Anda di halaman 1dari 6

Financeroll - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di pasar spot valas antar bank Jakarta, Rabu (7/11) diprediksi

melemah. Meski

pemilu AS tidak mengubah peta politik tapi pasar mencemaskan Yunani. Hasil pemilu AS akan menjadi fokus pasar hari ini. Hanya

saja, berdasarkan survei, pemilu AS sudah diprediksi tidak akan mengubah peta politik AS secara signifikan di Washington.

Karena itu, kemungkinan Barrack Obama masih jadi presiden AS dan Partai Republik tetap akan mempertahankan hak

representatifnya. Sedangkan Partai Demokrat akan tetap menguasai Senat AS. Karena itu, secara ekonomi, AS masih akan

menghadapi potensi kesulitan untuk menemukan solusi mengatasi masalah jurang fiskal pada akhir 2012.

Pemilu AS juga berarti, pelonggaran moneter yang dilakukan oleh The Federal Reserve (The Fed) masih akan berlanjut hingga

tahun depan. Hal tersebut sesuai dengan komentar yang diutarakan oleh salah satu petinggi The Fed kemarin pagi yang menyatakan

kebijakan Quantitiative Easing (QE) The Fed kemungkinan akan berlangsung hingga tahun depan.

Dari sisi itu, seharusnya memperkuat rupiah meskipun pasar tetap harus melihat, apakah ada perubahan dari hasil pemilu itu. Di sisi

lain, pasar cemas atas demostrasi di Yunani yang membayangi voting Parlemen Yunani nanti malam soal usulan pemerintah terkait

penghematan fiskal. Karena itu, rupiah cenderung melemah dalam kisaran 9.615 hingga 9.640 per dola AS.

Namun demikian, rupiah tidak akan bergerak signifikan. Sebab, pasar masih menanti agenda penting nanti malam. Salah satunya,

pasar menanti apakah Parlemen Yunani meloloskan kebijakan penghematan fiskal dari pemerintah. Pada Kamis (8/11) pasar juga

menanti berbagai pertemuan bank sentral termasuk dari Bank Indonesia.

Dengan PDB Indonesia yang melambat, angkanya masih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara G20. Namun, perlambatan

PDB Indonesia menunjukkan efek dari lemahnya kinerja ekspor Indonesia. Karena itu, tidak ada yang bisa dilakukan oleh BI selain

tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) di level 5,75%.

Sebab, jika BI menaikkan suku bunga acuan, tentunya akan semakin meningkatkan biaya ekonomi sehingga mengurangi performa

ekonomi Indonesia. Di sisi lain, jika suku bunga diturunkan, rupiah akan semakin tertekan dan pelemahan rupiah akan semakin

mempersulit Bank Indonesia untuk mempertahankan inflasi di kisaran target Bank Indonesia 3,5% hingga 5,5%. Untuk diketahui,

kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot valas antar bank Jakarta, Selasa (6/11) ditutup stagnan di level lemah 9.630-9.635.

[geng]

Meningkatnya kekhawatiran terhadap pelambatan ekonomi global serta mencuatnya kecemasan politik di
Eropa membuat para pelaku pasar keluar dari aset-aset yang dianggap berisiko seperti bursa saham,
komoditas, ataupun mata uang utama dunia. Imbasnya, dolar Amerika Serikat (AS) kembali digdaya
karena diburu oleh para investor.

Pemilihan umum di Prancis yang memunculkan pemimpin baru dan penolakan kebijakan pengetatan di
Yunani yang diekspektasikan akan menjadi batu sandungan bagi jalannya penyelamatan Eropa membuat
mata uang tunggal kawasan, euro, terpuruk hingga di bawah level US$ 1,3, sehingga dolar AS kian
perkasa terhadap mata uang rival utamanya.

Di pasar uang hari ini rupiah ditransaksikan kembali melemah 21 poin (0,22 persen) ke level 9.259 per
dolar AS. Penutupan ini merupakan level terlemahnya rupiah sejak 9 Juni 2010. Di pasar Non Deliverable
Forward (NDF) sore ini pukul 17:55 WIB, rupiah bahkan telah menyentuh level 9.273 per dolar AS.
Inflasi yang cenderung meningkat serta belum adanya kejelasan kebijakan pemerintah terhadap kebijakan
bahan bakar minyak (BBM) membuat rupiah semakin terpuruk. Dengan melemahnya rupiah membuat
anggaran subsidi pemerintah akan meningkat, sehingga makin membebani anggaran belanja pemerintah.

Pengamat pasar uang dari PT Monex Investindo Futures, Yohanes Ginting, mengungkapkan aksi risk
aversion (menghindari risiko) yang dilakukan oleh investor membuat dolar AS diburu investor. “Mereka
mencoba mengurangi potensi kerugian dengan mengalihkan investasinya di bursa saham, komoditas,
serta mata uang lainnya ke dalam bentuk dolar membuat mata uang Abang Sam cenderung terapresiasi,”
tutur dia.

Gejolak politik di kawasan Eropa menambah kekhawatiran terhadap proses pemulihan ekonomi dunia.
Ditambah lagi jatuhnya harga emas yang cukup tajam menimbulkan kepanikan di pasar finansial. Setelah
investasi dalam bentuk emas tidak aman, hanya tinggal dolar AS yang menjadi alternatifsafe
haven (tempat yang dianggap aman untuk memarkirkan dana) para investor.

Kuatnya tekanan dari faktor eksternal terhadap rupiah serta melambatnya ekonomi Indonesia di triwulan
pertama tahun 2012 membuat para pelaku pasar pesimistis terhadap apresiasi rupiah. Namun Bank
Indonesia (BI) yang tidak mau mata uangnya melemah terlalu tajam membuat rupiah juga sulit menembus
level 9.300 per dolar AS.

Semua mata uang regional hari tertekan terhadap dolar AS. Dolar Singapura melemah 0,44 persen, won
Korea Selatan 0,47 persen, peso Filipina 0,52 persen, ringgit Malaysia 0,59 persen, baht Tahiland juga
melemah 0,32 persen terhadap dolar AS.

Jatuhnya euro ke US$ 1,2975 serta pound sterling ke US$ 1,622 membuat dolar AS kembali perkasa.
Indeks dolar AS terhadap enam mata uang rival utamanya langsung menguat 0,246 poin (0,31 persen) ke
level 80,095.

SEJAK "krisis mini" rupiah bulan April lalu, sewaktu kurs anjlok ke level Rp 9.800 per dollar AS, Bank Indonesia

dan pemerintah bekerja sama untuk mempertahankan rupiah. BI mengeluarkan paket kebijakan, seperti

memperkecil kemampuan bank untuk berspekulasi valuta asing dan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank

Indonesia. Pemerintah "mengerem" pembelian dollar badan usaha milik negara, terutama Pertamina.

Kebijakan itu didukung pasar yang kondusif pada bulan Mei, terutama pembelian perusahaan rokok Sampoerna

oleh perusahaan rokok internasional Philip Morris. Dampaknya, rupiah menguat dari Rp 9.800 ke Rp 9.450

per dollar AS.

Melemah kembali

Memasuki bulan Juni ini rupiah kembali melemah ke Rp 9.600 per dollar AS. Beberapa pengamat menilai hal ini

hanya fluktuasi pasar valuta asing (valas) biasa, apalagi dollar AS sedang menguat terhadap mata uang global

lainnya,
terutama euro dan yen Jepang, sehingga memengaruhi pula mata uang Asia, seperti baht Thailand dan rupiah.

Walaupun alasan

ini ada benarnya, beberapa faktor dalam negeri juga dominan pengaruhnya. Pada intinya, karena kemampuan

spekulator valas

berspekulasi dalam rupiah telah dikurangi dengan peraturan BI, melemahnya rupiah lebih karena faktor

fundamental.

Pemerintah pun mengakui ini sewaktu mengubah asumsi kurs rata-rata dollar AS-rupiah untuk Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dari Rp 8.900 ke Rp 9.300 per dollar AS untuk tahun 2005. Alasan

revisi ini adalah

pertumbuhan impor yang lebih pesat daripada ekspor karena pesatnya pertumbuhan ekonomi sehingga kebutuhan

akan dollar AS meningkat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan tidak dalam keadaan kritis. Surplus

neraca perdagangan (ekspor minus impor) pada periode Januari-April malah meningkat dari 6,6 miliar dollar AS

pada tahun 2004 ke 8,2 miliar dollar AS pada tahun 2005. Namun, pada periode yang sama kurs rupiah

melemah dari Rp 8.500 ke Rp 9.500 per dollar AS.

Menggunakan data yang lebih gamblang, sebelum krisis moneter pada tahun 1997, neraca perdagangan Indon

esia jauh lebih buruk (karena impor yang sangat besar) daripada sekarang, tetapi kurs rupiah waktu itu malah

stabil di Rp 2.200 per dollar AS.

Memburuknya neraca perdagangan bukanlah alasan kuat atas melemahnya rupiah. Berdasarkan data BI, aliran

modal asing ke Indonesia telah berubah dari negatif (pelarian modal) di tahun 2003 menjadi positif di tahun

2004. Masalahnya, juga berdasarkan data BI, pelarian modal yang tidak dapat diidentifikasi (seperti

penyelundupan) naik dari 3,5 miliar dollar AS tahun 2003 ke 4,8 miliar dollar AS pada tahun 2004.

Melihat keadaan ini, alasan melemahnya rupiah ada dua. Pertama, aliran modal asing, walaupun sekarang

positif (melibatkan penjualan dollar AS dan pembelian rupiah), masih belum besar, apalagi dibandingkan dengan

sebelum krisis moneter. Kedua, pelarian modal (melibatkan pembelian dollar AS dan penjualan rupiah)

ternyata masih besar. Kedua faktor inilah yang sekarang membuat kurs rupiah sulit menguat secara tajam.

Pilihan kebijakan
Untuk memperkuat rupiah (dan menurunkan inflasi, suku bunga rupiah, dan defisit APBN), BI dan pemerintah

sekali lagi perlu mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi pelarian modal dan meningkatkan aliran masuk modal

asing.

Untuk mengurangi pelarian modal, pertama, pemerintah harus terus memberantas penyelundupan. Kedua,

BI harus terus menaikkan suku bunga SBI dan membuat rupiah lebih menarik. Dalam satu tahun terakhir

bank sentral AS, Federal Reserve, telah menaikkan suku bunga Fed Funds dari satu persen ke tiga

persen, tetapi BI baru menaikkan suku bunga SBI tempo satu bulan dari 7,32 persen ke 8,02 persen.

Akibatnya, selisih bunga dollar AS-rupiah mengecil dan rupiah menjadi relatif tidak menarik dibandingkan

dengan dollar AS sehingga membantu melemahnya rupiah. BI menghadapi dilema, antara menaikkan suku

bunga lebih pesat (untuk meredam fluktuasi rupiah dan inflasi) atau tidak menaikkan suku bunga (untuk

membantu pertumbuhan kredit dan investasi di sektor riil).

Argumentasi untuk tidak menaikkan suku bunga sangat kuat. Pemerintah yang menggalakkan proyek

infrastruktur bergantung pada suku bunga kredit. Namun, ada tiga alasan mengapa menaikkan suku bunga

menjadi pilihan tepat. Pertama, dalam keadaan suku bunga dunia sedang naik, Indonesia juga harus

menaikkan suku bunga (kecuali kurs rupiah menguat dan inflasi turun tajam). Kedua, bank masih

menikmati selisih bunga deposito dan bunga kredit yang besar (6-7 persen). Kalaupun suku bunga SBI dan

deposito naik, misalnya satu persen lagi, bank masih dapat mengambil keuntungan tanpa menaikkan suku bunga

kredit walaupun dengan selisih bunga yang lebih kecil. Penciutan selisih ini pun dapat dikompensasi dengan

kenaikan plafon kredit perbankan sehingga keuntungan sektor perbankan secara total belum tentu akan turun.

Ketiga, seperti diakui Gubernur BI sendiri, BI tidak bisa terus-menerus menggunakan cadangan devisanya

untuk intervensi di pasar valas untuk mempertahankan kurs rupiah. Cadangan devisa negara pun telah turun

pesat ke 34,6 miliar dollar AS pada akhir Mei, dari 37,3 miliar dollar AS sebelumnya. Kalau cadangan devisa

turun terus, justru spekulator valas (terutama di luar sektor perbankan yang sulit dikendalikan BI) akan

memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang rupiah.

Peran peningkatan aliran modal asing ke Indonesia, terutama ke sektor riil, ada di tangan pemerintah. Untuk ini,

pemerintah harus memperbaiki iklim investasi sektor riil dulu, melalui penanggulangan korupsi dan

penyelesaian masalah perburuhan. Masalahnya, perbaikan ini butuh waktu lama. Indonesia memerlukan
aliran modal asing secara cepat dan ini hanya dapat dicapai melalui penjualan aset, baik aset swasta maupun

negara, ke investor asing atau investor lokal (yang memiliki modal di luar negeri). Penjualan aset swasta kepada

investor asing, seperti penjualan saham HM Sampoerna ke Philip Morris, membantu memicu masuknya modal

asing. Akan tetapi, ini terbukti tidak cukup untuk memperkuat rupiah dan harus didukung penjualan aset negara

melalui privatisasi.

Masalahnya, privatisasi mengundang kontroversi karena kekhawatiran akan dikuasainya aset negara oleh pihak

asing. Alasan ini bersifat nasionalis dan cukup meyakinkan secara politis. Namun, dalam globalisasi keuangan

abad ke-21, di mana investor bebas berinvestasi melewati batas wilayah negara (yang juga berkurang maknanya

dengan adanya zona ekonomi regional seperti zona Eropa), alasan ini menjadi lemah.

Negara eks komunis/sosialis yang dulunya berpegang teguh pada konsep nasionalisasi, seperti Rusia, negara

Eropa Timur, dan China, pun bersaing dalam program privatisasinya. Bagi Indonesia, keuntungan dari

privatisasi bukan saja dalam bentuk pembiayaan defisit APBN dan penguatan kurs rupiah, seperti yang

terjadi sewaktu pelaksanaan privatisasi pada tahun 2002 dan 2003. Untuk jangka panjang, privatisasi

juga memperbaiki pengelolaan perusahaan yang dijual kepada investor swasta yang mementingkan efisiensi

dan laba sehingga usahanya bisa tumbuh dan menghasilkan pendapatan pajak yang lebih besar bagi pemerintah.

Selain itu, dengan dijualnya perusahaan negara kepada investor swasta, biaya ketidakefisienan, termasuk

penyelewengan dana, ditanggung investor, bukan pemerintah dan rakyat. Faktanya jelas. Kasus

penyelewengan dana kakap biasanya terjadi di BUMN. Misalnya, bank BUMN yang telah direkapitalisasi dengan

obligasi sebesar Rp 270 triliun, atau 66 persen dari total biaya penyelamatan sektor perbankan oleh pemerintah,

sekarang masih tetap terbebani dengan kredit macet (walaupun kredit macetnya dulu sudah dilimpahkan

kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional/BPPN) dan penyelewengan dana yang memperbesar beban

rakyat, yang masih harus menanggung biaya krisis moneter sejak tahun 1997.

Sementara itu, bank yang telah diprivatisasi ke investor swasta (seperti BCA, Danamon, BII, dan Niaga) memiliki

kinerja yang baik karena tuntutan investor barunya. Terhambatnya program privatisasi, apalagi kalau

dengan alasan nasionalisme, juga dapat memberi kesan yang buruk bagi investor asing, sewaktu pemerintah

mengharapkan investor asing kembali ke Indonesia. Akibatnya, investor asing cenderung menunggu

tindakan nyata (bukan wacana dan rencana) pemerintah untuk menarik investasi asing.
Dalam ekonomi yang terglobalisasi, faktor politik, ekonomi, dan pasar saling berkaitan sehingga

dampak dari kebijakan pemerintah yang berkesan tidak "berteman dengan pasar" dapat memengaruhi ekonomi

secara luas.

Untuk masyarakat luas

Polemik rupiah mudah dipolitisasi. Melemahnya rupiah berdampak negatif bagi masyarakat luas yang

berpenghasilan rupiah, tetapi menguntungkan segelintir kalangan elite yang berpenghasilan dollar AS dan

memarkir dana dollar AS di luar negeri.

Polemik privatisasi juga mudah dipolitisasi. Enggannya sebagian elite politik untuk menjual BUMN bisa

dianggap antidominasi asing (yang bisa dimengerti), tetapi juga bisa dianggap kepentingan oknum

elite politik yang mengharapkan BUMN sebagai sumber dana kegiatan politik dan sumber usaha bagi

"pengusaha kroni" yang mengharapkan kemudahan dalam berbagai proyek, seperti yang sudah sering

terjadi di Indonesia. Hubungan privatisasi dan rupiah pun bisa dipolitisasi.

Mudah-mudahan persepsi ini salah, tetapi di pasar global, di mana "persepsi adalah realitas", persepsi

ini sangat dapat memengaruhi ekonomi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai