglobulin dan 13% kolagen
(Sikorsi 1994). Sel telur pada ikan seluruhnya terisi oleh kuning telur. Kuning
telur yang berada pada bagian tengah keadaannya lebih pekat dari pada bagian
pinggir karena adanya sitoplasma yang banyak terdapat pada sekeliling telur.
Telur ikan pada umumnya berbentuk bulat dengan diameter yang bervariasi
menurut spesies (Piccinetti et l. 2013). Komposisi kimia pada telur ikan cakalang,
tongkol dan tuna sirip kuning disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia telur ikan cakalang, tongkol dan tuna sirip kuning
Tuna sirip
Komposisi kimia (%) Cakalang Tongkol*
kuning**
Air (%) 75.53±0.35 72.23±0.96 77.3±0.10
Protein (%) 20.29±0.10 18.44±0.27 18.20±0.00
Lemak (%) 1.69±0.13 5.68±0.11 2.4±0.10
Abu (%) 1.95±0.05 2.10±0.29 1.5±0.20
Karbohidrat (by difference) (%) 0.54±0.43 1.55±0.11 0.6±0.00
Sumber: * = Intarasirisawat et al. (2010)
** = Lee et al. (2016)
Komposisi kimia paling dominan pada telur ikan setelah air adalah protein
(Tabel 1). Kadar protein pada telur ikan cakalang memiliki presentase lebih tinggi
jika dibandingkan dengan protein pada ikan tongkol dan tuna sirip kuning. Telur
ikan cakalang pada penelitian ini tergolong memiliki kadar protein tinggi.
Bledsoe et al. (2003) menyatakan bahwa telur ikan dikategorikan berprotein
tinggi apabila memiliki kadar protein lebih dari 16%. Kocatepe et al. (2012)
menyatakan bahwa kadar protein pada telur ikan erat kaitannya dengan tinggi
rendahnya kadar air. Rendahnya kadar air akan berdampak pada tingginya kadar
protein pada telur ikan, begitu juga sebaliknya. Sikorsi (1990) menambahkan
bahwa ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam
jumlah besar. Vuorela et al. (1979) menyatakan bahwa kadar protein pada telur
ikan juga tergantung pada tingkat kematangan gonad, semakin tinggi tingkat
kematangannya maka kadar proteinnya semakin meningkat.
12
Hasil uji komposisi kimia telur ikan cakalang menunjukkan bahwa kadar
lemak pada telur ikan cakalang memiliki presentase paling kecil dibandingkan
dengan ikan tongkol dan tuna sirip kuning. Kadar lemak telur ikan cakalang pada
penelitian ini tergolong sangat rendah. Ackman (1989) menyatakan bahwa ikan
dapat dikategorikan menjadi 4 golongan berdasarkan kandungan lemak pada
tubuhnya yaitu ikan berlemak sangat rendah (<2%), berlemak rendah (2-4%),
berlemak sedang (4-8%) dan berlemak tinggi (>8%).
Berdasarkan hasil pengujian komposisi kimia telur ikan cakalang dapat
disimpulkan, bahwa telur ikan cakalang sangat berpotensi dijadikan produk
hidrolisat protein ikan. Alasan tersebut didasari oleh tingginya kadar protein dan
rendahnya kadar lemak yang terkandung di dalam telur ikan cakalang.
Chalamaiah et al. (2012) menyatakan bahwa hasil samping pengolahan ikan yang
mengandung protein tinggi sangat cocok apabila dimanfaatkan menjadi hidrolisat
protein ikan. Hidrolisat protein ikan merupakan produk hasil penguraian protein
ikan menjadi peptida rantai pendek dan asam amino. Yarnpakdee et al. (2012)
menyatakan bahwa tingginya lemak pada bahan baku hidrolisat protein akan
berdampak pada mudahnya hidrolisat protein mengalami oksidasi lemak. Hal
tersebut akan mengakibatkan timbulnya aroma yang tidak sedap seperti bau amis
pada hidrolisat protein ikan.
proses fermentasi (Torino et al. 2012). Keberadaan asam amino bebas yang
terlarut di dalam air dapat dianalisis secara kuantitatif menggunakan metode
ninhidrin (2,2-dihydroxyindane-1,3-dione). Prinsip dari metode ini yaitu melihat
perubahan warna yang terjadi pada ninhidrin, dari semula berwarna kuning akan
berubah menjadi ungu apabila bereaksi dengan asam amino (Wang 2009).
Penghitungan bobot hidrolisat protein juga merupakan salah satu parameter yang
dapat digunakan untuk melihat aktivitas pemecahan substrat protein oleh bakteri
selama proses fermentasi. Semakin banyak peptida dan asam amino yang
dihasilkan selama fermentasi maka akan semakin meningkat bobot produk
hidrolisat protein yang dihasilkan (Purbasari 2008). Hasil pengujian ninhidrin dan
penghitungan bobot hidrolisat protein disajikan pada Gambar 3.
(A)
2,0
Absorbansi 570 nm
1,6
1,2
0,8
0,4
0,0
0 48 96
Lama fermentasi (jam)
(B)
80
Bobot hidrolisat protein (g/L)
70
60
50
40
30
0 48 96
Lama fermentasi (jam)
Gambar 3 Nilai absorbansi pada pengujian ninhidrin (A) dan bobot hidrolisat
protein selama fermentasi telur ikan cakalang (B) pada perlakuan
FS ( ), FSL ( ) dan FL ( ).
sebanyak 8.7% setelah dihirolisis selama 12 jam. Peningkatan rendemen ini juga
diikuti oleh peningkatan nilai absorbansi pada pengujian ninhidrin yaitu
meningkat dari 0.281 menjadi 0.445. Wang (2009) menyatakan bahwa terjadinya
peningkatan absorbansi pada pengujian ninhidrin disebabkan oleh semakin
banyaknya keberadaan asam amino bebas di dalam sampel. Ninhidrin akan
bereaksi dengan asam amino bebas membentuk aldehida dengan satu atom C
lebih pendek dari asam amino asalnya dan melepaskan molekul NH3 dan CO2.
Ninhidrin yang telah bereaksi akan membentuk hidrindantin. Hasil positif ditandai
dengan terbentuknya kompleks berwarna biru/keunguan yang disebabkan oleh
molekul ninhidrin dan hidrindantin yang bereaksi dengan NH3 setelah asam amino
tersebut dioksidasi.
Nilai absorbansi pada perlakuan FS meningkat selama 48 jam fermentasi
dan cenderung tidak mengalami perubahan yang berarti pada jam ke-96
fermentasi. Hal yang serupa juga terjadi pada bobot hidrolisat protein yang
dihasilkan, yaitu terjadi peningkatan bobot sebanyak 36.17 mg/L selama 48 jam
fermentasi dan cenderung tidak berubah pada akhir fermentasi. Aktivitas
pemecahan protein pada perlakuan FS ini bisa dikaitkan dengan aktivitas
pertumbuhan BAL yang terjadi selama fermentasi. Terjadinya aktivitas
pemecahan protein yang sangat tinggi selama 48 jam fermentasi dikarenakan BAL
sedang mengalami fase log, sedangkan aktivitas pemecahan yang rendah setelah
48 jam fermentasi dikarenakan BAL mulai memasuki fase kematian (Tabel 2).
Menurut Ricci et al. (2010) pemecahan protein menjadi peptida dan asam amino
bebas selama fermentasi disebabkan oleh aktivitas proteolitik dari bakteri.
Menurut Kabadjova-Hristova et al. (2006) aktivitas proteolitik dari bakteri akan
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah sel bakteri di dalam suatu media
pertumbuhan dan akan menurun ketika bakteri mulai memasuki fase lag dan
kematian.
Perubahan nilai absorbansi pada perlakuan FSL menunjukkan peningkatan
hingga akhir fermentasi, begitu juga dengan bobot hidrolisat protein yang
dihasilkan. Jika dibandingkan perlakuan FS peningkatan nilai absorbansi pada
perlakuan FSL meningkat lebih lambat. Hal serupa juga terjadi pada penelitian
Torino et al. (2012) bahwa asam amino bebas yang terurai dan terlarut di dalam
air pada fermentasi spontan lebih banyak jika dibandingkan dengan fermentasi
menggunakan starter L. plantarum. Asam amino bebas pada fermentasi spontan
meningkat sebanyak 0.9 mmol Leu/g setelah fermentasi 48 jam, sedangkan pada
fermentasi menggunakan L. plantarum hanya meningkat sebanyak
0.5 mmol Leu/g. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Lee et al. (2016)
bahwa aktivitas pemecahan protein pada perlakuan fermentasi dengan
penambahan starter L. plantarum lebih rendah jika dibandingkan dengan
perlakuan fermentasi spontan yang disebabkan oleh adanya penghambatan
pertumbuhan bakteri proteolitik endogenous. Penghambatan tersebut bisa terjadi
karena adanya kompetisi dalam penggunaan nutrisi serta adanya pengaruh
komponen antibakteri yang diproduksi oleh starter bakteri L. plantarum.
Selama proses fermentasi nilai absorbansi dan bobot hidrolisat protein pada
perlakuan FL tidak memperlihatkan adanya peningkatan. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa aktivitas pemecahan protein selama fermentasi pada
perlakuan FL tidak terjadi. Tidak terjadinya pemecahan protein disebabkan oleh
terjadinya proses adaptasi bakteri L. plantarum SK (5) terhadap lingkungan yang
17
Aktivitas Antioksidan
2,0
1,6 1,65
1,6 1,47
1,36
IC50 (mg/mL)
1,2
0,71 0,76
0,8 0,66 0,64 0,66
0,4
0,0
0 48 96
Lama fermentasi (hari)
Aktivitas Antibakteri
protein (Gambar 3) dan meningkatnya asam tertirasi selama fermentasi (Tabel 2).
Chakka et al. (2015) juga menyatakan hal yang serupa bahwa aktivitas antibakteri
pada produk fermentasi berasal dari senyawa antibakteri yang dihasilkan oleh
bakteri asam laktat atau dari peptida hasil penguraian protein.
Menurut Najafian dan Babji (2012) peptida antimikrobial umumnya terdiri
kurang dari 50 gabungan asam amino dengan bobot molekul <10 kDa dan hampir
50% terdiri dari asam amino hidrofobik. Hal ini juga didukung oleh penelitian
Sun et al. (2015) yang berhasil mengisolasi peptida antibakteri dari hidrolisat
protein S. platensis. Peptida tersebut memiliki bobot molekul sebesar 1878.97 Da
dengan sekuen KLVDASHRLATGDVAVRA, serta memiliki rasio hidrofobisitas
sebesar 50%. Peptida yang diisolasi tersebut mampu menghambat pertumbuhan
bakteri E. coli dan S. aureus dengan zona hambat sebesar 16 mm dan 12 mm.
Rosenfeld et al. (2010) melaporkan bahwa peningkatan rasio antara hidrofobisitas
dan muatan positif akan meningkatkan aktivitas antimikroba dan netralisasi
lipopolisakarida bakteri. Aktivitas antimikroba meningkat linier dengan
peningkatan hidrofobisitas peptida, maka peptida dengan hidrofobisitas berbeda
akan berbeda pula aktivitas antimikrobanya. Grau-Campistany et al. (2015)
menyatakan bahwa pembentukan pori transmembran hanya memungkinkan
apabila ada kesesuaian hidrofobisitas yaitu peptida harus mampu meregangkan
lubang pada lipida bilayer pada membran untuk menginduksi kebocoran membran
dan membunuh bakteri.
Zona hambat yang terbentuk pada bakteri S. aureus cenderung memiliki
diameter yang lebih luas dibandingkan dengan zona hambat pada bakteri E. coli.
Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Jemil et al. (2014) bahwa aktivitas antibakteri pada hidrolisat protein ikan sarden
lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif dibandingkan bakteri
Gram-negatif. Sensitivitas penghambatan yang berbeda antara bakteri
Gram-positif dan Gram-negatif disebabkan oleh struktur dinding sel yang
berbeda. Jewestz et al. (2001) menerangkan bahwa struktur dinding sel bakteri
Gram-positif berlapis tunggal dengan kandungan lipid yang rendah (1-4%),
sehingga memudahkan bahan bioaktif masuk ke dalam sel. Struktur dinding sel
bakteri Gram-negatif lebih kompleks, terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan luar
lipoprotein, lapisan tengah lipopolisakarida yang berperan sebagai penghalang
masuknya bahan bioaktif antibakteri dan lapisan dalam berupa peptidoglikan
dengan kandungan lipida tinggi (11-12%).
1,2
Kadar asam amino (%)
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
Simpulan
Saran
Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut tentang potensi peptida bioaktif yang
dihasilkan dari fermentasi ini diantaranya pengujian antihipertensi, antikoagulan
dan imunomodulator. Waktu fermentasi perlu dipersingkat untuk mendapatkan
aktivitas antioksidan yang optimum serta menghindari pembentukan peptida
dengan bobot molekul terlalu kecil. Penelitian selanjutnya bisa menggunakan
kultur bakteri yang lebih beragam untuk melihat potensi peptida bioaktif yang
dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah A, Nurjanah, Hidayat T. Profil asam amino dan asam lemak kerang
bulu. JPHPI. 16(2):159-167.
Ackman RG. 1989. Nutritional composition of fats in seafoods. Prog Food
Nutri Sci. 13(3):161-241.
24
Luo HY, Wang B, Li ZR, Chi CF, Zhang QH, He GY. 2012. Preparation and
evaluation of antioxidant peptide from papain hydrolysate of Sphyrna
lewini muscle protein. Food Sci Technol. 51:281-288.
Maier RM, Pepper IL, Gerba CP. 2009. Environmental Microbiology. London
(UK): Academic Press, Elsevier. hlm 38-42.
Mahmoud KA, Linder M, Fanni J, Parmentier M. 2008. Characterisation of the
lipid fractions obtained by proteolytic and chemical extractions from
rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) roe. Process Biochem. 43(4):376-
383.
Molyneux P. 2004. The use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazil
(DPPH) for estimating antioxidant activity. J Sci Technol. 26(2):211-219.
Najafian L dan Babji AS. 2011. A review of fish-derived antioxidant and
antimicrobial peptides: their production, assessment, and applications.
Peptides. 33:178-185.
Njinkoue JM, Gouado I. Tchoumbougnang F, Ngueguim JH, Ndinteh DT,
Fomogne-Fodjo CY, Schwigert FJ. 2016. Proximate composition, mineral
content and fatty acid profile of two marine fishes from Cameroonian
coast: Pseudotolithus typus (Bleeker, 1863) and Pseudotolithus elongatus
(Bowdich, 1825). NFS J. 4:27-31.
Suzuki Y, Kosaka M, Shindo K, Kawasumi T, Kimoto-Nira H, Suzuki C. 2013.
Identification of Antioxidants Produced by Lactobacillus plantarum. Biosci
Biotechnol Biochem. 77(6):1299–1302.
Ovissipour M, Kenari AA, Motamedzadegan A, Rasco B, Nazari RM. 2011.
Optimization of protein recovery during hydrolysis of yellowfin tuna
(Thunnus albacares) visceral proteins. J Aquat Food Prod T. 20:148-159.
Pan X, Chen F, Wu T, Tang H, Zhao Z. 2009. The acid, bile tolerance and
antimicrobial property of Lactobacillus acidophilus NIT. Food Cont.
20(6):598-602.
Pelczar MJ, Chan ESC. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. Hadioetomo RS,
Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, Penerjemah. Jakarta (ID): UI-Press.
Terjemahan dari: Elements of Microbiology.
Peper, Ian. Gerba C, Gentry T, Maier R. 2008. Enviromental Microbiology: 2nd
Edition. Salt Lake City (US): Academic Press.
Phakde G, Elavarasan K, Shamasundar BA. 2014. Angiotensin I converting
enzyme (ace) inhibitory activity and antioxidant activity of fermented fish
product ngari as influenced by fermentation period. J Pharm Bio Sci.
5(2):134-142.
Piccinetti C, Natale A Di, Arena P. 2013. Eastern bluefin tuna (Thunnus thynnus)
reproduction and reproductive areas andseason. Sci Pap. 69(2):891-912.
Purbasari D. 2008. Produksi dan karakterisasi hidrolisat protein dari kerang mas
ngur (Atactodea striata) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahajeng M. 2012. Warta ekspor: ikan tuna Indonesia [editorial]. Ditjen PEN.
3(6):9-10.
Rajapakse N, Mendis E, Jung WK, Je JY, Kim Sk. 2004. Purification of a radical
scavenging peptide from fermented mussel sauce and its antioxidant
properties. Food Res Int. 38:175-182
Ray B. 2004. Fundamental Food Microbiology. Ed. ke-3. New York (US): CRC
Press. Hlm 225-231, 483-490.
27
Zaman MZ, Bakar FA, Selamat J, Bakar J. 2010. Occurrence of biogenic amines
and amines degrading bacteria in fish sauce. Czech J Food Sci. 28(5):440-
449.
29
LAMPIRAN
30
Nilai
Bobot
Lama absorbansi
Perlakuan hidrolisat
fermentasi (570 nm)
fermentasi protein
(jam) pengujian
(mg/L)
ninhidrin
0 0.21±0.04 42.5±4.13
FS 48 1.93±0.05 78.7±1.66
96 1.98±0.01 77.5±3.31
0 0.20±0.03 40.41±1.04
FL 48 0.25±0.03 41.17±2.18
96 0.28±0.02 41.91±2.88
0 0.23±0.04 43.25±1.15
FSL 48 0.82±0.07 66.58±1.70
96 1.65±0.18 78.5±1.25
b. Konsentrasi 0.25 mg
Sediaan hidrolisat protein konsentrasi 0.50 mg/ diambil 150 dan
ditambahkan dengan akuades sebanyak 150
Kloramfenikol
Konsentrasi 0.015 mg/
=
x = 1000
Kloramfenikol sebanyak 15 mg dilarutkan dengan akuades sebanyak 1000 .
31
RIWAYAT HIDUP