Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat infeksi
kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia. Prevalensi PV di daerah tropis
mencapai 60%, sedangkan di daerah subtropis atau daerah dengan empat musim,
prevalensi cenderung lebih rendah. PV lebih banyak dijumpai pada usia dewasa muda baik
laki-laki ataupun perempuan. Lingkungan yang hangat dan lembab diperkirakan menjadi
salah satu faktor pencetus. Pitiriasis versikolor adalah dermatomikosis terbanyak kedua di
antara dermatofitosis lain di Indonesia.

Genus Malassezia spp., yang sebelumnya dikenal sebagai Pityrosporum, termasuk


didalamnya adalah 14 spesies yeast basidiomycetous lipofilik. Setiap spesies ini dibedakan
berdasarkan kebutuhan nutrisi, morfologi, dan biologi. Semua Malassezia spp.
membutuhkan lipid karena tidak mampu mensintesis asam lemak jenuh kecuali M.
pachydermatis. Infeksi kutaneus oleh Malassezia spp. ini menyebabkan 2 tipe infeksi yaitu
pitiriasis versikolor dan pityrosporum folikulitis. Malassezia juga berperan pada beberapa
penyakit lainnya, seperti dermatitis seboroik, dermatitis atopik, dan psoriasis. Malassezia
spp. merupakan ragi saprofitik, dimorfik yang hidup komensal yang ada di kulit terutama
di daerah badan, kepala, dan leher yang cenderung banyak mengandung lemak permukaan.
Sebuah studi di Indonesia melaporkan identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari PV di
negara tropis dengan M. furfur sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M. sympoidalis,
dan M. globosa. Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses
penggelapan kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga karena peran asam azeleat,
suatu asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat menghambat tirosinase
dalam alur produksi melanin. Selain itu Malassezia spp. menghasilkan sejumlah senyawa
indol yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi yang merupakan
gambaran klinis PV pada umumnya. Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis
dapat dijelaskan oleh adanya pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M.
furfur. Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan
ultraviolet, sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten terhadap sinar matahari.
Tujuan terapi pada PV adalah untuk mengembalikan Malassezia sesuai jumlah
komensalnya, bukan untuk mengeradikasi Malassezia dari tubuh. Terapi topikal
merupakan terapi pilihan utama untuk pitiriasis versikolor. Terapi sistemik, dapat dipilih
apabila penyakit melibatkan area kulit yang luas, rekurensi, dan gagal terapi topikal. Studi
menunjukkan, terapi dalam jangka waktu yang lama, konsentrasi yang lebih tinggi pada
terapi topikal dan dosis yang lebih tinggi pada terapi oral, terbukti meningkatkan angka
kesembuhan. Lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi dapat bertahan dalam waktu lama
sampai hitungan bulan, meskipun penyakit telah sembuh, yang menyebabkan pasien
merasa penyakit belum sembuh. Repigmentasi memerlukan waktu lama dan dari segi
kosmetik sering dirasakan mengganggu oleh pasien. Tujuan tinjauan pustaka ini adalah
menambah pemahaman mengenai mekanisme hipopigmentasi yang terjadi pada PV,
penatalaksanaan untuk PV dan repigmentasinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial kronik ringan yang


disebabkan oleh jamur malassezia dengan ciri klinis discrete atau Confluent.
Memiliki ciri-ciri bersisik (skuama), perubahan warna dapat berupa hipo-,
hiperpigmentasi, dan eritematosa. Pitiriasis versikolor paling dominan mengenai
badan bagian atas, tetapi sering juga ditemukan di ketiak, sela paha, tungkai atas,
leher, muka dan kulit kepala. Sinonim PV antara lain tinea versikolor,
dermatomycosis furfuracea, tinea flavea, liver spots, chromophytosis, tinea alba,
achromia parasitica, malasseziasis, panu.

2.2 Epidemologi

Pitiriasis versikolor merupakan infeksi jamur superfisial yang paling sering


ditemukan. Prevalensi pitiriasis versikolor di Amerika Serikat diperkirakan 2-8%
dari semua penduduk. Prevalensi pitiriasis versikolor lebih tinggi di daerah tropis
yang bersuhu panas dan kelembapan relatif. Di dunia prevalensi angka pitiriasis
versikolor mencapai 50% di daerah yang panas dan lembab dan 1,1% di daerah
yang dingin.3, Penyakit ini sering ditemukan pada usia 13-24 tahun5. Di Indonesia
penyakit ini sering disebut panu dan angka kejadian di Indonesia belum diketahui
tetapi di Asia dan Australia pernah dilakukan secara umum percobaan.PV lebih
banyak dijumpai pada kelompok usia dewasa muda baik laki-laki maupun
perempuan. Pada laki-laki terbanyak dijumpai pada usia 21-25 tahun, sedangkan
pada perempuan terbanyak dijumpai pada usia 26-30 tahun. Di daerah tropis, laki-
laki cenderung lebih banyak menderita PV dibandingkan dengan perempuan, yang
dikaitkan dengan jenis pekerjaan.
2.3 Etiopatogenesis

Flora normal pada kulit ada beberapa termasuk jamur lopopilik. Bisa berupa
jamur polimorpik single spesies seperti Pityrosporum ovale atau Pityrosporum
oblicular, namun sekarang diakui bahwa nama genus tersebut tidak valid, dan jamur
ini sudah di klasifikasikan ulang dalam genus malassezia sebagai spesies tunggal,
Malassezia furfur. Namun, analisa genetik mendemonstrasikan bahwa sekarang jauh
lebih komplek. Saat ini setidaknya sudah 12 spesies terpisah dari jamur lofilik yang
dapat dijelaskan, dan hanya 8 yang dapat menginfeksi kulit manusia. Spesies yang
tergantug pada lemak adalah M. sympodialis, M. globosa, M. restricta, M. slooffiae,
M. fufur, M. obtusa, dan yang terbaru ditemukan M. dermatis, M. japonica, M.
yamotoensis, M. nana, M. carpae, dan M. equina. Ada satu lipofilik yang tidak
sepenuhnya bergantung pada lemak yaitu M. pachydermatis ini sering ditemukan
pada kulit hewan. Yang sebelumnya kita kenal sebagai M. fufur sebenarnya terdiri
dari beberapa spesies.
Beberapa penelitian pada kulit normal dan kulit yang terdapat lesi khususnya
kulit yang dicurigai malassezia beberapa percobaan ada yang menggunakan
mikroskopis dan kultur, karena teknik sampling yang berbeda-beda maka sangat
sedikit sekali yang bisa dibandingkan. Beberapa peneliti menemukan bahwa M.
globosa adalah spesies yang paling sering ditemukan pada pitiriasis versikolor, tetapi
para peneliti lain menemukan bahwa M. furfur dan M. sympodialis adalah spesies
predominan dan M. sympodialis sering ditemukan pada kulit normal.
Dari pemeriksaan mikroskopis sisik jamur pitiriasis versikolor hampir selalu
berdinding tebal, bentuk bulat dan tunas dari dasarnya berbentuk sempit sesuai
gambaran M. globosa dan mycelium bersepta dan tersusun atas filamen-filamen tipis.
Di daerah tropis mycelium muncul bersama jamur berbentuk oval yang bertunas dari
dasarnya secara morfologi mirip dengan M. furfur atau M. obtusa. Pada awalanya
sangat tidak mungkin untuk menggambarkan fase mycelial dari spesies malassezia di
dalam makhluk hidup. Tetapi pada tahun 1977 tiga kelompok peneliti sukses
menunjukkan jamur dan bentuk mycelial dengan beberapa media. Kasus terkait M.
furfur terjadi karena flora yang ada di host tapi juga dapat dikarenakan transmisi dari
orang lain.
Pitiriasis versikolor dalam beberapa kasus terjadi karena tidak seimbangnya
atara host dan flora jamur tersebut. Ada beberapa faktor yang berkontribusi
menganggu keseimbangan tersebut. Diketahui beberapa spesies malassezia berubah
menjadi mycelial dan memeliki tingkat yang lebih besar. Beberapa keluarga dengan
riwayat positif terkena pitiriasis versikolor lebih sering terkena penyakit tersebut, hal
ini belum diketahui karena genetik atau disebabkan faktor resiko paparan yang
semakin besar dari M. furfur.
Faktor predesposisi yang mempengaruhi perkembangan pitiriasis versikolor
bervariasi, yang perlu diperhatikan adalah faktor lingkungan dan faktor host tersebut.
Pada lingkungan beriklim hangat ditemukan hifa yang berhubugan dengan jamur
malassezia pada kulit normal. Jenis kelamin adalah faktor yang tidak berpengaruh
tetapi terdapat perbedaan pada usia yang berbeda. Di zona dengan temperatur hangat
sangat jarang pada anak-anak, tetapi paling sering pada remaja dan dewasa muda.
Koloni dari M. furfur sendiri biasanya ditemukan di kulit kepala, tungkai atas,
dan daerah lipatan, area yang kaya akan kelenjar sebasea dan sekresinya dalam
kondisi tertentu, malassezia akan berkembang dari bentuk jamur sporofit menjadi
bentuk miselial dan bersifat patogen. Keadaan yang mempengaruhi keseimbangan
antara hospes dan jamur tersebut adalah faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen
antara lain produksi kelenjar sebasea dan keringat, genetik, malnutrisi, faktor
immunologi dan pemakaian obat-obatan, sedangankan faktor eksogen yang terpenting
adalah suhu dan kelembapan kulit.
Pitiriasis versikolor diklaim sebagai penyakit yang serius, sangat rentan terjadi
pada orang yang malnutrisi. Kehamilan dan kontrasepsi oral juga salah satu faktor
dari timbulnya Pitiriasis versikolor.

2.3.1 Produksi sebum


Peningkatan sekresi sebum oleh kelenjar sebasea akan mempengaruhi
pertumbuhan berlebihan dari organisme bersifat lipofilik ini.14 Produksi sebum
berbeda pada tiap usianya. Isidensi terjadi pada saat kelenjar sebasea paling aktif
yaitu masa pubertas dan dewasa awal. Organisme yang biasanya ditemukan adalah M.
furfur.
2.3.2 Produksi Keringat
Orang dengan hiperhidrosis mempunyai kecenderugan untuk terjadi
pertumbuhan jamur ini. Startum korneum akan melunak pada keadaan yang basah
dan lembab sehingga mudah dimasuki M. furfur.

2.3.3 Genetik
Predesposisi genetik terjadi pada keluarga yang rentan terhadap infeksi
jamur.

2.3.4 Malnutrisi
Kekurangan beberapa zat gizi akan memudahkan pertumbuhan jamur
oportunis.

2.3.5 Faktor immunologi


Insiden infeksi jamur meningkat pada sejumlah penderita dengan penekanan
sistem imun misalnya pada penderita kanker, transplantasi ginjal dan HIV/AIDS serta
dapat terjadi pada penderita penyakit cushing.

2.3.6 Bahan topikal dan sistemik


Pemakaian bahan topikal yang mengandung minyak dapat menyebabkan
oklusi terhadap saluran kelenjar sebum sehingga memudahkan pertumbuhan M.
furfur pada tempat tersebut.
Beberapa obat-obatan sistemik seperti antibiotika, steroid kontrasepsi oral dan
obat-obatan immunosupresan merupakan faktor yang mempermudah pertumbuhan
berlebih dari jamur peyebab.

2.3.7 Suhu dan kelembapan


Daerah tropis dengan suhu panas dan kelembapan yang tinggi akan
meningkatkan produksi kelenjar sebum dan keringat sehingga pertumbuhan M. furfur
meningkat.
Perubahan Pigmen pada Pitiriasis Versikolor
Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses
penggelapan kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga adanya peran asam
azeleat, suatu asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat
menghambat tirosinase dalam alur produksi melanin. Ukuran melanosom yang lebih
kecil dan hanya sedikit termelanisasi diproduksi, tetapi tidak ditransfer ke keratinosit
dengan baik, hal ini terjadi pada orang dengan kulit lebih gelap. Hipopigmentasi akan
menetap beberapa bulan bahkan tahun dan menjadi lebih jelas pada musim panas
dikarenakan kulit normal sekitar menjadi lebih gelap karena paparan sinar matahari.
Selain itu Malassezia spp. menghasilkan sejumlah senyawa indol, metabolit
tryptophan-dependent yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala
inflamasi yang merupakan gambaran klinis PV pada umumnya. Senyawa indol
tersebut ada yang mempengaruhi melanogenesis dan ada yang mampu menyebabkan
down regulation proses inflamasi, antara lain.
a) Pitriacitrin yang mengabsorbsi sinar UV, sehingga berperan sebagai tabir surya.
Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh adanya
pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M. furfur. Pityriacitrin
memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan ultraviolet,
sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten terhadap sinar matahari.
b) Pityrialactone, yang berpendar (fluoresensi) di bawah sinar UV 366nm
memberikan warna kuning-kehijauan.
c) Pityriarubins, yang menghambat respiratory burst neutrofil dan menghambat
aktivitas 5-lipoksigenase.
d) Malassezin, suatu agonis reseptor; aryl-hydrocarbon yang menyebabkan apoptosis
dalam melanosit, sehingga hipopigmentasi bertahan lama.
e) Indirubin dan indolo[3,2-b] carbazole, yang menghambat maturasi sel dendritik
dan kemampuannya mempresentasikan antigen.
Pada lesi hiperpigmentasi tampak peningkatan ukuran melanosom serta
penebalan stratum korneum. Diduga faktor inflamasi sebagai stimulus melanositosis
serta organisme penyebab dalam jumlah besar turut berperan pada terjadinya
hiperpigmentasi. Pada studi in vitro terdapat indikasi bahwa Malassezia spp. dapat
memproduksi pigmen serupa melanin, tetapi secara in vivo pada lesi hiperpigmentasi
hal ini belum terbukti.

Proses Repigmentasi

Beberapa penelitian menunjukkan peran dari metabolit Malassezia yang


memiliki efek toksik pada melanosit, yaitu asam dikarboksilat dan lipoperoksidase.
Pada pemeriksaan ultrastruktural ditemukan pula kerusakan berat dari melanosit,
bervariasi mulai melanosom hingga gangguan degenerasi mitokondria. Salah satu
asam dikarboksilat yang diproduksi M. furfur adalah asam azeleat yang mungkin
menyebabkan efek sitotoksik. Kerusakan dari melanosit ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa repigmentasi membutuhkan waktu yang lama dari bulan hingga
tahun. Penelitian lain menunjukkan fakta bahwa skuama dari PV menghambat
repigmentasi. Area sekitar PV setelah terapi akan tetap hipopigmentasi untuk periode
waktu tertentu.

Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis


perubahan pigmen pada PV maka proses repigmentasi mulai dipertimbangkan dengan
menggunakan beberapa agen terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-
liberating cream atau aplikasi solusio cycloserine yang menghasilkan kesembuhan
dengan repigmentasi cepat.
Weller, dkk. mempelajari efek menguntungkan dari nitric oxide (NO) di kulit.
Peneliti ini menemukan bahwa nitric oxide diproduksi di permukaan kulit dan
berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi jamur superfisial. Melanosit dan
keratinosit memproduksi nitric oxide sebagai respon sitokin inflamasi dan produksi
nitric oxide pada keratinosit dipicu oleh radiasi ultraviolet. Nitric oxide meningkatkan
aktivitas tirosinase dan melanogenesis sehingga mampu mempercepat proses
repigmentasi pada PV.
2.4. Gambaran Klinis

Gambaran klinis PV umumnya berupa makula atau patch warna putih, merah
atau kecoklatan yang tidak gatal, terkadang rasa gatal terutama saat berkeringat.
Penggunaan terminologi versikolor sangat sesuai untuk penyakit ini karena warna
skuama bervariasi dari putih kekuningan, kemerahan, hingga coklat. Pigmentasi lesi
yang muncul bervariasi bergantung dari warna pigmen normal pasien, paparan sinar
matahari, dan derajat keparahan penyakit. Pada orang kulit putih, lesi berwarna lebih
gelap dibandingkan dengan kulit normal tetapi tidak menjadi tan pada pajanan
matahari; sementara pada orang-orang berkulit gelap, lesi cenderung lebih putih atau
hipopigmentasi. Pada lesi awal biasanya akan muncul area hipopigmentasi sedangkan
pada lesi yang lebih lama akan muncul area hiperpigmentasi, kedua hal ini dapat
muncul pada satu pasien. Lesi awal berupa makula atau patch berbatas tegas, tertutup
skuama halus yang terkadang tidak tampak jelas. Untuk menunjukkan adanya skuama
pada lesi yang kering dapat digores dengan ujung kuku sehingga batas lesi akan
tampak lebih jelas (finger nail sign) atau dengan menggunakan kaca objek, scalpel,
atau ujung kuku (coup d’ongle of Besnier). Pada penyakit yang telah lanjut lesi akan
menjadi bercak luas, berkonfluens atau tersebar. Bentuk lesi bervariasi dan dapat
ditemukan lesi seperti bentuk papuler ataupun perifolikuler.

Gambar 1. Gambaran klinis PV berdasarkan warna lesi. A. Lesi hiperpigmentasi karena


hiperemia akibat respon inflamasi dan peningkatan melanin. B. Lesi hipopigmentasi, batas
jelas dengan skuama tipis.
Gambar 2. Gambaran klinis PV berdasarkan bentuk lesi.

A. Bentuk makuler B. Bentuk papuler. C. Bentuk perifolikuler.2

Predileksi umumnya dimulai di dada atau punggung atas kemudian meluas ke


bahu, lengan atas, dan daerah perut. Bila penyakit tidak diobati, lesi akan meluas ke
daerah panggul, tungkai atas hingga fosa poplitea. Meskipun relatif jarang, lesi juga
dapat mengenai aksila, inguinal, atau fosa poplitea yang disebut sebagai tipe inversa;
selain itu juga terdapat pada telapak tangan dan genitalia. Variasi klinis yang jarang
terjadi dan dilaporkan secara sporadis antara lain bentuk atrofikans, periareolar atau
imbrikata.
Gambaran klinis PV pada pasien dengan infeksi HIV sama dengan pasien
seronegatif HIV, hanya lebih luas, sedangkan pada pasien imunokompromais lain
misalnya penerima cangkok organ, lebih sering terjadi folikulitis Malassezia. Pada
kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung membentuk gambaran
seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Pada sebagian besar kasus pengobatan
akan menyebabkan lesi berubah menjadi makula hipopigmentasi yang menetap.

Anda mungkin juga menyukai