Anda di halaman 1dari 12

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN

FRAKTUR LUMBAL

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian
Fraktur / patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan patah tulang dapat berupa
trauma lagsung, misalnya benturan yang dapat menyebabkan fraktur dislokasi yang bersifat tidak
stabil; trauma tidak langsung, misalnya jatuh dari ketinggian yang dapat menimbulkan patah
tulang vertebra jenis kompressi atau ledakan.
Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebra, dan
lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, dan sebagainya. (Arif Muttaqin, 2005, hal. 98).
Vertebra lumbalis terletak di region punggung bawah antara region torakal dan sacrum.
Vertebra pada region ini ditandai dengan corpus vertebra yang berukuran besar, kuat, dan
tiadanya costal facet. Vertebra lumbal ke 5 (VL5) merupakan vertebra yang mempunyai
gerakan terbesar dan menanggung beban tubuh bagian atas (Yanuar 2002).
Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakang bagian bawah.
Bentuk cidera ini mengenai ligament, fraktur vertebra, kerusakan pembuluh darah, dan
mengakibatkan iskemia pada medulla spinalis (Batticaca, 2008).

B. Etiologi
Cedera torakolumbal tidak jarang terjadi sebagai akibat kecelakaan kerja, seperti jatuh dari
ketinggian atau kecelakaan lalu lintas. Cedera itu bila tidak ditangani dengan baik, dapat
menimbulkan kematian atau kelainan menetap berupa kelumpuhan yang permanen. Kelumpuhan
yang terjadi mempunyai dampak perawatan yang rumit dan memerlukan banyak peralatan. Ada 2
tujuan penanganan cedera tulang belakang, yaitu pertama, tercapainya tulang belakang yang stabil
serta tidak nyeri, dan kedua, mencegah terjadinya jejas lintang sumsum tulang belakang sekunder.
 Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari fraktur adalah :

1. Kecelakaan lalu lintas

2. Kecelakaan olahraga

3. Kecelakaan industri

4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan

5. Luka tusuk, luka tembak

6. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)

7. Kejatuhan benda keras


Factor patologis : fraktur yang terjadi pada lansia yang mengalami osteoporosis, tumor
tulang, infeksi, atau penyakit lain. Factor stress : fraktur jenis ini dapat terjadi pada tulang
normal akibat stress tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang. Fraktur stress ini
biasanya menyertai peningkatan yang cepat – tingkat latihan atlet, atau permulaan aktivitas fisik
yang baru. Karena kekuatan otot meningkat lebih cepat daripada kekuatan tulang individu dapat
merasa mampu melakukan aktivitas melebihi sebelumnya, walaupun tulang mungkin tidak
mampu menunjang peningkatan tekanan.

C. Klasifikasi
1. Fraktur kompresi (Wedge fractures)

Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk
patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna
vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi
terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker
dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah
dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan
menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya.
2. Fraktur remuk (Burst fractures)
Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara langsung, dan
tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinais.
Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis kearah luar yang
disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. tepi tulang
yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk cedera dan
ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat menekan medulla
spinalis dan menyebabkan paralisi atau gangguan syaraf parsial. Tipe burst fracture
sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan terjadi paralysis pada kaki dan gangguan
defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan
untuk mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut merupakan
fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi. Biasanya dengan scan MRI
fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan lunak, kerusakan ligamen dan
adanya perdarahan.
3. Fraktur dislokasi
Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena kompresi, rotasi
atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan sehingga sangat tidak stabil, cedera
ini sangat berbahaya. Terapi tergantung apakah ada atau tidaknya korda atau akar syaraf
yang rusak. Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna vertebralis dengan
kombinasi mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya kompresi, penekanan, rotasi
dan proses pengelupasan. Pengelupasan komponen akan terjadi dari posterior ke anterior
dengan kerusakan parah pada ligamentum posterior, fraktur lamina, penekanan sendi
facet dan akhirnya kompresi korpus vertebra anterior. Namun dapat juga terjadi dari
bagian anterior ke posterior. kolumna vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi
fraktur pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur akan melewati lamina
dan seringnya akan menyebabkan dural tears dan keluarnya serabut syaraf.
4. Cedera pisau lipat (Seat belt fractures)
sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tiba-tiba mengerem
sehingga membuat vertebrae dalam keadaan fleksi, dislokasi fraktur sering terjadi pada
thoracolumbar junction. Kombinasi fleksi dan distraksi dapat menyebabkan tulang
belakang pertengahan menbetuk pisau lipat dengan poros yang bertumpu pada bagian
kolumna anterior vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman, tubuh penderita terlempar
kedepan melawan tahanan tali pengikat. Korpus vertebra kemungkinan dapat hancur
selanjutnya kolumna posterior dan media akan rusak sehingga fraktur ini termasuk jenis
fraktur tidak stabil.

D. Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tulang punggung, memar, atau deformitas.
Penderita diminta menggerakkan kedua tungkai untuk mencari kemungkinan gangguan neurologi
pada kedua ekstremitas bawah. Pada kompressi yang hebat atau dislokasi akan terdapat pelebaran
jarak interspinosus.
Manifestasi klinis fraktur antara lain :
 Edema/pembengkakan
 Nyeri: spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma langsungpada jaringan,
peningkatan tekanan pada saraf sensori, pergerakan padadaerah fraktur.
 Spasme otot: respon perlindungan terhadap injuri dan fraktur
 Deformitas
 Echimosis: ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan
 Kehilangan fungsi
 Crepitasi: pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma terbuka

Manifestasi klinis fraktur vertebra berdasarkan lokasi fraktur adalah :


1. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada cervical
 C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan) C4 : gangguan
fungsi biceps dan lengan atas
 C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan
 C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit
 C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep
 C8 : gangguan fungsi jariGangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical
menyebabkan kelumpuhan tetraparese (keempat anggota badan).
2. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada torakal
o T1 : gangguang fungsi tangan
o T1-T8 : gangguan fungsi pengendalian otot abdominal, gangguanstabilitas tubuh
o T9-T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang tubuh
3. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal
Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan lumbal memberikan
gejala paraparese
 L1 : Abdominalis
 L2 : Gangguan fungsi ejakulasi
 L3 : Quadriceps
 L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut
4. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sacral
Gangguang motorik kerusakan pada daerah sacral menyebabkan gangguanmiksi &
defekasi tanpa para parese.
5. Segmen lumbar dan sacral
Cedera pada segmen lumbar dan sakral dapat mengganggu pengendaliantungkai, sistem
saluran kemih dan anus. Selain itu gangguan fungsisensoris dan motoris, cedera vertebra
dapat berakibat lain sepertispastisitas atau atrofi otot.
6.
- S1 : Gangguan pengendalian tungkai

- S2-S4 : Penile Erection

- S2-S3 : Gangguan system saluran kemih dan anus

E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal. menurut
Mahadewa dan Maliawan (2009) adalah :
a. Foto Polos
Pemeriksaan foto polos terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view.
Posisi lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna untuk
melihat instabilitas ligament. Penilaian foto polos, dimulai dengan melihat
kesegarisan pada AP dan lateral, dengan identifikasi tepi korpus vertebrae,
garis spinolamina, artikulasi sendi facet, jarak interspinosus. Posisi oblique
berguna untuk menilai fraktur interartikularis, dan subluksasi facet.
b. CT-Scan
CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama yang
mengenai elemen posterior dari tulang belakang. Fraktur dengan garis fraktur
sesuai bidang horizontal, seperti Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang
baik dilihat dengan CT scan aksial. Rekonstruksi tridimensi dapat digunakan
untuk melihat pendesakan kanal oleh fragmen tulang, dan melihat fraktur
elemen posterior.
c. MRI
MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan medula
spinalis dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang robek seringkali
lebih mudah dibandingkan yang utuh. Kelemahan pemakaian MRI adalah
terhadap penderita yang menggunakan fiksasi metal, dimana akan
memberikan artifact yang menggangu penilaian.
Kombinasi antara foto polos, CT Scan dan MRI, memungkinkan kita bisa
melihat kelainan pada tulang dan struktur jaringan lunak (ligamen, diskus
dan medula spinalis). Informasi ini sangat penting untuk menetukan
klasifikasi cedera, identifikasi keadaan instabilitas yang berguna untuk
memilih instrumentasi yang tepat untuk stabilisasi tulang.
d. Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf
Kedua prosedur ini biasanya dikerjakan bersama-sama 1-2 minggu
setelahterjadinyacedera. Elektromiografi dapat menunjukkan adanya denervasi
pada ekstremitas bawah. Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat membedakan
lesi pada medula spinalis atau cauda equina, dengan lesi pada pleksus lumbal
atau sacral.
e. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium klinik rutin dilakukan untuk menilai komplikasi


pada organ lain akibat cedera tulang belakang.
Sedangkan menurut Arif Mutaqin (2005) pemeriksaan radiologi yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Foto Rontgen
Pada pemeriksaan Rontgen, rnanipulasi penderita hams dilakukan secara
hati-hati. Pada fraktur C-2, pemeriksaan posisi AP dilakukan secara khusus
dengan membuka mulut. Pemeriksaan posisi AP secara lateral dan kadang-
kadang oblik dilakukan untuk menilai hal-hal sebagai berikut.
b. Diameter anteroposterior kanal spinal
c. Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
d. Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
e. Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus
Ketinggian ruangan diskus intervertebralis Pembengkakanjaringan lunak
f. Pemeriksaan CT-scan terutama untuk melihat fragmentasi tan dan pergeseran
fraktur dalam kanal spinal.
g. Pemeriksaan CT-scan dengan mielografi.
h. Pemeriksaan MRI terutama untuk melihatjaringanlunak, yaitu diskus
intervertebralis dan ligamentum flavum serta lesi dalam sumsum tulang belakang.

F. Manajemen Klinis
Pengelolaan cedera torakolumbal pada yang stabil adalah konserfatif yaitu dengan gips
badan selama 8 – 12 minggu. Pada yang tidak stabil temporer, bisa konserfatif atau operatif, yaitu
dengan melakukan stabilisasi intern bila penderita mengalami gangguan neurologik. Pada tipe
tidak stabil permanen perlu dilakukan stabilisasi intern, oleh karena penyembuhan jaringan ikat
yang tidak baik akan menimbulkan ketidakstabilan yang membahayakan untuk medulla
spinalisnya dikemudian hari. Penderita dengan paraplegi tetap memerlukan stabilisasi intern yang
bertujuan utama untuk memudahkan perawatan serta mobilisasi segera, sehigga penyulit seperti
decubitus dapat dicegah.
G. Fase Penyembuhan Tulang
a. Tahap Hematoma, Pada tahap terjadi fraktur, terjadi kerusakan pada
kanalis Havers sehingga masuk ke area fraktur setelah 24 jam terbenutk
bekuan darah dan fibrinyang masuk ke area fraktur, terbenuklah
hematomakemudian berkembang menjadi jaringan granulasi.
b. Tahap Poliferasi, Pada aerea fraktur periosteum, endosteum dan sumsum
mensuplai sel yang berubah menjadi fibrin kartilago, kartilago hialin dan
jaringan panjang.
c. Tahap Formiasi Kalus atau Prakalus, Jaringan granulasi berubah menjadi
prakalus. Prakalus mencapai ukuran maksimal pada 14 sampai 21 hari setelah
injuri.
d. Tahap Osifikasi kalus, Pemberian osifikasi kalus eksternal (antara
periosteum dan korteks), kalus internal (medulla) dan kalus intermediet pada
minggu ke-3 sampai dengan minggu ke-10 kalus menutupi lubang.
e. Tahap consolidasi, Dengan aktivitas osteoblasi dan osteoklas, kalus mengalami
proses tulang sesuai dengan hasilnya.

Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :


 Usia klien
 Immobilisasi
 Tipe fraktur dan area fraktur
 Tipe tulang yang fraktur, tulang spongiosa lebih cepat sembuh
dibandingkan dengan tulang kompak.
 Keadaan gizi klien
 Asupan darah dan hormon – hormon pertumbuhan yang memadai
 Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang
 Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan lebih
lama.
 Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.

H. Komplikasi
a. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat
trauma.
b. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal
union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit
diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan
membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
c. Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang.Non
union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu:

- Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi prosespenyembuhan


fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringanfibros yang masih
mempunyai potensi untuk union dengan melakukankoreksi fiksasi dan
bone grafting.

- Tipe II (atropic non union), disebut juga sendi palsu


(pseudoartrosis)terdapat jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta
ronga cairanyang berisi cairan, proses union tidak akan tercapai
walaupundilakukan imobilisasi lama.Beberapa faktor yang menimbulkan
non union seperti disrupsi periosteumyang luas, hilangnya vaskularisasi
fragmen-fragmen fraktur, waktuimobilisasi yang tidak memadai, distraksi
interposisi, infeksi dan penyakittulang (fraktur patologis).Non union
adalah jika tulang tidak menyambungdalam waktu 20 minggu. Hal ini
diakibatkan oleh reduksi yang kurangmemadai.

d. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung
dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
e. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur
terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan
alat seperti plate, paku pada fraktur
f. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat
pembuluh darah kecil, yang memsaok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
g. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas
permanen jika tidak ditangani segera.
h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia,
dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau
keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan
traksi.

I. Penatalaksanaan Medis
Pertolongan pertama dan penanganan darurat:

a. Survey primer
- Pertahankan airway dan imobilisasi tulang belakang
- Breathing
- Sirkulasi dan perdarahan
- Disabilitas: AVPU /GCS, pupil
- Exposure : cegah hipertermi

b. Resusitasi
- Pastikan paten/intubasi
- Ventilasi adaptif
- Perdarahan berhenti nadi, CRT, urin output

c. Survey sekunder
- GCS
- Kaji TTV nadi, tekanan darah, suhu, RR

Terapi pada fraktur vertebra diawali dengan mengatasi nyeri dan stabilisasi untuk cegah
kerusakan yang lebih parah.
Tindakan rehabilitasi

Penatalaksanaan pada fraktur vertebra lumbal diawali dengan mengatasi nyeri dan stabilisasi
untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. Semuanya tergantung dengan tipe fraktur.
Beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut:
1. Braces dan orchotics. Fraktur yang yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi,
sebagai contoh : thoracolumbar-sacral (TLSO) untuk fraktur punggung bagian
bawah.
2. Reduksi fraktur (seting tulang)
Berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup, traksi atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi
fraktur. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
dan perdarahan.
Reduksi tertutup
Pada kebanyakan kasus, teduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi
dan traksi manual.
Reduksi terbuka
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam
membentuk pen, kawat, sekrup, plat, paku, atau batang logam.
3. Traksi
Adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya fraksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
4. Imobilisasi fraktur

Adalah reduksi fraktur, fragmen tulang harus diimobilisasikan atau dipatahkan


dalam posisi kesejajarannya yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, fraksi, pen, tekhnik gips atau fiksator eksterna.
Fiksasi interna dengan implan logam yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.

5. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi

Dilakukan dengan berbagai pendekatan perubahan posisi, strategi, peredaran


nyeri, pemberian analgetik, latihan atau aktivitas sehari-hari yang diusakan untuk
memperbaiki fungsi.
J. Pathways

Trauma pada tulang belakang

Fraktur pada tulang lumbal

Mengeblok Mengeblok
Perdarahan
saraf saraf
mikroskopik
parasimpatis parasimpatis

Edema Reaksi Reaksi Kelumpuhan Kerusakan


peradangan anantetik otot napas jalur apatetik
desending

Penekanan
Ileus
saraf & Syok spinal Iskemia dan
paralitik,
pembuluh gangguan hipoksemia Terputusnya
darah
fungsi jaringan
rektum saraf medula
MK: Nyeri akut spinalis
Terganggunya
MK: Penurunan
pola napas
perfusi MK: Gangguan
jaringan eliminasi Paralisis &
paraplegi
Hipoventilasi

MK: Pola nafas MK: Hambatan


Tidak Efektif Gagal napas mobilitas fisik

Kematian
BAB II
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR LUMBAL

A. MASALAH YANG LAZIM MUNCUL


1. Nyeri akut
2. Kerusakan mobilitas fisik
3. Cemas
4. Resiko infeksi
5. Perfusi jaringan tidak efektif
6. Sindroma defisit perawatan diri
7. Resiko kerusakan integritas kulit

(Keterangan mengenai diagnosa lihat lampiran 1)

B. TUJUAN KEPERAWATAN (NOC)


Lihat lampiran 2

C. INTERVENSI KEPERAWATAN (NIC)


Lihat lampiran 3

DAFTAR PUSTAKA

1. Brunner dan Suddarth, 2000, Keperawatan Medikal Bedah, Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta.
2. McCloskey, J.C, Bulechek, G.M , 1996, Nursing Intervention Classification (NIC)
Mosby, St Louis
3. Nanda, 2001, Nursing Diagnosis : Definitions and Classification 2001-2002,
Philadelphia
4. Sjamsuhidajat R dan Jong W, 2004, Buku ajar ilmu bedah, Edisi 2 Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
5. Sabiston D, 1995, Buku Ajar Bedah Bagian 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai