Anda di halaman 1dari 2

Tari saman

Tarian ini di namakan Saman karena diciptakan oleh seorang Ulama Gayo bernama Syekh
Saman pada sekitar abad XIV Masehi, dari dataran tinggi Gayo. Awalnya, tarian ini
hanyalah berupa permainan rakyat yang dinamakan Pok Ane. Namun, kek serta diiringi
pula oleh kombinasi tepukan-tepukan para penari. Saat itu, tari saman menjadi salah
satu media dakwah.

Pada mulanya, tari saman hanya ditampilkan untuk even-even tertentu, khususnya pada
saat merayakan Hari Ulang Tahun Nabi Besar Muhammad SAW atau disebut peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW.

Biasanya, tari saman ditampilkan di bawah kolong Meunasah (sejenis surau panggung).
Namun seiring perkembangan zaman, tari Saman pun ikut berkembang hingga
penggunaannya menjadi semakin sering dilakukan. Kini, tari saman dapat digolongkan
sebagai tari hiburan/pertunjukan, karena penampilan tari tidak terikat dengan
waktu, peristiwa atau upacara tertentu.

Tari Saman dapat ditampilkan pada setiap kesempatan yang bersifat keramaian dan
kegembiraan, seperti pesta ulang tahun, pesta pernikahan, atau perayaan-perayaan
lainnya. Untuk tempatnya, tari Saman biasa dilakukan di rumah, lapangan, dan ada
juga yang menggunakan panggung.

Tari Saman biasanya ditampilkan dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut
Syekh. Penari Saman dan Syekh harus bisa bekerja sama dengan baik agar tercipta
gerakan yang kompak dan harmonis.

Tari Payung
Sejarah tari payung tidak dapat terlepas dari kebudayaan suku Minangkabau. Beberapa
suku yang ada di daerah ini adalah suku koto, bodi, piliang, dan caniago. Dulunya
tari payung ini merupakan sebuah ritual yang sering dilakukan di setiap acara adat
suku-suku tersebut.

Jika dilihat dari gerakan tariannya, maka ini diperuntukkan untuk muda-mudi suku
Minangkabau. Tarian ini bersifat menghibur. Selain itu, tari payung juga seperti
menjelaskan bagaimana seharusnya perilaku pasangan dalam menjalin hubungan kasih
sayang, yaitu yang sesuai dengan norma agama dan norma adat.

Sintren
Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Bahurekso Bupati
Kendal yang pertama hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari yang dijuluki Dewi
Lanjar. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa
Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso,
akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun
demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.

Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke
tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh
roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R.
Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti
dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan
apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan). sintren jg mempunyai
keunikan tersendiri yaitu terlihat dari panggung alat-alat musiknya yang terbuat
dari tembikar atau gembyung dan kipas dari bambu yang ketika ditabuh dengan cara
tertentu menimbulkan suara yg khas.

Anda mungkin juga menyukai