Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH TOKSIKOLOGI

EKSPOSISI MELALUI JALUR INHALASI

OLEH:

SARTIKA (917312906201.005)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN AVICENNA
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT , atas segala bimbingan
dan limpahan rahmatNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah
ini membahas tentang Interaksi zat dalam toksikologi.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu
Nana Kariada dan Ibu Nur Kusuma Dewi selaku dosen pengampu mata kuliah
Toksikologi Lingkungan yang telah memberikan segala bantuannya. Menyadari dari
keterbatasan penulis, kritik dan saran dalam penyempurnaan makalah ini akan sangat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Kendari ,juli 2019

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar.............................................................................................. 1

Bab 1: Pendahuluan

A. Latar Belakang................................................................................... 3

B. Rumusan Masalah.............................................................................. 3

C. Tujuan................................................................................................ 4

Bab 2: Pembahasan

A. Ruang lingkup toksikologi......................................................................... 5

B. Senyawa yang bersifat toksik.................................................................... 17

C. proses terjadinya interaksi zat dalam toksikologi melalui jalur


inhalas................................................................................................ 24

D. pengaruh interaksi zat dalam

toksikologi.............................................................................................. 28

Bab 3: Penutup

A. Kesimpulan......................................................................................... 34

Daftar Pustaka............................................................................................... 35
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia

(Cotton dan Wilkinson . 2009). Selain itu toksikologi juga mempelajari

jelas/kerusakan/ cedera pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang

diakibatkan oleh suatu materi substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja

efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan

mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap organisme.


Salah satu masalah dalam toksikologi terutama toksikologi lingkungan adalah

kenyataan bahwa orang praktis selalu menggunakan campuran zat, yang

seringkali susunan kualitatif dan kuantitatifnya beragam. Akibatnya penentuan

risiko yang timbul akibat pemakaian campuran zat hampir tidak mungkin. Zat

toksik biasanya berada dalam bentuk campuran/kombinasi, sehingga harga MAC

tidak begitu berarti. Oleh karena itu harga MAC bukan merupakan nilai pasti,

tetapi hanya merupakan batas yang diizinkan.


Dalam praktek, harus digunakan konsentrasi yang secara ekonomis dan teknis

paling rendah. Tujuannya bukan batas-tanpa-efek (no-effect-level) melainkan

batas-tanpa-risiko (no-risk-level). Untuk interaksi dua zat atau lebih terdapat

berbagai kemungkinan. Kedua zat itu dapat diabsorpsi bersama-sama atau dapat

pula ada perbedaan waktu antara absorpsi senyawa yang satu dengan absorpsi

senyawa yang lain. Kombinasi dapat menyebabkan diperkuatnya efek toksik, atau
dua efek toksik yang tak saling mempengaruhi atau reaksi toksik yang

diperlemah. Reaksi toksik yang diperlemah berlaku pada pemberian zat yang

bekerja melindungi atau penggunaan antidot pada keracunan.


Kebutuhan akan toksikologi lingkungan meningkat ditinjau dari :
Proses Modernisasi yang akan menaikan konsumsi sehingga produksi juga

harus meningkat, dengan demikian industrialisasi dan penggunaan energi akan

meningkat yang tentunya akan meningkatkan resiko toksikologis.


Proses industrialisasi akan memanfaatkan bahan baku kimia, fisika, biologi

yang akan menghasilkan buangan dalam bentuk gas, cair, dan padat yang

meningkat. Buangan ini tentunya akan menimbulkan perubahan kualitas

lingkungan yang mengakibatkan resiko pencemaran, sehingga resiko toksikologi

juga akan meningkat.

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan toksikologi dan apa saja ruang lingkupnya ?
b. Apa saja senyawa yang berpotensi sebagai toksik ?
c. Bagaimana proses terjadinya interaksi zat dalam toksikologi melalui jalur

inhalasi?
d. Apa pengaruh zat toksik dalam interaksi zat dalam toksikologi ?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui apa itu toksikologi dan ruang lingkupnya.
b. Untuk mengetahui zat-zat apa saja yang bersifat dan berpotensi sebagai

toksik.
c. Untuk mengetahui dan memahami proses terjadinya interaksi zat dalam

toksikologi melalui jalur inhalasi


d. Untuk mengetahui ,memahami, dan apa saja pengaruh interaksi zat dalam

toksikologi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Toksikologi

Toksikologi adalah studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan

dari zat-zat kimia terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas

tentang penilaian secara kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang sering

terpajang serta efek yang di timbulkannya.


Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis

tidak akan dihasilkan oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau

produk biotransformasinya mencapai tempat yang sesuai di dalam tubuh pada

konsentrasi dan lama waktu yang cukup untuk menghasilkan manifestasi

toksik. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan

dengan situasi pemaparan (pemajanan) terhadap bahan kimia tertentu adalah

jalur masuk ke dalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan.


Pemaparan bahan-bahan kimia terhadap binatang percobaan biasanya

dibagi dalam empat kategori: akut, subakut, subkronik, dan kronik. Untuk

manusia pemaparan akut biasanya terjadi karena suatu kecelakaan atau

disengaja, dan pemaparan kronik dialami oleh para pekerja terutama di

lingkungan industri-industri kimia.


Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme dan

efek dari dua atau lebih bahan kimia yang diberikan secara bersamaan akan

menghasilkan suatu respons yang mungkin bersifat aditif, sinergis, potensiasi,

dan antagonistik. Karakteristik pemaparan membentuk spektrum efek secara

bersamaan membentuk hubungan korelasi yang dikenal dengan hubungan

dosis-respons.

B. Zat-zat yang berpotensi sebagai toksik

Zat toksik dapat berasal dari berbagai macam sumber, salah satunya

yaitu zat toksik yang berasal dari bahan kimia. Toksisitas senyawa kimia

sendiri didefinisikan sebagai kemampuan senyawa kimia mengakibatkan

bahaya terhadap metabolism jaringan makhluk hidup. Racun yang berasal dari

zat atau senyawa kimia dapat berada di dalam lingkungan secara alamiah atau

yang sengaja dibuat oleh manusia. Harus diakui bahwa zat kimia beracun

kebanyakan berasal dari aktivitas manusia dan meliputi berbagai aspek

kehidupan. Senyawa kimia beracun juga dapat hadir di dalam lingkungan

secara alamiah. Kehadiran zat kimia beracun alamiah di dalam lingkungan

diasumsikan akan selalu konstan,kecuali ditambah oleh aktivitas manusia


seperti penambahan logam beracun kedalam lingkungan oleh kegiatan-

kegiatan industry dan kemajuan teknologi. Pengaruh kehadiran berbagai jenis

zat kimia beracun tersebut di dalam lingkungan mungkin dapat diketahui

dengan cepat,akan tetapi pengaru negative pada umumnya baru diketahui

setelah masuknya zat kimia tersebut dalam jangka waktu cukup lama.

Kehadiran zat kimia beracun alamiah mungkin dapat semakin

meningkat atau bahkan semakin menurun, tergantung kondisi lingkungan.

Sebagai contoh, jumlah bakteri dan jamur yang mengkotaminasi makanan saat

ini mungkin semakin berkurang sesuai dengan tersedianya peralatan yang

dapat menjaga makanan terbebas dari bakteri dan jamur. Akan tetapi

perkembangan dan kemajuan teknologi saat ini juga memungkinkan akan

munculnya species baru yang atahan terhadap berbagai kondisi anti bakteri

dan anti jamur baru yang sangat immun terhadap berbagai jenis kondisi dapat

meningkatkan jumlah racun alamiah di dalam lingkungan.

Beberapa senyawa kimia beracun alamiah dan pengaruh toksiknya terhadap

makhluk hidup yang suda diidentifikasi seperti pada tabeldi bawah ini :

NO Pengaruh Toksik
Pasti Diduga
Jenis zat Kehadiran di

toksik dalam
1 Logam Pb, Air, makanan dan Inhibitor enzim, sel Karsigonenik,

Hg, As, Sb, debu atmisfer racun. Efekneurology.

Cu, Cr, Mn,


Se, Ni.
2 Gas CO, Sedikit do Iritasi pada paru- -

NO2, SO2, atmosfer paru dan mata

SO3.
3 Alkaloid, Pada Efek toksik -

peptide, sayuran,jumlah

protein sterol. besar pada

tumbuhan beracun
4 Bakteri toksin Di dalam makanan Racun -

terkontaminasi
5 Jamur toksin Di dalammakanan Keracunan hati Karsinogenik

fermentasi
6 Radioaktif Di dalam udara, air Mutasi Karsinogenik,

(bukan dan makanan leukaemia.

senyawa) dalam jumlah

kecil.

C. Proses Interaksi Zat Dalam Toksikologi

Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan

proses mulai dari proses biokimia, fisika dan bilogi yang begitu kompleks.

Proses ini umumnya dikelompokkan dalam tiga fase yaitu :

1. Fase Eksposisi meliputi paparan bahan kimia di ambien pada gas/uap, debu,

kabut dan fume

2. Fase Toksokinetik meliputi absorpsi, distribusi penyimpanan, metabolisme,

dan eksresi
3. Fase Toksodinamika meliputi interaksi antara tokson dengan reseptor dalam

organ

Interaksi Selama Fase Eksposisi

Kombinasi Zat yang membahayakan

Kombinasi zat yang membahayakan adalah kombinasi dari zat-zat

yang hanya berbahaya jika diberikan bersama-sama. Zat semacam ini harus

disimpan secara terpisah, harus dibungkus dan diangkut secara terpisah pula.

Contohnya, jika asam berkontak dengan sianida akan terbentuk gas asam

sianida yang sangat toksik (HCN). Berbagai peroksida dapat menimbulkan

ledakan kalau berkontak dengan logam atau senyawa logam tertentu. Logam

alkali, aluminium dan magnesium bubuk tidak boleh berkontak dengan

halogen dan karbontetraklorida, karena akan bereaksi dengan hebat (Ingat

peristiwa bom di Bali). Untuk meminimalkan bahaya, maka diperlukan

penanganan dalam hal pengangkutan dan penyimpanan zat yang berisiko

menimbulkan bahaya. Risiko ledakan atau kebakaran harus dinyatakan secara

jelas dengan tanda khusus pada kemasan atau ruang penyimpanan.

Bahaya kebakaran dan penanggulangannya

Penggunaan air pada penanggulangan kebakaran mempunyai masalah

tersendiri. Berbagai zat kimia, bila bereaksi dengan air membebaskan gas
yang mudah terbakar(misalnya logam alkali natrium dan kalium,

kalsiumkarbida). Bila terkena air akan terurai dan membentuk gas beracun

serta kalor dalam jumlah besar (misalnya aluminium klorida, fosfortriklorida,

dan fosfida). Uap dan gas beracun dapat pula terbentuk pada kebakaran atau

pada penanggulangan kebakaran. Jika pada pembuatan kerangka kapal

digunakan pembakar asetilen, serta kapal dicat dengan zat warna yang

mengandung timbal atau senyawa timbal, akan sangat berbahaya kalau

pekerjaan tersebut dilakukan dalam ruang tertutup.

Pembentukan produk toksik dalam lingkungan

Pada reaksi kimia antara zat-zat yang mencemari lingkungan, terdapat

bahaya timbulnya produk toksik, bahkan tanpa perlakuan apapun oleh

manusia. Contohnya adalah kabut fotokimia. Kabut terdiri dari zat yang

terbentuk karena interaksi nitrogen oksida dan hidrokarbon tertentu dengan

oksigen, dibawah pengaruh sinar matahari. Ozon dan peroksida organik

merangsang selaput lendir dengan sangat kuat. Hasil pembakaran industri dan

mobil dapat berubah menjadi kabut fotokimia pada kondisi cuaca tertentu,

misalnya pada penyinaran oleh sinar matahari dan tak ada angin. Contoh lain

adalah berubahnya senyawa raksa anorganik menjadi senyawa raksa organik

oleh mikroorganisme, terutama metil dan dimetil raksa (II). Karena senyawa

raksa organik bersifat lipofil, maka akan tertimbun dalam ikan dan anjing laut.
Hal yang sama terjadi pada DDT, yang menyebabkan terjadinya pemekatan

sepanjang rantai makanan, dan hewan/organisme yang ada pada ujung rantai

ini akan terkena bahayanya.

Adsorbensia dalam Filter

Penggunaan adsorbensia dalam filter (termasuk filter pada topeng gas)

juga dapat dilihat sebagai interaksi zat selama fase eksposisi. Karena terdapat

begitu banyaknya racun yang berbeda-beda, maka tidak dapat digunakan filter

universal. Tergantung pada jenis uap atau gas racun yang mungkin terjadi,

maka digunakan filter tertentu yang ditandai dengan nomor atau warna.

Pembentukan produk toksik oleh kerja sistem biologik

Pembentukan senyawa metil dan dimetil raksa (II) yang relatif toksik

daripada raksa anorganik oleh mikroorganisme, serta pembentukan HCN dari

sianogen (misalnya, dari amigdalin dengan bantuan ludah) merupakan contoh

pembentukan produk toksik karena kerja sistem biologi. Contoh lain adalah

pembentukan asam sulfida yang toksik selama proses pembusukan.

Pembentukan nitrosamin karsinogenik pada reaksi antara nitrit dengan

sejumlah amin pada pH rendah, misalnya dalam lambung. Nitrit terdapat

dalam produk-produk daging dan dapat juga terjadi dari nitrat yang terdapat
dalam air tanah dan sayur yang pada penanamannya menggunakan pupuk

yang mengandung N dalam jumlah besar.

Peningkatan absorpsi racun oleh ikan

Untuk perlindungan lingkungan perlu diketahui bahwa ikan yang

berkontak dengan deterjen, akan menyebabkan absorpsi berbagai racun

melalui insang ikan tersebut diperbesar. Hal ini berarti bahwa pemeriksaan

dengan zat tunggal untuk menentukan batas toleransi akan dapat memberikan

hasil yang salah, karena toksisitas akan dapat sangat dipertinggi dengan

adanya deterjen yang secara praktis terdapat dalam semua air limbah.

Eksposisi melalui jalur Inhalasi

Eksposisi melalui jalur inhalasi. Pemejanan xenobiotika yang berada

di udara dapat terjadi melalui penghirupan xenobiotika tersebut. Tokson yang

terdapat di udara berada dalam bentuk gas, uap, butiran cair, dan partikel

padat dengan ukuran yang berbeda-beda. Disamping itu perlu diingat, bahwa

saluran pernafasan merupakan sistem yang komplek, yang secara alami dapat

menseleksi partikel berdasarkan ukurannya. Oleh sebab itu ambilan dan efek

toksik dari tokson yang dihirup tidak saja tergantung pada sifat toksisitasnya

tetapi juga pada sifat fisiknya.


Gambar 2.4: Skema saluran pernafasan manusia. terdiri atas

nasofaring, saluran trakea dan bronkus, serta acini paru-paru, yang terdiri atas

bronkiol pernafasan, saluran alveolar, dan alveoli.

Saluran pernafasan terdiri atas nasofaring, saluran trakea dan bronkus

serta acini paru-paru, yang terdiri atas bronkiol pernafasan, saluran alveolar,

dan alveoli (lihat gambar 2.4). Nasofaring berfungsi membuang partikel besar

dari udara yang dihirup, menambahkan uap air, dan mengatur suhu.

Umumnya partikel besar ( > JARINGAN SUBKUTAN D E R M I S

EPIDERMIS folikel rambut kapiler darah lapisan tanduk 12 10 µm) tidak

memasuki saluran napas, kalau masuk akan diendapkan di hidung dan

dienyahkan dengan diusap, dihembuskan dan berbangkis. Saluran trakea dan

bronkus berfungsi sebagai saluran udara yang menuju alveoli. Trakea dan

bronki dibatasi oleh epiel bersilia dan dilapisi oleh lapisan tipis lendir yang
disekresi dari sel tertentu dalam lapisan epitel. Dengan silia dan lendirnya,

lapisan ini dapat mendorong naik partikel yang mengendap pada permukaan

menuju mulut. Partikel yang mengandung lendir tersebut kemudian dibuang

dari saluran pernafasan dengan diludahkan atau ditelan. Namun, butiran cairan

dan partikel padat yang kecil juga dapat diserap lewat difusi dan fagositosis.

Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap ke dalam sistem limfatik.

Beberapa partikel bebas dapat juga masuk ke saluran limfatik. Partikel-

partikel yang dapat terlarut mungkin diserap lewat epitel ke dalam darah.

Alveoli merupakan tempat utama terjadinya absorpsi xenobiotika yang

berbentuk gas, seperti carbon monoksida, oksida nitrogen, belerang dioksida

atau uap cairan, seperti bensen dan karbontetraklorida. Kemudahan absorpsi

ini berkaitan dengan luasnya permukaan alveoli, cepatnya aliran darah, dan

dekatnya darah dengan udara alveoli. Laju absorpsi bergantung pada daya

larut gas dalam darah. Semakin mudah larut akan semakin cepat diabsorpsi.

D. Pengaruh Zat Toksik

Masuknya racun ke dalam tubuh makhluk hidup dapat melalui

berbagai cara seperti melalui absorbsi, tertelan melalui mulut, terhirup dan

lain-lain. Jalur utama bahan toksik untuk dapat masuk ke dalam tubuh

manusia adalah melalui absorpsi, distribusi dan ekskresi pada paru-paru

(pernapasan/inhalasi), kulit (topikal), pencernaan (ingesti) dan injeksi.


1. Absorpsi

Bahan toksik akan diserap oleh tubuh melalui paru-paru, kulit dan

saluran pencernaan kemudian masuk ke dalam aliran darah dan sistem

kelenjar getah bening. Bahan toksik tersebut kemudian diangkut ke seluruh

tubuh. Selain berbahaya tanpa diabsorbsi, bahan toksik tersebut tajam dan

menyebabkan karat (korosif) yang bereaksi pada titik singgungnya.

a. Via paru-paru

Faktor yang berpengaruh pada absorpsi bahan toksik dalam sistem

pernapasan adalah bentuk bahan misalnya gas dan uap; aeroso; dan ukuran

partikel; zat yang terlarut dalam lemak dan air. Paru-paru dapat mengabsorbsi

bahan toksik dalam jumlah besar karena area permukaan yang luas dan aliran

darah yang cepat.

Absorpsi ditandai oleh masuknya xenobiotika/tokson dari tempat

kontak (paparan) menuju sirkulasi sistemik tubuh atau pembuluh limfe.

Absorpsi didefinisikan sebagai jumlah xenobiotika yang mencapai sistem

sirkululasi sistemik dalam bentuk tidak berubah. Tokson dapat terabsorpsi

umumnya apabila berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi molekular.

Absorpsi sistemik tokson dari tempat extravaskular dipengaruhi oleh

sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi (sifat membran biologis

dan aliran kapiler darah tempat kontak), serta sifat-sifat fisiko-kimia tokson

dan bentuk farmseutik tokson (tablet, salep, sirop, aerosol, suspensi atau
larutan). Jalur utama absorpsi tokson adalah saluran cerna, paru-paru, dan

kulit. Pada pemasukan tokson langsung ke sistem sirkulasi sistemik

(pemakaian secara injeksi), dapat dikatakan bahwa tokson tidak mengalami

proses absorpsi.

Absorpsi suatu xenobiotika tidak akan terjadi tanpa suatu transpor

melalui membran sel, demikian halnya juga pada distribusi dan ekskresi. Oleh

sebab itu membran sel (membran biologi) dalam absorpsi merupakan sawar

„barier“ yaitu batas pemisah antara lingkungan dalam dan luar. Pada awalnya

membran biologi dipandang sebagai susunan sel, yang tersusun dengan cara

yang sama. Namun hasil penelitian menunjukkan, bahwa terdapat perbedaan

yang jelas dalam struktur membran pada berbagai jaringan.

Pandangan ini pertama kali dikemukakan oleh LEONARD dan

SINGER dengan model FluidMosaik-nya (gambar 2.2). Menurut model ini

membran terdiri atas lapisan rangkap lipid dan protein, seperti pulau, terikat di

dalamnya atau di atasnya dan dengan demikian membentuk mosaik. Seluruh

protein yang mencapai membran membentuk pori dalam lapisan rangkap

lipid. Dengan demikian telah digambarkan bahwa membran biologik tidak

statik melainkan dinamik, yang diartikan berubah secara terus menerus.

Transpor xenobiotika lewat membran sel. Penetrasi xenobiotika

melewati membran dapat berlangsung melalui:

(a) difusi pasif,


(b) filtrasi lewat pori-pori membran ”poren”,

(c) transpor dengan perantara molekul pengemban ”carrier”,

(d) pencaplokan oleh sel ”pinositosis”

(a) Difusi pasif. Difusi pasif

merupakan bagian terbesar dari proses transmembran bagi umumnya

xenobiotika. Tenaga pendorong untuk difusi ini adalah perbedaan konsentrasi

xenobiotika pada kedua sisi membran sel dan daya larutnya dalam lipid.

Menurut hukum difusi Fick, molekul xenobiotika berdifusi dari daerah 14

dengan konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi yang lebih rendah:

Jadi berdasarkan hukum Fick, transpor suatu xenobiotika berbanding

langsung dengan perbedaan konsentrasi (∆C), luas permukaan membran ”A”,

koefisien distribusi (partisi) xenobiotika bersangkutan ”K”, serta koefisien

difusinya ”D”, dan berbanding terbalik dengan tebal membran ”h”. Oleh

karena xenobiotika akan didistribusikan secara cepat ke dalam suatu volume

yang besar sesudah masuk ke sistem sirkulasi sistemik, maka konsentrasi

xenobiotika di dalam sistem sirkulasi akan menjadi sangat rendah

dibandingkan terhadap konsentrasi xenobiotika di tempat eksposisi. Sebagai

contoh, dosis obat biasanya dalam miligram, sedangkan konsentrasi dalam

plasma seringkali menjadi mikrogram per mililiter atau nanogram per

mililiter. Apabila obat diberikan per-oral, maka konsentrasi obat di saluran

cerna akan jauh lebih besar dibandingkan dalam plasma, perbedaan

konsentrasi yang besar ini yang berperan sebagai ”daya penggerak” selama
absorpsi. Bila D, A, K, dan h tetap di bawah keadaan yang umum untuk

absorpsi, diperoleh suatu tetapan gabungan P atau koefisien permeabilitas ( P

= DAK h ).

Jadi secara umum koefisien permeabilitas membran sel ditentukan

oleh: sifat pisiologi membran (luar permukaan membran, tebal membran,

koefisien difusi membran), dan sifat fisiko-kimia xenobiotika (koefiesen

partisi/ distribusi dari xenobiotika). Koefisien partisi ”K” menyatakan partisi

xenobiotika dalam minyak/air. Peningkatan kelarutan dalam lemak

(lipofilitas) suatu xenobiotika akan diikuti dengan peningkatan harga K-nya,

dan dengan demikian juga terjadi meningkatkan laju difusi xenobiotika

tersebut melalui membran sel.

Jika harga K dari suatu xenobiotika sangat tinggi, maka pada awalnya

xenobiotika tersebut akan sangat cepat terlarut dalam lapisan lipid bagian luar

membran. Namun karena membran biologi tersusun atas lapisan ganda lemak,

yang disispi oleh lapisan berair, maka xenobiotika tersebut akan terakumulasi

pada lapisan luar lipid membran sel dan sangat kecil akan melewati lapisan

berair dari membran sel, sehingga sangat kecil kemungkinan xenobiotika ini

akan menembus membran sel. Oleh karena itu laju absorpsi akan meningkat

sebanding dengan peningkatan lipofilitas xenobiotika sampai batas

maksimum, dan kemudian laju absorpsi akan kembali menurun.

, Absorpsi xenobiotika melalui saluran napas. Tempat utama bagi

absorpsi di saluran napas adalah alveoli paru-paru, terutama berlaku untuk gas
(seperti karbon monoksida ”CO”, oksida nitrogen, dan belerang oksida) dan

juga uap cairan (seperti benzen dan karbon tetraklorida). Sistem pernapasan

mempunyai kapasitas absorpsi yang tinggi. Kemudahan absorpsi ini berkaitan

dengan luasnya permukaan alveoli, laju aliran darah yang cepat, dan dekatnya

darah dengan udara alveoli. Oleh sebab itu jalur eksposisi ini merupakan hal

yang menarik bagi farmasis untuk mengembangkan produk sediaan

farmaseutika untuk mendapatkan efek farmakologi yang akut, guna

menghindari pemakaian secara injeksi.

Absorpsi pada jalur ini dapat terjadi melalui membran ”nasal cavity”

atau absorpsi melalui alveoli paru-paru. Kedua membran ini relativ

mempunyai permeabilitas yang tinggi terhadap xenobiotika. Sebagai contoh

senyawa amonium quarterner, dimana sangat susah diserap jika diberikan

melalui jalur oral, namun pada pemberian melalui ”nasal cavity”

menunjukkan tingkat konsentrasi di darah yang hampir sama dibandingkan

dengan pemakaian secara intravena. Luas permukaan alveoli yang sangat luas,

ketebalan diding membran yang relativ tipis, permeabilitas yang tinggi, lanju

aliran darah yang tinggi, dan tidak terdapat reaksi ”first-pass-efect”

merupakan faktor yang menguntungkan proses absorpsi xenobiotika dari

paru-paru. Namun pada kenyataannya jalur eksposisi ini sedikit dipillih dalam

uji toksisitas dari suatu xenobiotika, karena;

(1) kesulitan mengkuantisasikan dosis 19 yang terserap,


(2) partikel dengan ukuran tertentu akan terperangkap oleh rambut silia atau

lendir dimana selanjutnya dibuang melalui saluran cerna, sehingga absopsi

justru terjadi melalui saluran cerna,

(3) senyawa volatil (mudah menguap) pada umumnya melalui jalur ini

terabsorpsi sebagian, bagian yang tidak terabsorsi akan dihembuskan menuju

udara bebas, hal ini tidak seperti jalur eksposisi saluran cerna.

2. Distribusi

Setelah xenobiotika mencapai sistem peredahan darah, ia bersama

darah akan diedarkan/ didistribusikan ke seluruh tubuh. Dari sistem sirkulasi

sistemik ia akan terdistribusi lebih jauh melewati membran sel menuju sitem

organ atau ke jaringan-jaringan tubuh. Distribusi suatu xenobiotika di dalam

tubuh dapat pandang sebagai suatu proses transpor reversibel suatu

xenobiotika dari satu lokasi ke tempat lain di dalam tubuh.

Di beberapa buku reference juga menjelaskan, bahwa distribusi adalah

proses dimana xenobiotika secara reversibel meninggalkan aliran darah dan

masuk menuju interstitium (cairan ekstraselular) dan/atau masuk ke dalam sel

dari jaringan atau organ. Guna mempermudah pengertian tentang proses

distribusi, para ahli farmakokinetik menggambarkan tubuh terdiri dari

beberapa ruang distribusi, yang didukung oleh model sederhana. Model yang

paling sederhana untuk itu adalah model kompartimen tunggal. Dimana pada

model ini tubuh dipandang sebagai satu ruang yang homogen (seperti satu
ember besar), dalam hal ini distribusi xenobiotika hanya ditentukan oleh daya

konveksi di dalam ember.

Namun pada kenyataannya, agar xenobitika dapat ditransportasi dari

saluran kapiler pembuluh darah menuju sel-sel pada jaringan tubuh, haruslah

melewati membran biologis, yaitu membran yang menyeliputi sel-sel di dalam

tubuh. Fakta menyatakan, bahwa suatu transpor transmembran dapat terjadi

apabila minimal terdapat dua ruang yang dibatasi oleh membran. Sehingga

lebih lanjut tubuh minimal dibagi menjadi dua ruang sebut saja kompartimen

intraselular dan ekstraselular. Sekitar 75% dari bobot tubuh manusia

merupakan ruang intrasel, sedangkan sisanya sekitar 22% merupakan ruang

ekstrasel

. Ruang intrasel termasuk cairan intrasel dan komponen sel yang padat.

Ruang ekstrasel dibagi atas: air plasma, ruang usus, dan cairan transsel

(seperti cairan serebrospinalia, air humor, perilimfe, dan endolimfe serta

cairan dalam rongga tubuh dan organel berrongga). Perlu diingat disini,

bahwa pembagian kompartimen ini hanya merupakan langkah abstraksi guna

memudahkan pemahaman ruang distribusi xenobiotika di dalam tubuh. Lebih

lanjut dasar pengertian dan pemanfaat tentang pembagian ruang distribusi

”kompartimen” akan 20 dibahas lebih dalam dalam bahasan pemodelan

farmakokinetik.
Distribusi xenobiotika di dalam tubuh umumnya melalui proses

transpor, yang pada mana dapat di kelompokkan ke dalam dua proses utama,

yaitu konveksi (transpor xenobiotika bersama aliran darah) dan transmembran

(transpor xenobiotika melewati membran biologis). Distribusi suatu

xenobiotika di dalam tubuh dipengaruhi oleh: tercampurnya xenobiotika di

dalam darah, laju aliran darah, dan laju transpor transmembran. Umumnya

faktor tercampurnya xenobiotika di darah dan laju aliran darah ditentukan

oleh faktor psikologi, sedangkan laju transpor transmembran umumnya

ditentukan oleh faktor sifat fisiko-kimia xenobiotika.

Transpor transmembran dapat berlangsung melalui proses difusi pasif,

difusi terpasilitasi, difusi aktif, filtrasi melalui poren, atau proses fagositisis.

Secara kesuluruhan pelepasan xenobiotika dari cairan plasma menuju cairan

intraselular ditentukan berbagai faktor, dimana faktor-faktor tersebut dapat

dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu:

a) faktor biologis: - laju aliran darah di organ dan jaringan, - sifat membran

biologis - perbedaan pH antara plasma dan jaringan

b) faktor sifat molekul xenobiotika - ukuran molekul - ikatan antara protein

plasma dan protein jaringan - kelarutan - sifat kimia Laju aliran darah di organ

dan jaringan.
Sirkulasi sistemik sangat memegang peranan penting dalam transpor

xenobiotika antar organ dan jaringan di dalam tubuh. Sebelum mencapai

kesetimbangan distribusi, distribusi sebagian besar ditentukan oleh pasokan

darah dari organ dan jaringan

. Organ tubuh seperti ginjal, hati, otak, paruparu, jantung, lambung dan

usus, adalah organorgan yang memiliki laju aliran darah (perfusi) yang baik.

Akibat aliran darah yang cepat dan dengan demikian jangka waktu kontaknya

yang sangat singkat dalam kapiler (sekitas 2 detik) maka mula-mula

xenobiotika akan terdistribusi dengan cepat pada organ atau jaringan dengan

perfusi yang baik. Ini berarti organ atau jaringan yang mempunyai banyak

kapiler darah pada awal proses distribusi (sebelum kesetimbangan distribusi

tercapai) akan mengambil jumlah xenobiotika yang lebih besar dibandingkan

daerah yang pasokan darahnya kurang. Pada akhirnya setelah kesetimbangan

distribusi tercapai, laju distribusi tidak lagi dipengaruhi oleh perfusi di organ

atau jaringan.

Telah dibahas sebelumnya, bahwa difusi berperan penting dalam

transpor suatu xenobiotika diantara ekstradan intra selular. Xenobiotika agar

dapat ditransportasi dari saluran kapiler pembuluh darah menuju sel-sel pada

jaringan tubuh, haruslah melewati membran biologis, yaitu membran yang

menyeliputi sel-sel di dalam tubuh. Secara keseluruhan luas permukaan

kapiler tubuh (orang dewasa) diperkirakan berkisar antara 6000-8000 m2,


dengan panjang keseluruhan diduga sekitar 95000 km. Di bagian luar kapiler-

endotel ini diselimuti oleh membran basal yang sangat halus dan elastis.

Struktur membran basal dapat dibedakan menjadi: - kapiler yang

sangat tertutup (contoh: barier sawar darah otak) - kapiler yang berjendela,

pada jendela ini terjadi pertukaran cairan yang sangat intensiv, jarak jendela

dalam kapiler ini adalah tidak beraturan (contoh:tubulus ginjal), - kapiler yang

terbuka, tidak terdapat hubungan antar sel-sel endotel, sehingga pada kapiler

ini terdapat lubang-lubang yang besar, yang dapat dilewati oleh plasma darah

(contoh: hati). 21 Laju penetrasi xenobiotika melewati membran biologis akan

ditentukan oleh struktur membran basal dan juga sifat lipofilitasnya.

Senyawasenyawa lipofil akan dapat menembus membran biologis

dengan baik, sedangkan senyawa yang polar (larut air) haruslah melewati

lubang-lunag di membran biologis, yang dikenal dengan „poren“. Jumlah

poren dalam membran biologis adalah terbatas, oleh sebab itu dapatlah

dimengerti, bahwa senyawa lipofil akan terdistribusi lebih cepat dibandingkan

senyawa hidrofil

Membran lipid - barier sawar darah otak darah → liquor darah → otak hanya

xenobiotika lipofil, tidak terionisasi; xenobitika polar akan terperfusi sangat

lambat atau sama sekali tidak - lapisan lendir penanjang saluran pencernaan -

lapisan lendir di mulut - tubulus ginjal - kulit Membran lipid dengan „Poren“
xenobiotika lipofil dan hidrofil dapat lewat - darah → hati - hati → empedu -

paru-paru - plasenta - darah → kelenjar mamai - kapilar-kapiler di kulit dan

otot - lapisan lendir (mata, hidung, kantung kemih) - glomerulus ginjal

(filtrasi) Perbedaan pH antar plasma dan jaringan. Ikatan Protein. Faktor

penting lain yang berpengaruh pada distribusi ialah ikatan pada protein

terutama protein plasma, protein jaringan dan sel darah merah.

Ikatan xenobiotika pada protein umumnya relatif tidak khas. Sesuai

dengan struktur kimia protein, ikatan xenobiotika pada protein terlibat

ikatan ion, ikatan jembatan hidrogen dan ikatan dipol-dipol serta interaksi

hidrofob. Beragamnya kemungkinan ikatan yang terlibat memungkinkan

berbagai xenobiotika yang dapat terikat pada protein, oleh sebab itu ikatan

xenobiotika pada protein dikatakan tidak khas. Ikatan protein adalah bolak-

balik „reversibel“. Ikatan tak bolak-balik ”irreversibel” (misal ikatan

kovalen), misal ikatan reaksi sitostatika yang mengalkilasi protein, tidak

termasuk ke dalam ikatan protein.

. Sebagai ilustrasi, apabila suatu xenobiotika mempunyai tetapan

afinitas yang besar dengan protein plasma dibandingkan dengan protein

jaringan, maka xenobiotika tersebut akan lebih banyak berada dalam cairan

plasma dibandingkan di jaringan. Sebagai contoh, karbonmonoksida tertikat

hampir seluruhnya pada hemoglobin dan mioglobin oleh karena afinitas yang

tinggi terhadadap heme, sehingga pola distribusi dari karbonmonoksida sesuai


dengan protein-protein tersebut. Beberapa turunan akridin terakumulasi dalam

struktur jaringan basofil, terutama ke dalam inti sel.

Setelah absorbsi bahan toksik terjadi, maka bahan tersebut

didistribusikan ke seluruh tubuh melalui darah, kelanjar getah bening atau

cairan tubuh yang lain oleh darah. Distribusi bahan beracun tersebut :

- Disimpan dalam tubuh pada hati, tulang dan lemak

- Dikeluarkan melalui feses, urine atau pernapasan Mengalami

biotransformasi

- Metabolisme dimana bentuk akhirnya lebih siap dikeluarkan

3. Ekskresi

Ekskresi bahan toksik dapat terjadi melalui hembusan udara atau

pernapasan, dan dari sekresi melalui keringat, air susu, feses dan urine.

Toksikan dikeluarkan dalam bentuk asal, sebagai metabolit dan atau konjugat.

a. Ekskresi urin

Ginjal membuang toksikan dari tubuh dengan mekanisme yang serupa

dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme

faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler dan sekresi tubuler.

b. Ekskresi empedu

Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi toksikan,

terutama untuk senyawa yang polaritasnya tinggi (anion dan kation), konjugat

yang terikat pada protein plasma, dan senyawa yang BM-nya lebih besar dari
300. Pada umumnya begitu senyawa ini berada dalam emped, senyawa ini

tidak akan diserap kembali ke dalam darah dan dikeluarkan lewat feses. Tetapi

ada pengecualian, misalnya konugat glukuronoid yang dapat dihidrolisis oleh

flora usus menjadi toksikan bebas yang diserap kembali.

c. Paru-paru

Zat yang berbentuk gas pada suhu badan terutama diekskresikan lewat

paru-paru. Cairan yang mudah menguap juga dengan mudah keluar lewat

udara ekspirasi. Cairan yang mudah larut misalnya kloroform dan halotan

mungkin diekskresikan sangat lambat karena ditimbun dalam jaringan lemak

dan karena terbatasnya volume ventilasi. Ekskresi toksikan melalui paru-paru

terjadi karena difusi sederhana lewat membran sel.

Pengaruh sistematik dapat berupa pengaruh akut dan pengaruh kronik.

Pengaruh akut adalah keracunan yng berlangsung sangat cepat oleh kehadiran

zat kimia di dalam tubuh makhluk hidup, sedangkan pengaruh kronik adalah

keracunan yang berlangsung sangat lambat oleh kehadirn zat kimia di dalam

tubuh makhluk hidup dan pengaruh ini baru diketahui setelah dalam jangka

waktu yang cukup lama. Pengaruh akut sangat mudah mudah dikenali karena

kehadiran zat kima ke dalam tubuh akan langsung memberikan dampak

negative berupa luka, terbakar, sakit, atau gejala lainnya yang berlangsung

sangat cepat. Akan tetapi pengaruh kronik sangat sulit untuk dikenali karena

berlangsungnya lambat, yaitu meembutuhkan waktu yang lamamulai dari


masuknya zat kedalam tubuh sampai terjadinya gejala penyakit dan sakit yang

diakibatkan oleh racun tersebut. .

Pengaruh Toksisitas Sistemik Kronik

Pengaruh toksisitas sistematik kronik adalah pengaruh racun yang

diakibatkan oleh kehadiran zat kimia dalam jumlah kecil dalam jangka waktu

yang cukup lama. Gejala yang ditimbulkan dari racun yang bersifat kronik ini

baru timbul setelah berlangsung dalam jangka waktu yang relative lama.

Misalnya beberapa tahun setelah kontak atau mengkonsumsi zat kimia

tersebut, sehingga sering kali dalam diagnosisnya nama zat kimia yang

menjadi penyebabnya sulit ditelusuri. Beberapa senyawa yang mempunyai

efek kronik digolongkan sebagai senyawa karsinogenik, mutagenic,

teratogenik dan sensitisers.

1. Karsinogenik

Karsinogenik adalah senyawa kimia yang dapat mengakibatkan

penyakit kanker. Senyawa karsinogenik diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Karsinogenik Tipe I

Yaitu senyawa kimia yang sudah pasti diketahui menyebabkan

kanker pada manusia, misalnya asbestos, senyawa aromatis.

b. Karsinogenik Tipe II,


Yaitu senyawa kimia yang diketahui sudah pasti menyebabkan

kanker kepada hewan dan diduga akan mengakibatkan kanker

pada manusia, misalnya formaldehida.

c. Karsinogenik Tipe III

Yaitu senyawa kimia yang perlu dipertimbangkan dan diduga

memiliki potensi akan mengakibatkan kanker akan tetapi belum

cukup data untuk meyakinkannya,misalnya kloroform.

2. Mutagenic

Mutagenic adalah senyawa kimia yang dapat mengakibatkan

perubahan kimia bahan genetic (DNA) di dalaminti sel (nucleus). Efek

mutagenic mungkin tidak atau belum nyata terlihat kepada individu yang

terkena senyawa mutagenic tersebut, akan tetapi perubahan DNA (mutasi)

akan dapat mengakibatkan pengaruh terhadap generasi berikutnya, misalnya

terjadinya cacat lahir atau penyakit genetic lainnya pada keturunan pertama

atau generasi berikutnya.

3. Terotogenik

Terotogenik adalah senyawa kimia yang dapat merusak janin yang

mengakibatkan kelainan (cacat lahir). Beberapa senyawa yang diduga

memiliki efek teratogenik di dalam lingkungan diantaranya adalah senyawa

dioksin yang dihasilkan dari pembakaran sampah, senyawa organic merkuri

yang terbentuk dari limbah merkuri, dan karbon monoksida yang dihasilkan

dari mesin industry dan kenderaan bermotor.


4. Sensitizer

Sensitizer adalah senyawa kimia yang dapat mengakibatkan alergi

terhadap individu tertentu namun keberadaan senyawa itu ditoleransi oleh

sebagian besar populasi di dalam lingkungannya. Contoh dari efek sensitizer

adalah terjadinya gejala berupa gatal-gatal, asma, sakit kepala, atau bahkan

ada yang pingsanoleh kehadiran senyawa penisilin atau racun di dalam tubuh.

Beberapa senyawa lain yang dapat dikategorikan sebagai senyawa sensitizer

adalah formaldehida (HCHO) yang terdapat di dalam plastic, kertas dan lem.

Senyawa lain seperti isosianat yang terdapat di dalam cat, pelingkut dan

produk busa plastic juga dikategorikan sebagai senyawa sensitizer.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Toksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari efek merugikan

dari bahan kimia terhadap organisme hidup.

2. Zat toksik dapat berasal dari berbagai macam sumber, salah satunya yaitu

zat toksik yang berasal dari bahan kimia.

3. Proses interaksi zat dalam toksikologi umumnya dikelompokkan dalam

tiga fase yaitu : Fase Eksposisi meliputi paparan bahan kimia di ambien

pada gas/uap, debu, kabut dan fume ; Fase Toksokinetik meliputi absorpsi,

distribusi penyimpanan, metabolisme, dan eksresi ; Fase Toksodinamika

meliputi interaksi antara tokson dengan reseptor dalam organ .

4. Jalur utama bahan toksik untuk dapat masuk ke dalam tubuh manusia

adalah melalui absorpsi, distribusi dan ekskresi pada paru-paru

(pernapasan/inhalasi), kulit (topikal), pencernaan (ingesti) dan injeksi.

DAFTAR PUSTAKA
Cotton dan Wilkinson . 2009 . Kimia Anorganik Dasar . Jakarta : UI-Press
Ariens,E.J., Mutschler,E., Simonis,A.M., 1985, Toksikologi Umum Pengantar,

Wattimena,Y.R.(terj.), Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

2. BENET, L.Z., KROETZ D.L. and SHEINER L.B., (1996),

“Pharmacokinetics The dynamics of drug absorption, distribution, and elimination”,

in HARDMAN J.G., GOODMAN GILMAN A.., LIMBIRD L.E., “Goodman &

Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics”, 9th edn, McGraw-Hill, New

York p. 3-27.

3. FICHTL B et al. , Allgemeine Pharmakologie und Toxikologie, in FORTH

W et al. (Ed) Allgemeine und Spezielle Pharmakologie und Toxikologie 7. ed,

Spektrum

Akademiker Verlag, Berlin 1998, S. 3- 102.

4. LU, F.C. (1995), “Toksikologi dasar, asas, organ sasaran, dan penilaian

resiko”, UIPress, Jakarta.

5.

Maines, M.D. (1997), “THE HEME OXYGENASE SYSTEM: A Regulator of

Second Messenger Gases”, Annu. Rev. Pharmacol. Toxicol., (37), 517-554.

6. Mutschler, (1999), Arzneimittelwirkungen: Lehrbuch der Pharmakologie

und Toxikologie; mit einführenden Kapiteln in die Anatomie, Phyiologie und


Pathophysiologie. Unter mitarb. von Schäfer-Korting. -7völlig neu bearb. und erw.

Aufl., Wiss. Verl.-Ges., Stuttgart.

7. MUTSCHLER, E. Und SCHÄFER-KORTING, M. (1997) “Arzneimittel-

Wirkungen Lehrbuch der Pharmakologie und Toksikologie” Wissenschaftliche

Verlagsgesellschaft mbH, Stuttgart

. 8. ROWLAND, M. und TOZER, T.N. (1980), “Clinical pharmacokinetics:

Concepts and applications”, Lea & Febiger, Philadelphia

9. SISWANDONO dan B. SOEKARDJO (2000), Kimia Medisinal, Airlangga

University Press, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai