Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

Status Epileptikus

Oleh :

Zaki Ahmad Hakiqi

(2015730137)

Pembimbing :

Dr. Ommy Ariansih, Sp.A (K)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU


KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2019
BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. I

Ruang Perawatan : Badar

Usia : 11 Bulan 7 hari

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jakarta

Tanggal MRS : 8 Mei 2019

No. Kamar :5

No.RM : 01 00 xx xx

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Kejang tanpa disertai demam

Keluhan Tambahan :

Tidak ada

Riwayat Penyakit Sekarang :

Os Datang dengan kejang tanpa demam dari jam 1 malam sampai dengan jam 3 malam,
kejang hanya berjeda 5 menit kemudian kejang lagi dan berulang, saat kejang badan
kaku tetapi masih menangis

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pernah dirawat 1 bulan yang lalu, diagnosis epilepsi


Riwayat Penyakit Keluarga :

Dikeluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama

Riwayat Pengobatan :

Pengobatan epilepsi depakene 2 ml setiap pagi (Asam Valporat).

Riwayat Kehamilan :

Ibu pasien rutin ANC ke dokter, selama hamil tidak pernah terkena infeksi dan sakit

Riwayat Persalinan :

• An. Lahir dengan persalinan normal pervaginam 38 minggu,


• BB lahir = 3200 gram
• PB lahir = 47 cm
• Riwayat kuning (-)
• Kesan = NCB-SMK (neonates cukup bulan sesuai masa kehamilan).

Riwayat Imunisasi :

Kesan: Imunisasi pentabio ke 3 belum diberikan.


Riwayat Tumbang: Sesuai usia

 Tengkurap : belum bisa (3-6 bulan)


 Duduk : belum bisa (6-9 bulan)
 Berdiri : belum bisa (9-12 bulan)
 Bicara : belum bisa (9-12 bulan)
 Berjalan : belum bisa (12-18 bulan)

Riwayat Alergi :
Tidak ada alergi obat, makanan, cuaca, maupun debu

Riwayat Psikososial :

Pasien tinggal bersama kedua orangtua

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Composmentis (GCS : 15)

Status gizi :

 BB = 6,2 kg
 TB = 72 cm
Status Gizi :
BB Aktual
-------------------- x 100%
BB ideal
6,2
--------------------- x 100% = 72,9 %
8,5
Kesan : Gizi Kurang
TANDA VITAL :

 Nadi = 110 x/menit, regular, kuat angkat


 Pernapasan = 24 x/menit
 Suhu = 36,5 oC

STATUS GENERALIS :

Wajah : Simetris, Edema (-), Luka (-), Pucat (-)

Rambut : Rontok (-), Mudah dicabut (-), Warna hitam

Kepala : Normocephal, Ubun-ubun sudah tertutup & Tidak cekung,

Nyeri (-)

Mata : Cekung (-/-), Kering (-/-), Konjungtiva anemis (-/-),

Sklera ikterik (-/-), Edema palpebral (-/-),

Refleks cahaya (+/+), sekret/belek hijau (-/-)

Hidung : Pernapasan cuping hidung (-/-), Sekret (-/-),

Epistaksis (-/-)

Telinga : Normotia, Sekret (-/-)

Mulut : Stomatitis (-), Pendarahan gusi (-), Caries Gigi (-)

Tenggorok : Faring hiperemis (-), Tonsil (T1/ T1) permukaan licin

Bibir : Mukosa bibir lembab

Lidah : Lidah kotor (-), Lidah tremor (-)

Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-)


THORAX

Paru-Paru

 Inspeksi : Normochest, simetris kanan kiri, retraksi dinding


dada (-)
 Palpasi : Vokal fremitus simetris kanan kiri
 Perkusi : Sonor kedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung

 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat


 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 4 midclavicula sinistra
 Perkusi : Batas atas = ICS 2 parasternal dextra
Batas kanan = ICS 4 parasternal dextra

Batas kiri : ICS 5 midklavikula sinistra

 Auskultasi : BJ I & II regular, gallop (-), murmur (-)

ABDOMEN

 Inspeksi : distensi (-)


 Auskultasi : Bising usus normal
 Palpasi : Nyeri tekan (-), turgor kembali cepat
 Perkusi : Timpani

LIMPA : Splenomegali (-)

HEPAR : Hepatomegali (-)

EXTREMITAS : Atas Bawah

Akral : hangat hangat

Edema : -/- -/-

Sianosis : -/- -/-

RCT : <2 detik <2 detik


KELENJAR LIMFA : Limfadenopati (-/-)

ANUS DAN REKTUM : Tanda peradangan (-), perdarahan (-)

GENITALIA : Tanda peradangan (-)

KULIT :

Warna : Pucat (-), sianosis (-)


Turgor : Kembali cepat
Scar BCG : (+)
Peteki / ekimosis : (-)
Efloresensi : (-)

STATUS NEUROLOGIS

 R. Fisiologis : Bisep (+/+), Trisep (+/+), Patella (+/+), Achilles (+/+)


 R. Patologis : Babinski (-/-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Darah Rutin

1.4 Pemeriksaan Penunjang

Tanggal: 1 November Nilai Nilai Normal Satuan


2017
Hemoglobin 11,6 10,7 – 13.1 gr/dL
Leukosit 11,58 35-43 103/ µl
Trombosit 440 229-553 103/µL
Hematokrit 35% 35 – 45 %
Eritrosit 4,17 3,60-5,20 106/ µL
Elektrolit dan Radiologi

Elektrolit
Natrium (Na) darah 135 mEq/L 135-147
Kalium (K) darah 4.4 mEq/L 3.5-5.0

Klorida (Cl) darah 101 mEq/L 94-111

E. RESUME

Seorang anak perempuan usia 11 bulan 7 hari, dengan berat badan 6,7 kg
datang dengan kejang tanpa demam dari jam 1 malam sampai dengan jam 3 malam,
kejang hanya berjeda 5 menit kemudian kejang lagi dan berulang, saat kejang badan
kaku tetapi masih menangis, pernah dirawat 1 bulan yang lalu diagnosis epilepsi.
Tidak ada riwayat keluarga epilepsi. Penggunaan obat depaken 5 ml setiap pagi.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit ringan,


kesadaran composmentis, nadi : 114 x/menit reguler dan kuat angkat, pernapasan :
24 x/menit, suhu : 36 oC, dengan berat badan sangat kurang. Hasil pemeriksaan
hematologi rutin dan Na, K, dan Cl dalam batas normal.
G. DIAGNOSA :

 Diagnosis Klinis : Status epileptikus + Gizi kurang + Microcephali

 Diagnosis Banding : Kejang Demam

 Diagnosis Gizi : Gizi kurang

 Diagnosis Imunisasi : Imunisasi belum lengkap, untuk usia nya kurang


DPT terakhir

 Diagnosis Perkembangan : Pertumbuhan dan perkembangan Terlambat

H. TERAPI

IGD :

• Stesolid Supposituria 5 mg (diazepam)

• Fenitoin 20mg/kg IV Diencerkan dalam 50 ml NaCl 0,9% selama 20 menit


(2mg/kg/menit)

Bangsal :

Oral :
• Luminal 2 x 1 (fenobarbital)
• Depaken 2 x 2 ml (asam valproat)

Injeksi:
• Kutoin(fenitoin)
12 jam selanjutnya 2 x 15 mg, setelah pemberian Fenitoin dari IGD

Infus:
• RL 6 tpm
I. Follow Up

Tanggal S O A P

08/5/2019 Keadaan KU: sakit Status Oral :


membaik, ringan epileptikus +
Jam 06.00 Luminal 2 x 1
tidak ada Kesadaran : status gizi
Depaken 2 x 2
kejang CM kurang +
ml
S: 36,5 microcephal
RR : 24 Injeksi:
HR : 114 Kutoin setiap
12 jam
2 x 15 mg
(fenitoin)

Infus
RL 6 tpm

09/5/2019 Tidak ada KU: Baik Status Therapi


kejang Kesadaran : epileptikus + dilanjutkan
Jam 06.00
berulang CM status gizi
S : 36,7 buruk +
RR : 24 microcephal
HR : 105
Klinis
membaik

09/5/2019 Pasien - - Depaken 2 x 2


pulang ml (asam
valproat)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Status Epileptikus

Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status


epileptikus (SE) karena International League Againts Epilepsy (ILAE) hanya
menyatakan bahwa SE adalah kejang yang berlangsung terus menerus selama
periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara
kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut adalah batasan lama kejang
tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan
batasan waktunya adalah selama 30 menit.

Epidemiologi

Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10-58 per 100.000 anak. Status
epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1
tahun dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.

Etiologi

Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi :

1. Simtomatis: penyebab diketahui


a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit,
trauma kepala, perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati
hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak
kongenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun
(contohnya vaskulitis)
d. Epilepsi

2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui

Faktor risiko

Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status


epileptikus:

1. Epilepsi Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali
episode status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat
merupakan manifestasi epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.

2. Pasien sakit kritis Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI),


trauma kepala, infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan
(terutama post-operatif), dan ensefalopati hipertensi.

Patofisiologi

Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi


penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan
dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter
eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter
inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid (GABA).

Tata laksana

Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC)


harus dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat
serta dosis anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi.
Berikut ini adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus
berdasarkan Konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Keterangan:

Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2
mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.

Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan


kecepatan yang sama

Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai


dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang
jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal
berdasarkan kelompok usia;

• 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)


• 5 mg (usia 1 – 5 tahun)

• 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)

• 10 mg (usia ≥ 10 tahun)

Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara
bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas
kejang.

Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun


disesuaikan dengan kondisi rumah sakit

Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam
keadaan tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV
dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan.
EPILEPSI

Definisi

Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan


tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.Terjadi dua atau
lebih bangkitan kejang tanpa provokasi yang dipisahkan oleh interval lebih dari 24
jam yang bersifal lokal/parsial maupun general/umum.

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International


Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposis yang dapat mencetuskan
kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, dan psikologis dan adanya
konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu
riwayat kejang epilepsi sebelumnya.

Epidemiologi

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi,
sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100.000, sementara di negara berkembang mencapai
100/100.000.

Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan


pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibanding
kan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun
(262/100.000 kasus) dan usia lanjut diatas 65 tahun (81/100.000 kasus). Menurut
Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada usia 1
bulan sampai 16 tahun berkisar 40/100.000 kasus.
Etiologi

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

1. Epilepsi idiopatik
Penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi anak dan
umumnya mempunyai predisposis genetik, awitan biasanya pada usia >3 tahun.

2. Epilepsi simptomatik
Disebabkan oleh kelainan/ lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma
kapitis, infeksi susunan saraf pusat, gangguan metabolik, malformasi otak
kongenital, asfiksia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah
otak, toksik (alkohol, obat), kelainan neurodegeneratif.
3. Epilepsi kriptogenik
Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini
adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.

Klasifiksi

Klasifikasi epilepsi menurut International Leage Against Epilepsy (ILAE)


1981 :

1. Kejang parsial (fokal)


a. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
 Dengan gejala motorik
 Dengan gejala sensorik
 Dengan gejala otonomik
 Dengan gejala psikis
b. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
 Awalnya parsial sederhana, kemudian dikuti dengan gangguan
kesadaran
- Kejang parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Dengan automatisme
 Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
- Dengan gangguan kesadaran saja
- Dengan automatisme
c. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-
klonik), tonik atau klonik)
 Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
 Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
 Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum.
1. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
 Lena/ absens
 Mioklonik
 Tonik
 Klonik
 Tonik-klonik
 Atonik
2. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :

1. Berkaitan dengan letak fokus


a. Idiopatik
 Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
 Childhood epilepsy with occipital paroxysm
b. Simptomatik
 Lobus temporalis
 Lobus frontalis
 Lobus parietalis
 Lobus oksipitalis
2. Epilepsi umum
a. Idiopatik
 Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal
convulsions
 Benign myoclonic epilepsy in infancy
 Childhood absence epilepsy
 Juvenile absence epilepsy
 Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
 Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
 Other generalized idiopathic epilepsies
b. Epilepsi umum kriptogenik atau simptomatik
 West’s syndrome (infantile spasms)
 Lennox gastaut syndrome
 Epilepsy with myoclonic astatic seizures
 Epilepsy with myoclonic absences
c. Simptomatic
 Etiologi non spesifik
 Early myoclonic encephalopathy
 Specific disease states presenting with seizures.

Patofisiologi

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan


tranmisi pada sinaps. Ada 2 jenis neurotransmitter, yaitu neurotransmitter eksitasi
yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter
inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel nauron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat
disebut glutamate, aspartat, norepilefrin dan asetilkolin. Sedangkan
neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi
impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai
potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan
mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan
listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
menggangu fungsi membran neuron sehingga memran mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intraseluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi
adalah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi.
Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain
itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinapik yang menjamin agar neuron-
neuron tidak terus menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadan lain yang
dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak..

Gejala

1. Kejang parsial simpleks


Kejang dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan menglami gejala
berupa:
 Deja vu : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat dijelaskan.
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum
pada bagian tubuh tertentu.
 Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu.
 Halusinasi.
2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan
lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar
tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi :
 Gerakan seperti mencucur atau mengunyah.
 Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang.
 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan
berkeliling dalam keadaan seperti bingung.
 Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
3. Kejang tonik-klonik
Merupakan kejang yang paling sering. Dimana terdapat 2 tahap : tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelojotan. Pada serangan jenis ini
pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis
ini biasanya didahului dengan aura. Aura merupakan perasaan yang dialami
sebelum serangan, dapat berupa : merasa sakit perut, baal, kunang-kunag,
telinga berdengung. Pada tahap klonik pasien dapat : kehilangan kesadaran,
kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak
tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat
fase klonik : terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, pasien
tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin
tidur setelah serangan semacam ini.

Diagnosis

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan


hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
1. Anamnesis
Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis encefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler
dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis meliputi ;
 Pola/bentuk serangan
 Lama serangan
 Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
 Frekuensi serangan
 Faktor pencetus
 Ada/tidak penyakit lain yang diderita sekarang
 Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembanga
 Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
 Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan
dengan epilepsi, seperi taruma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus
menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan
pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium tidak rutin dilakukan hanya atas indikasi
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, ditunjukkan untuk
menyingkirkan adanya penyebab kejang ekstrakranial. Pemeriksaan
yang dilakukakan dapat meliputi darah tepi lengkap, gula darah,
elektrolit, kalsium serum, magnesium dan BUN. Pemeriksaan kadar
obat antikonvulsan mungkin diperlukan pada kecurigaan
ketidakpatuhan pasien terhadap regimen pengobatan.
 Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan
untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah
gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika
didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural diotak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal :
- Asimetris irama dan voltae gelombang pada daerah yang sama
pada kesua hemisfer 01otak
- Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
- Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.
 Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging. Bertujuan
untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila
dibandingkan dengan CT scan maka MRI lebih sensitif dan secara
anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu
terapi pembedahan.

Penatalaksanaan

Tujuan terapi epilepsi adalah :


 Obat Anti Epilepsi (OAE) mulai diberikan bila diagnosis apilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimal 2 kali bangkita dalam setahun, pasien dan
keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek
sampingnya.
 Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai
dosis, kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/ didapat hasil
yang optimal dan konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika
bangkitan masih tidak teratasi, secara bertahap ganti ke OAE lini kedua
sebelum pemberian politerapi.
 Konseling. Beritahukan kepada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE
jangka lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen dan
pencegahan kejang untuk 1-2 tahun dapat menurunkan kemungkinan bangkitan
berulang..
 Penanganan jangka panjang. Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas
bangkitan sekurang-kurangnya 1-2 tahun.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk memulai terapi bila


kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila : dijumpai fokus epilepsi yang jelas
pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala
disertai penurunan kesadaran.

Jika sudah jelas diagnosis epilepsi obat anti epilepsi (OAE) dapat diberikan
sesuai jenis dan klasifikasi epilepsi. Sesuai kesepakatan dokter neurologi anak IDAI
terapi dimulai jika interval antara 2 episode kejang kurang dari 6 bulan. Prinsip
pengobatan epilepsi adalah monoterapi dengan dosis yang bisa memberantas
kejang. Mulai dengan dosis kecil terlebih dahulu, naikkan secara bertahap jika
masih terdapat kejang. Obat anti epilepsi dapat dinaikkan sampai dosis maksimal,
jika dengan dosis 2 OAE kejang sudah terkontrol OAE pertama dapat dicoba
diturunkan secara bertahap. Jika dengan monoterapi kedua kejang kembali ada
maka tetap diberikan politerapi dengan 2 OAE. Lama pemberian OAE sampai 2
tahun bebas kejang, EEG ulang dilakukan untuk evaluasi jika hasil EEG normal
OAE dapat diturunkan bertahap selama 3-4 bulan. Jika EEG abnormal, OAE
dianjurkan sampai 3 tahun bebas kejang, setelah itu dilakukan evaluasi EEG ulang.

Selama pengobatan jika masih ada kejang, sebelum menaikkan dosis OAE atau
menambah OAE dinilai dahulu kepatuhan minum obat, adakah faktor pencetus
kejang.

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :

 Meningkatkan neurotransmitter inhibisi (GABA)


 Menurunkan eksitasi : melalui modifikasi konduksi ion Na, Ca, K dan Cl atau
aktivitas neurotransmitter.
Penghentian pemberian OAE :

Pada anak-anak penghentian pemberian OAE secara bertahap dapat


dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas serangan.

Syarat umum menghentikan OAE adalah :

 Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya


setelah 2 tahun bebas serangan.
 Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
 Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.

Pilihan OAE pertama

Nama obat Indikasi Kontraindikasi Dosis

Fenobarbital Epilepsi umum Absans 4-6 mg/kg/hari


Epilepsi fokal dibagi 2 dosis

Fenitoin Epilepsi fokal Mioklonik 5-7 mg/kg/hari


dibagi 2 dosis

Asam valproat Epilepsi umum 15-40


Epilepsi fokal mg/kg/hari
Absans dibagi 2 dosis
Mioklonik Target awal : 15-
20 mg/kg/hari

Karbamazepin Epilepsi fokal Mioklonik 10-30


Absans mg/kg/hari
dibagi 2-3 dosis
Mulai dengan
dosis 5-10
mg/kg/hari
Dinaikkan setiap
5-7 hari, 5
mg/kg/hari
Target awal : 15-
20 mg/kg/hari

Pilihan OAE lini kedua

Nama obat Indikasi Dosis

Topiramat Epilepsi umum 3-9 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis


Epilepsi fokal Mulai dari dosis 0.5-1 mg/kg/hari
Dinaikkan setiap 1-2 minggu
hingga dosis 5-9 mg/kg/hari

Levitiracetam Epilepsi fokal 10-30 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis


Epilepsi umum Mulai dari dosis 5-10 mg/kg/hari
Absans Dapat dinaikkan setiap 5-7 hari
Mioklonik hingga dosis 30 mg/kg/hari

Oxcarbazepine Epilepsi fokal 10-30 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis


Benign rolandic Mulai dengan dosis 5-10
epilepsy mg/kg/hari
Dapat dinaikkan setiap 5-7 hari
hingga dosis 30 mg/kg/hari

Lamotrigine Epilepsi umum 0.5-5 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis


Epilepsi fokal Mulai dengan dosis 5-10
Absans mg/kg/hari
Mioklonik Dapat dinaikkan setiap 2 minggu
hingga dosis 5 mg/kg/hari
Medikamentosa

Jika pasien datang dalam keadaan kejang, penghentian kejang harus segera
dilakukan tanpa menunggu anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap. Bila diagnosis
epilepsi telah ditegakkan, ditentukan regimen terapi antikonvulsan sesuai jenis
epilepsi. Terapi antikonvulsan diberikan sampai pasien bebas kejang selama 2
tahun.

Edukasi

Edukasi mengenai penyakit dan pengobatannya, termasuk kepatuhan minum


obat dan efek samping obat.

Edukasi mengenai fungsi dalam kehidupan sehari-hari :


 Pasien dapat beraktivitas normal seperti anak-anak lain seusianya, termasuk
berolahraga
 Pada aktivitas fisik tertentu, seperti berenang sebaiknya pasien ditemani
orang lain.

Aktivitas fisik yang ekstrem, kurang tidur, stress psikis sebaiknya dihindari.

Pemantauan

Pemantauan dilakukan untuk mengetahui kepatuhan minum obat, respon


terhadap obat dan timbulnya efek samping obat (bila perlu dilakukan pemeriksaan
darah tepi dan fungsi hati) juga perlu dilakukan evaluasi neurologik ulang secara
berkala.
Prognosis

Terkadang pasien mengalami perjalanan penyakit yang memburuk sejak


permulaan penyakit dan mungkin meninggal dalam beberapa tahun sejak pertama
kali timbul gejala.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2 FK UI. Jakarta : Info Medika
Jakarta
2. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. Jakarta: EGC.
3. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 vol 2. Jakarta: EGC
4. PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi. Ed: 3. Jakarta. 2008
5. Price dan wilson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC
6. Tjahjadi, dkk. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Kapita Selekta
Neurologi. Yogyakarta; gadjah Mada University Press. 2005

Anda mungkin juga menyukai