Anda di halaman 1dari 56

SISTEM HUKUM DAN KLASIFIKASI HUKUM

La Ode Dedi Abdullah (1) Endang Tri Pratiwi (2) Yanti Dja’wa (3) Rudi Abdullah(4)

Abdullah, Rudi, Asrianti Dja'wa, La Ode Dedi Abdullah, and Endang T Pratiwi.
(2018, June 9) “Sistem Hukum Dan Klasifikasi Hukum.” OpenAbdullah, Rudi et
al. “Sistem Hukum Dan Klasifikasi Hukum”. INA-Rxiv, 10 May 2018. Web.
Paper DOI https://dx.doi.org/10.17605/OSF.IO/RVUYM.
Retrieved from https://osf.io/preprints/inarxiv/rvuym

A. Pengertian Sistem Hukum


Menurut Sudikno Mertukusumo, sistem hukum merupakan tatanan atau
kesatuan yang utuh, yaitu kaidah atau pernyataan tentang yang seharusnya
sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif. Dengan kata lain, sistem
hukum adalah kumpulan unsur yang ada dalam interaksi yang antara satu dan
yang lainnya merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerja sama pada
arah tujuan kesatuan.
Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri terlepas satu dan lain, tetapi
saling terkait. Arti pentingnya adalah bahwa setiap bagian terletak pada ikatan
sistem, dalam kesatuan dan hubungannya yang sistematis dengan peraturan-
peraturan hukum lainnya.
Sistem hukum adalah kesatuan hukum yang terdiri atas bagian-bagian
hukum sebagai unsur pendunkung. Masing-masing bagian atau unsur tersebut
saling berhubungan dan bersifat fungsional, resiprokal (timbal-balik), pengaruh-
mempengaruhi, dan saling ketergantungan (independen).

B. Hukum Merupakan Suatu Sistem


Bagian-bagian dari hukum merupakan unsur-unsur yang mendukung
hukum sebagai satu kesatuan (integral) dalam suatu jaringan dengan hubungan
yang fungsional, respirokal, dan interpedensi. Misalnya HTN, HAN, hukum
pidana, hukum perdata, hukum islam, dan seterusnya yang mengarah pada tujuan
yang sama, yaitu mencipyakan kepastian hukum, keadilan dan kegunaan.
Untuk mecapai suatu tujuan dari kesatuan hukum, diperlukan kerjasama
antara bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana dan pola tertentu.
Dalam sistem hukum yang baik, tidak boleh terjadi pertentangan atau tumpang
tindih diantara bagian-bagian yang ada. Jika pertentangan terjadi, maka sistem
hukum itu sendiri yang menyelesaikannya sehingga tidak akan berlarut.
Hukum yang merupakan sistem tersusun atas sejumlah bagian yang
masing-masing merupakan sistem yang dinamakan subsistem. Semua itu
bersama-sama merupakan satu kesatuan yang utuh. Misalnya sistem hukum
positif di Indonesia, terdapat subsistem hukum perdata, subsistem hukum pidana,
subsistem hukum tata negara, subsistem hhuku islam, subsistem hukum
administrasi negara, dan lain-lain yang satu dan yang lainnya saling berbeda.
Sistem hukum di dunia ini ada bermacam-macam, yang satu dan yang lainnya
saling berbeda.
Sistem hukum menunjukkan adanya unsur-unsur dan sifat hubungannya,
sedangkan tata hukum menunjukkan struktur dan proses hubungan dari unsur-
unsur hukum. Pembagian sistem hukum dapat dilihat dari peraturan atau norma
hukum yang kemudian dikelompokkan dan disusun dalam suatu struktur atau
keseluruhan dari berbagai struktur.

C. Sistem Hukum di Indonesia


Hukum Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan asas berdasarkan
keadilan yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat yang berlaku
sekaranag di Indonesia. Sebagai hukum nasional, berlakunya hukum di Indonesia
dibatasi dalam wilayah hukum tertentu, dan ditujukan pada subjek dan objek
hukum tertentu pula. Hukum Indonesia sebagai perlengkapan masyarakat ini
berfungsi untuk menintegrasikan kepentingan-kepentingan masyarakat shingga
menciptakan ketertiban dan keteraturan. Karena hukum mengatur hubungan antar
manusia. Ukuran hubungan tersebut adalah keadilan.
Huku Indonesia pada dasarnya merupakan suatu sistem yang terdiri atas
unsur-unsur atau bagian-bagian yang satu dan yang lainnya saling berkaitan dan
berhubungan untuk mecapai tujuan yang didasarkan didalam UUD 1945 dan
dijiwai oleh falsafah Pancasila. Sebagai suatu sistem, sistem hukum di Indonesia
telah menyediakan sarana untuk menyelesaikan konflik diantara unsur-unsurnya.
Sistem hukum Indonesia juga bersifat terbuka, sehinggan disamping faktor diluar
sistem, sistem hukum Indonesia juga menerima penafsiran lain.
Salah satu hal yang spesifik dari sistem hukum Indonesia dan sistem
hukum negara lain adalah tekad untuk tidak melanjutkan hukum warisan
pemerintah kolonial yang pernah menjajahnya. Tekad ini direalisasikan dengan
melakukan perubahan fundamental pada hukum warisan kolonial.
Perubahan yang dilakukan meliputi :
a. Melakukan unufikasi terhadap KUHP;
b. Menghapus sistem pembagian golongan;
c. Memberlakukan satu sistem peradilan umum diseluruh Indonesia dengan
menghapuskan perbedaan sistem peradilan yang sempat ada pada masa
pemerintahan kolonial.

Ciri khas lain dari hukum Indonesia adalah:


a. Diberlakukannya keanekaragaman hukum perdata;
b. Berlakunya hukum tidak tertulis disamping hukum tertuli (hukum adat);
c. Membentuk hukum nasional yang mampu mengikuti perkembangan
masyarakat dan tetap mewadahi keanekaragaman hukum adat.

Klasifikasi Hukum

1. Klasifikasi Hukum Berdasarkan Bentuk


Hukum berdasarkan bentuk terbagi atas hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis. Hukum tertulis biasanya terdapat pada negara-negara yang menganut
sistem hukum Eropa Kontinental, contonhya Indonesia. Sedangkan hukum tidak
tertulis terdapat pada negara-negara yang menganut sistem hukum common low
(Anglo-Saxon), contohnya Inggris.
Hukum tertulis adalah hukum yang telah dikodifikasikan dalam
peraturan perundang-undangan. Contoh hukum tertulis adalah KUHP, KUH
Perdata, dan sebagainya. Hukum tidak tertulis merupakan hukum yang didasarkan
pada kebiasaan masyarakat. Hukum tidak tertulis biasanya disebut dengan hukum
adat karena didasarkan pada hukum adat, yang berisikan kebiasaan-kebiasaan
yang dianggap baik dan harus dpatuhi oleh masyrakat.

2. Klasifikasi Menurut Daerah Kekuasaan (Teritorial)


Klasifikasi menurut teritorial terbagi atas hukum nasional, hukum
internasional, dan hukum asing. Hukum nasional adalah hukum yang hanya
berlaku didalam wilayah negara tertentu. Hukum ini bersumber dari
yurisprudensi, doktrin, dan sebagainya. Hukum internasional merupakan hukum
yang berlaku untuk seluruh wilayah. Hukum ini terjadi karena adanya perjanjian-
perjanjian antarnegara demi terpenuhinya hak dan kewajiban serta rasa adil bagi
setiap negara. Adapun hukum asing hanya berlaku diwilayah negara lain.

3. Klasifikasi Hukum Menurut Waktu Berlakunya

Klasifikasi ini terbagi atas ius constitutum, ius constituendum, dan


hukum alam. Ius Constitutum atau sering disebut dengan hukum positif adalah
hukum yang berlaku saat ini (sekarang) bagi masyarakat. Ius Constitendum
merupakan hukum yang diharapkan berlaku untuk masa yang akan datang.
Sedangkan hukum alam adalah hukum yang berlaku dimana-mana, kapan saja,
dan untuk siapa saja.

1. Pengertian hukum, Tujuan Hukum, dan Sumber-sumber


hukum
Pengertian Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian
kekuasaan kelembagaandari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang
politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai
perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi
dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat
menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi
penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan
politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif
hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara
hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan
mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf
Aristotle menyatakan bahwa “Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari
pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela.
Pengertian Hukum yang mengandung makna luas meliputi semua peraturan. Para
ahli sarjana hukum memberikan pengertian hukum dengan melihat dari berbagai
sudut yang berlainan dan titik beratnya, contohnya ;
1. Menurut Van Kan
Hukum merupakan keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk
melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
2. Menurut Utrecht
Hukum merupakan himpunan peraturan (baik berupa perintah maupun larangan)
yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu pelanggaran petunjuk
hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah.
3. Menurut Wiryono Kusumo
Hukum adalah merupakan keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya
umumnya dikenakan sanksi.

Ditinjau dari segi bentuknya,hukum dapat dibedakan atas :


1. Hukum tertulis ( statute law, written law )
2. Hukum tak tertulis ( unstatutery law, unwritten law )
Hukum memiliki beberapa unsur, yaitu :
a. Adanya peraturan/ketentuan yang memaksa
b. Berbentuk tertulis maupun tidak tertulis
c. Mengatur kehidupan masyarakat
d. Mempunyai sanksi.

Peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat mempunyai dua bentuk yaitu


tertulis dan tidak tertulis. Peraturan yang tertulis sering disebut perundang
undangan tertulis atau hokum tertulis dan kebiasan-kebiasaan yang terpelihara
dalam kehidupan masyarakat. Sedang Peraturan yang tidak tertulis sering disebut
hukum kebiasaan atau hukum adat.

Tujuan Hukum
Tujuan hukum yang bersifat universal adalah ketertiban, ketenteraman,
kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat.
Dalam perkembangan masyarakat fungsi hukum terdiri dari :
a. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat
Hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk kehidupan. Manusia dalam
masyarakat, hukum menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk, hukum
juga memberi petunjuk, sehingga segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur.
Begitu pula hukum dapat memaksa agar hukum itu ditaati anggota masyarakat.
b. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin
– Hukum mempunyai cirri memerintah dan melarang
– Hukum mempunyai sifat memaksa
– Hukum mempunyai daya yang mengikat fisik dan Psikologis
Karena hukum mempunyai ciri, sifat dan daya mengikat, maka hukum dapat
memberi keadilan ialah dapat menentukan siapa yang bersalah dan siapa yang
benar.
c. Sebagai penggerak pembangunan
Daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau di daya gunakan
untuk menggeraakkan pembangunan. Disini hukum dijadikan alat untuk
membawa masyarakat kearah yang lebih maju.
d. Fungsi kritis hukum
Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H dalam bukunya pengantar ilmu hukum, hal 155
mengatakan:
“Dewasa ini sedang berkembang suatu pandangan bahwa hukum mempunyai
fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan
pada aparatur pemerintah (petugas) saja melainkan aparatur penegak hukum
termasuk didalamnya”.

Sumber-sumber Hukum
Beberapa pakar secara umum membedakan sumber-sumber hukum yang ada ke
dalam (kriteria) sumber hukum materiil dan sumber hukum formal, seperti ;
a. Hukum materiil : yakni sumber-sumber hukum yang ditinjau dari berbagai
perspektif.
b. Hukum formal : yakni UU, kebiasaan, jurisprudentie, traktat dan doktrin.
Namun terdapat pula beberapa pakar yang membedakan sumber-sumber hukum
dalam kriteria yang lain, seperti :
1. Menurut Edward Jenk, bahwa terdapat 3 jenis sumber hukum atau yang biasa
disebut “Forms Of Law”, antara lain :
• Statutory
• Judiviary
• Literaty
2. Menurut G.W. Keeton, sumber hukum terbagi menjadi :
• Binding sources (formal) yang terdiri dari :
– Custom
– Legislation
– judical precedents
• Persuasive sources (materiil) yang terdiri dari :
– principles of morality or equity
– professional opinion

2. Klasifikasi dan Kaidah Hukum


Klasifikasi hukum
Untuk menjelaskan tentang penggolongan hukum, ada beberapa penggolongan,
antara lain sebagai berikut:
a. Hukum Berdasarkan Sumbernya
Berdasarkan sumbernya, hukum dibedakan menjadi undang-undang, kebiasaan,
traktat, dan yurisprudensi. Hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan
disebut hukum undang-undang. Hukum yang berasal dari adat atau kebiasaan
disebut hukum adat atau hukum kebiasaan. Hukum yang dibuat oleh negara-
negara yang mengadakan perjanjian disebut hukum traktat. Hukum yang
terbentuk karena keputusan hakim disebut hukum yurisprudensi.
b. Hukum Berdasarkan Tempat Berlakunya
Berdasarkan wilayah berlakunya, hukum dapat dibedakan menjadi hukum
nasional, hukum internasional, dan hukum lokal. Hukum yang berlaku dalam
suatu negara disebut hukum nasional. Hukum yang mengatur hubungan
antarnegara disebut hukum internasional. Hukum yang menyangkut hubungan
antara dua negara disebut bilateral, sedangkan hukum yang menyangkut lebih dari
dua negara disebut multilateral. Hukum suatu negara yang berlaku di negara lain
disebut hukum asing. Hukum yang berisi kumpulan norma atau kaidah yang
ditetapkan oleh gereja dan berlaku bagi para anggotanya disebut hukum gereja.
c. Hukum Berdasarkan Waktu Berlakunya
Berdasarkan waktu berlakunya, hukum terbagi atas hukumpositif (ius
constitutum) dan hukum yang dicitakan (ius constituendum). Hukum yang berlaku
sekarang pada suatu masyarakat tertentu disebut hukum positif (ius constitutum)
atau disebut tata hukum. Hukum yang sedang dalam proses yang diharapkan
berlaku pada masa yang akan datang dan merupakan hukum yang dicita-citakan
disebut ius constituendum.
d. Hukum Berdasarkan Isinya
Berdasarkan isinya, hukum terbagi atas hukum perdata atau privat dan hukum
publik. Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan disebut hukum perdata.
Hukum yang mengatur hubungan antara orang dengan negara disebut hukum
publik.
e. Hukum Berdasarkan Cara Mempertahankannya
Berdasarkan cara mempertahankannya, hukum terbagi atas hukum material dan
hukum formal. Hukum yang memuat peraturan yang mengatur hubungan dan
kepentingan yang berwujud perintah dan larangan disebut hukum material.
Misalnya, hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang. Hukum yang mengatur
cara mempertahankan berlakunya hukum material, misalnya bagaimana cara
mengajukan tuntutan, cara hakim mengambil keputusan disebut hukum acara atau
formal.
f. Hukum Berdasarkan Bentuk atau Wujud
Berdasarkan bentuknya, hukum terbagi atas hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis. Hukum tertulis adalah hukum yang tercantum dalam peraturan tertulis.
Hukum tidak tertulis adalah hukum yang hidup dalam keyakinan masyarakat, dan
ditaati dalam kebiasaan.
g. Hukum Berdasarkan Sanksi atau Sifat .
Berdasar sanksi atau sifatnya, hukum terbagi atas hukum yang bersifat mengatur
dan hukum yang bersifat memaksa.

Kaidah hukum
Kaidah merupakan patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam
bertindak dapat dikatakan juga sebagai yang mengatur prilaku manusia dan
prilaku kehidupan bermasyarakat. Secara umum kaidah dibedakan atau dua hal
yaitu kaidah etika atau kaidahhukum.
Kaidah etika merupakan kaidah yang
meliputi norma susila, norma agama dan normakesopanan. Pada dasarnya
kaidah etika datang dari diri dalam manusia itu sendiri. Contohnya menghormati
orangnya yang lebih tua, berbuat baik pada orang tua, saling menghargai, atau
malu jika berbuat salah. Namun tidak jarang kaidah etika merupakan kaidah yang
datang dari diri manusia misalnya dari ajaran agama contohnya tidak boleh
berprilaku jahat pada orang lain.

Kaidah hukum merupakan kaidah yang memiliki sanksi tegas.


Kaidah hukum ialah kaidah yang mengatur hubungan atau intraksi antar pribadi,
baik secara langsung atau tidak langsung oleh karena itu kaidah hukum ditujukan
untuk kedamaian, ketentraman, dan ketertiban hidup bersama.
Kaidah hukum biasanya ada paksaan yang berwujud ancaman bagi para
pelanggarnya.

4. Subjek Hukum
Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam
kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum
Indonesia ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi,
institusi).
1. Manusia (naturlife persoon)
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara
kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai
subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan
ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa
dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang
menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang
sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan
perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.
seperti:
1. Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, atau belum menikah.
2. Orang yang berada dalam pengampunan yaitu orang yang sakit
ingatan, pemabuk, pemboros.
3. Badan Hukum (recht persoon).

Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi
status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan
hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia.
Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para
anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai
pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak
dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat
dibubarkan. Selain itu Subyek hukum disebut benda (zaak). Menurut hukum
perdata, bendaadalah segala barang dan hak yang dapat dimiliki orang (Pasal 499
KUH Perdata). Menurut Pasal 503 KUH Perdata, benda dapat dibagi menjadi
benda berwujud dan tidak berwujud.
1. Benda yang berwujud (lichamelijke zaken) yaitu segala sesuatu yang dapat diraba
oleh pancaindra seperti: rumah, gedung, tanah dan lain-lain.
2. Benda yang tidak berwujud (onlichamelijke zaken) yaitu segala macam hak
seperti: saham-saham atas kapal laut, hipotek, hak merek, hak cipta dan lain-lain.

Selanjutnya dalam pasal 504 KUH Perdata benda juga dapat dibagi atas benda
bergerak dan tidak bergerak.
1. Benda bergerak (rorende zaken) meliputi :
 Bergerak karena sifatnya
Benda tersebut bergerak karena sifatnya sendiri menggolongkannya ke dalam
golongan itu sendiri. Misalnya mobil.
 Bergerak karena undang-undang
Mengolongkannya kedalam golongan itu. Misalnya hak piutang dan hak gadai.
2. Benda Tidak Bergerak (onreorende zaken) meliputi :
 Benda tidak bergerak karena sifatnya sendiri yang menggolongkan ke dalam
golongan ini. Contohnya tanah dan segala sesuatu yang tetap ada didalam
lingkungan tanah tersebut. Seperti bangunan, tanaman, pohon, serta kekayaan
alam yang ada di dalam kandungan bumi dan barang-barang lain yang belum
terpisah dari lingkungan tanah tersebut.
 Benda tidak bergerak karena tujuannya menggolongkannya kedalam golongan
ini. Maksudnya segala barang yang senantiasa digunakan oleh yang mempunyai
dan yang menjadi alat tetap pada suatu benda yang tidak bergerak. Contohnya
mesin penggilingan padi yang ditempatkan didalam gedung perusahaan beras
tersebut.
 Benda tidak bergerak karena undang-undang menggolongkannya kedalam
golongan itu. Contohnya hak bina usaha, hak hipotek dan hak guna bangunan.

Sumber-sumber hukum
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan-aturan yang jika di
langgar mengakitbatkan sanksi tegas dan nyata.
Hakekatnya: tempat menemukan dan menggali hukum
arti sumber hukum:
1. Sebagai asas hukum, sesuatu yang merupakan permulaan hukum.
2. Menunjukkan hukum terdahulu menjadi/memberi bahan hukum yang kemudian.
3. Sumber berlakunya yang memberikekuatan berlaku secara formal kepada
peraturan hukum.
4. Sumber dari mana kita dapat mengenal hukum.
5. Sumber terjadinya hukum. Sumber yang menimbulkan hukum.
Sumber hukum ada 2 yaitu:
1. Suber hukum materiil: tempat dari mana materi hukum di ambil, jadi merupakan
faktor pembantu permbertukan hukum, dapat di tinjau dari berbagai sudut.
2. Sumber hukum formil ada 5 yaitu:
1) UU (statute)
2) Kebiasaan (custom)
3) Keputusan hakim (jurisprudentie)
4) Trakta
5) Pendapat sarjana hukum (doktrin)
UU adalah perturan negara yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang
diadakan dan di pelihara oleh negara.
Tingkatan pertuaran: UU45-UU-PERPU-KEPRES-PERDA-PERDES

SUMBER-SUMBER HUKUM

1. UU ADA 2 YAITU:
1. UU (formil) keputusan pemerintah yang merupakan UU karena cara
pembuatannya. UU dibuat oleh president dan DPR.
2. UU (Materil) adalah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat
langsung setiap penduduk.
Berlakunya UU: menurut tanggal yang ditentukan sendiri oleh UU itu sendiri:
a) Pada saat di undangkan
b) Pada tanggal tertentu
c) Ditentukan berlaku surut
d) Ditentukan kemudian/dengan peraturan lain
Berakhirnya UU.
a) Ditentukan oleh UU itu sendiri
b) Di cabut secara tegas
c) UU lama bertentangan dengan UU baru
d) Timbulnya hukum kebiasaan yang bertentangan dengan UU/UU sudah tidak di
taati lagi
Sebuah peraturan hukum biar berlaku terus harus (extraordineri)
Di indonesia hanya ada 2 yaitu: 1. Pembrantasan teroris. 2. Pelanggaran ham.

Asas-asas berlakunya UU
a) LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIORI: UU yang kedudukannya lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan UU yang kedudukannya lebih tinggi
dalam mengatur hal yang sama.
b) LEX SPECIALE DEROGAT LEGI GERERALI: UU bersifat khusus
mengesampingkan UU yang bersifata umum, apabila UU tersebut sama
kedudukannya.
c) LEX POSTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI: UU yang berlaku belakangan
membatalakan UU terdahulu sejauh UU itu mengatur hal yang sama
d) NULLUM DELICTIM NOELLA POENA SINC PRAEVIA LEGI POENATE:
tidak ada pembuatan dapat di hukum kecuali sudah ada peraturan sebelum
perbuatan dilakukan.
Jadi UU yang telah diundangkan di anggap telah di ketahui setiap orang sehingga
pelanggar UU mengetahui UU yang bersangkutan.
2. KEBIASAAN
Kebiasaan merupakan sumber hukum tertua. Kebiasaan adalah perbuatan
manusia yang tetap dan berulang. Sehingga merupakan pola tingkah laku yang
tetap, ajeg, lazim, dan normal/perilaku yang di ulang yang mnimbulkan kesadaran
bahwa perbuatan itu baik.
Kebiasaan/adat/custom akan menimbulkan hukum jika UU menunjukkan
pada kebiasaan untuk di berlakukan. Pasal 15 AB: kebiasaan tidak menimbulkan
hukum, kecuali jika UU menunjuk pada kebiasaan untuk di berlakukan kebiasaan
dapat menjadi sumber hukum,
Syarat-syaratnya yaitu:
1) Perbuatan itu harus sudah berlangsung lama.
2) Menimbulkan keyakinan umum bahwa perbuatan itu merupakan kwajiban
hukum.
“Demikian Selanjutnya”
3) Ada akibat hukum jika kebiasaan hukum dilanggar.
Pasal 1339 “BW” persutujuan tidak hanya mengikat untuk apa yang telah di
tetapkan dengan tegas oleh persetujuan, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut
sifat persetujuan itu di wajibkan oleh kebiasaan.
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang diajukan, dengan dalih bahwa hukum tidak/ kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

3. YURRISPRUDENTIE (presedent)

Yurrisprudentie adalah putusan hakim (pengadilan) yang


mengikuti/mendasarkan putusan hakim terdahulu dalam perkara yang sama. Ada
3 penyebab (alasan) seorang hakim mengikuti 2 putusan hakim yang lain
(menurut utrecht, yaitu:)
a) Psikologis: seorang hakim mengikuti putusan hakim lainnya kedudukannya lebih
tinggi, karena hakim adalah pengwas hakim di bawahnya. Putusan hakim yang
lebih tinggi membpunyai “GEZAG” karena di anggap lebih brpengalaman.
b) Praktisi: mengikuti 2 putusan hakim lain yang kedudukannya lebih tinggi yang
sudah ada. Karena jika putusannya beda dengan hakim yang lebih tinggi maka
pihak yang di kalahkan akan melakukan banding/kasasi kepada hakim yang
pernah memberi putusan dalam perkara yang sama agar perkara di beri putusan
sama dengan putusan sebelumnya.
c) Sudah adil, tepat dan patut: sehingga tidak ada alasan untuk keberatan mengikuti
putusan hakim yang terdahulu.
4. TRAKTAT
Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh 2 negara/lebih.
a) Negara: bilateral.
b) Lebih dari 2 negara: multilateral.
c) Perjanjian terbuka/kolektif: perjanjian multilateral yang memberi kesempatan
negara lain yang tidak ikut mengadakan perjanjian untuk menjadi pihak.
Perjanjian antar negara di bedakan mendadi treaty dan agreement treaty
adalah perjanjian yang kurang penting.
Treaty harus di sampaikan kepada parlement untuk mendapat persetujuan
sebelum diratifikasi president/kepala negara.

MATERI-MATERI TREATY:
a) Masalah-masalah politik/yang lain yang dapat mempengaruhi haluan politik
negeri.
b) Ikatan-ikatan sedemikian rupa yang mempengaruhi haluan politik negara.
c) Masalah-masalah yang menurut UUD/peraturan perundang-undangn harus diatur
dengan UU.
AGREMENT merupakan perjanjian dengan menteri-menteri lain yang hanya
disampingkan kepada parlement/DPR untuk di ketahui setelah di shkan kepala
negara.
Fase/tahap traktat.
a) Sluiting: penetapan isi perjanjian oleh delegasi pihak-pihak yang bersangkutan,
melahirkan/menghasilkan konsep trakta/sluiting soor konde.
b) Persutujuan masing-masing parlement yang bersangkutan.
c) Ratifikasi (pengesahan) oleh masing-masing kepala negara. Maka berlaku untuk
semua wilayah negara.
Di afkondiging (pengumuman) saling menyampaikan piagam perjanjian.
Traktat berlaku setelah ratifikasi.
5. DOKTRIN
Doktrin menjadi sumber hukum karena UU perjanjian internasional dan
yurisprudensi tidak memberi jawaban hukum sehingga di carilah pendapat ahli
hukum.
Berlaku: communis opinio doctorum: pendapat umum tidak boleh
menyimpang dari pendapat para ahli.
a) Commentaries on the laws at england oleh sir william black stone.
b) Ajaran imam syafi’i, banyak di gunakan oleh PA (pengadilan agama) dalam
putusan
c) Trias politika
 Lock: LEF (LEGISLATIF, EXSEKUTIF, FEDERATIF)
 QUIEU: LEY (LEGISLATIF, EXDEKUTIF, YUDIKATIF)
 KANT: TRIAS POLITIKA.

PENDEKATAN HUKUM
A. MENURUT ISINYA:
1. HUKUM PUBLIK: hukum yang mengatur hubungan hukum yang menyangkut
kepentingan umum.
2. HUKUM PRIVAT: hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang
menyangkut kepentingan pribadi.

B. Menurut bentuknya:
1. Hukum tertulis: hukum sebagaimana tercantum dalam peraturan perundangan-
undangan.
2. Hukum tidak tertulis: hukum yang terdapat dalam masnyarakat di taati dalam
pergaulan.

C. Menurut tempat berlakunya:


1. Hukum Nasional: hukum yang berlaku dalam satu wilayah Negara.
2. Hukum internasional: hukum yang berlaku di berbagai Wilayah Negara.

D. 1. IUS CONSTITUTUM: hukum yang berlaku pada suatu Negara pada


saat ini.
2. IUS CONSTITUENDUM: hukum yang di harapkan/di cita-citakan berlaku pada
waktu yang akan datang.

E. Menurut sifat/kekuatan mengikatnya:


1. Hukum Fakultatif: peraturan hukum yang boleh di ke sampingkan oleh
orang/pihak yang berkepentingan
2. Hukum Imperatif: peraturan hukum yang tidak boleh di kesampingkan oleh
orang/pihak yang erkepentingan.

IMPERAIF: 1320 BW:

F. Menurut dasar pemeliharaannya/cara mempertahankannya:


1. Hukum Materil: hukum yang mengatur isi hubungan-hubungan hukum dalam
masyarakat.
2. Hukum Formil: hukum yang mengatur cara mempertahankan/menegakkan hukum
materil.
(HUKUM ACARA PERDATA)
(HUKUM ACARA MILITER)
(HUKUM ACARA MK)
(HUKUM ACARA PIDANA)

G. Menurut penerapannya:
1. Hukum In Abstracto[1]: semua peraturan hukum yang berlaku pada suatu negara
yang belum di terapkan terhadap sesuatu kasus oleh pengadilan
2. Hukum In Conerito[2]: peraturan hukum yang berlaku pada suatu negara yang
telah di terapkan oleh pengadilan terhadap suatu khasus yang terjadi dalam
masyarakat
MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM
Match Day 2
KONSEP ILMU, ILMU HUKUM DAN HUKUM
A. ILMU
Apa ilmu itu?. Dalam thesaurus Bahasa Indonesia, Il
mu diartikan sebagai (1) bidang,
disiplin, keahlian, lapangan, lingkungan, sains; (2
) kemahiran, kepandaian, kesaktian,
keterampilan, pengetahuan.
1
Sjachran Basah mengatakan: “ilmu ialah sesuatu yang
didapat dari pengetahuan dan
pengetahuan ini diperoleh dengan berbagai cara. Tid
ak semua pengetahuan itu merupakan
ilmu, sebab setiap pengetahuan itu baru dinamakan i
lmu kalau ia memenuhi syarat-
syaratnya”.
2
Pengetahuan itu banyak ragamnya,meliputi berbagai h
al yang sejauh mungkin orang
dapat mengetahui dari pengalaman-pengalaman dan ket
erangan-keterangan. Pada tahap
permulaan memang setiap ilmu yang melaiputi berbaga
i masalah dirangkum dalam falsafah.
Falsafah inilah yang harus menjawab pertanyaan-perta
nyaan pendahuluan dari ilmu itu. Ia
menjawab masalah, apa sebenarnya ilmu pengetahuan i
tu.
3
Dalam berbagai referensi mengenai filsafat ilmu dia
jarkan bahwa “ilmu
pengetahuan” dibagi atas 2 bagian, yaitu: (1) ilmu
itu sendiri, yakni terdiri atas teori-teori
sebagai hasil renungan (kontemplasi) dan hasil-hasi
l penelitian ilmiah, misalnya ilmu sosial,
ilmu alam dan sebagainya; (2) Pengetahuan, yakni ke
terampilan-keterampilan yang berhasil
dimiliki manusia untuk kehidupannya, seperti ketera
mpilan menjahit pakaian, keterampilan
mengemudikan mobil dan sebagainya. Pada dasarnya se
tiap “ilmu” memiliki 2 macam objek,
yaitu objek materiel dan objek formal. Objek materi
il adalah sesuatu yang dijadikan sasaran
penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek ma
terial ilmu kedokteran, megara adalah
objek material ilmu negara, norma adalah objek mate
rial ilmu hukum. Adapun objek
formalnya adalah metode untuk memahami objek materi
al tersebut, seperti pendekatan
induktif dan deduktif.
4
1
Tim Redaksi Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
, 2008,
Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa
. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, hlm.198.
2
I Gde Pantja Astawa&Suprin Na’a, 2009,
Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara
, Refika Aditama,
Bandung, hlm.19.
3
Ibid
.
4
Ibid
., hlm.20.
Dalam bagian akhir sub-bab, I Gde Pantja Astawa dan
Suprin Na’a, setelah
memberikan uraian mengenai perbedaan antara “ilmu”
dan “teori” menyimpulkan bahwa
“teori adalah elemen dari ilmu, sedangkan ilmu adal
ah kumpulan dari teori-teori”.
5
Tidak bijak jika hanya memahami “ilmu” dari satu li
teratur saja. Soedjono
Dirdjosisworo dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum ju
ga memberikan pemahaman
terhadap ilmu pengetahuan. Adapun salah satu defini
si tentang ilmu adalah bahwa ilmu
merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisas
ikan. Atau ilmu adalah kesatuan
pengetahuan yang terorganisasikan. Ilmu dapat pula
dilihat sebagai suatu pendekatan atau
suatu metoda pendekatan terhadap seluruh dunia empi
ris, yaitu dunia yang terikat oleh
faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya
dapat diamati oleh pancaindera
manusia.
6
Masih dalam Buku yang sama, ciri-ciri yang pokok ya
ng terdapat pada pengertian
ilmu itu adalah:
7
1.
Bahwa ilmu itu rasional (dihasilkan dari sebuah ket
ertundukan kepada logika formal)
2.
Bahwa ilmu itu bersifat empiris (harus dapat ditund
ukkan kepada pemeriksaan atau
pada verifikasi pancaindera manusia)
3.
Bahwa ilmu itu bersifat umum (kebenaran-kebenaran y
ang dihasilkan oleh ilmu itu
dapat diverifikasikan oleh peninjau-peninjau ilmiah
yang mempunyai hak dan
kemampuan melakukan itu. Kebenaran-kebenaran yang d
ihasilkan tidak bersifat
rahasia dan tidak dirahasiakan, melainkan memiliki
nilai sosial dan kewibawaan
ilmiah serta diselidiki dan dibenarkan validitasnya
oleh sebanyak mungkin ahli dalam
bidang ilmu tersebut)
4.
Bahwa ilmu itu bersifat akumulatif (kelanjutan dari
ilmu yang telah dikembangkan
sebelumnya).
B. ILMU HUKUM
Setelah memahami yang dimaksud dengan ilmu atau ilm
u pengetahuan, maka
saatnya untuk memasuki area yang lebih dalam lagi y
aitu memahami “Ilmu Hukum”. Apa itu
ilmu hukum?. Terdapat beberapa pemahaman yang diber
ikan oleh beberapa ahli hukum
untuk mendefinisikan atau menjelaskan “ilmu hukum”.
Berikut definisi/penjelasan yang
dimaksud sebagaimana dikutip dari beberapa literatu
r:
5
Ibid
., hlm.25.
6
Soedjono Dirdjosisworo, 2010,
Pengantar Ilmu Hukum
, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.63-64.
7
Ibid
., disarikan dari hlm.64-69.
1. Buku Pengantar Ilmu Hukum (Peter Mahmud Marzuki)
8
Dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, Peter Mahmud Ma
rzuki memulai dengan
menuliskan ungkapan lama
quot homines, tot sententiae
yang artinya “sebanyak jumlah
manusia itulah banyaknya pengertian”. Dalam Bahasa
Inggris ilmu hukum disebut
jurisprudence
, dalam Bahasa Belanda ilmu hukum adalah
rechtwetenchap
, dalam Bahasa
Prancis disebut
theorie generale du droit
, Bahasa Jerman secara bergantian menyebutnya
sebagai
jurisprudenz
dan
rechtswissenschaft
. Beberapa penulis berbahasa Inggris ada yang
menyebut ilmu hukum sebagai
the science of law
atau
legal science.
Membaca keseluruhan Bab 1 tentang Karakteristik Ilm
u Hukum dalam buku Peter
Mahmud Marzuki ini akan diketemukan berbagai pergul
atan mengenai makna atau esensi
ilmu hukum itu sendiri. Sejarah timbulnya ilmu huku
m dan berbagai pendapat berikut tokoh-
tokoh yang mencetuskannya diulas dalam bab tersebut
. Dari penelusuran sejarah
perkembangan ilmu hukum, terdapat 3 hal penting yan
g dikemukakan, pertama, ilmu
hukum lahir sebagai suatu ilmu terapan. Kedua, ilmu
hukum mempelajari aturan-aturan
yang ditetapkan oleh penguasa, putusan-putusan yang
diambil dari sengketa yang timbul,
dan doktrin-doktrin yang dikembangakan oleh ahli hu
kum. Ketiga, metode yang digunakan
di dalam ilmu hukum adalah penalaran (analisis, sin
etsis, dan dialektika) yang menghasilkan
prinsip-prinsip hukum yang bersifat umum.
Selain itu, Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa
ilmu hukum merupakan
disiplin bersifat
sui generis
(bahasa Latin yang artinya hanya satu untuk jenisny
a sendiri).
Peter Mahmud Marzuki menolak ilmu hukum dimasukkan
dalam klasifikasi studi yang
bersifat empiris, ilmu sosial atau ilmu humaniora.
Titik anjak dalam mempelajari hukum
adalah memahami kondisi intrinsik aturan-aturan huk
um. Hal inilah yang membedakan ilmu
hukum dengan disiplin-disiplin lain yang objek kaji
annya juga hukum. Disiplin-disiplin lain
tersebut memandang hukum dari luar, dengan melihat
kondisi intrinsik aturan hukum, ilmu
hukum mempelajari gagasan-gagasan hukum yang bersif
at mendasar, universal, umum, dan
teoritis serta landasan pemikiran yang mendasarinya
. Karakter ilmu hukum bersifat
preskriptif dan terapan.
2. Buku Pengantar Ilmu Hukum (Soedjono Dirdjosiswor
o)
Secara garis besar ilmu hukum dapat dijelaskan seba
gai berikut:
9
a.
Ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang
bersifat manusiawi,
pengetahuan tentang benar dan yang tidak benar menu
rut harkat kemanusiaan;
b.
Ilmu yang formal tentang hukum positif;
8
Disarikan dari Peter Mahmud Marzuki, 2009,
Pengantar Ilmu Hukum
, Kencana, Jakarta, hlm.1-39.
9
Soedjono Dirdjosisworo,
op.cit.,
hlm 46-48.
c.
Sintesa ilmiah tentang asas-asas yang pokok dari hu
kum;
d.
Penyelidikan oleh para ahli hukum tentang norma-nor
ma, cita-cita dan teknik-teknik
hukum dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh
dari berbagai disiplin di luar
hukum yang mutakhir;
e.
Ilmu hukum adalah nama yang diberikan kepada suatu
cara untuk mempelajari hukum
suatu penyelidikan yang bersifat abstrak, umum, dan
teoritis, yang berusaha
mengungkapkan asas-asas yang pokok dari hukum;
f.
Ilmu hukum adalah ilmu tentang hukum dalam seginya
yang paling umum. Segenap
usaha untuk mengembalikan suatu kasus kepada suatu
peraturan, adalah kegiatan ilmu
hukum, sekalipun nama yang umumnya dipakai dalam ba
hasa Inggris dibatasi pada
artiannya sebagai aturan-aturan yang paling luas da
n konsep yang paling fundamental;
g.
Teori ilmu hukum menyangkut pemikiran mengenai huku
m atas dasar yang paling luas.
h.
Suatu diskusi teoritis yang umum mengenai hukum dan
asas-asas sebagai lawan dari
studi mengenai peraturan-peraturan hukum yang konkr
it;
i.
Ia meliputi pencarian ke arah konsep-konsep yang tu
ntas yang mampu untuk
memberikan ekspresi yang penuh arti bagi semua caba
ng ilmu hukum;
j.
Ilmu hukum adalah pengetahuan hukum tentang hukum d
alam segala bentuk dan
manifestasinya;
k.
Pokok bahasan ilmu hukum adalah luas sekali meliput
i hal-hal yang filsafati, sosiologis,
historis maupun komponen-komponen analitis dari teo
ri hukum;
l.
Ilmu hukum berarti setiap pemikiran yang teliti dan
berbobot mengenai semua tingkatan
kehidupan hukum, asal pemikiran itu menjangkau kelu
ar batas pemecahan terhadap
suatu problem yang konkrit, jadi ilmu hukum meliput
i semua macam generalisasi yang
jujur dan dipikirkan masak-masak di bidang hukum.
Dengan berbagai pendapat tersebut (f dan l adalah p
andangan Satjipto Rahardjo)
maka akan semakin jelaslah mengenai ruang lingkup y
ang dipelajari oleh ilmu hukum.
Termasuk dalam ilmu hukum ini adalah:
a.
Ilmu kaidah, yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai
kaidah atau sistem kaidah-kaidah
dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum.
b.
Ilmu pengertian, yakni ilmu tentang pengertian-peng
ertian pokok dalam hukum, seperti
misalnya subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa
hukum, hubungan hukum, dan
obyek hukum.
c.
Ilmu kenyataan, yakni menyoroti hukum sebagai kelak
uan atau sikap tindak, yang antara
lain dipelajari dalam sosiologi hukum, antropologi
hukum, psikologi hukum, perbandingan
hukum dan sejarah hukum (Purnadi Purbacaraka, Soerj
ono Soekanto, 1978).
C. HUKUM
Tidak mudah untuk merumuskan definisi atau menjawa
b pertanyaan “apakah hukum
itu?”. Dalam perkembangannya justru memunculkan dua
kubu yang berbeda pendapat.
Pendapat pertama diantaranya menyatakan bahwa tidak
mungkin memberikan definisi
tentang hukum, yang sungguh-sungguh dapat memadai k
enyataan. Kubu ini dipengaruhi
oleh pendapat beberapa pakar hukum, salah satunya a
dalah I.Kisch yang mengatakan

doordat het recht onwaarneembaar is onstaat een moe
lijkheid bij het vinden van een
algemeen bevredigende definitie
”, “Oleh karena hukum itu tidak dapat ditangkap
pancaindera, maka sukar membuat suatu definisi huku
m yang memuaskan umum”.
10
Kubu
ini dapat dibenarkan, apalagi jika kembali ke ungka
pan lama yang ditulis oleh Peter Mahmud
Marzuki di atas, ditanyakan pada 100 orang tentang
definisi hukum bisa jadi 100 definisi
yang didapatkan. Sulit untuk mencari definisi hukum
yang definitif atau tunggal. Coba simak
buku berjudul Teori Hukum;Strategi Tertib Manusia L
intas Ruang dan Generasi yang ditulis
oleh Bernard L.Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Mark
us Y.Hage, dalam buku tersebut
terdapat sekitar 48 definisi hukum yang berbeda sat
u dengan yang lainnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa definisi itu ada m
anfaatnya, sebab pada saat itu
juga dapat memberi sekedar pengertian pada orang ya
ng baru mulai tentang apa yang
dipelajarinya, setidak-tidaknya digunakan sebagai p
egangan.
11
Kubu ini juga benar adanya,
penting bagi seseorang yang baru memulai belajar il
mu hukum atau bagi masyarakat awam
mengetahui atau setidaknya memiliki gambaran yang jelas mengenai
definisi hukum. Oleh karena itu lebih bijak jika dirumuskan unsur-unsur
dan ciri-ciri yang terkandung dari beraneka ragam pendapat tentang definisi
hukum. Unsur-unsur tersebut antara lain:
12
1.peraturan mengenai tingkah laku manusia;
2.peraturan itu dibuat oleh badan berwenang;
3.peraturan itu bersifat memaksa, walaupun tidak dapat dipaksakan;
4.peraturan itu disertai sanksi yang tegas dan dapat dirasakan oleh yang
bersangkutan.
Sedangkan ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
13
1.adanya suatu perintah, larangan, dan kebolehan;
2.adanya sanksi yang tegas. MP7™
10
Dudu Duswara Machmudin, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung,
hlm.6-7.

Hukum Pidana
Wishnu Kurniawan, SH.
1

Pengertian Hukum Pidana


Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah Hukum Pidana dengan membagi dua, yaitu:
a) Hukuman
b) Pidana
2

Pengertian Hukum Pidana


Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara sebagai dasar dan aturan untuk:
1.
Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang
berupa pidana bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
2.
Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang
melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana.
3.
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
3

Hakekatnya
Hukum
Pidana
merupakan
rangkaian
peraturan yang mengatur pelbagai macam
perbuatan yang wajib dilakukan dan yang
dilarang, siapa yang melakukan, serta akibat
hukumnya (sanksi), dan apa yang diberikan
apabila terjadi pelanggaran.
4
PDF processed with CutePDF evaluation edition
www.CutePDF.com
2
Sifat Hukum Pidana
Dua Unsur Pokok Hukum Pidana
1.
Adanya Suatu Norma yaitu adanya larangan atau
suruhan (kaidah)
2.
Adanya Sanksi atas pelanggaran norma itu berupa
ancaman dengan hukuman pidana
Sifat Pidana Terhadap Kejahatan
Kejahatan adalah pelanggaran dari norma-norma yang
telah disebutkan dalam unsur-unsur hukum pidana diatas
yang berlaku juga bagi bidang hukum lain yaitu perdata,
tata negara, administrasi negara.
5

Tujuan Hukum Pidana


Menurut Prof. Moeljatno, S.H.
• Mempertahankan Civil Morality (standart moral
masyarakat) yang didasarkan pada kesalahan.
• Mempertahankan “Standart Social Utility” dalam arti
kemanfaatan Hukum pidana bagi masyarakat. Hal ini
tampak dalam perkembangan Hukum Pidana dimana
subyek Hukum pidana/pelakunya selain manusia,
termasuk korporasi/badan hukum
6

Tujuan Hukum Pidana


Menurut Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H.
• Untuk menakut – nakuti orang agar jangan sampai
melakukan kejahatan, baik secara menakut – nakuti orang
banyak maupun menakut – menakuti orang tertentu yang
sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak
melakukan kejahatan lagi.
• Untuk mendidik atau memperbaiki orang – orang yang
sudah menandakan suka melakuka
n kejahatan, agar menjadi
orang yang baik tabiatnya.
7

Penggolongan Hukum Pidana


I.
Ilmu-ilmu Hukum Pidana Sistematik
a. Hukum Pidana Materiil
b. Hukum Acara Pidana ( Hukum Pidana Formil )
II.
Ilmu Hukum Pidana
a. Kriminologi (ilmu pengetahuan tentang perbuatan kejahatan)
b. Kriminalistik (ajaran tentang pengusutan)
c. Psikiatri Forensik & Psikologi
Forensik (kejiwaan dari pelaku)
d. sosiologi Hukum Pidana (hukum
pidana & gejala dalam masy)
8
1
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A
.
Hukum
Pidana
d
an Karakteristiknya
Sampai saat ini, pengertian hukum belum ada yang pasti.
Atau dengan
kata lain, belum ada sebuah pengertian hukum yang
dijadikan standar dalam
memahami makna dan konsep hukum.
1
Notohamidjojo
mendefinisikan hukum
adalah
sebagai
keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang
biasanya bersifat memaksa, untuk kelakuan manusia
dalam masyarakat negara
(serta antar negara), yang mengarah kepada keadilan,
demi terwujudnya tata
damai, deng
an tujuan memanusiakan
manusia dalam masyarakat.
2
Sedangkan
menurut Soedarto pidana adalah penderitaan yang sengaja
di bebankan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat
-
syarat tertentu.
3
W.L.G Lemaire memberikan pengertian mengenai hukum
pidana itu
terdiri dari norma
-
norma yang berisi keharusan
-
keharusan dan larangan
-
larangan yang (oleh pembentuk undang
-
undang) telah dikaitkan dengan suatu
sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang
bersifat khusus. Dengan
demikian dapat juga dikat
akan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu
sistem norma
-
norma yang menentukan terhadap tindakan
-
tindakan yang mana
(hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dimana terdapat suatu
1
Ranidar Darwis, 2003,
Pendidikan Hukum dalam
Konteks Sosial Budaya bagi Pembinaan
Kesadaran Hukum Warga Negara
, Bandung: Departemen Pendidikan Indonesia UPI, Hal 6.
2
O. Notohamidjojo, 2011,
Soal
-
Soal Pokok Filsafat Hukum,
Salatiga: Griya Media, Hal 121.
3
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005,
Teori
-
T
eori dan Kebijakan Pidana,
Bandung: Alumni,
Hal 2.
16
keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaaan
-
keadaan bag
aimana
yang dapat dijatuhkan bagi tindakan
-
tindakan tersebut.
4
Dengan demikian Hukum Pidana diartikan sebagai suatu
ketentuan
hukum/undang
-
undang yang menentukan perbuatan yang
dilarang/pantang
untuk dilakukan dan ancaman sanksi terhadap
pelanggaran larangan tersebut.
Banyak ahli berpendapat bahwa Hukum Pidana menempa
ti tempat tersendiri
dalam sistemik hukum, hal ini disebabkan karena hukum
pidana tidak
menempatkan norma tersendiri, akan tetapi memperkuat
norma
-
norma di
bidang hukum lain dengan menetapkan ancaman sanksi
atas pelanggaran
norma
-
norma di bidang hukum lain
tersebut.
5
Pengertian diatas sesuai dengan
asas hukum pidana yang terkandung dalam Pasal 1 ayat 1
KUHP dimana
hukum pidana bersumber pada peraturan tertulis
(undang
-
undang dalam arti
luas) disebut juga sebagai asas legalitas
6
.
Berlakunya asas legalitas
m
emberikan sifat perlindungan pada undang
-
undang pidana yang melindungi
rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas
dari pemerintah.
Karakteristik hukum adalah memaksa disertai dengan
ancaman dan
sanksi. Tetapi hukum bukan dipaksa untuk membenarkan
persoalan yang salah,
atau memaksa mereka yang tidak berkedudukan dan tidak
beruang. Agar
peraturan
-
peraturan hidup kemasyarakatan benar
-
ben
ar dipatuhi dan ditaati
sehingga menjadi kaidah hukum, maka peraturan
kemasyarakatan tersebut
harus dilengkapi dengan
unsur
memaksa. Dengan demikian, hukum
4
P.A.F. Lamintang, 1984,
Dasar
-
Dasar Hukum Pidana Indonesia,
Bandung: Sinar Baru, Hal 1
-
2.
5
M. Ali Zaidan, 2015,
Menuju Pembaruan HUKUM PIDANA,
Jakarta: Sinar Grafika, Hal 3.
6
Asas Legalitas adalah asas yang menentukan bahwa tiap
-
tiap peristiwa pidana (delik/tindak
pidana) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang
-
undang atau setidak
-
tidaknya oleh
suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu
mela
kukan perbuatannya.
17
mempunyai sifat mengatur dan memaksa setiap orang
supaya mentaati tata
tertib dalam masyarakat serta
memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman)
terhadap siapa saja yang tidak mau mematuhinya.
7
Adanya aturan
-
aturan yang bersifat mengatur dan memaksa anggota
masyarakat untuk patuh dan menaatinya, akan
meyebabkan terjadinya
keseimbangan dan kedamaian dal
am kehidupan mereka.
Para pakar hukum
pidana mengutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah
pertama,
untuk
menakut
-
nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan
(preventif).
Kedua,
untuk mendidik atau memperbaiki orang
-
orang yang sudah
menandakan suka
melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik
tabi’atnya (represif).
8
Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi
kepentingan orang
perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat.
Tujuan hukum pidana di
Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancas
ila yang mampu membawa
kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara. Dengan
demikian hukum
pidana di Indonesia adalah mengayomi seluruh rakyat
Indonesia. Tujuan
hukum pidana dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
9
1
.
Tujuan hukum pidana sebagai hukum Sanksi.
Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati yang bertujuan
member
dasar adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi
pidana dan
sekaligus sebagai parameter dalam menyelesaikan
pelanggaran
pidana. Tujuan ini biasanya tidak tertulis dalam pasal
hukum
pida
na
tapi bisa dibaca dari semua ketentuan hukum pidana atau
dalam penjelasan umum.
7
Suharto dan Junaidi Efendi, 2010,
Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Mulai
Proses Penyelidikan Sampai Persidangan,
Jakarta: Prestasi Pustaka, Hal 25
-
26.
8
Wirjono Prodjodikoro, 2003,
Asas
-
Asas Hukum Pidana
di
Indonesia,
Bandung: PT. Refika
Aditama, Hal 20.
9
Teguh Prasetyo, 2010,
Hukum Pidana
, Jakarta: Rajawali Press, Hal 7.

Pendahuluan
Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti
pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam
hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-
perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa
pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan.
1
Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa
hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka hukum
pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara Indonesia.
Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan
nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali
digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana
bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain
penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi
manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan
mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu
dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu
*
Dosen Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
1
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), p. 1

Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia (PDF Download


Available). Available from:
https://www.researchgate.net/publication/315694014_Sejarah_dan_Problematika_
Hukum_Pidana_Materiel_di_Indonesia [accessed May 24 2018].

Discover scientific knowledge at ResearchGate, and make your research visible.


Join for free
See all ›
13 References
Download full-text PDF
Ad

Sejarah dan Problematika Hukum


Pidana Materiel di Indonesia
Article (PDF Available) · March 2006 with 815 Reads

 Ahmad Bahiej
o Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstract
Abstrak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih diberlakukan
di Indonesia saat ini merupakan salah satu dari sekian ratus peraturan hukum
warisan kolonial Belanda. KUHP ini mulai diberlakukan secara resmi di
Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918. Namun sebelum KUHP itu diberlakukan
sebenarnya bangsa Indonesia telah mengenal aturan hukum pidana dalam
kehidupan hukum adatnya. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang
pernah menduduki Indonesia pada tahun 1602-1799 dan masa kolonial sebelum
1918 pun pernah memberlakukan hukum pidananya. Perjalanan historis hukum
pidana materiel di Indonesia tersebut membawa dinamika dan problematika
tersendiri yang diharapkan dapat dijadiklan pijakan dalam pembaharuan hukum
pidana materiel saat ini. Kata kunci: KUHP, sejarah KUHP, problematika hukum
pidana A. Pendahuluan Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana
menemukan arti pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak,
di dalam hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-
perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana
(nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan. 1 Sifat publik
yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu
bersifat nasional. Dengan demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan
ke seluruh wilayah negara Indonesia. Di samping itu, mengingat materi hukum
pidana yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana
seringkali digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana
bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan
hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang
melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum
pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks
masyarakat di mana hukum pidana itu

Discover the world's research


 15+ million members
 100+ million publications
 700k+ research projects

Join for free

Full-text (PDF)

Available from: Ahmad Bahiej, Mar 29, 2017


Download full-text PDF
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia
Oleh: Ahmad Bahiej
*
Abstrak
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih diberlakukan
di Indonesia saat ini merupakan salah satu dari sekian ratus peraturan hukum
warisan kolonial Belanda. KUHP ini mulai diberlakukan secara resmi di
Indonesia
sejak tanggal 1 Januari 1918. Namun sebelum KUHP itu diberlakukan sebenarnya
bangsa Indonesia telah mengenal aturan hukum pidana dalam kehidupan hukum
adatnya. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang pernah
menduduki Indonesia pada tahun 1602-1799 dan masa kolonial sebelum 1918 pun
pernah memberlakukan hukum pidananya. Perjalanan historis hukum pidana
materiel di Indonesia tersebut membawa dinamika dan problematika tersendiri
yang
diharapkan dapat dijadiklan pijakan dalam pembaharuan hukum pidana materiel
saat ini.
Kata kunci: KUHP, sejarah KUHP, problematika hukum pidana
A. Pendahuluan
Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti
pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam
hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-
perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa
pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan.
1
Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa
hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka hukum
pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara Indonesia.
Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan
nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali
digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana
bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain
penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi
manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan
mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu
dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu
*
Dosen Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
1
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), p. 1.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
2
diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
beradab.
Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di
mana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat
baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik
jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki
masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang
dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
Untuk menyongsong pembaharuan hukum pidana materiel
Indonesia (RUU KUHP), artikel ini akan menyoroti sejarah perjalanan
hukum pidana Indonesia (KUHP) dari masa ke masa. Dengan sorotan
historis semacam ini, diharapkan beberapa problematika yang muncul
selama berlakunya KUHP (baca: Wetboek van Strafrecht) dapat tercover dan
menjadi bahan pijakan bagi pembaharuan hukum pidana materiel
Indonesia.
B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia
1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da
Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan
memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas
tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah
adat tertentu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara
hukum pidana dengan hukum perdata (privaat).
2
Pemisahan yang tegas
antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat
publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di
Indonesia.
3
Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara
turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan
agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh
masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan
Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya.
2
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), p. 43.
3
Pemisahan tegas antara hukum perdata dan hukum pidana ini dikenal juga dalam
hukum Islam, yaitu adanya muamalah dan jinayah.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
3
Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran-
ajaran Hindu.
4
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan
agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah
bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah
peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga
secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang
pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di
beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah
diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak
umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi
hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat
Sumatera Selatan,
5
dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat
Bali.
6
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
a. Masa
Vereenigde Oost Indische Compagnie
(VOC) Tahun
1602-1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa
Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan
diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang
diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda.
Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi
monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan
mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa
VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam
usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-
aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.
Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk
plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah
4
Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional (LPHN), tentang "Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana", beberapa
hukum adat di wilayah Nusantara masih terkait dengan agama yang dianut
mayoritas
masyarakat adatnya. Selanjutnya lihat LPHN, Pengaruh Agama terhadap Hukum
Pidana,
Laporan Penelitian, (Jakarta: LPHN, 1973) dan BPHN, Simposium Pengaruh
Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1973).
5
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1989).
6
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993),
p. 14.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
4
diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan
sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan
yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan
VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan
peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi)
yang dibuat pada tahun 1642.
7
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan
Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi
orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta
tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut
sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.
Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC,
yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara
pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.
8
Alasan VOC mencampuri
urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain: i)
sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai
untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturan-
peraturan; ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu
menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti;
dan iii) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan
pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa
VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum
pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut
pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu
dipidana yang setimpal.
9
Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah
terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan
pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem
pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum
Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam.
10
Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie
dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara
digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai
gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak
7
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 43. Lihat juga J. B. Daliyo,
Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Prenhalindo, 2001), p. 14.
8
J. B. Daliyo, Pengantar ..., p. 13.
9
Kanter dan Sianturi, Asas-asas ..., p. 43
10
Ibid., p. 44.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
5
mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku.
Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.
b. Masa
Besluiten Regering
(Tahun 1814-1855)
Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda
menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap
koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak,
bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC.
Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri
Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-
daerah jajahan. Dengan demikian ngara Belanda pada masa itu
menggunakan sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja
berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi.
Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat
komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di
Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van
dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang
berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan
karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk
mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de
Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang
menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).
11
Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering
(BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian,
beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan
pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau
Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving
(AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan,
Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum
Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan
tentang Acara Perdata.
c. Masa
Regering Reglement
(1855-1926)
Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem
pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi
monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan
adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini
11
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 44. Lihat juga J. B. Daliyo,
Pengantar..., p. 15.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
6
mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen
(Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan prundang-
undangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah
dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja
mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di
bagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui
undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-
hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau
diperlukan akan diatur dengan undang-undang”.
12
Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja
Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturan-
peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja
dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundang-
undangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh
raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah
Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan
dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD
Pemerintah Jajahan Belanda.
Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi
hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu:
1. Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55
Tahun 1866.
2. Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Eropa.
3. Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun
1872.
4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5. Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad
No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.
d. Masa
Indische Staatregeling
(1926-1942)
Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement
(RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui
Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh
perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan
Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet tahun
12
Ibid, p. 17.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
7
1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda.
Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda
akan ditentukan dengan undang-undang.
Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas
khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian
golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar
ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-
Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131
jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hukum
pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.
e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya
hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami
perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai
Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu
dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.
Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu
Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut
menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya,
hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah
untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan
militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang
mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih
tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal
131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang
diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam
Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada
dalam Pasal 163 Indische Staatregeling.
Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya,
pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei
nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun
Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942
dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana
umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14
Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda.
Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana
karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan
penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di
bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar,
dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
8
yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat
perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.
13
3. Masa Setelah Kemerdekaan
Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana
dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya
empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan
dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan
konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga
masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan
keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945.
a. Tahun 1945-1949
Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan
tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum
nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur
negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar
dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18
Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945.
Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan
sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah
hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa
membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih
matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar
memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu,
untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional
belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal
II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang Undang Dasar ini.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk
mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan yang telah
ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu
adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah
diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara.
13
Kanter dan Sianturi, Asas-asas…, p. 46.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
9
Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan
kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum kolonial
menjadi tata hukum nasional.
14
Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan
kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945
yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang
ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru
menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal
saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang
Dasar tersebut.
Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.
Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan tanggal
pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.
Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial
sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut
secara tegas menyatakan:
Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik
Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa
peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah
peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret
1942.
15
Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada
Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hukum pidana
yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan
oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah
14
Segala perubahan membawa konsekuensi bahwa isi kehendak itu perlu diubah.
Ketentuan-ketentuan hukum positif yang pernah berlaku di Indonesia, seperti
Indische
Staatregeling, Algemene Bepalingen van Wetgeving, Burgerlijk Wetboek,
Wetboek van Koophandel,
Wetboek van Strafrecht dan segala peraturan yang dikeluarkan pada masa
penjajahan,
dengan adanya proklamasi kemerdekaan dituntut penggantiannya secara tepat dan
cepat.
Oleh karena itu maka ditetapkan segera landasan tata hukum yang baru, yaitu
Undang
Undang Dasar 1945. Lihat selanjutnya dalam Moh. Koesnoe, "Pokok
Permasalahan
Hukum Dewasa Ini", dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik
Hukum Nasional,
(Jakarta: Rajawali, 1986), p. 100.
15
K. Wantjik Saleh, Pelengkap KUHP: Perubahan KUH Pidana dan UU Pidana
Sampai dengan Akhir 1980, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), p. 25.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
10
tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undang-
undang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana
yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut.
Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima
tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningen van het
militer gezag.
Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah
sebagai berikut.
Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi
bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het militer gezag)
dicabut.
16
Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum
menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik
bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jure
memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang
merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih
saja berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda
maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda
sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di Indonesia. Bahkan
pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan
pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht
(Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum
Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku
tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain mengatur tentang
diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut
ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunya
pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar
peraturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud ketentuan
ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan.
Dengan adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di
Indonesia oleh dua “penguasa” yang bermusuhan ini, maka munculah dua
hukum pidana yang diberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh para
ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut masa dualisme
KUHP.
17
b. Tahun 1949-1950
16
Ibid.
17
Ibid, p. 47-48. Sudarto menyebut istilah ini dengan kwasi-dualisme. Lihat
Sudarto,
Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990), p.
16.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
11
Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai
konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda.
Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi
dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan
peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata
usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap
berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan
sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak
dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-
ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini.
18
Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang
berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht
yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut
sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian,
permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda datang
kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada
masa ini.
c. Tahun 1950-1959
Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara
serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui
kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia
kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka
konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD
Sementara.
Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum
pidana masa sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD
Sementara menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata
usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku
dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-
ketntuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
18
Engelbrecht, Kitab Undang Undang, Undang-undang, Peraturan-peraturan serta
Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1960),
p. 67.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
12
diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas
kuasa Undang Undang Dasar ini.
19
Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka
hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa
sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana). Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul
pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini
diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah
Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang
tersebut dinyatakan:
“Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih
berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab
Undang-undang Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946
dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732
seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan.
Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan.
Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946
dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang
diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa
UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan
berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
d. Tahun 1959-sekarang
Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah
satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu
Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD
1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan
yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk di
sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan
dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia
telah mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi,
19
Ibid., p. 17.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
13
ternyata sumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu
tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan
peralihan pada masing-masing konstitusi.
C. Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
(Wetboek van Strafrecht)
Induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di
Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15
Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918.
WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada
tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886.
20
Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun
pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi
(penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa
pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme
Belanda atas wilayah Indonesia.
Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda
membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan
disahkan pada tahun 1809 pada saat pemerintahan Lodewijk Napoleon.
Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel
Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada
tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal
(kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon
Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis
meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih
mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.
21
Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan
usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68
tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan hukum pidana itu,
Code Penal mengalami bebarapa perubahan, terutama pada ancaman
pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code
Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun
1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama
Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai
diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.
20
Sudarto, Hukum Pidana I, p. 15.
21
Kanter dan Sianturi, Asas-asas…, p. 42.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
14
Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai
pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia-
Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor
Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan
Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari
1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht
voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan
Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari
73.
22
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat
juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa
dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan
Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai permasalahan yang harus
dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915
keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang
mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku tiga
tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918.
Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dapat dilustrasikan
dalam bagan berikut.
Tahun
Peristiwa Selisih Waktu
1810 Code Penal diberlakukan di Perancis 1 tahun
1811 Code Penal diberlakukan di Belanda 56 tahun
1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen
berlaku di Hindia-Belanda
6 tahun
1873 Wetboek van Strafrecht voor Inlander
diberlakukan di Hindia-Belanda
8 tahun
1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda 5 tahun
1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di
Belanda
29 tahun
1915 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie
disahkan untuk Hindia-Belanda
3 tahun
1918 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie
diberlakukan di Hindia-Belanda
28 tahun
1946 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie
disebut sebagai KUHP Indonesia
Total selisih
22
Ibid., p. 44.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
15
waktu 136 tahun
D. Problematika Penerapan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Indonesia
(Wetboek van Strafrecht)
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa hukum pidana
Indonesia merupakan warisan hukum kolonial ketika Belanda melakukan
penjajahan atas Indonesia. Jika Indonesia menyatakan dirinya sebagai
bangsa yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, maka selayaknya hukum
pidana Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri. Namun
idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana
Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan
Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana
kolonial ini jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Problematika tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan sejak 59 tahun
lalu merupakan awal pendobrakan hukum kolonial menjadi hukum
yang bersifat nasional. Namun pada realitasnya, hukum pidana positif
(KUHP) Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda. Secara
politis ini menimbulkan masalah bagi bangsa yang merdeka.
23
Dengan
kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun
hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan.
2. Wetboek van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum
Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti
KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur KUHP dihitung
sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah
berumur lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat
dianggap telah usang dan sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah
beberapa kali merubah materi KUHP ini. Namun demikian,
perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP
tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami
perkembangan.
24
3. Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht yang
menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal
ini menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda.
25
23
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), p. 70-71.
24
Lihat The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar and Stafford Wadswoth,
(Colorado: Fred B. Rothman, 1997). Perubahan dalam KUHP Belanda antara lain
dalam
principal penalties (pidana pokok) yang menghilangkan pidana mati dan
menambahkan
pidana kerja sosial serta denda yang dibuat dengan kategorisasi.
25
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana..., p. 71.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
16
KUHP yang beredar di pasaran adalah KUHP yang diterjemahkan
dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum pidana, seperti
terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo,
dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi
terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara
Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin dalam setiap terjemahan
memiliki redaksi yang berbeda-beda.
26
4. KUHP warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda
dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda
ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau
menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic Family. The
Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan
aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and
individual right)
27
. Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa
Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian
KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan
kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan
kejahatan-kejahatan baru.
5. Jika KUHP dilihat dari tiga sisi masalah dasar
28
dalam hukum pidana,
yaitu pidana, tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidana, maka
masalah-masalah dalam KUHP antara lain:
26
Dalam pandangan peneliti, kecuali KUHP terjemahan BPHN, KUHP
terjemahan Mulyatno, R. Susilo dan yang lain terkadang belum mencantumkan
beberapa
perubahan parsial dalam KUHP, seperti jenis pidana ditambahkan pidana tutupan,
pengkalian 15 kali untuk pidana denda, dan perluasan wilayah berlakunya hukum
pidana
menurut tempat. Di samping itu, terdapat juga perbedaan dalam menerjemahkan
suatu
istilah, seperti overspel yang diterjemahkan menjadi beberapa kata, seperti zina,
mukah, dan
gendak. Yang lebih fatal lagi adalah ancaman pidana pada Pasal 386 tentang
pemerasan.
Di dalam KUHP versi BPHN dan terjemahan dari Engelbrecht, ancaman
pidananya 9
bulan, sedangkan dalam KUHP versi Mulyatno dan R. Susilo ancaman pidananya
9
tahun. KUHP aslinya (WvS) yang berbahasa Belanda menyebutnya dengan
"jaren" yang
berarti "tahun". Bandingkan Mulyatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
(Jakarta: Bina
Aksara, 1994), Engelbrecht, Kitab Undang Undang..., Tim Penerjemah Badan
Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
(Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1988), dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana serta
Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, tth.).
27
Rene David, John E. C. Brierley, Major Legal System in The World Today,
(London, Stevens and Sons, 1978), p. 24.
28
Dalam istilah yang lain, Sudarto menyebutkan tiga problem pokok dalam
hukum pidana yaitu kesalahan, sifat melawan hukumnya perbuatan, dan pidana.
Sudarto,
Hukum Pidana I, p. 86. Sedangkan dalam pengertian Barda Nawawi Arief, tiga
substansi/materi/masalah pokok dalam hukum pidana adalah masalah tindak
pidana,
masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana dan
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
17
a. Pidana
KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan
bagi hakim atau penegak hukum yang lain, sehingga arah
pemidanaan tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang sama.
Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku dalam arti tidak
dimungkinkannya modifikasi pidana yang didasarkan pada
perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan
dalam KUHP juga lebih kaku sehingga tidak memberi
keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat untuk
pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis
pidana, pelaksanaan pidana pidana mati,
29
pidana denda,
30
pidana
penjara,
31
dan pidana bagi anak.
b. Tindak pidana
Dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP
bersifat positifis dalam arti harus dicantumkan dengan undang-
undang (asas legalitas formil). Dengan demikian, KUHP tidak
memberikan tempat bagi hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan.
32
Di
pemidanaan. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana,
(Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996), p. 87.
29
Di hukum pidana beberapa negara, seperti Venezuela, Columbia, Rumania,
Brazilia, Costarica, Uruguay, Chili, Denmark, dan Belanda sendiri, pidana mati
telah
dihapuskan karena dianggap tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan berupa
pembinaan
kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHP Indonesia, pidana mati dianggap masih
diperlukan namun pelaksanaannya belum manusiawi karena tetap dianggap
sebagai
sebuah "harga mati" walaupun terpidana telah menanti eksekusi selama puluhan
tahun.
Lihat Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke
Reformasi,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), p. 26-27. Andi Hamzah dan A. Sumangelipu,
Pidana
Mati di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Djoko Prakoso dan
Nurwachid, Studi
tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia
Dewasa Ini, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1984).
30
Masalah pidana denda dalam KUHP terutama terkait dengan jumlah denda
yang sangat minim, karena penyesuaian kurs pidana denda terakhir kali dilakukan
dengan
UU Nomor 18 Prp Tahun 1960. Sebagai contoh adalah ketentuan tentang pidana
kurungan pengganti denda. Dalam KUHP, persamaan pidana denda dengan
pidana
kurungan adalah Rp. 7,50 (tujuh, lima puluh rupiah) disamakan dengan 1 hari
kurungan.
31
Pembahasan, kritik dan usulan perubahan mengenai pidana penjara diulas
dalam R. Achmad S. Soema di Pradja dan Romli Atmasasmita, Sistem
Pemasyarakatan di
Indonesia, (Jakarta: BPHN/Bina Cipta, 1979), Bambang Poernomo, Pelaksanaan
Pidana
Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), Barda
Nawawi Arief,
Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
(Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 1994), Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat,
(Bandung:
Alumni, 1985).
32
Permasalahan seperti ini sedikit terobati dengan dikenalnya asas legalitas
materiel yang mengakui adanya nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam
perundang-
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
18
samping itu, KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hukum
pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada
sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari
aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).
33
KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan
pelanggaran yang sekarang telah ditinggalkan. Tindak pidana-
tindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money
laundering, cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa
perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai tindak
pidana belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena itu, secara
sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai
dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
c. Pertanggungjawaban pidana
Beberapa masalah yang muncul dalam aspek
pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asas
kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas
dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van
Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS.
34
Asas culpabilitas
merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan
dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat
dipidana karena secara obyektif memang telah melakukan tindak
pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif
terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusan
asas culpabilitas). Masalah lainnya adalah masalah yang terkait
dengan pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam KUHP
(Pasal 45-47) adalah mereka yang berumur di bawah 16 tahun.
Pasal-pasal tersebut tidak mengatur secara rinci tentang aturan
pemidanaan bagi anak. Pasal 45 hanya menyebutkan beberapa
alternatif yang dapat diambil oleh hakim jika terdakwanya adalah
anak di bawah umur 16 tahun.
35
Selain itu, KUHP tidak
undangan seperti UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970
tentang
Kekuasaan Kehakiman. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan..., p. 109.
33
Selanjutnya, dapat dilihat dalam Muladi, "Perbandingan Sistem Pidana dan
Kemungkinan Aplikasinya di Indonesia", dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan
Sistem
Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), p.
152.
34
Sudarto, Hukum Pidana I, p. 85.
35
Terkait dengan kesepakatan internasional yang diselenggarakan oleh United
Nations di Beijing tahun 1985 tentang Standard Minimum Rules for The
Administration of
Juvenile Justice (Beijing Rules) yang salah satu materinya mengatur tentang
pertanggungjawaban pidana anak (age of criminal responsibility) agar tidak
ditentukan terlalu
rendah dengan mempertimbangkan kematangan emosional, mental dan
intelektual,
Indonesia mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.
Menurut
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
19
menyebutkan pertanggungjawaban pidana korporasi.
36
Pada
dataran realitas, sering kali beberapa tindak pidana terkait dengan
korporasi seperti pencemaran lingkungan.
E. Penutup
Memperhatikan pembahasan tentang sejarah dan problematika
hukum pidana Indonesia di atas, pembaharuan hukum pidana Indonesia
adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Problematika
yang muncul terkait dengan usangnya KUHP secara internal dan
berkembangnya persoalan-persoalan di tengah-tengah kehidupan
masyarakat secara eksternal menambah dorongan yang kuat dari
masyarakat untuk menuntut kepada negara agar segera merealisasikan
kodifikasi hukum pidana yang bersifat nasional sebagai hasil jerih payah
dan pemikiran bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, RUU KUHP
yang sudah kesekian kalinya direvisi selayaknya segera dibahas oleh
lembaga legislatif untuk disahkan.
UU ini anak yang masih berumur 8 s.d. 12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan,
dan
anak yang berumur 12 s.d. 18 tahun dapat dijatuhi pidana. Sedangkan anak yang
belum
berumur 8 tahun dianggap belum mampu mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
Dengan demikian, secara otomatis ketentuan pertanggungjawaban pidana anak
dalam
KUHP tersebut dihapuskan dengan UU Peradilan Anak ini. Lihat selanjutnya
dalam
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1996), hlm
143 dan
Undang-undang Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), (Jakarta: Sinar
Grafika, 2000).
36
Roeslan Saleh, "Tentang Tindak Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana",
kertas kerja dalam Lokakarya Masalah Pembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana
Nasional,
(Jakarta: BPHN, 1984), p. 48-53. Ulasan menarik mengenai kejahatan korporasi
ini dapat
dilihat dalam I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas
Diponegoro, 1995) dan I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk
Kebijakan Rezim
Orde Baru, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas
Dipnegoro Semarang, 12 Oktober 1999.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
20
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996.
_______, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994.
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Bina Cipta, 1996.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.
_______, Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana,
Bandung: Bina Cipta, 1973.
Daliyo, J. B., Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Prenhalindo, 2001.
David, Rene, and John E. C. Brierley, Major Legal System in The World
Today, London, Stevens and Sons, 1978.
Engelbrecht, Kitab Undang Undang, Undang-undang, Peraturan-peraturan serta
Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Jakarta: Gunung
Agung, 1960.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni, 1989.
Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke
Reformasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986.
_______, dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985.
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982.
Koesnoe, Moh., "Pokok Permasalahan Hukum Dewasa Ini", dalam
Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Jakarta:
Rajawali, 1986.
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Pengaruh Agama terhadap Hukum
Pidana, Laporan Penelitian, Jakarta: LPHN, 1973.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
_______, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1994.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
21
Muladi, "Perbandingan Sistem Pidana dan Kemungkinan Aplikasinya di
Indonesia", dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan
Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997.
_______, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985.
Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem
Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1986.
Prakoso, Djoko, dan Nurwachid, Studi tentang Pendapat-pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984.
Saleh, K. Wantjik, Pelengkap KUHP: Perubahan KUH Pidana dan UU Pidana
Sampai dengan Akhir 1980, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.
Saleh, Roeslan, "Tentang Tindak Pidana dan Pertanggungan Jawab
Pidana", kertas kerja dalam Lokakarya Masalah Pembaharuan
Kodifikasi Hukum Pidana Nasional, Jakarta: BPHN, 1984.
Soemadi Pradja, R. Achmad S., dan Romli Atmasasmita, Sistem
Pemasyarakatan di Indonesia, Jakarta: BPHN/Bina Cipta, 1979.
Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, tth.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981.
_______, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 1990.
Susanto, I. S., Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde
Baru, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Dipnegoro Semarang, 12 Oktober 1999.
_______,, Kejahatan Korporasi, Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995.
The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar and Stafford Wadswoth,
Colorado: Fred B. Rothman, 1997.
Undang-undang Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), Jakarta: Sinar
Grafika, 2000.
Widnyana, I Made, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresco,
1993.

DAFTAR PUSTAKA (REFERENCES)

[1] Abdullah, Rudi. (2018, June 9) "Analisis Akuntansi Pendapatan Perpajakan


dalam Rangka Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual (Studi Kasus KPP
Pratama Baubau)." E-Mabis: Jurnal Ekonomi Manajemen dan Bisnis 18.2
(2018): 111-118. P-ISSN : 1412-968X, E-ISSN: 2598-9405. Retrieved from
https://journal.unimal.ac.id/emabis/article/view/177.

[2] Abdullah, Rudi. (2018, June 9) "Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah


(SAPD) Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Daerah
(AKIPD) Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Buton." Jurnal Analisis Bisnis
Ekonomi 13.1 (2015): 36-42. ISSN 2579-647X. Retrieved from
http://journal.ummgl.ac.id/index.php/bisnisekonomi/article/view/131.

[3] Abdullah, Rudi. (2018, June 9) “Pengaruh Audit Kepatuhan Terhadap


Perilaku Etis Karyawan Dalam Sistem Penggajian Pada Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara Baubau”. ISSN 1907-4867. Retrieved from
http://www.jurnalbung.com/masagena/jurnal-1510.htm
[4] Abdullah, R. (2017). (2018, Juni 9) “Peranan Pembiyaan Murabahah dalam
Pengembangan Usaha Pada PT Bank Muamalat. Al-Urban: Jurnal Ekonomi
Syariah Dan Filantropi Islam, 1(1), 52-67.
doi:10.22236/alurban_vol1/is1pp52-67. ISSN 2581-2874. Retrieved from
Available at: <https://journal.uhamka.ac.id/index.php/al-
urban/article/view/701>. Date accessed: 09 june 2018. doi:
https://doi.org/10.22236/alurban_vol1/is1pp52-67. DOI:
https://doi.org/10.22236/alurban_vol1/is1pp52-67.

[5] Abdullah, Rudi. (2018, June 9) Eq Pengaruh Kecerdasan Emosional Auditor


Terhadap Kinerja Auditor Pada Kantor Inspektorat Kabupaten Wakatobi.
PARIBUS, [S.l.], v. 1, n. 1, p. 4, aug. 2017. ISSN 2549-8541. Retrieved from
: <http://jurnal.kumala.ac.id/index.php/paribus/article/view/10>.

[6] Baubau, Perusahaan Daerah Air Minum Pdam Kota, And Rudi Abdullah.
(2018, Juni 9) "Tinjauan Penerapan Akuntansi Pertanggungjawaban Sebagai
Pengukur Prestasi Manajer Pusat Laba Pada Baubau Perusahaan Daerah Air
Minum Pdam Kota." Retrieved from :
http://polgan.ac.id/files/journals/2/articles/50/submission/50-13-143-1-2-
20180119.doc.

[7] Abdullah, Rudi, 2018. (2018, June 9) “Sistem Pencatatan Dan Pelaporan
Akuntansi Persediaan Pada CV. Citra Niaga Cemerlang Baubau”. INA-
Rxiv. May 11. Paper DOI. 10.17605/OSF.IO/N8S4H. Retrieved from
https://osf.io/preprints/inarxiv/n8s4h/.

[8] Abdullah, Rudi, 2018. (2018, June 9) “Penerapan Akuntansi


Pertanggungjawaban Dengan anggaran Sebagai Alat Pengendalian Biaya
(Studi Kasus Pada CV. Citra Niaga Cemerlang Baubau)”. INA-Rxiv. May
10. Paper DOI. 10.17605/OSF.IO/3BN56 Retrieved from
https://osf.io/preprints/inarxiv/3bn56/

[9] Abdullah, Rudi, Asrianti Dja'wa, Endang T Pratiwi, and La Ode Dedi
Abdullah 2018. (2018, June 9) “Sumber Hukum Dalam Aspek Bisnis”. INA-
Rxiv. May 10. Paper DOI. 10.17605/OFS.IO/BE7H9. Retrieved from
https://osf.io/preprints/inarxiv/be7h9

[10] Abdullah, Rudi, Asrianti Dja'wa, La Ode Dedi Abdullah, and Endang T
Pratiwi. (2018, June 9) “Sistem Hukum Dan Klasifikasi Hukum.”
OpenAbdullah, Rudi et al. “Sistem Hukum Dan Klasifikasi Hukum”. INA-
Rxiv, 10 May 2018. Web. Paper DOI
https://dx.doi.org/10.17605/OSF.IO/RVUYM. Retrieved from
https://osf.io/preprints/inarxiv/rvuym
[11] Abdullah, Rudi, Asrianti Dja’wa, La Ode Dedi Abdullah, and Endang T
Pratiwi. 2018. (2018, June 9) “Hukum Dan Ruang Lingkup Hukum Bisnis.”
Open Science Framework. June 9. osf.io/tzrpa. Paper DOI :
http://10.17605/OSF.IO/TZRPA. Retrieved from
https://osf.io/preprints/inarxiv/gfm84/

[12] Abdullah, Rudi, Asrianti Dja’wa, Endang T Pratiwi, and La Ode Dedi
Abdullah. 2018. (2018, June 9) “Pengantar Hukum Bisnis.” Open Science
Framework. June 9. osf.io/d79nu. Paper DOI:
http://10.17605/OSF.IO/D79NU. Retrieved from
https://osf.io/preprints/inarxiv/txuvw/

[13] Abdullah, Rudi, Asrianti Dja’wa, La Ode Dedi Abdullah, and Endang T
Pratiwi. 2018. (2018, June 9) “Sumber Hukum Dalam Hukum Bisnis.” Open
Science Framework. June 9. osf.io/4rv37. Paper DOI :
http://10.17605/OSF.IO/4RV37. Retrieved from
https://osf.io/preprints/inarxiv/ez473/

Anda mungkin juga menyukai