Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH GADAR KARDIOPULMONAL

SINDROM KORONER AKUT

OLEH:
ISTI KHOMATUL MASITA

NIM.P07220216024

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya milik Allah SWT, karena barkat rahmat karunia serta
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sindrom
Koroner Akut”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kuliah Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat kardiopulmonal. Makalah ini tidak mungkin
terwujud tanpa bantuan dari beberapa pihak yang ikhlas bersedia meluangkan
waktunya untuk membantu Penulis. Maka pada kesempatan ini Penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dosen pengajar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Endokrin.


2. Orang tua tercinta yang selalu memberikan dorongan dan bantuan baik
materi maupun moril yang tidak ternilai harganya.
3. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam penulisan Makalah ini.
Penulis menyadari bahwa Makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan Makalah ini.
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi Penulis, pihak-pihak yang telah
membantu dan kepada siapa saja yang ingin memanfaatkanya sebagai referensi
keilmuannya. Aamiin.

Samarinda, 28 juli 2019

Penulis

DAFTAR ISI

2
COVER
1

KATA PENGANTAR
2

DAFTAR ISI
3

PEMBAHASAN
4

A. Definisi SKA
4

B. Etiologi
4

C. Patofisiologi
5

D. Manifestasi Klinis
7

E. Pemeriksaan Diagnosstik
8

F. Penatalaksanaan
8

ASUHAN KEPERAWATAN SINDROM KORONER AKUT

A. Pengkajian
14

3
B. Pemeriksaan Penunjang
14

C. Pemeriksaan Fisik
14

D. Diagnosa Keperawatan SDKI


15

E. Kriteria Hasil SLKI


15

F. Intervensi SIKI
15

DAFTAR PUSTAKA
18

4
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Andra (2006) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah
kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner.Wasid (2007)
menambahkan bahwa SKA adalah suatu fase akut dari Angina Pectoris
Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard akut/ IMA gelombang Q
(IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q
(IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya
trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil.
Harun (2007) berpendapat istilah SKA banyak digunakan saat ini
untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah coroner.
Sindrom coroner Akut merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa
penyakit coroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina), infark miokard
non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris
pasca infark atau pasca tindakan intervensi coroner perkutan. Sindrom
coroner Akut merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi
klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia
miokardium.

B. Etiologi

Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya


hanya terletak pada penyempitan pembuluh darah jantung
(vasokonstriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh empat hal, meliputi:

1. Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat


konsumsi kolesterol tinggi.
2. Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).

3. Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang


terus menerus.

4. Infeksi pada pembuluh darah.

5
Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya SKA dipengaruhi oleh
beberapa keadaan, yakni:

1. Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)


2. Stress emosi, terkejut
3. Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan
peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat,
frekuensi debar jantung meningkat, dan kontraktilitas jantung
meningkat.
C. Patofisiologi
Rilantono (1996) mengatakan SKA dimulai dengan adanya ruptur
plak arter koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan
trombus, serta aliran darah coroner yang mendadak berkurang.Hal ini
terjadi pada pla coroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis
(vulnerable plaque).Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’.
Setelah plak mengalami ruptur maka faktor jaringan (tissue factor)
dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa
complex mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab
terjadinya produksi trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi,
dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri koroner.Ini
disebut fase acute thrombosis ‘trombosi akut’.Proses inflamasi yang
melibatkan aktivasi makrofage dan sel T limfosit, proteinase, dan sitokin,
menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut.Sel inflamasi
tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui perubahan
dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial,
yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan
ruptur plak. Oleh karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar
CRP merupakan petanda inflamasi pada kejadian coroner akut(IMA) dan
mempunyai nilai prognostic. Pada 15% pasien IMA didapatkan kenaikan
CRP meskipun troponin-T negatif.Endotelium mempunyai peranan
homeostasis vaskular yang memproduksi berbagai zat vasokonstriktor
maupun vasodilator lokal.Jika mengalami aterosklerosis maka segera
terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum terjadinya plak).Disfungsi

6
endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid (NO)
oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/
NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan
endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS).Oksigen reaktif ini
dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis,
perokok, hipertensi, dan gagal jantung.Diduga masih ada beberapa enzim
yang terlibat dalam produk radikal pada dinding pembuluh darah,
misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases.Angiotensin II juga
merupakan aktivator NADPH oxidase yang poten.Ia dapat meningkatkan
inflamasi dinding pembuluh darah melalui pengerahan makrofage yang
menghasilkan monocyte chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh
darah sebagai aterogenesis yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri coroner
akibat disfungsi endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi
itu.Pada keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan
(yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor
relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin).Nitrit Oksid secara langsung
menghambat proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi leukosit ke
endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic.Melalui efek
melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan
kontraktilitas miokard, dilatasi coroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan
luasnya infark. Sindrom coroner akut yang diteliti secara angiografi 60—
70% menunjukkan obstruksi plak aterosklerosis yang ringan sampai
dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena beberapa hal, yakni tipis
- tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada
kapsul, dan hemodinamik stress mekanik. Adapun mulai terjadinya
Sindrom coroner akut, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa
keadaan, yakni aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan),
stress emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi
hari), dan hari dari suatu mingguan (Senin). Keadaan-keadaan tersebut ada
hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan

7
darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas
jantung meningkat, dan aliran coroner juga meningkat. Dari mekanisme
inilah beta blocker mendapat tempat sebagai pencegahan dan terapi.

D. Manifestasi klinis
Rilantono (1996) mengatakan gejala Sindrom Koroner Akut berupa
keluhan nyeri ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas,
menjalar ke leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa terbakar
dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri ini bisa

8
merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta punggung.
Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati seperti
masuk angin atau maag.

Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi:

1. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir


ke otot jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .
2. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada
(angina). Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan
berlangsung selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar
ke rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta ke punggung. Nyeri
dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada
penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada
penderita yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola
serangannya menjadi lebih berat atau lebih sering.

3. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita


hanya mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa
nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan
sesak, muntah atau keringat dingin.

E. Pemeriksaan Diagnostik
Wasid (2007) mengatakan cara mendiagnosis IMA, ada 3
komponen yang harus ditemukan, yakni:
1. Sakit dada
2. Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/ NSTEMI
dengan atau tanpa gelombang Q patologik

3. Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai


batas atas normal), terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin
lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--
0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl.

9
F. Penatalaksanaan
Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan
pasien SKA adalah:

1. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi


kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta
menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien
stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit secara kanul hidung.
2. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi.
Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray.
Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan
dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan
tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah
memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan
oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga
mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri coroner besar dan
memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet
(masih menjadi pertanyaan).

3. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan


kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan
venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi
menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after
load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan.
Dosis 2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping mual,
bradikardi, dan depresi pernapasan

4. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien Sindrom coroner akut


jika tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya
ialah menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah
pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut menyebabkan
agregasi platelet dan konstriksi arterial.

10
5. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan
bahwa Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The
Antiplatelet Trialists Colaboration" melaporkan adanya penurunan
kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari 14% menjadi 10% dan
nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg
perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet,
terutama pada stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat
diberikan pada pasien yang mual atau muntah 4. Aspirin boleh
diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH
(unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian,
infark miokard, dan berulangnya angina pectoris.

6. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini


menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan
menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP
(adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan
kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46%
kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi
dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada
pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner. Pada
pemasangan stent coroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi
dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari)
bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil
yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5%
menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16%
menjadi 0,2–5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia
dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi
purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel
darah lengkap pada minggu II – III. Clopidogrel sama efektifnya
dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada
korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi

11
gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari
adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang
diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah 17,22.
Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi
sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan
40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian CAPRIE
(Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events )
menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif
daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah
(IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).

Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner akut (SKA)


meliputi:

1. Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat


baru yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih
mudah pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek
menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun dapat
merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan terakhir (1999)
ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam maksimum
bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien dengan
berat badan < 70 kg.
2. Low Molecular Heparin Weight Heparin( LMWH): Diberikan pada APTS
atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan
dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high
bioavailability; dose – independent clearance; mempunyai tahanan yang
tinggi untuk menghambat aktivasi platelet; tidak mengaktivasi platelet;
menurunkan faktor von Willebrand; kejadian trombositopenia sangat
rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa / IIa lebih
tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek
hambatan dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam
preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis

12
Fraxiparin untuk APTS dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama
Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6
hari: 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of Fraxiparin . Sanofi –
Synthelabo).

3. Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa


pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara
dini. Tak ada perbedaan antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan
Aspirin saja (CHAMP Study, CARS Trial) sehingga tak dianjurkan
pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin.

4. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan pada


NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan
intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila diberikan bersama
trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi. Efek GPIIb/IIIa-I ialah
menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup kuat terhadap semua tipe
stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin. Ada 3 perparat,
yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara
intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan
Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian
coroner dengan segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak
menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas. Secara invitro,
obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat digunakan untuk
mengurangi akibat disrupsi plak. Banyak penelitian besar telah dilakukan,
baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin,
maupun pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun,
tetap perlu diamati komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah
platelet (trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut
trombositopenia berat bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta
dkk. (2000) meneliti efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab
tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang
belum jelas. Diduga karena Abciximab menyebabkan respons antibodi

13
yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan menyokong terjadinya
trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan superioritas
Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara intergillin
dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk
persiapan IKP, ternyata hanya nenguntungkan pada grup APTS.

5. Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi


65 asam amino polipeptida yang mengikat langsung trombin. GUSTO IIb
telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI dan STEMI,
namun tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas
17,28.

6. Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block
(LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar
18% 29, namun tidak menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI.
Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin
dan dosis penuh UFH adalah superior dari Streptokinase, hanya 54%
pasien mencapai aliran normal pada daerah infark selama 90 menit
30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki
patensi arteri coroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan
Tenecteplase (TNK-t-PA), karena mempunyai waktu paruh lebih panjang
daripada t-PA. Namun, ada 2 penelitian besar membandingkan t-PA
dengan r-PA plus TNK-t-PA, namun ternyata tidak ada perbedaan dan
risiko perdarahannya sama saja.

7. Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi


jantung saat ini juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui
pembuluh darah) daerah yang kekurangan atau bahkan tidak memperoleh
darah bisa dilaksanakan dengan membuka sumbatan pembuluh darah
coroner dengan balon dan lalu dipasang alat yang disebut stent.Dengan
demikian aliran darah akan dengan segera dapat kembali mengalir menjadi
normal.

14
Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Koroner Akut (SKA)

A. Pengkajian:

1. Identitas klien (umumnya jenis kelamin laki-laki dan usia > 50 tahun)

2. Keluhan (nyeri dada, Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa


panas, di dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri,
skala nyeri 8 (skala 1-10), nyeri berlangsung ± 10 menit)

3. Riwayat penyakit sekarang (Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat ,


terasa panas, di dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung
kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10), nyeri berlangsung ± 10 menit)

4. Riwayat penyakit sebelumnya (DM, hipertensi, kebiasaan merokok,


pekerjaan, stress), dan Riwayat penyakit keluarga (jantung, DM,
hipertensi, ginjal).

B. Pemeriksaan Penunjang:
1. Perubahan EKG (berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa
gelombang Q patologik)

2. Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal,
terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk
nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan
dianggap positif bila > 0,2 ng/dl).

C. Pemeriksaan Fisik

1. B1: dispneu (+), diberikan O2 tambahan

2. B2: suara jantung murmur (+), chest pain


(+), crt 2 dtk, akral dingin

15
3. B3: pupil isokor, reflek cahaya (+), reflek
fisiologis (+)

4. B4: oliguri

5. B5: penurunan nafsu makan, mual (-),


muntah (-)

6. B6: tidak ada masalah

D. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut b.d agen cedera fisiologis (D.0077)
2. Penurunan Curah Jantung b.d perubahan irama jantung (D.0008)
3. Risiko Perfusi Miokard Tidak Efektif d.d spasme arteri koroner(D.0014)
E. Kriteria Hasil (SLKI)
1. Diagnosa Nyeri Akut
a. Keluhan nyeri (4) : cukup menurun
b. Gelisah (4) : cukup menurun
c. Diaforesis (4) : cukup menurun
d. Kesulitan tidur (4) : cukup menurun
2. Diagnosa Penurunan Curah Jantung
a. Palpitasi (4) : cukup menurun
b. Gambaran EKG aritmia (4) : cukup menurun
c. Lelah (4) : cukup menurun
3. Diagnosa Risiko Perfusi Miokard Tidak Efektif
a. Nyeri dada (2) : cukup menurun
b. Diaforesis (2) : cukup menurun
c. Tekanan darah (4) : cukup membaik

F. Intervensi Keperawatan (SIKI)


1. Diagnosa Nyeri Akut
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri.
b. Identifikasi skala nyeri.
c. Identifikasi respon nonverbal.
d. Identifikasi faktor-faktor yang memperberat dan mempperingan
nyeri.
e. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis.
TENS. hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain).

16
f. Fasilitasi istirahat dan tidur.
g. Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri.
h. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu.
2. Diagnosa Penurunan Curah Jantung
a. Identifikasi karakteristik nyeri dada (meliputi faktor pemicu dan
pereda, kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi, dan frekuensi.
b. Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST dan T.
c. Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi).
d. Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan risiko aritmia (mis, skor
TIMI, Kilip, Cruscade).
e. Monitor enzim jantung (mis. CK, CK-MB, Troponin T, Troponin I.
f. Pertahankan tirah baring minimal 12 jam.
g. Pasang akses intravena.
h. Puasakan hingga bebas nyeri.
i. Anjurkan segera melaporkan nyeri dada.
j. Anjurkan menghindari manuver Valsava (mis. mengedan saat BAB
atau batuk).
k. Kolaborasi pemberian antiplatelet, jika perlu.
l. Kolaborasi pemberian antiangina, jika perlu.
m. Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu.
n. Kolaborasi pemberian inotropik ,jika perlu .
o. Kolaborasi pencegahan trombus dengan antikoagulan, jika perlu.
p. kolaborasi pemeriksaan x-ray dada, jika perlu.

3. Diagnosa Risiko Perfusi Miokard Tidak Efektif

a. Periksa onset dan pemicu aritmia.

b. Identiikasi jenis aritmia.

c. Monitor status kardiopulmonal.

d. Monitor frekuensi dan durasi aritmia.

e. Monitor keluhan nyeri dada.

f. Monitor status cairan.

g. Monitor kadar elektrolit.

h. pasang kateter urine untuk menilai produksi urin.

17
i. Pertahankan jalan napas paten.

j. Berikan lingkungan yang tenang.

k. Pasang akses intravena.

l. Pasang monitor jantung.

m. Rekam EKG 12 sadapan.

n. Periksa interval QT sebelum dan sesudah pemberian obat yang dapat


memperpanjang QT.

o. Berikan oksigen sesuai indikasi.

p. Siapkan pemasangan ICD.

q. Kolaborasi pemberian aritmia, jika perlu.

r. Kolaborasi pemberian kardioversi, jika perlu.

s. Kolaborasi pemberian defibrilator, jika perlu.

t. Kolaborasi pemberian inotropik (mis. Dobutamine), jika TDS 70-100


mmHg tanpa disertai tanda/gejala syok.

u. Kolaborasi pemberian vasopressor (mis. dopamine), jika TDS 70-


100 diserati tanda/gejala syok.

v. Kolaborasi pemberian vasopressor kuat (mis. Noreepinefrin), jika


TDS <70.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sindrom koroner akut adalah gangguan aliran darah koroner partial


hingga total. Umumnya disebabkan oleh ruptur plak dan trombus
dalam pembuluh darah koroner yang mengakibatkan kekurangan
suplai darah ke miokardium.

Kasus sindrom koroner akut perlu penanganan segera untuk


meminimalisir angka mortalitas. Perawat sebagai salah satu tenaga
kesehatan perlu memahami bagaiman konsep penyakit sindrom
koroner akut dan bagaimana penatalaksanaan serta intervensi
keperawatan yang perlu dilakukan pada kasus tersebut.

B. Saran

Semoga dengan adanya makalah tentang infark miokard akut ini


dapat membantu mahasiswa perawat dalam memahami bagaimana
konsep penyakit dan penatalaksanaan kasus infark miokard akut.

19
Daftar Pustaka

Rilantono, dkk. (1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI

Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan


Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia

Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawatn Indonesia

Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosa Keperawatan


Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia

Andra.(2006). Sindrom Koroner Akut.Pendekatan Invasif Dini atau


Konservatif.http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/one_news.asp?
IDNews=197. Diakses di Surabaya, tanggal 30 September 2010: Jam
19.01 WIB

Wasid (2007). Tinjauan Pustaka Konsep Baru Penanganan Sindrom


Koroner Akut. http://nursingbrainriza.blogspot.com/2007/05/tinjauan-
pustaka-konsep-baru penanganan.html. Diaskes di Surabaya, tanggal 30
September: Jam 19.10 WIB

20

Anda mungkin juga menyukai