Anda di halaman 1dari 12

HUBUNGAN PANJANG BERAT DAN FAKTOR KONDISI KERANG

POKEA DI SUNGAI LAEYA KABUPATEN KONAWE SELATAN


Weight-Legth Relationship and Condittion Factor Of Pokea Clan At River Laeya
Konawe Southregency

Endrik Saputra Harianto 1 Bahtiar 2 Nur Irawati 3

1
Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo
Jln.H.E.A. Mokodompit Kampus BumiTridhama Anduonohu, Kendari.93232 Telp/Fax:(0401) 3193782
Email: Endriksaputra74@yahoo.co.id

ABSTRAK

Batissa violacea var. celebensis, von Marten 1897, merupakan salah satu jenis kerang-kerangan dari kelas
bivalvia yang berasal dari family Corbicula. Kerang pokea memiliki peranan ekologi bagi perairan dalam sungai
dan bernilai ekonomi penting bagi masyarakat di Sulawesi Tenggara. Peneletian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan panjang berat dan faktor kondisi kerang pokea di Sungai Laeya Kabupaten Konawe Selatan.
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai pada bulan Januari sampai Maret 2017. Pengambilan data
kerang menggunakan metode sapuan kawasan (swept area method). Hasil pengukuran parameter fisika-kimia
perairan di stasiun pengamatan selama tiga bulan menunjukan kisaran suhu 27-280, tingkat kecerahan perairan
mencapai kedalaman 2,81-4,71m/s, salinitas berkisar 15-65 ppt dan pH 5.0-6.9. Hasil pengmatan kerang pokea
pada hubungan panjang berat pada nilai b untuk jantan sebesar 2,280-2,605, sedangkan pada pokea betina
adalah sebesar 2,139-2,895. Faktor kondisi kerang pokea jantan tertinggi pada bulan Maret sebesar 10,71,dan
diikuti kerang pokea yang terendah sebesar 1,52, betina faktor kondisi tertinggi terdapat pada bulan Februari
yaitu sebesar 9,18 (4,05-4,61 cm) dan faktor kondisi terendah pada bulan Februari 0,33 (3,73-4,08 cm) pada
rasio berat daging dengan rata-rata rasio berat daging basah per berat total kerang pokea di Sungai Laeya dari
kerang jantan berkisar 17,29 - 50,31%. Berat daging basah per berat total tertinggi ditemukan pada bulan
Februari dari ukuran 4,70-5,09 cm sebesar 50,31% dari berat totalnya. Berat terendah ditemukan pada bulan
Januari dengan ukuran 1,60-1,78 cm sebesar 17,29% dari berat totalnya, sedang kerang betina berkisar 16,93-
36,44%. Berat daging basah pe berat total tertinggi ditemukan pada betina bulan Maret dari ukuran 4,58-4,94
cm sebesar 36,44% dari berat totalnya. Berat terendah ditemukan pada bulan Maret dari ukuran 3,94-4,25 cm
sebesar 16,93% dari berat totalnya. Penurunan nilai b diduga disebabkan oleh aktivitas reproduksi pada kerang
pasir yang ditandai dengan peningkatan nilai b di awal reproduksi, Tingginya nilai faktor kondisi pada ukuran
cangkang yang lebih rendah, disebabkan oleh kerang pada ukuran ini lebih memanfaatkan energinya untuk
pertumbuhan sehingga memiliki nilai faktor kondisi lebih tinggi.

Kata Kunci : Kondisi Kerang Pokea, Hubungan Panjang Berat, Sungai Laeya, Kabupaten Konawe Selatan

PENDAHULUAN
Batissa violacea var. celebensis, von Marten 1897, merupakan salah satu jenis
kerang-kerangan dari kelas bivalvia yang berasal dari family Corbicula. Secara umum,
kerang ini mendiami perairan air tawar seperti sungai. Masyarakat yang berada di daerah
Sungai Laeya Konawe Selatan Sulawesi Tenggara mengenalnya dengan sebutan “pokea”.
Kerang pokea memiliki peranan penting bagi masyarakat yang berada disekitar Sungai
Laeya. Kerang ini dijadikan sebagai salah satu sumber komoditi yang bernilai ekonomix
penting setelah pertanian. Organisme ini merupakan sumber protein hewani yang murah bagi
masyarakat yang berada di Sungai Laeya. Malek et al., (2008) menyatakan bahwa secara
umum kelompok bivalvia merupakan sumber protein dan nutrisi yang baik bagi manusia,
sehingga sangat potensial untuk dieksploitasi dan dikomersilkan.
Pemanfaatan kerang B. celebensis oleh masyarakat tidak hanya pada kisaran dewasa
dan yang telah memijah, namun juga pada ukuran yang kecil. Bahtiar et al., (2008)
mengungkapkan bahwa hasil tangkapan kerang pokea terus menurun dan ukuran populasi
yang cenderung semakin kecil. Keadaan ini ditandai dengan semakin besar populasi kerang
pokea muda dan kecil. Selanjutnya Bahtiar (2005) menambahkan bahwa permintaan
masyarakat terhadap kerang pokea yang cukup tinggi, menyebabkan populasinya di alam
akan semakin menurun. Hal ini juga didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Fitriani
(2008), bahwa ukuran kerang pokea yang tertangkap berukuran 0,75-10,89 cm. Bila aktivitas
ini dilakukan secara terus menerus maka akan berdampak terhadap keseimbangan ekosistem
antara lain rusaknya substrat yang merupakan habitat kerang pokea dan sekaligus dapat
menekan populasi organisme tersebut. Selain sebagai sumber protein bagi manusia, kerang
pokea juga memiliki fungsi ekologis bagi keseimbangan ekosistem. Salah satu fungsi
ekologisnya adalah lubang-lubang yang dijadikan sebagai sarang yang dibuat oleh kerang ini,
dapat memudahkan oksigen masuk dan tersebar dalam substrat yang sering anoksik, sehingga
bermanfaat bagi biota lainnya (Efriyeldi 2012).

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yang dimulai pada bulan Januari sampai
Maret 2017. Pengambilan data lapangan dalam penelitian ini dilakukan di Sungai Laeya
Kabupaten Konawe Selatan (Gambar 2). Analisis panjang berat, faktor kondisi, berat basah dan
berat kering diamati di Laboratorium Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Halu Oleo Kendari (Gambar 2).

St1

St 2

St 3

Gambar 2. Peta lokasi penelitian kerang pokea (B. violacea var. celebensis) di Sungai Laeya
Kabupaten Konawe Selatan
Penelitian ini dilakukan diperairan Sungai Laeya. Kemudian pengambilan sampel
ditentukan terlebih dahulu jumlah dan posisi daerah pengamatan pada lokasi penelitian. Hal
ini dimaksud bahwa pengambilan kerang pokea yang dilakukan oleh masyarakat relatif
berdekatan dengan kondisi yang relatif sama di semua bagian perairan, sehingga populasi
kerang pokea yang ada di daerah ini merupakan populasi yang homogen.
Pengambilan kerang pokea dilakukan dengan menggunakan metode sapuan kawasan
(swet area method). Pengambilan kerang pokea menggunakan alat yang terbuat dari
keranjang besi yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat yang dinamakan dengan
“tangge (gambar 3).
Gambar 3 : Alat tangkap pokea (tangge) yang digunakan untuk mengambil sampel.

Sampel kerang pokea (B. violacea var. celebensis) kemudian diukur Panjang total
kerang yang diukur dari ujung paling anterior hingga ujung paling posterior, diukur dengan
menggunakan jangka sorong. Lebar cangkang kerang didapatkan dengan mengukur jarak
vertikal terpanjang dari cangkang kerang apabila kerang tersebut diletakkan secara horisontal,
sedangkan tebal umbo didapatkan dengan mengukur jarak antara kedua umbo dari sisi kiri
dan kanan cangkang. Berat total didapatkan dengan menimbang keseluruhan dari tubuh
kerang beserta cangkangnya, berat daging basah didapatkan dengan menimbang daging
kerang setelah dipisahkan dengan cangkangnya, sedangkan berat daging kering diperoleh
dengan menimbang daging kerang yang telah dikeringkan menggunakan oven selama 24 jam
pada suhu 700C, sehingga diperoleh berat keringnya.
Panjang dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari bobot. Menurut Effendie (1997),
penentuan hubungan panjang berat tubuh kerang dilakukan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
W = a.Lb
Keterangan : W = berat total (g)
L = panjang total (mm)
a, b = konstanta
Bahtiar (2012) menyatakan bahwa stasiun keseimbangan pola pertumbuhan somatik
pokea (isometrik) pada hubungan lebar cangkang terhadap bobot basah berada pada nilai b =
2,50. Demikian halnya dengan Wilbur dan Owen (1964), melaporkan bahwa nilai isometrik
bivalvia yang diamati berada antara 2,40−4,50. Nilai b dari hubungan panjang bobot pada
bivalvia adalah
Ho : b = 2,5 hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik
H1 : b ≠ 2,5 hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik,
Allometrik positif, jika b>2,5 (pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan
pertambahan panjang). Allometrik negatif, jika b<2,5 (pertambahan panjang lebih cepat
dibandingkan pertambahan bobot) dinyatakan dalam rumus (Effendie 1997):
Kn = Wb/(aL b )
Keterangan : Kn = faktor kondisi relatif
Wb = berat individu yang teramati (g)
L = panjang cangkang (mm)
a, b = konstanta
Perbandingan ini diambil dari berat daging basah dengan berat total dan berat daging
kering dengan berat total kerang pokea. Niswari (2004) menyatakan bahwa besarnya
persentase berat daging basah terhadap berat total dan persentase berat daging kering terhadap
berat total dilihat dengan persamaan sebagai berikut:
Persentase Bdb = (Bdb/Bt) x 100%
Persentase Bdk = (Bdk/Bt) x 100%
Keterangan : Bdb = berat daging basah (g)
Bt = berat total (g)
Bdk = berat daging kering (g)
Bt = berat total (g)
HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai b kerang pokea di Sungai Laeya berkisar
2,139 – 2,895. Nilai b kerang pokea jantan berkisar 2,280 - 2,605 sedangkan kerang pokea
betina berkisar 2,139 – 2,895. Nilai b kerang pokea jantan mengalami penurunan diakhir
penelitian, namun nilai b kerang pokea betina menujukkan adanya peningkatan sampai
diakhir penelitian. Nilai R kerang pokea jantan berada pada kisaran 0,711 - 0,908 sedangkan
nilai R kerang pokea betina berada pada 0.656-0,901. Adapun hasil dari hubungan panjang
berat dapat dilihat pada Gambar 4.

40
JANTAN 40 BETINA

30 W = 0,494 L2,605 30
R² = 0,908 W = 0,812L2,139
Januari

20 R² = 0,656
20

10 10

0 0
0 2 4 6 0 2 4 6

60 60
50 W = 0,463 L2,667 50 W = 0,579 L2,527
Februari

40 40 R² = 0,885
R² = 0,843
30 30
20 20
10 10
0 0
0 2 4 6 0 2 4 6

50 40 W = 0,368 L2,895
40 30 R² = 0,901
W = 0,611 L2,280
Maret

Berat

30
Berat

R² = 0,711 20
20
10
10
0 0
0 2 4 6 0 2 4 6
Panjang Panjang
Gambar 4. Hubungan panjang berat kerang pokea di Sungai Laeya selama penelitian
periode bulan Januari hingga bulan Maret 2017
Hasil analisis faktor kondisi kerang pokea di Sungai Laeya memiliki nilai yang
berbeda-beda. Faktor kondisi kerang jantan yang memiliki nilai tertinggi dan terendah
terdapat pada bulan Maret yaitu sebesar 10,71 (4,26-4,92 cm) dan yang terendah yaitu
sebesar 1,52 (1,00-1,16 cm) sedang pada kerang betina faktor kondisi tertinggi terdapat pada
bulan Februari yakitu sebesar 9,18 (4,05-4,61 cm) dan faktor kondisi terendah pada bulan
Februari 0,33 (3,73-4,08 cm) (Gambar 5).
Jantan Betina
kn rata-rata 18
25 16
20 Individu 14
12
15 10
8
10 6
5 4
2
0 0
1,97-2,19

4,53-5,03

2,91-3,15
1,30-1,44

2,99-3,32

2,11-2,29

4,00-4,34
0,75-0,87
1,34-1,55
2,39-2,76
4,26-4,92

3,12-3,55
1,80-1,97
2,59-2,84
3,73-4,08
1,10-1,25
1,85-2,11

2,15-2,32
2,91-3,14
3,94-4,25
Januari Februari Maret Januari Februari Maret

Gambar 5. Faktor kondisi kerang pokea di Sungai Laeya selama penelitian periode bulan
Januari hingga bulan Maret 2017
Analisis persentase rasio berat daging basah per berat total dan berat daging kering per
berat total rata-rata kerang pokea yang diamati selama penelitian. Berdasarkan (gambar 6),
rata-rata rasio berat daging basah per berat total kerang pokea di Sungai Laeya dari kerang
jantan berkisar 17,29 - 50,31%. Berat daging basah per berat total tertinggi ditemukan pada
bulan Februari dari ukuran 4,70-5,09 cm sebesar 50,31% dari berat totalnya. Berat terendah
ditemukan pada bulan Januari dengan ukuran 1,60-1,78 cm sebesar 17,29% dari berat
totalnya, sedang kerang betina berkisar 16,93-36,44%. Berat daging basah perberat total
tertinggi ditemukan pada betina bulan Maret dari ukuran 4,58-4,94 cm sebesar 36,44% dari
berat totalnya. Berat terendah ditemukan pada bulan Maret dari ukuran 3,94-4,25 cm sebesar
16,93% dari berat totalnya.
Analisis rasio berat daging kering per berat total atau persentase berat daging kerang
pokea yang dapat dimanfaatkan pada kerang jantan di Sungai Laeya berkisar 1,59- 9,62%,
persentase tertinggi pada bulan Februari sebesar 9,62% dari berat totalnya (4,70-5,09 cm),
sedangkan presentase terendahnya pada bulan Maret sebesar 1,59% dari berat totalnya (1,34-
1,55) (gambar 6).
Jantan Betina

70 % BD.Kering 45
60 40
50 % BD. Basah 35
30
40 25
30 20
20 15
10
10 5
0 0

1,85-2,11
1,80-1,97
2,59-2,84
3,73-4,08
1,10-1,25

3,12-3,55
2,15-2,32
2,91-3,14
3,94-4,25
1,30-1,44
1,97-2,19
2,99-3,32
4,53-5,03
2,11-2,29
2,91-3,15
4,00-4,34
0,75-0,87
1,34-1,55
2,39-2,76
4,26-4,92
Januari Februari Maret Januari Februari Maret

Gambar 6. Rasio berat daging kerang pokea di Sungai Laeya selama penelitian periode bulan
Januari hingga bulan Maret 2017
Pengukuran suhu air laut yang diperoleh selama periode penelitian berkisar 26,6–
28,1oC. Suhu tertinggi terdapat pada bulan Januaril yaitu sebesar 28,1°C ditemukan pada
stasiun 3, sedangkan suhu terendah yaitu bulan Maret yaitu sebesar 26,6°C ditemukan pada
stasiun I (Tabel 2).
Tabel 2. Kualitas air Sungai Laeya
Stasiun
Parameter Satuan Januari Februari Maret
Lokasi
1 22 57 15
Kecerahan % 2 21 62 17
3 44 65 20
1 27,8 26,7 26,6
o 28 27 26,8
Suhu ( C) 2
3 28,1 27 26,9
1 0,72 0,82 0,81
TDS mg/L 2 0,82 0,83 0,87
3 0.85 0,8 0,86
1 6,6 6,1 6,8
pH 2 6,8 5 6,8
3 6,4 6 6,9
1 3,66 2,83 4,21
Kecepatan 4,71 3,38 4,8
m/s 2
arus
3 3,38 2,94 4,43

Pengukuran kecerahan selama periode penelitian berkisar 15-65 ppt. Kecerahan


tertinggi yaitu sebesar 65 ppt terdapat pada bulan Januari pada, sedangkan kecerahan
terendah sebesar 15 ppt terdapat pada bulan Maret. Pengukuran pH air diperoleh selama
periode penelitian berkisar 5,0–6,9. pH air tertinggi yaitu sebesar 6,9 yang ditemukan pada
bulan Maret. Nilai pH air terendah yaitu sebesar 5,0 ditemukan pada bulan Februari.
Pengukuran bahan organik substrat selama periode penelitian berkisar 0,72–0,87%. Bahan
organik substrat tertinggi yaitu sebesar 0,87%, ditemukan pada bulan Maret, sedangkan
bahan organik substrat terendah yaitu sebesar 0,72% ditemukan pada bulan Januari.
Pengukuran kecepatan arus yang diperoleh selama periode penelitian 2,81–4,71 m/detik.
Keceparan arus tertinggi yaitu sebesar 4,71 m/detik ditemukan pada bulan Maret, sedangkan
kecepatan arus terendah yaitu sebesar 2,81m/detik ditemukan pada bulan Januari.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengukuran panjang berat kerang pokea yang diamati selama
penelitian diperoleh nilai konstanta b berbeda-beda pada kerang pokea jantan (2,605-2,280)
dan betina (2,139-2,895). Nilai konstanta b kerang jantan dari bulan Januari hingga Maret
mengalami peningkatan hanya pada bulan Februari (2,667) . Hal ini sesuai dengan pernyataan
Asri (2015) Penurunan nilai b diduga disebabkan oleh aktivitas reproduksi pada kerang pasir
yang ditandai dengan peningkatan nilai b di awal reproduksi, kemudian mengalami
penurunan. Pada kerang betina menjelaskan peningkatan mulai dari bulan Januari hingga
bulan Maret dan nilai tertingginya didapat pada bulan Maret (2,895). Peningkatan nilai b
pada kerang ini didukung oleh kualitas air yang diukur seperti pH dan suhu yang konstan
selama periode pengambilan sampel (Gambar 7). Hal ini sesuai dengan pernyataan Sari
(2010) bahwa suhu akan memengaruhi pemijahan dan aktivitas serta rangsangan yang dapat
menghambat pertumbuhan kerang pokea . Hal ini didasari oleh suhu yang tinggi akan
meningkatkan laju respirasi pada biota air (termasuk kerang air tawar) untuk pemeliharaan
tubuh, sehingga energi yang diperoleh untuk pertumbuhan somatik berkurang dan
menyebabkan perkembangan organ reproduksi berlangsung lama. Selanjutnya Morton
(1982) menyatakan bahwa jika suhu perairan berada pada kondisi yang rendah, kerang
mengalami proses perkembangan gamet, sedangkan pada kondisi suhu tinggi diperlukan
untuk pematangan gonad dan memijah. Perubahan pola pertumbuhan juga diduga adanya
perubahan komposisi makanan dan kompetisi saat musim berganti. Sementara itu, Mariani
dkk. (2002) juga menyatakan bahwa pola pertumbuhan ditentukan oleh srategi hidup dan
kondisi lingkungan. Perbedaan kondisi lingkungan yang mencolok dapat memberikan
perbedaan nyata terhadap pertumbuhan kerang dan dapat memengaruhi proses reproduksi
kerang (Widyastuti, 2011).
Berdasarkan pengamatan pada kerang jantan dan betina memiliki nilai b yang
bervariasi. Nilai b tertinggi pada kerang jantan terdapat pada bulan Februari dan kerang
betina terdapat pada bulan Maret, masing-masing sebesar 2,667 jantan dan betina 2,895
sehingga memiliki pola pertumbuhan allometrik positif (gemuk) karena memiliki nilai b > 2,5
dan terendah pada kerang jantan dan betina terdapat pada bulan Maret yaitu 2,280 (jantan)
dan pada kerang betina terdapat dibulan Januari dengan nilai 2,139 Selain itu, pada bulan-
bulan yang lain memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif (kurus) karena memiliki nilai b
< 2,5, sedangkan pada kerang betina dari semua bulan memiliki pola pertumbuhan allometrik
positif (gemuk). Hal ini didukung oleh pernyataan Bahtiar (2005) bahwa apabila nilai b<2,5
maka pola pertumbuhannya dikatakan pertumbuhan allometrik negatif dan sebaliknya bila
b>2,5 kerang tersebut memiliki pola pertumbuhan allometrik positif karena pertambahan
panjang lebih dominan dibandingkan pertambahan bobotnya. Tinggi rendahnya nilai b ini
tidak terlihat dipengaruhi oleh kualitas perairan karena berdasarkan hasil analisis kualitas air
seperti suhu dan pH memiliki nilai yang relatif konstan pada semua bulan. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Effendie (1997) bahwa perbedaan pola pertumbuhan yang terjadi
dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal yang cenderung sulit untuk dikontrol
diantaranya seperti keturunan (gen) dan kelamin, serta faktor eksternal yaitu parasit, penyakit,
makanan dan suhu.
Analisa hubungan panjang dan berat, parameter panjang merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap model pertumbuhan. Besarnya kesesuaian pengaruh panjang cangkang
terhadap berat total dapat dilihat berdasarkan besarnya nilai koefisien determinasi (R2).
Keseluruhan nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan antara panjang cangkang dan
berat total kerang pokea jantan yakni 0,908, 0. Hal ini berarti bahwa 65%–90% fluktuasi data
pertumbuhan berat total yang dapat diterangkan oleh model pertumbuhan panjang cangkang
kerang pokea. Nilai b menunjukkan proporsi bentuk tubuh yang menggambarkan
pertumbuhan panjang dan pertambahan bobot tubuh. Bentuk tubuh normal akan dicapai
apabila terjadi keseimbangan pola pertumbuhan somatik antara pertambahan panjang dan
pertambahan bobot tubuh yang dikenal dengan pertumbuhan isometrik. Keseimbangan pola
pertumbuhan ini dapat dilihat dari nilai b pada hubungan panjang dan bobot tubuh (Bahtiar,
2007).
Faktor kondisi merupakan perubahan-perubahan di dalam fisiologi hewan dan
juga secara luas digunakan untuk menghitung indeks kondisi fisik populasi (Prihartini,
2006). Faktor kondisi (Kn) atau ponderal index juga merupakan salah satu aspek
penting dalam pertumbuhan suatu organisme yang menyatakan kemontokan dari segi
keadaan fisik untuk surfival dan reproduksi, mengevaluasi kualitas habitat dan juga
berkontribusi dalam menduga kelangsungan populasi.
Hasil analisisa faktor kondisi kerang pokea di Sungai Laeya memiliki nilai yang
berbeda-beda. Faktor kondisi kerang jantan yang memiliki nilai tertinggi dan terendah
terdapat pada bulan Maret yaitu sebesar 10,71 (4,26-4,92 cm) dan yang terendah yaitu
sebesar 1,52 (1,00-1,16 cm), kemudian pada kerang betina .faktor kondisi tertinggi terdapat
pada bulan Februari yaitu sebesar 9,18 (4,05-4,61 cm) dan faktor kondisi terendah pada bulan
Januari 0,33 (3,73-4,08 cm (Gambar 5). Tingginya nilai faktor kondisi pada ukuran
cangkang yang lebih rendah, disebabkan oleh kerang pada ukuran ini lebih
memanfaatkan energinya untuk pertumbuhan sehingga memiliki nilai faktor kondisi lebih
tinggi dibandingkan dengan ukuran kerang yang lebih besar, karena setelah perkembangan
cangkangnya, kerang lebih memanfaatkan energinya untuk perkembangan gonad dan
persiapan reproduksi, sehingga hal tersebut juga berpengaruh terhadap bobot tubuh atau
kemontokan pada kerang ini. Akbar (2013) menjelaskan bahwa pada ukuran lebar
cangkang yang lebih besar nilai faktor kondisi kerang kalandue semakin menurun. Hal
ini juga serupa dengan pernyataan Effendie (1979), Niswari (2004) dan Broom (1980)
dalam Komala (2011) bahwa kerang yang lebih kecil memiliki faktor kondisi yang
lebih tinggi, karena energi yang diperoleh digunakan untuk pertumbuhan sehingga
memengaruhi kemontokannya (bertambah) kemudian menurun seiring pertambahan
ukuran cangkang dan peningkatan faktor kondisi dapat terjadi karena perkembangan
gonad yang akan mencapai puncak sebelum memijah. Selanjutnya Fitriani (2008)
menyatakan bahwa kelompok ukuran besar memiliki nilai faktor kondisi yang lebih
rendah, diduga karena kelompok ukuran ini telah banyak melakukan proses pemijahan
sehingga akan memengaruhi kemontokannya (berkurang). Proses ini merupakan hal yang
menyimpang dari morfometrik kerang pokea yang diamati, karena pada kondisi normal
faktor kondisi cenderung meningkat dengan pertambahan ukuran tubuh suatu organisme.
Islay dkk. (1995) menyatakan bahwa banyak faktor yang memengaruhi faktor kondisi
bivalvia yaitu kepadatan populasi, ukuran, perkembangan gonad, tinggi permukaan
pantai, keadaan alamiah substrat, salinitas, suhu, pencemar dan patogen.
Faktor kondisi kerang pokea betina memiliki nilai yang jauh berbeda dengan
nilai faktor kondisi pada kerang pokea jantan. Pada kerang betina memiliki nilai faktor
kondisi relatif seragam pada semua bulan serta semua selang ukuran Hal ini disebabkan
oleh sampel kerang betina yang diperoleh selama penelitian memiliki selang ukuran
yang lebih besar dibandingkan dengan kerang jantan (Gambar 5). Seragamnya nilai
faktor kondisi ini diduga berkaitan dengan tingkat kematangan gonad yang menurun
serta energi yang menurun setelah pemijahan, sehingga untuk mengembalikan kondisinya
diperlukan waktu tertentu untuk dapat mencapainya. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Tampubolon dkk. (2002) bahwa nilai faktor kondisi akan meningkat seiring dengan
perkembangan tingkat kematangan gonad dan akan menurun ketika telah terjadi pemijahan.
Selanjutnya Neef dan Cargnelli (2004) menyatakan bahwa selama musim pemijahan
aktivitas makan berhenti, namun menggunakan cadangan lemak dalam tubuhnya untuk
suplai energi. Saat puncak pemijahan, sebagian energi ditransfer untuk perkembangan
gonad dan ovarium akan kosong kembali setelah memijah (Samat dkk. 2008).
Dari hasil penelitian rasio berat daging basah per berat total dan rata-rata rasio berat
daging kering per berat total dari kerang jantan terdapat pada bulan Februari dan betina
tertinggi terdapat pada bulan Maret. Tingginya nilai rasio berat daging dipengaruhi oleh
tingginya nilai bahan organik pada pada penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Bahtiar (2005) bahwa ketersediaan makanan merupakan salah satu faktor yang dapat
memengaruhi pertumbuhan populasi bivalvia. Makanan yang tersedia tersebut
dimanfaatkan oleh organisme untuk bertahan hidup, tumbuh dan berkembang karena
adanya energi yang berasal dari makanan. Bila makanan tersedia dalam jumlah yang
cukup melimpah untuk populasi bivalvia maka memungkinkan adanya peningkatan
produksi bivalvia.
Analisis rasio berat selama penelitian tertinggi terdapat pada kerang jantan, hal ini
terjadi karena pada kerang jantan selama penelitian diperoleh variasi ukuran yang
ditemukan dari ukuran kecil sampai dengan ukuran yang besar yaitu dengan selang
ukuran 4,70 – 5,09 cm, sedangkan kerang betina terdapat pada bulan Maret dan
memiliki selang ukuran dari 4,58 – 4,98 cm (Gambar 7). Kerang yang memiliki ukuran kecil
diduga lebih memanfaatkan energinya untuk pertumbuhan, sehingga memiliki nilai
persentase rasio berat daging yang lebih tinggi, sedangkan pada kerang yang memiliki
ukuran besar lebih memanfaatkan energinya untuk pemijahan dan mengganti sel-sel yang
telah rusak. Hal ini sesuai dengan nilai faktor kondisi yang diperoleh, pada selang ukuran
kecil memiliki nilai faktor kondisi lebih tinggi dibandingkan dengan selang ukuran yang
lebih besar. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Zumiati (2014) bahwa persentase rasio
berat daging basah pada kerang yang berukuran kecil lebih tinggi dibandingkan kerang yang
memiliki ukuran cangkang yang lebih besar, hal ini disebabkan oleh besarnya
pembelanjaan energi pada kerang yang berukuran lebih besar untuk pemijahan
(mengeluarkan telur dan sperma). Hal ini menunjukan bahwa kerang jantan memiliki persentase
tertinggi dibandingkan kerang betina dari bobot daging yang dapat dimanfaatkan.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang di peroleh dapat ditarik sebuah kesimpulan yang
didapatkan bahwa hubungan panjang berat kerang pokea di setiap stasiun pengambilan
sampel baik kerang jantan dan betina menunjukkan pola pertumbuhan allometrik positif.
kemudian pada faktor kondisi kerang pokea berfluktuasi berdasarkan kelompok ukuran
dengan ukuran yang lebih kecil memiliki faktor kondisi lebih baik dibandingkan ukuran yang
lebih besar. Adapun rata-rata rasio berat daging basah terhadap berat total dan rasio berat
daging kering terhadap berat total kerang pokea yaitu terdapat pada kerang betina. Dank
ualitas air pada di Sungai Laeya masih berada pada kisaran yang normal bagi pertumbuhan
kerang pokea.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini ada beberapa saran yang direkomendasikan yaitu
Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai kerang ini di Sungai Laeya sehingga data yang ada
dapat menggambarkan kondisi kerang pokea selama setahun dan memudahkan untuk
pengelolaan dan penyusunan strategi manajemen sumber daya kerang pokea di Sungai Laeya
secara lestari dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, J. 2013. Studi Morfometrik Kerang Kalandue (Polymesoda erosa) di Hutan Mangrove
Teluk Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Skripsi, Jurusan Perikanan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Halu Oleo. Kendari. 31 hal.
Akhrianti, I., Bengen D. G., Setyobudiandi, I. 2014. Distribusi Spasial dan
Preferensi Habitat Bivalvia di Pesisir Perairan Kecamatan Simpang Pesak
Kabupaten Belitung Timur. FPIK-IPB. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis. 6(1): 171-185
Arapov, J., D Ezgeta-Balic, M. Peharda and Z. Nincevic Gladan. 2010. Bivalve Feeding —
How&What They Eat ?” Ribarstvo 68 (3): 105–16.
Bahtiar. 2005. Kajian Populasi Pokea (Batissa violacea var. celebensis, von Martens, 1897),
di Sungai Pohara Kendari Sulawesi Tenggara. Tesis. IPB. 75 hal.
Bahtiar. 2007. Preferensi Habitat dan Lingkungan Perairan Pokea (Batissa violacea var.
celebensis, von Martens 1897) di Sungai Pohara Sulawesi Tenggara. Jurnal Aqua
Hayati. (5): 81-87.
Bahtiar. 2012. Studi Bioekologi Dan Dinamika Populasi Pokea (batissa violacea var.
celebensis von Martens, 1897) Yang Tereksploitasi Sebagai Dasar Pengelolaan Di
Sungai Pohara Sulawesi Tenggara.
Beesley., Pamela, L., Graham, B. J. B., Ross., Alline, W. 1998. Mollusca the Southern
Syntesis. Csiko Publishing. Australia. 563 p.
Broom, M. J. 1982. Analysis of the Growth of Anadara granosa (Bivalvia: Arcidae) in
Natural, Artificially Seeded and Experimental Populations. Marine Ecology–Progress
Series (9): 69-79.
Broom, M.. J., 1985. The Biology and Culture of Marine Bivalve Molluska of the Genus
Anadara. International Centre for Living Aquatic Resources Management. Manila. 37
hal.
Carpenter, K. E., Niem, V. H. 1998. FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes.
The Living Marine Resources of The Western Central Pacific. Vol.1. Sea
Weeds, Corals, Bivalves, and Gastropods. Rome, FAO.
Darma. 1988. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesia Shells I). Sarana Graha. Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.
Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hal.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hal.
Fitriani. 2008. Studi Morfometrik Kerang Pokea (Batissa violacea celebensis Marten, 1897)
di Sungai Pohara Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Skripsi. Jurusan Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Halu Oleo. Kendari.
Gimin, R. R. Mohan, L. V., Thinh and Griffiths, A. D. 2004. The Relationship of Shell
Dimensions and Shell Volume to Live Weight and Soft Tissue Weight in the
Mangrove Clam, Polymesoda erosa (Solander, 1786) from Northern Australia.
NAGA, World Fish Center Quarterly. 27(3,4): 32-35
Hery, I. 1998. Struktur Populasi Anadara spp. Secara Spasial dan Hubungan dengan Gradien
Lingkungan di Perairan Pesisir Teluk Lada, Desa Mekarsari, Pandeglang, Jawa
Barat. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Islay, D., Marsden., Rebbecca, M., and Pilkington. 1995. Spatial and Temporal Variations in
the Condition of Austrovenus Stutchburyi FINLAY, 1927 (Bivalvia: Veneridae) From
the Avon-Heathcote Estuary, Chistchurch. Journal of New Zealand Natural Sciences
22: 57-67.
Kamuliati. 2013. Studi Morfometrik dan Faktor Kondisi Kerang Pokea (Batissa voilacea
celebensis, Von Martens 1897) di Sungai Pohara Kabupaten Konawe Selatan Provinsi
Sulavesi Tenggara. Skripsi. Jurusan Perikanan. FPIK- Unhalu. Kendari. 66 hal.
Komala, R., Fredinan, Y., Djamar, T. F., Lumbanbalu dan Isdrajad, S. O. 2011. Morfometrik
Kerang Anadara granosa dan Anadara antiquata pada Wilayah yang Tereksploitasi
di Teluk Lada Perairan Selat Sunda. Jurnal Pertanian-UMMI. Universitas Negeri
Jakarta dan Institut Pertanian Bogor. 1(1): 14-18.
Manik, N. 2009. Hubungan Panjang-Berat dan Faktor Kondisi
Ikan Layang (Decapterus russelli) dari Perairan Sekitar
Teluk Likupang Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35(1): 65-74

Mariani, S., Piccari, F., Matthaeis, E. D. 2002. Shell Morphology in Cerastoderma spp
(Bivalvia : Cardiidae) and its Significance for Adaptation to Tidal and Non-tidal
Coastal Habits. J. Mar bio Ass. UK. 82: 843-480.
Morton, B. 1982. The Molusca. Vol 6 : Ecology Mangrove Bivalve. Academy Press, Inc.
Orlando. New York. pp. 77-130.
Natan, Y. 2009. Parameter Populasi Kerang Lumpur Tropis Anodontia edontula di Ekosistem
Mangrove. Jurnal Biologi Indonesia. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Patimura Ambon. 6(1): 25-38.
Neef, B. D., Cargnelli, L. M. 2004. Relatioships Between Condition Factor, Parasite Load
and Paternity in Bluegill Sunfish, Lepomis macrochirus. Environmental Biology of
Fishes. 71: 297-304.
Niswari, A. P. 2004. Studi Morfometrik Kerang Hijau (Perna viridis, L.) di Perairan
Cilincing, Jakarta Utara. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 86 hal.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 368 hal.
Nurdin, J. M., Neti, A., Anjas, D., Rio, Jufri, M. 2006. Kepadatan Populasi dan Pertumbuhan
Kerang Darah Anadara antiquata L (Bivalvia:Arcidae) di Teluk Pisang-Pisang, Kota
Padang, Sumatera Barat. Makara Sains. 10(2): 96-101.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta. 480 hal.
Putri, E. R. 2005. Analisis Populasi dan Habitat Sebaran Ukuran dan Kematangan Gonad
Kerang Lokan Batissa violacea Lamarck (1818) di Muara Sungai Batang Inai Padang
Sumatera Barat. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 62 hal.
Prihartini, A. 2006. Analisis Tampilan Biologis Ikan Layang (Decapterus, sp.) Hasil
Tangkapan Purse Seine yang di Daratkan di PPN Pekalongan. Tesis. Program Studi
Manajemen Sumberdaya Pantai. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro.
Semarang. 91 hal
Samat, A., Shukor, M. N., Mazlan, M. G., Arshad, A., Fatimah, M. Y. 2008. Length-Weight
Relationship and Condition Factor of Pterygoplichthys pardalis (Pisces: Loricariidae)
in Malaysia Peninsula. Research Journal of Fisheries and Hydrobiology, 3(2): 48-53.
Sari, S. N. 2010. Keragaman Morfometrik Kerang Darah (Anadara granosa) di Perairan
Pesisir Banten. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 48 hal.
Setyobudiandi, I., Soekendarsih, E., Vitner, Y., Setiawati, R. 2004. Bio-ecologi Kerang
Lamis (Meretrix meretrix) di Perairan Marunda. Jurnal Ilmu Perairan dan Perikanan
Indonesia. 11 (1) : 61-66.
Tamsar., Emiyarti., Nurgaya, W. 2013. Studi Laju Pertumbuhan dan Tingkat Eksploitasi
Kerang Kalandue (Polymesoda erosa) pada Daerah Hutan Mangrove di Teluk
Kendari. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Universitas Halu Oleo. Kendari. 2(6): 14-25.
Tampubolon, R. V., Sukimin, S., Rahadrjo, M. F. 2002. Aspek Biologi Reproduksi dan
Pertumbuhan Ikan Lemuru (Sardinella longiceps) di Perairan Teluk Sibolga. Jurnal
Iktiologi Indonesia. 2(50): 45-52.
Tan, S. K. dan Henrietta P. M. W. 2010. A Preliminary Checklist of The Molluscs of
Singapore. Raffles Museum of Biodiversity Research. National University of
Singapore. Singapore. 72 hal.
Vakily, J. M. 1989. The Biology and Culture of Mussels of the Genus Perna. ICLRAM
Studies and Review No.17, Manila. 63 hal.
Veiga, P., Rubal, M., Cacabelos, E., Maldonado, C., Sousa, I. P. 2014. Spatial Variability of
Macrobentic Zonation on Exposed Sandy Beaches. Jurnal of Sea Research, 90: 1-9.
Widasari, F. N., Wulandari, S. Y., Supriyantini, E. 2013. Pengaruh Pemberian Tetraselmis
chuii dan Skeletonema costatum Terhadap Kandungan EPA dan DHA pada Tingkat
Kematangan Gonad Kerang Totok Polymesoda erosa. Journal of Marine Research,
2(1): 15-24.
Widyastuti, A. 2011. Perkembangan Gonad Kerang Darah (Anadara antiquata) di Perairan
Pulau Auki, Kepulauan Padaido, Biak, Papua. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia
37(1): 1-17.
Wood, M., S. 1987. Subtidal ecology. Edward Amold Pty. Limited. Australia. 125 p.
Zumiati. 2014. Studi Morfometrik Kerang Darah (Anadara granosa) di Perairan Teluk
Kendari. Sripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Halu Oleo. Kendari. 51 hal.

Anda mungkin juga menyukai