Anda di halaman 1dari 21

HALAMAN JUDUL

MAKALAH
RABIES
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Matakuliah Surveilens Kesehatan
Masyarakat

KELAS K3
DISUSUN OLEH KELOMPOK 2:

1. Febi Tri Oktavani (J1A1 17 040)


2. Iham Ibnu Ahmadi (J1A1 17 056)
3. Inggrid Fadilla Nurman (J1A1 17 059)
4. Kurnia Wulan Ramadhani (J1A1 17 066)
5. Nasruddin (J1A1 17 088)

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat
dan karunianya kami masih diberi kesempatan. Untuk menyelesaikan tugas
Surveilens Kesehatan masyarakat. Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih
kepada dosen pembimbing bapak La Ode Muhammad Sety, S.K.M., M. Epid yang
telah membimbing kami agar dapat mengerti tentang bagaimana cara menyusun
tugas ini. Tugas ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu Surveilens
Kesehatan masyarakat, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai
sumber. Makalah ini di susun oleh kami dengan berbagai rintangan. Baik itu yang
datang dari diri kami maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari tuhan akhirnya tugas ini dapat
terselesaikan.
Semoga tugas kami dapat bermanfaat bagi para mahasiswa umum
khususnya pada diri kami sendiri dan semua yang membaca tugas kami ini. Dan
mudah-mudahan juga dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun tugas ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kami mohon
untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.

Kendari, 19 Maret 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 4
2.1 Defenisi Rabies .............................................................................................. 4
2.2 Penyebab Rabies ............................................................................................ 5
2.3 Gejala Rabies ................................................................................................. 7
2.4 Pencegahan Rabies ........................................................................................ 9
2.5 Pengobatan Rabies ...................................................................................... 14
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 16
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 16
3.2 Saran ............................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Alur Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka/ Rabies ....... 15
Gambar 2 Tatalaksana Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) ......................... 15

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rabies adalah penyakit virus dapat dicegah dengan vaksin yang terjadi di
lebih dari 150 negara dan wilayah. Anjing adalah sumber utama kematian rabies
pada manusia, memberikan kontribusi hingga 99% dari semua transmisi rabies ke
manusia. Rabies eliminasi layak melalui vaksinasi anjing dan pencegahan gigitan
anjing. Infeksi menyebabkan puluhan ribu kematian setiap tahun, terutama di Asia
dan Afrika. 40% dari orang yang digigit hewan rabies tersangka adalah anak-anak
di bawah usia 15 tahun. Segera, menyeluruh luka mencuci dengan sabun dan air
setelah kontak dengan hewan rabies tersangka sangat penting dan dapat
menyelamatkan nyawa (WHO, 2018).
WHO, Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE), yang Organisasi
Pangan dan Pertanian (FAO) dan Aliansi Global untuk Rabies Control (GARC)
telah membentuk global “Inggris Terhadap Rabies” kolaborasi untuk memberikan
strategi umum untuk mencapai "Nol rabies manusia kematian pada tahun 2030"
(WHO, 2018).
Rabies adalah penyakit virus menular yang hampir selalu berakibat fatal
setelah timbulnya gejala klinis. Dalam hingga 99% kasus, anjing domestik
bertanggung jawab untuk transmisi virus rabies ke manusia. Namun, rabies dapat
mempengaruhi hewan domestik dan liar. Hal ini menyebar ke orang melalui gigitan
atau cakaran, biasanya melalui air liur. Rabies hadir di semua benua, kecuali
Antartika, dengan lebih dari 95% dari kematian manusia yang terjadi di daerah Asia
dan Afrika (WHO, 2018).
Rabies adalah salah satu penyakit tropis yang terabaikan yang dominan
mempengaruhi populasi miskin dan rentan yang tinggal di lokasi pedesaan yang
terpencil. Meskipun vaksin manusia yang efektif dan imunoglobulin ada untuk
rabies, mereka tidak tersedia atau dapat diakses kepada mereka yang membutuhkan.
Secara global, kematian rabies jarang dilaporkan dan anak-anak antara usia 5-14
tahun sering menjadi korban. Mengobati paparan rabies, di mana biaya rata-rata
profilaksis rabies pasca-paparan (PEP) adalah US $ 40 di Afrika, dan US $ 49 di

1
Asia, dapat menjadi beban keuangan bencana pada keluarga yang terkena dampak
yang rata-rata pendapatan harian sekitar US $ 1 -2 per orang. Setiap tahun, lebih
dari 15 juta orang di seluruh dunia menerima vaksinasi pasca-gigitan. Ini
diperkirakan untuk mencegah ratusan ribu kematian rabies setiap tahunnya (WHO,
2018).
Di Indonesia Rabies pertama kali dilaporkan secara resmi oleh Esser secara
resmi pada tahun 1884 pada seekor kerbau, kemudian oleh Penning pada anjing
pada tahun 1889 dan oleh E.V de Haan pada manusia tahun 1894. Penyebaran
rabies di Indonesia bermula dari 3 provinsi yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara, dan
Sulawesi Selatan sebelum perang dunia ke -2 meletus. Distribusi penyakit rabies
sangat bervariasi untuk setiap belahan dunia. Di Indonesia hewan penular utama
yaitu anjing, sebesar 98%, monyet da kucing 2% (Kementrian Kesehatan RI, 2016).
Sampai dengan tahun 2015, rabies tersebar di 25 provinsi dengan jumlah
kasus gigitan cukup tinggi. Berdasarkan data pada tahun 2015 dari Ditjen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Tukar Vektor dan Zoonotik terdapat 80.403 kasus gigitan hewan
penular rabies (GHPR) yang dilaporkan. Sedangkan 9 provinsi bebas Rabies,
diantaranya 5 provinsi bebas historis (Papua, Papua Barat, Bangka Beliting,
Kepulauan Riau dan Nusa Tenggara Barat), dan 4 provinsi dibebaskan (Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan DKI Jakarta) (Kementrian Kesehatan RI,
2016). Di Indonesia sebanyak 86 orang meninggal karena rabies tahun 2016
(Kementrian Kesehatan RI, 2017).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan rabies ?
2. Apa saja penyebab dari rebies ?
3. Apa saja gejala dari rabies ?
4. Apa saja pencegahan dari rabies ?
5. Bagaimana pengobatan rabies ?

2
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep
rabies.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini antara lain :
1. Untuk mengetahui defenisi rabies
2. Untuk mengetahui penyebab dari rabies
3. Untuk mengetahui gejala dari rabies
4. Untuk mengetahui pencegahan dari rabies
5. Untuk mengetahui pengobatan rabies

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Rabies
Rabies adalah penyakit zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke
manusia) dari genus Lyssavirus dalam keluarga Rhabdoviridae, yang disebabkan
oleh virus rabies. Anjing peliharaan adalah reservoir virus yang paling banyak
jumlahnya, dengan lebih dari 99% kematian anjing disebabkan oleh rabies (WHO).
Virus ditransmisikan dalam air liur hewan rabies dan umumnya tiba
dengan infiltrasi air liur yang sarat virus dari hewan fanatik ke dalam luka (misalnya
goresan) di dalam tubuh atau dengan paparan langsung permukaan mukosa
terhadap air liur dari hewan yang terinfeksi (mis. gigitan)). Virus tidak dapat
menyusup ke kulit yang utuh. Setelah virus mencapai otak, virus itu terus
bereplikasi, mewakili gejala klinis pasien. Ada dua manifestasi klinis rabies - marah
(klasik atau ensefalitis) dan lumpuh. Mengamuk rabies adalah bentuk paling umum
dari rabies manusia, terhitung sekitar 80% dari kasus. Dengan pengecualian
Antartika, rabies endemik di semua benua. Dari puluhan ribu kematian akibat rabies
setiap tahun, 95% dilaporkan di Asia dan Afrika (WHO).
Rabies manusia yang dimediasi anjing secara tidak proporsional
mempengaruhi komunitas pedesaan miskin, terutama anak-anak, dengan mayoritas
(80%) kematian terjadi pada orang pedesaan, di mana kesadaran atau akses ke
profilaksis pasca pajanan yang memadai terbatas atau tidak ada. adalahBeban
sebenarnya dari penyakit ini cenderung diremehkan karena kurangnya cakupan
kronis dan pengabaian politik di banyak negara berkembang. Sistem pelaporan
yang lebih baik diperlukan untuk mengatasi kurangnya data yang akurat dan untuk
meninjau estimasi ini di sejumlah daerah(WHO).
Rabies adalah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin 100%. Di
negara-negara yang menangani program eliminasi rabies, pengurangan yang
signifikan telah dicatat, seringkali mengarah pada eliminasi rabies. Program
ekskresi sering melibatkan kampanye vaksinasi massal untuk anjing, yang harus
menangkap setidaknya 70% populasi anjing untuk memutus siklus penularan pada
anjing dan manusia (WHO).

4
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang
disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus (dari bahasa Yunani Lyssa yang berarti
mangamuk atau kemarahan), bersifat akut serta menyerang saraf pusat, hewan
berdarah panas dan manusia. Rebies berasal dari bahasa Latin “rabere” yang artinya
marah, menurut bahasa Sansekerta “rabhas” yang berarti kekerasan (Kementrian
Kesehatan RI, 2016).

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyerang semua hewan


berdarah panas dan manusia. Virus rabies ditransmisikan melalui air liur hewan
terinfeksi rabies dan umumnya masuk ke tubuh melalui infiltrasi air liur yang
mengandung virus dari hewan rabies ke dalam luka (misalnya goresan), atau
dengan paparan langsung permukaan mukosa air liur dari hewan yang terinfeksi
(misalnya gigitan). Virus rabies tidak bisa menyusup/melewati kulit dalam kondisi
utuh (tanpa luka). Begitu sampai ke otak, virus rabies dapat bereplikasi lebih lanjut,
sehingga menghasilkan tanda klinis pada pasien (Kemenntrian Kesehatan RI,
2017).
Rabies adalah infeksi virus yang fatal, sebagian besar ditularkan melalui
gigitan anjing, yang terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang substansial,
terutama di negara berkembang. Perkiraan terbaru, berdasarkan jumlah gigitan
anjing dan kemungkinan infeksi, adalah 59.000 kematian akibat rabies pada
manusia per tahun, yang sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia (Issaka Tiembre,
2018).
Berdasarkan beberapa defenisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
rabies adalah penyakit tingkat akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh
virus rabies.
2.2 Penyebab Rabies
Menurut WHO, anjing domestik merupakan reservoir yang paling umum
dari virus rabies, dengan lebih dari 95% kematian manusia yang disebabkan oleh
anjing yang memiliki virus rabies. Penyakit ini dikenal di Indonesia sejak diketahui
dan dilaporkan adanya seekor kerbau menderita rabies oleh Esser pada tahun 1884.

5
Kemudian pada tahun 1894 pertama kali dilaporkan rabies pada manusia oleh E.V.
de Haan.
Penyakit ini merupakan kelompok penyakit zoonosa (zoonosis) yaitu
penyakit infeksi yang ditularkan oleh hewan ke manusia melalui pajanan atau
Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing, kera, musang, anjing liar,
kucing (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Sebagian besar sumber penularan rabies ke manusia di Indonesia,
disebabkan oleh gigitan anjing yang terinfeksi rabies (98%), dan lainnya oleh kera
dan kucing. Infeksi rabies baik pada hewan maupun pada manusia yang telah
menunjukkan gejala dan tanda klinis rabies pada otak (Encephalomyelitis) berakhir
dengan kematian. Hanya terdapat 1 (satu) penderita yang hidup didunia
(Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Virus rabies ditransmisikan melalui air liur hewan terinfeksi rabies dan
umumnya masuk ke tubuh melalui infltrasi air liur yang mengandung virus dari
hewan rabies ke dalam luka (misalnya goresan), atau dengan paparan langsung
permukaan mukosa air liur dari hewan yang terinfeksi (misalnya gigitan). Virus
rabies tidak bisa menyusup/melewati kulit dalam kondisi utuh (tanpa luka). Begitu
sampai ke otak, virus rabies dapat bereplikasi lebih lanjut, sehingga menghasilkan
tanda klinis pada pasien (Kementrian Kesehatan RI, 2017).
Virus rabies, rhabdovirus dari genus Lyssavirus. Semua anggota genus ini
mempunyai persamaan antigen, namun dengan teknik antibodi monoklonal dan
nucleotide sequencing dari virus menunjukkan adanya perbedaan tergantung
spesies binatang atau lokasi geografis darimana mereka berasal. Virus yang mirip
dengan rabies yang ditemukan di Afrika (Mokola dan Duvenhage) jarang
menyebabkan kesakitan pada manusia mirip seperti rabies dan jarang yang fatal.
Lyssavirus baru telah ditemukan pertama kali pada tahun 1996, pada beberapa
spesies dari Flying fox dan kelelawar di Australia dan telah menyebabkan dua
kematian pada manusia dengan gejala penyakit seperti rabies. Virus ini untuk
sementara diberi nama ”Lyssavirus kelelawar Australia”. Virus ini mirip dengan
virus rabies namun tidak identik dengan virus rabies klasik. Sebagian penderita
penyakit yang disebabkan oleh virus yang mirip rabies inim dengan teknik

6
pemeriksaan standard FA test kemungkinan didiagnosa sebagai rabies (James Chin,
2000).
Rabies virus adalah virus RNA berbentuk peluru, indra-negatif, tunggal-
untai, terselubung dari keluargaRhabdoviridae, genus Lyssavirus. Ada saat ini
adalah 12 genotipe diketahui dari Lyssavirus, tetapi hanya 7 genotipe Lyssavirus
dikaitkan dengan rabies pada manusia (genotipe 1 adalah sebagian besar kasus)
(Novie H. Rampengan, 2017).

2.3 Gejala Rabies


Masa inkubasi rabies biasanya 2-3 bulan tetapi dapat bervariasi dari 1 minggu
sampai 1 tahun, tergantung pada faktor-faktor seperti lokasi masuknya virus dan
viral load. Gejala awal rabies termasuk demam dengan nyeri dan kesemutan yang
tidak biasa atau dijelaskan, menusuk, atau sensasi (parestesia) di lokasi luka
terbakar. Sebagai virus menyebar ke sistem saraf pusat, peradangan yang progresif
dan fatal otak dan sumsum tulang belakang berkembang. Ada dua bentuk penyakit:
1. Orang dengan tanda-tanda marah rabies pameran hiperaktif, perilaku
bersemangat, penyakit anjing gila (takut air) dan kadang-kadang aerophobia
(takut draft atau udara segar). Kematian terjadi setelah beberapa hari karena
penangkapan cardio-pernafasan.
2. Rabies paralitik menyumbang sekitar 20% dari total jumlah kasus manusia.
Bentuk rabies berjalan kurang dramatis dan biasanya lebih lama tentu saja
daripada bentuk marah. Otot bertahap menjadi lumpuh, mulai dari situs dari
gigitan atau goresan. Sebuah koma perlahan-lahan berkembang, dan akhirnya
kematian terjadi. Bentuk lumpuh dari rabies sering salah didiagnosis,
berkontribusi terhadap kurangnya pelaporan penyakit (WHO, 2018).
Gejala dan tanda penderita lyssa/rabies yaitu :
1. Demam
2. Mual
3. Rasa nyeri di tenggorokan, sehingga takut untuk minum
4. Gelisah
5. Takut air (hidrofobia)

7
6. Takut cahaya (fotofobia)
7. Liur yang berlebihan (hipersalivasi)
Masa inkubasi dari virus rabies masuk melalui gigitan sampai timbul gejala
klinis berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, pada umumnya 3-8 minggu. Variasi
masa inkubasi ini dipengaruhi oleh letak luka gigitan semakin dekat dengan otak
seperti di atas bahu gejala klinis akan cepat muncul, juga kedalaman luka, jenis
virus dan jumlah virus yang masuk. Oleh karena itu, timbulnya gejala sakit yang
bervariasi ini dan kurangnya pengetahuan masyarakat di daerah endemis
menyebabkan pencarian pertolongan ke fasilitas kesehatan menjadi terlambat
sehingga timbullah kasus lyssa, karenanya perlu peningkatan komunikasi resiko di
daerah endemis dengan prioritas jumlah kasus lyssa yang tinggi (Kementrian
Kesehatan RI, 2014).
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2016), gejala klinis rabies pada manusia
antara lain:
1. Stadium prodormal
Gejala-gejala awal berpa demam, malaise, mual dan rasa nyeri ditenggorokan
selama beberapa hari.
2. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka,
kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang belebihan terhadap
rangsanagn sensorik.
3. Stadium eksitasi
Tonus otot-otot dan ktivitas simpatis menjadi meninggi dengan gejala
hiperhidrolisis (kerinagt berlebih), hipersalivasi, hiperlakrimasi dan dilatasi
pupil. Pada stadium ini penyakit mencapai puncaknya dengan timbulnya
bemacam-macam fobia (hirofobia, fotofobia, aerofobia), apnoe, sianosis,
takikardia, penderita menjadi maniakal jug terjadi pada stadium ini. Gejala-
gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi
pada saat dekat kematian justru lebih sering otot-otot melemah, hingga terjadi
paresis flaksid otot-otot.
4. Stadium Paralisis

8
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-
kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, menlainkan
paresis/kelumpuhan otot-otot yang bersifat progresif.
Serangan biasanya dimulai dengan perasaan ketakutan, sakit kepala, demam,
malaise, perubahan perasaan sensoris, pada bekas gigitan binatang. Gejala yang
sering muncul adalah eksitabilitas dan aerophobia. Penyakit ini berlanjut ke arah
terjadinya paresis atau paralisis, kejang otot-otot menelan menjurus kepada
perasaan takut terhadap air (hidrophobia), diikuti dengan delirium dan kejang.
Tanpa intervensi medis, biasanya berlangsung 2-6 hari dan kadang-kadang lebih,
kematian biasanya karena paralisis pernafasan (James Chin, 2000).

2.4 Pencegahan Rabies


Menurut WHO (2018), langkah-langkah pencegahan rabies antara lain :
1. Menghilangkan rabies pada anjing
Rabies adalah penyakit dapat dicegah dengan vaksin. Vaksinasi anjing
adalah strategi biaya yang paling efektif untuk mencegah rabies pada manusia.
vaksinasi anjing mengurangi kematian akibat rabies dan kebutuhan untuk PEP
sebagai bagian dari anjing menggigit perawatan pasien.
2. Kesadaran tentang rabies dan mencegah gigitan anjing
Pendidikan tentang perilaku anjing dan menggigit pencegahan untuk anak-
anak dan orang dewasa merupakan perpanjangan penting dari program vaksinasi
rabies dan dapat menurunkan kedua kejadian rabies manusia dan beban keuangan
mengobati gigitan anjing. Meningkatkan kesadaran pencegahan dan pengendalian
rabies di masyarakat termasuk pendidikan dan informasi kepemilikan bertanggung
jawab hewan peliharaan, bagaimana mencegah gigitan anjing, dan langkah-langkah
perawatan segera setelah menggigit. Keterlibatan dan kepemilikan program di
tingkat masyarakat meningkat mencapai dan penyerapan pesan kunci.
3. Imunisasi pencegahan pada orang
Vaksin rabies pada manusia ada untuk imunisasi pra pajanan. Ini
direkomendasikan untuk orang-orang dalam pekerjaan berisiko tinggi tertentu
seperti pekerja laboratorium penanganan rabies hidup dan terkait rabies (lyssavirus)

9
virus; dan orang-orang (seperti staf pengendalian penyakit hewan dan penjaga
satwa liar) yang profesional atau kegiatan pribadi mungkin membawa mereka ke
dalam kontak langsung dengan kelelawar, karnivora, atau mamalia lain yang
mungkin terinfeksi.
Imunisasi pra-exposure juga dianjurkan bagi wisatawan untuk, daerah terpencil
rabies yang terkena dampak yang berencana untuk menghabiskan banyak waktu di
luar yang terlibat dalam kegiatan seperti caving atau mendaki gunung. Ekspatriat
dan wisatawan jangka panjang untuk daerah dengan risiko paparan rabies tinggi
harus diimunisasi jika akses lokal untuk biologis rabies terbatas. Akhirnya,
imunisasi juga harus dipertimbangkan untuk anak-anak yang tinggal di, atau
mengunjungi, remote, daerah berisiko tinggi. Ketika mereka bermain dengan
binatang, mereka mungkin menerima gigitan lebih parah, atau mungkin tidak
melaporkan gigitan.
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2017), langkah-langkah pencegahan
rabies antara lain :
1. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing,
kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
2. Memusnahkan anjing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpa izin ke
daerah bebas rabies.
3. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing, kera 70% populasi yang
ada dalam jarak minimum 10 km di sekitar lokasi kasus.
4. Pemberian tanda bukti terhadap setiap anjing yang divaksinasi.
5. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atau anjing tak bertuan dengan jalan
pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.
6. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan yang menggigit orang, selama
10-14 hari terhadap yang mati selama masa observasi atau yang dibunuh maka
harus diambil specimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk
diagnosis.
7. Mengawasi dengan ketat lalulintas anjing, kucing, kera dan hewan
sebangsanya.
8. Membunuh atau mengurung anjing yang terkena rabies selama 4 bulan.

10
9. Menanam hewan yang mati karena rabies sekurang-kuranagnya sedalam 1
meter atau dibakar dan melarang keras pembuangan bangkai.
Menurut James Chin (2000) dalam buku “Manual Pemberantasan Penyakit
Menular” , langkah-langkah pencegahan rabies antara lain:
1. Lakukan pendaftaran, berikan lisensi dan imunisasi kepada semua anjing di
negara-negara enzootik; tangkap dan bunuh binatang yang tidak ada pemiliknya
dan berkeliaran di jalanan. Imunisasi semua kucing. Berikan penyuluhan
kepada pemilik binatang peliharaan dan kepada masyarakat tentang pentingnya
pemberantasan terhadap kucing dan anjing (bahwa hewan peliharaan harus
diikat bila berada di tempat ramai kalau tidak bisa dikandangkan, bahwa kalau
ada hewan yang berkelakuan aneh atau yang sakit baik hewan domestik maupun
hewan liar, hewan ini mungkin berbahaya dan sebaiknya tidak diambil atau
disentuh. Kalau ditemukan anjing atau binatang berperilaku aneh dan binatang
yang menggigit manusia atau menggigit binatang lainnya segera laporkan
kepada polisi dan atau kepada petugas kesehatan setempat. Binatang tersebut
harus ditangkap, dikandangkan untuk diobservasi sebagai upaya pencegahan
terhadap rabies; dan binatang liar tadi jangan dipelihara sebagai binatang
peliharaan. Oleh karena upaya memberantas dan mengurangi populasi anjing
secara terus-menerus merupakan upaya yang efektif.
2. Pertahankan kegiatan surveilans aktif terhadap rabies pada binatang. Kapasitas
laboratorium harus dikembangkan untuk dapat melakukan pemeriksaan FA
pada semua jenis binatang liar yang terpajan dengan manusia atau terpajan
dengan binatang peliharaan dan pemeriksaan terhadap semua binatang
peliharaan yang secara klinis diduga mengidap rabies. Berikan penyuluhan
kepada dokter, dokter hewan dan petugas pengawasan binatang agar
menangkap atau membunuh atau melakukan pemeriksaan laboratorium pada
binatang yang terpajan dengan manusia atau terpajan dengan binatang
peliharaan.
3. Penahanan dan observasi klinis selama 10 hari dlakukan terhadap anjing atau
kucing yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah menggigit orang
(sedangkan anjing atau kucing yang tidak ada pemiliknya dapat langsung

11
dibunuh dan diperiksa untuk rabies dengan mikroskop fluorescence); anjing dan
kucing yang menunjukkan gejala mencurigakan teradap kemungkinan rabies
harus dibunuh dan diperiksa untuk rabies. Bila binatang yang menggigit
terinfeksi pada waktu menggigit, gejala rabies akan muncul dalam waktu 4-7
hari, dengan timbulnya perubahan perlaku dan eksitabilitas atau terjadi
kelumpuhan dan diikuti dengan kematian. Semua binatang liar yang telah
menggigit manusia harus dibunuh segera dan otaknya diambil dan diperiksa
untuk pembuktian rabies. Pada kasus gigitan oleh binatang peliharaan yang
berperilaku normal atau oleh binatang yang sangat mahal atau oleh binatang di
kebun binatang maka lebih tepat untuk dipertimbangkan pemberian profilaksis
pasca pajanan keada korban gigitan dan sebagai ganti pemusnahan binatang
dilakukan karantina selama 3-12 minggu.
4. Segera kirim ke laboratorium, kepala utuh dari binatang yang mati dan kepada
yang dicurigai rabies, dikemas dalam es (tidak beku), untuk dilakukan
pemeriksaan antigen viral dengan pewarnaan FA, atau bila pemeriksaan ini
tidak tersedia, dengan pemeriksaan mikroskopis untuk badan Negri, diikuti
dengan inokulasi pada tikus.
5. Segera bunuh anjing atau kucing yang tidak diimunisasi dan yang telah digigit
oleh binatang liar, apabila pilihannya adalah mengurung maka kurunglah
binatang tersebut pada kandang atau kurungan yang terbukti aman untuk paling
sedikit 6 bulan dibawah supervisi dokter hewan dan diimunisasi dengan vaksin
rabies 30 hari sebelum dilepas. Bila binatang tersebut sudah pernah diimunisasi,
lakukan imunisasi ulang dan tahan (diikat atau dikurung) binatang tersebut
paling sedikit selama 45 hari.
6. Imunisasi dengan vaksin oral untuk reservoir binatang liar yaitu vaksin yang
berisi virus yang telah dilemahkan atau vaksin vektor recombinant telah terbukti
efektif dapat mengeliminasi rabies pada rubah di sebagian Eropa dan Kanada.
Teknik ini sedang dievaluasi di Amerika Serikat dengan menggunakan droping
dari udara dengan umpan yang berisi vaksin recombinant.
7. Koordinasikan program pemberantasan rabies dengan bekerja sama dengan
otoritas suaka binatang liar untuk mengurangi populasi rubah, skunk, racoon,

12
dan binatang darat liar lainnya yang merupakan host dari sylvatic rabies di
daerah enzootik yang mengitari daerah perkemahan atau daerah hunian
manusia. Apabila kegiatan depopulasi terhadap binatang tersebut secara lokal
telah dilakukan, harus dipertahankan untuk menahan terjadinya peningkatan
kembali populasi binatang tadi dari daerah sekitarnya.
8. Orang yang berisiko tinggi (dokter hewan, petugas suaka alam dan petugas
keamanan taman di daerah enzootik atau epizootik, petugas pada karantina,
laboratorium dan petugas lapangan yang bekerja dengan rabies dan wisatawan
yang berkunjung dalam waktu yang lama ke daerah endemis rabies) harus diberi
imunisasi prapajanan. Ada 3 jenis vaksin rabies yang beredar di pasaran di
Amerika Serikat yaitu Human Diploid Cell Rabies Vaccine (HDCV), satu jenis
vaksin inaktivasi yang dibuat dari virus yang ditumbuhkan pada kultur sel
diploid manusia; kemudian Rabies Vaccine Adsorbed (RVA), yaitu jenis vaksin
inaktivasi yang ditumbuhkan pada sel diploid rhesus; dan jenis vaksin yang
ketiga adalah Purified Chick Embryo Cell Vaccine (PCBC), vaksin inaktivasi
yang ditumbuhkan pada kultur primer dari firboblast ayam. (Vaksin kultur sel
yang poten dari jenis lain tersedia di negara lain). Setiap jenis vaksin dapat
diberikan dalam tiga dosis masing-masing 1,0 cc (IM) pada hari 0, 7 dan hari
ke-21 atau ke-28. Regimen ini cukup memuaskan sehingga pemeriksaan
serologis pasca imunisasi tidak dilakukan secara rutin kecuali pada kelompok
tertentu yang berisiko tinggi atau orang yang mengalami immunodeficiency.
Bila risiko pajanan berlanjut, maka pemberian booster dosis tunggal atau
pemeriksaan serum untuk melihat antibodi neutralizing dilakukan setiap 2
tahun, dengan dosis booster kalau ada indikasi. HCDV juga telah disetujui
untuk dipakai untuk imunisasi prapajanan dengan pemberian intradermal (ID)
sebesar 0,1 cc diberikan pada hari ke-0, 7 dan 21 atau 28. Bila imunisasi
diberikan untuk persiapan perjalanan ke daerah endemis rabies, 30 hari atau
lebih harus dilewati terlebih dahulu setelah dosis ketiga diberikan sebelum
berangkat, kalau tidak maka pemberian imunisasi harus IM. Imunisasi ID,
secara umum memberikan hasil yang sangat bagus di Amerika Serikat, namun
respons antibodi rata-rata agak rendah dan durasinya mungkn lebih pendek

13
dibandingkan dengan dosis 1 cc IM. Namun respons antibodi untuk imunisasi
ID berubah-ubah pada beberapa kelompok yang sedang mendapatkan
pengobatan chloroquine sebagai chemoprophylaxis antimalaria, sehingga
pemakaian ID tidak dianjurkan pada situasi ini kecuali di tempat tersebut
tersedia fasilitas untuk pemeriksaan sera untuk melihat titer antibodi
neutralizing. Walaupun respons kekebalan tidak pernah dievaluasi secara
struktural untuk antimalaria sejenis chloroquine (mefloquine,
hydroxychloroquine), maka kewaspadaan serupa bagi individu yang menrima
obat ini harus dilakukan. RVA dan PCBC jangan diberikan intradermal (James
Chin, 2000).

2.5 Pengobatan Rabies


Menurut Kementrian Kesehatan RI (2016), tata laksana Gigitan Hewan Penular
Rabies (GHPR) antara lain :
1. Pencucian luka
Pencucian luka merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam tata
laksana kasus GHPR. Luka gigitan dicuci dengan air mengalir dan
sabun/detergen selama 10-15 menit.
2. Pemberian Antiseptik
Pemberian antiseptik (alkohol 70%, betadine, obat merah dan lain-lain) dpat
diberikan setelah pencucian luka.
3. Tindakan penunjang
Luka GHPR tidak boleh dijahit untuk mengurangi invasi virus pada jaringan
luka, kecuali luka yang lebar dan dalamyang terus mengeluarkan darah, dapat
dilakukan jahitan situasi untuk menghentikan pendarahan. Sebelum dilakukan
penjahitan luka, harus diberikan suntikan infiltrasi SAR sebanyak mungkin
disekitar luka dan sisanya diberikan secara intra muscular (IM).
Menururt WHO dan CDC (Center for Disease Control and Prevention), sekali
gejala rabies muncul , hampir pasti kecil peluang penyembuhannya secara statistik.
Maka dari itu, segera cuci luka setelah di gigit hewan penular rabies (HPR) dan
mendatangi fasilitas kesehatan yang biasa menangani kasus gigitan HPR sebaiknya
jangan tunggu hingga muncul gejala.

14
Belum diketemukan obat/cara pengobatan untuk rabies sehingga selalu diakhiri
dengan kamatian pada hampir semua penderita rabies baik manusia maupun hewan.
(Kementrian Kesehatan RI, 2016).

Gambar 1
Alur Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka/ Rabies

Gambar 2
Tatalaksana Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR)

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Rabies adalah penyakit tingkat akut pada susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh virus rabies.
2. Penyakit rabies merupakan kelompok penyakit zoonosa (zoonosis) yaitu
penyakit infeksi yang ditularkan oleh hewan ke manusia melalui pajanan
atau Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing, kera, musang,
anjing liar, kucing.
3. Gejala dan tanda penderita lyssa/rabies yaitu :demam, mual, rasa nyeri di
tenggorokan sehingga takut untuk minum, gelisah, takut air (hidrofobia),
takut cahaya (fotofobia), dan liur yang berlebihan (hipersalivasi).
4. Langkah-langkah pencegahan rabies antara lain: menghilangkan rabies
pada anjing, kesadaran tentang rabies dan mencegah gigitan anjing, serta
imunisasi pencegahan pada orang.
5. Belum diketemukan obat/cara pengobatan untuk rabies sehingga selalu
diakhiri dengan kamatian pada hampir semua penderita rabies baik manusia
maupun hewan.

3.2 Saran
Diharapkan agar setiap individu dpt berupaya mencegah terinfeksi virus
rabies karena mengetahui akan bahaya yang ditimbulkan oleh penyakit ini serta
dapat mensosialisasikan tentang penularan virus kepada orang lain.

16
DAFTAR PUSTAKA
Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis Rabies. Jakarta Selatan:
Pusat Data dan Informasi. http://www.depkes.go.id (Diakses 19 Maret
2019).
Kementrian Kesehatan RI. 2016. Jangan Ada Lagi Kematian Akibat Rabies. Jakarta
Selatan: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. .
http://www.depkes.go.id (Diakses 19 Maret 2019).
Kementrian Kesehatan RI. 2017. Situasi Rabies Di Indonesia. Jakarta Selatan:
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. .
http://www.depkes.go.id (Diakses 19 Maret 2019).
Rampengan, Novie H. 2017. Rabies post exposure prevention. Bali Medical Journal
(Bali Med J). Volume 6, Number 2. Hal : 449-455.
Tiembre, issaka dkk. 2018. Human Rabies Cote D’lvoire 2014-2016: Result
Following Reinforcements to Rabies Surveillance. PLOS neglected tropical
diseases. Hal: 1-15.
World Health Organization. 2018. Rabies. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/rabies (Diakses 19 Maret 2019).

17

Anda mungkin juga menyukai