Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2018


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

LARINGITIS TB

DISUSUN OLEH:

Ratih Paradini S.Ked

111 2016 2039

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Bernadette, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Ratih Paradini

NIM : 111 2016 2039

Judul Referat : Laringitis TB

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, September 2018

Pembimbing Supervisor

dr.Bernadette, Sp.THT-KL
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman basil tahan
asam atau kuman Mikobakterium Tuberkulosis. TB secara garis besar dikelompokkan
menjadi TB pulmonal, sering disebut dengan TB paru dan TB ekstrapulmonal. Pada TB
ekstrapulmonal, organ yang terlibat diantaranya, kelenjar getah bening, otak, tulang
temporal, rongga sinonasal, hidung, mata, faring, kelenjar liur, dan termasuk salah
satunya laring. TB laring jarang bersifat primer tanpa disertai kelainan paru dan terjadi
karena komplikasi suatu TB paru stadium lanjut ataupun dengan lesi minimal. Pada
pertengahan tahun 1900, TB laring memiliki prevalensi yang cukup tinggi di dunia, dan
37% merupakan penderita yang disertai TB paru dengan prognosis yang buruk.

Dahulu TB laring terjadi pada kelompok usia muda, namun sekarang terjadi pada usia
50-60 tahun dimana laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan
2:1. Keluhan utama penderita TB laring paling sering dijumpai yaitu suara serak yang
disertai disfagia dengan atau tanpa odinofagia dan batuk. Pada beberapa kasus dapat
ditemukan limfadenopati servikal yang sering dicurigai sebagai suatu metastase
keganasan. Diagnosis TB laring dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium, radiologis, bakteriologis, histopatologis, serta pemeriksaan
serologis seperti Polimerase Chain Reaction (PCR) dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan beberapa diagnosis banding. Biopsi laring
tetap menjadi standar baku emas untuk diagnosis pasti dari TB laring.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Defenisi

Laringitis tuberkulosis merupakan peradangan pada laring yang disebabkan oleh infeksi
kuman Mycobacterium Tuberculosa
2. Anatomi Laring

Laring merupakan organ yang berfungsi sebagai alat pernafasan, terdiri dari satu tulang
dan beberapa kartilago. Pada bagian superior laring terdapat os hyoid yang berbentuk U.
Pada permukaan superior os hyoid melekat tendon dan otot-otot lidah, mandibula, dan
kranium. Pada bagian bawah os hyoid terdapat dua buah alae atau sayap kartilago tiroid
yang menggantung pada ligamentum tiroid dan akan menyatu di bagian tengah yang
disebut dengan adam’s apple (jakun). Kartilago krikoid dapat diraba di bawah kulit,
melekat pada kartilago tiroid melalui ligamentum krikotiroideum

Bagian superior terdapat pasangan kartilago aritenoid, yang berbentuk piramida bersisi
tiga. Bagian dasar piramida berlekatan dengan krikoid pada artikulasio krikoaritenoid
sehingga dapat terjadi gerakan meluncur dan juga gerakan rotasi. Ligamentum vokalis
meluas dari prosesus vokalis melalui tendon komisura anterior. Dibagian posteriornya,
ligamentum krikoaritenoid posterior meluas dari batas superior lamina krikoid menuju
permukaan medialkartilago aritenoid.
Sendi laring terdiri dari dua, yaitu: artikulasio krikotiroid dan krikoaritenoid. Gerakan
laring dilaksanakan oleh kelompok otot intrinsik dan ekstrinsik. Otot intrinsik
menyebabkan gerakan-gerakan di bagian laring sendiri, dan otot ekstrinsik bekerja pada
laring secara keseluruhan. Plika vokalis dan plika ventrikularis terbentuk dari lipatan
mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare. Bidang yang terbentuk
antara plika vokalis kanan dan kiri disebut rima glotis. Plika vokalis dan plika
ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian yaitu vestibulum laring
(supraglotik), daerah glotik, dan daerah infraglotik (subglotik). Laring dipersarafi oleh
cabang-cabang nervus vagus, yaitu nervus laringeus superior dan inferior. Kedua saraf
merupakan campuran motorik dan sensorik. Nervus laringeus inferior merupakan
lanjutan dari nervus rekurens yang merupakan cabang dari nervus vagus. Nervus
rekurens kanan akan menyilang arteri subklavia kanan dibawahnya sedangkan nervus
rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. Laring terdiri dari dua pasang pembuluh darah
diantaranya arteri laringeus superior dan arteri laringeus inferior. Arteri laringeus
inferior cabang arteri tiroid inferior, bersama-sama nervus laringeus inferior ke
belakang sendi krikotiroid dan memasuki laring ke pinggir bawah otot konstriktor
inferior.

3. Fisiologi Laring
Laring mempunyai tiga fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping
beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut :
3.1.Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya
tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan
resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan
hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara.
Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan
mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.
Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk :
a. Teori Myoelastik – Aerodinamik
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung
menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan
memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan
plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari
proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat,
dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka.
Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara
otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan
yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi
pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis
akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis
melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran
udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding
celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi)
sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan
terulang kembali.
b. Teori Neuromuskular
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran
plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N.
Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls
yang dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran
plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan
bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan
paralisis plika vokalis bilateral).
3.2 Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot
yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang
ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah
interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai
jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke
depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini
mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis
lalu ke introitus esofagus.
3.3 Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga
dada dan M.Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya
menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial
CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat
pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang
pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan
pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan
hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah
dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
3. 4. Fungsi Sirkulasi
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan
peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return.
Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi,
kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler
dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat diaorta.
Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N.
Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi,
maka terjadi penurunan denyut jantung.
3.5. Fungsi Fiksasi
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,
misalnya batuk, bersin dan mengedan.
3.6. Fungsi Menelan
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu pada waktu menelan faring bagian bawah
(M. Konstriktor Faringeus Superior, M.Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus)
mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta
menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke
bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk
mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan
menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis. Epiglotis
menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus,
sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan
masuk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
3.7. Fungsi Batuk
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi
benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi
pada mukosa laring.
3.8. Fungsi Ekspektorasi
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.
3.9. Fungsi Emosi
Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada
waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.
4. Epidemiologi
Sebelum era antibiotik angka insiden laringitis tuberkulosis mencapai 83% dari
seluruh kasus tuberkulosis ekstrapulmonal. Setelah perkembangan antibiotik,
insiden laringitis tuberkulosis menjadi kurang dari 1% dari seluruh kasus tuberkulosis
ekstrapulmonal dengan laju mortalitas kurang dari 2%. Laringitis tuberkulosis lebih
banyak terjadi pada pria daripada wanita dan sebagian besar pada rentang usia 40-50
tahun. Temuan klinis dini dari laringitis tuberkulosis paling banyak pada bagian
posterior laring terutama pada pasien yang berbaring lama ditempat tidur dan pada
pasien yang sputumnya terkumpul di regio interaritenoid. Bagian yang paling sering
terinfeksi adalah pita suara ( 50-70% ) dan yang paling jarang adalah epiglotis

5. Etiologi
Mikobakterium Tuberkulosis merupakan kuman penyebab TB laring yang
merupakan kuman basil tahan asam. Robert Koch pada tahun 1882 menemukan kuman
ini tidak membentuk eksotoksin maupun endotoksin dan fraksi protein akan
menyebabkan nekrosis pada jaringan, sedangkan fraksi lemak bersifat tahan asam dan
merupakan faktor penyebab fibrosis, terbentuknya tuberkuloid, serta tuberkel.
Mikobakterium tuberkulosis berukuran 2 sampai 4 mikrometer dan dapat tumbuh subur
pada pO2 140mmHg. Kuman dilepaskan ke udara ketika seseorang berbicara, bersin,
atau batuk. Untuk droplet partikel kuman berukuran yang berukuran >5-10 mikrometer
dapat tersebar dalam radius 1,5 meter. Apabila terhirup, kuman akan dibersihkan oleh
silia saluran pernafasan bagian atas. Pada kuman dengan ukuran <5mikrometer akan
menembus jauh ke dalam bronkiolus, sehingga dapat menimbulkan suatu proses infeksi.

6. Patogenesis

TB dapat menular melalui inhalasi droplet yang dihirup seseorang dan dapat menembus
sistem mukosiliar saluran pernafasan atas dan diteruskan ke organ paru. Kuman
Mikobakterium Tuberkulosis dapat menimbulkan gejala pada seseorang berdasarkan
beberapa faktor, diantaranya virulensi dan jumlah kuman dalam tubuh serta daya tahan
tubuh manusia itu sendiri. Fagundes dkk5 menyebutkan beberapa teori yang
menyebabkan terjadinya kontaminasi laring oleh kuman Mikobakterium Tuberkulosis,
diantaranya:
1) Teori bronkogenik, dimana laring mengalami infeksi melalui kontak langsung dari
sekret atau sputum yang kaya kuman Mikobakterium Tuberkulosis, baik pada cabang
bronkus atau pada mukosa laring. Dengan kata lain laring mengalami gangguan seiring
dengan kelainan yang terjadi di paru.2 Suatu penelitian melaporkan lokasi lesi pada
laring paling sering terjadi pada bagian posterior laring berupa edema, granuloma,
hiperplasia reaktif, ulserasi, dan tuberkel epiteloid.

2) Teori hematogenik, pada teori ini kelainan hanya terjadi di laring dan tidak
memperlihatkan kelainan pada paru. Kuman Mikobakterium Tuberkulosis menyebar
melalui darah dan sistim limfatik, dan beberapa penelitian membuktikan lesi pada laring
paling sering ditemukan pada epiglotis dan bagian anterior laring berupa edema
polipoid, hiperplasia, dan ulserasi minimal. Infeksi awal pada subepitelial berupa
gambaran fase inflamasi akut difus seperti hiperemis, edema, dan infiltrasi sel-sel
eksudat. Kemudian terbentuknya granuloma tuberkel yang avaskuler pada jaringan
submukosa dengan daerah perkijuan yang dikelilingi sel epiteloid pada bagian tengah
dan sel mononukleus pada bagian perifer. Tuberkel yang berdekatan bersatu hingga
mukosa di atasnya meregang atau pecah dan terjadi ulserasi. Ulkus yang timbul
membesar, biasanya dangkal dan ditutupi oleh perkijuan dan dirasakan nyeri oleh
penderita, dan bila ulkus semakin dalam akan mengenai kartilago laring sehingga terjadi
perikondritis atau kondritis terutama kartilago aritenoid dan epiglotis. Kerusakan tulang
rawan yang terjadi mengakibatkan terbentuknya nanah yang berbau dan selanjutnya
akan terbentuk sekuester. Pada stadium ini keadaan penderita sangat buruk dan dapat
berakibat fatal.

Infeksi pada laring dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Pada laringitis
tuberkulosa primer, infeksi pada laring tanpa adanya infeksi pada paru-paru.
Penyebarannya secara hematogen dan melalui aliran limfe. Laringitis tuberkulosa
sekunder timbul akibat inokulasi sputum yang terinfeksi pada laring. Biasanya pada
infeksi paru tingkat lanjut yang telah terbentuk kavitas. Tuberkulosis dapat
menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema dapat timbul di fosa interaritenoid, kemudian
ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglotis, serta terakhir ialah dengan
subglotik. Secara klinis laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium, yaitu :
a. Stadium Infiltrasi
Mukosa laring posterior mengalami pembengkakan dan hiperemis. Kadang-kadang pita
suara juga terkena. Pada stadium ini mukosa laring berwarna pucat. Kemudian di
submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik
berwarna kebiruan.
Tuberkel makin membesar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga
mukosa di atasnya meregang. Pada suatu saat akan pecah dan timbul ulkus.
b. Stadium Ulserasi
Ulkus yang terbentuk pada akhir stadium infiltrasi akan membesar. Ulkusnya dangkal,
dasarnya ditutupi oleh perkijuan, serta sangat dirasakan nyeri oleh pasien.
c. Stadium Perikondritis
Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring dan yang paling sering terkena
adalah kartilago aritenoid dan epiglottis. Terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga
terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan berlanjut dan membentuk sekuester. Pada
stadium ini keadaan umum pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien
bertahan maka proses penyakit berlanjut dan masuk ke dalam stadium akhir.
d. Stadium Fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara dan
subglotik.

7. Gejala Klinis
TB dapat mengenai berbagai organ tubuh, secara sistemik menimbulkan gejala
demam, keringat malam, nafsu makan berkurang, badan lemah, dan berat badan
menurun. Pada TB laring gejala utama berupa suara serak, terjadi biasanya ringan dan
dapat progresif menjadi disfonia atau afonia. Selain suara serak, keluhan lain seperti
disfagia, odinofagia, nyeri alih otalgia, batuk, dan kadang dapat menyebabkan sesak
nafas. Odinofagia dapat menjadi gejala yang menonjol pada TB laring, sedangkan
obstruksi jalan nafas atas akibat edema, tuberkuloma, serta fiksasi pita suara bilateral
jarang terjadi. Chi Wang, dkk melaporkan persentase tertinggi untuk gejala klinis TB
laring berupa suara serak sebesar 84,6%, diikuti gejala batuk 46,2%, odinofagia 8%,
dispnea 19,2%, demam 11,5%, limfadenopati 7,7%, stridor 3,85%. Smulders1 dkk
melaporkan dari 60 kasus TB laring menemukan gejala klinis suara serak sebanyak
80%-100%, odinofagia 50%-67%, dan diikuti gejala lain seperti disfagia, dispnea,
stridor, batuk dan dahak berdarah.

8. Pemeriksaan klinis
Pada laringoskopi ditemukan gambaran sesuai stadiumnya. Pada stadium infiltrasi;
mukosa laring membengkak, hiperemis (bagian posterior), dan pucat dapat terlihat
tuberkel berupa bintik-bintik kebiruan. Stadium ulserasi dapat terlihat ulkus dangkal,
dasarnya ditutupi perkijuan. Pada stadium perikondritis ulkus makin dalam mengenai
kartilago laring, kartilago aritenoid, dan epiglotis. Terbentuk nanah yang berbau sampai
terbentuk sekuester. Pada stadium akhir dapat terlihat fibrotuberkulosis pada dinding
posterior, pita suara, dan subglotis

Gambar 3. Hasil pemeriksaan laringoskopi pada tuberkulosis laring (A) Tipe ulseratif,
pada rongga laring (B) Tipe granulomatosa, pada bagian posterior glotis (C) Tipe
polipoid, pada pita suara palsu kanan (D) Tipe nonspesifik, pada pita suara kanan

9. Laboratorium
9.1 Pemeriksaan dahak
Berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan
dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen
dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) yaitu dahak dikumpulkan pada saat suspek
TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. Pada hari kedua
dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas dan yang terakhir dahak
dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Pemeriksaan dahak dikatakan positif bila 2 dari 3 sampel dahak yang diperiksa
positif

Gambaran histopatologi kuman Mikobakterium Tuberkulosa (A) Sel epitel numerous


dan sel Giant Langhans multipel dengan pewarnaan HE (B) Basil tahan asam pada
pewarnaan Ziehl Nielsen

9.2 Pemeriksaan Uji Tuberkulin

Pemeriksaan uji tuberkulin kurang berarti sebagai alat bantu diagnostik. Dasar
dari pemeriksaan ini adalah timbulnya reaksi hipersensitifitas terhadap
tuberkuloprotein akibat terjadinya suatu proses infeksi di dalam tubuh uji
tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan
sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi
TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Ada beberapa cara melakukan
uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan.
Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah
kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji
tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi :

•Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada
infeksi Mycobacterium tuberculosis
• Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa
karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal
atau pasca vaksinasi BCG.
• Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang
atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis
.
9.3 Foto Rontgen Toraks & CT-Scan
Pada sebagian besar kasus tuberkulosis terutama TB paru, diagnosis terutama
ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak
memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks
perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai Berikut :
• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru
BTA positif
• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (non fluoroquinolon).
• Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa,
efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis
berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif :
• Bayangan berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular
•Bayangan bercak milier
•Efusi pleura
Gambaran radiologist yang dicurigai TB inaktif :
•Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau
segemn superior lobus bawah.
• Kalsifikasi
•Penebalan pleura.

9.4 Pemeriksaan patologi anatomik


Laringoskopi langsung dan biopsi merupakan suatu keharusan guna
mendapatkan diagnosis yang definitif. Harus diingat bahwa kemungkinan
tuberkulosis dan keganasan bisa saja muncul bersama pada satu pasien.
Maka tantangan untuk menegakkan diagnosis adalah untuk mengeksklusi
kanker laring. Pada pemeriksaan histopatologi dari spesimen biopsi atau swab
mukosa laring serta dilakukan pewarnaan basil tahan asam ditemukan inflamasi
granulomatosa dengan sel-selepiteloid dan Langhans’ Giant Cells dikelilingi
oleh limfosit dan fibroblast dengan adanya daerah pengkijuan atau kaseosa.
10. Terapi
a. Obat Anti Tuberkulosis
Terapi laringitis tuberkulosis berespon baik dengan OAT. Gejala disfoni dan odinofagi
mengalami perbaikan setelah dua hingga empat minggu setelah pengobatan
dengan antituberkulosis. Pengobatan TB terdiri dari 2 fase yaitu :
• Fase initial/fase intensif (2 bulan ).
Pada fase ini membunuh kuman dengan cepat. Dalam waktu 2 minggu penderita yang
infeksius menjadi tidak infeksius, dan gejala klinis membaik. Kebanyakan penderita
BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Pada fase ini sangat penting
adanya pengawasan minum obat oleh PMO (pengawas minum obat).
• Fase lanjutan ( 4-6 bulan ).
Bertujuan mebunuh kuman persisten (dorman) dan mencegah relaps. Fase ini juga
perlu adanya pengawas minum obat

Kategori Pasien TB Regimen Pengobatan TB


Diagnosis Fase Inisial Fase Lanjutan
TB

I -Kasus 2HRZE 4HR atau 6 HE


baru,Pewarnaan setiap
positif- hari
-Kasus
Baru,Pewarnaan
negatif-TB Paru
dengan
extensive
parenchymal
-Penyakit HIV berat
-TB ekstra paru
berat

II Pemeriksaan sputum 2 HRZES/1 HRZE 5 HRE


sebelumnya positif
TB Paru
:
-relaps
-Pengobatan setelah
putus
obat
-Gagal terapi

III Pewarnaan baru- 2 HRZE 4 HR


negatif TB or
Paru ( selain 6 HE setiap hari
kategori I );
Bentuk TB
ekstrapulmonal
yang tidak berat

IV Kasus TB MDR dan Specially designed standarized or


kronis individualized regimens are suggested
( sputum positif for this category
setelah
pengobatan ulang
yang
diawasi )

b. Istirahat suara
Pasien di sarankan untuk mengistirahatkan laring dengan istirahat suara terutama pada
saat fase aktif penyakit
DAFTAR PUSTAKA

1. Werdhani, Reno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi


Tuberkulosis.FKUI.2005. Available from : www.staff.ui.ac.id.
2. Lim, JY., Kim KM., Choi EC., Kim Yo, Kim HS., Choi HS. Current Clinical
Propensity Of Laryngeal Tuberculosis: Review of 60 case. Eur Arch
Otorhinolaryngology.2006.
3. Verma et Maharjan. Laryngeal tuberculosis co-existent with Pulmonary
tuberculosis (The Internet Journal of Pulmonary Medicine. 2008 Volume 10
Number 1 ). 2008. Available from :
www.ntuh.gov.tw/ENT/Laryngeal%20tuberculosis%2020061025
4. Hermani, Bambang, Hartono Abdurrachman, Arie Cahyono. Laringitis
Tuberkulosis dari: Soepardi et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tengggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. FKUI. Jakarta. 2007. Hal : 239-
241.
5. Cohen, James I. Laring dari : Boeis et al. Buku Ajar Penyakit THT Edisi
Keenam. EGC.Jakarta.
6. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger.1993.
7. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons. Volume
1 : Head and Neck. A hoeber-harper international edition. 1996. Page : 425-456.
8. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery. Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill. 2003. Page : 724-736, 747,
755-760.
9. Triola Novialdi. Seres Tuberkulosis Laring Bagian Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP. Dr. M.
Djamil.Padang.repository.unand.ac.id/18190/1/Tuberkulosis%20Laring%20PDF
.pdf

Anda mungkin juga menyukai