Anda di halaman 1dari 60

PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTIBIOTIK

AMIKASIN-KOTRIMOKSAZOL TERHADAP ANTIBIOTIK


TUNGGAL KOTRIMOKSAZOL TERKAIT DAYA HAMBAT,
DAYA BUNUH DAN FREKUENSI MUTASI
STAPHYLOCOCCUS AUREUS

TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh

Elika Kandara Trican


2131210066

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan salah satu bakteri yang dapat

menyebabkan berbagai macam infeksi klinis (Harris et al.,. 2002). Di Eropa, S.

aureus yang menyebabkan bakteremia meningkat 34% dari 7.855 kasus ditahun

2002 menjadi 10.503 kasus ditahun 2009 (Gagliotti et al., 2011). Di Amerika,

penyakit infeksi kulit karena S. aureus meningkat dari 1,2 juta kasus ditahun 1993

menjadi 3,4 juta ditahun 2005 (Tong et al., 2015). Penyakit yang disebabkan oleh

S. aureus dapat ditangani dengan pemberian antibiotik (Bamberger dan Boyd,

2005).

Sejak antibiotik diperkenalkan secara luas, penggunaan antibiotik terus

mengalami peningkatan (Saga dan Yamaguchi, 2009). The Center for Disease

Control and Prevention USA (2017) melaporkan bahwa peresepan antibiotik pada

tahun 2011 sebanyak 192 juta dan pada tahun 2014 meningkat hingga mencapai

198 juta pertahun di Amerika. Salah satu permasalahan yang menjadi perhatian

utama dalam dunia medis adalah meningkatnya angka kejadian resistensi antibiotik

(WHO, 2014). Dilaporkan bahwa sebanyak 2 juta orang terinfeksi bakteri yang

telah resisten terhadap antibiotik dan sedikitnya 23.000 orang meninggal akibat

infeksi ini di Amerika (CDC, 2013).

Penggunaan antibiotik yang terlalu sering akan meningkatkan angka prevalensi

terjadinya resistensi bakteri terhadap suatu antibiotik (Permenkes, 2011). Bila telah

1
2

terjadi mutasi pada bakteri, maka antibiotik akan bersifat selective pressure pada

suatu populasi bakteri. Sifat selective pressure akan mengakibatkan tersingkirnya

bakteri yang sensitif terhadap antibiotik. Sementara, bakteri yang telah mutasi akan

terus mendominasi suatu populasi (Ofria et al., 2003).

Melihat bahwa kejadian resistensi antibiotik yang terus meningkat, berbagai cara

dilakukan untuk menanggulangi kejadian resistensi antibiotik. Solusi yang

ditawarkan dalam mencegah terjadinya resistensi antibiotik adalah dengan cara

pemberian antibiotik kombinasi (Utami, 2011). Pemberian antibiotik secara

kombinasi lebih mudah dilakukan untuk melawan bakteri yang resisten dari pada

menemukan antibiotik jenis baru (Worthington dan Melander, 2014).

Pengaruh pemberian antibiotik kombinasi dapat bersifat sinergistik. Sifat

sinergistik dapat mencegah terjadinya dosis subletal (Bollenbach, 2015).

Penggunaan dosis subletal pada antibiotik tunggal akan meningkatkan kejadian

resistensi (Laureti et al., 2013). Maka, diduga pemberian antibiotik kombinasi yang

bersifat sinergistik akan menurunkan kemungkinan terjadinya resistensi. Beberapa

kasus penyakit infeksi bakteri telah menggunakan pengobatan antibiotik kombinasi

yang bersifat sinergis, contohnya infeksi Escherichia coli menggunakan kombinasi

antibiotik golongan aminoglikosida dengan β-laktam, infeksi Pseudomonas

aeruginosa menggunakan kombinasi antibiotik golongan aminoglikosida dengan

fluorokuinolon (Tamma et al., 2012). Salah satu kombinasi antibiotik yang

diketahui bersifat sinergis pada E. Coli adalah amikasin dengan kotrimoksazol

(Bollenbach, 2015).

Namun, efek pemberian kombinasi antibiotik sinergis secara subletal terhadap

kejadian resistensi belum diketahui. Penelitian ini diawali dengan mencari dosis
3

daya hambat dan daya bunuh minimum antibiotik untuk mengetahui dosis indikasi

dalam mencapai dosis subletal. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui kejadian resistensi pada S. aureus yang dipapar dengan antibiotik

kombinasi amikasin-kotrimoksazol secara subletal dibanding dengan antibiotik

tunggalnya.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah pemberian kombinasi antibiotik Amikasin dan Kotrimoksazol

akan mengubah daya hambat minimum pada bakteri S. aureus?

1.2.2 Apakah pemberian kombinasi antibiotik Amikasin dan Kotrimoksazol

akan mengubah daya bunuh minimum pada bakteri S. aureus?

1.2.3 Apakah pemberian kombinasi antibiotik Amikasin dan Kotrimoksazol

akan mengubah frekuensi mutasi bakteri untuk dibandingkan dengan

induksi tunggal antibiotik Kotrimoksazol terhadap bakteri S. aureus?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Mengetahui perubahan daya hambat minimum pada kombinasi

antibiotik Amikasin dan Kotrimoksazol terhadap bakteri S. aureus.

1.3.2 Mengetahui perubahan daya bunuh minimum pada kombinasi

antibiotik Amikasin dan Kotrimoksazol terhadap bakteri S. aureus.

1.3.3 Mengetahui perbandingan frekuensi mutasi kombinasi antibiotik

Amikasin dan Kotrimoksazol dengan induksi tunggal antibiotik

Kotrimoksazol terhadap bakteri S. aureus.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Memberikan landasan ilmiah untuk mengetahui perubahan daya

hambat dan daya bunuh antibiotik tunggak amikasin, kotrimoksazol

dan antibiotik kombinasi amikasin-kotrimoksazol terhadap S.aureus.


4

1.4.2 Memberikan landasan ilmiah pada perbandingan kemungkinan bakteri

resisten terhadap antibiotik setelah dipapar antibiotik tunggal dan

antibiotik kombinasi yang bersifat sinergis secara subletal.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakteri Staphylococcus aureus


2.1.1 Morfologi
Staphylococcus aureus (S. aureus) berasal dari kata Staphylo yang berarti

buah anggur dan coccus berarti bulat. Bakteri S. aureus berbentuk bulat dengan

diameter 0,5 – 1,5 µm. Bakteri bertumpuk secara tidak teratur dan

berkelompok seperti buah anggur. S. aureus merupakan bakteri fakultatif

anaerob. S. aureus termasuk bakteri yang non-motil (tidak bergerak) dan tidak

menghasilkan spora. Klasifikasi berdasarkan dindingnya, bakteri S. aureus

termasuk dalam golongan gram-positif (Harris et al, 2002). Pertumbuhan S.

aureus memerlukan suhu 370C. Pada suhu 20-250C dapat membentuk pigmen.

S. aureus membentuk koloni berwarna kuning keemasan ketika ditumbuhkan

pada media padat (Brooks et al., 2013).

Gambar 2.1 Pewarnaan gram S. Gambar 2.2 Koloni S. aureus pada


aureus menunjukkan gram positif, media blood agar plate (BAP)
bulat, tetrad dan berkelompok setelah diinkubasi selama 24 jam
(Brooks et al., 2013) (Brooks et al., 2013)

5
6

2.1.2 Taksonomi
Bakteri Staphylococcus aureus berasal dari kerajaan bacteria dengan divisi

eubacteria. Phylum bakteri S. aureus adalah firmictutes. Bakteri S. aureus

berada di kelas bacilli. Ordo bakteri yaitu bacillales. S. aureus termasuk

keluarga Staphylococcaceae dengan genus Staphylococcus dan spesies yaitu

Staphylococcus aureus.(Willey et al., 2014):

S. aureus adalah bakteri yang dapat menyebabkan berbagai macam infeksi

(Harris et al., 2002). Penyebaran infeksi bakteri S. aureus dapat melalui kontak

dengan pus, kulit atau karier. Penyebaran infeksi juga bisa disebabkan ketika

bersentuhan dengan berbagai macam barang yang ditempati oleh S. aureus

seperti handuk, pakaian dan alas tidur (Kobayashi et al., 2015).

2.1.4 Resistensi
2.1.4.1 Resistensi Amikasin
Resistensi amikasin terjadi karena terjadinya mutasi pada 16S ribosom

RNA (rRNA). Mekanisme terjadinya mutasi adalah dengan memodifikasi

enzim pada kelompok struktur –NH2. Posisi modifikasi terutama terletak

pada gugus asetilasi di 6’-N. Enzim yang bekerja pada mekanisme ini

disebut AAC(6’)-I (Ramirez dan Tomalsky, 2017).

Pada bakteri S. aureus, 6’-N-asetiltransferase dengan profil AAC(6’)-Ie

dapat bergabung di N-terminal dengan phosphotransferase APH(2’)-Ia.

Gabungan kedua struktur ini membentuk bifungsional enzim yang

dikodekan menjadi AAC(6’)-Ie-APH(2’)-Ia. Struktur ini biasanya berlokasi

di transposon Tn4001. Transposon yang memiliki struktur modifikasi ini

ditemukan di plasmid. Transposon dikarakteristikkan dengan kemampuan

mereka yang dapat mentransferkan struktur bifungsional tersebut ke

kromosom atau plasmid secara acak (Holbrook dan Tsodikova, 2016).


7

Struktur APH(2”)-Ia secara dominan telah ditempatkan sebagai kompleks

analog GTP, guanosin difosfat dan aminoglikosida (Smith et al., 2014).

Gambar 2.3 Kelompok modifikasi struktur –OH dan –NH terhadap antibiotik
golongan aminoglikosida (Ramirez dan Tomalsky, 2017).

2.1.4.2 Resistensi Kotrimoksazol


Resistensi sulfometoksazol disebabkan oleh mutasi pada kromosom dan

plasmid. Dua gen mutasi yang diketahui sebagai dasar terjadinya mutasi

adalah gen sul1 dan sul2. Gen sul1 berlokasi di di integron kelas 1,

sedangkan sul2 terletak di plasmid kelompok inkompatibilitas incQ atau

pada plasmid kecil yang ditujukan pada pBP1. Selain melalui plasmid,

mekanisme resistensi sulfometoksazol dapat terjadi karena mutasi pada gen

kromosom (folP) pada dihydropteroate synthase (DHPS). Mutasi ini

menghasilkan afinitas yang rendah untuk menghambat sulfometoksazol

(Skold, 2001).

Berkebalikan dengan sulfometoksazol, resistensi trimetrophim dengan

membentuk mutasi gen yang dimediasi oleh plasmid sangat sedikit. Namun,

kebanyakan resistensi trimetrophim dikarenakan mutasi pada gen dfr1 yang


8

terjadi pada cassette pada integron kelas 1 dan 2. Integron kelas 2 karier

berada pada transposon Tn7 dapat menyisip ke kromosom dengan mudah

(Skold, 2001).

Adapun mekanisme secara tidak langsung terhadap resistensi

trimetrophim pada resistensi tingkat rendah. Mekanisme ini terjadi

kemampuan bakteri untuk mengubah methylate deoxyuridylic acid menjadi

thymidylic acid diperantarai oleh enzim thymidylate synthase. Ketika enzim

thymidylate synthase tidak aktif, maka kompensasi yang terjadi adalah

mengambil timin dari lingkungan. Dengan demikian, cara ini dapat

mengurangi kerja DHFR dalam mengubah tetrahidrofolat menjadi N5, N10-

metilen tetrahidrofolat (King, 1983).

2.2 Antibiotik Amikasin


2.2.1 Struktur Molekul
Amikasin adalah antibiotik yang memiliki nama kimia (Ramirez, 2017).

Memiliki struktur kimia (2S)-4-amino-N-[(1R,2S,3S,4R,5S)-5-amino-2-

{[(2S,3R,4S,5S,6R)-4-amino-3,5-dihydroxy-6-(hydroxymethyl)oxan-2-

yl]oxy}-4-{[(2R,3R,4S,5S,6R)-6-(aminomethyl)-3,4,5-trihydroxyoxan-2-

yl]oxy}-3-hydroxycyclohexyl]-2-hydroxybutanamide (Ramirez dan Tomalsky,

2017).

Gambar 2.4 Struktur molekul amikasin (Ramirez dan Tomalsky, 2017)


9

2.2.2 Mekanisme Kerja


Amikasin merupakan turunan dari obat kanamisin yang termasuk dalam

golongan aminoglikosida. Amikasin bersifat bakterisida dari golongan

aminoglikosida yang dapat mengikat ribosom subunit 30S pada bakteri secara

ireversibel. Ikatan amikasin dengan ribosom subunit 30S dapat mengganggu

hingga menghentikan penerjemahan mRNA dan menghambat proses sintesis

protein yang menyebabkan kematian pada bakteri (Radigan et al., 2010).

Amikasin merupakan aminoglikosin semisintetik yang banyak digunakan

(Gerding et al., 1991). Amikasin memiliki farmakokinetik yang hampir sama

farmakokinetik milik antibiotik gentamisin dan tobramisin. Pemberian

antibiotik amikasin paling utama melalui intravena hingga mencapai puncak

konsentrasi setelah 30-60 menit. Selain itu pemberian amikasin juga dapat

melalui intramuskular dan nebulisasi (Quon et al., 2014). Rute administrasi

lainnya untuk infeksi tertentu bersifat intratekal atau intraventrikular

(Bargiacchi dan De Rosa, 2016). Antibiotik amikasin memiliki efek optimal

saat mencapai titik konsentrasi 8-10 kali di atas konsentrasi hambat minimal

(KHM) (Radigan et al., 2010).

2.3. Antibiotik Kotrimoksazol


2.3.1. Struktur Molekul
Sulfametoksazol memiliki nama kimia sulfat N1 - (5-metil-3-isokazolil)

sulfanilamida. Rumus molekul sulfametoksazol adalah C10H11N3O3S.

Sulfametoksazol memiliki warna hampir putih, tidak berbau dan tidak berasa

(Skold, 2001). Formula struktur sulfametoksazol sebagai berikut:


10

Gambar 2.5 Struktur paraaminobenzoic acid (PABA)


dengan golongan sulfonamid (Skold, 2001)

Trimethoprim memiliki nama kimia 2,4-diamino-5- (3,4,5-

trimethoxybenzyl) pirimidin. Rumus molekulnya adalah C14H18N4O3.

Trimetrophim memiliki warna putih kekuningan, tidak berbau, senyawa

memiliki rasa pahit dengan berat molekul 290,3 (Skold, 2001). Memiliki rumus

struktur berikut:

Gambar 2.6 Struktur Trimetrophim

Kotrimoksazol memiliki nama kimia 4-amino-N-(5-methyl-1,2-oxazol-3-

yl)benzenesulfonamide;5-[(3,4,5-trimethoxyphenyl)methyl] pyrimidine-2,4-

diamine. Rumus molekul kotrimoksazol adalah C24H29N7O6S. Struktur

kotrimoksazol sebagai berikut:


11

Gambar 2.7 Struktur Kotrimoksazol

2.3.2 Mekanisme Kerja


Sulfametoksazol dan trimetrophim secara bersamaan bekerja dengan

menghambat sintesis asam folat. Sulfametoksazol menghambat

dihidropteroate synthetase (DHPS) sehingga pembentukan dihydropteroate

diphosphate + p-amino benzoic acid (PABA) menjadi dihydropteroic acid

tidak terjadi. Trimetrophim bekerja dengan menghambat dihydrofolate

reductase (DHFR). Pengambatan DHFR menyebabkan tidak terbentuknya

dihydrofolic acid menjadi tetrahydrofolic acid (THF) (Katzung dan Trevor,

2015). Tetrahidrofolat yang merupakan metabolit penting untuk sintesis purin,

timidilat, glisin, metionin, asam pantotenat, dan N-formilmetazil tRNA

(Huovinen, 2001).

Mekanisme kerja sulfametoksazol dengan trimetrophim menghasilkan

kombinasi yang disebut kotrimoksazol. Kombinasi kedua obat ini

menghasilkan sifat sinergis. Sifat sinergis merupakan interaksi obat yang

ketika dikombinasikan akan meningkatkan efek obat yang lain (Rang et al.,

2012).

Sulfamethoxazole dan trimethoprim adalah produk kombinasi antibakteri

sintetis yang tersedia dalam tablet Double Strength (DS) yang masing-masing
12

mengandung 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim. Dalam sediaan

tablet, masing-masing mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg

trimetoprim untuk administrasi secara oral (Grose et al., 1979).

Gambar 2.8 Mekanisme asam folat di sel (Gonen dan Assaraf, 2012)

Gambar 2.9 Mekanisme sulfonamid dan trimetrophim (Kwon et al., 2010)


13

2.4 Kombinasi Antibiotik


2.4.1 Definisi
Kombinasi antibiotik yaitu penggunaan dua jenis antibiotik ataupun lebih

dalam menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri. Antibiotik

kombinasi dapat mengganggu aktivitas bakteri dalam proses infeksi

(Permenkes, 2011).

2.4.2 Antibiotik Kombinasi Bersifat Sinergis


Penggunaan kombinasi antibiotik telah banyak dilakukan dengan alasan

untuk mencapai efek sinergis, menunda kemunculan strain resisten, mencegah

infeksi agar tidak meluas, dan mengobati infeksi campuran (Tamma et al.,

2014). Pada kasus seperti bakteri yang menginfeksi tidak mudah dibunuh oleh

satu obat, maka antibiotik dapat dikombinasikan dengan antibiotik lain.

Kombinasi antibiotik berfungsi untuk menunda munculnya resistensi

antibiotik karena bakteri mudah mengembangkan resistansi (Torella et al.,

2010).

2.4.3 Riset Tentang Kombinasi Antibiotik Kotrimoksazol


Antibiotik kotrimoksazol merupakan kombinasi dari antibiotik

sulfometoksazol dengan trimetrophim. Kedua antibiotik ini bekerja secara

sinergis (Katzung dan Trevor, 2015). Menurut Bollenbach (2015), kombinasi

antibiotik yang bersifat sinergis adalah antibiotik kotrimoksazol dengan

amikasin pada bakteri Escherichia coli. Pada penelitian Rosenblatt (1974),

kombinasi antara antibiotik kotrimoksazol dengan polymiyxin B bersifat

sinergis pada bakteri gram-negatif. Pada penelitian Simmons (1970),

kombinasi antibiotik kotrimoksazol dengan colistin bersifat sinergis pada

bakteri gram-negatif. Dan pada penelitian Parsley (1977), kombinasi antara

kotrimoksazol dengan amikasin bersifat sinergis pada bakteri gram-negatif.


14

2.5. Kadar Hambat Minimum


Kadar Hambat Minimum (KHM) adalah dosis terkecil obat yang digunakan

untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri (El-Azizi, 2016).

Metode KHM dapat digunakan untuk melihat terjadinya resistensi,

menentukan dosis yang akan digunakan, pengujian antibiotik baru,

memberikan hasil sensitifitas bakteri terhadap antibiotik (EUCAST, 2003).

2.6 Frekuensi Mutasi


Konsep mutasi pertama kali diperkenalkan oleh Hugo de Vries. Mutasi

adalah sebuah kata yang berasal dari Yunani dengan arti “berubah” (Rao,

1995). Mutasi merupakan perubahan genotip pada untaian DNA bakteri yang

menyebabkan ataupun tidak menyebabkan transformasi pada fenotip suatu

bakteri (Najafi & Pezeshki, 2013).

Frekuensi mutasi merupakan jumlah terjadinya mutasi yang ditemukan

pada media atau kultur (Pope et al., 2008). Frekuensi mutasi yang digunakan

untuk melihat resistensi suatu antibiotik sering diartikan frekuensi in vitro yaitu

populasi bakteri yang diberikan suatu antibiotik dengan konsentrasi tertentu

akan didapatkan bakteri yang mengalami mutasi (Martinez dan Baquero,

2000).

Metode ukur yang digunakan untuk mengukur frekuensi mutasi adalah

metode P0 yang memiliki prinsip Luria-Delbrück. Rumus metode Luria-

Delbrück adalah p0 = e –m, dimana p0 merupakan proporsi kultur tanpa bakteri

mutan, m merupakan jumlah mutasi per kultur. Dalam mencari m akan

digunakan rumus m = -ln.p0 (Pope et al., 2008).

2.7. Laju Pertumbuhan


Penelitian tentang pertumbuhan populasi bakteri memerlukan media

Nutrient Broth (NB), suhu optimal 370C, kondisi pH dan kadar udara yang
15

cukup. Keadaan lingkungan yang telah disesuaikan dengan kriteria

pertumbuhan maka bakteri akan tumbuh dan berkembang biak dengan sangat

cepat. Pertumbuhan bakteri dapat dilihat melalui kurva pertumbuhan bakteri

terhadap suatu lingkungannya (Widdel, 2010).

Bakteri memiliki tahapan kurva pertumbuhan (Hogg, 2005). Tahapan

pertama dimulai dari lag phase, yaitu dimana sel bakteri sedang melakukan

penyesuaian terhadap lingkungan yang baru ditempati. Dengan kondisi

lingkungan yang layak ditempati akan menyebabkan bakteri bermetabolisme

dengan cepat untuk mempersiapkan siklus selanjutnya. Pada fase ini, bakteri

mengalami pertumbuhan sehingga mennyebabkan ukuran bakteri terlihat

besar.

Tahapan kedua adalah exsponenial/logarithmic (log) phase. Tahapan ini

terjadi ketika bakteri sudah mengalami penyesuaian terhadap lingkungan yang

baru saja ditempati. Pada fase ini bakteri mengalami perkembangbiakan

dengan cara pembelahan biner (binnary fision). Perkembangbiakan

menyebabkan jumlah bakteri bertambah banyak. Bakteri mengalami

pembelahan hingga sempurna membutuhkan waktu. Antara bakteri satu

dengan lainnya memiliki waktu pembelahan yang berbeda-beda.

Tahapan ketiga adalah stationary phase. Pada fase ini, bakteri mengalami

penurunan perkembangbiakan. Disisi lain bakteri yang telah mencapai waktu

pertumbuhan maksimal mengalami peningkatan kemungkinan kematian. Fase

ini sering diartikan dengan jumlah bakteri yang tumbuh sama dengan jumlah

bakteri yang akan mengalami kematian. Dengan tidak adanya peningkatan

jumlah pertumbuhan bakteri maka perkembangbiakan akan dihentikan untuk


16

mempertahankan kelangsungan hidup bakteri hingga mencapai titik

maksimum. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini antara lain karena

penurunan makanan (Nutrient Broth) sehingga asupan nutrisi berkurang.

Ketika nutrisi yang diperlukan berkurang maka metabolisme akan menurun.

Faktor lainnya adalah peningkatan jumlah produk akhir pada suatu populasi

yang menyebabkan gangguan metabolisme bakteri.

Tahap keempat adalah death phase. Pada fase ini bakteri mengalami

kematian. Penyebab utama kematian bakteri adalah menurunnya jumlah nutrisi

dan meningkatnya jumlah penumpukan produk akhir metabolik yang

dihasilkan secara terus menerus. Penurunan jumlah populasi bakteri yang

terjadi pada fase ini setara atau sejajar dengan peningkatan jumlah bakteri

selama fase log.

Gambar 2.10 Kurva pertumbuhan bakteri (Hogg, 2005)

Metode yang digunakan dalam menentukan laju pertumbuhan adalah

dengan melihat kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan dapat dibangun

dengan merencanakan peningkatan jumlah sel versus waktu inkubasi (Hogg,

2005). Terdapat beberapa metode dalam menentukan laju pertumbuhan


17

bakteri, yaitu microscopic counts, viable counts dan turbidimetric method

(Hogg, 2005). Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah turbidimetric

method.

Penggunaan metode turbidimeter memerlukan Standar McFarland yang

dapat digunakan untuk memperkirakan secara visual konsentrasi sel dalam

suspensi. Skala McFarland mewakili konsentrasi spesifik yaitu Coloni

Forming Unit (CFU) per mililiter dan dirancang untuk digunakan untuk

memperkirakan konsentrasi bakteri.

Spektrofotometer digunakan dalam metode turbidimeter. Spektrofotmeter

dapat mengukur kekeruhan secara langsung. Cahaya pada spektrofotometer

akan melewati McFarland dan membiaskan cahaya kedepan detektor.

Instrumen ini akan memberikan penyerapan yang lebih jelas (Sutton, 2011).

Gambar 2.11 Ilustrasi sistem spektrofotometer (Sutton, 2011)


BAB III
KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Bakteri Staphylococcus Aureus

Sensitif

Kotrimoksazol Amikasin
Kombinasi
Antibiotik
Amikasin
+
Kotrimoksazol
Ribosom
Enzim
Sub-unit
dihidropteroat
30S
sintase
Farmakokinetik

dan
dihidrofolat Sinergis
reduktase

Sintesis Asam
Sintesis Protein
Folat

Dosis letal Dosis Subletal

Kematian Sel

18
19

Berikatan
Defisiensi
dengan Cu(II)
asam folat

Kompleks
Metyhlenetetrahidrofolate Cu(II)-Ami
(MTHF)

Kompleks CU(II)-
n-formyl Ami + H2O2

Pembentukan Inosine
Monophosphate (IMP) 2’-deoxyguanosine
menjadi derivat 8-oxo

Sintesis purin

Kerusakan
DNA

Respon
SOS

Error prone DNA


Polimerase IV

Mutasi

Perubahan
Frekuensi mutasi

susunan
genotip
Keterangan:
: Mengakibatkan
: Menghambat Sifat
: Keduanya resistensi
: Diteliti
: Farmakokinetik
: Mekanisme Kotrimoksazol Resistensi
: Mekanisme Amikasin
20

Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah spesies bakteri bagian dari genus

Staphylococcus. Berdasarkan kriteria dinding sel, bakteri S. aureus merupakan

golongan bakteri gram positif. Bakteri S. aureus memiliki bentuk coccus

(bulat). S. aureus tersusun tidak teratur sehingga membentuk suatu

koloni/kelompok layaknya buah anggur (Harris et al., 2002).

Bakteri S. aureus memiliki tingkat sensitifitas yang berbeda-beda terhadap

beberapa antibiotik. Tingkat sensitifitas suatu antibiotik ditentukan melalui

tingkat kefektifak antibiotik dalam menghambat atau membunuh S. aureus.

Beberapa persyaratan yang diperlukan agar kerja obat efektif dalam

menghambat atau membunuh bakteri S. aureus antara lain antibiotik harus

berikatan dengan target yang masih rentan di dalam sel bakteri, kuantitas

antibiotik yang berikatan dengan target harus memiliki jumlah yang cukup,

antibiotik tidak boleh dilemahkan (Dzidic et al., 2008). Sensitifitas bakteri

terhadap suatu antibiotik dapat berubah menjadi resistensi. Resistensi terjadi

ketika antibiotik digunakan dengan cara yang tidak tepat (irrasional) seperti

konsumsi antibiotik dibawah dosis normal, jangka waktu konsumsi antibiotik

yang terlalu singkat, hasil diagnosa yang tidak tepat dan penggunaan antibiotik

yang memiliki potensi lebih lemah dibandingkan dengan antibiotik lainnya

(Bisht et al., 2009).

Masing-masing antibiotik memiliki mekanisme tersendiri dalam

menghambat atau membunuh bakteri. Antibiotik Amikasin bekerja pada

ribosom sub unit 30S bakteri. Antibiotik Kotrimoksazol berfungsi

menghambat sintesis asam folat bakteri pada dua tempat. Pertama pada enzim

dihydropteroate synthetase yang mengubah dihydropteroate diphosphate + p-


21

aminobenzoic acid (PABA) dan kedua pada enzim dihydrofolate reductase

yang mengubah dihydrofolic acid menjadi tetrahydrofolic acid (Katzung dan

Trevor, 2015). Antibiotik Amikasin dapat dikombinasikan dengan antibiotik

Kotrimoksazol sehingga mekanisme kerja dalam melawan bakteri bersifat

sinergis (Bollenbach, 2015).

Penggunaan antibiotik yang irrasional menyebabkan dosis suatu antibiotik

yang semula letal menjadi dosis yang subletal. Dosis subletal akan merangsang

terbentuknya mutasi pada bakteri (Kohanski et al., 2010). Dosis antibiotik

yang bersifat subletal dapat menginduksi kerusakan DNA (Venkatachalam et

al., 2017). Ketika DNA bakteri mengalami kerusakan, maka bakteri akan

memicu pengaktifan respon SOS (Rojas et al., 2014). Respon SOS akan

mengaktifkan tiga DNA polymerase (Pol). DNA polymerase memiliki peran

yang sangat pentinf dalam mereperasi kerusakan DNA. DNA polymerase II

(Pol II) bertanggungjawab dalam meneruskan replikasi yang telah berhenti

akibat kerusakan DNA. Pol IV dan Pol V bertanggungjawab dalam

mengkatalis sintesis DNA yang rusak. Namun, Pol IV dan V rentan melakukan

kesalahan saat reparasi kerusakan DNA (Sladewski et al., 2012). Hal ini

menyebabkan perubahan susuan DNA (genotip) sehingga antibiotik tidak

bekerja secara efektif. (Gomaa et al, 2014).

3.2 Hipotesis
Adapun hipotesis yang diangkat pada penelitian ini yaitu:

H0 :

 Induksi kombinasi antibiotik Amikasin-Kotrimoksazol tidak mengubah

KHM terhadap bakteri S.aureus.


22

 Induksi kombinasi antibiotik Amikasin-Kotrimoksazol tidak mengubah

KBM terhadap bakteri S.aureus.

 Induksi kombinasi antibiotik Amikasin-Kotrimoksazol tidak mengubah

frekuensi mutasi bakteri dibanding induksi tunggal antibiotik amikasin

dan kotrimoksazol terhadap bakteri S.aureus.

H1 :

 Induksi kombinasi antibiotik Amikasin-Kotrimoksazol mengubah KHM

terhadap bakteri S.aureus.

 Induksi kombinasi antibiotik Amikasin-Kotrimoksazol mengubah KBM

terhadap bakteri S.aureus.

 Induksi kombinasi antibiotik Amikasin-Kotrimoksazol mengubah

frekuensi mutasi bakteri dibanding induksi tunggal antibiotik amikasin

dan kotrimoksazol terhadap bakteri S.aureus.

3.3 Variabel Penelitian


3.3.1 Variabel Bebas
 Kombinasi Antibiotik Amikasin-Kotrimoksazol

 Antibiotik Amikasin

 Antibiotik Kotrimoksazol

 S. aureus

3.3.2 Variabel Terikat


 Daya Hambat
 Daya Bunuh

 Laju Pertumbuhan

 Frekuensi Mutasi
23

3.4 Definisi Operasional Penelitian


1. Mutasi bakteri merupakan perubahan urutan basa nukleotida pada DNA

bakteri sehingga menghasilkan sifat resistensi terhadap suatu antibiotik

yang dapat dilihat melewati adanya bakteri yang tumbuh pada media yang

diberikan antibiotik dengan dosis letal.

2. Resistensi antibiotik adalah kondisi dimana antibiotik tidak mampu

menghambat atau membunuh bakteri yang awalnya sensitif yang dapat

dilihat melewati adanya bakteri yang tumbuh pada media yang diberikan

antibiotik dengan dosis letal.

3. Kadar Hambat Minimum (KHM) adalah konsentrasi antibiotik yang paling

rendah untuk menghasilkan hambatan pertumbuhan bakteri yang ditandai

dengan bakteri yang diberikan antibiotik mengalami penurunan

pertumbuhan sebanyak 50% sampai 80% dibandingkan dengan bakteri yang

tidak diberikan antibiotik (kontrol) yang ditentukan dengan menggunakan

Spektrofotometer OD 600nm.

4. Kadar Bunuh Minimum (KBM) adalah konsentrasi yang paling rendah dari

suatu antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan

ditandai tidak munculnya koloni bakteri di media padat berupa nutrient agar

setelah inkubasi dengan suhu 37oC selama 24 jam.

5. Frekuensi Mutasi (FM) adalah peluang jumlah kejadian mutasi bakteri saat

melakukan perkembangbiakan (pembelahan biner) pada suatu populasi atau

kultur.

6. Laju Pertumbuhan (LP) adalah tingkat absobansi bakteri S. aureus pada

panjang gelombang λ = 600nm yang diukur sebanyak 12 kali, yaitu pada


24

jam ke 0, ½, 1, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 16, 24 dan 36 jam dengan menggunakan

spetrofotometer dan diinkubasi pada suhu 37oC.

7. Kotrimoksazol adalah antibiotik yang bekerja untuk menghambat sintesis

asam folat.

8. Amikasin adalah antibiotik yang menghambat ribosom subunit kecil 30s

RNA saat proses translasi.


BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental di laboratorium secara in

vitro. Sampel yang digunakan adalah Staphylococcus aureus. Bakteri S. aureus

dibiakkan ke dalam sebuah media untuk ditumbuhkan terlebih dahulu sebagai

persediaan. Selanjutnya, bakteri S. aureus diberikan antibiotik dengan konsentrasi

tertentu untuk pengujian kadar hambat minimum (KHM), kadar bunuh minimum

(KBM), laju mutasi dan frekuensi mutasi.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Waktu : Desember 2017 – Januari 2018

Tempat : Laboratorium Terpadu II Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Malang (UNISMA)

4.3 Alat dan Bahan


4.3.1 Alat Pembuatan Antibiotik
 Antibiotik Kotrimoksazol

 Antibiotik Amikasin

 Timbangan digital analitik

 Gelas ukur 100 ml

 Gelas beker 500 ml

 Erlenmeyer 250 ml

 Erlenmeyer 500 ml

 Tabung reaksi

 Aluminium foil

25
26

 Alkohol 70%

 Mikro pipet

 Aquades steril

 Batang pengaduk

 Corong gelas

 Kapas

 Kertas saring

 Eppendorf 2 mL

 Autoclaf

4.3.2 Alat dan Bahan Pengujian Frekuensi Mutasi & Resistensi Bakteri
S. aureus
 Antibiotik Kotrimoksazol

 Antibiotik Amikasin

 Tabung reaksi

 Mikro pipet

 Oshe

 Bunsen

 Alkohol 70 %

 Bakteri S. aureus

 Media Biakan (Nutrient Broth)

 Media Biakan (Nutrient Agar)

 Aquades steril

 Well Plate 96

 Cawan petri (disposable)

 Wadah penyimpanan
27

 Inkubator

 Spektrofotometer Biasa

 Spektrofotometer Epoch

4.4 Tahapan Penelitian


4.4.1 Uji Kadar Hambat Minimun (KHM)
Langkah pertama kali dalam penelitian ini adalah menemukan konsentrasi

KHM antibiotik tunggal amikasin, kotrimoksazol dan kombinasi amikasin-

kotrimoksazol pada bakteri S. aureus. Penentuan KHM dari antibiotik tunggal

amikasin, kotrimoksazol dan kombinasi amikasin-kotrimoksazol pada

penelitian ini adalah dengan metode dilusi secara serial. Metode ini

menghasilkan konsentrasi antibiotik menjadi 1 kali, 1/2 kali, 1/4 kali, 1/8 kali,

1/16, 1/32, 1/64, 1/128, 1/256, dan seterusnya (Andrews, 2001).

Pada pengujian KHM memerlukan 96 well-plate. Pada baris A, well 2-12

pertama kali diisi dengan 100µL nutrient broth (NB). Well A1 diisi dengan

200 µL antibiotik amikasin. Ambil 100µL antibiotik amikasin dari well A1

untuk dipindahkan ke dalam well A2 yang telah berisi 100µL NB. Ambil

100µL hasil dari campuran antibiotik amikasin dengan NB dan pindahkan ke

dalam well A3, begitu seterusnya hingga well A12. Kemudian, well 1-12

ditambahkan 100µL bakteri S. aureus 105CFU/mL. Hal ini juga dilakukan pada

antibiotik tunggal kotrimoksazol pada baris B. Selanjutnya, inkubasi 24 jam

dengan suhu 37oC.

Pengujian KHM kombinasi amikasin-kotrimoksazol dilakukan sama

dengan uji KHM antibiotik tunggal amikasin dan kotrimoksazol. Pembuatan

sediaan kombinasi amikasin-kotrimoksazol dengan cara mencampurkan

antibiotik amikasin dengan kotrimoksazol. Konsentrasi yang digunakan untuk


28

membentuk kombinasi amikasin-kotrimoksazol adalah 8 kali dilusi diatas nilai

dari masing-masing KHM antibiotik tunggal amikasin dan kotrimoksazol (El-

azizi, 2016).

Pembacaan hasil dapat dilakukan dengan cara manual (kualitatif) yaitu bila

terlihat terdapat hambatan pertumbuhan bakteri yang ditandai dengan tingkat

kekeruhan (Soleha, 2015). Hasil uji KHM secara kuantatif dapat dilakukan

dengan menggunakan Spektrofotometri (Epoch) OD600 dengan software

Gen5TM. Hasil yang didapat kemudian dikurangi 50% hingga 80% dari bakteri

kontrol.

4.4.2 Uji Kadar Bakteriosidal Minimum (KBM)


Penentuan KBM dilakukan dengan cara inokulasi bakteri S. aureus pada uji

KHM ke dalam media padat nutrient agar di cawan petri (Balouiri, 2016).

Bakteri yang diinokulasikan adalah bakteri yang terdapat pada 2 dilusi dibawah

nilai KHM dan 5 diatas nilai KHM. Cawan petri dibuat Grid Based System

(pembuatan garis sehingga membentuk kotak dengan luas 1,5x1,5cm)

sebanyak 16 kotak. 8 kotak diisi dengan 8 dilusi dari KHM antibiotik tunggal

amikasin. Begitu pula dengan antibiotik tunggal kotrimoksazol dan kombinasi

amikasin-kotrimoksazol. Selanjutnya diinkubasi dengan suhu 37oC dengan

lama waktu 24 jam.

KBM didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dari suatu antibiotik yang

mampu membunuh bakteri dengan akurasi 99,9% pada inoculum setelah

inkubasi selama 24 jam (Balouiri, 2016). Interpretasi hasil KBM adalah dengan

visual. Penentuannya dengan cara melihat tidak adanya pertumbuhan bakteri

S. aureus pada media padat nutrient agar setelah pertumbuhan bakteri terakhir

muncul (Soleha, 2015).


29

4.4.3 Metode Fluctuation Test Untuk Penentuan Frekuensi Mutasi


Fluctuation Test adalah metode untuk menghitung perkiraan tingkat mutasi

mikroorganisme yang dikultur secara paralel (Pope et al., 2008). Metode ini

bertujuan untuk memberikan paparan antibiotik dosis sub letal pada S. aureus

dengan hipotesis bahwa mutasi muncul sebelum paparan selektif. (Jones,

1994).

Tahap pertama dimulai membagi 96 well-plate menjadi 4 kelompok. 96

well dibagi menjadi 4 kelompok sehingga tiap kelompok mempunyai 24 well.

Kelompok 1 sebagai kelompok Non Induksi (NI) dengan pemberian 100µL

Nutrient Broth, kelompok 2 sebagai kelompok Induksi Tunggal Amikasin

(ITA) dengan pemberian 50µL Nutrient Broth dan 50µL konsentrasi akhir ½

KHM antibiotik tunggal Amikasin, kelompok 3 sebagai kelompok Induksi

Tunggal Kotrimoksazol (ITK) dengan pemberian 50µL Nutrient Broth dan

50µL konsentrasi akhir ½ KHM antibiotik tunggal Kotrimoksazol, dan

kelompok 4 sebagai kelompok Induksi Kombinasi Amikasin-Kotrimoksazol

(IKAK) dengan pemberian 50µL Nutrient Broth dan 50µL konsentrasi akhir ½

KHM antibiotik kombinasi Amikasin-Kotrimoksazol. Kemudian, masing-

masing kelompok ditambahkan bakteri sebanyak 100µL. Sehingga, masing-

masing well memiliki volume sebanyak 200µL. Setelah itu diinkubasi selama

24 jam dengan suhu 37oC.

4.4.4 Metode Serial Passage


Metode serial passage merupakan metode untuk mengkonfirmasi hasil dari

perhitungan frekuensi mutasi pada 96 well-plate. Metode ini dibagi menjadi 4

kelompok dengan menggunakan 24 cawan petri disposable yang diberi media


30

NA. Kelompok 1 sebagai kelompok Non-Seleksi (NS) berisi NA. Kelompok 2

sebagai kelompok Seleksi Amikasin (SA) berisi NA dan 2 kali KHM antibiotik

amikasin. Kelompok 3 sebagai kelompok Seleksi Kotrimoksazol (SK) berisi

NA dan 2 kali KHM antibiotik kotrimoksazol. Dan kelompok 4 sebagai

kelompok Seleksi Kombinasi Amikasin-Kotrimoksazol (SKAK) berisi NA

dan 2 kali KHM kombinasi amikasin-kotrimoksazol. Masing-masing

kelompok menggunakan 6 cawan petri. Setiap cawan petri dibagi menjadi 16

kotak. Setiap kotak diisi 10µL dari setiap well pada 12 kelompok metode

Fluctuation Test.

Penghitungan frekuensi mutasi dengan metode Luria-Delbruck

menggunakan rumus sebagai berikut (Pope et al, 2008) :

m = -ln.pO

Keterangan :

m = jumlah mutasi dalam kultur

pO = jumlah koloni tanpa mutasi

4.4.5 Pengukuran Laju Pertumbuhan


Tahap uji laju pertumbuhan baktei memiliki kemiripan dengan tahap uji

frekuensi mutasi bakteri. Beberapa hal yang membedakannya adalah terletak

pada penggunaan cawan petri yang tidak diperlukan dan diperlukan inkubasi

selama 36 jam bersamaan dengan pembacaan Spektrofotometer (Epoch)

OD600nm pada tahap akhir.

96 well-plate dibagi menjadi 4 kelompok yaitu kelompok NI, ITA, ITK dan

IKAK dengan induksi ½ kali KHM. Diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu
31

37oC. Setelah diinkubasi, masing-masing kelompok dibagi menjadi 4

kelompok, yaiut NS, SA dan SK dan SKAK dengan seleksi 1 kali KHM. Setiap

kelompok seleksi diinkubasi selama 36 jam dan secara bersamaan diobservasi

menggunakan Spektrofotometer (Epoch) OD600nm sebanyak 12 kali yaitu pada

jam ke-0, ½, 1, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 16, 24 dan 36.

4.5 Analisa Data Statistik


Uji KHM dan laju pertumbuhan mutasi bakteri dilihat menggunakan

spektrofotometer EPOCH dengan program GEN5(TM). Pada uji KHM, data

yang diperoleh akan dirata-rata antara pengulangan 1, 2 dan 3 dengan

menggunakan Microsoft Excel 2016. Pada laju pertumbuhan, data yang

diperoleh akan dibuat diagram dengan menggunakan Microsoft Excel 2016

untuk melihat pola dan tingkat pertumbuhan mutasi bakteri. Pada frekuensi

mutasi, data yang diperoleh akan dimasukkan ke dalam rumus frekuensi

mutasi. Laju pertumbuhan bakteri dan frekuensi mutasi bakteri akan diuji

statistik menggunakan T-test dengan nilai signifikansi p = ≤ 0,005. Uji T-test

menggunakan Microsoft Excel 2016.


32

4.6 Diagram Alur Penelitian


4.6.1 Uji Konsentrasi Hambat Minimun (KHM) dan Konsentrasi Bunuh
Minimum (KBM)

Antibiotik Amikasin dan Bakteri


Kotrimoksazol S.aureus

Dilarutkan air steril Ditumbuhkan


selama 24 jam

Larutan kombinasi antibiotik Larutan Antibiotik Larutan Antibiotik Hitung dalam


Amikasin-Kotrimoksazol Kotrimoksazol Amikasin 105CFU/mL
Uji Konsentrasi Bakteriosidal Minimum (KBM)

Uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)


50µL NB + 50µL
konsentrasi antibiotik +
100µL bakteri 105CFU/mL

Observasi Dimasukkan ke
dalam 12 well

Inkubasi 370C
Inkubasi 370C
selama 24 jam
selama 24 jam

Inokulasi bakteri
Hitung pertumbuhan
pada cawan petri
bakteri dengan
dibagi 16 kotak
Spektrofometri OD600nm
33

4.6.2 Uji Frekuensi Mutasi

Inokulasikan bakteri 105CFU/mL


sebanyak 100µL pada 96 well-plate

24 well 24 well
24 well
Induksi Tunggal Induksi kombinasi
Induksi Tunggal
24 well Kotrimoksazol Amikasin-Kotrimoksazol
Amikasin (ITA)
Non Induksi (NI) (ITK) (IKAK)
50µL NB + 50µL
100µL NB 50µL NB + 50µL 1 50µL NB + 50µL 1 kali
1 kali KHM
kali KHM KHM kombinasi Amikasin-
Amikasin
Kotrimoksazol Kotrimoksazol

Inkubasi selama 24 jam pada suhu 370C

Seleksi media padat (Nutrient Agar) di cawan petri

8 kotak 8 kotak 8 kotak 8 kotak


Non Seleksi (NS) Non Seleksi (NS) Non Seleksi (NS) Non Seleksi (NS)

8 kotak 8 kotak 8 kotak 8 kotak


Seleksi Amikasin (SA) Seleksi Amikasin (SA) Seleksi Amikasin (SA) Seleksi Amikasin (SA)

2 kali KHM Amikasin 2 kali KHM Amikasin 2 kali KHM Amikasin 2 kali KHM Amikasin
8 kotak 8 kotak 8 kotak 8 kotak
Seleksi Kotrimoksazol Seleksi Kotrimoksazol Seleksi Kotrimoksazol Seleksi Kotrimoksazol
(SK) (SK) (SK) (SK)

2 kali KHM 2 kali KHM 2 kali KHM 2 kali KHM


Kotrimoksazol Kotrimoksazol Kotrimoksazol Kotrimoksazol
8 kotak 8 kotak 8 kotak 8 kotak
Seleksi Kombinasi Seleksi Kombinasi Seleksi Kombinasi Seleksi Kombinasi
Amikasin- Amikasin- Amikasin- Amikasin-
Kotrimoksazol Kotrimoksazol Kotrimoksazol Kotrimoksazol
(SKAK) (SKAK) (SKAK) (SKAK)

2 kali KHM Amikasin- 2 kali KHM Amikasin- 2 kali KHM Amikasin- 2 kali KHM Amikasin-
Kotrimoksazol Kotrimoksazol Kotrimoksazol Kotrimoksazol

Inkubasi selama 24 jam pada suhu 370C

Hitung koloni yang tumbuh


34

4.6.3 Uji Laju Pertumbuhan Mutasi Bakteri

Inokulasikan bakteri 105CFU/mL


sebanyak 50µL pada 96 well-
plate

24 well 24 well
24 well Induksi kombinasi
Induksi Tunggal
Induksi Tunggal Amikasin-Kotrimoksazol
24 well Kotrimoksazol
Amikasin (ITA) (IKAK)
Non Induksi (NI) (ITK)
50µL NB + 50µL 50µL NB + 50µL ½ kali
50µL NB 50µL NB + 50µL ½
½ kali KHM KHM kombinasi Amikasin-
kali KHM
Amikasin Kotrimoksazol
Kotrimoksazol

Inkubasi 18-24 jam pada suhu 37ºC

6 well 6 well 6 well 6 well


Non Seleksi (NS) Non Seleksi (NS) Non Seleksi (NS) Non Seleksi (NS)
6 well 6 well 6 well 6 well
Seleksi Amikasin (SA) Seleksi Amikasin (SA) Seleksi Amikasin (SA) Seleksi Amikasin (SA)

1 kali KHM Amikasin 1 kali KHM Amikasin 1 kali KHM Amikasin 1 kali KHM Amikasin

6 well 6 well 6 well 6 well


Seleksi Kotrimoksazol Seleksi Kotrimoksazol Seleksi Kotrimoksazol Seleksi Kotrimoksazol
(SK) (SK) (SK) (SK)

1 kali KHM 1 kali KHM 1 kali KHM 1 kali KHM


Kotrimoksazol Kotrimoksazol Kotrimoksazol Kotrimoksazol

6 well 6 well 6 well 6 well


Seleksi Kombinasi Seleksi Kombinasi Seleksi Kombinasi Seleksi Kombinasi
Amikasin- Amikasin- Amikasin- Amikasin-
Kotrimoksazol Kotrimoksazol Kotrimoksazol Kotrimoksazol
(SKAK) (SKAK) (SKAK) (SKAK)

1 kali KHM 1 kali KHM 1 kali KHM 1 kali KHM


Amikasin- Amikasin- Amikasin- Amikasin-
Kotrimoksazol Kotrimoksazol Kotrimoksazol Kotrimoksazol

Inkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC bersamaan dengan pembacaan spektrofotometri OD600nm

Dibaca sebanyak 12 kali pada jam ke-0, ½, 1, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 16, 24 dan 36

Analisa data dengan excel


BAB V
HASIL PENELITIAN

5.1 Hasil Uji Kadar Hambat minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum
(KBM) Antibiotik Tunggal Amikasin, Kotrimoksazol dan Kombinasi
Amikasin-Kotrimoksazol pada Staphylococcus aureus
Hasil KHM dilakukan dengan pembacaan nilai absorbansi melalui

spektrofotometer dengan OD 600nm. Nilai KHM ditetapkan melalui hasil rata-

rata setiap dilusi dibandingkan dengan penurunan 50% pertumbuhan bakteri

dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Pengujian KBM dilakukan

dengan cara inokulasi bakteri dimulai dari 5 dilusi diatas nilai KHM dan 2

dilusi dibawah nilai KHM. Interpretasi KBM ditentukan dengan tidak

tumbuhnya koloni pada media padat Nutrient Agar sebelum koloni pertama

muncul setelah inkubasi 24 jam.

Nilai uji KHM dan KBM antibiotik terhadap bakteri S. aureus yang

dilakukan dalam berbagai dilusi dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Hasil

KHM dan KBM antibiotik amikasin dapat dilihat pada tabel 5.1. Hasil KHM

dan KBM antibiotik kotrimoksazol dapat dilihat pada tabel 5.2. Hasil KHM

dan KBM kombinasi antibiotik amikasin-kotrimoksazol dapat dilihat pada

tabel 5.3. Penentuan hasil KHM ditunjukkan dengan angka yang ditebalkan.

Tanda (-) diartikan sebagai tidak tumbuhnya koloni bakteri S. aureus pada

media padat NA. Tanda (+) diartikan sebagai tumbuhnya koloni bakteri S.

aureus pada media padat NA. Bakteri yang tidak diinokulasi ditandai dengan

tidak diperiksa (TD). Nilai KBM ditentukan dengan tanda (-) terakhir sebelum

tanda (+) pertama kali muncul.

35
36

Tabel 5.1 Hasil Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar


Bunuh Minimum (KBM) antibiotik tunggal Amikasin
KHM Amikasin (1 mg/ml)
Pengenceran
Absorbansi OD KBM
(x) Dosis (µg/ml)
600
KP - 0,473 TD
1/2 500 0,13 ± 0,036 TD
1/4 250 0,144 ± 0,037 TD
1/8 125 0,149 ± 0,053 TD
1/16 62,5 0,159 ± 0,059 -
1/32 31,25 0,161 ± 0,055 -
1/64 15,625 0,158 ± 0,058 -
1/128 7,812 0,16 ± 0,057 -
1/256 3,906 0,160 ± 0,055 -
1/512 1,953 0,165 ± 0,055 +
1/1024 0,976 0,332 ± 0,200 +
1/2048 0,488 0,37 ± 0,235 +
1/4096 0,244 0,385 ± 0,252 TD

Keterangan : KP adalah kontrol posistif, KN adalah kontrol


negatif, (+) adalah kultur yang tumbuh, (-) adalah kultur yang
tidak tumbuh, TD adalah tidak diperiksa.z

Tabel 5.2 Hasil Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar


Bunuh Minimum (KBM) antibiotik tunggal Kotrimoksazol
KHM Kotrimoksazol (1 mg/ml)
Pengenceran
(x) Absorbansi OD KBM
Dosis (µg/ml)
600
KP - 0,473 TD
1/2 500 0,143 ± 0,023 TD
1/4 250 0,158 ± 0,047 -
1/8 125 0,152 ± 0,046 +
1/16 62,5 0,158 ± 0,048 +
1/32 31,25 0,156 ± 0,049 +
1/64 15,625 0,152 ± 0,049 +
1/128 7,812 0,162 ± 0,048 +
1/256 3,906 0,24 ± 0,105 +
1/512 1,953 0,262 ± 0,136 +
1/1024 0,976 0,286 ± 0,164 TD
1/2048 0,488 0,350 ± 0,058 TD
1/4096 0,244 0,387 ± 0,054 TD

Keterangan : KP adalah kontrol posistif, KN adalah kontrol


negatif, (+) adalah kultur yang tumbuh, (-) adalah kultur yang
tidak tumbuh, TD adalah tidak diperiksa.
37

Tabel 5.3 Hasil Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh
Minimum (KBM) antibiotik kombinasi Amikasin-Kotrimoksazol
KHM Kombinasi
Pengenceran Amikasin-Kotrimoksazol (1 mg/ml)
KBM
(x) Dosis (µg/ml) Absorbansi
Amikasin Kotrimoksazol OD 600
KP - - 0,363 TD
1/2 31,25 125 0,128 ± 0,016 TD
1/4 15,625 62,5 0,141 ± 0,014 -
1/8 7,812 31,25 0,149 ± 0,013 -
1/16 3,906 15,625 0,154 ± 0,021 -
1/32 1,953 7,812 0,165 ± 0,021 -
1/64 0,976 3,906 0,153 ± 0,010 +
1/128 0,488 1,953 0,157 ± 0,006 +
1/256 0,244 0,976 0,201 ± 0,067 +
1/512 0.122 0,488 0,281 ± 0,044 +
1/1024 0.061 0,244 0,319 ± 0,036 TD
1/2048 0.030 0.122 0,352 ± 0,052 TD
1/4096 0.015 0.061 0,351 ± 0,025 TD
Keterangan : KP adalah kontrol posistif, KN adalah kontrol negatif, (+)
adalah kultur yang tumbuh, (-) adalah kultur yang tidak tumbuh, TD adalah
tidak diperiksa.

Nilai KHM antibiotik tunggal amikasin terhadap bakteri S.aureus

ditemukan pada pengenceran 1/512 atau setara dengan dosis 1,953 µg/ml dengan

nilai absorbansi 0,165 ± 0,055. Sedangkan, nilai KBM antibiotik tunggal

amikasin terdapat pada pengenceran 1/256 atau setara dengan 3,906 µg/ml.

Nilai KHM antibiotik tunggal kotrimoksazol terhadap S.aureus terdapat

pada pengenceran 1/128 yang setara dengan dosis 7,812 µg/ml dengan nilai

absorbansi 0,162 ± 0,048. Kotrimoksazol merupakan kombinasi antibiotik

trimetrophim (80 mg/mL dengan sulfametoksazol 400 mg/mL. Nilai KHM


38

kotrimoksazol 7,812 µg/mL setara dengan trimetrophim 1,3 µg/mL dan

sulfametoksazol 6,4 µg/mL. Sedangkan, nilai KBM antibiotik tunggal

kotrimoksazol ditemukan pada pengenceran ¼ atau setara dengan dosis 250

µg/ml.

Nilai KHM kombinasi antibiotik amikasin-kotrimoksazol terhadap

S.aureus ditemukan pada pengenceran 1/128 dengan nilai absorbansi 0,157 ±

0,006. Pengenceran ini setara dengan dosis 0,488 µg/ml antibioitk tunggal

amikasin dan 1,953 µg/ml antibiotik tunggal kotrimoksazol. Sedangkan, nilai

KBM kombinasi antibiotik amikasin-kotrimoksazol ditemukan pada

pengenceran 1/32. Pengenceran ini setara dengan dosis 1,953 µg/ml antibiotik

tunggal amikasin dan 7,812 µg/ml antibiotik tunggal kotrimoksazol.

5.2 Hasil Laju Pertumbuhan Bakteri S. aureus Pada Media Non-Selektif dan
Media Selektif
Pengujian laju pertumbuhan bakteri dilakukan dengan cara bakteri

diinduksi ½ kali KHM dan diseleksi 1 kali KHM pada media cair Nutrient

Broth (NB). Kemudian dilakukan pengamatan pola pertumbuhan bakteri pada

jam ke 0, 0,5, 1, 2, 3, 4, 6, 12, 16, 18, 24, dan 36 dengan menggunakan

spektrofotometer OD 600nm. Pada jam ke-0, jam ke-32 jam terjadinya titik

kenaikan kurva dan titik maksimal kurva pertumbuhan diuji dengan analisa T-

test untuk melihat perbedaan antar kelompok.

Hasil pengamatan pola pertumbuhan bakteri dapat dilihat pada gambar

kurva di bawah ini. Kurva pertumbuhan bakteri dibagi menjadi 4 berdasarkan

seleksi, yaitu bakteri yang tidak diseleksi ditandai dengan NS (gambar 5.1),

seleksi antibiotik tunggal amikasin ditandai dengan SA (gambar 5.2), seleksi

antibiotik tunggal kotrimoksazol ditandai dengan SB (gambar 5.3) dan seleksi


39

kombinasai amikasin-kotrimoksazol ditandai dengan SK (gambar 5.4) Bakteri

yang tidak diinduksi ditandai dengan non-induksi (NI), induksi amikasin (IA),

induksi kotrimoksazol (IB) dan induksi kombinasi amikasin-kotrimoksazol

(IK).
1 b b
0.9

0.8
Absorbansi OD 600nm

0.7
a
0.6

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36
Waktu (Jam Ke)

NI IA IB IK

Gambar 5.1 Kurva pertumbuhan bakteri yang tidak diberikan antibitoik atau
tidak diseleksi (NS). NI, Non Induksi-Non Seleksi; IA, Induksi Amikasin;
IB, Induksi Kotrimosazol; IK, Induksi Kombinasi. a, tidak berbeda
signifikan antara NI-IA, NI-IB dan NI-IK; b, berbeda signifikan antara NI-
IA dan NI IB.

Pada jam ke-0, didapatkan nilai absorbansi pada kelompok NI 0.325 ±

0.043, IA 0.335 ± 0.043, IB 0.340 ± 0.007, IK 0.321 ± 0.024, namun tidak ada

perbedaan yang signifikan. Maksimal pertumbuhan bakteri terdapat pada jam

ke-16 dengan nilai absorbansi kelompok NI 0.914 ± 0.074, IA 0.601 ± 0.027,

IB 0.698 ± 0.077, IK 0.868 ± 0.036 yang berbeda signifikan. Pada jam ke-36

didapatkan pola pertumbuhan bakteri mengalami penurunan dengan nilai

absorbansi kelompok NI 0.855 ± 0.211, IA 0.497 ± 0.099, IB 0.578 ± 0.070,

IK 0.789 ± 0.092 yang berbeda signifikan.


40

0.9

0.8
Absorbansi OD 600nm 0.7

0.6

0.5

0.4
a
0.3 a
b c
0.2

0.1

0
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36
Waktu (Jam Ke)

NI IA IB IK
Gambar 5.2 Kurva pertumbuhan bakteri yang diberikan atau diseleksi
antibiotik tunggal amikasin (SA). NI, Non Induksi; IA, Induksi Amikasin;
IB, Induksi Kotrimosazol; IK, InduksiKombinasi. a, tidak berbeda
signifikan antara NI-IA, NI-IB dan NI-IK; b, berbeda signifikan antara NI-
IA dan NI IB; c, berbeda signifikan antara NI-IB dan NI-IK.

Pada jam ke-0, didapatkan nilai absorbansi pada kelompok NI 0.131 ±

0.025, IA 0.183 ± 0.020, IB 0.172 ± 0.029, IK 0.138 ± 0.044 yang berbeda

signifikan. Jam ke-4 didapatkan maksimal pertumbuhan bakteri pada

kelompok IA 0.221 ± 0.009, IB 0.214 ± 0.019, IK 0.219 ± 0.010 namun tidak

berbeda signifikan. Jam ke-12 didapatkan titik awal kenaikan pertumbuhan

bakteri hanya pada kelompok NI 0.138 ± 0.018 yang berbeda signifikan. Jam

ke-36 nilai absorbansi kelompok NI 0.258 ± 0.247, IA 0.175 ± 0.006, IB 0.173

± 0.008, IK 0.156 ± 0.014. Pada jam tersebut didapatkan maksimal

pertumbuhan bakteri hanya pada kelompok NI, namun tidak berbeda

signifikan.
41

0.9

0.8
Absorbansi OD 600nm 0.7

0.6 d
0.5

0.4

0.3 b a c
0.2

0.1

0
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36
Waktu (Jam Ke)

NI IA IB IK
Gambar 5.3 Kurva pertumbuhan bakteri yang diberikan atau diseleksi
antibiotik tunggal kotrimoksazol (SB). NI, Non Induksi; IA, Induksi
Amikasin; IB, Induksi Kotrimosazol; IK, Induksi Kombinasi. b, berbeda
signifikan antara NI-IA dan NI IB; c, berbeda signifikan antara NI-IB. d,
berbeda signifikan antara NI-IA, NI-IB dan NI-IK.

Pada jam ke-0, didapatkan nilai absorbansi pada kelompok NI 0.145 ±

0.048, IA 0.191 ± 0.012, IB 0.197 ± 0.008, IK 0.147 ± 0.047 yang berbeda

signifikan. Jam ke-4 didapatkan maksimal pertumbuhan bakteri pada

kelompok IA 0.217 ± 0.012, IB 0.226 ± 0.010, IK 0.219 ± 0.007, namun tidak

ada perbedaan yang signifikan. Jam ke-8 didapatkan titik awal kenaikan

pertumbuhan bakteri hanya pada kelompok NI 0.264 ± 0.036 yang berbeda

secara signifikan. Jam ke-36 nilai absorbansi kelompok NI 0.532 ± 0.088, IA

0.182 ± 0.013, IB 0.19 ± 0.008, IK 0.167 ± 0.017. Pada jam tersebut didapatkan

maksimal pertumbuhan bakteri hanya pada kelompok NI yang berbeda secara

signifikan.
42

1 b
c
0.9

0.8
Absorbansi OD 600nm
0.7

0.6

0.5 a
0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36
Waktu (Jam Ke)

NI IA IB IK

Gambar 5.4 Kurva pertumbuhan bakteri yang diberikan atau diseleksi


kombinasi antibiotik amikasin-kotrimoksazol (SK). NI, Non Induksi; IA,
Induksi Amikasin; IB, Induksi Kotrimosazol; IK, Induksi Kombinasi. a,
tidak berbeda signifikan antara NI-IA, NI-IB dan NI-IK; b, berbeda
signifikan antara NI-IA, NI-IB, NI-IK; c, berbeda signifikan antara NI-IA,
NI-IB.

Pada jam ke-0, didapatkan nilai absorbansi pada kelompok NI 0.266 ±

0.025, IA 0.272 ± 0.037, IB 0.265 ± 0.041, IK 0.305 ± 0.052 dan tidak ada

perbedaan yang signifikan. Maksimal pertumbuhan bakteri terdapat pada jam

ke-16 dengan nilai absorbansi kelompok NI 0.880 ± 0.069, IA 0.545 ± 0.047,

IB 0.619 ± 0.053, IK 0.771 ± 0.046 yang berbeda signifikan. Pada jam ke-36

didapatkan pola pertumbuhan bakteri mengalami penurunan dengan nilai

absorbansi kelompok NI 0.807 ± 0.141, IA 0.509 ± 0.083, IB 0.545 ± 0.041,

IK 0.731 ± 0.124 dan terdapat perbedaan yang signifikan.


43

5.3 Hasil Uji Frekuensi Mutasi Bakteri Staphylococcus aureus Terhadap


Antibiotik Tunggal Amikasin, Kotrimoksazol dan Kombinasi Amikasin-
Kotrimoksazol
Uji frekuensi mutasi bakteri dilakukan dengan cara bakteri diinduksi ½ kali

KHM antibiotik dan diseleksi dengan 2 kali KHM antibiotik pada media

pertumbuhan padat Nutrient Agar (NA). Kemudian dilakukan pengamatan

untuk melihat jumlah koloni yang tumbuh. Jumlah koloni yang tumbuh

menandakan tingkat terjadinya resistensi.

Hasil pengamatan pertumbuhan koloni bakteri pada media padat NA yang

tidak diberikan dan diberikan seleksi antibiotik dilihat selama masa inkubasi

24 jam (gambar 5.5) dan 72 jam (gambar 5.6). Kemudian jumlah mutasi bakteri

dihitung setelah masa inkubasi selama 72 jam (tabel 5.4) yang dibandingkan

dengan masa inkubasi selama 24 jam. Kelompok bakteri yang diinduksi ½ kali

KHM ditandai dengan angka 1 untuk tidak diinduksi, angka 2 untuk induksi

tunggal amikasin, angka 3 untuk induksi tunggal kotrimoksazol dan angka 4

untuk induksi kombinasi amikasin-kotrimoksazol. Kelompok bakteri yang

diseleksi dengan 2 kali KHM ditandai dengan huruf A untuk tidak diseleksi,

huruf B untuk seleksi tunggal amikasin, huruf B untuk seleksi tunggal

kotrimoksazol dan huruf D untuk seleksi kombinasi amikasin-kotrimoksazol.


44

A B

1 1

2 2

3 3

4 4

C D

1 1

2 2

3 3

4 4

Gambar 5.5 Hasil uji frekuensi mutasi dengan induksi 1x KHM dan seleksi 2x KHM
setelah inkubasi selama 24 jam. A, Non-Seleksi; B, Seleksi Amikasin; C, Seleksi
Kotrimoksazol; D, Seleksi Amikasin-kotrimoksazol; 1, Non-Induksi; 2, Induksi
Amikasin; 3, Induksi Kotrimoksazol; 4, Induksi Kombinasi Amikasin-Kotrimoksazol.

A B

1
1

2
2

3 3

4 4

C D

1 1

2 2

3 3

4 4

Gambar 5.6. Hasil uji frekuensi mutasi dengan induksi 1x KHM dan seleksi 2x KHM
setelah inkubasi selama 72 jam. A, Non-Seleksi; B, Seleksi Amikasin; C, Seleksi
Kotrimoksazol; D, Seleksi Amikasin-kotrimoksazol; 1, Non-Induksi; 2, Induksi
Amikasin; 3, Induksi Kotrimoksazol; 4, Induksi Kombinasi Amikasin-Kotrimoksazol.
45

Tabel 5.4 Hasil penghitungan mutasi bakteri setelah inkubasi 72 jam


Jumlah
Pengulangan
sensitif/jumlah kotak Mutation rate (m) Rata-
Induksi Seleksi (Jumlah Mutan)
(p0) rata
1 2 3 1 2 3 1 2 3
1.617
1 6/8 7/8 6/8 0.25 0.12 0.25 1.38 2.07 1.38 ±
0.400
0.297
2 3/8 2/8 1/8 0.62 0.75 0.87 0.47 0.28 0.13 ±
0.168
B
0.885
3 4/8 5/8 5/8 0.50 0.37 0.37 0.69 0.98 0.98 ±
0.166
0.619
4 4/8 3/8 4/8 0.50 0.62 0.50 0.69 0.47 0.69 ±
0.129
1.251
1 6/8 6/8 5/8 0.25 0.25 0.37 1.38 1.38 0.98 ±
0.234
0.000
2 0 0 0 1.00 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 ±
0.000
C
1.177
3 3/8 5/8 7/8 0.62 0.37 0.12 0.47 0.98 2.07 ±
0.822
0.885
4 5/8 4/8 5/8 0.37 0.50 0.37 0.98 0.69 0.98 ±
0.166
1 1 1 1 0.00 0.00 0.00 TTD TTD TTD TTD
0.484
2 3/8 4/8 2/8 0.62 0.50 0.75 0.47 0.69 0.28 ±
0.203
D
0.811
3 3/8 5/8 5/8 0.62 0.37 0.37 0.47 0.98 0.98 ±
0.295
4 1 1 1 0.00 0.00 0.00 TTD TTD TTD TTD

Keterangan: TDD, Tidak Dapat Dihitung

Setelah diinkubasi selama 72 jam (gambar 5.6), pada kelompok mutasi

bakteri yang tidak diberikan antibiotik atau tidak diseleksi (A), didapatkan

mutasi bakteri yang tumbuh pada kelompok 1, 2, 3 dan 4 masing-masing

berjumlah 24/24 kotak. Kelompok mutasi bakteri yang diberikan atau

diseleksi antibiotik tunggal amikasin (B), didapatkan kelompok 1 memiliki


46

jumlah mutasi bakteri 19/24 kotak, kelompok 2 berjumlah 6/24 kotak,

kelompok 3 berjumlah 14/24 kotak dan kelompok 4 berjumlah 11/24 kotak.

Pada kelompok mutasi bakteri yang diberikan atau diseleksi dengan antibiotik

tunggal kotrimoksazol (C), didapatkan kelompok 1 memiliki jumlah mutasi

bakteri 17/24 kotak, kelompok 2 berjumlah 0/24 kotak, kelompok 3 berjumlah

15/24 kotak dan kelompok 4 berjumlah 14/24 kotak. Pada kelompok mutasi

bakteri yang diberikan atau diseleksi dengan kombinasi antibiotik amikasin-

kotrimoksazol (D), didapatkan kelompok 1 memiliki jumlah mutasi bakteri

24/24 kotak, kelompok 2 berjumlah 9/24 kotak, kelompok 3 berjumlah 13/24

kotak dan kelompok 4 berjumlah 24/24 kotak.

Setelah inkubasi selama 72 jam (tabel 5.4), pada seleksi amikasin, angka

terjadinya rata-rata mutasi (m) pada kelompok non-induksi 1.617 ± 0.400 yang

berbeda signifikan dengan kelompok induksi amikasin 0.297 ± 0.168,

kotrimoksazol 0.885 ± 0.166. Pada seleksi kotrimoksazol, rata-rata mutasi

kelompok non-induksi 1.251 ± 0.234 yang berbeda signifikan dengan

kelompok induksi kotrimoksazol 1.177 ± 0.822 dan induksi kombinasi 0.885

± 0.166. Pada seleksi kombinasi, rata-rata mutasi pada kelompok non-induksi

tidak diketahui, namun tidak berbeda signifikan. Pada induksi amikasin yang

diseleksi amikasin tidak berbeda signifikan pada seleksi kotrimoksazol.

Sedangkan, pada induksi kotrimoksazol yang diseleksi amikasin berbeda

signifikan pada seleksi kotrimoksazol.


BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Ui Kadar Hambat minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM)
Antibiotik Tunggal Amikasin, Kotrimoksazol dan Kombinasi Amikasin-
Kotrimoksazol pada Staphylococcus aureus
Pada penelitian ini didapatkan dosis KHM antibiotik tunggal amikasin

1,953 µg/mL, kotrimoksazol 7,812 µg/mL yang setara dengan trimetrophim

1,3 µg/mL dan sulfametoksazol 6,4 µg/mL. Pada saat dikombinasikan, nilai

KHM amikasin 0,488 µg/mL dan kotrimoksazol 1,953 µg/mL. Sedangkan,

dosis KBM yang ditemukan pada antibiotik tunggal amikasin 3,906 µg/mL,

kotrimoksazol 250 µg/mL. Pada saat dikombinasikan, nilai KBM amikasin

1,953 µg/mL dan kotrimoksazol 7,812 µg/mL. Clinical and Laboratory

Standarts Institute (2016) melaporkan bahwa kadar hambat minimum

antibiotik amikasin terhadap bakteri S. aureus adalah ≤16 µg/mL yang

termasuk kategori sensitif dan ≥64 µg/mL termasuk kategori resisten.

Sedangkan, kadar hambat minimum pada antibiotik kotrimoksazol

(trimetrophim/sulfametoksazol) adalah ≤2/38 µg/mL yang termasuk kategori

sensitif dan ≥4/76 µg/mL termasuk kategori resisten. Jika dibandingkan

dengan hasil penelitian ini, bakteri S. aureus masih memiliki sensitifitas

terhadap antibiotik amikasin dan kotrimoksazol.

Interkasi antibiotik yang saling dikombinasikan dapat bersifat sinergistik.

Sifat sinergistik merupakan interaksi antibiotik yang memerlukan dosis

terkecil dari dosis antibiotik tunggal masing-masing untuk menghambat atau

47
48

membunuh bakteri (Bollenbach, 2015). Menurut Gunnison et, al (1953),

sinergisme antibiotik secara in vitro didefinisikan sebagai kemampuan dua

antibiotik untuk menghasilkan peningkatan tingkat bakterisidal yang ditandai

dalam 24 jam pertama paparan dibandingkan dengan tingkat antibiotik

tunggalnya. Angka bakterisidal antibiotik tunggal amikasin 3,906 µg/ml,

kotrimoksazol 250 µg/ml dan ketika dikombinasikan menjadi amikasin 1,953

µg/ml – kotrimoksazol 7,812 µg/ml .Berdasarkan penelitian Gunnison et, al

(1953), dapat disimpulkan bahwa interaksi antibiotik amikasin-kotrimoksazol

pada bakteri S. aureus bersifat sinergistik. Kombinasi amikasin-kotrimoksazol

juga bersifat sinergistik pada bakteri gram negatif seperti K. pneumonia

(Parsley et al., 1977), P. aeruginosa (Simmons, 1970) dan E. coli (Bollenbach,

2015).

Interaksi antibiotik yang menghasilkan sifat sinergis bisa disebabkan oleh

efek penyerapan, misalnya salah satu obat meningkatkan permeabilitas

dinding sel untuk obat lainnya (Gunnison et al., 1953). Interaksi tersebut

seperti kombinasi antara antibiotik golongan beta-laktam dengan

aminoglikosida (Plotz dan Davis, 1962). Interaksi antibiotik yang bersifat

sinergis lainnya bisa disebabkan karena antibiotik menghambat tempat yang

berbeda namun pada mekanisme yang sama, seperti sulfametoksazol dan

trimetrophim yang masing-masing menghambat tahapan-tahapan

pembentukan asam folat (Katzung dan Trevor, 2012), antibiotik kuinupristin

dan dalfopristin yang keduanya mengikat ribosom di tempat yang berbeda dan

secara timbal balik menstabilkan ikatan keduanya (Yonath, 2005). Sifat


49

sinergis juga bisa disebabkan oleh interaksi antara antibiotik bakterisidal

dengan bakterisidal (Goby, 2008).

Antibiotik amikasin merupakan golongan aminoglikosida yang bersifat

bakteriosidal. Masing-masing antibiotik trimetrophim dan sulfametoksazol

memiliki sifat bakteriostatik bila digunakan secara tunggal. Namun, efek

gabungan trimetrophim dan sulfametoksazol (kotrimoksazol) memiliki sifat

bakteriosidal (Katzung, 2012). Sifat bakteriosidal adalah kemampuan

antibiotik yang mampu membunuh bakteri dengan efektifitas >99,9% (Pankey

dan Sabath, 2004). Ketegori interaksi antibiotik yang bersifat bakteriosidal

dibagi berdasarkan target antibiotik, yaitu pada replikasi dan perbaikan DNA,

sintesis protein, dinding sel dan sintesis asam folat (Walsh, 2003). Terkadang

konsep antara sifat bakteriosidal sering terbalik dengan antibiotik yang bersifat

bakteriostatik secara in vitro, begitu pula sebalikanya. Hal ini dapat

dipengaruhi oleh antibiotik bakteriostatik yang diberikan dengan dosis yang

tinggi juga dapat membunuh bakteri. Penentuan antibiotik yang bersifat

bakterisidal dan bakteriostatik dapat dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan,

kepadatan bakteri, durasi pengujian, dan tingkat penurunan jumlah bakteri

(Pankey dan Sabath, 2004).

Pada penelitian ini, kombinasi amikasin-kotrimoksazol memiliki nilai

KHM lebih kecil dari antibiotik tunggal masing-masing. Hal ini menandakan

kombinasi amikasin-kotrimoksazol bersifat sinergsitik. Pada antibiotik

amikasin nilai KBM berada 1 kali dilusi diatas nilai KHM, sedangkan nilai

KBM kotrimoksazol memiliki jarak 5 kali dilusi diatas nilai KHM.


50

6.2. Pola Kurva Pertumbuhan Bakteri S. aureus Pada Media Non-Selektif dan
Media Selektif
Uji sensitivitas antibiotik dapat dilihat melalui kinetika pertumbuhan

dengan melihat pola kurva pertumbuhan bakteri. Hal ini dapat menunjukkan

efek antibiotik terhadap pola pertumbuhan bakteri (Hall, 2013). Kurva

pertumbuhan bakteri dalam keadaan normal dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu

fase lag, fase eksponensial atau fase log, fase stasioner dan fase kematian

(Widdel, 2007). Fase lag adalah dimana bakteri beradaptasi dengan media

kultur. Kemudian, bakteri mensintesis enzim yang diperlukan untuk

pembelahan sel sehingga terjadi peningkatan jumlah sel pada fase log. Setelah

bakteri melewati fase log maka pertumbuhan bakteri akan terhambat yang

dikenal dengan fase stasioner. Penurunan nutrisi dan peningkatan limbah

metabolik mengakibatkan sel mengalami kematian yang disebut fase kematian

(Hogg, 2005).

Pola kurva pertumbuhan bakteri yang tidak diseleksi (gambar 5.1)

menunjukkan pola pertumbuhan bakteri yang normal. Masing-masing bakteri

mengalami fase log kurang dari 0,5 jam dan memasuki fase stasioner pada jam

ke-8. Bakteri yang diinduksi dengan antibiotik tunggal kotrimoksazol dan

amikasin mengalami hambatan pertumbuhan yang dilihat dari rendahnya

pertumbuhan bakteri pada jam ke-36 dibandingkan dengan bakteri yang tidak

diinduksi antibiotik maupun induksi kombinasi. Hal ini dapat disimpulkan

bahwa dosis antibiotik tunggal ½ kali KHM (tabel 5.1) yang digunakan sudah

mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Bakteri yang diinduksi kombinasi

mengalami maksimal pertumbuhan yang sama dengan bakteri yang tidak

diinduksi.
51

Pola pertumbuhan bakteri pada media seleksi antibiotik tunggal amikasin

(gambar 5.2) menunjukkan bakteri yang tidak diinduksi oleh antibiotik

mengalami fase log dimulai pada jam ke-12 hingga mencapai pertumbuhan

maksimal pada jam ke 36. Berdasarkan uji T-test, perbedaan antara kelompok

bakteri yang tidak diinduksi antibiotik dengan bakteri yang diinduksi antibiotik

tunggal amikasin, kotrimoksazol dan kombinasi amikasin-kotrimoksazol tidak

ditemukan perbedaan yang signifikan pada jam ke-36. Pada bakteri yang

diinduksi tunggal amikasin, kotrimoksazol dan kombinasi bertahan pada fase

lag hingga jam ke-36.

Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat disimpulkan pada kurva

pertumbuhan seleksi amikasin, yaitu bakteri telah mengalami kematian

sehingga terlihat terus mengalami fase lag. Kemungkinan kematian bakteri

bisa dibandingkan dengan bakteri yang diinduksi antibiotik tunggal amikasin

pada media non-seleksi. Pada media non-seleksi, bakteri hanya diberikan

diinduksi ½ kali KHM (tabel 5.1, tabel 5.2, tabel 5.3) dan sudah mampu

menghambat pertumbuhan bakteri. Pada saat diseleksi dengan antibiotik

amikasin, maka bakteri yang diberikan induksi ½ kali KHM mengalami

penambahan dosis 1 kali KHM menjadi 1,5 kali KHM. Kemungkinan

selanjutnya adalah bakteri sejatinya masih mengalami fase lag namun waktu

yang dilihat kurang panjang sehingga tidak terlihat fase log dan fase stasioner

pada kurva tersebut. Dengan demikian, kesimpulannya adalah seleksi

amikasin mampu menghambat pertumbuhan bakteri baik yang tidak diinduksi

maupun diinduksi antibiotik tunggal dan kombinasi.


52

Pola pertumbuhan bakteri pada media seleksi antibiotik tunggal amikasin

(gambar 5.3) menunjukkan bakteri yang tidak diinduksi oleh antibiotik

mengalami fase log dimulai pada jam ke-8 hingga mencapai pertumbuhan

maksimal pada jam ke 36. Hal ini dimungkinkan karena bakteri hanya

menerima dosis 1 kali KHM (tabel 5.2) antibiotik tunggal kotrimoksazol.

Kemungkinan lainnnya adalah dosis seleksi 1 kali KHM yang digunakan jauh

berada dibawah dosis KBM (tabel 5.2). Hal ini berbeda dengan seleksi

amikasin dimana 1 kali KHM antibiotik amikasin berada dibawah dosis KBM

(tabel 5.1). Bakteri yang diinduksi antibiotik tunggal dan kombinasi

dimungkinkan terus mengalami fase lag atau telah mengalami kematian sama

halnya dengan bakteri yang diinduksi pada seleksi amikasin. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa bakteri yang tidak diinduksi mampu

beradaptasi pada seleksi 1 kali KHM antibiotik kotrimoksazol.

Pola pertumbuhan bakteri yang diseleksi dengan kombinasi amikasin-

kotrimoksazol (gambar 5.4) memperlihatkan pola pertumbuhan yang sama

dengan bakteri yang tidak diseleksi. Pada bakteri yang diseleksi kombinasi

amikasin-kotrimoksazol tidak memperlihatkan fase lag. Fase log terjadi

kurang dari 0,5 jam hingga jam ke-4. Pada jam ke-6 hingga jam ke-36, bakteri

yang diinduksi dengan antibiotik tunggal amikasin dan kotrimoksazol

mengalami penurunan pertumbuhan lebih rendah dari bakteri yang tidak

diinduksi dan diinduksi kombinasi amikasin-kotrimoksazol. Bakteri yang

tumbuh pada seleksi kombinasi bisa disebabkan karena dosis kombinasi yang

digunakan terlalu kecil sehingga tidak dapat menahan pertumbuhan bakteri.

Hal ini ditunjukkan dari hasil pengujian KBM (tabel 5.3) dimana dosis
53

kombinasi yang digunakan (amikasin 0,488 µg/ml - kotrimoksazol 1,953

µg/ml) tidak bersifat bakteriosidal. Sehingga bakteri yang tidak diinduksi dan

diinduksi kombinasi mampu beradaptasi dengan seleksi kombinasi.

Kemampuan antibiotik dalam menangani bakteri saat ini dapat menurun

oleh karena kemampuan strategi bakteri dalam mengatasi stres antibiotik

(Bush, et al., 2011). Strategi tersebut dibagi menjadi dua, yaitu resistensi dan

toleransi. Resisten adalah kemampuan mikroorganisme untuk terus tumbuh

seiring adanya antibiotik dengan konsentrasi tidak terlalu tinggi. Toleransi

adalah kemampuan mikroorganisme bertahan ketika diberikan antibiotik

dengan konsentrasi antibiotik yang tinggi (Fridman et al., 2014). Toleransi

pada laju pertumbuhan bakteri dalam lingkungan antibiotik dibagi menjadi

dua, yaitu toleransi dengan pertumbuhan yang lambat dan toleransi dengan lag.

Toleransi dengan pertumbuhan yang lambat terjadi pada keadaan steady

dimana ketika sel bakteri merespon paparan antibiotik maka bakteri akan

menahan laju pertumbuhan untuk beradaptasi terhadap lingkungan antibiotik.

Toleransi dengan lag terjadi ketika dalam keadaan transien yang disebabkan

oleh kelaparan atau stres (Brauner et al, 2016).

Durasi pada fase lag merupakan indikator utama dalam melihat

pertumbuhan bakteri yang dipapar oleh antibiotik (Theophel et al, 2014).

Pemanjangan fase lag memiliki hubungan erat dengan potensi bakteri dalam

mengembangkan strategi toleransi terhadap antibiotik (Li et al., 2015).

Antibiotik memiliki kelas tersendiri dalam mekanisme menghambat

pertumbuhan bakteri (Merck, 1998). Bila bakteri diberikan antibiotik dari

kelas yang berbeda dengan dosis yang sama, maka pemanjangan fase lag
54

belum tentu sama antara antibiotik satu dengan lainnya. Bakteri yang diberikan

antibiotik golongan kuinolon memiliki fase lag yang lebih panjang

dibandingkan dengan antibiotik golongan β-laktam (Li et al., 2015). Pada

penelitian Li et al (2015), antibiotik tetrasiklin mengalami pemanjangan fase

lag selama 8 jam pada bakteri E. coli. Penelitian Theophel et al (2014),

pemanjangan fase lag pada bakteri E. fecium yang diberikan antibiotik

siprofloksasin selama 17 jam, vankomisin 30 jam dan sefoktisin 48 jam.

Pada penelitian ini, bakteri yang diinduksi ½ kali KHM antibiotik amikasin

dan kotrimoksazol mengalami hambatan pertumbuhan pada non-seleksi,

seleksi amikasin, seleksi kotrimoksazol dan seleksi kombinasi amikain-

kotrimoksazol. Pada bakteri yang diseleksi kotrimoksazol, bakteri yang tidak

diinduksi mampu beradaptasi dengan antibiotik kotrimoksazol.

6.3. Uji Frekuensi Mutasi Bakteri Staphylococcus aureus Terhadap Antibiotik


Tunggal Amikasin, Kotrimoksazol dan Kombinasi Amikasin-
Kotrimoksazol
Pada penelitian ini, bakteri yang diinduksi antibiotik tunggal kotrimoksazol

mengalami resistensi pada seleksi antibiotik kotrimoksazol. Resistensi

sulfametoksazol disebabkan oleh mutasi pada kromosom dan plasmid. Dua

gen mutasi yang diketahui sebagai dasar terjadinya mutasi adalah gen sul1 dan

sul2. Gen sul1 berlokasi di di integron kelas 1, sedangkan sul2 terletak di

plasmid. Selain melalui plasmid, mekanisme resistensi sulfometoksazol dapat

terjadi karena mutasi pada gen kromosom (folP) pada dihydropteroate

synthase (DHPS). Mutasi ini menghasilkan afinitas yang rendah untuk

menghambat sulfometoksazol. Berkebalikan dengan sulfometoksazol,

resistensi trimetrophim dengan membentuk mutasi gen yang dimediasi oleh

plasmid sangat sedikit. Namun, kebanyakan resistensi trimetrophim


55

dikarenakan mutasi pada gen dfr1 yang terjadi pada cassette pada integron

kelas 1 dan 2. Integron kelas 2 karier berada pada transposon Tn7 dapat

menyisip ke kromosom dengan mudah (Skold, 2001).

Bakteri yang diinduksi dengan antibiotik tunggal kotrimoksazol mengalami

resistensi pada seleski antibiotik tunggal amikasin. Ketika bakteri yang telah

mengalami resistensi terhadap suatu antibiotik diberikan stres dengan

menggunakan antibiotik lainnya, maka bakteri akan kembali beradaptasi

dengan stresor tersebut (Milisav et al., 2012). Bakteri yang resisten terhadap

salah satu antibiotik dapat menimbulkan resistensi terhadap antibiotik lainnya

yang disebut cross-resistance (Horinouchi et al., 2017). Pada penelitian Pal et

al (2015), bakteri yang resisten terhadap golongan sintesis asam folat juga

mengalami cross-resistance terhadap golongan DNA gyrase. Masih sedikitnya

penelitian yang melaporkan terjadinya cross-resistance antara bakteri yang

resisten terhadap antibiotik golongan asam folat (kotrimoksazol) dengan

antibiotik golongan aminoglikosida (amikasin). Pada hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa kemungkian telah terjadi cross-resistance pada bakteri

yang diinduksi kotrimoksazol terhadap seleksi amikasin.

Pada induksi amikasin, jumlah bakteri yang resisten lebih sedikit

dibandingkan dengan induksi kotrimoksazol dan kombinasi amikasin-

kotrimoskazol. Pada saat seleksi 2 kali KHM antibiotik, seleksi dengan

amikasin telah memasuki nilai KBM (tabel 5.1). Pada seleksi kotrimoksazol

dan kombinasi amikasin-kotrimoksazol masih berada dinilai KHM (tabel 5.2

dan tabel 5.3). Sehingga dimungkinkan bahwa angka mutasi pada seleksi

amikasin lebih sedikit dibandingkan dengan seleksi kotrimoksazol dan


56

kombinasi amikasin-kotrimoksazol dikarenakan seleksi amikasin telah

memasuki nilai KBM. Amikasin yang merupakan golongan aminoglikosida

dalam dosis tunggal memiliki efektifitas yang lebih baik dibandingkan dengan

dosis yang terbagi yang terbagi lebih sedikit dengan antibiotik lain (Katzung

dan Trevor, 2012). Beberapa obat yang diberi label sebagai 'bakteriostatik'

memiliki efek 'bakterisidal' di bawah kondisi in vitro (Nemeth et al., 2015).

Sebaliknya, agen yang disebut "bakterisidal" biasanya gagal membunuh setiap

organisme dalam waktu 18-24 jam. Sifat bakterisidal dan bakteriostatik secara

in vitro bisa dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan bakteri, kepadatan bakteri

dan lama waktu pengujian (Pankey dan Sabath, 2004). Bakteri yang resisten

terhadap antibiotik lain dapat meningkatkan kepekaan terhadap antibiotik lain

yang disebut collateral sensitivity (Horinouchi et al., 2017). Pada penelitian

Pal et al (2015) dan Lazar et al (2013), bakteri yang resisten terhadap golongan

amnoglikosida mengalami collateral sensitivity terhadap golongan sintesis

asam folat. Hal ini terlihat pada terjadinya rata-rata mutasi (tabel 5.4) pada

bakteri yang diinduksi amikasin tidak menumbuhkan bakteri yang resisten

terhadap seleksi kotrimoksazol.

Pada seleksi kombinasi, dosis seleksi antibiotik yang diberikan tidak

mampu mematikan bakteri. Hal ini menyebabkan terjadinya mutasi pada

bakteri yang tidak diinduksi dan diinduksi kombinasi amikasin-kotrimoksazol.

Namun, pada induksi amikasin dan kotrimoksazol memunculkan bakteri yang

resisten lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri yang tidak diinduksi dan

induksi kombinasi amikasin-kotrimoksazol. Interaksi antibiotik yang

menimbulkan sifat sinergis lebih banyak digunakan karena dianggap lebih


57

efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri (Fitzgerald et al., 2006).

Namun, interaksi obat yang bersifat sinergis tidak mampu menahan evolusi

bakteri yang semula sensitif menjadi resisten terhadap antibiotik tunggal

(Torella et al., 2010). Hal ini disebabkan karena ketika antibiotik memperkuat

efek masing-masing sehingga menghasilkan sifat sinergis, bila penurunan

efektifitas dalam konsentrasi salah satu antibiotik maka tidak hanya

mengurangi efek yang terkait dengan antibiotik tersebut tetapi juga

mengurangi pengaruhnya terhadap antibiotik lainnya (Hegreness et al., 2008).

Pada penelitian ini, bakteri yang diinduksi antibiotik tunggal kotrimoksazol

meningkatkan angka resistensi terhadap antibiotik tunggal amikasin (cross-

resistance). Bakteri yang diinduksi tunggal amikasin tidak mengalami

pertumbuhan pada seleksi antibiotik tunggal kotrimoksazol (collateral

sensitivity). Pada seleksi kombinasi amikasin-kotrimoksazol tidak mampu

membunuh bakteri yang tidak diinduksi maupun diinduksi antibiotik tunggal

dan kombinasi.
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan

Dibawah ini merupakan beberapa kesimpulan yang didapat pada penelitian ini,

antara lain:

1. Bakteri S. aureus masih memiliki sensitifitas terhadap antibiotik tunggal

amikasin dan kotrimoksazol.

2. Interaksi kombinasi amikasin-kotrimoksazol bersifat sinergis pada bakteri

S. aureus.

3. Kombinasi amikasin-kotrimoksazol lebih bersifat bakterisidal

dibandingkan dengan antibiotik tunggal amikasin dan kotrimoksazol

terhadap bakteri S. aureus.

4. Induksi antibiotik tunggal amikasin dan kotrimoksazol mampu

menghambat laju pertumbuhan bakteri yang tidak diseleksi.

5. Seleksi antibiotik tunggal amikasin mampu membunuh bakteri yang tidak

diinduksi maupun diinduksi antibiotik tunggal dan kombinasi.

6. Bakteri yang tidak diinduksi mampu beradaptasi terhadap seleksi antibiotik

tunggal kotrimoksazol.

7. Dosis seleksi kombinasi amikasin-kotrimoksazol terlalu kecil sehingga

tidak mampu menahan laju pertumbuhan bakteri.

8. Induksi antibiotik tunggal amikasin dengan dosis subletal tidak

menimbulkan resistensi terhadap antibiotik tunggal kotrimoksazol dan

sedikit meningkatkan resistensi terhadap antibiotik tunggal amikasin.

58
59

9. Induksi antibiotik tunggal kotrimoksazol dengan dosis subletal

meningkatkan resistensi terhadap antibiotik tunggal amikasin dan

kotrimoksazol.

7.2 Saran

Adapun beberapa saran untuk meningkatkan dan mengembangkan penelitian ini

lebih lanjut antara lain:

1. Pemberian dosis seleksi menggunakan dosis bakterisidal (KBM).

2. Diperlukan pengujian konfirmasi untuk mengetahui apakah antibiotik

tunggal kotrimoksazol akan meningkatkan resistensi terhadap antibiotik

lainnya.

3. Penambahan waktu pengamatan lebih dari 36 jam pada uji laju

pertumbuhan bakteri.

4. Penambahan masa inkubasi selama 72 jam pada uji frekuensi mutasi.

5. Penghitungan koloni bakteri bakteri pada uji frekuensi lebih baik

menggunakan Colony Forming Unit (CFU).

Anda mungkin juga menyukai