Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN


NY. I DENGAN SNH (STROKE NON HEMORAGIK)
DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD MUNTILAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu Praktik Klinik Kegawatdaruratan
Pembimbing Akademik : Ns. Maryana, S.SiT., S.Psi., M.Kep
Pembimbing Lapangan : Latif Amirudin, S.ST

Disusun oleh:
Nur Mustika Aji Nugroho P07120216049

PROGRAM STUDI D IV KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2019
LAPORAN
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN
NY. I DENGAN SNH (STROKE NON HEMORAGIK)
DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD MUNTILAN

Telah diperiksa dan setujui pada :

Hari :

Tanggal :

Tempat : IGD RSUD Muntilan

Mahasiswa,

Nur Mustika Aji Nugroho


NIM P07120216049

Pembimbing Akademik Pembimbing Lapangan

Ns. Maryana, S.SiT., S.Psi., M.Kep Latif Amirudin, S.ST

2
BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi Stroke

Menurut WHO (2006), stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat
akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung
selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab
lain yang jelas selain vaskuler. Termasuk disini perdarahan subarachnoid,
perdarahan intraserebral, dan infark serebral.

Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan


neurologis yang disebabkan oleh gangguan suplai darah pada bagian otak (Bowman
dalam Black & Hawks, 2009).

Definisi Stroke non hemoragik (stroke iskemik)

Stroke iskemik atau “brain attack” adalah kehilangan fungsi yang tiba-tiba
sebagai akibat dari gangguan suplai darah ke bagian-bagian otak, akibat sumbatan
baik sebagian atau total pada arteri. Tipe stroke ini terjadi hampir 80% dari kejadian
stroke (Goldszmidt & Caplan, 2011).

B. Klasifikasi Stroke
Ada dua klasifikasi utama stroke, yaitu stroke iskemik atau stroke non
hemoragik dan hemoragik (Corwin, 2009), hal ini didasarkan pada penyebab dan
temuan patofisiologis (Zomorodi dalam Lewis, Sharon L et al, 2011).

3
1. Stroke non hemoragi
Stroke non hemoragik dapat dibagi menjadi lima jenis berdasarkan
penyebabnya: thrombosis arteri besar, penetrasi tombosis arteri kecil (stroke
lakunar), stroke embolik kardiogenik, kriptogenik (penyebab yang belum
diketahui), dan stroke akibat penggunaan kokain, koagulopati atau pembedahan
karotid (Smeltzer, 2003).
a. Stroke trombotik arteri besar disebabkan oleh aterosklerosis plak di
pembuluh darah besar dari otak. Lokasi stroke, misalnya pada korteks
superficial (tersering arteri serebri media), serebelum, dan daerah arteri
serebral posterior (Goldszmidt & Caplan, 2011).
b. Stroke trombotik arteri kecil (stroke lakunar), mengacu pada stroke yang
berasal dari satu atau lebih penetrasi trombotik pada pembuluh darah kecil
(Smeltzer, 2003), seperti ganglia basalis, substantia alba otak, thalamus
pons, dan serebelum (Goldszmidt & Caplan, 2011).
c. Stroke emboli kardiogenik (stroke embolik) berhubungan dengan kondisi
jantung, seperti fibrilasi atrial, infark miokard, endokarditis, dan atrial
septal defect (Smeltzer, 2003). Emboli berasal dari jantung dan beredar ke
pembuluh darah otak, lokasi yang paling sering terkena adalah arteri serebri
media, serebelum dan daerah arteri serebral posterior (Goldszmidt &
Caplan, 2011).

4
d. Stroke kriptogenik sebagian pasien mengalami oklusi mendadak pembuluh
intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas.
e. Penyebab lain stroke non hemoragik yang lebih jarang adalah
fibromuskular, arteritis (misalnya, arteritis temporalis, poliarteritis nodosa),
dan gangguan hiperkoagulasi (Price, 2005).

C. Perbedaan Stroke Hemoragik Dan Stroke Non-Hemoragik

Gejala Klinis Stroke Hemoragik Stroke Non


PIS PSA Hemoragik
1. Gejala defisit lokal Berat Ringan Berat/ringan
2. SIS sebelumnya Amat jarang - +/ biasa
3. Permulaan (onset) Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
4. Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/ tak ada
5. Muntah pada awalnya Sering Sering Tidak, kecuali lesi
di batang otak
6. Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering kali
7. Kesadaran Bisa hilang Bisa hilang Dapat hilang
sebentar
8. Kaku kuduk Jarang Bisa ada pada Tidak ada
permulaan

9. Hemiparesis Sering sejak Tidak ada Sering dari awal


awal
10. Deviasi mata Bisa ada Tidak ada mungkin ada
11. Gangguan bicara Sering Jarang Sering
12. Likuor Sering berdarah Selalu Jernih
berdarah
13. Perdarahan Subhialoid Tak ada Bisa ada Tak ada

14. Paresis/gangguan N III - Mungkin (+) -

Stillwell, susan. 2011. pedoman keperawatan kritis. Jakarta : EGC

5
D. Etiologi Stroke Non Hemoragik

Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan stroke non hemoragik antara
lain:

1. Thrombosis Cerebral

Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi


sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapa menimbulkan oedema
dan kongesti di sekitarnya.Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang
sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas
simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi
serebral.Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam sete;ah
thrombosis.

Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak :

a. Atherosklerosis

Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta


berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah.
Manifestasi klinis atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat
terjadi melalui mekanisme berikut :

1) Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah.


2) Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis.
3) Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan
kepingan thrombus (embolus)
4) Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan
terjadi perdarahan.

6
b. Hypercoagulasi pada polysitemia

Darah bertambah kental , peningkatan viskositas /hematokrit meningkat


dapat melambatkan aliran darah serebral.

c. Arteritis ( radang pada arteri )

2. Emboli

Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh


bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus
di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut
berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan
dibawah ini dapat menimbulkan emboli :

a. Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease.(RHD)


b. Myokard infark
c. Fibrilasi, Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan
ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu
kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus kecil.
d. Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya
gumpalan-gumpalan pada endocardium.

E. Faktor Resiko Stroke


Faktor resiko stroke dapat dikategorikan kedalam faktor resiko yang tidak dapat
dimodifikasi (non-modifiable) dan dapat dimodifikasi (modifiable) (Zomorodi
dalam Lewis, Sharon L et al, 2011).
1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, jenis kelamin, ras,
dan herediter/keturunan (WHO, 2006).

7
a. Usia. Resiko stroke meningkat seiring dengan pertambahan usia, dua
kali lipat lebih besar ketika seseorang berusia 55 tahun. Namun, stroke
dapat terjadi juga pada semua usia (American Heart Association, 2013).
b. Jenis kelamin. Sroke juga lebih umum terjadi pada laki-laki dari pada
wanita, namun lebih banyak wanita meninggal akibat stroke dari pada
laki-laki.
c. Ras. Ras Africa- America (berkulit hitam) memiliki resiko yang lebih
besar mengalami stroke daripada ras yang berkulit putih. Hal ini
berhubungan dengan tingginya insiden hipertensi, obesitas, dan diabetes
mellitus pada ras Africa- America (Zomorodi dalam Lewis, Sharon L et
al, 2011).
d. Riwayat keluarga. Riwayat keluarga terhadap kejadian stroke, serangan
TIA sebelumnya, atau stroke sebelumnya juga meningkatkan risiko
terjadinya stroke. Orang tua yang pernah mengalami stroke dikaitkan
dengan peningkatan risiko 3 kali lipat kejadian stroke pada
keturunannya (American Heart Association, 2013) .

2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi


Faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah faktor-faktor yang berpotensi
dapat diubah melalui perubahan gaya hidup dan tindakan medis, sehingga
mengurangi risiko terjadinya stroke.
a. Hipertensi. Hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya stroke baik
non perdarahan atau perdarahan, dan juga menjadi factor terjadinya
gangguan jantung yang menjadi penyebab munculnya emboli otak.
Hipertensi sangat berpengaruh pada peredaran darah otak, karena
menyebabkan terjadinya penebalan dan remodeling pembuluh darah
hingga memperkecil diameternya.
b. Penyakit jantung. Penyakit jantung meliputi fibrilasi atrial, infark
miokard, kardiomiopati, abnormalitas katup jantung, dan kelainan

8
jantung conginetal juga temasuk kedalam faktor resiko stroke. Fibrilasi
atrium adalah faktor risiko yang paling penting diobati. \
c. Dibetes melitus. DM merupakan faktor resiko yang penting terhadap
kejadian stroke, dan meningkatkan resiko kejadian stroke pada semua
usia. Individu dengan diabetes mellitus memiliki resiko lima kali lebih
besar terserang stroke dari pada individu yang tidak menderita diabetes
mellitus (Zomorodi dalam Lewis, Sharon L et al, 2011).
d. Peningkatan kolesterol serum. Hiperlipidemia didefinisikan sebagai
kondisi dimana kadar kolesterol total lebih atau sama dengan 240 ml/dl.
Kadar kolesterol yang tinggi merupakan faktor resiko terjadinya penyakit
kardiovaskular dan sebrovaskular.
e. Merokok. Merokok merupakan faktor risiko untuk stroke, karena dapat
meningkatkan efek terbentuknya thrombus dan pembentukan
aterosklerosis pada pembuluh darah. Merokok meningkatkan hampir dua
sampai emapt kali lipat resiko stroke.
f. Efek alkohol terhadap resiko stroke tergantung pada jumlah yang alcohol
dikonsumsi. Mengkonsumsi lebih dari 1-2 minuman beralkohol setiap
hari memiliki resiko tinggi terhadap hipertensi, yang juga meningkatkan
resiko mereka menderita stroke.
g. Obesitas. Obesitas juga berkaitan dengan hipertensi, gula darah tinggi,
dan kadar lipid darah, yang semuanya meningkatkan risiko stroke.
h. Hubungan ketidakaktifan fisik dan peningkatan risiko stroke sama besar
baik pada pria maupun wanita, tanpa memandang etnis/ras. Manfaat
aktivitas fisik yang rutin dilakukan baik ringan maupun sedang dapat
memberikan efek yang menguntungkan terutama untuk menurunkan
faktor risiko.
i. Diet. Pengaruh diet pada stroke belum demikian jelas, meskipun diet
tinggi lemak jenuh dan rendah konsumsi buah dan sayuran dapat
meningkatkan risiko stroke. Penggunaan obat-obatan terlarang, terutama
penggunaan kokain, telah dikaitkan dengan risiko stroke.

9
j. Sleep apnea merupakan faktor risiko independen untuk stroke dan dapat
meningkatkan risiko stroke atau kematian 2 kali lipat.

F. Patofisiologi Stroke

10
G. Manifestasi Klinik Stroke
Manifestasi klinik klien yang terkena serangan stroke menurut (Black & Hawk,
2009), bervariasi tergantung pada penyebabnya, luas area neuron yang rusak,
lokasi neuron yang terkena serangan, dan kondisi pembuluh darah kolateral di
serebral. Manifestasi dari stroke iskemik termasuk hemiparesis sementara,
kehilangan fungsi wicara dan hilangnya hemisensori (Black & Hawk, 2009). Stroke
dapat dihubungkan dengan area kerusakan neuron otak maupun defisit neurologi,
menurut Smeltzer dan Bare (2002) manifestasi klinis dari stroke meliputi:
1. Kehilangan Motorik. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
Disfungsi motor yang paling umum adalah Hemiparesis (kelemahan) dan
hemiplegia (paralisis pada satu sisi tubuh) sering terjadi setelah stroke,
yang biasanya desebabkan karena stroke pada bagian anterior atau bagian
tengah arteri serebral, sehingga memicu terjadinya infark bagian motorik dari
kortek frontal.
2. Aphasia, klien mengalami defisit dalam kemampuan
berkomunikasi,termasuk berbicara, membaca, menulis dan memahami
bahasa lisan. Terjadi jika pusat bahasa primer yang terletak di hemisfer
yang terletak di hemisfer kiri serebelum tidak mendapatkan aliran darah
dari arteri serebral tengah karena mengalami stroke, ini terkait erat dengan
area wernick dan brocca.
3. Disatria, dimana klien mampu memahami percakapan tetapi sulit untuk
mengucapkannya, sehingga bicara sulit dimengerti. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
4. Apraksia yaitu ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya, seperti terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk
menyisir rambutnya.
5. Disfagia, dimana klien mengalami kesulitan dalam menelan karena stroke
pada arteri vertebrobasiler yang mepengaruhi saraf yang mengatur proses

11
menelan, yaitu N V (trigeminus), N VII (facialis), N IX (glossofarengeus) dan
N XII (hipoglosus).
6. Pada klien stroke juga mengalami perubahan dalam penglihatan seperti
diplopia.
7. Horner’s syndrome, hal ini disebabkan oleh paralisis nervus simpatis pada mata
sehingga bola mata seperti tenggelam, ptosis pada kelopak mata atas, kelopak
mata bawah agak naik keatas, kontriksi pupil dan berkurangnya air mata.
8. Unilateral neglected merupakan ketidak mampuan merespon stimulus dari sisi
kontralateral infark serebral, sehingga mereka sering mengabaikan salah satu
sisinya.
9. Defisit sensori disebabkan oleh stroke pada bagian sensorik dari lobus parietal
yang disuplai oleh arteri serebral bagian anterior dan medial.
10. Perubahan perilaku, terjadi jika arteri yang terkena stroke bagian otak yang
mengatur perilaku dan emosi mempunyai porsi yang bervariasi, yaitu bagian
kortek serebral, area temporal, limbik, hipotalamus, kelenjar pituitari yang
mempengarui korteks motorik dan area bahasa.
11. Inkontinensia baik bowel ataupun kandung kemih merupakan salah satu
bentuk neurogenic blader atau ketidakmampuan kandung kemih, yang kadang
terjadi setelah stroke. Saraf mengirimkan pesan ke otak tentang pengisian
kandung kemih tetapi otak tidak dapat enginterpretasikan secara benar
pesan tersebut dan tidak mentransmisikan pesan ke kandung kemih untuk
tidak mengeluarkan urin. Ini yang menyebabkan terjadinya frekuensi
urgensi dan inkontinensia.
(Black & Hawk, 2009) dan (Smeltzer & Bare, 2002)

12
Urutan Memberikan Saraf untuk dan
Nama Saraf Sifat Saraf
saraf Fungsi
I Nervus olfaktorius Sensorik Hidung, sebagai alat penciuman
II Nervus optikus Sensorik Bola mata, untuk penglihatan
III Nervus Motorik Penggerak bola mata dan mengangkat
okulomotoris kelopak mata
IV Nervus troklearis Motorik Mata, memutar mata dan penggerak
bola mata
V Nervus trigeminus Motorik dan sensorik -
N. Oftalmikus Motorik dan sensorik Kulit kepala dan kelopak mata atas
N. Maksilaris Sensorik Rahang atas, palatum dan hidung
N. Mandibularis Motorik dan sensorik Rahang bawah dan lidah
VI Nervus abdusen Motorik Mata, penggoyang sisi mata
VII Nervus fasialis Motorik dan Sensorik Otot lidah, menggerakkan lidah dan
selaput lendir rongga mulut
VIII Nervus auditorius Sensorik Telinga, rangsangan pendengaran
IX Nervus vagus Sensorik dan motorik Faring, tonsil, dan lidah, rangsangan
citarasa
X Nervus vagus Sensorik dan motorik Faring, laring, paru-paru dan
esophagus
XI Nervus asesorius Motorik Leher, otot leher
XII Nervus hipoglosus Motorik Lidah, citarasa, dan otot lidah

H. Komplikasi Stroke
Komplikasi stroke meliputi Hipoksia Serebral, penurunan aliran darah serebral, dan
luasnya area cedera.
a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi darah adekuat
ke otak.

13
b. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (pemberian intarvena)
harus menjamin penurunn viskositas darah dan memperbaiki aliran darah
serebral.
c. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium
atau dapat berasal dari katup jantung prostetik.
(Smeltzer & Bare, 2002)

I. Pemeriksaan Stroke Non Hemoragik


1. Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke


ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai
stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan
fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda
trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor
kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus okuler
(retinopati, emboli, perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan
vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan femoralis). Pasien dengan
gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan napasnya
sendiri.

2. Pemeriksaan Neurologi

Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala


stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala seperti
stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan
terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup
pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial,
fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon
profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda
meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus

14
dibedakan dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan
pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan


mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia,
trombositosis, trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat
menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti
anemia.

Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan


yang memiliki gejalah seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat
pula menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan
ginjal).

Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan


koagulopati pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika
digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.

Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara


stroke dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan
adanya hubungan anatara peningkatan enzim jantung dengan hasil yang buruk
dari stroke.

4. Pemeriksaan Radiologi
a. CT scan kepala non kontras

Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke


hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke
non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin.
Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi
anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan
lain yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses).
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami.

15
Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang
menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah
hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang
mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non
hemoragik adalah adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi
MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan gray-white matter.

b. CT perfussion

Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk


mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan
pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur.
Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut.

c. CT angiografi (CTA)

Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT


angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek
pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh
darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan
jumlah perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan
gambaran hipodense.

d. MR angiografi (MRA)

MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan


oklusi lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan
pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta
waktu pemeriksaan yang agak panjang. Protokol MRI memiliki banyak
kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2 standar dapat
dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-weighted
imaging (DWI) dan perfussion-weighted imaging (PWI) untuk
meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke non hemoragik
akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan

16
MRI. Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil.
PWI dapat mengukur langsung perfusi daerah di otak dengan cara yang
serupa dengan CT perfusion. Kontras dimasukkan dan beberapa gambar
dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan.

e. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray

Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai


stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan
dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi
anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA,
arteri karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG
(ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien dengan stroke non
hemoragik yang dicurigai mengalami emboli kardiogenik.
Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik.
Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi
pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi
kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks.

J. Penatalaksanaan medis

1. Terapi Trombolitik

Tissue plasminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan


secara intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim
proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein
pembekuan lainnya. Pada penelitian NINDS (National Institute of
Neurological Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan
dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg
(maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus IV
sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah pemberian
rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau hanya minimal. Efek
samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral, yang diperkirakan

17
sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah mendapat pengakuan
FDA pada tahun 1996.

2. Antikoagulan

Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang
mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya
bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark lakuner atau
infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan penggunaan
heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotis dan infark
serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai
terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian heparin tersebut.

a. Warfarin

Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein


plasma. Waktu paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat
urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan 3-10
mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi, terutama ren
dan gastrointestinal.

b. Heparin

Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas


lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin. Waktu paro
plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus kontinu. Dosis
biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus 250
mg dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan
dengan Whole Blood Clotting Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level
terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan:
hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare.

3. Hemoreologi

Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan


hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit,

18
peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini
menimbulkan gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline merupakan obat
yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan
oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit,
menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma.
Dengan demikian eritrosit akan mengurangi viskositas
darah.Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari, maksimum 1200
mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.

4. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)

a. Aspirin

Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan


sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi
seperti thromboxane A2. Aspirin merupakan obat pilihan untuk
pencegahan stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50
mg/hari, 80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Dosis lain yang diakui efektif
ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum terus, kecuali bila
terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah
diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam
salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80
persen. Waktu paro (half time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara
konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine). Ekskresi lewat urine,
tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang diberikan dibuang lewat
urin pada suasana alkalis. Reaksi yang merugikan: nyeri epigastrik,
muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom Reye.

b. Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)

Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin,
dapat menggunakan tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan
mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet,

19
mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan
fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-
platelet. Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan
netropenia (2,4 persen). Bila obat dihentikan akan reversibel. Pantau
jumlah sel darah putih tiap 15 hari selama 3 bulan. Komplikas yang lebih
serius, teyapi jarang, adalah pur-pura trombositopenia trombotik dan
anemia aplastik.

5. Pembedahan

Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika


kondisi pasien semakin buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark
serebral maka pemindahan dari jaringan yang mengalami infark harus
dilakukan.

a. Karotis Endarterektomi

Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang
mengalami stenosis. Pada pasien yang mengalami stroke di daerah sirkulasi
anterior atau yang mengalami stenosis arteri karotis interna yang sedang
hingga berat. Karotis Endarterektomi adalah prosedur bedah untuk
membersihkan plak dan membuka arteri karotis yang menyempit di leher.
Endarterektomi dan aspirin lebih baik digunakan daripada penggunaan
aspirin saja untuk mencegah stroke.

Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah


vertebrobasiler atau oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas akibat
prosedur karotis endarterektomi berkisar 1-5 persen. (Simon, Harvey.
Stroke – Surgery)

b. Angioplasti dan Sten Intraluminal

Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral serta


pemasangan sten metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada stenosis
arteri serebri masih dalam penelitian. Suatu penelitian menyebutkan bahwa

20
angioplasti lebih aman dilaksanakan dibandingkan endarterektomi namun
juga memiliki resiko untuk terjadi restenosis lebih besar. Carotid
angioplasty dan stenting (CAS) digunakan sebagai alternative dari carotid
endarterectoomi untuk beberapa pasien. CAS berdasarkan pada prinsip
yang sama seperti angioplasty untuk penyakit jantung.

1) Sebuah kateter tube yang sangat kecil di insersikan ke dalam arteri di


lipatan paha

2) Melalui system sirkulasi sampai mencapai area yang tersumbat di arteri


karotis

3) Dapat juga mengahancurkan bekuan dengan mengembangkan balon


kecil didalam dindng pembuluh darah (angioplasty)

4) Setelah menggembungkan balon sementara waktu, dokter biasanya


meninggalkan kawat berbentuk sirkular(stent) ke dalam pembuluh
darah untuk menjaga agar pembuluh darah tetap terbuka

(Simon, Harvey. Stroke – Surgery)

21
ASUHAN KEPERAWATAN PADA STROKE

A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a) Airway: pengkajian mengenai kepatenan jalan. Kaji adanya obstruksi pada
jalan napas karena dahak, lendir pada hidung, atau yang lain.
b) Breathing: kaji adanya dispneu, kaji pola pernapasan yang tidak teratur,
kedalaman napas, frekuensi pernapasan, ekspansi paru, pengembangan
dada.
c) Circulation: meliputi pengkajian volume darah dan kardiac output serta
perdarahan. Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, warna kulit, nadi,
dan adanya perdarahan.
d) Disability: yang dinilai adalah tingkat kesadran serta ukutan dan reaksi
pupil.
e) Exposure/ kontrol lingkungan: penderita harus dibuka seluruh pakaiannya.
2. Pengkajian sekunder
Pengkajian sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe)
termasuk reevaluasi pemeriksaan TTV.

a) Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai
riwayat perlukaan. Riwayat “AMPLE” (alergi, medikasi, past illness, last
meal, event/environment) perlu diingat.
b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan evaluasi kepala akan adanya luka,
kontusio atau fraktuf. Pemeriksaan maksilofasialis, vertebra sevikalis,
thoraks, abdomen, perineum, muskuloskeletal dan pemeriksaan
neurologis juga harus dilakukan dalam secondary survey.
c) Reevaluasi
Monitoring tanda vital dan haluaran urin penting dilakukan.
d) Tambahan pada secondary survev

22
Selama secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan
diagnostik yang lebih spesifik seperti foto tambahan dari tulang belakang
serta ekstremitas, CT-Scan kepala, dada, abdomen dan prosedur
diagnostik lain.

B. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

1.) Diagnosa keperawatan pertama: perubahan perfusi jaringan serebral


berhubungan dengan oedema serebral.

Tujuan: kesadaran penuh, tidak gelisah

Kriteria hasil tingkat kesadaran membaik, tanda-tanda vital stabil tidak ada
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.

Intervensi :

a) Pantau/catat status neurologis secara teratur dengan skala koma glascow


Rasional: Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran.
b) Pantau tanda-tanda vital terutama tekanan darah
Rasional: autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan.
c) Pertahankan keadaan tirah baring.
Rasional: aktivitas/ stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan Tekanan
Intra Kranial (TIK).
d) Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikkan dan dalam posisi
anatomis (netral).
e) Rasional:menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan
meningkatkan sirkulasi/ perfusi serebral.
f) Berikan obat sesuai indikasi: contohnya antikoagulan (heparin)
Rasional: meningkatkan/ memperbaiki aliran darah serebral dan
selanjutnya dapat mencegah pembekuan.

23
2.) Diagnosa keperawatan kedua: kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
kelemahan.
Tujuan: apat melakukan aktivitas secara minimum

Kriteria hasil mempertahankan posisi yang optimal, meningkatkan kekuatan


dan fungsi bagian tubuh yang terkena, mendemonstrasikan perilaku yang
memungkinkan aktivitas.

Intervensi:
a) Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
Rasional: mengidentifikasi kelemahan/ kekuatan dan dapat memberikan
informasi bagi pemulihan
b) Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang, miring)
Rasional: menurunkan resiko terjadinya trauma/ iskemia jaringan.
c) Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua
ekstremitas
Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu
mencegah kontraktur.
d) Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan
menggunakan ekstremitas yang tidak sakit.
Rasional: dapat berespons dengan baik jika daerah yang sakit tidak
menjadi lebih terganggu.
e) Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif, dan
ambulasi pasien.
Rasional: program khusus dapat dikembangkan untuk menemukan
kebutuhan yang berarti/ menjaga kekurangan tersebut dalam
keseimbangan, koordinasi, dan kekuatan.
3.) Diagnosa keperawatan ketiga: kerusakan komunikasi verbal berhubungan
dengan kerusakan neuromuskuler.
Tujuan: dapat berkomunikasi sesuai dengan keadaannya.

24
Kriteria hasil; Klien dapat mengemukakan bahasa isyarat dengan tepat, terjadi
kesapahaman bahasa antara klien, perawat dan keluarga

Intervensi:

a) Kaji tingkat kemampuan klien dalam berkomunikasi


Rasional: Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator
dari derajat gangguan serebral
b) Minta klien untuk mengikuti perintah sederhana
Rasional: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik
c) Tunjukkan objek dan minta pasien menyebutkan nama benda tersebut
Rasional: Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik
d) Ajarkan klien tekhnik berkomunikasi non verbal (bahasa isyarat)
Rasional: bahasa isyarat dapat membantu untuk menyampaikan isi pesan
yang dimaksud
e) Konsultasikan dengan/ rujuk kepada ahli terapi wicara.
Rasional: untuk mengidentifikasi kekurangan/ kebutuhan terapi.
4.) Diagnosa keperawatan keempat: perubahan sensori persepsi berhubungan
dengan stress psikologis.
Tujuan; tidak ada perubahan perubahan persepsi.

Kriteria hasil mempertahankan tingkat kesadarann dan fungsi perseptual,


mengakui perubahan dalam kemampuan.

Intervensi:

a) Kaji kesadaran sensorik seperti membedakan panas/ dingin, tajam/


tumpul, rasa persendian.
Rasional: penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan
kinetic berpengaruh buruk terhadap keseimbangan.
b) Catat terhadap tidak adanya perhatian pada bagian tubuh

25
Rasional:adanya agnosia (kehilangan pemahaman terhadap pendengaran,
penglihatan, atau sensasi yang lain)
c) Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan seperti berikan pasien suatu
benda untuk menyentuh dan meraba.
Rasional: membantu melatih kembali jaras sensorik untuk
mengintegrasikan persepsi dan interprestasi stimulasi.
d) Anjurkan pasien untuk mengamati kakinya bila perlu dan menyadari
posisi bagian tubuh tertentu.
Rasional:penggunaan stimulasi penglihatan dan sentuhan membantu
dalam mengintergrasikan kembali sisi yang sakit.
e) Bicara dengan tenang dan perlahan dengan menggunakan kalimat yang
pendek.
Rasional:pasien mungkin mengalami keterbatasan dalam rentang
perhatian atau masalah pemahaman.
5.) Diagnosa keperawatan kelima: kurang perawatan diri berhubungan dengan
kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan
kontrol/ koordinasi otot
Tujuan: kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi

Kriteria hasil klien bersih dan klien dapat melakukan kegiatan personal
hygiene secara minimal

Intervensi:

a) Kaji kemampuan klien dan keluarga dalam perawatan diri.


Rasional: Jika klien tidak mampu perawatan diri perawat dan keluarga
membantu dalam perawatan diri
b) Bantu klien dalam personal hygiene.
Rasional: Klien terlihat bersih dan rapi dan memberi rasa nyaman pada
klien

26
c) Rapikan klien jika klien terlihat berantakan dan ganti pakaian klien setiap
hari
Rasional: Memberi kesan yang indah dan klien tetap terlihat rapi
d) Libatkan keluarga dalam melakukan personal hygiene
Rasional: ukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam program
peningkatan aktivitas klien
e) Konsultasikan dengan ahli fisioterapi/ ahli terapi okupasi
Rasional: memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan
rencana terapi dan

27
DAFTAR PUSTAKA

Bowman, Lisa. (2009). Management Of Client With Acute Stroke. In: Black, Joice M.
& Jane Hokanson Hawks, Medical Surgical Nursing: Clinical Management For
Positive Outcome (8th ed., pp 1843-1871). Philadelpia: WB. Saunders Company

Goldszmidt, Adrian J & Caplan, Louis R. (2011). Esensial Stroke. Jakarta: EGC

Go, Alan S., Mozaffarin, D., Roger, Veronique L., Benjamin, Emelia J., Berry, Jarett
D., Borden, William D. (2013). Heart Disease and Stroke Statistics—2013
Update: A Report From the American Heart Association. 127, e132-e139.

Price, Sylvia Anderson. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: EGC

Smelzer, Suzanne C dan Brenda Bare. (2003). Brunner & Suddarth’s Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th ed. Philadelpia: Lippincot Williams & Wilkins

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC

World Health Organization. (2006). Neurological Disorders : Public Health


Challenges. pp 151-162. Switzerland: WHO Press

Zomorodi, Meg. (2011). Nursing Management Stroke. In: Lewis, Sharon L et al,
Medical Surgical Nursing: Assessment And Management Of Clinical Problem
(8th ed., pp. 1459-1484). United States of America: Elsevier Mosby

28

Anda mungkin juga menyukai