Laporan Sken 1 Kirim Sari

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario I
An 11-year-old boy was brought to a hospital complained of high
fever, malaise, loss of appetite and headache. The following day he
refused to drink with his medicine, and became more anxious. That might
he began to hallucinate. He also was salivating and had difficulty
breathing. Two days later, he had experienced two episodes of general
seizure.

1.2 Klarifikasi Istilah


1. Demam
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal
sehari–hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu
di hipotalamus (>37,5oC) (Dinarello, 2005).
2. Malaise
Malaise adalah perasaan tidak enak karena kondisi yang kurang
sehat. Biasanya terkait dengan berbagai kondisi medis yang berbeda
dan sering menjadi tanda pertama penyakit yang berbeda seperti
infeksi virus (Dorland, 2008).
3. Nyeri kepala
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan di
seluruh daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai ke
belakang kepala (Sjahrir, 2008).
4. Hipersalivasi
Hipersalivasi adalah produksi saliva, hipersalivasi adalah suatu
gejala terjadinya produksi saliva yang berlebihan (Triakoso, 2008).

1
5. Kejang
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan
sementara sebagai mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang
abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan (Betz, 2002).
6. Halusinasi
Halusinasi merupakan pengalaman sensori yang menyimpang
atau salah yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata (Suryani,
2013)

2
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH

2.1 Mengapa pasien mengalami demam, malaise, nafsu makan menurun dan
nyeri kepala?
2.2 Mengapa pasien mengalami halusinasi, hipersalivasi, sulit bernafas dan
menolak untuk minum air?
2.3 Mengapa pasien mengalami 2 kali episode kejang?
2.4 Apa kemungkinan yang terjadi pada pasien?

3
BAB III
CURAH PENDAPAT

3.1 Mengapa pasien mengalami demam, malaise, nafsu makan menurun


dan nyeri kepala?
Demam
Demam terjadi berkaitan dengan rantaian infeksi. Rantai infeksi
tersebut adalah agen (mikroorganisme), resevoir, port de entry, cara
penularan, port de exit, host/pejamu dan kembali lagi ke agen. Proses
infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan mekanisme pertahananm
hospes. Pertahanan hospes yang lemah akan mengakibatkan timbulnya
suatu penyakit. Namun tidak semua penyakit akan menimbulkan demam
(Dinarello & Gelfand, 2005).
Demam akan muncul ketika hipothalamus mempresepsikan tubuh
dalam keadaan dingin sehingga meningkatkan suhu tubuh padahal, suhu
tubuh normal. Hal ini terjadi karena adanya proses reaksi pirogen endogen
dan eksogen(Dinarello & Gelfand, 2005).
Diawali dari pirogen eksogen yang masuk ketubuh (agen
infeksius), tubuh akan merespon dengan melepaskan sel-sel darah putih
tertentu yang digunakan untuk melawan pirogen eksogen terebut. Sel
darah putih akan mengeluarkan zat kimia yang berguna untuk melawan
infeksi tersebut, zat ini disebut dengan pirogen endogen. Pirogen eksogen
dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk
membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan
patokan termostat dipusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan
menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru
sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas
antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti
memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan
penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan

4
suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Dinarello & Gelfand,
2005).
Demam bukan merupakan suatu penyakit, melainkan merupakan
gejala dari suatu penyakit. Demam adalah respon normal tubuh terhadap
beberapa faktor, yaitu faktor infeksi dan non infeksi (Dinarello & Gelfand,
2005).

Malaise
Mekanisme Kelemahan Otot
Konsep kelemahan merupakan reaksi fungsional dari pusat
kesadaran yaitu cortex cerebri yang dipengaruhi oleh dua sistem
penghambat (inhibisi dan sistem penggerak/aktivasi). Sampai saat ini
masih berlaku dua teori tentang kelelahan otot, yaitu teori kimia dan teori
syaraf pusat (Tarwaka, 2004).
1) Teori kimia
Secara teori kimia bahwa terjadinya kelelahan adalah akibat
berkurangnya cadangan energi dan meningkatnya sistem metabolisme
sebagai penyebab hilangnya efisiensi otot, sedangkan perubahan arus
listrik pada otot dan syaraf adalah penyebab sekunder (Tarwaka,
2008).
2) Teori syaraf pusat
Bahwa perubahan kimia hanya penunjang proses, yang
mengakibatkan dihantarkannya rangsangan syaraf oleh syaraf
sensosrik ke otak yang disadari sebagai kelelahan otot (Tarwaka,
2008).
Rangsangan aferen ini menghambat pusat-pusat otak dalam
mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial gerakan pada sel
syaraf menjadi berkurang. Berkurangnya frekuensi ini akan
menurunkan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot dan gerakan atas
perintah kemauan menjadi lambat (Tarwaka, 2008).
Kelelahan diatur oleh sentral dari otak. Pada susunan syaraf

5
pusat, terdapat sistem aktivasi dan inhibisi. Kedua sistem ini saling
mengimbangi tetapi kadangkadang salah satu daripadanya lebih
dominan sesuai dengan kebutuhan. Sistem aktivasi bersifat simpatis,
sedang inhibisi adalah parasimpatis (Tarwaka, 2008).
Kesimpulannya kelemahan otot yang terjadi pada skenario
dimungkinkan karena proses demam yang terjadi akan meningkatkan
metabolisme tubuh, sehingga energi dalam sel berkurang dan
menurunkan menurunkan arus listrik yang disampaikan otak.
Berkurangnya frekuensi ini akan menurunkan kecepatan kontraksi,
sehingga menjadi lambat dan lelah. Selain itu, asam laktat yang
dihasilkan dari metabolisme sel juga akan menambah keadaan tubuh
menjadi lelah (Tarwaka, 2008).

Penurunan Nafsu Makan


Penurunan nafsu makan dapat diakbitkan oleh terjadinya demam,
dimana saat demam akan terdapat sitokin salah satunya interleukiin,
dimana IL-1 berhubungan dengan timbulnya gejala antara lain seperti
timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan sintesis
albumin serta transferin. Penurunan nafsu makan merupakan akibat dari
kerjasama IL-1 dan TNF-α. Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin
oleh sel adiposa. Peningkatan leptin dalam sirkulasi menyebabkan negatif
feedback ke hipothalamus ventromedial yang berakibat pada penurunan
intake makanan (Dinarello & Gelfand, 2005).

Sakit Kepala
Sakit kepala dapat dihubungkan dengan terjadinya demam, saat
demam, tubuh melepaskan sitokin, seperti sitokin (interleukin-1, IL-6,
TNF-g, NGF). Sel mast melepaskan histamin, prostaglandin, serotonin,
ekspresi enzim cyclooxigenase yang merangsang prostaglandin. Terjadi
pelepasan reseptor vanilloid-1, neurokinin A, substansi P, calcitonin
generelated peptide (CGRP). Semua substansi ini akan merangsang

6
nosiseptor sehingga terjadi proses sensitisasi sentral, lalu timbullah
persepsi nyeri kepala (Dinarello & Gelfand, 2005).
Kesimpulannya, demam, malaise, penurunan nafsu makan dan
sakit kepala saling berkaitan. Mekanismenya diawali dari adanya pirogen
eksogen yang akan berikatan dengan sel darah putih, sehingga
mengeluarkan pirogen endogen, dimana pirogen endogen dan eksogen ini
akan merangsang untuk menaikkan set poin di hipothalamus.
Hipothalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu
patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk
meningkatkan panas. Selain itu, pirogen endogen lainnya akan berkaitan
dengan terjadinya malaise, penurunan nafsu makan dan sakit kepala
(Dinarello & Gelfand, 2005).

3.2 Mengapa pasien mengalami halusinasi, hipersalivasi, sulit bernafas


dan menolak untuk minum air?
Halusinasi pada pasien dapat menjadi tanda dari episode
hipereksitabilitas. Episode hipereksitabilitas dapat terjadi secara spontan
atau dipicu oleh rangsangan sensorik (auditorik, visual, olfatorik). Kondisi
tersebut terjadi karena terdapat infeksi pada neuron di area limbik.
Hipersalivasi dapat disebabkan karena adanya disfungsi autonomik. Pasien
menolak untuk minum air dapat disebabkan karena hidrofobia. Hidrofobia
timbul akibat adanya spasme otot inspirasi yang disebabkan oleh
kerusakan batang otak saraf penghambat nukleus ambigus yang
mengendalikan inspirasi. Gangguan sumsum tulang belakang yang
memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan, sehingga pasien
mengalami kesulitan bernafas (Sudoyo et al., 2014 ; Tanzil, 2014).

3.3 Mengapa pasien mengalami 2 kali episode kejang ?


Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan
dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat
suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi

7
lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi diotak tengah,thalamus, dan
korteks serebellum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Ditingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
 Instabilitas membrane sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan
 Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskanmuatan secara
berlebihan
 Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalamrepolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetil kolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA)
 Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron segingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kehang sebagiandisebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi
akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang,kebutuhan metabolic secara
drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik
dapatmeningkat menjadi 1000 perdetik. Aliran darah otak meningkat,
semikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul dicairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamate
mungkin mengalami deplesi selama aktifitas kejang (Ganong, 2010).

3.4 Apa kemungkinan yang terjadi pada pasien ?


a. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang :
- Demam Tinggi
- Malaise

8
- Penurunan Nafsu Makan
- Sakit Kepala
- Tidak mau minum
- Gelisah
- Halusinasi
- Hypersaliva
- Sulit Bernapas
- Kejang
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Digigit anjing 6 bulan yang lalu di Bali
b. Pemeriksaan Fisik
- Suhu : 40oC
- Tekanan darah : DBN
- HR : DBN
- RR : DBN
- Tonus Eksterimitas : Meningkat
- Reflek babinski : positif
c. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium :
Leukositosis
- Pemeriksaan cairan serebrospinal :
Sel darah Putih : 350 sel/mm3
Diagnosis kerja : rabies
Diagnosis banding :
- Rabies
- Leptospirosis
- Poliomyelitis
- Japanese encephalitis
- Chikungunya
- DHF

9
BAB IV
ANALISIS MASALAH

Laki-laki, berusia 11 tahun

Datang ke RS

Anamnesis Pemeriksaan Fisik


- Demam - Suhu : 40oC
- Nafsu makan menurun - Tekanan darah : DBN
- Malaise - HR : DBN
- Nyeri kepala - RR : DBN
- Halusinasi - Tonus Eksterimitas : Meningkat
- Menolak minum - Reflek babinski : positif
- Kejang 2 kali episode
- Riwayat 6 bulan yang lalu Pemeriksaan Penunjang
digigit anjing di Bali - Pemeriksaan laboratorium :
Leukositosis
- Pemeriksaan cairan serebrospinal :
Sel darah Putih : 350 sel/mm3

Diagnosis kerja : Rabies

Diagnosis banding

Rabies Leptospirosis Poliomyelitis Japanese Demam DHF


encephalitis Chikungunya

10
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN

5.1 Mahasiswa mampu menjalaskan difinisi, etiologi, epidemiologi, faktor


resiko, patogenesis, manifestasi klinik, penegakkan diagnosis, tatalaksana,
komplikasi dan prognosis dari Rabies !
5.2 Mahasiswa mampu menjalaskan difinisi, etiologi, epidemiologi, faktor
resiko, patogenesis, manifestasi klinik, penegakkan diagnosis, tatalaksana,
komplikasi dan prognosis dari leptospirosis !
5.3 Mahasiswa mampu menjalaskan difinisi, etiologi, epidemiologi, faktor
resiko, patogenesis, manifestasi klinik, penegakkan diagnosis, tatalaksana,
komplikasi dan prognosis dari japanese Encephalitis !
5.4 Mahasiswa mampu menjalaskan difinisi, etiologi, epidemiologi, faktor
resiko, patogenesis, manifestasi klinik, penegakkan diagnosis, tatalaksana,
komplikasi dan prognosis dari Chikungunya !
5.5 Mahasiswa mampu menjalaskan difinisi, etiologi, epidemiologi, faktor
resiko, patogenesis, manifestasi klinik, penegakkan diagnosis, tatalaksana,
komplikasi dan prognosis dari DHF !
5.6 Mahasiswa mampu menjalaskan difinisi, etiologi, epidemiologi, faktor
resiko, patogenesis, manifestasi klinik, penegakkan diagnosis, tatalaksana,
komplikasi dan prognosis dari Poliomyelitis !

11
BAB VI
BELAJAR MANDIRI

Mahasiswa melakukan belajar mandiri untuk memenuhi sasaran belajar


yang telah dibuat.

12
BAB VII
BERBAGI INFORMASI

7.1 Rabies
a. Definisi
Rabies merupakan penyakit infeksi susunan saraf pusat akut
pada manusia dan hewan mamalia berdarah panas yang disebabkan
oleh virus rabies. Penyakit ini di Indonesia dikenal sebagai penyakit
anjing gila. (Sudoyo et al., 2014).
b. Etiologi
Virus rabies merupakan kelompok virus RNA negative
stranded. Ordo : mononegalovirales, family : rhabdoviridae, genus :
lyssavirus, spesies : virus rabies. Bentuk virus ini seperti peluru
berkapsula, berukuran panjang 180 nm dan lebar 75 nm, yang tersusun
dari 5 jenis protein yaitu nukleoprotein,fosfoprotein, matriks protein,
glikoprotein dan polimerase.
Replikasi virus pada sel pejamu dapat dibedakan menjadi 3
fase. Fase pertama, diawali fusi envelope virus dengan membran sel,
kemudian terjadi interaksi glikoprotein virus dengan reseptor
permukaan spesifik pada sel pejamu, selanjutya melalui mekanisme
endositosis, virus berpenetrasi ke dalam sitoplasma. Fase kedua, terjadi
transkripsi dan replikasi genome virus dan sintesis protein virus. Fase
ketiga, terjadi pembentukan dan pelepasan virus dari sel yang
terinfeksi (Sudoyo et al., 2014).
c. Epidemiologi
1) Insidensi
Rabies hampir tersebar di seluruh benua, kecuali antartika.
Berdasarkan status endemisitas rabies, negara di Asia Tenggara
yang dinyatakan bebas rabies adalah Maldives dan Timor Leste. Di
Asia Tenggara, diperkirakan 1,4 miliar orang beresiko terinfeksi
rabies,terjadi 19 juta kasus gigitan anjing dan sekitar 4 juta

13
mendapatkan satu atau lebih dosis vaksin. Setiap tahun
diperkirakan 21.000 – 24.000 orang meninggal karena rabies di
Asia Tenggara.
Sampai akhir tahun 2010, kasus rabies di Indonesia sudah
menyebar di 24 provinsi, sehingga hanya ada 9 provinsi yang
bebas dari rabies yaitu Bangka Belitung, Kalimantan Barat, DKI
Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara
Barat, Papua Barat dan Papua. Provinsi Bali merupakan daerah
yang paling tinggi kasus gigitan HPR (60.434 kasus) dan kasus
rabies (114 kasus). Di Bali, terjadi peningkatan kasus rabies yang
cepat yaitu tahun 2008 terjadi 4 kasus, tahun 2009 sebanyak 28
kasus dan tahun 2010 sebanyak 82 kasus (Sudoyo et al., 2014).
2) Reservoir
Anjing adalah reservoir rabies yang paling penting. Kasus
pada manusia dilaporkan juga terjadi karena gigitan kucing dan
hewan liar, luwak, rubah, serigala. Gigitan anjing merupakan
sumber utama infeksi pada manusia di seluruh negara endemis
rabies dan 96% terjadi di Asia Tenggara. Dengan demikian,
eliminasi rabies pada manusia adalah tergantung dari eliminasi
rabies pada anjing (Sudoyo et al., 2014).
3) Cara Penularan
Cara penularan virus rabies ke manusia dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu secara alamiah (non iatrogenik) dan iatrogenik.
Penularan secara alamiah melalui 2 cara yaitu inokulasi virus oleh
gigitan hewan dan melalui kontak selaput mukosa. Sedangkan
penularan secara iatrogenik pernah dilaporkan dari manusia ke
manusia (resepien yang mendapat jaringan transplantasi yang
terkontaminasi) dan melalui udara (droplet atau aerosol) pada
petugas laboratorium. Resiko tertular rabies tergantung pada lokasi
gigitan dan keparahan gigitan (Sudoyo et al., 2014).

14
d. Patogenesis
Patogenesis infeksi virus rabies melewati 4 tahap proses yaitu :
replikasi virus pada lokasi paparan, penyebaran ke susunan syaraf
pusat, penyebaran di dalam susunan syaraf pusat, dan penyebaran dari
susunan saraf pusat.
Setelah virus diinokulasikan pada tempat gigitan, glikoprotein
virus akan berikatan dengan reseptor nikotinik (asetilkolin) pada
permukaan sel saraf dan juga berikatan dengan reseptor lain, molekul
adhesi sel neural, yang terdapat pada membran presinap. Pada paparan
perinhalasi, virus masuk melalui jalur nasal dan mencapai otak melalui
kerusakan integritas mukosa saluran cerna. Pada tempat inokulasi
tersebut, virus kemudian memperbanyak diri.
Dari tempat inokulasi, virus menyebar secara retrograde
melalui sel saraf motorik dan sensorik menuju saraf pusat dan
menginfeksi batang otak, diensefalon dan hipokampus. Setelah
mencapai saraf pusat, virus kemudian menyebar secara antegrade
menuju beberapa organ melalui susunan saraf somatik dan otonom
terutama melalui jalur parasimpatik yang bertanggungjawab dengan
infeksi pada kelenjar ludah, kornea, kulit, jantung, pankreas, medulla
spinalis dan organ lain. Infeksi virus akan menimbulkan infiltrat dan
nekrosis selular. Kepekaan terhadap infeksi dan lamanya masa
inkubasi bergantung pada strain virus, genetik dan imunitas pejamu,
jumlah reseptor lokal pada sel pejamu, jumlah inervasi pada tempat
gigitan, jumlah inokulum, beratya luka gigitan, dan jarak tempat luka
gigitan dengan saraf pusat (Sudoyo et al., 2014).
e. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis bentuk non klasik meliputi nyeri neuropatik,
gangguan sensoris motoris, gerakan koreiform pada ekstremitas tempat

15
gigitan selama fase prodromal, tanda gangguan fokal batang otak,
gangguan pada syaraf kranial, mioklonus dan kejang.
Gambaran klinis bentuk klasik terdiri dari 5 fase yaitu : masa
inkubasi, fase prodromal, fase neurologis akut, koma dan kematian.
Masa inkubasi berlangsung 2 minggu – 6 tahun (rata-rata 2 – 3 bulan).
Masa inkubasi tergantung pada jumlah virus dan lokasi gigitan.
Semakin dekat jarak antara lokasi gigitan dengan saraf pusat, maka
semakin pendek masa inkubasi. Fase prodromal berlangsung 2 – 10
hari, diawali dengan gejala baal, nyeri, gatal pada lokasi bekas luka
gigitan. Gejala lainnya adalah lemas, cepat lelah, mual, muntah, nyeri
kepala, nafsu makan menurun dan demam. Fase neurologis akut
biasanya berlangsung 2 sampai 7 hari. Dibedakan menjadi bentuk
galak/furious (80%) dan bentuk paralitik/dumb (20%). Bentuk galak
menunjukan episode hipereksitabilitas yang ditandai dengan
kebingungan, hiperestesia, halusinasi, agitasi, tingkah laku agresif. 50-
80% pasien menunjukkan tanda fotofobia yang merupakan manifestasi
klinis khas rabies. Tanda klinis lain yaitu hipersalivasi, hiperlakrimasi,
berkeringat, piloereksi dan priapismus pada laki-laki.
Rabies paralitik ditandai oleh kelumpuhan berupa paresis pada
keempat ekstremitas serta gangguan sfingter ani. Beberapa kasus
disertai hidrofobia dan pada fase lanjut terjadi spasme otot laring.
Koma dengan paralisis flaksid generalisata dan respirasi serta
kegagalan vaskuler terjadi setelah sindrom neurologis akut. Sebagian
besar pasien meninggal setelah 2 minggu timbulnya koma (Sudoyo et
al., 2014).
f. Penegakkan diagnosis
1) Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan meliputi : kontak/jilatan/gigitan,
kejadian di daerah tertular/terancam/bebas, didahului tindakan
provokatif/tidak, hewan yang menggigit menunjukkan gejala
rabies, hewan yang menggigit hilang, lari dan tidak dapat di

16
tangkap atau dibunuh dan dibuat, hewan yang menggigit mati
tetapi masih diragukan menderita rabies, penderita luka gigitan
pernah di VAR dan kapan dan hewan yang menggigit pernah di
VAR dan kapan (Departemen Kesehatan RI, 2000).
2) Pemeriksaan Fisik
Pada saat gigitan baru terjadi biasanya tidak ada keluhan
dari pasien selain nyeri pada tempat gigitan. Saat itu bisa dilakukan
pemeriksaan fisik lokalis pada gigitan seperti bentuknya, ada
kotoran disekitarnya, adanya tanda-tanda infeksi sekunder, dan
lain-lain. Luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka,
garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan,
badan dan kaki. Yang termasuk luka berbahaya adalah jilatan/luka
pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala, leher), luka
pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan luka
yang banyak (multipel) (CDC, 2011).
Saat pasien sudah mulai mengeluhkan gejala sistemik bisa
dilakukan pemeriksaan fisik antara lain :
- Keadaan umum dan kesadaran biasanya normal apabila gejala
baru saja muncul, namun apabila sudah sekitar 3-4 hari sudah
bisa timbulnya adanya penurunan kesadaran, kejang, bahkan
koma.
- Tanda-tanda vital biasanya suhu meningkat, repirasi meningkat
pada 2-3 hari pertama gejala dan biasanya akan menurun atau
terjadi distress pernafasan pada lebih dari hari 3-4 gejala.
Tekanan darah bisa normal atau menurun dan nadi bisa normal
atau meningkat.
- Pemeriksaan sensibilitas pada daerah luka gigitan dan biasanya
akan didapatkan hasil adanya parastesi.
- Pemeriksaan hidrofobia dengan diminumkan air atau
dipercikan air, aerofobia dengan meniupkan udara ke wajah
pasien, dan pemeriksaan tepukan tangan di dekat telinga

17
pasien. Hasilnya biasanya akan didapatkan adanya spasme otot
terutama pernafasan.
- Abnormalitas pada sistem saraf otonom mencakup pupil
dilatasi ireguler, meningkatnya lakrimasi, salivasi, keringat,
dan hipotensi postural.
- Pemeriksaan kaku kuduk juga bisa didapatkan hasil positif
(CDC, 2011)
3) Pemeriksaan Penunjang
Penyakit rabies berjalan sangat cepat, dalam 10 hari
penderita bisa langsung mengalami kematian sehingga seringkali
pemeriksaan penunjang tidak sempat dilakukan. Namun untuk
beberapa kasus yang terdeteksi dini atau dapat bertahan lama
menurut (Sudoyo et al., 2014) bisa dilakukan pemeriksaan
penunjang antara lain :
- Pemeriksaan darah rutin pada awal penyakit hemoglobin bisa
normal atau sedikit menurun, leukosit bisa normal atau
meningkat sampai 20ribu-30ribu/mm3 dan trombosit biasanya
normal.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis
dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat, glukosa
umumnya normal
- Urinalisis dapat ditemukan albuminuria dan peningkatan sel
leukosit.
- Isolasi virus rabies dari air liur, cairan serebrospinal, apusan
tenggorokan, kornea, sampel biopsi otak/kulit, dan urin sangat
baik dilakukan pada minggu pertama. Namun terkadang isolasi
virus tidak berhasil didapatkan setelah 10-14 hari sakit karena
adanya neutralizing antibodies.
- Pemeriksaan kadar virus neutralizing antibody. Pada kasus
yang tidak divaksinasi atau diberi pengobatan akan terdapat

18
peningkaan kadar dengan cepat pada hari ke 6-10 setelah gejala
muncul.
- Pemeriksaan Flourescent Antibodies Test (FAT) dapat
mendeteksi antigen virus rabies di jaringan otak, cairan
cerebrospinal, jaringan otot dan urin dengan cepat bahkan
walaupun isolasi virus tidak berhasil. FAT merupakan
pemeriksaan gold standar untuk diagnosis rabies.
- Pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan tanda khas yaitu
adanya badan negri (Negri’s Bodies) pada biopsi jaringan otak
post-morterm dan jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan
seperti mencit, hamster, atau kelinci yang diinokulasi virus
secara intrakranial. Namun temuan ini biasanya hanya terjadi
pada 70-80% kasus.

- Pemeriksaan radiologi dada biasanya akan menunjukkan


adanya gangguan pada sistem pernafasan dan jantung bawah
seperti acute respiratory distress syndrome, pneumonia, infiltrat
pada paru, dan gagal jantung. Sedangkan pemeriksaan
radiologi pada otak sering kali hasilnya akan normal.
g. Tatalaksana
Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani
dengan cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan
virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif
ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dan
sabun atau diteregent selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik

19
(alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain). Meskipun
pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun
di Puskesmas Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan
kembali seperti di atas. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit,
kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu sekali untuk dijahit
(jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies (SAR)
sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka
sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler.
Disamping itu harus dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian
serum/ vaksin anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan
pemberian analgetik (Hadi, 2007).
Bila ada indikasi pengobatan, maka terhadap luka resiko
rendah diberi VAR saja. Yang termasuk luka yang tidak berbahaya
adalah jilatan pada kulit luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi),
luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki. Terhadap luka resiko
tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk luka berbahaya
adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka,
kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang
lebar/dalam dan luka yang banyak (multipel). Untuk kontak (dengan
air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies atau penderita
rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak,
maka tidak PERLU diberikan pengobatan VAR maupun SAR.
Sedangkan apabila kontak dengan air luir pada kulit luka yang tidak
berbahaya, maka diberikan VAR atau diberikan kombinasi VAR dan
SAR apabila kontak dengan air liur pada luka berbahaya (Hadi, 2007).

Dosis dan Cara Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR)


1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
Kemasan : Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut
sebanyak 0,5 ml dalam syringe.

20
a) Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure
Treatment)
- Cara pemberian : disuntikkan secara intra muskuler (im) di
daerah deltoideus (anak–anak di daerah paha).
- Dosis :
VAKSINASI DOSIS WAKTU PEMBERIAN
ANAK DEWASA

Dasar 0,5 ml 0,5 ml 4 x pemberian:


- Hari ke-0, 2x pemberian
sekaligus (del- toideus
kiri dan kanan)
- Hari ke 7 dan 21

Ulangan - - -

b) Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan SAR


sesudah digigit (Post Exposure Treatment)
- Cara pemberian : sama seperti pada butir 1.a.
- Dosis :
VAKSINASI DOSIS WAKTU
ANAK DEWASA PEMBERIAN

Dasar 0,5 ml 0,5 ml 4 x pemberian:


- Hari ke-0, 2x
pemberian sekaligus
(del- toideus kiri dan
kanan)
- Hari ke 7 dan 21
Ulangan 0,5 ml 0,5 ml Hari ke-90

2. Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV)


Kemasan :
- Dos berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml.
- Dos berisi 5 ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut
@ 0,4 ml.
a) Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure
Treatment)

21
- Cara pemberian :
Untuk vaksinasi dasar disuntikkan secara sub cutan
(sc) di sekitar daerah pusar. Sedangkan untuk vaksinasi
ulang disuntikkan secara intra cutan (ic) di bagaian fleksor
lengan bawah
- Dosis :
VAKSINASI DOSIS WAKTU KET
ANAK DEWASA PEMBERIAN

Dasar 1 ml 2 ml 7 x pemberian Anak :


setiap hari 3 tahun
kebawah

Ulangan 0,1 ml 0,25 ml Hari ke 11, 15,


30 dan 90

b) Dosis dan cara pemberian bersamaan dengan SAR sesudah


digigit (Post Exposure Treatment)
- Cara pemberian : sama seperti pada butir 2.a.
- Dosis :
VAKSINASI DOSIS WAKTU KET
ANAK DEWASA PEMBERIAN

Dasar 1 ml 2 ml 7 x pemberian Anak :


setiap hari 3 tahun
kebawah

Ulangan 0,1 ml 0,25 ml Hari ke 11, 15, 25,


35 dan 90

Dosis dan Cara Pemberian Serum Anti Rabies (SAR)


1. Serum Hetorolog (Kuda)
- Kemasasn : vial 20 ml (1 ml = 100 IU)
- Cara pemberian : Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka
sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intra maskuler.
- Dosis
JENIS DOSIS WAKTU KETERANGAN
SERUM PEMBERIAN
Serum 40 IU/kgBB Bersama an dengan Sebelumnya
Heterolog pemberian VAR hari dilakukan skin test
ke-0

22
2. Serum Homolog
- Kemasasn : vial 2 ml (1 ml = 150 IU)
- Cara pemberian : Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka
sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intra maskuler.
- Dosis

JENIS SERUM DOSIS WAKTU KETERANGAN


PEMBERIAN
Serum Homolog 20 IU/kgBB Bersamaan dengan Sebelumnya
pemberian VAR tidak dilakukan
hari ke-0 skin test

Dosis dan Cara Pemberian VAR Untuk Pengebalan Sebelum


Digigit (Pre Exposure Immunization)
1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
Kemasan : Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut
sebanyak 0,5 ml dalam syringe.
- Cara pemberian (cara I) : Disuntikkan secara intra muskuler
(im) di daerah deltoideus.
- Dosis
VAKSINASI DOSIS WAKTU PEMBERIAN
Dasar I. 0,5 ml Pemberian I (hari ke-0)
II. 0,5 ml Hari ke-28
Ulangan 0,5 ml 1 tahun setelah pemberian I
Ulangan Selanjutnya 0,5 ml Tiap 3 tahun

- Cara pemberian (cara II) : Disuntikkan secara intra cutan (


dibagian fleksor lengan bawah )
- Dosis
VAKSINASI DOSIS WAKTU PEMBERIAN
Dasar I. 0,1 ml Pemberian I (hari ke-0)
II. 0,1 ml Hari ke-7
III. 0,1 ml Hari ke-28
Ulangan 0,1 ml Tiap 6 bulan – 1 tahun

2. Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV)


Kemasan :
- Dus berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml

23
- Dus berisi 5 ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut
@ 0,4 ml.
- Cara pemberian : Disuntikkan secara intra cutan (ic) di bagian
flektor lengan bawah.
- Dosis :
VAKSINASI DOSIS WAKTU
ANAK DEWASA PEMBERIAN
Dasar I. 0,1 ml I. 0,25 ml Pemberian I
II. 0,1 ml II. 0,25 ml 3 minggu setelah
pemberian I
III. 0,1 ml III. 0,25 ml 6 minggu setelah
pemberian II
Ulangan 0,1 ml 0,25 ml Tiap 1 tahun

Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan


gejala rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam
penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun tindakan
perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak
menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk
memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien
dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering
terjadi. Isolasi penderita penting segera setelah diagnosa ditegakkan
untuk menghindari rangsangan-rangsangan yang dapat menimbulkan
spasme otot dan mencegah penularan. Staf rumah sakit perlu
menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin, air
mata, cairan lain dan yang paling berbahaya adalah kontak dengan
mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat gigitan dengan
universal precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus
tidak menular melalui darah dan tinja. Yang penting dalam
pengawasan penderita rabies adalah terjadinya hipoksia, aritmia,
gangguan elektrolit, hipotensi dan edema serebri. Penderita rabies
dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat untuk
memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat

24
anti serum, anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif
lainnya tidak terbukti efektif (Hadi, 2007).
h. Pencegahan
Pencegahan Primer
1) Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan
anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas
rabies. 

2) Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang
masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies. 

3) Dilarang melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies
kedaerah- daerah bebas rabies.
4) Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera,
70% populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar
lokasi kasus.
5) Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing,
kucing yang telah divaksinasi.
6) Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan
dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan. 

7) Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus
didaftarkan ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas
Peternakan setempat.
8) Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh
lebih dari 2 meter.
9) Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan
rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus
menggunakan berangus (beronsong).
10) Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka
menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang
mati selama observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil
spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk
diagnosa.

25
11) Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan
sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka
rabies.
12) Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies
sekurang-kurangnya 1 meter (Hadi, 2007).

Pencegahan Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk
meminimalkan resiko tertularnya rabies adalah mencuci luka gigitan
dengan sabun atau dengan deterjen selama 5-10 menit dibawah air
mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium
tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter yang
terdekat untuk mendapatkan pengobatan sementara sambil menunggu
hasil dari rumah observasi hewan. Resiko yang dihadapi oleh orang
yang mengidap rabies sangat besar. Oleh karena itu, setiap orang
digigit oleh hewan tersangka rabies atau digigit oleh anjing di daerah
endemic rabies harus sedini mungkin mendapat pertolongan setelah
terjadinya gigitan sampai dapat dibuktikan bahwa tidak benar adanya
infeksi rabies (Hadi, 2007).

Pencegahan Tersier
Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau
menghalangi perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan
sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut yang membutuhkan
perawatan intensif yang mencakup pembatasan terhadap
ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi. Apabila hewan
yang dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan pemeriksaan
klinis atau laboratorium dari Dinas Perternakan, maka orang yang
digigit atau dijilat tersebut harus segera mendapatkan pengobatan
khusus (Pasteur Treatment) di Unit Kesehatan yang mempunyai
fasilitas pengobatan Anti Rabies dengan lengkap (Hadi, 2007).

26
i. Komplikasi
Menurut Sudoyo et al (2014) berbagai komplikasi biasanya
terjadi pada fase koma antara lain kelainan neurologi seperti edema
otak atau peningkatan tekanan intrakranial; kelainan hipotalamus
berupa diabetes insipidus dan SAHAD (sindrom abnormalitas hormon
anti diuretik); disfungsi otonomik berupa hipertensi, hipotensi, aritmia,
henti jantung, pneumonia, dan hipetermia/hipotermia. Komplikasi
pada fase prodromal biasanya berupa hiperventilasi dan alkalosis
respiratorik.
Sedangkan pada fase neurologik akut terjadi hipoventilasi dan
depresi pernafasanberbagai komplikasi biasanya terjadi pada fase
koma antara lain kelainan neurologi seperti edema otak atau
peningkatan tekanan intrakranial; kelainan hipotalamus berupa
diabetes insipidus dan SAHAD (sindrom abnormalitas hormon anti
diuretik); disfungsi otonomik berupa hipertensi, hipotensi, aritmia,
henti jantung, pneumonia, dan hipetermia/hipotermia. Komplikasi
pada fase prodromal biasanya berupa hiperventilasi dan alkalosis
respiratorik. Sedangkan pada fase neurologik akut terjadi hipoventilasi
dan depresi pernafasan.

j. Prognosis
Penyakit rabies tidak dapat disembuhkan sehingga
prognosisnya jelek. Tanpa pencegahan, penderita hanya bertahan
sekitar 8 hari, sedangkan dengan penangan suportif, penderita dapat
bertahan hingga beberapa bulan. Sebelum ditemukan pengobatan,
kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari. Kebanyakan penderita
meninggal karena sumbatan jalan nafas (asfiksia), kejang, kelelahan
atau kelumpuhan total. Hingga saat ini belum ada laporan kasus yang
dapat bertahan hidup setelah manifestasi dari penyakit rabies timbul.
Pada manusia yang tidak mendapatkan vaksin rabies hampir selalu
fatal terutama setelah muncul gejala neurologi, tetapi bila setelah

27
terpapar virus diberikan vaksin akan mencegah perkembangan virus
(Hadi, 2007).

7.2 Leptospirosis
a. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit bersumber dari binatang
(zoonosis) yang bersifat akut. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri
Leptospira dengan spektrum penyakit yang luas dan dapat
menyebabkan kematian (Sudoyo,2009).
b. Etiologi
Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta, dapat
menyebabkan penyakit infeksius yang disebut leptospirosis. Leptospira
merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-
15 µm, disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2 µm. Salah satu
ujung bakteri ini seringkali bengkok dan membentuk kait.

Gambar Leptospira interrogans

c. Epidemiologi
Leptospirosis merupakan zoonosis dengan distribusi luas di
seluruh dunia, terutama pada wilayah dengan iklim tropis dan
subtropis. Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum
diketahui secara pasti. Di daerah dengan kejadian luar biasa
leptospirosis ataupun pada daerah yang memiliki faktor risiko tinggi
terpapar leptospirosis, angka kejadian leptospirosis dapat mencapai

28
lebih dari 100 per 100.000 per tahun. Di daerah tropis dengan
kelembaban tinggi angka kejadian leptospirosis berkisar antara 10-100
per 100.000 sedangkan di daerah subtropis angka kejadian berkisar
antara 0,1-1 per 100.000 per tahun (Sudoyo,2009).
d. Patogenesis
Transmisi infeksi dari hewan ke manusia biasanya terjadi
melalui kontak dengan air atau tanah lembap yang terkontaminasi.
Leptospira masuk ke sirkulasi manusia melalui penetrasi kulit terabrasi
atau membran mukosa intak (mata, mulut, nasofaring, atau esofagus).
Patogenesis terutama pada kasus berat, masih kurang dimengerti.
Temuan mikroskopik utamanya adalah vaskulitis sistemik dengan
cedera endotel, sel endotel rusak dengan berbagai derajat
pembengkakan dan nekrosis. Leptospira ditemukan di pembuluh darah
berukuran medium dan besar serta kapiler berbagai organ. Organ
utama yang terkena adalah ginjal, dengan inflamasi tubulointerstisial
difus dan nekrosis tubular, paru biasanya kongesti, dengan perdarahan
intraalveolar fokal atau masif, deposisi linear imunoglobulin dan
komplemen pada permukaan alveolar, hati yang menunjukkan
kolestasis terkait perubahan degeneratif ringan pada hepatosit
(Sudoyo,2009).
Sistem lain juga dapat terkena, pada kasus berat dapat berupa
miokarditis, meningoensefalitis, dan uveitis. Cedera vaskuler dapat
disebabkan oleh efek toksik Leptospira secara langsung atau oleh
respons imun. Protein membran sisi luar Leptospira (outer membrane
protein / OMPs) dan lipopolisakarida dapat menimbulkan inflamasi
melalui jalur yang bergantung Toll like receptor 2. Trombositopenia
dan aktivasi kaskade koagulasi juga sering ditemukan. Pada masa
penyembuhan, Leptospira terus diekskresikan di urin selama beberapa
hari (Edward, 2010).

29
e. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik pada leptospirosis berkaitan dengan penyakit
febril umum dan tidak cukup khas untuk menegakkan diagnosis.9
Secara khas penyakit ini bersifat bifasik, yaitu fase leptospiremi/
septikemia dan fase imun.
1. Fase leptospiremi atau septikemia
Masa inkubasi dari leptospira virulen adalah 7-12 hari, rata-
rata 10 hari. Untuk beberapa kasus, dapat menjadi lebih singkat
yaitu 2 hari atau bahkan bisa memanjang sampai 30 hari. Fase ini
ditandai adanya demam yang timbul dengan onset tiba-tiba,
menggigil, sakit kepala, mialgia, ruam kulit, mual, muntah,
conjunctival suffusion, dan tampak lemah. Demam tinggi dan
bersifat remiten bisa mencapai 40ºC sebelum mengalami
penurunan suhu tubuh. Conjunctival suffusion merupakan tanda
khas yang biasanya timbul pada hari ke-3 atau ke-4 sakit.20
Selama fase ini, leptospira dapat dikultur dari darah atau cairan
serebrospinal penderita. Tes serologi menunjukkan hasil yang
negatif sampai setidaknya 5 hari setelah onset gejala. Pada fase ini
mungkin dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi splenomegali
kurang umum dijumpai. Pada hitung jumlah platelet, ditemukan
adanya penurunan jumlah platelet dan trombositopeni purpura.
Pada urinalisis ditemukan adanya proteinuri, tetapi kliren kreatinin
biasanya masih dalam batas normal sampai terjadi nekrosis tubular
atau glomerulonefritis (Sudoyo,2009).
2. Fase imun
Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan
berhubungan dengan timbulnya antibodi IgM dalam serum
penderita. Pada kasus yang ringan (mild case) fase kedua ini
berhubungan dengan tanda dan gejala yang minimal, sementara
pada kasus yang berat (severe case) ditemukan manifestasi
terhadap gangguan meningeal dan hepatorenal yang dominan. Pada

30
manifestasi meningeal akan timbul gejala meningitis yang ditandai
dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan
sistem saraf pusat pada leptospirosis sebagian besar timbul sebagai
meningitis aseptik. Pada fase ini dapat terjadi berbagai komplikasi,
antara lain neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis, dan neuropati
perifer. Pada kasus yang berat, perubahan fase pertama ke fase
kedua mungkin tidak terlihat, akan tetapi timbul demam tinggi
segera disertai jaundice dan perdarahan pada kulit, membrana
mukosa, bahkan paru. Selain itu ini sering juga dijumpai adanya
hepatomegali, purpura, dan ekimosis. Gagal ginjal, oliguria, syok,
dan miokarditis juga bisa terjadi dan berhubungan dengan
mortalitas penderita (Sudoyo,2009).
f. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan
laboratorium. Pada sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan
netropenia, terutama selama fase awal penyakit. Anemia tidak biasa
ditemukan pada leptospirosis anikterik, tetapi dapat terjadi anemia
berat pada sindrom Weil. Kadar enzim hati, kreatinin, dan ureum dapat
sedikit meningkat pada leptospirosis anikterik, dan meningkat secara
ekstrim pada sindrom Weil.
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terdiri dari:
pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi.
1. Pemeriksaan mikrobiologik
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di
mikroskop lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan
mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase kontras. Spesimen
pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin. Kultur Organisme
dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal hanya pada 10
hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di dalam
urin pada 10 hari pertama penyakit. Media Fletcher dan media
Tween 80-albumin merupakan media semisolid yang bermanfaat

31
pada isolasi primer leptospira. Pada media semisolid, leptospira
tumbuh dalam lingkaran padat 0,5-1 cm dibawah permukaan media
dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi. Untuk kultur
harus dilakukan biakan multipel, sedangkan jenis bahan yang
dibiakkan bergantung pada fase penyakit (Sudoyo,2009).
Baru-baru ini dideskripsikan suatu metode radiometrik
untuk mendeteksi organisme leptopira secar cepat dengan
menggunakan sistem BACTEC 460 (Johnson Laboratories).
Dengan sistem ini, leptospira dideteksi pada darah manusia setelah
inkubasi 2-5 hari (Sudoyo,2009).
2. Inokulasi hewan
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi
inokulasi intraperitoneal pada marmot muda. Dalam beberapa hari
dapat ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah
hewan ini mati (8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik pada banyak
organ (Sudoyo,2009).
3. Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan
atas pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test
merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid
screening. Pemeriksaan gold standart untuk mendeteksi antibodi
terhadap Leptospia interrogans yaitu Microscopic Agglutination
Test (MAT) yang menggunakan organisme hidup. Pada umumnya
tes aglutinasi tersebut tidak positif sampai minggu pertama sejak
terjadi infeksi, kadar puncak antibodi 3-4 minggu setelah onset
gejala dan menetap selama beberapa tahun, walaupun
konsentrasinya kemudian akan menurun.20 Tes MAT ini
mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi strain Leptospira pada manusia
dan hewan dan karena itu membutuhkan sejumlah strain (battery of
strains) Leptospira termasuk stock-culture, disamping sepasang

32
sera dari pasien dalam periode sakit akut dan 5-7 hari sesudahnya.
Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi serokonversi
berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau lebih
antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik
leptospirosis digunakan nilai ≥ 1:160) (Sudoyo,2009).
g. Tatalaksana
Antibiotik hendaknya diberikan pada semua pasien
leptospirosis pada fase penyakit mana pun. Pada kasus ringan obat
terpilih adalah doksisiklin.1 Obat alternatif adalah amoksisilin dan
azitromisin dihidrat. Pasien sakit berat hendaknya dirawat inap.
Antibiotik terpilih pada leptospirosis sedang-berat adalah penicillin G.
Obat alternatif di antaranya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson,
sefotaksim) dan azitromisin dihidrat parenteral. Antibiotik harus
diberikan selama 7 hari, kecuali azitromisin dihidrat selama 3 hari
Pada leptospirosis sedang berat, terapi suportif dengan perhatian pada
keseimbangan cairan dan elektrolit serta fungsi paru dan jantung
sangat penting (Sudoyo,2009).

Dosis antibiotik rekomendasi untuk leptospirosis

h. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi dari leptospirosis, diantaranya
adalah gagal ginjal akut (95% dari kasus), gagal hepar akut (72% dari
kasus), gangguan respirasi akut (38% dari kasus), gangguan

33
kardiovaskuler akut (33% dari kasus), dan pankreatitis akut (25% dari
kasus) (Sudoyo,2009).

7.3 Japanese encephalitis


a. Definisi
Japanese encephalitis adalah suatu penyakit yang menyerang
susunan saraf pusat (Otak, medulla spinalis dan meningen), yang
disebabkan oleh Japanese Encephalitis Virus yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk (Dirjen P2P Kemkes RI, 2007).
b. Epidemiologi
Japanese encephalitis merupakan penyakit virus yang
penyebarannya berkaitan erat dengan keadaan lingkungan, Penyakit ini
ditemukan hamper diseluruh wilayah Asia, dari Asia Timur yaitu
Jepang dan Korea, Asia Selatan seperti di India dan Srilangka, serta
Asia Tenggara termasuk seluruh kepulauan Indonesia, bahkan sampai
ke Negara bagian Northern Territory di Australia (Dirjen P2P Kemkes
RI, 2007).
c. Etiologi
Penyakit infeksi Japanese encephalitis virus termasuk
Arbovirosis (arthropod borne viral disease) yaitu penyakit yang
disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh Artropoda. Dalam
perjalanan penyakit Arbovirosis diperlukan reservoir dan vektor.
Japanese encephalitis Virus telah diisolasi dari sejumlah
spesies nyamuk dalam berbagai penelitian, antara lain Culex
tritaeniorrhynchus,Culex gelidus, Aedes curtipes, dan berbagai spesies
Anopheles dan Mansonia. Akan tetapi dibeberapa tempat Culex
tritaeniorrhynchus adalah yang paling kompeten dalam penyebaran
virus ini. Beberapa host lainnya adalah ternak, sapi, kambing, domba,
kuda, tikus, monyet, anjing dan kelelawar (Soedarmo, et al., 2010).

34
d. Patofisiologi
Setelah Culex yang infektif menggigit manusia yang rentan,
virus menuju sistem getah bening sekitar gigitan nyamuk (kelenjar
regional) dan berkembang biak, kemudian masuk ke peredaran
darah.Hal ini menimbulkan viremia pertama yang ringan dan
berlangsung sebentar, Melalui aliran darah, virus menyebar ke susunan
saraf pusat dan organ ekstraneural. Di dalam organ ekstraneural virus
berkembang biak. Virus yang dilepaskan dan masuk ke peredaran
darah menyebabkan viremia kedua yang bersamaan dengan
penyebaran infeksi ke jaringan dan menimbulkan gejala sistemik.
Bagaimana virus menembus sawar otak, masih belum diketahui
dengan pasti. Diduga setelah terjadinya viremia virus menembus dan
berkembang biak pada sel endotel vascular dengan cara endositosis,
sehingga dapat menembus sawar darah otak.. Setelah mencapai
jaringan susunan saraf pusat, virus berkembang biak dalam sel dengan
cepat pada reticulum endoplasma yang kasar serta badan golgi dan
setelah itu menghancurkannya. Akibatnya permeabilitas neuron, glia
dan endotel meningkat, dan cairan dapat masuk ke dalam sel dan
timbul edema sitotoksik. Edema sitotoksik inilah yang menimbulkan
klinis berupa ensefalitis.
Selain itu, virus juga dapat menimbulkan kerusakan jaringan
saraf karena pembentukan antibodi antivirus pada viremia kedua.
Antibodi bereksi dengan antigen dan membentuk kompleks antigen
antobodi yang beredar dalam darah dan susunan saraf pusat. Di dalam
susunan saraf pusat menimbulkan proses inflamasi dengan akibat
timbulnya edema, kemudian anoksia dan akhirnya kematian saraf
pusat yang luas (Soedarmo, et al., 2010).
e. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi bervariasi antara 4 sampai 14 hari.
Perkembangan gejala terbagi atas 4 stadium: prodromal, fase akut, fase
subakut, fase konvalesen. Pada kasus fatal, pasien dapat koma dan

35
meninggal. Gejala biasanya datang tiba-tiba, seperti nyeri kepala,
gangguan pernapasan, penurunan nafsu makan, mual, sakit perut,
muntah, kelainan saraf, termasuk gangguan jiwa. Gejala kerusakan
otak sehubungan dengan infeksi dapat berupa: kejang dan/atau
pergerakan abnormal, pergerakan bola mata yang tidak simetris,
refleks kornea negatif, pernapasan tidak teratur. Demam tidak terlalu
tinggi disertai gangguan pernapasan mungkin merupakan gejala klinis
Japanese encephalitis . Kejang dialami oleh 10-24 % penderita anak;
lebih sedikit pada dewasa. Gejala peningkatan tekanan intrakranial
mencakup nyeri kepala hebat, muntah, pupil tidak reaktif terhadap
cahaya, hemiplegia, bradikardia, dan hipertensi. Pada fase ini, biasanya
pemeriksaan cairan otak menunjukkan peningkatan leukosit.
Kemudian, tampak limfosit dominan. Albuminuria sering ditemukan.
a. Stadium prodormal
Terjadinya penyakit ini agak cepat. Stadium prodormal
berlangsung 2-3 hari. Dimulai dari keluhan sampai terserang
susunan saraf pusat. Gejala yang dominan adalah demam, nyeri
kepala dengan ato tanpa menggigil. Gejala lain seperti malaise,
anoreksia, keluhan traktus respiratorius seperti batuk, pilek, dan
keluhan traktus gastrointestinal seperti mual, muntah dan nyeri
sekita epigastrium. Nyeri kepala yang tidak hilang dengan obat
analgesik.
b. Stadium akut
Berlangsung 3-4 hari, ditandai dengan demam tinggi yang
tidak turun dengan obat antipiretik. Apabila selaput otak telah
terinfeksi dan membengkak maka akan timbul nyeri dan kekakuan
pada leher. Pasien mulai merasakan dalam dari pembengkakan
jaringan otak dan peningkatan intrakranial (gangguan koordinasi
dan keseimbangan, kelemahan otot, tremor, kekauan wajah, nyeri
kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran dari apatis dari koma).
Iritasi meningen berupa kaku kuduk.

36
Tanda klinis yang agak khas pada stadium ini adalah
terjadinya perubahan gejala susunan saraf pusat yang cepat,
misalnya hiperrefleksi diikuti dengan hiporefleksi. Status mental
pasien dapat bervariasi dari konfusi, delirium, disorientasi,
sedangkan kesadaran dapat menurun dari somnolen mengarah pada
koma. Bisa juga disertai oliguria, diare, dan bradikardi relative.
Pada stadium ini pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan
leukositosis yang pada awalnya didominasi sel polimorfonuklear,
tetapi setelah beberapa hari kemudian menjadi limfositosis. Sering
terjadi albuminuria. Apabila pasien dapat melalui stadium ini,
maka demam akan turun pada hari sakit ke-7 dan gejala-gejala
menghilang pada hari ke-14. Namun apabila demam tetap tinggi
maka gejala memburuk. Pada kasus fatal perjalanan penyakit
berlangsung cepat, Pasien mengalami koma dan meninggal dalam
waktu 10 hari.
c. Stadium sub akut
Gangguan susunan saraf pusat berkurang timbul gejala
pneumonia ortostatik, infeksi saluran kemih, dekubitus. Gangguan
saraf pusat dapat menetap seperti paralisis spastic, hipotrofi otot
akibat perawatan lama dan pemasangan urin kateter, fasikulasi,
gangguan saraf cranial dan gangguan ekstrapiramidal.
d. Stadium konvalesen
Stadium ini berlangsung lama ditandai dengan kelemahan,
letargi, gangguan koordinasi, tremor, dan neurosis. Berat badan
sangat menurun. Stadium ini dimulai saat menghilangnya inflamasi
yaitu saat demam mereda. Gejala neurologic bias menetap
cenderung membaik. Gejala sisa yang sering dijumpai iyalah
gangguan mental berupa emosi yang tidak stabil, paralisis upper
atau lower motor neuron (Jani, A.A, 2013).

37
f. Diagnosis
1) Anamnesis
Kecurigaan terhadap diagnosis Japanese encephalitis baru
ditegakkan berdasarkan anamnesis, yaitu dengan mengetahui
ternpat tinggal dan lingkungan yang berdekatan dengan petemakan
pada pasien yang datang dengan gejala dan tanda ensefalitis.
Kecurigaan juga bisa timbul bila saat itu di daerah tersebut sedang
mengalarni masa tanam padi atau baru memasuki musim
penghujan. Kemudian anak mengalami demam tinggi yang tidak
hilang dengan pemberian antipiretik analgesic, kadang disertai
kejang.
2) Pemeriksaan Fisik
- Keluhan awal berupa demam, nyeri kepala, kuduk kaku,
kesadaran menurun, gerakan abnormal (tremor kasar, kejang).
- Keluhan dan gejala yang timbul kernudian, yaitu sekitar hari
ke-3 -5, berupa kekakuan otot, koma pernapasan yang
abnormal, dehidrasi dan penurunan berat badan.
- Keluhan dan gejala lainnya seperti reflex tendon meningkat,
paresis, suara pelan dan parau. Pada tahun 1979, WHO
menetapkan beberapa criteria untuk menetapkan kasus
tersangka (probable) ensefalitis yaitu:
 Demam lebih dari 38C
 Gejala rangsang meningeal: kaku kuduk,opistotonus, tanda
Laseque, Kemig, Brudzinsky I & II )
 Gejala rangsang korteks: kejang, gerakan involunter
(korea,atetosis)
 Gangguan status mental dan kesadaran: mulai dari konfusi,
disorientasi, delirium, somnolen, sampai koma
 Gangguan saraf otak: terutama nervus IX dan X, berupa
suara pelan dan parau

38
 Gejala pirarnidal yaitu kelumpuhan dan ekstrapiramidal
yaitu kekakuan otot serta gerakan involunter
 Cairan otak jernih, protein positif kadar glukosa likuor
<100mg/dl
Saat ini WHO sedang menyusun definisi baru untuk
sindrom ensefalitis akut, yaitu seseorang, umur berapa saja, berada
dimana saja dan terjadi kapan saja sepanjang tahun, dengan tanda-
tanda :
- Demam akut,
- Perubahan status mental (seperti konfusi, disorientasi, ketidak
mampuan untuk bicara, koma), dan atau
- Serangan kejang baru, tidak termasuk kejang dernam sederhana
(yaitu Serangan kejang tunggal <15 menit dengan pemulihan
kesadaran dalam 60 menit pada usia 6 bulan sampai 5 tahun).
3) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah tepi lengkap dapat
ditemukan anemia dan leukositosis ringan dengan hitung
jenis sel polimorfonuklear lebih banyak daripada sel
mononuklear, trombositopenia ringan dan laju endap darah
meningkat. Kadar natrium serum dapat menurun karena
sekresi anti diuretik hormon yang tidak adekuat.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal
Pada perneriksaan cairan serebrospinal
menunjukkan jumlah sel 100 1000/ml yang pada awalnya
berupa sel polimorfonuklear, tetapi akan cepat berubah
menjadi sel mononuklear. Cairan serebrospinal jarang
mengandung virus, kecuali pada kasus-kasus berat dan
fatal. Kadar glukosa normal atau menurun, sedangkan
protein sedikit meningkat (50-100 mg%).

39
- Uji serologi
Adanya lebih dari satu flavivirus yang bersirkulasi
secara bersamaan dalam darah dengan antibodi yang dapat
bereaksi silang menimbulkan tantangan bagi uji serologi
untuk dapat mendeteksi JE, dan membedakannya dari
flavivirus yang lain. Sehubungan dengan hal itu uji serologi
JE yang ideal harus mernpunyai sensitivitas dan spesifisitas
tinggi. Uji diagnostik baku adalah pemeriksaan IgM
capture dengan cara ELISA (enzyme linked immune
sorbent assay) dari serum atau cairan serebrospinal,
mempunyai sensitivitas mendekati 100% bila kedua bahan
tersebut diperiksa. Tetapi bila dilakukan terlalu dini (pada
minggu pertama) dapat terjadi negatif palsu. Beberapa
reaksi silang dapat tirnbul Dari flavivirus lain (misalnya
dengue, virus West Nile) dan pasca vaksinasi Japanese
encephalitis serta demam kuning (yellow fever). Untuk
diagnosis di lapangan dilakukan pemeriksaan IgM dol
enzyme immunoassay untuk cairan serebrospinal dan
serum. Dibandingkan dengan ELISA cara ini memiliki
sensitivitas 98,3% dan spesifsitas 99,2%. Selain itu ada
beberapa uji serologi lain, misalnya :
 Uji immunofluorecent antibody (IFA) dengan
menggunakan petanda virus khusus dengan antibodi
manusia yang telah dilabel dengan bahan fluoresen,
dapat dipakai untuk rnenegakkan diagnosis.
 ELISA. Uji netralisasi serum dilakukan pada stadium
akut dan konvalesen, diperiksa IgM anti dengue, IgG
anti dengue, IgM anti Japanese encephalitis dan IgG
anti Japanese encephalitis. Hasil dikatakan positif jika
lebih besar dari 40 unit.

40
 Uji Immune adherence hemaglutination (IAHA)
menggunakan serum stadium akut dan konvalesen.
Apabila positif dijumpai kenaikan titer 4x
 Pemeriksaan HI (haemagiuttnation inhibition) dari
serum dan cairan serebrospinal, dilakukan pada stadium
akut dan konvalesen; positif apabila dijumpai kenaikan
titer lebih dari 4x, Kelebihan dari cara ini, adalah dapat
dilakukan dengan peralatan laboratorium sederhana,
reagen mudah didapat, serta biayanya relatif murah.
Kelemahan cara ini adalah tidak dapat membedakan JE
dari flavivirus lain seperti dengue dan virus West Nile.
b) Pemeriksaan konfirmasi
- Isolasi virus
Isolasi virus jarang didapat dari darah dan cairan
serebrospinal, tetapi lebih sering dari jaringan otak. Isolasi
dari darah dapat dilakukan selama stadium akut, sedangkan
dari cairan serebrospinali (CSS) dapat dilakukan pada
permulaan ensefalitis. Bila pada saat otopsi didapat
jaringan otak segar, maka Japanese encephalitis virus dapat
ditemukan cukup banyak pada kasus yang meninggal pada
minggu pertama sakit. Pada penelitian diambil spesimen
jaringan otak yang diinokulasi intra serebral pada mencit
yang baru lahir, kemudian diidentifikasikan dengan uji
serologi dengan anti serum yang telah diketahui. Isolasi
virus untuk kepentingan diagnostik kurang praktis.
Biasanya dikerjakan untuk kepentingan penelitian dan
pembuatan vaksin.
- Pemeriksaan RT~PCR (reverse transcriptase-
polymerasechan re-action)
Deteksi RNA virus JE dapat dilakukan dengan
menggunakan reverse transcriptase- pCR. Amplification

41
(RT•PCR). Pada metode ini terlebih dahulu dilakukan
transkripsi terbalik RNA sasaran menjadi DNA
komplemen, kemudian dilakukan amplifikasi, Dengan
menggunakan Oligonukleotida yang spesifik JE. Cara ini
dapat mendeteksi RNA virus JE dalam jumlah yang sangat
sedikit, namun metode ini sangat mahal serta memerlukan
teknik dan peralatan yang rumit. Deteksi RNA virus hanya
bermanfaat bila dilakukan pada fase viremia, karena bila
fase viremia telah berakhir maka RT~PCR akan
memberikan hasil negatif. Spesimen untuk pemeriksaan ini
bisa dari darah atau cairan serebro spinal dan dilakukan
pada minggu pertama masa sakit.
c) Pemeriksaan lain
- Pencitraan
Pencitraan susunan saraf pusat dapat mendukung
diagnosis. Pemeriksaan Magnetic Resonance imaging
(MRI) dan CT scan sering memperlihatkan adanya lesi
bilateral pada thalamus yang disertai perdarahan. Ganglia
basalis ,putamen, pons, medulla spinalis, dan serebelum
juga terlihat abnormal.
- Pemeriksaan histologi
Pada pemeriksaan histologi terdapat perubahan pada
talamus, substansia nigra ,batang otak, hipokampus,
serebelum, dan medulla spinalis, termasuk degenerasi fokal
saraf dengan proliferasi difus dan fokal microglia dan
perivascular lymphocytic cuffing (Soedarmo, et al., 2010).
g. Tatalaksana
Tidak ada pengobatan yang dapat menghentikan atau
memperlambat perjalanan penyakit JE. Pengobatan dilakukan secara
simtomatik dan suportif. Cairan diberikan untuk mengatasi dehidrasi

42
dan menjaga keseimbangan elektrolit, Sementara untuk mengatasi
demam dan nyeri diberikan analgetik dan antipiretik.
Perlu diperhatikan pemberian makanan (kalori), Pengawasan
jalan napas dan pengendalian kejang dengan antikonvulsan. Sampai
saat ini belum ada antiviral yang efektif. Bila perlu pasien dirawat
diunit perawatan intensif.
1. Awasi tanda-tanda vital
Secara rutin dan seksama diperiksa frekuensi nadi, volume
nadi, tekanan darah, frekuensi napas, dan keadaan kulit terutama
ekstremitas atas dan bawah. Bila terdapat tanda-tanda syok perlu
secepatnya diatasi, Tanda-tanda syok adalah:
- Nadi lemah dan cepat atau tidak teraba
- Turunnya tekanan darah
- Akral dingin
- Pengisian kembali pembuluh darah kapiler lambat > 3detik)
Pada keadaan demikian maka pasien harus segera diberi
cairan intravena larutan Ringer's lactate atau NaCl 0,9% 20ml /
kgBB secepat mungkin. Bila keadaan pasien belum membaik maka
pemberian dapat diulangi dan bila setelah 2x pemberian cairan
isotonic tetap belum ada perbaikan maka pasien diberi 10mg/kgBB
darah plasma atau cairan koloid.
Bila terjadi gagal napas,minimal kita harus melakukan
pernapasan buatan dan kalau memungkinkan dilakukan intubasi
endotrakeal kemudian pernapasan dibantu dengan ventilator
mekanik. Selama melakukan perawatan jalan napas dan perawatan
pernapasan pernberian oksigen sangat mutlak diperlukan.
2. Mengatasi kejang
Mengatasi kejang pada anak diberikan diazepam rektal
(supositoria) segera saat kejang berlangsung dengan dosis:
- 0,5-0,75mg/kgBB/kali atau

43
- 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun dan 7,5 mg untuk diatas
usia 3 tahun,
- 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 10kg.
Diazepam rektal maksimum diberikan 2 kali perhari. Hati-
hati dalam pernberian obat anti kejang, karena dapat terjadi depresi
pernapasan. Diazepam juga dapat diberikan dengan suntikan
intravena sebanyak 0,3-0,5mg/kgBB dengan kecepatan 0,5-1
mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum dosis habis, hentikan
penyuntikan. Pemberian diazepam dapat diberikan 2 kali dengan
jarak 5 menit bila anak masih kejang.
Bila setelah 2 kali pemberian anak masih kejang, berikan
fenitoin intravena sebanyak 15mg/kgBB dilarutkan dalam 50cc
NaCl 0,9%, perlahan-lahan selarna 20-30 menit. Bila masih kejang
anak harus dirawat di Ruang Rawat Intensif. Berikan fenobarbital
dan pasang ventilator bila perlu. Bila kejang telah teratasi, selama
fase akut pasien diberi fenitoin 3-5mg/kgBB dibagi 2-3dosis secara
intravena. Pernberian diazepam oral sebanyak 0,5mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis pada saat demam,dapat menurunkan risiko
berulangnya kejang. Sedangkan fenobarbital, karbamazepin dan
fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang
bila diberikan secara intermiten.1,8
Kadar Natrium plasma perlu diperiksa karena hiponatremia
dapat menjadi penyebab timbulnya kejang, bila kadar Natrium
mencapai < 125 mEq/1. Keadaan ini harus dikoreksi dengan
pemberian NaCI 3% (514mEq) secara intravena dengan dosis
5ml/kgBB selama 60 menit, atau menggunakan rurnus:
Kebutuhan NaCI 3% (ml)= (125-kadar Na plasma) x 0,6 x
BB : 0,514mEq Na/ml NaCI 3%
Kadar natrium plasma dipantau setiap 2 jam hingga
keadaan pasien stabil. Bila perlu kecepatan infuse disesuaikan agar

44
tujuan koreksi tercapai, yaitu hilangnya kejang dan tercapainya
kadar Natrium plasma 120-125 mEq/l dalam 24-48 jam. Pemberian
Natirum dihentikan bila:
 kejang telah berhenti,atau
 kadar natrium plasma meningkat 20-25 mEq/l, atau
 kadar natrium plasma telah mencapai 120-125 mEq/1.
Terutama pada saat serangan kejang, pasien diletakkan
pada posisi miring ke arah kanan dengan kepala yang lebih rendah
20° dari badan untuk menghindari terjadinya aspirasi lender atau
muntahan. Bebaskan jalan napas, pakaian dilonggarkan, bila perlu
dilepaskan. Hisap lendir atau bersihkan mulut dari lendir. Hindari
gigitan lidah dengan cara menaruh spatel lidah di antara gigi.
Demam harus segera dihentikan karena dapat menyulitkan
pengobatan kejang,yaitu dengan:
- Pemberian obat antipiretik seperti:
 parasetamol atau asetaminofen dengan dosis 10-15
mg/kgBB/kali diberikan 4 kali/hari
 ibuprofen dengan dosis 10 mg/kgBB/kali, diberikan
3kali/hari. Penggunaan asetosal pada anak harus dihindari
karena dapat menyebabkan sindrom Reye.
- Suportif, yaitu istirahat dan kompres hangat.
Aktivitas otot akan meningkatkan metabolism dan
selanjutnya akan menambah tinggi suhu tubuh, sehingga tinggi
rendahnya suhu tubuh antara lain sangat ditentukan oleh
aktivitas otot. Dengan demikian perlu istirahat untuk
mengurangi peningkatan suhu. Kompres hangat untuk
membantu pengeluaran panas terutama rnelalui paru dan kulit.
Konveksi dan penguapan air melalui kelenjar keringat.
3. Menurunkan tekanan intrakranial
Menurunkan tekanan intrakranial diberikan manitol. Obat
ini dapat menarik cairan ekstravaskular ke dalam pembuluh darah

45
otak. Manitol diberikan bila pasien mengalami penurunan
kesadaran yang cepat atau koma. Status kesadaran juga harus
dipantau selama pemberian manitol. Cara pemberian manitol
adalah sebagai berikut:
- Dosis awal diberikan untuk mendapatkan fungsi ginjal yang
adekuat, yaitu 200 mg/kgBB intravena selama 3-5 menit, pada
anak akan menghasilkan produksi urin 1 ml/lkgBB/jam setelah
1-3 jam.
- Setelah fungsi ginjal adekuat lanjutkan dengan:
 Anak < 12tahun:0,25-1mg/kgBB intravena (larutan20.%)
selama 10-30 menit dapat diulang tiap 4-6jam
 Anak > 12 tahun:1,5-2mg/kgBB intravena (larutan 15%,
20.%, 25%) selama 1 jam
Kondisi kardiovaskular harus dievaluasi secara cermat
sebelum pernberian manitol, karena peningkatan cairan ekstra
selular secara tiba-tiba dapat menyebabkan gagal jantung.
Terjadinya pseudoaglutinasi dicegah dengan menambahkan 20
mEq NaCI pada setiap liter larutan manitol bila pada saat yang
bersamaan dilakukan transfusi darah. Pemberian steroid masih
kontroversial. Pada pasien yang dalam keadaan koma steroid tidak
terbukti bermanfaat, tapi bila penurunan kesadaran masih ringan
maka pemberian steroid menunjukkan hasil yang cukup baik.
Dosis deksametason 1 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
Diberikan dalam beberapa hari.
4. Mempertahankan fungsi metabolisme otak
Mernpertahankan fungsi metabolisme otak dilakukan
dengan pemberian cairan yang mengandung glukosa 10%,
sehingga kadar gula darah menjadi normal, yaitu 100-150 mg/dl.
Sebagai rumatan diberikan cairan glukosa 5% dalam NaCl 0,45%.
Bila kadar Natrium plasma <135mEq/1 dipakai NaCI 0,9%.

46
Hindari peningkatan metabolism otak dengan jalan mencegah,
sehingga tidak sampai terjadi hipertermia dan serangan kejang.
5. Pemberian antibiotik
Antibiotik harus diberikan bila terdapat infeksi sekunder,
seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, dan dekubitus Pemilihan
antibiotik sebaiknya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi,
karena infeksi sekunder merupakan infeksi nosokomial yang sering
kali kuman penyebabnya sudah resisten terhadap antibiotic yang
biasa digunakan. Maka pada umumnya dipakai golongan
sefalosporin. Untuk infeksi saluran kemih umunnya sefalosporin
generasi pertama masih cukup ampuh, akan tetapi untuk
pneumonia ortostatik diperlukan sefalosporin generasi ketiga
(Soedarmo, et al., 2010).
h. Prognosis
1. 1.Umur, pada anak kecil akan lebih sering didapatkan gejala sisa
dan lebih banyak ragamnya, dibandingkan pada anak yang lebih
besar
2. Berat ringannya gejala klinis pada stadium akut akan
mempengaruhi gejala sisa yang timbul kemudian. Demam tiuggi
yang berlangsung lama, kejang yang hebat dan sering, depresi
pernapasan yang timbul dini akan mengakibatkan buruknya
prognosis. Manifestasi gejala sisa dapat berupa gangguan mental,
emosi yang labil, koreoatetosis, parkinson, tremor, gangguan
bicara, paresis, posisi deserebrasi, skizoprenia, paralisis, dan
retardasi mental.
3. Hasil perneriksaan cairan serebrospinal. Kadar protein yang tinggi
mernberi prognosis yang kurang baik.
4. Prognosis yang buruk dapat diprediksi dengan adanya stadium
prodromal yang singkat, koma yang dalam, gangguan pernapasan,
dan posisi tubuh deserebrasi. Antibodi spesifik Japanese

47
encephalitis, yang dihasilkan oleh infeksi diduga akan bertahan
seumur hidup (IDAI, 2006).

7.4 Chikungunya
a. Definisi
Demam chikungunya adalah suatu peyakit infeksi virus akut
yang ditandai dengan sekumpulan gejala yang mirip dengan gejala
infeksi virus dengue, yaitu demam mendadak, artralgia, ruam
maculopapular dan leukopenia (Soedarmo, 2010).
b. Epidemiologi
Chikungunya tersebar di daerah tropis dan subtropis yang
berpenduduk padat seperti Afrika, India dan Asia tenggara. Di Afrika,
virus ini dilaporkan menyerang di Zimbabwe, Kongo, Kenya dan
Uganda. Pertama kali terjadi di Tanzania pada tahun 1952, negara
selanjutnya yang terserang adalah Thailand pada tahun 1958;
Kamboja, Vietnam, Srilanka dan India pada tahun 1964, 2006 di
Pakistan serta tahun 2007 di Kerala, India yang menyerang sekitar
7000 penderita. Di Indonesia, Chikungunya pertama kali dilaporkan
pada tahun 1973 yang terjadi di Samarinda, selanjutnya di Kuala
Tungkal (Jambi) tahun 1980 dan di Martapura, Ternate serta
Yogyakarta tahun 1983. Kejadian Luar Biasa (KLB) demam
Chikungunya di Bogor, Bekasi, Purworejo dan Klanten pada tahun
2002. Lokasi penyebaran penyakit ini tidak jauh berbeda dengan
demam berdarah Dengue karena vektornya sama yaitu nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus (Widoyono, 2011).
c. Etiologi
Virus chikungunya termasuk genus alphavirus, dan family
Togaviridae, yang dibuktikan dengan menggunakan tes antigenic
hemaglutinasi inhibisi (HI) dan complemen fixation (CF) test
(Soedarmo, 2010).

48
d. Manifestasi Klinis
Gejala klinis demam Chik mempunyai spektrum yang luas
mulai dari demam ringan sampai demam disertai artralgia dan atau
perdarahan. Demam tinggi biasanya berlangsung 1 – 3 hari. Penelitian
menunjukkan gejala demam Chik telah menyebabkan epidemi dari
penyakit yang menyerupai Dengue (Den-like diseases) di India,
Kamboja, Thailand dan Singapura. Hal ini menunjukkan gejala klinis
saja tidak cukup untuk mendukung bukti infeksi Chik (Soedarmo,
2010).
Pada manusia virus Chik menyebabkan sakit setelah 48 jam
digigit nyamuk. Masa inkubasi virus Chik antara 2-3 hari (1-12 hari).
Pada anak dimulai dengan demam yang terjadi secara akut diikuti
dengan nyeri kepala, mialgia dan artralgia, yang melibatkan beberapa
sendi-sendi kecil pada jari-jari tangan, pergelangan tangan dan kaki
meningkat dengan aktivitas dan berkurang/menghilang saat istirahat.
Artralgia biasanya sembuh dalam 1 minggu setelah dimulai, namun
dapat menetap sampai beberapa minggu. Saat muncul ruam
makulopapular biasanya diikuti dengan limfadenopati. Nyeri kepala,
nyeri retro orbital, anoreksia, mual dan muntah, nyeri perut dan gejala
umum lain yang muncul pada infeksi virus mungkin terjadi namun
tidak dalam bentuk yang berat. Ruam yang terjadi seringkali sulit
dibedakan dengan ruam pada infeksi Dengue. Tetapi pada
Chikungunya tidak pernah dilaporkan kejadian hematemesis melena
dan syok (Soedarmo, 2010).
e. Diagnosis
Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan uji laboratorium tetapi
infeksi CHIK sudah harus dipikirkan bilamana terjadi wabah penyakit
dengan tiga gejala (trias) utama yaitu demam, adanya ruam (rash) dan
manifestasi reumatik. Isolasi virus dapat dilakukan dengan inokulasi
sel biakan nyamuk (mosquito cell culture), menyuntik nyamuk dengan
sera penderita, inokulasi sel biakan mamalia atau mencit (suckling

49
mice). Viremia terjadi pada 48 jam pertama dari infeksi dan dapat
dideteksi sampai hari keempat. Antibodi IgM dapat dideteksi dengan
menggunakan metode ELISA pada penderita yang telah sembuh dari
infeksi CHIK dan akan menetap dalam kadar yang cukup tinggi
selama 6 bulan. Antibodi hambatan hemaglutinasi (haemagglutination
inhibition antibodies) timbul sejalan dengan menurunnya viremia dan
semua penderita akan memperlihatkan hasil positif pada hari ke-5 dan
ke-7 masa sakitnya (Kamath, 2006).
f. Tatalaksana
Sampai saat ini belum ada vaksin atau antiviral yang spesifik
untuk CHIK. Pengobatan masih bersifat simtomatik seperti istirahat,
pemberian cairan untuk mempertahankan keseimbangan cairan, obat-
obat untuk menurunkan panas badan (antipiretik). Istirahat dianjurkan
selama terdapat gejala sendi akut. Setelah lewat masa akut, dapat
diberikan aspirin untuk nyeri sendi. Pada arthritis yang tidak dapat
diobati dengan aspirin, klorokuin fosfat (250 mg/hari) memberikan
hasil yang cukup menjanjikan. Beberapa studi menunjukkan bahwa
klorokuin fosfat memiliki efek antiviral terhadap virus CHIK, namun
belum konklusif. Masih dibutuhkan banyak penelitian sebelum dapat
dipastikan mengenai aktivitas antiviral tersebut (Center for disease
control and prevention, 2006).
g. Pencegahan
1. Hindari gigitan nyamuk
2. Membersihkan, menutup atau membuang tempat-tempat yang
berpotensial menjadi genangan air
3. Menguras bak/tempat penampung air secara berkala
4. Menggunakan pakaian dan celana panjang
5. Mengoleskan repellent pada kulit
(Soedarmo, 2010).
h. Prognosis

50
Infeksi virus chikungunya biasanya tidak fatal dan jarang
menyebabkan kematian. Jarang dilaporkan secara eksklusif mengenai
kejadian kematian, invasi ke susunan saraf pusat dan kasus-kasus
perdarahan berat pada demam chikungunya (Soedarmo, 2010).

7.5 DHF

7.6 Poliomyelitis
a. Etiologi
Virus poliomyelitis (virus RNA) tergolong dalam genus
enterovirus dan famili picornaviridae, mempunyai 3 strain yaitu tipe 1
(Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon). Infeksi dapat terjadi
oleh satu atau lebih dari tipe virus tersebut. Epidemi yang luas dan
ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe 1. Imunitas yang diperoleh
setelah terinfeksi maupun imunisasi bersifat seumur hidup dari spesifik
untuk satu tipe (Marc Laforce F, 1984).
b. Epidemiologi
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia. Manusia merupakan
satu-satunya reservoir penyakit Poliomielitis. Di negara yang
mempunyai 4 musim, penyakit ini lebih sering terjadi di musim panas,
sedangkan di negara tropis musim tidak berpengaruh. Penyebaran
penyakit ini terutama melalui cara fecal-oral walaupun penyebaran
melalui saluran nafas dapat juga terjadi.
Sebelum tahun 1880 penyakit ini sering terjadi secara sporadis,
dimana epidemi yang pertama sekali dilaporkan dari Scandinavia dan
Eropah Barat, kemudian Amerika Serikat (Marc Laforce F, 1984).
Pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an epidemi
Poliomielitis secara teratur ditemukan di Amerika Serikat dengan
15.000 - 21.000 kasus kelumpuhan setiap tahunnya. Pada tahun 1920,
90% kasus terjadi pada anak <5 tahun, sedangkan di awal tahun

51
1950an, kejadian tertinggi adalah pada usia 5-9 tahun; bahkan
belakangan ini lebih dari sepertiga kasus terjadi pada usia > 15 tahun.
Sejak dipergunakannya vaksin ada tahun 1955 dan 1962, secara
dramatis terjadi penurunan jumlah kasus di negara maju. Di Amerika
Serikat angka kejadian turun dari 17.6 kasus Poliomielitis per
100.000 penduduk di tahun 1955 menjadi 0.4 kasus per 100.000 di
tahun 1962. Sejak tahun 1972, kejadiannya <0,01 kasus per
100.000 atau 10 kasus per tahun.
c. Patogenesis
Bila tertelan virus yang virulen, maka akan terjadi multiplikasi
di orofaring dan mukosa usus (Peyer's patches). lnvasi sistemik
terjadi melalui sistem limfatik dan kemudian darah.
Kira-kira 7-10 hari setelah tertelan virus, kemudian terjadi
penyebaran, termasuk ke susunan syaraf pusat. Penyebaran virus
polio melalui syaraf belum jelas diketahui. Penyakit yang ringan
("minor illness”) terjadi pada saat viremia, yaitu kira- kira hari
ketujuh, sedangan major illness ditemukan bila konsentrasi virus di
susunan syaraf pusat mencapai puncaknya yaitu pada hari ke-12
sampai 14 (Marc Laforce F, 1984).
d. Gambaran klinik
Masa inkubasi penyakit ini berkisar anatara 9 - 12 hari, tetapi
kadang-kadang 3 - 35 hari. Gambaran klinis yang terjadi sangat
bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai dengan yang paling
berat, yaitu :
1. Infeksi tanpa gejala (asymptomatic, silent, anapparent)
Kejadian infeksi yang asimptomatik ini sulit diketahui,
tetapi biasanya cukup tinggi terutama di daerah-daerah yang
standar higine-nya jelek. Pada suatu epidemi diperkirakan terdapat
pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap
penyakit tersebut. Bayi baru lahir mula-mula terlindungi karena
adanya antibodi maternal yang kemudian akan menghilang setelah

52
usia 6 bulan. Penyakit ini hanya diketahui dengan menemukan
virus di tinja atau meningginya titer antibody (Marc Laforce F,
1984).
2. Infeksi abortif
Kejadiannya di perkirakan 4-8% dari jumlah penduduk
pada suatu epidemi. Tidak dijumpai gejala khas Poliomielitis.
Timbul mendadak dan berlangsung 1-3 hari dengan gejala "minor
illnesss" seperti demam bisa sampai 39.5 C, malaise, nyeri kepala,
sakit tenggorok, anoreksia, filial, muntah, nyeri otot dan perut serta
kadang-kadang diare.
Penyakit ini sukar dibedakan dengan penyakit virus
lainnya, hanya dapat diduga bila terjadi epidemi. Diagnosa pasti
hanya dengan menemukan virus pada biakan jaringan (Marc
Laforce F, 1984) .
e. Pemeriksaan Penunjang
Virus polio dapat di isolasi dan dibiakkan dari bahan hapusan
tenggorok pada minggu pertama penyakit, dan dari tinja sampai
beberapa minggu. Berbeda dengan enterovirus lainnya, virus polio
jarang dapat di isolasi dari cairan serebrospinalis. Bila pemeriksaan
isolasi virus tidak mungkin dapat dilakukan, maka dipakai
pemeriksaan serologi berupa tes netralisasi dengan memakai serum
pada fase akut dan konvalesen. Dikatakan positip bila ada kenaikan
titer 4 kali atau lebih. Tes netralisasi sangat spesifik dan bermanfaat
untuk menegakkan diagnosa Poliomielitis. Selain itu bisa juga
dilakukan pemeriksaan CF (Complement Fixation), tetapi ditemukan
reaksi silang diantara ketiga tipe virus ini (Marc Laforce F, 1984).
Pemeriksaan likuor serebrospinalis akan menunjukkan
pleiositosis biasanya kurang dari 500/mm3, pada permulaan lebih
banyak polimorfonukleus dari limfosit, tetapi kemudian segera
berubah menjadi limfosit yang lebih dominan. Sesudah 10-14 hari
jumlah sel akan normal kembali. Pada stadium awal kadar protein

53
normal, kemudian pada minggu kedua dapat naik sampai 100 mg%,
dengan jumlah set menurun sehingga disebut dissociation
cytoalbuminique, dan kembali mencapai normal dalam 4-6 minggu.
Glukosa normal. Pada pemeriksaan darah tepi dalam batas normal dan
pada urin terlihat gambaran yang bervariasi dan bisa ditemukan
albuminuria ringan (Marc Laforce F, 1984).
f. Tatalaksana
Tidak ada pengobatan spesifik terhadap Poliomielitis.
Antibiotika dan vitamin tidak mempunyai efek. Penatalaksanaan
adalah simptomatis daft suportif. lnfeksi tanpa gejala : istirahat
Infeksi abortif : Istirahat sampai beberapa hari setelah
temperatur normal. Kalau perlu dapat diberikan analgetik, sedatif.
Jangan melakukan aktivitas selama 2 minggu. 2 bulan kemudian
dilakukan pemeriksaan neuro-muskuloskletal untuk mengetahui
adanya kelainan(Marc Laforce F, 1984).
Non Paralitik: Sama dengan tipe abortif Pemberian analgetik
sangat efektip bila diberikan bersamaan dengan pembalut hangat
selama 15-30 menit setiap 2-4 jam dan kadang-kadang mandi air panas
juga dapat membantu. Sebaiknya diberikan foot board, papan penahan
pada telapak kaki, yaitu agar kaki terletak pada sudut yang sesuai
terhadap tungkai. Fisioterapi dilakukan 3-4 hari setelah demam hilang.
Fisioterapi bukan mencegah atrofi otot yang timbul sebagai akibat
denervasi sel kornu anterior, tetapi dapat mengurangi deformitas yang
terjadi (Marc Laforce F, 1984).
Paralitik: Harus dirawat di rumah sakit karena sewaktu-waktu
dapat terjadi paralisis pernafasan, dan untuk ini harus diberikan
pernafasan mekanis. Bila rasa sakit telah hilang dapat dilakukan
fisioterapi pasip dengan menggerakkan kaki/tangan. Jika terjadi
paralisis kandung kemih maka diberikan stimulan parasimpatetik
seperti bethanechol (Urecholine) 5-10 mg oral atau 2.5-5 mg/SK (Marc
Laforce F, 1984).

54
g. Prognosis
Bergantung kepada beratnya penyakit. Pada bentuk paralitik
bergantung pada bagian yang terkena. Prognosis jelek pada bentuk
bulbar, kematian biasanya karena kegagalan fungsi pusat pernafasan
atau infeksi sekunder pada jalan nafas. Data dari negara berkembang
menunjukkan bahwa 9% anak meninggal pada fase akut, 15%
sembuh sempurna dan 75% mempunyai deformitas yang permanen
seperti kontraktur terutama sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi
yang kurang sempurna, sehingga mudah terjadi ulserasi. Pada
keadaan ini diberikan pengobatan secara ortopedik (Marc Laforce F,
1984).
h. Pencegahan
Imunisasi aktif.

55
BAB VIII
PENUTUP

8.1 Kesimpulan
Penyakit tropis merupakan penyakit yang berada didaerah tropis.
Penyakit tropis yang paling mendekati pada sekenario adalah rabies. Rabies
adalah penyakit infeksi virus yang berlangsung akut dan menyerang susunan
saraf pusat yang disebabkan oleh rabiesvirus yang berasal dari family
Rhabdovirus. Penyebaran bisa terjadi kebanyakan dari hewan anjing melalui
gigitan hewan penderita tersebut atau kontak langsung dengan air liur dari
hewan yang menderita rabies. Gejala yang akan timbul pada manusia adalah
sensasi dingin atau kesemutan di tempat gigitan, tidak enak badan, sakit
kepala, anoreksia, mual, sakit tenggorokan, rasa gugup/keresahan,
hiperestesia, fotofobia, takut terhadap air dan sensitive terhadap suara keras.
8.2 Saran
1. Mahasiswa harus dapat menggali informasi dan mendapatkan informasi
sebanyak–banyaknya dengan referensi yang sesuai.
2. Mahasiswa dapat lebih aktif dalam mengemukakan pendapatnya.

39
DAFTAR PUSTAKA

Betz, L.C. & Sowden, A.L. (2002). Keperawatan Pediatric. Jakarta: EGC
CDC. (2015). Japanese Encephalitis. available from
http://www.cdc.gov/japaneseencephalitis/transmission/index.html
updated: August 5, 2015
CDC. 2011. Rabies. National Center for Emerging and Zoonotic Infectious
Diseases (NCEZID) Division of High-Consequence Pathogens and
Pathology (DHCPP). http://www.cdc.gov/rabies/index.html.
Center for disease control and prevention. (2006). Chikungunya fever diagnosed
among internatriomal travelers -United States 2005-2006. Morb Mortal
Wkly Rep; 55:1040-2.
Day NPJ, Edwards CN. (2010). Leptospirosis. In: Cohen J, Opal SM, Powderly
WG, editors. Infectious diseases. 3rd ed. London: Mosby Elsevier; p.
1241-2.
Departemen Kesehatan RI. (2000). Petunjuk Pemberantasan Rabies di Indonesia.
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral PPM & PPM.
Dinarello, C.A., and Gelfand, J.A., (2005). Fever and Hyperthermia. In: Kasper,
D.L., et. al., ed. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed.
Singapore: The McGraw-Hill Company.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan R.I. (2007). Pedoman Tatalaksana Kasus dan
Pemeriksaan Laboratorium Japanese Encephalitis di Rumah Sakit.
Jakarta: RSPI Sulianti Saroso.
Dorland, W. N. (2008). Kamus Saku Kedokteran Dorland. 28 Ed Jakarta:
Elsevier.
Ganong, William F. (2010). Patofisiologi Penyakit Pengantar Menuju Kedokteran
Klinis Edisi 5. Jakarta: EGC.
Gulati S, Gulati A. (2012). Pulmonary manifestations of leptospirosis. Lung
India;29:347-53.
Hadi H. Suharto. Rabies. Dalam: Nasronudin dkk. (2007). Penyakit Infeksi di
Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press.

39
IDAI. (2006). Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI.
Jani AA. (2013). Japanese Encephalitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/233802-overview. Update: Jul 01.
Kamath S, Das AK, Parikh FS. (2006). Chikungunya. J Assoc Physicians India;
54: 725-6.
Marc LaForce, F; Ravenscroft, N; Djingarey, M; Viviani, S. (2009). Epidemic
meningitis due to Group A Neisseria meningitidis in the African
meningitis belt: a persistent problem with an imminent solution.". Vaccine.
27 Suppl 2: B13–9. doi:10.1016/j.vaccine.2009.04.062. PMID 19477559
Sjahrir H. (2008). Patofisiologi nyeri kepala. In: Nyeri kepala dan vertigo.
Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press
Soedarmo, S. S. P. (2010). Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi II. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (2009). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Sudoyo, et al. (2014). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing
Suryani. (2013). Proses Terjadinya Halusinasi: Sebagaimana Diungkap oleh
Penderita Skizofrenia. Jurnal Keperawatan Padjajaran.
Tanzil, Kunadi. (2014). Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya. E-Journal
WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan. Volume 1, Nomor 1.
Tarwaka. (2008). Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Manajemen dan
implementasi K3 di tempat kerja. Surakarta: Harapan Press.
Triakoso, N. (2008). Bahan Ajar Ilmu Penyakit Bahan Ajar Ilmu Penyakit dalam
Penyakit Sistem Penyakit Sistem Digesti Veteriner Ii. Surabaya: FKH
Airlangga.
Widoyono. (2011). Chikungunya. Dalam : Penyakit Tropis,epidemiologi,
penularan, pencegahan dan pemberantasannya. Edisi ke-2. Jakarta:
Erlangga.

39

Anda mungkin juga menyukai