ISBN 978-979-3145-63-1
Pengembangan
Teknologi Produksi
ISBN: 978-979-3145-63-1
Penerbit:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
dan Konservasi Alam
Kampus Balitbang Kehutanan
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16110
Telp. (0251) 8633234, 7520067; Fax. (0251) 8638111
E-mail: p3hka_pp@yahoo.co.id
Ketentuan Pidana
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
ii
KATA PENGANTAR
iii
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................iii
DAFTAR ISI................................................................................................. v
PERKEMBANGAN PEMANFAATAN GAHARU
Sulistyo A. Siran ......................................................................................................................................1
v
aftar Isi
D
vi
PERKEMBANGAN PEMANFAATAN
GAHARU
Sulistyo A. Siran
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Gaharu sebuah nama komoditi hasil hutan non kayu yang saat ini
menjadi perbincangan banyak kalangan. Dalam kehidupan sehari-
hari telah dikenal pepatah “sudah gaharu cendana pula”. Pepatah
ini mengindikasikan bahwa sebenarnya komonditi gaharu sudah
dipopulerkan oleh nenek moyang kita dan menjadi bukti sejarah
bahwa keharuman gaharu telah dikenal sejak ratusan tahun yang
lalu. Pertanyaan yang muncul, lantas kenapa komoditi yang telah
populer tersebut sepertinya menghilang begitu lama dan saat ini
muncul kembali. Jawaban yang sudah pasti adalah rumus umum,
yaitu karena pengambilan jauh lebih besar daripada produksinya.
Dilihat dari wujud dan manfaatnya, gaharu memang sangat
unik. Gaharu sebenarnya sebuah produk yang berbentuk gumpalan
padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum
yang terdapat pada bagian kayu atau akar tanaman pohon inang
(misalnya: Aquilaria sp.) yang telah mengalami proses perubahan
fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu
tidak semua pohon penghasil gaharu mengandung gaharu.
Dari sisi manfaat, gaharu sejak zaman dahulu kala sudah
digunakan, baik oleh kalangan elit kerajaan, maupun masyarakat
1
2
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
ada atau tidak adanya gaharu pada pohon tersebut. Menurut hasil
kajian, dari 20 pohon penghasil gaharu yang ditebang di hutan alam
hanya ada satu atau sering sama sekali tidak ada yang mengandung
gaharu. Kalaupun ada pohon yang mengandung gaharu, maka
jumlah gaharu yang ada di pohon tersebut hanya beberapa gram
saja. Oleh karena itu dapat dibayangkan kalau pencari gaharu
mendapatkan gaharu kira-kira 5 kilogram, mungkin puluhan atau
bahkan ratusan pohon penghasil gaharu yang harus ditebang.
Praktek semacam inilah yang mengakibatkan jumlah pohon
pengahasil gaharu di alam semakin menurun dari tahun ke tahun.
Indikasi menurunnya pupulasi pohon penghasil gaharu
ditunjukkan oleh kecenderungan produksi gaharu dari Kalimantan
dan Sumatera dari tahun ke tahun, di mana realisasi produksi
gaharu pada dekade 80’an pernah mencapai ribuan ton dengan
kualitas yang tinggi, sedangkan saat ini produksi tersebut merosot
drastis hanya kira-kira puluhan ton saja dengan kualitas yang
bervariasi.
Guna menghindari agar tumbuhan jenis gaharu di alam tidak
punah dan pemanfaatannya dapat lestari maka perlu diupayakan
untuk konservasi, baik in-situ (dalam habitat) maupun ek-situ
(di luar habitat) dan budidaya pohon penghasil gaharu. Namun
upaya tersebut tidak mudah dilaksanakan, dan kalaupun ada
usaha konservasi dan budidaya namun skalanya terbatas dan
hanya dilakukan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan
LSM konservasi. Sementara masyarakat secara luas enggan untuk
melakukan budidaya pohon penghasil gaharu karena memang
tidak memberikan keuntungan apa-apa.
Prospek untuk mengembalikan gaharu menjadi komoditi
andalan kembali terbuka dengan ditemukannya teknologi rekayasa
produksi gaharu. Dengan teknologi inokulasi maka produksi
gaharu dapat direncanakan dan dipercepat melalui induksi jamur
pembentuk gaharu pada pohon penghasil gaharu. Peningkatan
produksi gaharu dimaksud (yang kegiatannya terdiri dari kegiatan
di bagian hulu sampai hilir) selanjutnya akan berdampak pada
peningkatan penerimaan oleh masyarakat petani, pengusaha
3
4
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
5
6
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
sehingga tidak terjadi salah tebang pada pohon yang tidak berisi
gaharu. Adapun ciri dari tumbuhan penghasil gaharu berisi gaharu
antara lain adalah: daun berwarna kuning dan rontok, tajuk pohon
kecil dan tipis, cabang pohon banyak yang patah, banyak terdapat
benjolan dan lekukan sepanjang batang atau cabang pohon, kulit kayu
kering dan rapuh serta bila ditarik mudah putus. Setelah ditemukan
ciri-ciri tersebut maka dilakukan uji pelukaan pada batang pohon
dengan menggunakan kapak atau parang. Bilamana terdapat alur
coklat kehitaman pada batang menunjukkan adanya kandungan
gaharu. Untuk lebih meyakinkan biasanya serpihan kayu tadi
selanjutnya dibakar untuk mengetahui apakah mengeluarkan bau/
aroma wangi khas gaharu.
C. Pengolahan Gaharu
Sampai saat ini produk gaharu yang berasal dari alam umumnya
dipasarkan dalam bentuk bongkahan namun ada pula dalam
bentuk minyak hasil sulingan. Cara penyulingan minyak gaharu
dapat dilakukan dengan dua sistem yaitu sistem kukus dan tekanan
uap. Harga minyak gaharu di pasaran Jakarta Rp 750.000/tolak (1
tolak = 12 cc).
7
Klasifikasi mutu
No. Lokasi Tang- Keme- Cin-
Super Kacangan Teri
gung dangan cangan
1. Samarinda Super Kacangan A Teri A Keme-
king Kacangan B Teri B dangan A
Super A Kacangan C Teri C Keme-
Super AB Teri kulit A dangan B
Teri kulit B Keme-
dangan
commu-
nity
2. Muara Kacangan isi Teri isi Sudokan
Kaman Kacangan Teri kulit Serbuk
kosong
8
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
9
10
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Kesetaraan
Kandung-
Klasifikasi dengan Bau/aroma
No Warna an damar
mutu standar mutu (dibakar)
wangi
di pasaran
A. Gubal
1. Mutu Utama Super Hitam merata Tinggi Kuat
2. Mutu I Super AB Hitam kecoklatan Cukup Kuat
3. Mutu II Sabah Super Hitam kecoklatan Sedang Agak kuat
B. Kemedangan
1. Mutu I Tanggung A Coklat kehitaman Tinggi Agak kuat
2. Mutu II Sabah I Coklat bergaris Cukup Agak kuat
hitam
3. Mutu III Tanggung AB Coklat bergaris Sedang Agak kuat
putih tipis
4. Mutu IV Tanggung C Kecoklatan Sedang Agak kuat
bergaris putih
tipis
5. Mutu V Kemedangan I Kecoklatan Sedang Agak kuat
bergaris putih
lebar
6. Mutu VI Kemedangan Putih keabu- Kurang Kurang kuat
II abuan garis hitam
tipis
7. Mutu VII Kemedangan Putih keabu- Kurang Kurang kuat
III abuan
C. Abu gaharu
1. Mutu Utama Cincangan Hitam Tinggi Kuat
2. Mutu I Sedang Sedang
3. Mutu II Kurang Kurang
11
Pemungut
Pemungut Pedagang
Terikat Perantara
12
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Pemungut Pedagang
Bebas Pengumpul
Pedagang
Pemungut
Besar
Pemungut Pedagang
Terikat Perantara
PEMASARAN GAHARU
Dalam dunia perdagangan gaharu, baik di Indonesia maupun
di luar negeri, gaharu menjadi komoditi primadona dan memiliki
nilai komersial yang cukup tinggi sehingga banyak diburu oleh
konsumen. Gaharu yang diperdagangkan di Indonesia terdiri dari
tiga jenis, yaitu: gaharu dari Sumatera dan Kalimantan dengan
jenis Aquilaria malaccensis dan A. microcarpa, gaharu dari Papua,
Sulawesi dan Maluku lebih dikenal dengan nama Aquilaria filaria,
sedangkan jenis gaharu Gyrinops lebih banyak diproduksi dari Nusa
Tenggara. Apabila diperhatikan maka perdagangan gaharu hasil
alam di Indonesia dari dulu hingga saat ini lebih banyak bertumpu
pada peyebaran secara ekologis jenis-jenis gaharu tersebut.
Pemasaran gaharu yang merupakan salah satu bentuk
pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar diatur berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dan Konvensi Perdagangan
Internasional tentang jenis flora dan fauna liar yang terancam punah
(CITES). Oleh karena itu maka secara umum pemanfaatan gaharu
harus mengikuti tahapan dan aturan-aturannya, yaitu: penentuan
kuota, pengambilan dari alam atau hasil budidaya (penangkaran),
pengangkutan untuk peredaran dalam negeri dan pengangkutan
untuk pemasaran luar negeri.
13
14
Sirup daun gaharu Gaharu leaf tea
15
Secara garis besar, lalu lintas perdagangan gaharu di dalam
negeri dapat dilihat pada gambar berikut.
Papua
Sulawesi
Kalimantan
Maluku
Riau
Sumatera Surabaya
Sumatera
Jakarta
NTT
NTB
17
18
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Hongkong Japan
Prancis India Malaysia
China Taiwan
UK
Saudi
Kwait Arabia
Oman SINGAPORE
Qatar
UAE
Indonesia
Bahrain
Middle
Iraq East Afrika
Iran Riyadh
19
20
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
21
Bioinduction : 15 locations
Gambar 11. Penyebaran plot inokulasi pembentukan gaharu
(gambar bintang warna kuning)
22
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
23
24
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
25
> US $ 800
3 bulan 50.000
6 bulan 200.000
9 bulan 750.000
1 tahun 1.000.000
26
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
2 tahun 2.500.000
3 tahun US$ 800 atau 7.500.000
4 tahun ?
Hasil
Kualitas rekayasa
Teri
Hasil alam 4
Kemedangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tahun
27
1 2 3 4 5
Tahun
28
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
PENUTUP
Dengan ditemukannya teknologi inokulasi pembentukan
gaharu, terbukalah peluang yang besar untuk kegiatan pengusahaan
gaharu yang dimulai dari subsistem hulu (penyiapan lahan,
penyiapan bibit, penanaman, penyediaan pupuk, pemberantasan
hama dan penyakit), subsistem tengah (penyuntikan, penyediaan
inokulan, peralatan inokulasi, dan pengamanan), subsistem hilir
(pemanenan, pengangkutan, pengolahan, pemasaran), subsistem
pendukung (kebijakan pemerintah, riset dan pengembangan,
pendidikan dan pelatihan, tranportasi, infrastruktur, skema kredit
dan asuransi).
Ketiga subsistem tersebut di atas memerlukan investasi yang
cukup besar, peluang penyerapan tenaga kerja yang besar dan
penerimaan asli daerah yang cukup signifikan.
Untuk dapat mewujudkan kondisi dan harapan tersebut, maka
seluruh sektor harus memainkan peran sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya masing-masing. Hanya dengan koordinasi dan
integrasi yang baik di antara seluruh komponen masyarakat dan
pemerintah, maka produk gaharu akan menjadi produk andalan
dimasa depan.
29
30
STATUS RISET GAHARU
31
32
Aspek PRODUKSI
33
PENGEMBANGAN GAHARU
DI SUMATERA
Mucharromah
Fakultas Pertanian Jurusan Perlindungan Tanaman
Universitas Bengkulu
PENDAHULUAN
Gaharu merupakan produk kehutanan yang memiliki nilai
ekonomi sangat tinggi dibanding produk kehutanan lainnya,
sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan
gaharu ini perlu dilakukan, khususnya untuk menjaga
kesinambungan produksi, sekaligus untuk melindungi ragam pohon
penghasil gaharu yang ada di Indonesia. Dalam pengembangan
gaharu, masyarakat di sekitar hutan merupakan sasaran ideal yang
dapat melipatgandakan peran dan fungsi program tersebut. Dari
segi keberadaan material bibitnya lokasi sekitar hutan memiliki
jumlah tegakan gaharu alam terbanyak, mengingat buah pohon
ini bersifat rekalsitran, sehingga tidak menyebar jauh, kecuali
dengan campur tangan manusia. Dari segi kesiapan masyarakat,
pada umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sudah
mengenal gaharu, sebagian bahkan pernah menjadi pengumpul,
sehingga pemahaman dan keterampilannya untuk mendukung
pengembangan cluster industri gaharu telah sangat memadai.
Dari aspek keamanan lingkungan dan keragaman hayati,
pengembangan gaharu di sekitar hutan juga akan membantu
pengamanan keragaman hayati dan kelestarian hutan, mengingat
35
Aspek PRODUKSI
36
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
37
Aspek PRODUKSI
38
dan mensortasi atau mengumpulkan gaharu yang dihasilkan
berdasarkan gradasi kualitas dan kegunaannya. Dari segi
bentuknya, gaharu merupakan jaringan kayu dari pohon jenis
tertentu (penghasil gaharu) dengan kandungan resin sesuiterpenoid
volatil beraroma harum gaharu yang cukup tinggi. Adanya aroma
harum yang khas dan tahan lama inilah yang membuat gaharu
sangat disukai dan dihargai dengan nilai ekonomi yang sangat
tinggi. Selain itu jaringan yang mengandung resin wangi gaharu
juga hanya didapati pada bagian pohon yang mengalami proses
tertentu, seperti pelukaan yang disertai infeksi patogen melalui
inokulasi atau proses lainnya, yang selanjutnya membuat jaringan
kayu tersebut memiliki warna, aroma, tekstur, dan tingkat kekerasan
dan berat jenis berbeda. Hal ini membuat gaharu menjadi makin
mahal dan nilainya sangat ditentukan oleh kualitas kadar dan
kemurnian resin yang dikandungnya.
Pada gaharu alam gradasi kualitas ditentukan berdasarkan
standar mutu yang telah ditetapkan secara nasional dalam SNI 01-
5009.1-1999. Dalam standar ini kualitas gaharu dibedakan menjadi
tiga sortimen, yaitu gubal gaharu, kemedangan, dan abu gaharu.
Ketiga sortimen tersebut dibagi lagi dalam 13 kelas kualitas, yang
terdiri dari:
39
Aspek PRODUKSI
c. mutu kedua.
Namun pembedaan kelas kualitas tersebut secara detil
sangat sulit dilakukan sehingga pada prakteknya hingga saat ini
konsumenlah yang menentukan tingkat mutu produk dan harga
gaharu. Hal ini merupakan anomali dari kondisi perdagangan
komoditi lainnya, di mana pemilik barang merupakan penentu
harga. Namun dengan tingkat keahlian sortasi, standar kualitas
gaharu dan harganya akan lebih terjamin. Untuk itu pelatihan SDM
dalam teknik monitoring perkembangan pembentukan gaharu dan
kontrol kualitasnya sangat penting dilakukan.
Saat ini sudah cukup banyak pohon penghasil gaharu yang telah
diinokulasi, khususnya dari jenis Aquilaria dan Gyrinops. Teknik
inokulasi untuk induksi pembentukan gaharu juga telah makin
efisien dan murah. Pada hasil uji lanjut teknik produksi gaharu
yang dilakukan beberapa bulan lalu di Provinsi Bengkulu, proses
pembentukan gaharu telah semakin cepat terjadi. Pada 6 bulan
setelah inokulasi telah dicapai produk kualitas kemedangan TGB
dan TGA, yang biasanya baru dapat dicapai pada 12-18 bulan setelah
inokulasi, meskipun sebagian besar masih berada pada mutu TGC
(Mucharromah et al., 2008).
Perkembangan keberhasilan teknik inokulasi ini sangat
prospektif untuk mendukung pengembangan produksi gaharu yang
pohon penghasilnya telah mulai banyak dibudidayakan di Sumatera
dan wilayah lain di Indonesia. Dengan demikian pengembangan
gaharu siap dilaksanakan, tidak hanya di sekitar wilayah hutan
tetapi bahkan hingga ke halaman rumah dan perkantoran serta
sekolah, seperti yang telah dilakukan di Kota Bengkulu dan
sekitarnya. Namun pengembangan gaharu di sekitar wilayah
hutan kemungkinan akan jauh lebih efisien proses produksinya, di
samping lebih besar manfaatnya bagi pengamanan lingkungan dan
pemberdayaan serta pemakmuran masyarakat.
40
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
41
Aspek PRODUKSI
42
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
43
Aspek PRODUKSI
44
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
45
Aspek PRODUKSI
46
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
PENUTUP
1. Pengembangan gaharu merupakan suatu program yang sangat
besar, tidak hanya karena menghasilkan produk bernilai
ekonomi yang sangat tinggi, yang berpotensi sangat besar untuk
pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan, tetapi juga
karena upaya ini memerlukan investasi teknologi dan modal
yang cukup besar bagi keberhasilannya. Oleh karenanya
pengembangan gaharu perlu dilaksanakan dengan perencanaan
yang sangat matang dari setiap tahapan prosesnya sehingga
dapat berjalan dan meningkatkan kemandirian masyarakat
di wilayah sekitar hutan. Hal ini sangat penting dilakukan,
tidak hanya untuk menjamin peningkatan dan kesinambungan
produksi gaharu, tetapi juga untuk melindungi hutan dan
keragaman hayati yang ada di sekitarnya serta meningkatkan
kapasitas hutan dalam menanggulangi potensi bahaya bencana
alam yang disebabkan oleh longsor, banjir, kekeringan, polusi,
dan beragam kerusakan lingkungan lainnya.
2. Untuk lebih mengefisienkan proses produksi dan menekan
pembiayaan maka program pengembangan gaharu perlu
dilakukan dengan mengadopsi model yang paling efisien
dan praktis, sehingga keberhasilannya akan lebih terjamin.
Hal ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat proses
pembentukan gaharu tidak berjalan secara otomatis pada
tanaman yang tumbuh sehat, sebagaimana produk pertanian
atau perkebunan dan kehutanan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. Academic Press, New York.
Anonim. 1995. Analisa Penyebab Terjadinya Gubal dan Kemedangan
pada Pohon Gaharu. Makalah Dipresentasikan pada Temu
Pertama Pakar Gaharu, 20 Oktober1995. Jakarta.
47
Aspek PRODUKSI
48
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
49
Aspek PRODUKSI
50
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
Harga/ Total
No Uraian QTY Unit unit cost
(Rp’000) (Rp’000)
A. Biaya akuisisi lahan
Pembelian lahan 1 ha 15.000 15.000
Perizinan/sertifikat/notariat 1 Surat* 4.000 4.000
Total 19.000
B. Biaya pra operasi (start-up cost)
Sarana & prasarana TBM
Rumah jaga 1 Unit 2.000 2.000
Sarana penerangan (PLN) 1 Unit 1.000 1.000
Sarana komunikasi 1 Unit 2.000 2.000
Sarana lainnya 1 - 1.000 1.000
Total 6.000
A+B Total biaya (direkapitulasi) 25.000
C Beban operasi
C.1. Penanaman pohon baru
Land clearing 1 ha 1.000 1.000
Pembelian bibit 1.000 Btg 5 5.000
Pembuatan lubang 1.000 Btg 1 1.000
Penanaman pohon gaharu 1.000 Btg 0,5 500
Pemupukan 1.000 Btg 5 5.000
Perawatan dan pengamanan 1 ha 24.000 24.000
Total 36.500
C.2. Beban inokulasi
Pengadaan inokulan 1.000 Btg 20 20.000
Pembelian peralatan 1 Set 3.000 3.000
Stressing agent 1.000 Btg 10 10.000
Tenaga kerja 1.000 Btg 5 5.000
Pemelihaaan/perawatan 1.000 Btg 10 10.000
Operasi lainnya 1.000 Btg 1 1.000
Total 49.000
51
Aspek PRODUKSI
Harga/ Total
No Uraian QTY Unit unit cost
(Rp’000) (Rp’000)
C.3. Beban panen & pasca panen
Penebangan 1.000 Btg 5 5.000
Angkut ke gudang 1.000 Btg 5 5.000
Pembersihan gaharu 2.000 Kg 10 20.000
Packing 2.000 Kg 2 4.000
Total 34.000
C.4. Beban pemasaran & umum lainnya
Angkut penjualan 2.000 Kg 5 10.000
Penjualan 2.000 Kg 10 20.000
Retribusi 2.000 Kg 20 40.000
Umum lainnya 2.000 Kg 0,5 1.000
Total 71.000
Total beban operasi 190.500
D Proyeksi penghasilan
Penjualan kelas C 2.000 Kg 2.000 4.000.000
Total proyeksi penghasilan 4.000.000
E Beban zakat /pajak 5% % 200.000
F Proyeksi keuntungan 3.609.500
Sumber: Hasil perhitungan peneliti dengan CV Gaharu 88 Bengkulu, 2006
52
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
2
KAJIAN KIMIA GAHARU HASIL
INOKULASI Fusarium sp. PADA
Aquilaria microcarpa
Eka Novriyanti
Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat Kuok
PENDAHULUAN
Gaharu adalah komoditas hasil hutan non-kayu yang bernilai
ekonomi tinggi dengan harga pasar bervariasi tergantung
kualitasnya, mulai dari 300 ribu rupiah hingga 25 juta rupiah
untuk kualitas double super. Produk ini dihasilkan beberapa spesies
penghasil gaharu dalam famili Thymeleaceae. Indonesia yang
merupakan salah satu pemasok gaharu terbesar memiliki kekayaan
jenis penghasil gaharu tertinggi di dunia, yaitu 27 spesies dari 8
genus dan 3 famili yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku,
dan Irian (Sumarna, 2005).
Gaharu bernilai jual tinggi terutama dari resin wanginya yang
disebut memiliki scent of God’, meskipun pengunaan produk ini
sebenarnya tidak terbatas hanya pada bidang wewangian saja.
Pada prinsipnya, pemanfaatan gaharu adalah untuk pengobatan,
incense, dan parfum (Barden et al., 2000). Incense gaharu digunakan
dalam ritual kepercayaan dan upacara-upacara religius keagaman,
sebagai pengharum ruangan sembayang serta benda-benda rohani
seperti rosario dan tasbih (Barden et al., 2000). Sementara itu, dalam
bidang pengobatan gaharu digunakan sebagai analgesik dan anti
53
Aspek PRODUKSI
54
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
55
Aspek PRODUKSI
56
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
57
Aspek PRODUKSI
Komponen Keterangan
Ambrettolide Senyawa ini memiliki karakter wangi musk, manis buah, dan
bunga (International Flavor and Fragrance, Inc., 2008)
Ambrox Ambrox memiliki karakter odorant tipe amber dan juga
merupakan anti-inflamatory yang potensial untuk bidang
pengobatan (Castro et al., 2002).
Valerolactone Senyawa ini memiliki wangi herbal yang dimanfaatkan dalam
industri parfum dan pewangi (Wikipedia Online, 2008).
Ketoisophorone Ketoisophorone mengumbar wangi manis campuran kayu, teh,
dan, daun tembakau (The Good Scent Company, 2008).
Maltol Komponen ini menyajikan wangi caramel dan digunakan untuk
menghasilkan wangi yang manis pada fragrance, biasanya
dimanfaatkan sebagai penguat rasa dan aroma (flavor enhancer)
pada roti dan kue (Wikipedia Online, 2008).
Indole Senyawa ini pada konsentrasi rendah menyajikan wangi bunga
dan merupakan konstituen dalam berbagai wangi bunga dan
parfum. Indole merupakan konstituen utama dalam minyak
melati dan karena minyak melati ini berharga mahal, produk
ini dibuat sintetisnya dengan menggunakan indole (Wikipedia
Online, 2008).
Isolongifolen Isolongifolene merupakan bahan yang sangat berguna sebagai
odorant dan minyak parfum (Bunke dan Schatkowski, 1997).
58
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
Komponen Keterangan
Limonene Limonene merupakan terpen yang memiliki aroma bunga dan
buah. Limonen merupakan monoterpeneoid yang digunakan
sebagai insektisida botani, selain sebagai bahan kosmetik dan
flavouring karena memberi wangi sitrus. Geraniol dan limonen
juga dimanfaatkan dalam pengobatan herbal dan konstituen
dalam berbagai tanaman obat (Wikipedia Online, 2008; The Good
Scent Company, 2008; Mann et al., 1994; Blake, 2004).
Cadinene Senyawa ini muncul sebagai konstituen minyak esensial berbagai
tanaman (Wikipedia Online, 2008).
Dumasin Dikenal juga sebagai cyclopentanone yang memiliki wangi mint.
Merupakan material wewangian dan untuk pengobatan serta
memiliki sifat pestisida (ChemYQ, 2008).
Benzylacetone Benzylacetone memiliki wangi manis bunga yang merupakan
komponen atraktan yang melimpah pada bunga, juga merupakan
komponen volatil pada kokoa (Wikipedia Online, 2008).
Azulene Azulene sangat sering ditemukan sebagai komponen dalam
minyak esensial tanaman dalam family Asteraceae dan memiliki
wangi dan warna biru pada minyak dan ekstraknya (Lynd-
Shiveley, 2004).
59
Aspek PRODUKSI
60
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
Senyawa Keterangan
Eugenol Bersifat bakteriostatik terhadap jamur dan bakteri (Cowan, 1999).
Eugenol digunakan dalam pembuatan parfum, minyak esensial, dan
obat-obatan. Senyawa ini digunakan untuk menghasilkan isoeugenol
yang diperlukan untuk membuat vanilin yang juga merupakan
bahan yang penting dalam obat-obatan dan industri parfum dan
pengharum. Eugenol dan isoeugenol diturunkan dari prekursor
lignin, yaitu asam ferulat ataupun koniferil alkohol (Rhodes, 2008).
Koniferil Merupakan senyawa pertahanan tipe fitoaleksin yang termasuk
alkohol dalam grup fenilpropanoid, contohnya adalah yang terdapat pada
Linum usitiltissimum (Sengbusch, 2008).
Guaiakol Merupakan intermediet dalam pembuatan eugenol dan vanilin, yang
juga digunakan sebagai antiseptik dan parasitisida (Li dan Rosazza,
2000).
Katekol dan Adalah fenol terhidroksilasi yang bersifat toksik pada
pirogalol mikroorganisme. Letak dan jumlah grup hidroksil pada grup
fenol diduga berkaitan dengan daya racun relative-nya terhadap
mikroorganisme, di mana daya racun akan semakin meningkat
dengan semakin tingginya hidroksilasi (Cowan, 1999).
Veratrol Merupakan dimetil eter dari pirokatekol. Kedua senyawa ini dan
turunannya digunakan sebagai antiseptik, ekspektoran, sedatif,
deodoran, dan parasitisida (Wikipedia, 2008a). Konstituen resveratrol
yang diturunkan dari asam p-hidroksisinamat dan 3 unit malonat,
memiliki sifat antimikrobial (Torssel, 1983; p:144).
KESIMPULAN
1. Hasil inokulasi Fusarium sp. pada batang Aquilaria microcarpa
dapat dianalisis kuantitas dan kualitasnya melalui pendekatan
besaran infeksi dan komponen kimia yang dapat dianggap
masing-masinng sebagai refleksi kuantitas dan kualitas gaharu
yang terbentuk.
2. Pada gaharu rekayasa hasil inokulasi Fusarium sp. pada A.
microcarpa ditemukan beberapa komponen senyawa yang sudah
diidentifikasi merupakan konstituen gaharu dan beberapa
senyawa lain yang memiliki karakter odorant dan secara
komersil digunakan dalam industri perfumery dan flavoring.
61
3. Meskipun secara statistik tidak memperlihatkan perbedaan
yang signifikan terhadap luasan infeksi yang terbentuk setelah
6 bulan inokulasi, daerah asal isolat menunjukkan perbedaan
dalam konsentrasi senyawa-senyawa gaharu yang terbentuk.
Secara umum, inokulasi Fusarium sp. asal Kalimantan Tengah
menunjukkan konsentrasi senyawa konstituen gaharu
terkonfirmasi yang lebih tinggi, namun isolat asal Maluku
menunjukkan konsentrasi yang relatif lebih tinggi untuk total
senyawa dengan karakter odoran.
DAFTAR PUSTAKA
Abrishami, F, R. Teimuri-Mofrad, Y. Bayat, A. Shahrisa. 2002.
Synthesis of Some Aldoxime Derivatives of 4H-Pyran-4-ones.
Molecules 7: 239–244.
Azah, M. A. N., Y. S. Chang, J. Mailina, A. A. Said, J. A. Majid, S.
S. Husni, H. N. Hasnida, Y. N. Yasmin. 2008. Comparison of
Chemical Profiles of Selected Gaharu Oils from Peninsular
Malayia. The Malaysian Journal of Analytical Sciences 12 (2):
338-340.
Baker, C. J., B. D. Whitaker, N. M. Mock, C. Rice, D. P. Robert, K. L.
Deahl, A. A. Averyanov. 2004. Stimulatory Effect of Acetosy-
ringone on Plant/Pathogen Recognition. http://www.ars.usda.
gov/research/publications/publications. htm. [20 Juni 2008].
Barden, A., N. A. Anak, T. Mulliken, M. Song. 2000. Heart of the
Matter: Agarwood Use and Trade and CITES Implementation for
Aquilaria malaccensis. www.traffic.org. [22 Mei 2007].
Blake, S. 2004 Medicinal Plant Constituents. http://www.
naturalhealthwizards. com/MedicinalPlantConstituents.pdf.
[21 Juni 2008].
Blanchette, R. A. 2006. Sustainable Agarwood Production in Aquilaria
Trees. www.therainforestproject.net. [2 Februari 2007].
Bunke, E. J, D. Schatkowski. 1997. Isolongifolanol Derivates, their
Production and their Use. United State Patent. http://www.
freepatentsonline.com [31 Desember 2008].
Burfield, T. 2005a. Agarwood Chemistry. www.cropwatch.org. [2
Februari 2007].
Castro, J. M., S. Salido, J. Altarejos, M. Nogueras, A. Sánchez. 2002.
Synthesis of Ambrox® from Labdanolic Acid. Tetrahedron 58
(29): 5941-5949.
ChemYQ. 2008. Dumasin; Succinaldehyde. http://www.chemyq.com/
En/xz/xz11 [3 April 2008].
CITES, 2004. Convention on International Trade in endangered
Species of Wild Fauna and flora: Amendments to Appendices
I and II of CITES. http://www.cites.org/common/cop/13/raw /
props/ID-Aguilaria-Gyrinops.pdf.
Cowan, M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical
Microbiology Review 12 (4): 564-582.
FAO. Food safety and Quality: Flavoruing Index. http://www.fao.org/
ag/agn/jecfa-flav/index.html?showSynonyms=1 [ 1 November
2008: 2.31 pm].
Forestry Commission GIFNFC. 2007. Chemicals from Trees. http: //
treechemicals. csl.gov.uk/review/extraction.cfm. [14 Juli 2007].
Fotouhi, L., A. Fatehi, M. M. Heravi. 2008. Investigation of
Electrooxidation Reaction of Some Tetrahydrobenzo[b]pyran
Derivatives. Int. J. Electrochem. Sci. 3: 721-726.
Hayne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan
Litbang Kehutanan Jakarta. Thymelaceae. Yayasan Sarana
Wana Jaya. Terjemahan dari: Nuttige Planten Van Indonesie.
hlm: 1467-1469.
Hills, W. E. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin: Springer-
Verlag.
Hua, S. S. T. 2001. Inhibitory Effect of Acetosyringone on Two
Aflatoxin Biosynthetic Genes. Applied Microbiology 32: 278-281.
International Flavor and Fragrance, Inc. 2008. http://www.iff.com/
Ingredients.nsf/0/45BD7B214C6F661E8025699000 5D79C2 [31
Desember 2008].
Ishihara, M., T. Tsuneya, M. Shiga, and K. Uneyama. 1991. Three
Sesquiterpenes from Agarwood. Phytochemistry 30 (2): 563-
566.
63
Aspek PRODUKSI
64
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
65
Aspek PRODUKSI
66
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
67
Aspek PRODUKSI
68
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
69
Aspek PRODUKSI
70
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
71
Aspek PRODUKSI
72
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
73
Aspek PRODUKSI
74
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
75
76
3
TEKNOLOGI INDUKSI POHON
PENGHASIL GAHARU
PENDAHULUAN
Gaharu yang merupakan produk komersil bernilai ekonomis
tinggi, sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi
pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau
infeksi penyakit. Gaharu telah diperdagangkan sejak ratusan tahun
lalu. Menurut Suhartono dan Mardiastuti (2002), perdagangan
produk ini di Indonesia pertama kali tercatat pada abad ke-5
Masehi, di mana China dilaporkan sebagai pembeli utama. Dalam
perdagangan internasional, komoditas ini dikenal dengan berbagai
nama seperti agarwood, aloeswood, karas, kresna, jinkoh, oudh,
dan masih banyak lagi nama lainnya. Bentuk perdagangan gaharu
beragam, mulai dari bongkahan, chip, serbuk, dan minyak gaharu
(Surata dan Widnyana, 2001). Komoditas berbentuk minyak
biasanya diperoleh dari penyulingan atau ekstraksi chip gaharu
dari kelas yang bermutu rendah.
Saat ini, gaharu bernilai jual tinggi terutama dari resin wanginya
yang disebut sebagai ‘scent of God’, meskipun penggunaan produk
ini sebenarnya tidak terbatas hanya pada bidang wewangian saja.
77
Aspek PRODUKSI
78
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
A. Bahan
Bahan yang digunakan pada kegiatan ini adalah 21 isolat
Fusarium spp. yang diinokulasi di Laboratorium Mikrobiologi
Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi
Alam Bogor. Isolat fungi tersebut diperoleh dari batang Aquilaria
spp. yang telah menunjukkan adanya pembentukan gaharu secara
alami. Batang Aquilaria spp. diambil dari beberapa tanaman gaharu
yang terdapat di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Maluku, NTB dan
Sulawesi (Tabel 1).
79
Aspek PRODUKSI
B. Metode
Untuk identifikasi masing-masing koloni ditumbuhkan pada
media PDA dalam cawan petri, kemudian diinokulasi pada suhu
kamar dan diletakkan di ruangan inokulasi selama tujuh hari. Untuk
pengamatan morfologi dilakukan melalui mikroskop parameter,
yang diamati adalah ukuran diameter koloni, baik secara horizontal
maupun vertikal, diamati juga warna koloni dan keberadaan aerial
miselium.
Identifikasi juga mengamati ciri makrokonidia, mikrokonidia
serta bentuk konidiofor. Sediaan kultur dibuat dengan cara
memindahkan potongan kecil isolat fungi menggunakan alat
pelubang gabus berdiameter lima mm, isolat diletakkan pada
gelas obyek yang kemudian ditutup dengan cover glass preparat,
diinkubasi dengan cara diletakkan pada ruang tertutup yang
kelembabannya dijaga dengan cara memasukkan kapas yang telah
dibasahi aquadesh steril. Sediaan kultur diinkubasi selama tujuh
hari, setelah itu koloni yang tumbuh pada gelas obyek diamati di
bawah mikroskop setelah preparat diberi zat pewarna, yang diamati
adalah bentuk dan miselium.
C. Teknik Inokulasi
1. Inokulasi
Pohon contoh adalah A. microcarpa di Hutan Penelitian Carita.
Rancangan acak lengkap dengan perlakuan daerah asal isolat (I),
yaitu Fusarium spp. asal Gorontalo (II); Kalimantan Barat (12); Jambi
(13) dan Padang (14) serta campuran dari keempat isolat tersebut
(15). Masing-masing isolat diinokulasikan pada 3 ulangan.
Inokulasi dilakukan pada semua pohon contoh. Sebelum
penginjeksian, semua peralatan yang digunakan disterilkan
terlebih dahulu dengan alkohol 70% untuk menghindari adanya
kontaminasi dari mikrobamikroba lain. Pengeboran dilakukan
80
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
A B
Gambar 1. Pengeboran batang pohon contoh (A) dan injeksi
isolat pada lubang bor (B)
81
Aspek PRODUKSI
82
Karakter aerial miselium terdapat hampir pada setiap isolat
Fusarium spp. Isolat yang tidak memiliki aerial miselium dijumpai
pada Ga-15 asal Mentawai. Walaupun sebagian besar isolat
Fusarium spp. memiliki aerial miselium, namun terdapat perbedaan
antar isolat jika dilihat berdasarkan kerlimpahan relatif aerial
miseliumnya. Isolat Ga-1, Ga-9, Ga-10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, dan Ga-
17 memiliki kelimpahan aerial miselium relatif banyak (Tabel 2),
sedangkan isolat Ga-3, Ga-6, dan Ga-16 merupakan isolat dengan
kelimpahan aerial miselium sedikit.
Irawati (2004) melaporkan bahwa secara umum cendawan
yang ditumbuhkan pada kondisi terang secara terus-menerus akan
membentuk aerial miselium relatif lebih banyak. Aerial miselium
yang terbentuk dengan kelimpahan relatif banyak merupakan
mekanisme fototropi terhadap kehadiran cahaya (Irawati, 2004).
Namun, karena pada penelitian semua isolat yang diuji mendapat
perlakuan cahaya yang sama, maka perbedaan kelimpahan aerial
miselium adalah disebabkan oleh karakter masing-masing isolat.
b. Warna Koloni
Selain aerial miselium, keragaman morfologi isolat Fusarium
spp. adalah warna koloni. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa warna koloni putih terdapat pada isolat Ga-4, Ga-5, Ga-6, Ga-
8, Ga-10, Ga-13, Ga-14, dan Ga-19 (Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar
4). Selain warna putih, beberapa isolat memiliki warna putih dan
warna kuning muda pada isolat Ga-1, cokelat muda (Ga-2), putih
krem (Ga-7, Ga-17, dan Ga-21). Isolat ga-17 dan Ga-21 memiliki
kemiripan warna koloni dengan isolat Fusarium yang berasal dari
Riau yang telah teridentifikasi dan merupakan spesies Fusarium
solani (Luciasih et al., 2006).
Fusarium solani merupakan spesies yang kosmopolit dengan
ciri khas kelimpahan mikrokonidianya elips. Isolat Ga-10 dan Ga-
11 memiliki warna koloni putih dan warna cokelat muda (peach).
Isolat Ga-18, Ga-19, dan Ga-20 memiliki warna koloni putih dan
kuning muda.
Ditemukan juga isolat yang memiliki warna koloni yang sangat
berbeda dengan isolat lain, yaitu warna hifa miselium didominasi
83
Aspek PRODUKSI
oleh warna ungu namun memiliki warna koloni putih sedikit tipis
pada aerial miselium yang terletak pada bagian tepi koloni (Gambar
3). Keragaman yang terdapat pada warna koloni berhubungan
dengan pigmen yang dikandung oleh dinding sel hifa. Cendawan
yang tidak berpigmen umumnya berwarna hialin.
c. Diameter Koloni
Diameter koloni Fusarium spp. berkisar antara 30-69 mm. Semua
isolat yang diuji dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu
diameter kurang dari 40 mm (isolat Ga-6), isolat dengan diameter
antara 40-50 mm (isolat Ga-2, Ga-4, Ga-5, Ga-8, dan Ga-20), dan isolat
dengan diameter lebih dari 50 mm (isolat Ga-1, Ga-3, Ga-7, Ga-9, Ga-
10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15, Ga-16, Ga-17, Ga-18, Ga-19, dan
Ga-21) (Tabel 2, Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4).
Keragaman diameter koloni Fusarium spp. berhubungan dengan
kecepatan tumbuh hifa. Selain itu, diperoleh adanya hubungan
yang erat antara kecepatan tumbuh hifa dengan kehadiran aerial
miselium.
Diameter koloni merupakan veriebel yang berhubungan
erat dengan kecepatan tumbuh. Pada beberapa isolat Fusarium,
kecepatan tumbuh merupakan karakter yang khas pada setiap
isolat. Kecepatan tumbuh yang tinggi dapat berhubungan juga
dengan kemampuan virulensi. Untuk mengetahui kemampuan
virulensi, maka isolat perlu diuji, misalnya terhadap inangnya.
84
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
85
Aspek PRODUKSI
Karakter histologi
No Kode Makrokonidia Mikrokonidia
Jumlah septa Konidiofor Kelimpahan Bentuk
1 Ga-1 3 Simpel Banyak Elips
2 Ga-2 4 Bercabang Banyak Elips, oval
3 Ga-3 3 Simpel Banyak Elips
4 Ga-4 4-7 Simpel Banyak Elips, oval
5 Ga-5 2 Simpel Sedikit Elips
6 Ga-6 3 Simpel Sedikit Elips, oval
7 Ga-7 2 Simpel Sedikit Elips, oval
8 Ga-8 2 Simpel Sedikit Elips, lonjong
9 Ga-9 5 Simpel Sedikit Elips, sekat
10 Ga-10 3 Simpel Banyak Elips, sekat
11 Ga-11 4 Bercabang Banyak Elips
12 Ga-12 5 Simpel Banyak Elips
13 Ga-13 4 Simpel Sedikit Elips
14 Ga-14 7 Simpel Sedikit Elips
15 Ga-15 4 Bercabang Banyak Elips
16 Ga-16 7 Simpel Sedikit Elips, sekat 3
17 Ga-17 5 Bercabang Sedikit Elips
18 Ga-18 3 Bercabang Banyak Elips
19 Ga-19 4 Simpel Banyak Elips
20 Ga-20 2 Bercabang Sedikit Elips, oval
21 Ga-21 3 Bercabang Banyak Elips
87
Aspek PRODUKSI
88
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
89
Aspek PRODUKSI
90
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
91
huruf yang sama tidak berbeda nya-
bentuk pada batang A. mi-
ta pada 0,05
crocarpa. Namun sama hal-
nya dengan kondisi pada umur inokulasi 2 bulan, dari Gambar 8
Aspek PRODUKSI
terlihat bahwa infeksi tertinggi masih disebabkan oleh isolat asal
Gorontalo dan campuran.
GambarGambar 8. Panjang
8. Panjang infeksi
infeksi batang
batang A. microcarpa
A. microcarpa
92
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
KESIMPULAN
1. Secara morfologi isolat Fusarium spp. didominasi warna putih,
namun terdapat warna koloni merah muda, kuning, dan ungu.
Hampir semua isolat memiliki aerial miselium. Secara histologi
isolat Fusarium spp. memiliki karakter makrokonidia bersepta
3-4 dan makrokonidia didominasi oleh bentuk elips.
2. Uji perbedaan kecepatan tumbuh menunjukkan bahwa isolat Ga-
9, Ga-11, dan Ga-17 merupakan isolat yang memiliki kecepatan
tumbuh tinggi apabila dibandingkan dengan isolat Fusarium
yang lain.
3. Hasil inokulasi Fusarium spp. pada batang Aquilaria microcarpa
dapat dianalisis kuantitas dan kualitasnya melalui pendekatan
besaran infeksi dan komponen kimia yang dapat dianggap
masing-masing sebagai refleksi kuantitas dan kualitas gaharu
yang terbentuk.
4. Isolat Fusarium spp. asal Gorontalo menyebabkan infeksi yang
paling besar, jadi sebaiknya isolat ini digunakan untuk inokulasi
93
Aspek PRODUKSI
DAFTAR PUSTAKA
Adelina, N. 2004. Seed Leaflet : Aquilaria malaccensis Lamk. Forest
and Landscape Denmark. www.SL.kvl.dk. [2 Februari 2007].
Barden, A., A.A. Nooranie, M. Teresia, and S. Michael (2000). Heart of
The Matter Agarwood Use and Trade and CITES Implementation
for Aquilaria malaccensis, TRAFFIC Network. pp. 2.
Booth, C. (1971). The Genus Cylondrocarpon. (England :
Commonwealth Mycological Institute). pp. 120-127.
Cowan, M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical
microbiology Review.12 (4) : 564-582.
Forestry Commission GIFNFC. 2007. Chemicals from Trees. http: //
treechemicals. csl. gov.uk/review/extraction.cfm. [14 Juli 2007].
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan
Litbang Kehutanan. Jakarta. pp. 267-269.
Hills, W. E. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin : Springer-
Verlag. Hua SST. 2001. Inhibitory Effect of Acetosyringone on
Two Aflatoxin Biosynthetic Genes. Applied Microbiology 32 :
278-281.
Irawati. 2004. Karakterisasi Mikoriza Rhizocstonia dari Perakaran
Tanaman Vanili Sehat. Tesis. Magelang. pp. 6-7.
Isnaini, Y. 2004. Induksi Produksi Gubal Gaharu Melalui Inokulasi
Cendawan dan Aplikasi Faktor Biotik. Disertasi). Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Luciasih, A., D. Wahyuno, dan E. Santoso. 2006. Keanekaragaman
Jenis Jamur yang Potensial dalam Pembentukan Gaharu dari
Batang Aquilaria spp. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam III(5):555-564. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Bogor.
Rowell, Rm. 1984. The Chemistry of Solid Wood. Washington :
American Chemical Society.
94
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
95
96
4
EFEKTIVITAS DAN INTERAKSI
ANTARA Acremonium sp. DAN
Fusarium sp. DALAM PEMBENTUKAN
GUBAL GAHARU PADA Aquilaria
microcarpa
Gayuh Rahayu
Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor
Erdy Santoso
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
Esti Wulandari
Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor
LATAR BALAKANG
Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan
kayu (HHBK) yang dihasilkan oleh beberapa spesies pohon gaharu
(Aquilaria sp., Magnoliopsida, Thymelaeaceae). Proses pembentukan
gubal pada pohon gaharu, hingga saat ini masih terus diteliti.
Menurut Nobuchi dan Siripatanadilok (1991), gubal gaharu diduga
dapat terbentuk melalui infeksi cendawan. Beberapa spesies
Fusarium seperti F. oxyporum, F. bulbigenium, dan F. lateritium
telah berhasil diisolasi oleh Santoso (1996). Selain itu, Rahayu et
al. (1999) menyatakan bahwa beberapa isolat Acremonium sp.
asal gubal gaharu pada Gyrinops verstegii (sin. A. filaria) dan A.
malaccensis mampu menginduksi gejala pembentukan gubal pada
pohon gaharu (A. crassna, A. malaccensis, A. microcarpa) umur
97
Aspek PRODUKSI
A. Bahan
Bahan dan alat yang digunakan adalah pohon A. microcarpa
umur 13 tahun di Hutan Penelitian Carita, Banten, biakan
Acremonium sp. IPBCC 07.525 (koleksi IPBCC, Departemen Biologi
FMIPA IPB), dan Fusarium sp. yang berasal dari Aquilaria sp. Padang
(koleksi Laboratorium Mikrobiologi Hutan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam), larutan gula 2%,
98
alkohol, aquades, bor, mata bor berukuran 4 mm, meteran, bahan
pelet, dan alat pencetaknya.
B. Metode
1. Pembuatan Inokulan
Acremonium sp. dan Fusarium sp. diremajakan pada media agar-
agar kentang dekstrosa (Difco) dan diinkubasi pada suhu ruang
selama 7 hari. Biakan ini akan digunakan sebagai sumber inokulum
untuk pembuatan inokulan. Acremonium sp. ditumbuhkan pada
media serbuk gergaji selama 2 minggu, kemudian dibentuk berupa
pelet dengan ukuran 4 mm x 40 mm. Fusarium sp. ditumbuhkan pada
300 ml media cair, dan diinkubasi selama 3 minggu menggunakan
inkubator bergoyang.
99
Aspek PRODUKSI
4. Analisis Data
Data hasil pengamatan (panjang, lebar zona perubahan warna,
tingkat perubahan warna, dan tingkat wangi) dianalisis dengan
SAS versi 9.1 menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu
faktor dengan waktu dan uji F pada α = 5%. Bila terdapat pengaruh
nyata dari perlakuan yang diamati maka setiap taraf perlakuan
100
Efektivitas dan Interaksi .....(Gayu Rahayu, dkk.)
HASIL
Rataan*
Perubahan warna kayu Titik
Titik
Perlakuan induksi
Wangi induksi
Panjang Lebar Warna agak
(skor) wangi
(cm) (cm) (skor) wangi
(%)
(%)
Inokulan AA 2,54ab 0,82a 1,90b 0,63ab 34,37 1,39
tunggal
FF 3,14a 0,94a 1,45c 0,62ab 31,07 0,00
Inokulan AF 3,20a 0,87a 1,75b 0,70a 39,55 6,24
ganda
FA 3,30a 0,83a 2,18a 0,59ab 20,12 4,16
101
Aspek PRODUKSI
Rataan*
Perubahan warna kayu Titik
Titik
Perlakuan induksi
Wangi induksi
Panjang Lebar Warna agak
(skor) wangi
(cm) (cm) (skor) wangi
(%)
(%)
Kontrol G 1,86b 0,55b 1,02d 0,38c 10,41 0,00
positif
B 2,87ab 0,73ab 1,16d 0,47bc 11,11 0,00
Kontrol K 0,00c 0,00c 0,00e 0,00d 0,00 0,00
negatif
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
a b c d
102
Efektivitas dan Interaksi .....(Gayu Rahayu, dkk.)
Rataan*
Perubahan warna kayu Titik
Titik
Bulan induksi
Wangi induksi
Panjang Lebar Tingkat agak
(skor) wangi
(cm) (cm) (skor) wangi
(%)
(%)
1 2,46ab 0,68a 0,83c 0,32c 8,43 0,00
2 2,58a 0,71a 1,24b 0,64a 39,47 0,00
3 2,32ab 0,65b 1,67a 0,51b 17,45 0,00
4 2,26b 0,65b 1,65a 0,36c 18,45 6,74
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
103
Aspek PRODUKSI
Rataan*
Rataan*
Perubahan warna kayu Titik
Perla- Titik
induksi
kuan Wangi induksi
Panjang Lebar Warna agak
(skor) wangi
(cm) (cm) (skor) wangi
(%)
(%)
FFF 3,68ab 0,99ab 1,53cd 0,62ab 34,37 0,00
FAF 3,87a 0,95abc 2,22a 0,50bc 13,89 0,00
104
Efektivitas dan Interaksi .....(Gayu Rahayu, dkk.)
Rataan*
Perubahan warna kayu Titik
Perla- Titik
induksi
kuan Wangi induksi
Panjang Lebar Warna agak
(skor) wangi
(cm) (cm) (skor) wangi
(%)
(%)
AAA 3,13abc 0,96abc 1,98ab 0,63ab 32,63 2,78
AFA 3,88a 1,06a 1,93ab 0,70a 38,86 4,15
GGG 1,98bc 0,56d 1,01e 0,38c 20,83 0,00
BBB 3,35abc 0,80abcd 1,20de 0,47bc 13,89 0,00
KKK 0,00d 0,00e 0,00f 0,00d 0,00 0,00
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
Rataan*
Titik
Perlakuan Titik
Panjang Lebar Warna Wangi induksi
induksi
(cm) (cm) (skor) (skor) agak
wangi (%)
wangi (%)
AAA 3,13abc 0,96abc 1,98ab 0,63ab 32,63 2,78
AAa 1,96bc 0,66bcd 1,82bc 0,63ab 36,11 0,00
FFF 3,68ab 0,99ab 1,53cd 0,62ab 34,37 0,00
FFf 2,61abc 0,75abcd 1,36de 0,61ab 27,78 0,00
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
105
Aspek PRODUKSI
Bulan ke-
Perlakuan
1 2 3 4
K 0 0 0 0
G 0,29* 0,24* 0,34* 0,14*
B 0,12* 0,22* 0,39* 0,45*
AF A 0,20** 0,06* 0,25* 0,12**
AF F 0,20** 0,05* 0,23** 0,11*
FA F 0,12** 0,11** 0,21* 0,06*
FA A 0,12** 0,19** 0,23** 0,23*
AA 0,15* 0,20* 0,27* 0,40*
FF 0,14** 0,06* 0,25** 0,15*
* Endapan berwarna hijau; ** Endapan berwarna merah-kecoklatan
106
Efektivitas dan Interaksi .....(Gayu Rahayu, dkk.)
PEMBAHASAN
A. Efektivitas Induksi
Pohon-pohon yang diberi perlakuan menurun kebugarannya
mulai 1 bsi. Penurunan kebugaran ditunjukkan oleh adanya daun-
daun yang mengalami klorosis pada cabang pertama dan kedua dari
daerah lubang induksi dan kemudian daun-daun ini gugur. Secara
umum inokulan tunggal mengakibatkan klorosis pada daun-daun
di dua cabang dekat lubang induksi. Sedangkan pada pohon yang
diberi inokulan ganda klorosis terjadi pada tiga cabang dekat lubang
induksi. Berbeda dengan daun-daun pada pohon perlakuan, pada
pohon kontrol daun-daun tidak mengalami klorosis sampai akhir
pengamatan. Pada 2 bsi, jumlah daun yang mengalami klorosis
tidak berbeda dengan 1 bsi, tetapi klorosis hampir memenuhi
luasan helai daun.
Klorosis mungkin berhubungan dengan ketersediaan hara.
Ketersediaan hara terganggu karena jalur distribusinya ke daun
terhambat akibat pengeboran. Selain itu, adanya inokulan juga
menjadi penyebab klorosis. Caruso and Kuc (1977) menyatakan
bahwa Colletotrichum lagenarium menyebabkan klorosis pada daun
tanaman semangka dan muskmelon. Pohon semakin merana ketika
diserang ulat. Tajuk-tajuk pohon menjadi gundul. Berkurangnya
jumlah daun secara drastis dapat menghambat proses fotosintesis,
karena daun merupakan tempat utama berlangsungnya fotosintesis.
Fotosintat sebagai sumber karbon dalam pembentukan metabolit
sekunder antimikrob pun terganggu, karena kemungkinan sumber
karbon lebih diutamakan untuk pembentukan tunas baru. Pada
akhirnya, perkembangan gejala pembentukan gubal pun terganggu.
Perubahan warna kayu terjadi pada semua perlakuan.
Pelukaan, larutan gula, inokulasi Acremonium sp. dan Fusarium
sp. menyebabkan perubahan warna kayu dari putih menjadi gelap.
Menurut Braithwaite (2007) Acremonium sp. dan Fusarium sp.
berasosiasi dengan gejala perubahan warna kayu dan dicline pada
Quercus sp. di New Zealand. Sebelumnya, Walker et al. (1997) juga
menyatakan bahwa perubahan warna kayu menjadi warna coklat
(browning) dapat disebabkan oleh serangan patogen (cendawan)
107
Aspek PRODUKSI
108
Efektivitas dan Interaksi .....(Gayu Rahayu, dkk.)
109
Aspek PRODUKSI
SIMPULAN
Semua pohon yag diinokulasi menurun kebugarannya sejak 1
bulan setelah inokulasi. Inokulan ganda terutama AF lebih efektif
daripada inokulan tunggal dalam merangsang pembentukan wangi.
Induksi dengan inokulan 1 yang hanya berselang 1 minggu dari
pemberian inokulan 2 tidak membangkitkan resistensi pohon
terhadap inokulan 2. Semua inokulan, kecuali inokulan tunggal A
merangsang pohon membentuk triterpenoid.
DAFTAR PUSTAKA
Benhamou, N., S. Gagné, D.L. Quéré, L. Dehbi. 2000. Bacterial-
Mediated Induced Resistance in Cucumber: Beneficial Effect of
the Endophytic Bacterium Serratia plymuthica on the Protection
Against Infection by Pythium ultimum. Amer. Phytopathol. Soc.
90(1): 45-56.
Braithwaite, M., C. Inglis, M.A. Dick, T.D. Ramsfield, N.W. Waipara,
R.E. Beever, J.M. Pay and C.F. Hill. 2007. Investigation of Oak
Tree Decline In Theauckland Region. New Zealand Plant
Protection 60:297-303
Caruso, F.L., J. Kuc. 1977. Protection of Watermelon and Muskmelon
Against Colletotrichum lagenarium by Colletotrichum
lagenarium. Phytopathol. 67: 1285-1289.
Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K dan I
Sudiro (penerjemah). Institut Teknologi Bandung. Bandung
Terjemahan dari: Phytochem Methods.
Krokene, P., E. Christiansen, H. Solheim, V.R. Franceschi, A.A.
Berryman. 1999. Induced Resistance to Phatogenic Fungi in
Norway Spruce. Plant Physiol. 121: 565-569.
110
Efektivitas dan Interaksi .....(Gayu Rahayu, dkk.)
111
112
Aspek
SILVIKULTUR
113
114
5
UJI PRODUKSI BIBIT TANAMAN
GAHARU SECARA GENERATIF DAN
VEGETATIF
PENDAHULUAN
Pengembangan tanaman gaharu umumnya tidak bertujuan untuk
menghasilkan kayu, melainkan ditujukan untuk menghasilkan resin
gaharu yang terbentuk dari respon tanaman atas infeksi mikroba,
khususnya jamur Fusarium sp., Cylindrocarpon sp., Trichoderma sp.,
Pythium sp., Phialophora sp., dan Popullaria sp. (Santoso et al., 2007;
Daijo and Oller, 2001; Parman et al., 1996; Sidiyasa dan Suharti, 1987).
Di alam, kurang dari 5% gaharu terbentuk dari populasi pohon dan
bila terbentuk biasanya kurang dari 10% biomas kayu pada pohon
yang terinfeksi. Namun gaharu alam dapat mencapai kualitas
tertinggi (kelas super) yang harganya bisa mencapai Rp 30 juta/kg.
Karena potensi harga yang sangat tinggi, eksploitasi gaharu alam
dilakukan tanpa mengindahkan kelestariannya. Akibatnya populasi
jenis-jenis gaharu menyusut tajam, sehingga jenis ini dimasukkan
dalam Appendix II CITES (Santoso et al., 2007). Konsekuensinya,
dalam perdagangan resmi, gaharu harus dihasilkan dari pohon
hasil budidaya, bukan dari alam.
Budidaya gaharu memerlukan input iptek agar pertumbuhan
dan produksi resin gaharu dapat optimal. Dukungan iptek dimaksud
115
Aspek SILVIKULTUR
METODE
A. Perbanyakan Generatif
Pengujian pada perbanyakan generatif dilakukan pada benih
(biji) dan cabutan (anakan alam). Benih pohon penghasil gaharu
yang digunakan pada uji penyimpanan dan daya kecambah benih
adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis asal
Sukabumi. Perlakuan pada uji penyimpanan benih adalah waktu
(0, 2, 4, 6, dan 8 minggu) dan temperatur penyimpanan (25,4-26,1oC
dan 4,9-6,5oC). Pengujian dilakukan menggunakan rancangan acak
lengkap dengan 5 ulangan.
Bibit cabutan yang digunakan dalam uji waktu simpan cabutan
adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis. Perlakuan
pada uji waktu simpan bibit cabutan adalah tiga waktu simpan (1, 2,
dan 3 hari penyimpanan) serta kondisi penyapihan (dalam sungkup
dan tanpa sungkup). Pengujian dilakukan menggunakan rancangan
acak lengkap dengan 5 ulangan.
116
Uji Produksi Bibit .....(Atok Subiakto, dkk.)
B. Perbanyakan Vegetatif
Teknik perbanyakan vegetatif yang digunakan pada penelitian
ini adalah teknik stek pucuk. Penelitian dilakukan pada rumah
kaca yang menggunakan sistem pendingin kabut KOFFCO system
(Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan Sakai, 2007). Bahan stek
yang digunakan pada pengujian ini adalah A. malacensis. Uji
produksi bibit stek gaharu dilakukan dalam tiga tahap. Perlakuan
pada pengujian pertama menggunakan prosedur rutin, yaitu media
campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan perbandingan
2:1. Penyiraman 2 kali seminggu. Pada pengujian kedua perlakuan
intensitas penyiraman dikurangi menjadi sekali seminggu dengan
media arang sekam. Pada pengujian ketiga, media menggunakan
campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan perbandingan
1:1 dan intensitas penyiraman 1 kali pada bulan pertama, 2 kali
pada bulan kedua, dan 3 kali pada bulan ketiga.
A. Perbanyakan Generatif
Biji gaharu tergolong rekalsitran, sehingga harus secepatnya
dikecambahkan. Uji penyimpanan benih dilakukan untuk
mengetahui seberapa lama benih gaharu dapat disimpan. Hasil uji
pengecambahan biji dari dua kondisi penyimpanan disajikan pada
Tabel 1 dan Tabel 2. Kondisi penyimpanan (kondisi ruang dan dalam
re-frigerator) tidak secara nyata mempengaruhi perkecambahan
benih (P Anova = 0,0993). Di Tabel 1. Persen kecambah dari hasil uji
lain pihak, periode penyim- penyimpanan biji
panan mempengaruhi persen
kecam-bah benih (P Anova = < Periode Kondisi Refrigerator
simpan ruang (%) (%)
0,0001).
Langsung 82 -
Secara teknis pengecam- 2 minggu 69 69
bahan biji gaharu mudah 4 minggu 77 69
dilakukan, media tabur dapat
6 minggu 56 61
menggunakan arang sekam
8 minggu 48 24
117
Aspek SILVIKULTUR
118
Uji Produksi Bibit .....(Atok Subiakto, dkk.)
B. Perbanyakan Vegetatif
Uji produksi stek gaharu dilakukan dengan menggunakan
teknologi KOFFCO system yang dikembangkan oleh Badan Litbang
Kehutanan dan Komatsu (Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan
Sakai, 2007). Teknologi ini mengatur kondisi lingkungan, yaitu
cahaya, kelembaban, temperatur, dan media pada tingkat optimal
bagi pertumbuhan (Sakai et al., 2002). Hasil uji produksi stek gaharu
disajikan pada Tabel 4.
Uji produksi stek dilakukan dalam tiga tahap penelitian.
Pada tahap pertama digunakan prosedur baku pembuatan stek.
Perlakuannya adalah jenis dan wadah tanam (tabur) stek. Rata-
rata persen jadi stek pada uji tahap pertama berkisar antara 40-
47%. Pembuatan stek dinilai dapat diusahakan secara ekonomis bila
persen jadi mencapai 70% (Subiakto dan Sakai, 2007). Perlakuan
jenis tidak menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,6600) dalam
persen jadi stek. Demikian pula perlakuan wadah tanam tidak
menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,8276) dalam persen
jadi stek. Mengingat persen jadi stek masih di bawah 70%, maka
dilakukan pengujian lebih lanjut.
Pada pengujian tahap kedua, penyiraman dikurangi menjadi
satu kali seminggu, adapun perlakuan yang diuji adalah tiga
jenis media (arang sekam padi, pasir, dan zeolit). Hasil pengujian
menunjukkan media berpengaruh secara nyata (P Anova = 0,0083)
terhadap persen jadi stek. Media terbaik adalah zeolit, namun
persen berakar masih di bawah 70%. Zeolit merupakan media
dengan porositas yang baik dan tidak ditumbuhi oleh cendawan
119
Aspek SILVIKULTUR
ataupun alga. Karena zeolit adalah media yang berat dan relatif
lebih mahal, maka perlu dicoba media lain yang memiliki tingkat
porositas relatif sama dengan zeolit.
Pada pengujian ketiga digunakan media campuran cocopeat dan
sekam padi yang telah disteril. Perlakuan yang diuji adalah tingkat
penyiraman (1 kali seminggu, 2 kali seminggu, dan 3 kali seminggu).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 5%,
penyiraman berpengaruh secara nyata terhadap persen berakar
stek (P Anova = 0,0210). Penyiraman terbaik adalah dua kali
seminggu dengan persen berakar 69%. Efek dari penyiraman adalah
menyebabkan jenuhnya media dan meningkatkan pertumbuhan
cendawan, termasuk cendawan pembusuk.
Persen
Tahapan
Spesies Perlakuan berakar
riset
(%)
1 A. crassna Tanpa pot-tray, siram 3 kali seminggu, 40
media coco-peat : sekam = 2:1
1 A. crassna Dengan pot-tray, siram 3 kali seminggu, 42
media coco-peat : sekam = 2:1
1 A. microcarpa Tanpa pot-tray, siram 3 kali seminggu, 44
media coco-peat : sekam = 2:1
1 A. microcarpa Dengan pot-tray, siram 3 kali seminggu, 47
media coco-peat : sekam = 2:1
2 Campuran Media sekam bakar, siram 1 kali 17
A. crassna dan seminggu
A. microcarpa
2 Campuran Media pasir, siram 1 kali seminggu 31
A. crassna dan
A. microcarpa
2 Campuran Media zeolit, siram 1 kali seminggu 55
A. crassna dan
A. microcarpa
3 Campuran Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 1 kali 53
A. crassna dan seminggu
A. microcarpa
3 Campuran Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 2 kali 69
A. crassna dan seminggu
A. microcarpa
3 Campuran Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 3 kali 49
A. crassna dan seminggu
A. microcarpa
120
Uji Produksi Bibit .....(Atok Subiakto, dkk.)
KESIMPULAN
1. Persen kecambah terbaik diperoleh dari benih yang langsung
dikecambahkan setelah pengunduhan. Namun dengan
mengantisipasi penurunan daya kecambah, benih masih dapat
disimpan selama dua bulan. Benih gaharu tidak perlu disimpan
dalam refrigerator, cukup disimpan pada suhu ruangan.
Penanaman bibit cabutan menggunakan sungkup menghasilkan
persen tumbuh lebih baik dibandingkan bila tidak menggunakan
sungkup.
2. Media terbaik untuk penyetekan gaharu adalah campuran
antara serbuk kulit kelapa (cocopeat) dan sekam padi dengan
perbandingan 1:1. Penyiraman terbaik dilakukan dua kali dalam
seminggu. Pembuatan stek gaharu tersebut dilaksanakan pada
rumah kaca dengan KOFFCO system.
DAFTAR PUSTAKA
Daijo, V. dan D. Oller. 2001. Scent of Earth. URL:http://store.yahoo.
com/scent-of-earth/alag.html (diakses : 5 Febuari 2001).
Hou, D. 1960. Thymelaceae. In : Flora Malesiana (Van Steenis,
C.G.G.J., ed). Series I, Vol. 6. Walter-Noodhoff, Groningen. The
Netherland. p. 1-15.
Parman, T., Mulyaningsih, dan Y. A. Rahman. 1996. Studi Etiologi
Gubal Gaharu Pada Tanaman Ketimunan. Makalah Temu Pakar
Gaharu di Kanwil Dephut Propinsi NTB. Mataram.
Sakai, C. and A. Subiakto. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenis-
jenis Dipterokarpa dengan KOFFCO System. Badan Litbang
Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor.
Sakai, C., A. Subiakto, H. S. Nuroniah, dan N. Kamata. 2002. Mass
Propagation Method from The Cutting of Three Dipterocarps
Species. J. For. Res. 7:73-80.
Santoso, E., A. W. Gunawan, dan M. Turjaman. 2007. Kolonisasi
Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman Penghasil
Gaharu Aquilaria microcarpa. J. Pen. Htn & KA. IV-5 : 499-509.
121
Aspek SILVIKULTUR
122
6
APLIKASI RHIZOBAKTERI
PENGHASIL FITOHORMON UNTUK
MENINGKATKAN PERTUMBUHAN
BIBIT Aquilaria sp. DI PERSEMAIAN
Irnayuli R. Sitepu
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
Aryanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
Yasuyuki Hashidoko
Lab. of Ecological Chemistry, Division of Applied Bioscience, Graduate School of
Agriculture, Hokkaido University
Maman Turjaman
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Gaharu (dalam Bahasa Inggris dikenal dengan agarwood atau
eaglewood) adalah kayu resin yang bernilai komersial tinggi karena
digunakan sebagai dupa, bahan aditif minyak wangi, dan minyak
esensial untuk kegiatan keagaman, budaya, bahkan kegiatan
sehari-hari. Di alam, perburuan gaharu dilakukan secara agresif
dan tidak bijaksana. Pohon penghasil gaharu yang ditemukan
dengan ciri-ciri adanya lubang kecil yang disebut lubang semut,
ditebang dan dipanen gaharunya. Cara perburuan ini mengancam
kelestarian gaharu di habitat alaminya, sehingga untuk mencegah
punahnya pohon penghasil gaharu, sejak November 1994, Aquilaria
123
Aspek SILVIKULTUR
124
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
125
Aspek SILVIKULTUR
126
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
127
Aspek SILVIKULTUR
Hasil
Strain Sub analisa
Inang Substrat Sta-dium Asal lokasi
bakteri kelas colori-
metric AIA
Dipterocarpus sp. Rizoplan Sapling ~1 th Nyaru Stenotropho- Proteo- Merah
Menteng monas sp. bacteria
CK34
Hopea sp. Rizoplan Sapling ~1 Nyaru Bacillus sp. Bacilli Merah
tah Menteng CK41 muda
S. teysmanniana Rizoplan Sapling ~1 th Nyaru Azospirillum Proteo- Merah
Menteng sp. CK26 bacteria muda
S. teysmanniana Rizoplan Sapling ~1 Nyaru Burkholderia Proteo- Merah
tah Menteng sp. CK28 bacteria muda pupus
(DQ195889)
Burkholderia Proteo- Merah
sp. CK59 bacteria muda pupus
(DQ195914)
Dipterocarpus sp. Rizoplan Sapling ~1th Nyaru Serratia sp. Proteo- Merah
Menteng CK67 bacteria muda pupus
S. teysmanniana Rizoplan Bibit~ 6 bln Nyaru NI CK53 Merah tua
Menteng
NI CK54 Merah tua
S. balangeran Rizoplan Sapling ~1 Pembi-bitan NI CK 61 Merah
bln UP muda
S. parviflora Rizoplan Sapling ~1.5 Nyaru Chromobac- Proteo- *
th Menteng terium bacteria
sp. CK8
(DQ195926)
Catatan: S: Shorea; H: Hopea; NI: bakteri yang belum teridentifikasi; UP: Universitas Palangkaraya; * isolat
mycorrhization helper bacteria; AIA: asam indol asetat
128
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
a b
Gambar 1. Warna merah yang terbentuk di sekitar koloni
setelah direaksikan dengan reagen Salkowski
(a): Pembentukan warna pada membrane
nitroselulose 3 hari setelah inkubasi; (b):
Pembentukan warna pada media cair. Bakteri
NICK53 yang membentuk warna merah tua
dibanding dengan kontrol media tanpa bakteri
129
Aspek SILVIKULTUR
130
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
131
Aspek SILVIKULTUR
132
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
133
Aspek SILVIKULTUR
KESIMPULAN
Bibit Aquilaria sp. menunjukkan respon beragam terhadap
inokulasi bakteri penghasil fitohormon. Inokulasi bakteri penghasil
fitohormon dapat meningkatkan tinggi bibit Aquilaria sp. segera
setelah inokulasi berturut-turut selama lima bulan. Peningkatan
pertumbuhan tinggi bervariasi dari 12,2-38,7% dibandingkan
dengan bibit yang tidak diinokulasi. Dua isolat Burkholderia sp.
CK28 dan Chromobacterium sp. CK8 adalah dua bakteri yang secara
konsisten memacu pertumbuhan tinggi. Uji lanjutan inokulasi ganda
dengan fungi mikoriza arbuskula perlu dilakukan untuk mengetahui
mikroba yang berperan dalam memacu pertumbuhan bibit pada
stadia lanjut di persemaian sebelum dipindah ke lapangan.
134
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
Ucapan Terimakasih
Para penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ahmad
Yani dan Bapak Zaenal yang telah membantu pengukuran dan
perawatan tanaman di Hutan Penelitian Dramaga.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, F., I. Ahmad, dan M.S. Khan. 2005. Indole acetic acid
production by the indigenous isolates of Azotobacter and
fluorescent Pseudomonas in the presence and absence of
tryptophan. Turkish Journal of Biology 29: 29-34.
Brick, J.M., R.M. Bostock, and S.E. Silverstone. 1991. Rapid in situ
assay for indoleacetic acid production by bacteria immobilized
on a nitrocellulose membrane. Applied and Environmental
Microbiology 57: 535-538.
Brulé, C., P. Frey-Klett, J.C. Pierrat, S. Courrier, F. Gerard, M.C.
Lemoine, J.L. Rousselet, G. Sommer, and J. Garbaye. 2001.
Survival in the soil of the ectomycorrhizal fungus Laccaria
bicolor and the effects of mycorrhiza helper Pseudomonas
fluorescens. Soil Biology and Bio-chemistry 33: 1683-1694.
Enebak, S.A., G. Wei, and J.W. Kloepper. 1998. Effect of plant growth-
promoting rhizobacteria on loblolly and slash pine seedlings.
Forest Science 44: 139-144.
Founoune, H., R. Duponnois, A.M. Ba, S. Sall, I. Branget, J. Lorquin,
M. Neyra, and J.L. Chotte. 2002. Mycorrhiza Helper Bacteria
stimulate ectomycorrhizal symbiosis of Acacia holosericea with
Pisolithus alba. New Phytologist 153: 81-89.
Garbaye, J. 1994. Helper bacteria: a new dimension to the mycorrhizal
symbiosis. New Phytologist 128: 197-210.
Glick, B.R. 1995. The enhancement of plant growth by free-living
bacteria. Canadian Journal of Microbiology 41: 109-117.
Glickmann, E. and Y. Dessaux. 1995. A critical examination of the
specificity of the Salkowski reagent for indolic compounds
produced by phytopathogenic bacteria. Applied Environmental
Microbiology 61: 793-796.
135
Aspek SILVIKULTUR
136
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
137
138
7
PENGGUNAAN FUNGI MIKORIZA
ARBUSKULA PADA EMPAT JENIS
Aquilaria
PENDAHULUAN
Salah satu famili pohon tropika yang sekarang menjadi perhatian
dunia internasional adalah Thymelaeaceae. Famili pohon ini sangat
penting karena menghasilkan produk gaharu dan kayu mewah untuk
masyarakat di sekitar kawasan hutan di kawasan Asia (Lemmens
et al., 1998; Oyen dan Dung, 1999). Thymeleaceae terdiri dari 50
genera dengan Aetoxylon, Gyrinops, Enkleia, Gonystylus, Phaleria,
Wikstroemia, dan Aquilaria yang memproduksi gaharu (Ding Hou,
1960). Karena disebabkan tingginya nilai produk gaharu, maka jenis-
jenis ini mengalami kelebihan pemanenan di seluruh kawasan Asia
selama 20 tahun terakhir (Paoli et al., 2001). Pada saat ini Aquilaria,
Gyrinops, dan Gonystylus dimasukkan ke dalam CITES (Convention
on the International Trade in Endangered Species) Appendix II (CITES
2005). Jenis-jenis Aquilaria pada umumnya banyak dijumpai pada
hutan-hutan primer dan sekunder dataran rendah di Indonesia,
Papua Nugini, Thailand, Malaysia, Vietnam, India, Bangladesh,
Bhutan, Myanmar, China, Cambodia, dan Filipina. Jenis-jenis ini
merupakan sumber utama dari kayu gaharu (semacam kayu yang
139
Aspek SILVIKULTUR
140
Penggunaan Fungsi Mikoriza .....(Maman Turjaman, dkk.)
B. Media Semai
Jenis tanah ultisol diambil dari Hutan Penelitian Haurbentes,
Jasinga dan kemudian disimpan di rumah kaca. Media semai tersebut
disaring dengan diameter saringan lima mm. pH media adalah 4,7; P
tersedia (Bray-1) adalah 0,17 mg kg-1, dan N total (Kjeldahl) was 1.7 mg
kg-1. Kemudian media semai disterilisasi pada temperatur 121oC selama
30 menit.
141
Aspek SILVIKULTUR
D. Inokulasi FMA
Polybag (ukuran 15 cm x 10 cm) diisi tanah steril 500 g. Inokulasi
FMA diberikan 5 g untuk setiap pot dan diletakkan dekat akar semai
Aquilaria spp. Semai empat jenis Aquilaria yang tidak diinokulasi
sebagai kontrol. Dari hasil penelitian pendahuluan, penggunaan
inokulum steril tidak memberikan pengaruh pertumbuhan pada
Aquilaria spp. Semai dipelihara dan disiram setiap hari pada
kondisi rumah kaca dan diamati selama 6 bulan. Temperatur di
rumah kacar berkisar antara 26-35oC dan kelembaban udara 80-
90%. Gulma dan hama yang mengganggu semai dimonitor setiap
hari.
E. Parameter Pertumbuhan
Percobaan inokulasi pada jenis-jenis Aquilaria terdiri atas (a)
kontrol (tanpa inokulum); (b) Entrophospora sp.; (c) G. decipiens;
(d) G. clarum; (e) Glomus sp. ZEA; dan (f) Glomus sp. ACA. Desain
penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
30 ulangan. Parameter yang diukur adalah tinggi, diameter, dan daya
hidup semai. Setelah berumur enam bulan, dilakukan pemanenan
pucuk dan akar semai Aquilaria. Semua sampel di-oven pada suhu
70oC selama tiga hari. Analisis N dan P jaringan semai dilakukan
dengan metode semi-micro Kjeldahl dan vanadomolybdate-yellow
assay (Olsen and Sommers, 1982). Pada tingkat lapang, percobaan
yang dilakukan hanya pada jenis A. beccariana dengan desain RAL
yang sama. Percobaan dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan
Khusus (KHDTK) Dramaga di bawah naungan tegakan Gmelina
arborea. Paramater yang diamati pada tingkat lapang ini adalah
tinggi dan diameter A. beccariana yang telah dilakukan selama dua
tahun.
142
Penggunaan Fungsi Mikoriza .....(Maman Turjaman, dkk.)
dicuci dalam 50% glycerol dan 100 potong akar berukuran satu cm
diamati di bawah mikroskop compound dengan perbesaran 200x.
Penghitungan kolonisasi mikoriza dilakukan dengan sistem skoring
keberadaan dan tidak adanya struktur FMA (McGonigle et al., 1990).
G. Analisis Statistik
Analisis statistik menggunakan ANOVA dengan software
StatView 5.0 (Abacus Concepts). Sedangkan analisis statistik lanjutan
menggunakan uji beda nyata terkecil (LSD) apabila nilai F signifikan.
143
Aspek SILVIKULTUR
144
Penggunaan Fungsi Mikoriza .....(Maman Turjaman, dkk.)
145
Aspek SILVIKULTUR
DAFTAR PUSTAKA
Adjoud, D., C. Plenchette, R. Halli-Hargas and F. Lapeyrie. 1996.
Response of 11 Eucalyptus Species to Inoculation with Three
Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Mycorrhiza 6 : 129-135.
Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove and N. Malajczuk. 1996.
Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR
Monograph 32, Canberra.
CITES. 2005. Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora. Appendices I, II and III of
CITES. UNEP. 48 pp.
Ding Hou. 1960. Thymelaeaceae. In : Van Steenis, C.G.G.J. (ed) Flora
Malesiana. Series I, Vol. 6. Wolters-Noordhoff, Groningen, The
Netherlands. p. 1-15.
Duponnois, R., H. Founoune, D. Masse and R. Pontanier (2005).
Inoculation of Acacia holosericea with Ectomycorrhizal Fungi
in a Semiarid Site in Senegal : Growth Response and Influences
on The Mycorrhizal Soil Infectivity After 2 Years Plantation.
Forest Ecology and Management 207 : 351-362.
Eurlings, M.C.M. and B. Gravendeel. 2005. TrnL-TrnF Sequence Data
Imply Paraphyly of Aquilaria and Gyrinops (Thymelaeaceae)
and Provide New Perspectives for Agarwood Identification.
Plant Systematics and Evolution 254 : 1-12.
Giri, B. and K.G. Mukerji. 2004. Mycorrhizal Inoculant Alleviates Salt
Stress in Sesbania aegyptiaca and Sesbania grandiflora Under
Field Conditions : Evidence for Reduced Sodium and Improved
Magnesium Uptake. Mycorrhiza 14 : 307-312.
Guisso, T., A.M. Bâ, J-M.Ouadba, S. Guinko and R. Duponnois. 1998.
Responses of Parkia biglobosa (Jacq.) Benth, Tamarindus indica
L. and Zizyphus mauritiana Lam. to Arbuscular Mycorrhizal
Fungi in a Phosphorus-Deficient Sandy Soil. Biology and Fertility
Soils 26 : 194-198.
146
Penggunaan Fungsi Mikoriza .....(Maman Turjaman, dkk.)
147
Aspek SILVIKULTUR
148
Penggunaan Fungsi Mikoriza .....(Maman Turjaman, dkk.)
A. crassna
Entrophospora sp. 73b 46,14 c 5,4 c 12,58b 5,72b 3,82b 1,35b 100
Glomus sp. ZEA 78b 38,94 c 4,7 b 9,92b 4,54b 2,99b 1,01b 87
Glomus sp. ACA 59b 24,60 a 3,7 a 13,46b 6,94b 4,19b 1,52b 100
A. malaccensis
Entrophospora sp. 97b 25,97c 3,88c 4,68c 2,24c 1,44c 0,48c 100
Glomus sp. ZEA 84b 22,33b 3,26b 2,62b 1,38b 0,79b 0,27b 90
Glomus sp. ACA 86b 21,30b 3,12b 2,74b 1,22b 0,89b 0,26b 93
A. microcarpa
Entrophospora sp. 97b 24,74d 3,89c 4,32c 2,29c 1,31c 0,37b 100
Glomus sp. ZEA 85b 17,24b 2,84b 2,24b 1,08b 0,64b 0,24b 87
Glomus sp. ACA 87b 18,09b 2,98b 2,70b 1,23b 0,76b 0,28b 90
A. beccariana
Entrophospora sp. 85b 19,20b 2,37b 5,46e 2,54c 1,76c 0,78c 100
Glomus clarum 79b 45,30e 5,02d 6,74f 2,82d 2,30d 0,91d 100
Glomus sp. ZEA 61b 32,03d 3,75c 3,14b 1,38c 0,97b 0,36b 100
Glomus sp. ACA 84b 26,24c 3,53c 3,84c 1,20b 1,19b 0,28b 100
149
Aspek SILVIKULTUR
N Concen- P Concen-
N Content P Content
Perlakuan trations trations
(mg/plant) (mg/plant)
(mg/g) (mg/g)
A. crassna
Entrophospora sp. 9,8 ± 0,1c 37,7 ± 4,3d 1,42 ± 0,03e 5,4 ± 0,6d
Glomus sp. ZEA 8,7 ± 0,1b 25,8 ± 3,6c 0,96 ± 0,03c 2,85 ± 0,41c
Glomus sp. ACA 10,8 ± 0,2d 45,9 ± 9,6d 1,22 ± 0,02d 5,14 ± 1,0d
A. malaccensis
Entrophospora sp. 12,1 ± 0,1d 17,28 ± 2,0c 0,73 ± 0,01b 1,06 ± 0,15d
Glomus sp. ZEA 11,1 ± 0,2c 8,8 ± 0,9b 0,77 ± 0,03b 0,6 ± 0,07b
Glomus sp. ACA 10,9 ± 0,2c 9,7 ± 1,8b 1,04 ± 0,03d 0,92 ± 0,17c
A. microcarpa
Entrophospora sp. 9,6 ± 0,2c 16,9 ± 1,5d 1,12 ± 0,03d 1,97 ± 0,18d
Glomus sp. ZEA 9,4 ± 0,1c 9,17 ± 1,35b 0,77 ± 0,03b 0,75 ± 0,12b
Glomus sp. ACA 8,9 ± 0,2b 8,28 ± 0,40b 0,77 ± 0,02b 0,9 ± 0,1b
A. beccariana
Entrophospora sp. 9,9 ± 0,2c 10,2 ± 1,0c 0,98 ± 0,02d 0,87 ± 0,20d
Glomus sp. ZEA 9,4 ± 0,1b 9,17 ± 1,35b 0,77 ± 0,03b 0,75 ± 0,12b
Glomus sp. ACA 8,8 ± 0,2b 9,28 ± 0,40b 0,97 ± 0,02d 1,04 ± 0,1c
*Nilai-nilai dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P<0.05).
150
8
HAMA PADA TANAMAN PENGHASIL
GAHARU
PENDAHULUAN
Tanaman penghasil gaharu yang ada di Indonesia sekitar 27
jenis, beberapa di antaranya yang cukup potensial menghasilkan
gaharu yaitu Aquilaria spp., Aetoxylontallum spp., Gyrinops spp.,
dan Gonystylus spp.
Pemanfaatan gaharu di Indonesia oleh masyarakat terutama
di pedalaman Pulau Sumatera dan Kalimantan telah berlangsung
ratusan tahun yang lalu. Secara tradisional gaharu dimanfaatkan,
antara lain dalam bentuk dupa untuk upacara keagamaan,
pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan
sederhana.
Produk gaharu saat ini sangat dicari oleh para pencari gaharu,
karena harganya yang cukup mahal, dimana harga gaharu super
dapat mencapai sekitar Rp 40 juta/kg. Akibat dari harga yang cukup
tinggi tersebut, maka para pencari gaharu semakin intensif untuk
mendapatkannya, saat ini para pencari gaharu mulai memfokuskan
mencari gaharu di Pulau Papua yang potensi alamnya (gaharu)
masih cukup tinggi dibandingkan dengan di Pulau Kalimantan atau
Sumatera.
151
Aspek SILVIKULTUR
A. Gejala Serangan
Gejala serangan tingkat awal adalah permukaan daun yang
muda dimakan oleh larva instar pertama dan daun tersebut hanya
meninggalkan tulang-tulang daunnya. Pada stadia lebih lanjut ulat-
ulat tersebut mulai menyerang daun-daun pada bagian cabang
lebih atasnya dan menyebabkan tanaman menjadi gundul.
Ngengat meletakkan telurnya pada bagian bawah permukaan
daun yang muda pada cabang tanaman yang dekat dengan
permukaan tanah.
B. Siklus Hidup
1. Telur
Ngengat meletakkan telurnya yang berwarna putih kekuning-
kuningan yang akan segera berubah menjadi kuning kehijau-
hijauan dalam bentuk kluster pada bagian bawah permukaan daun
152
Hama pada Tanaman .....(Ragil SB Irianto, dkk.)
2. Larva/Ulat
Ulat H. vitessoides pada instar pertama berwarna kuning pucat
dan pada instar selanjutnya menjadi hijau kekuning-kuningan, ulat
ini terdiri dari 5 instar dan berlangsung selama 23 hari. Larva instar
terakhir pada saat akan berkepompong mulai berhenti makan dan
ulat turun ke permukaan tanah untuk berkepompong.
3. Pupa
Larva instar terakhir sebelum berkepompong akan berhenti
makan dan turun ke permukaan tanah dengan bantuan benang
sutera yang dihasilkannya. Ulat akan membungkus dirinya dengan
butiran-butiran tanah atau serpihan-serpihan serasah yang ada di
permukaan dengan bantuan benang-benang suteranya. Stadium
pupa berkisar 8 hari.
4. Ngengat
Serangga dewasa berbentuk ngengat yang aktif pada waktu
malam. Ngengat betina dapat meletakkan telur sebanyak 350-500.
Stadium ngengat berkisar sekitar 4 hari.
Ngengat
(4 Hari)
Kepompong Telur
(8 Hari) (10 Hari)
Larva
(23 Hari)
153
Aspek SILVIKULTUR
STRATEGI PENGENDALIAN
A. Jangka Pendek
1. Mekanis
Pengendalian mekanis merupakan pengendalian yang
sangat sederhana, sudah populer di tingkat petani, yaitu dengan
cara mengambil ulat atau telur yang ada di tanaman tersebut.
Pengendalian dengan cara ini mudah diaplikasikan terutama pada
pesemaian atau bibit yang baru dua tahun, dimana tanaman masih
bisa dijangkau oleh orang dengan berdiri tanpa bantuan alat.
2. Kimiawi
Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan insektisida
kontak, sistemik atau dengan insektisida yang berbahan aktif
mikroorganisme, seperti Beauveria bassiana atau Bacillus
thuringiensis. Karena hama ini memakan daun dan pada serangan
berat umumnya tanaman gundul, maka disarankan pada saat
penyemprotan dikombinasikan dengan pemupukan lewat daun
dengan pupuk daun seperti gandasil, growmore, dan lain-lain untuk
merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru.
3. Nabati
Pengendalian nabati merupakan pengendalian yang cukup
sederhana dan dapat dilakukan oleh petani sendiri dengan
mengambil bahan-bahan yang ada di sekitar lokasi penanaman
tanaman gaharu.
B. Jangka Menengah
1. Predator Rangrang
Semut rangrang (Oecophylla smaradigna) merupakan serangga
yang mudah ditemukan di kampung-kampung pada tanaman-
tanaman yang banyak mengeluarkan nektar, seperti tanaman
nangka, rambutan, melinjo, durian, dan lain-lain. Pencarian sarang
semut rangrang yang memiliki ratu merupakan salah satu faktor
154
Hama pada Tanaman .....(Ragil SB Irianto, dkk.)
C. Jangka Panjang
1. Musuh Alami
Musuh alami, baik parasit maupun predator dari serangga
perusak daun tanaman penghasil gaharu H. vitessoides merupakan
suatu cara pengendalian yang sangat diharapkan dalam jangka
panjang.
2. Teknik Silvikultur
Pengendalian dengan cara teknik silvikultur merupakan salah
satu cara pengendalian yang sudah menyatu dengan penanaman
suatu tanaman dan termasuk pengendalian yang sudah cukup
dikenal oleh petani.
DAFTAR PUSTAKA
Kalita, J., P. R. Bhattacharyya, and S. C. Nath. 2002. Heortia vitessoides
Moore A Serious Pest of Agarwod Plant (Aquilaria malaccensis
Lamk). Geobios 29: 13-16.
Mele, P. V. dan N. T. T. Cuc. 2004. Semut Sahabat Petani: Meningkatkan
Hasil Buah-Buahan dan Menjaga Kelestarian Lingkungan
Bersama Semut Rangrang. ICRAF. 59 p.
Mele, P. V. 2008. A Historical Review of Research on The Weaver
Ant Oecophylla in Biological Control. Agricultural and Forest
Entomology 10: 13-22.
155
156
Aspek
SOSIAL EKONOMI DAN
KONSERVASI
157
158
9
PROSPEK PENGUSAHAAN GAHARU
MELALUI POLA PENGELOLAAN
HUTAN BERBASIS MASYARAKAT
(PHBM)
Sri Suharti
Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Gaharu merupakan salah satu tanaman hutan yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang
harum. Sejenis resin beraroma ini berasal dari tanaman jenis
Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus. Jika tanaman ini terluka, rusak
atau terinfeksi, baik disebabkan penyakit atau serangan serangga,
akan menghasilkan resin/substansi aromatik berupa gumpalan
atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat kehitaman yang
terbentuk pada lapisan dalam dari jenis kayu tertentu sebagai reaksi
dari infeksi/ luka tersebut. Resin ini sebetulnya dapat melindungi
tanaman dari infeksi yang lebih besar sehingga dapat dianggap
sebagai sistim imun yang dihasilkan (Squidoo, 2008).
Tanaman penghasil gaharu secara alami tumbuh di wilayah
Asia Selatan dan Asia Tenggara. Beberapa nama diberikan pada
gaharu seperti agarwood, aloeswood, gaharu (Indonesia), ood, oudh,
oodh (Arab), chenxiang (China), pau d’aquila (Portugis), bois d’aigle
(Perancis), dan adlerholz (Jerman). Aquilaria yang merupakan
tanaman penghasil gaharu saat ini menjadi jenis yang dilindungi
159
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
160
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
METODOLOGI
Tulisan ini merupakan hasil desk study dari berbagai pustaka,
laporan hasil penelitian, dan data statistik yang tersedia. Data dan
informasi serta literatur tersebut dihimpun dari berbagai sumber
antara lain, Departemen Kehutanan, CITES, BPS, Asosiasi Gaharu
Indonesia (Asgarin), serta berbagai terbitan lainnya.
Data dan informasi yang berhasil dihimpun, diolah dan Dianalisis
secara deskriptif. Khusus untuk perhitungan analisis finansial
usahatani gaharu digunakan kriteria kelayakan Net Present Value
(NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost Ratio (B/C ).
NPV atau nilai kini bersih dirumuskan sebagai berikut:
n Bt − Ct
NPV = ∑
t =0 (1 + i)t
................................................................................... (1)
dimana:
161
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
NPV1
IRR = i1 + (i2 − i1)
NPV1 − NPV2
.............................................................. (2)
dimana:
dimana:
162
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
163
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Tabel 1. Hasil pemanenan dan ekspor gaharu jenis Aquilqria spp. dari
Indonesia tahun 1995 - 2003
164
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
165
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
166
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
167
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
168
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
169
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
170
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
171
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Lahan √ √ √ √
Saprodi √ √ √ √
Tenaga kerja √ √ √ √
Bahan inokulan √ √ √ √
Biaya inokulasi √ √ √ √
Pengolahan hasil √ √ √ √
Pemasaran √ √ √ √
172
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
173
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
174
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
Keterangan:
175
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
DAFTAR PUSTAKA
Adijaya, D. 2009. Gaharu: Harta di Kebun. Trubus online. http://
www.trubus- online.co.id/mod.php?mod=publisher&op
=viewarticle&cid=8 &artid=290. Diakses 16 Februari 2009.
Anonim. 2002. GAHARU: HHBK yang Menjadi Primadona. Info Pusat
Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan. http://
www.dephut.go.id/ Halaman/STANDARDISASI_& _LINGUNGAN_
KEHUTANAN/INFO_V02/VI_V02.htm. Diakses 20 Januari 2009.
176
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
177
Sumarna, Y. 2007. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu. Temu
Pakar Pengembangan Gaharu. Direktorat Jenderal RLPS.
Jakarta.
Squidoo. 2008. Production and marketing of cultivated agarwood.
http://www. squidoo.com/agarwood Copyright © 2008, Squidoo,
LLC and respective copyright owners. Access November,3 2008.
Wiguna, I. 2006. Tinggi Permintaan Terganjal Pasokan. Trubus
online. http://www.trubus- online.co.id/mod.php?mod
=publisher&op=viewarticle& cid=8 &artid=290. Diakses 16
Februari 2009.
Lampiran 1. Lampiran 1. Analisis NPV, IRR, dan B/C dari Pengusahaan
tanaman gaharu per hektar
Tahun ke-
No. Keterangan Total
0 1 2 3 4 5 6 7 8
I. Cash inflow (Rp 1000)
a. Output (kg) 480
b. Nilai output 0 0 0 0 0 0 0 0 744000 744000
Gaharu kemedangan I (10%) 240000
Gaharu kemedangan II (40%) 384000
Gaharu kemedangan III (50%) 120000
II. Cash outflow (Rp 1000)
a. Pra investasi
1. Pra-investasi 500 0 0 0 0 0 0 0 0 500
2. Persiapan lahan & tanam 3000 2500 0 0 0 0 0 0 0 5500
3. Sewa lahan 1250 2500 2500 2500 2500 2500 2500 2500 1250 20000
4. Lain-lain 250 250 0 0 0 0 0 0 0 500
Biaya pra investasi 5000 5250 2500 2500 2500 2500 2500 2500 1250 26500
b. Biaya bahan & peralatan
1. Bibit tanaman gaharu 0 6750 0 0 0 0 0 0 0 6750
2. Pupuk Urea 0 125 125 250 250 375 375 250 0 1750
3. Pupuk TSP/SP-36 0 350 350 700 700 1050 1050 700 0 4900
4. Pupuk KCl 0 300 300 600 600 900 900 600 0 4200
5. Pupuk kandang 0 150 300 300 300 300 300 300 0 1950
6. Peralatan pertanian 250 0 0 0 250 0 0 300 0 800
7. Bahan inokulan 0 0 0 0 0 20000 0 0 0 20000
Biaya bahan & peralatan 250 7675 1075 1850 2100 22625 2625 2150 0 40350
c. Biaya tenaga kerja
1. Tenaga kerja keluarga 0 2500 2500 2000 1500 1500 1500 1500 20000 33000
2. Tenaga kerja upahan 0 1000 1000 500 500 500 500 500 25000 29500
3. Tenaga kerja inokulasi 0 0 0 0 0 12000 0 0 0 12000
Biaya tenaga kerja 0 3500 3500 2500 2000 14000 2000 2000 45000 74500
Total biaya 5250 16425 7075 6850 6600 39125 7125 6650 46250 141350
III. Cash flow -5250 -16425 -7075 -6850 -6600 -39125 -7125 -6650 697750 602650
Cash flow komulatif -5250 -21675 -28750 -35600 -42200 -81325 -88450 -95100 602650
IV. a. NPV (DF 15%) 147.742
b. IRR (%) 48,53%
c. B/C 3,3176
Catatan:
Produksi gaharu 480 kg/ha dengan harga rata-rata Rp 1.550.000/kg
Harga gaharu K1= Rp 5 juta/kg, K2= Rp 2 juta/kg dan K3=Rp 500.000/kg.
179
Harga bibit Rp 15.000/phn, jumlah tanaman 400 phn/ha dibutuhkan 450 phn dg sulaman.
Harga pupuk urea Rp 2500/kg, TSP Rp 7000/kg, KCl Rp 6000/kg, dan pupuk kandang Rp 150/kg
Harga inokulan Rp 50.000/tanaman
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
180
10
THE ENVIRONMENTAL CHARACTERISTICS OF
SOUTH KALIMANTAN SITE FOR EAGLEWOOD
PLANTATION PROJECT
Erry Purnomo
Lambung Mangkurat University, South Kalimantan
INTRODUCTION
Eaglewood (gaharu) may play an important role in gaining
foreign exchange and as a source of income for people living in
out- and in-side the forest in Indonesia. This is because, the gaharu
export market remains open. Therefore there is a big opportunity
for the Indonesian farmers to establish eaglewood plantation.
In South Kalimantan, the gaharu production may be considered
low. Most of the gaharu formation usually relays on natural infection.
Only small group of farmers using introduced inoculants.
There is a lack of information on factors influencing the success
of gaharu formation. The success of gaharu formation may not be
only due to inoculants but may also be influenced by environmental
characteristics (climate, soil properties and plant species).
The present work focused on characterizing the environment,
namely, climate, soil properties and plant diversity surrounding
the newly grown and existing gaharu stands in South Kalimantan
Province.
181
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
METHODS
A. Site
Distribution of selected sites for the project can be seen in
Figure 1. The selected site were used for growing eagle wood and
inoculation. The sites located in Banjar, Hulu Sungai Selatan (HSS)
and Hulu Sungai Tengah (HST). Location-wise, 14 sites would be
used for newly planted eaglewood trees and 9 sites for inoculation
trial.
115.7
22.8 km
Wawai (HST)
115.6
115.2
115.0
2.4 2.6 2.8 3.0 3.2 3.4 3.6
oS
B. Climatic Characters
The climate parameters collected were rainfall, air temperature
and relative humidity. The climatic data for all sites were
represented by Kandangan weather station. The data were supplied
by the Weather Bureau in Banjarbaru, South Kalimantan. The data
obtained were for the last 9 years observation.
182
The Environmental Characteristics .....(Erry Purnomo)
C. Soil Properties
Soil properties measured were particle fraction analysis, the
content of total carbon (C), total nitrogen (N), total potassium (K)
and total phosphorus (P), soil pH, electric conductivity (EC), cation
exchange capacity (CEC), and CO2 evolution. Method used for particle
fraction analysis was described in Klute (1986) and the methods for
other soil properties were described in Page et al. (1982).
D. Plant Diversity
The diversity of plant species was determined to show its
association with the success of inoculation. In each site, plant species
grown under gaharu tree were collected plant within area of 6x6 m2.
RESULTS
A. Climatic Characters
The average rainfall, air temperature and relative humidity
for the last 9 years are shown in Figure 2. The average annual
rainfall in the study area was 2361.72 mm. The rainfall distribution
can be observed in Figure 2a. The rainy season commenced in
October and ended in July each year. A significant low rainfall
occurred in the period of July-September. The pattern of air
temperature and relative humidity are shown in Figure 2b and
2c, respectively.
183
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
500 30
[b]
[a]
29
400
300
27
200
26
100
25
0 0
l t
ary ary rch Apri May June July gus mbertobermbermber l t
ary ary rch Apri May June July gus mbertobermbermber
nu ru Ma Au pte Oc ove ece nu ru Ma
Ja Feb Ja Feb Au pte Oc ove ece
Se N D
Se N D
Month
Month
30
[b]
29
Air temperature (oC)
28
27
26
25
0
l t r r r r
ary ary rch pri May June July gus mbe tobe mbe mbe
nu ru Ma A Au pte Oc ove ece
Ja Feb
Se N D
Month
B. Soil Properties
The soil properties of each site are presented in Figures 3-11.
Soil properties measures were particle fraction analysis, the content
of total carbon (C), Total nitrogen (N), total potassium (K) and total
phosphorus (P), soil pH, electric conductivity (EC), cation exchange
capacity (CEC), and CO2 evolution. The particle fraction analysis
(Figure 3) shows that all soil samples dominated by slit fraction,
followed by clay and sand fractions. If applicable, level of status
of each soil property will be made available as categorized by
Djaenuddin et al. (1994).
184
The Environmental Characteristics .....(Erry Purnomo)
The category range of total C total content was very low to low
(Figure 4). Most of the selected sites contained very low C, only 5
sites had low C. The N content of the soils (Figure 5) was generally
low. It was found that Wawai and Belanti 13 sites had very low and
moderate levels of N content, respectively. The low level of C and N
content confirms the low level of organic matter content of the soil.
The K and P contents of the soils from all sites are demonstrated
in Figures 6. Most of the soil classified as very low to low level of K
concentration. Two sites, namely, Mandala and Madang Low had K
content of moderate level.
100
Sand
Silt
80 Clay
60
%
40
20
0
t 3 i ) s h g ) 3 w
5 - 16 angsa andala awai dingin awa au (10 Kate g Hig adin (2 & 3 lanti 1 ng Lo gkinkin
ti 1 TL M W Man W as uh an aur G bat Be da Han
Bela
n R Lay Mad H Ma
Kam
Site
2.5
Moderate
2.0
Low
1.5
Total C content (%)
1.0
Very low
0.5
0.0
t la ai 3 ngin wai (10) ates igh ding & 3) ti 13 Low nkin
- 16 gsa da i H i
ti 15 T Lan Man Waw and Waasauyuh Kdang ur Gaat (2Belandang angk
lan M R La Ma Ha mb Ma H
Be Ka
Site
185
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
0.25
Moderate
0.20
Total N content (%)
Low
0.15
0.10
Very low
0.05
0.00
16 ngsatndalawai 3 inginawai (10) ates Highading & 3)nti 13 Low inkin
5- a d W sau h K ng r G t (2 ela ang ngk
ti 1 T La Ma W Man Ra LayuMada Hau mba B ad Ha
la n M
Be Ka
Site
One site (Rasau 10) had a very high K level. Most of total P content
of the soils was categorized as very low to low. Only one site (Rasau
10) was categorized as very high (Figure 7).
Almost all the soil pH of the selected soils was categorized into
very acidic to acidic category. Only one site (Belanti 13) had a slightly
acidic value (Figure 8). For EC reading, except for Hangkinkin site,
all soils had EC below 1 mS cm-1 (Figure 9). The low EC readings
may be associated with the far distance from the shore. The low EC
readings indicate the absence of salinity problem.
The CEC of the soils were commonly low (Figure 10). There were
3 sites and 2 sites had CEC of moderate and high, respectively. The
low CEC indicates a low storage cation capacity and results in prone
to cation leaching.
The CO2 evolution as an indication microbial activity was similar
site-wise (Figure 11). Except, at Madang Low, it was observed that
the microbial was lower than the other sites.
186
The Environmental Characteristics .....(Erry Purnomo)
The other 8 sites had 5-14 plant species and one site had 22 plant
species.
1200
1000
Very high
Total K content (%)
800
600
High
400
Moderate
200 Low
Very low
0
t i ) s )
- 16 gsa dalawai 3inginawa (10 ate High ding & 3nti 1n3g Logw
kin k
in
nt i 15 T Lan Man WaMand WRasaauyuhaKdangaur Gbaat (2Belaa d a Han
Bela L M H Kam M
Site
2600
2400
Total P content (%)
2200
600
High
400
Moderate
200 Low
Very low
0
t
- 16 gsa dalawai 3 inginawai (1h0) ates High ding & 3) ti 13 Low inkin
nt i 15 T Lan Man WaMand WRasau u K ang r Ga t (2Belan g
danHang
k
Bela Lay Mad Hauamba Ma
K
Site
187
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
7
Neutral
6 Slightly acidic
Soil pH H2O
5 Acidic
Very acidic
4
0
6 sat dala ai 3 ingin wai (10) ates High ding & 3) ti 13 Low inkin
5 - 1 angM an Wawand Waasauyuh K ang ur Gaat (2 elandang angk
n ti 1 T L M R L a Ma d H a m b B Ma H
Bela Ka
Site
130
Electric conductivity (mScm-1)
120
110
100
2
0
t
- 16 gsa dalawain3 n i
ingi awa (1h 0) ates High ding & 3) ti 13 Low inkin
i 15 T Lan Man WaM a d WRasau u K ng r Ga t (2Belan g
danHang
k
Bela
nt Lay Mada Hauamba Ma
K
Site
40
Cation exchnage capacity (cmol[+]kg-1)
30 High
Moderate
20
Low
10
Very low
0
t a 3 n i ) s h g ) 3 n
- 16 ngsa ndal wai ingi awa (10 Kate Hig adin & 3 nti 1 g Lowkinki
n t i 15 T La Ma WaMand WRasauayuh adangaur Gbat (2Bela adanH a ng
a L M
Bel H am
K M
Site
188
The Environmental Characteristics .....(Erry Purnomo)
2000
1600
1200
CO2 evolution (mg C kg-1)
800
400
0
t a i ) s g )
- 16 gsa dal wai 3 inginawa (10 ate High din & 3nti 1ng Logwkinkin
3
i 15 T Lan Man WaMand WRasaauyuhaKdangaur Gbaat (2Belaa d a Han
an t L M
Bel H am
K M
Site
DISCUSSION
The rainfall pattern was typical the study area. The highest
rainfall occurred in the period of November-April ranging 215-358
mm. In May, June and October the rainfall ranged 132-151 mm.
The lowest rainfall was observed in the period of July-September
ranging 54-84 mm. The schedule of inoculation may have to consider
the climatic condition throughout the year.
25
Number of plant species each site
20
15
10
0
t la 3 in i ) s h g ) 3 w in
- 16 ngsa nda wai ding awaau (10 Kate g HigGadin (2 & 3lanti 1ng Lo gkink
i 15 T La Ma W a Man W as yuh n
R La Mada Haur mbat Be ada Han
elant M
B Ka
Sites
Gambar 12. The number of plant species found in each site
189
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
CONCLUSION
The selected sites were distributed in regencies, namely, Banjar,
Hulu Sungai Selatan and Hulu Sungai Tengah. The annual total
rainfall in the area under study was 2361 mm. The rainy season
began in October and ease in June. In general, the soil in each site
was considered very poor. The number plant species were varied
from site to site.
It is too early to gain any conclusion on the effect of environmental
characters on gaharu production. Therefore, further study is still
needed to investigate the relationship between soil properties or
plant diversity on eaglewood growth or the success of inoculants
application.
ACKNOWLEDGEMENT
I would like to thank ITTO for funding the work. Dr. Maman
Turjaman for the invitation to be involved in the project. Mrs.
M Yani, Presto Janu Saputra and Storus for supporting the field
work. I also acknowledge the anonymous reviewer who critically
commented on the manuscript.
190
REFERENCE
Djaenuddin, D., Basuni, Hardjowigeno, S., Subagjo, H., Sukardi, M.,
Ismangun, Marsudi, Ds., Suharta, N., Hakim, L., Widagdo, Dai,
J., Suwandi, V., Bachri, S., and Jordens, E.R. Land Suitability for
Agricultural and Silviculture Plants. Laporan Teknis No. 7. Versi
1.0. April 1994. Center for Soil and Agroclimate Research, Bogor.
(In Indonesian).
Klute, A. (1986) Methods of soil Analysis. Part 1 Physical and
mineralogy methods. 2nd Edition. ASA, SSSA. Madison. Pp.1188
Page, A.L., Miller, R.H. and Keeney, D.R. (1982) Methods of
soil Analysis. Chemical and microbiological properties.
2nd Edition. ASA, SSSA. Madison. Pp 1159.
191
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
192
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
11
KARAKTERISTIK LAHAN HABITAT
POHON PENGHASIL GAHARU DI
BEBERAPA HUTAN TANAMAN DI
JAWA BARAT
Pratiwi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Gaharu merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang
mempunyai nilai penting, karena secara ekonomis jenis ini
dapat meningkatkan devisa negara dan sumber penghasilan bagi
masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan. Gaharu
merupakan salah satu kayu aromatik penting, sehingga hasil
hutan non kayu ini menjadi subjek pemanenan yang cukup tinggi.
Ada beberapa jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan gaharu.
Awalnya gaharu berasal dari pohon tropika yang terinfeksi jamur,
seperti Aquilaria spp., Gonystylus spp., Wikstromeae spp., Enkleia
spp., Aetoxylon spp., dan Gyrinops spp. (Chakrabarty et al., 1994,
Sidiyasa et al., 1986). Dalam kegiatan penelitian ini difokuskan pada
jenis-jenis pohon dari genus Aquilaria, yaitu A. malaccensis dan
A. microcarpa. Genus ini termasuk dalam famili Thymelaeaceae.
Karena jenis pohon ini mempunyai nilai ekonomi tinggi, maka
keberadaan jenis ini perlu dipertahankan. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan tanaman gaharu
dalam hutan tanaman di beberapa area. Oleh karena itu beberapa
193
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
METODOLOGI
194
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
C. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan membuat plot-plot penelitian untuk
pengamatan sifat-sifat tanah, topografi, dan vegetasi. Pengamatan
terhadap sifat-sifat tanah dan topografi dilakukan di dalam plot
yang sama dengan pengamatan vegetasi.
195
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Tanah, 1962). Contoh tanah diambil dari setiap horizon yang telah
diidentifikasi untuk dianalisis di laboratorium. Dua macam contoh
tanah yang diambil adalah contoh tanah terganggu untuk analisis
sifat-sifat fisik dan kimia tanah serta contoh tanah tidak terganggu
untuk pengamatan sifat fisik tanah (porositas dan berat jenis tanah).
Sifat-sifat tanah yang dianalisis, meliputi: a) sifat fisik yaitu tekstur,
berat jenis, porositas, permeabilitas, dan sifat kimia yaitu pH H2O,
Corg, Ntotal, ketersediaan P, K, Na, Ca, Mg, KB, KTK, Al, dan H+ (sifat
kimia) (Blackmore et al., 1981).
Contoh tanah komposit diambil pada kedalaman 0-30 cm,
30-60 cm, dan > 60 cm di setiap lokasi penelitian. Pada setiap
kedalaman tanah, contoh tanah diambil pada 20 titik yang tersebar
di masing-masing horizon. Kemudian contoh tanah dicampur
sesuai kedalamannya. Total tanah komposit yang dikumpulkan
dari masing-masing lokasi adalah enam contoh (tiga untuk analisis
sifat fisik tanah dan tiga untuk analisis sifat kimia tanah). Dengan
demikian ada 18 contoh tanah yang dikumpulkan.
2. Pengamatan Vegetasi
Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap seluruh vegetasi
yang ada dalam plot, yaitu pada tingkat pohon, belta, dan semai.
Kriteria pohon adalah tumbuhan dengan diameter setinggi dada
(1,3 m)>10 cm. Sedangkan belta merupakan tumbuhan dengan
diameter setinggi dada (1,3 m) antara 2 cm sampai < 10 cm dan
semai merupakan permudaan dari kecambah sampai tinggi < 1,5 m
(Kartawinata et al., 1976). Plot-plot contoh berukuran 20 m x 20 m
dibuat untuk pengamatan pohon dengan interval 20 m pada jalur
sepanjang satu km. Sedangkan untuk pengamatan belta dilakukan
dengan membuat petak berukuran 10 m x 10 m di sepanjang jalur
tersebut dengan interval 10 m. Seluruh jenis pohon dan belta
dihitung dan diukur diameternya. Sedangkan tingkat semai dan
tumbuhan bawah diamati dengan cara membuat petak 1 m x 1 m
di dalam jalur pengamatan pohon dan belta. Seluruh semai dan
tumbuhan bawah yang ada dicatat dan dihitung jumlahnya.
Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap semai dan tumbuhan
bawah yang ada di bawah tegakan/pohon penghasil gaharu. Kriteria
196
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
D. Analisis Data
Sifat-sifat fisik dan kimia tanah dihitung sesuai dengan formula
pada standar prosedur dari setiap karakteristik tanah kemudian
ditabulasi untuk setiap horizon.
Untuk vegetasi, data yang diperoleh ditentukan spesies
dominannya dengan menghitung nilai penting sesuai dengan rumus
yang dikemukakan oleh Kartawinata et al. (1976). Spesies dominan
merupakan spesies yang mempunyai nilai penting tertinggi di
dalam tipe vegetasi yang bersangkutan. Indeks kesamaan jenis
dihitung dengan menggunakan rumus Sorensen (Mueller-Dum-bois
and Ellenberg, 1974), yaitu:
2w
SI =
a+b
Dimana :
SI = Similarity Index
w = Jumlah dari nilai penting terkecil untuk jenis yang sama yang
ditemukan pada dua komunitas yang dibandingkan (A dan B)
a = Jumlah nilai penting dari semua jenis yang ada di komunitas A
b = Jumlah nilai penting dari semua jenis yang ada di komunitas B
197
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
198
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
2. Sifat-Sifat Tanah
199
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Sifat fisik
Kedalaman Tekstur
(cm) Berat Porositas
Debu Kelas Jenis (%)
Pasir (%) Liat (%)
(%) tekstur
0-30 8,33 25,10 66,57 Liat
30-60 8,55 22,10 69,35 Liat
> 60 6,01 36,51 57,48 Liat
0 0,90 65,86
30 0,87 66,99
60 0,96 63,85
Sifat fisik
Kedalaman Tekstur
(cm) Berat Porositas
Pasir Debu Kelas Jenis (%)
Liat (%)
(%) (%) tekstur
0-30 8,33 12,59 79,08 Liat
30-60 6,33 11,98 81,69 Liat
> 60 5,13 9,09 85,78 Liat
0 0,93 64,99
30 0,84 68,45
60 0,90 66,21
200
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
Sifat fisik
Kedalaman Tekstur
(cm) Berat Porositas
Pasir Debu Kelas Jenis (%)
Liat (%)
(%) (%) tekstur
0-30 12,78 18,73 68,49 Liat
30-60 9,95 5,90 84,15 Liat
> 60 11,54 26,37 62,09 Liat
0 0,97 63,43
30 0,86 67,59
60 0,83 68,75
201
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
202
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
203
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
204
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
205
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
1. Umum
Analisis vegetasi dilakukan terhadap vegetasi/tumbuhan bawah
di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Areal ini merupakan hutan
tanaman pohon penghasil gaharu. Dengan demikian untuk tingkat
pohon, sapling serta tiang didominasi oleh gaharu. Oleh karena itu
analisis vegetasi ditekankan pada tumbuhan bawah.
206
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
KESIMPULAN
1. Tanah di tiga lokasi penelitian memiliki bahan induk yang relatif
sama, yaitu material volkanik yang bersifat andesitik.
207
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
DAFTAR PUSTAKA
Allison, L.E. 1965. Organic Matter by Walkey and Black methods. In
C.A. Black (ed.). Soil Analyses. Part II.
Chakrabarty, K., A. Kumar and V. Menon. 1994. Trade in Agarwood.
WWF-Traffic India.
Jenny, H. 1941. Factors of Soil Formation. McGrawhill. New York.
280 p.
Lembaga Penelitian Tanah. 1962. Peta Tanah Tinjau Jawa dan
Madura. LPT. Bogor.
208
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
209
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
No. Nama daerah Nama botani Famili Kr (%) Fr (%) Dr (%) NP (%)
Keterangan:
Kr : Kerapatan relatif
Fr : Frekuensi relatif
Dr : Dominansi relatif
NP : Nilai penting
210
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
Nama
No. Nama botani Famili Kr (%) Fr (%) Dr (%) NP (%)
daerah
4 Rumput pait Panicum barbatum Lamk. Graminae 17,64 16,72 3,42 37,78
Keterangan:
Kr : Kerapatan relatif
Fr : Frekuensi relatif
Dr : Dominansi relatif
NP : Nilai penting
211
Lampiran 3. Nilai penting jenis tumbuhan bawah di Sukabumi
Nama
No. Nama botani Famili Kr (%) Fr (%) Dr (%) NP (%)
daerah
2 Rumput pait Panicum barbatum Lamk. Graminae 24,24 16,67 17,87 58,94
Keterangan:
Kr : Kerapatan relatif
Fr : Frekuensi relatif
Dr : Dominansi relatif
NP : Nilai penting
212
12
POTENSI DAN KONDISI REGENERASI ALAM
GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.)
DI PROVINSI LAMPUNG DAN BENGKULU,
SUMATERA
Titiek Setyawati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Gaharu, dengan nama perdagangan “agarwood/aloe-wood/
eaglewood”, selama ini banyak dikenal sebagai bahan untuk
membuat wangi-wangian, bahan obat serta juga kulitnya dapat
dibuat untuk bahan tali atau kain (Puri, 2001; Heyne, 1987; Zuhud
1994). Gaharu banyak diproduksi di Indonesia, negara penghasil
gaharu terbesar di dunia. Indonesia juga merupakan habitat
endemik beberapa jenis gaharu komersial dari marga Aquilaria,
seperti A. malaccensis Lamk., A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana,
A. filaria, dan lain-lain. Gaharu merupakan komoditi hasil hutan
bukan kayu yang banyak diminati oleh pasar luar negeri (Soehartono
dan Newton, 2000). Bagi Suku Dayak Punan di Kalimantan Timur,
gaharu merupakan komoditi hasil hutan non-kayu penting, karena
merupakan sumber pendapatan terbesar yang memiliki nilai pasar
tinggi (Kaskija, 2002). Indonesia merupakan salah satu eksportir
terbesar produk gaharu dan sudah menyumbangkan sekitar 6,2
milyar rupiah ke kas negara pada tahun 1995.
Jenis pohon penghasil gaharu menghasilkan resin yang memiliki
aroma wangi dan jenis-jenis yang menghasilkan gaharu dengan
213
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
214
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
215
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
1. Lampung
Survei jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Provinsi Lampung
dilakukan di satu lokasi yang ada di dalam kawasan Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan (Hutan Biha) dan dua lokasi di luar kawasan
TNBBS, yaitu di Hutan Bukit Rupi dan Hutan Gunung Sugih, tepatnya
di Kabupaten Lampung Tengah.
Kawasan Hutan Bukit Rupi berada di Desa Segala Midar,
Kecamatan Pubian, Kabupaten Lampung Tengah. Kondisi topografi
di hutan alam ini sedikit berbukit dengan beberapa lokasi memiliki
kelerengan hingga 35 derajat. Kawasan Hutan Bukit Rupi berada di
luar kawasan TNBBS namun demikian merupakan kawasan hutan
lindung yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Provinsi Lampung
Tengah. Kondisi hutan sebagian sudah dialihfungsikan menjadi
lahan perkebunan dan ladang masyarakat. Namun demikian masih
ada beberapa lokasi hutan alam, dimana ditemukan tegakan gaharu
yang masih utuh.
Kawasan Hutan Biha masuk dalam Blok Hutan Podomoro, Resort
Biha, Seksi Krui. Lokasi survei berada di Desa Sumur Jaya, Kecamatan
Pesisir Selatan, Kabupaten Lampung Barat. Areal penelitian masuk
dalam Seksi Konservasi Wilayah II Krui dengan luas kawasan ±
96,884 ha dengan cakupan wilayah meliputi Resort Merpas, Pugung
216
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
Tampak, Krui, dan Biha. Lokasi penelitian secara detil tertera pada
Gambar 1.
Kawasan hutan
TNBBS ini terletak
di ujung selatan dari
rangkaian pegunungan
Bukit Barisan dan
secara geografis
berada pada 4031’-
5057’ LS dan 103024’-
1 0 4 0 BT s e d a n g k a n
secara administratif
p e n ge l o l a a n te r b a g i
d a l a m t i g a w i l aya h
pengelolaan, yaitu Seksi
Konservasi Wilayah I
Liwa.
Gambar 1. Peta lokasi survei dan pengamatan
S e k s i Ko n s e r va s i jenis-jenis pohon penghasil gaharu
Wilayah Krui, dan Seksi di Provinsi Lampung
Konservasi Wilayah III
Sukaraja. Topografi kawasan ini bergelombang dan berbukit-bukit
dengan ketinggian berkisar antara 0-1.964 m dpl. Curah hujan rata-
rata di bagian barat adalah 3.000-3.500 mm/th sedangkan di bagian
timur 2.500-3.000 mm/ th.
2. Bengkulu
Lokasi kedua kawasan hutan sangat berdekatan dengan Tahura
Rojolelo yang terletak di antara 03 42’-03 44’LS sampai 102 21’BT
dan berada di ketinggian 10-30 m dpl. Waktu tempuh dari pusat
kota Bengkulu sekitar 30 menit dengan jarak sekitar 20 km (Gambar
2).
217
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Gambar 2.
Lokasi penelitian di
Kawasan Hutan Binjai
Temula (Kec. Talang
Empat) dan Pungguk
Gambo (Kec. Pondok
Kelapa), Bengkulu
Utara
Kawasan hutan dekat Desa Tanjung Terdana sebagian besar
sudah dikonversi menjadi areal persawahan dan perkebunan
masyarakat. Tanaman yang umum ditanam antara lain padi, kelapa
sawit, karet, pisang, jeruk, jati, dan tanaman palawija lainnya.
B. Prosedur Kerja
Kajian lapangan di Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung
Barat dilakukan pada bulan Oktober dan Desember 2007 sedangan
218
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
219
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
220
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
C. Analisis Data
1. Beberapa definisi dan kalkulasi yang digunakan dalam analisis
vegetasi, antara lain:
2. Kepadatan: jumlah individu per plot (100 m2).
3. Frekuensi: jumlah unit contoh (10 m x 10 m), di mana jenis
ditemukan.
4. Luas Bidang Dasar (LBD): luasan bagian melintang dari batang
>20 cm sebatas dada (diameter of breast height (dbh)). Luas
bidang dasar untuk tiap plot dijumlah untuk memperoleh LBD
tiap pohon dengan menggunakan rumus: LBD (m2) = pi x d
(diameter dalam m)2/4 (Kent dan Coker, 1992).
5. Nilai Penting (NP): perkiraan secara keseluruhan pentingnya
suatu jenis pohon di dalam komunitas lokalnya. Nilai NP ini
diperoleh dengan cara menjumlahkan Dominansi Relatif (DoR),
Kelimpahan Relatif (KR), dan Frekuensi Relatif (FR) dari jenis
tertentu. DR merupakan rasio total luas bidang dasar dari suatu
jenis terhadap jumlah total luas bidang dasar dari seluruh jenis
yang ada, KR merupakan rasio jumlah individu dari suatu jenis
terhadap jumlah total jenis di dalam plot dan FR merupakan
rasio frekuensi dari suatu jenis terhadap total frekuensi seluruh
jenis di dalam plot (Kent dan Coker, 1992, Krebs, 1999, 1994).
221
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
222
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
223
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Gambar 5.
Penduduk setempat yang
sudah melakukan upaya
bu-didaya penanaman po-
hon gaharu (A. malaccen-
sis Lamk.) di kebun milik-
nya di Kawasan Hutan
Gunung Sugih, Lampung
Tengah
No.
Jumlah pohon (> 10 cm) Jumlah pancang Jumlah anakan
plot
1. 26 34 14
2. 9 15 21
3. 8 21 30
4. 14 16 14
5. 16 19 11
6. 8 17 9
Tabel 2. Jumlah pohon, pancang, anakan dan semai beberapa jenis pohon
alami yang ada dalam 50 plots penelitian di Kawasan Hutan Way
Waya, Gunung Sugih, Lampung Tengah
224
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
Jumlah pohon
No. plot Jumlah pancang Jumlah anakan
(> 10 cm)
1. 2 - 3
2. - 1 8
3. - 2 5
4. - 4 12
225
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
226
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
227
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Jumlah pohon
No. plot Jumlah pancang Jumlah anakan
(> 10 cm)
1. 1 0 0
2. 1 0 3
3. 0 0 1
4. 1 0 2
5. 1 0 3
6. 0 0 2
228
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
Jumlah pohon
No. plot Jumlah pancang Jumlah anakan
(> 10 cm)
7 1 0 2
8 0 0 1
9 0 0 3
10 1 0 3
229
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
230
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan estimasi potensi
regenerasi alam jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang tumbuh
di hutan alam di beberapa lokasi contoh di Kabupaten Lampung
Tengah dan Lampung Barat, tampak bahwa potensi tegakan
alam A. malaccensis Lamk. sudah mengalami penurunan
populasi. Demikian pula dengan potensi regenerasinya yang
ditunjukkan dengan sedikitnya jumlah semai maupun anakan
yang ada di bawah tegakan alam.
2. Hasil pengamatan di dua lokasi contoh di Kabupaten Bengkulu
Utara, tampak bahwa potensi tegakan alam A. malaccensis Lamk.
masih banyak namun demikian kondisinya saat ini menghadapi
ancaman penurunan populasi di berbagai tingkatan umur
231
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
B. Saran
Provinsi Lampung, khususnya Kabupaten Lampung Tengah
dan Lampung Barat memiliki potensi tegakan alam gaharu yang
cukup merata meskipun di beberapa lokasi jumlah sampelnya tidak
memadai. Tampak pula terjadi pemanfaatan kayu gaharu di alam
yang kurang mengindahkan aspek kelestarian, sehingga diperlukan
penyuluhan bagi masyarakat setempat terutama penduduk yang
tinggal berdekatan dengan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan dan kawasan hutan lindung.
Sedikit lebih baik dari kondisi gaharu di Provinsi Lampung,
kawasan hutan di Provinsi Bengkulu, khususnya Kabupaten
Bengkulu Utara memiliki potensi tegakan alam gaharu yang juga
cukup baik dilihat dari sisi populasi tegakan alaminya. Meskipun
demikian jenis pohon ini mengalami ancaman serius akibat
perburuan, tidak hanya pohonnya namun juga anakan alaminya.
Sebagian besar penduduk memperjualbelikan anakan alami untuk
232
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
DAFTAR PUSTAKA
Adelina, N. 2004. Aquilaria malaccensis Lamk. Seed Leaflet No. 103.
Forest & Landscape Denmark. December 2004.
Anonim, 2009. Siapkan Masa Depan, Ayo Tanam Gaharu.
Ko m p a s o n l i n e : h t t p : / / r e g i o n a l . k o m p a s .c o m / r e a d /
xml/2009/07/24/1300220/siapkan.masa.depan.ayo.tanam.
gaharu
Anonim. 2007. Gaharu (Aquilaria). Media on line : http// www.
wwf.or.id/index.php?fuseactian=whatwedo.species_gaharu.
Downloaded: 24 Januari 2007.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Vol. I, II, III, dan
IV. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Yayasan
Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Kaskija, L. 2002. Claiming the Forest. Punan Local Histories and
Recent Developments in Bulungan, East Kalimantan. CIFOR.
Indonesia.
Kent, M. dan P. Coker. 1992. Vegetation Description and Analysis : A
Practical Approach. CRC Press, Behalven Press.
Krebs, C. J. 1994. Ecology : The Experimental Analysis of Distribution
and Abundance. Harper Collins College Publishers.
Krebs, C. J. 1999. Ecological Methodology. Jim Green.
Kundu, M. dan J. Kachari. 2000. Desiccation Sensitivity and
Recalcitrant Behaviour of Seeds of Aquilaria agallocha Roxb.
Seed Science and Technology.
233
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
234
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
235
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Lampiran 2. Daftar jenis pohon yang ada di dalam Kelompok Hutan Binjai
Temula, Desa Dusun Baru, Kecamatan Talang Empat, Bengkulu
Utara
236