Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk ke dalam lumen usus
bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan dapat menjadi strangulasi kemudian
mengalami komplikasi yang berujung pada sepsis dan kematian. Intususepsi merupakan salah satu
kegawatdaruratan yang umum pada anak. Kelainan ini harus dikenali dengan cepat dan tepat serta
memerlukan penanganan segera karena misdiagnosis atau keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
angka morbiditas(1-6).

Intususepsi pertama kali digambarkan oleh Paul Barbette di Amsterdam pada tahun 1674. Jonathan
Hutchinson melaporkan operasi pertama intususepsi yang berjalan sukses terhadap anak usia 2 tahun pada
tahun 1873(7). Literatur lain menyebutkan Wilson merupakan yang pertama sukses dalam melakukan
terapi pembedahan intususepsi pada tahun 1831 (2). Di tahun 1876, Harald Hirschprung menggambarkan
pendekatan sistematik dengan reduksi hidrostatik. Di Amerika Serikat, Ravitch mempopulerkan
penggunaan reduksi barium enema untuk mengatasi intususepsi (7).

Estimasi insidensi akurat dari intususepsi tidak tersedia untuk sebagian besar negara berkembang,
demikian juga di banyak negara maju (8). Irish (2011) menyebutkan insiden intususepsi adalah 1,5-4 kasus
per 1000 kelahiran hidup(2). Berdasarkan usia, intususepsi paling banyak dialami oleh anak usia kurang
dari 1 tahun dengan puncak usia 4-8 bulan (8,9). Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki paling banyak
mengalami intususepsi dengan rasio yang berbeda di masing-masing wilayah dimana rasio laki-laki dan
perempuan untuk wilayah Asia adalah 9:1. Berdasarkan keterkaitan kejadian intususepsi dengan musim,
didapatkan hasil penelitian yang bervariasi di masing-masing wilayah di dunia (8). Intususepsi dilaporkan
sebagai suatu kejadian musiman dengan puncak pada musim semi, musim panas, dan pertengahan musim
dingin(2). Berdasarkan penelitian epidemiologi intususepsi di Singapura tahun 1997-2004, insidensi
intususepsi mengalami penurunan dan tidak terkait dengan musim (9).

Gejala klasik yang paling umum (85%) dari intususepsi adalah nyeri perut yang sifatnya muncul secara
tiba‐tiba, kolik, intermiten, berlangsung hanya selama beberapa menit. Gejala awal lain yang sering
dikeluhkan yaitu muntah. Kerusakan usus berupa nekrosis hingga perforasi usus dapat terjadi antara hari
ke 2-5 dengan puncaknya pada hari ke 3 setelah gejala klinis terjadi. Hal tersebut akan memperberat
gejala obstruksi yang ditimbulkan oleh intususepsi dan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas (2,9).
Di negara maju, outcome dari pasien dengan intususepsi memiliki prognosis yang lebih baik karena
diagnosis yang tegak secara dini diikuti dengan prosedur terapi yang kurang invasif seperti reduksi
barium enema. Sebaliknya, di negara berkembang, banyak anak dengan intususepsi dilaporkan
mengalami keterlambatan untuk mendapatkan terapi definitif (10). Tertundanya diagnosis yang berlanjut
menjadi nekrosis usus, diikuti dengan terapi reduksi operasi, memiliki angka fatalitas yang tinggi,
misalnya 18% di Nigeria, 20% di Indonesia(11) dan hingga 54% di Ethiopia(9). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh van Heek et al (1996) angka kematian anak-anak dengan intususepsi di pedesaan
Indonesia jauh lebih tinggi daripada di perkotaan di Indonesia atau di Belanda, mungkin karena
pengobatan yang terlambat, yang menghasilkan lebih banyak pasien yang menjalani operasi dalam
kondisi fisik yang buruk(11). Mortalitas intususepsi meningkat secara signifikan (lebih dari 10 kali) pada
pasien intususepsi yang baru datang berobat setelah 48 jam sejak onset gejala dibandingkan dengan
pasien intususepsi yang datang berobat sejak 24 jam onset gejala (8).

Berdasarkan data di atas, menjadi suatu keharusan bagi para calon dokter umum yang nantinya juga akan
terjun ke masyarakat untuk memahami dan mengenali gejala awal dari intususepsi sehingga dapat
melakukan tindakan sesegera mungkin untuk memperbaiki keadaan umum pasien kemudian merujuk ke
spesialis bedah yang tepat sehingga berdampak pada menurunnya angka morbiditas dan mortalitas dari
intususepsi.

Tujuan

Setelah membaca referat ini, diharapkan panitra klinik mampu mengenal gejala intususepsi serta
memberikan penatalaksanaan yang tepat baik terapi pendahuluan maupun rujukan pada pasien sehingga
dapat berperan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ketika terjun ke masyarakat sebagai dokter.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Intususepsi

Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk ke dalam lumen usus
bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan dapat berakhir dengan strangulasi (1-4).
Umumnya bagian yang proksimal (intususeptum) masuk ke bagian distal (intussussipien) (6).

Epidemiologi

Estimasi insidensi akurat dari intususepsi tidak tersedia untuk sebagian besar negara berkembang,
demikian juga di banyak negara maju (8). Di Afrika, tidak ada penelitian yang melaporkan angka kejadian
dari intususepsi. Di Asia dalam hal ini Taiwan dan Cina, dilaporkan insidens dari intususepsi adalah 0,77
per 1000 kelahiran hidup. Di India, angka kejadiannya dilaporkan berkisar 1,9-54,4 per tahun. Tidak ada
data yang menyebutkan tentang insidensi per kelahiran hidup. Di Malaysia lebih kurang 10,4 bayi dan
anak dirawat di RS Umum Kuala Lumpur karena intususepsi per tahun. Di Indonesia, angka kejadian
intususepsi di RS wilayah pedesaan dan perkotaan didapatkan angka yang berbeda, yaitu masing-masing
5,8 dan 17,2 per tahun(8). Irish (2011) menyebutkan insiden intususepsi adalah 1,5-4 kasus per 1000
kelahiran hidup(2).
Intususepsi umumnya ditemukan pada anak-anak di bawah 1 tahun dan frekuensinya menurun dengan
bertambahnya usia anak(12). Di Afrika, insiden puncak intususepsi muncul antara usia 3-8 bulan. Di Asia,
insiden puncak antara usia 4-8 bulan(8).

Umumnya intususepsi ditemukan lebih sering pada anak laki-laki. Di Afrika, tepatnya di Tunisia, rasio
laki-laki dibandingkan perempuan adalah 8:1. Di Asia, rasio perbandingannya adalah 9:1. Di Timur
Tengah, perbandingan antara laki-laki dan perempuan berkisar antara 1,4:1 sampai 4:1 (8).

Berdasarkan keterkaitan kejadian intususepsi dengan musim, didapatkan hasil penelitian yang bervariasi
di masing-masing wilayah di dunia (8). Intususepsi dilaporkan sebagai suatu kejadian musiman dengan
puncak pada musim semi, musim panas, dan pertengahan musim dingin. Periode ini berhubungan dengan
puncak munculnya gastroenteritis musiman dan infeksi saluran napas atas (2). Di Afrika, insidens
intususepsi meningkat pada 2 musim yaitu akhir musim panas dan akhir musim dingin. Hal ini bersamaan
dengan puncak insidens dari infeksi saluran napas dan diare. Di Asia, salah satunya India, insidens
intususepsi dilaporkan meningkat pada musim panas(8). Di Thailand insidens intususepsi meningkat antara
bulan September dan Januari dan kemudian April. Peningkatan ini bersamaan dengan musim dingin dan
panas yang merupakan puncak dari insidens infeksi saluran napas atas dan gastroenteritis. Di Malaysia
tidak ditemukan adanya perbedaan musim terkait dengan intususepsi (8).

Etiologi

Etiologi dari intususepsi terbagi menjadi 2, yaitu idiopatik dan kausal (13).

Idiopatik

Menurut kepustakaan, 90-95 % intususepsi pada anak di bawah umur satu tahun tidak dijumpai penyebab
yang spesifik sehingga digolongkan sebagai “infantile idiophatic intussusceptions”(13). Kepustakaan lain
menyebutkan di Asia, etiologi idiopatik dari intususepsi berkisar antara 42-100% (8).

Definisi dari istilah intususepsi ‘idiopatik’ bervariasi di antara penelitian terkait intususepsi. Sebagian
besar peneliti menggunakan istilah ‘idiopatik’ untuk menggambarkan kasus dimana tidak ada
abnormalitas spesifik dari usus yang diketahui dapat menyebabkan intususepsi seperti diverticulum
meckel atau polip yang dapat diidentifikasi saat pembedahan (8).
Dalam kasus idiopatik, pemeriksaan yang teliti dapat mengungkapkan hipertrofi jaringan limfoid mural
(Peyer patch), yang disebabkan oleh infeksi adenovirus atau rotavirus (2).

Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu teori untuk menjelaskan kemungkinan
etiologi intususepsi idiopatik adalah bahwa hal itu terjadi karena Peyer patch yang membesar; hipotesis
ini berasal dari 3 pengamatan: (1) penyakit ini sering didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas, (2)
wilayah ileokolika memiliki konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah bening di mesenterium, dan (3)
pembesaran kelenjar getah bening sering dijumpai pada pasien yang memerlukan operasi. Apakah Peyer
patch yang membesar adalah reaksi terhadap intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi, masih tidak
jelas(1).

Kausal

Pada penderita intususepsi yang lebih besar (lebih dua tahun), adanya kelainan usus dapat menjadi
penyebab intususepsi atau “lead point” seperti: inverted Meckel’s diverticulum, polip usus, leiomioma,
leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep nevi, lymphoma dan duplikasi usus(13). Divertikulum Meckel
adalah penyebab paling utama, diikuti dengan polip seperti peutz-jeghers syndrome, dan duplikasi
intestinal. Lead point lain diantaranya lymphangiectasias, perdarahan submukosa dengan Henoch-
Schönlein purpura, trichobezoarsdengan Rapunzel syndrome, caseating granulomas yang berhubungan
dengan tuberkulosis abdominal(2).

Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab intususepsi pada anak yang berusia di atas enam
tahun. Intususepsi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya timbul setelah dua minggu pasca
bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus, disebabkan manipulasi usus yang kasar dan lama,
diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal (13).

Patogenesis

Patogenesis dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari ketidakseimbangan pada dorongan longitudinal
sepanjang dinding intestinal. Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh adanya massa yang bertindak
sebagai“lead point” atau oleh pola yang tidak teratur dari peristalsis (contohnya, ileus pasca operasi).
Gangguan elektrolit berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan yang dapat mengakibatkan
motilitas intestinal yang abnormal, dan mengarah pada terjadinya invaginasi. Beberapa penelitian terbaru
pada binatang menunjukkan pelepasan nitrit oksida pada usus, suatu neurotransmitter penghambat,
menyebabkan relaksasi dari katub ileocaecal dan mempredisposisi intususepsi ileocaecal. Penelitian lain
telah mendemonstrasikan bahwa penggunaan dari beberapa antibiotik tertentu dapat menyebabkan
hiperplasia limfoid ileal dan dismotilitas intestinal dengan intususepsi (1).

Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus terinvaginasi ke dalam lumen. Proses ini
terus berjalan, dengan diikuti area proximal dari intestinal, dan mengakibatkan intususeptum berproses
sepanjang lumen dari intususipiens. Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial, akibat
penyakit berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium masuk ke dalam caecum dan colon, akan
dijumpai mukosa intussusseptum menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan obstruksi yang pada akhirnya
akan dijumpai keadaan strangulasi dan perforasi usus (1,13).

Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan gangguan venous return sehingga
terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa usus. Hal inilah yang mendasari
terjadinya salah satu manifestasi klinis intususepsi yaitu BAB darah lendir yang disebut juga red currant
jelly stool(1,2,13).
Faktor-faktor yang dihubungkan dengan terjadinya intususepsi

Penyakit ini sering terjadi pada umur 3-12 bulan, dimana pada saat itu terjadi perubahan diet makanan
dari cair ke padat, perubahan pemberian makanan ini dicurigai sebagai penyebab terjadi intususepsi.
Intususepsi kadang-kadang terjadi setelah/selama enteritis akut, sehingga dicurigai akibat peningkatan
peristaltik usus. Gastroenteritis akut yang dijumpai pada bayi, ternyata ditemukan kuman rotavirus
menjadi agen penyebabnya, dimana pengamatan 30 kasus intususepsi bayi ditemukan virus ini dalam
feses sebanyak 37%. Pada beberapa penelitian terakhir ini didapati peninggian insidens adenovirus dalam
feses penderita intususepsi(13).

Jenis Intususepsi(13)

Jenis intususepsi dapat dibagi menurut lokasinya pada bagian usus mana yang terlibat, pada ileum dikenal
sebagai jenis ileo-ileal.

Pada kolon dikenal dengan jenis colo-colica dan sekitar ileo-caecal disebut ileocaecal, jenis-jenis yang
disebutkan di atas dikenal dengan intususepsi tunggal dimana dindingnya terdiri dari tiga lapisan.

Jika dijumpai dinding yang terdiri dari lima lapisan, hal ini sering pada keadaan yang lebih lanjut disebut
jenis intususepsi ganda, sebagai contoh adalah jenis ileo-ileo-colica atau colo-colica. Suwandi
J.Wijayanto E. di Semarang selama 3 tahun (1981-1983) pada pengamatannya mendapatkan jenis
intususepsi sebagai berikut: Ileo-ileal 25%, ileo-colica 22,5%, ileo-ileo-colica 50% dan colo-colica
22,5%.
Gambaran klinis

Secara klasik perjalanan suatu intususepsi memperlihatkan gambaran sebagai berikut :

Anak atau bayi yang semula sehat dan biasanya dengan keadaan gizi yang baik, tiba-tiba menangis
kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat ke atas, penderita tampak seperti kejang dan pucat menahan
sakit, serangan nyeri perut seperti ini berlangsung dalam beberapa menit. Di luar serangan, anak/bayi
kelihatan seperti normal kembali. Pada waktu itu sudah terjadi proses intususepsi. Serangan nyeri perut
datangnya berulang-ulang dengan jarak waktu 15-20 menit dengan lama serangan 2-3 menit. Pada
umumnya selama serangan nyeri perut itu diikuti dengan muntah berisi cairan dan makanan yang ada di
lambung(2,13).

Sesudah beberapa kali serangan dan setiap kalinya memerlukan tenaga, maka di luar serangan si penderita
terlihat lelah dan lesu dan tertidur sampai datang serangan kembali. Proses intususepsi pada mulanya
belum terjadi gangguan pasase isi usus secara total, anak masih dapat defekasi berupa feses biasa,
kemudian feses bercampur darah segar dan lendir, kemudian defekasi hanya berupa darah segar
bercampur lendir tanpa feses. BAB darah dan lendir (red currant jelly stool) baru dijumpai sesudah 6-8
jam serangan sakit yang pertama kali, kadang-kadang sesudah 12 jam. BAB darah lendir ini bervariasi
jumlahnya dari kasus per kasus, ada juga yang dijumpai hanya pada saat melakukan colok dubur.
Karena sumbatan belum total, perut belum kembung dan tidak tegang, dengan demikian mudah teraba
gumpalan usus yang terlibat intususepsi sebagai suatu massa tumor berbentuk curved sausage di dalam
perut di bagian kanan atas, kanan bawah, atas tengah atau kiri bawah (4). Tumor lebih mudah teraba pada
waktu terdapat peristaltik, sedangkan pada perut bagian kanan bawah teraba kosong yang
disebut “dance’s sign”. Hal ini akibat caecum dan kolon naik ke atas, ikut proses intususepsi (1-4,7,13).
Sesudah 18-24 jam serangan sakit yang pertama, usus yang tadinya tersumbat partial berubah menjadi
sumbatan total, diikuti proses oedem yang semakin bertambah, sehingga pada pasien dijumpai tanda-
tanda obstruksi, seperti perut kembung dengan gambaran peristaltik usus yang jelas, muntah warna hijau
dan dehidrasi(13).

Oleh karena perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba lagi dan defekasi hanya berupa darah
dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus akan dijumpai muntah feses, dengan demam tinggi,
asidosis, toksis dan terganggunya aliran pembuluh darah arteri. Pada segmen yang terlibat menyebabkan
nekrosis usus, gangren, perforasi, peritonitis umum, shock dan kematian.

Pada pemeriksaan colok dubur didapati:

Tonus sphincter melemah, mungkin invaginat dapat diraba berupa massa seperti portio

Bila jari ditarik, keluar darah bercampur lendir.

Perlu perhatian bahwa untuk penderita malnutrisi, gejala-gejala intususepsi tidak khas. Tanda-tanda
obstruksi usus baru timbul dalam beberapa hari. Pada penderita ini tidak jelas tanda adanya sakit berat.
Pada defekasi tidak ada darah. Intususepsi dapat mengalami prolaps melewati anus. Hal ini mungkin
disebabkan pada pasien malnutrisi, memiliki tonus yang melemah, sehingga obstruksi tidak cepat
timbul(13).

Selain yang telah disebutkan di atas, dikenal juga suatu keadaan yang disebut dengan intususepsi atipikal
yaitu bila dalam kasus tersebut gagal dibuat diagnosis yang tepat oleh seorang ahli bedah, meskipun
keadaan ini kebanyakan terjadi karena ketidaktahuan dokter dibandingkan dengan gejala tidak lazim pada
penderita(13).

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis intususepsi didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium
dan radiologi.

Gejala klinis yang menonjol dari intususepsi adalah suatu trias gejala yang terdiri dari (1-5,7,13) :
Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat hilang timbul. Nyeri menghilang selama 10-20
menit, kemudian timbul lagi serangan baru.

Teraba massa tumor di perut bentuk curved sausage pada bagian kanan atas, kanan bawah, atas tengah,
kiri bawah atau kiri atas.

Buang air besar campur darah dan lendir yang disebut red currant jelly stool.

Bila penderita terlambat memeriksakan diri, maka sukar untuk meraba adanya tumor, oleh karena itu
untuk kepentingan diagnosis harus berpegang kepada gejala trias intususepsi. Mengingat intususepsi
sering terjadi pada anak berumur di bawah satu tahun, sedangkan penyakit disentri umumnya terjadi pada
anak-anak yang mulai berjalan dan mulai bermain sendiri maka apabila ada pasien datang berumur di
bawah satu tahun, sakit perut yang bersifat kolik sehingga anak menjadi rewel sepanjang hari/malam, ada
muntah, buang air besar campur darah dan lendir maka pikirkanlah kemungkinan intususepsi (13).

The Brighton Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan sebuah diagnosis klinis
menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor. Strasifikasi ini membantu untuk membuat
keputusan berdasarkan tiga level dari pembuktian untuk membuktikan apakah kasus tersebut adalah
intususepsi(2).

Kriteria Mayor

Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau, diikuti dengan distensi abdomen
dan bising usus yang abnormal atau tidak ada sama sekali.

Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana setidaknya tercakup hal-hal berikut ini: massa abdomen,
massa rectum atau prolaps rectum, terlihat pada gambaran foto abdomen, USG maupun CT Scan.

Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi perdarahan rectum atau gambaran feses
“red currant jelly” pada pemeriksaan “Rectal Toucher“.

Kriteria Minor

Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun


Nyeri abdomen

Muntah

Lethargy

Pucat

Syok hipovolemi

Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidak spesifik.

Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian, yaitu :

Level 1 – Definite (ditemukannya satu kriteria di bawah ini)

Kriteria Pembedahan – Invaginasi usus yang ditemukan saat pembedahan

Kriteria Radiologi – Air enema atau liquid contrast enema menunjukkan invaginasi dengan manifestasi
spesifik yang bisa dibuktikan dapat direduksi oleh enema tersebut.

Kriteria Autopsi – Invagination dari usus

Level 2 – Probable (salah satu kriteria di bawah)

Dua kriteria mayor

Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor

Level 3 – Possible
Empat atau lebih kriteria minor

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium(13,16)

Meskipun hasil laboratorium tidak spesifik untuk menegakkan diagnosis intususepsi, sebagai proses dari
progresivitas, akan didapatkan abnormalitas elektrolit yang berhubungan dengan dehidrasi, anemia dan
atau peningkatan jumlah leukosit (leukositosis >10.000/mm 3).

Pemeriksaan Radiologi

Foto polos abdomen

Didapatkan distribusi udara di dalam usus tidak merata, usus terdesak ke kiri atas, bila telah lanjut terlihat
tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran “air fluid level”. Dapat terlihat “free air” bila terjadi
perforasi(13).
Literatur lain menyebutkan bahwa foto polos hanya memiliki akurasi diagnostik 45% untuk menegakkan
diagnosis intususepsi sehingga penggunaannya tidak diindikasikan jika ada fasilitas USG (4).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hooker et al tahun 2008 dalam Radiographic Evaluation of
Intussusception, tampilan foto polos abdomen dengan posisi left side down decubitus meningkatkan
kemampuan untuk diagnosis atau menyingkirkan intususepsi (17).
Barium enema

Dikerjakan untuk tujuan diagnosis dan terapi, untuk diagnosis dikerjakan bila gejala-gejala klinik
meragukan. Pada barium enema akan tampak gambaran cupping, coiled spring appearance(13).
Ultrasonografi Abdomen

Penggunaan USG abdomen untuk evaluasi intususepsi pertama kali digambarkan pada tahun 1977. Sejak
itu, banyak institusi yang mengadopsi penggunaannya sebagai alat skrining karena tidak adanya paparan
radiasi dan rendah biaya. Intususepsi biasanya ditemukan di sisi kanan abdomen (7).

Pada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus berbentuk ‘target’ atau ‘donat’ yang terdiri dari
dua cincin echogenisitas rendah yang dipisahkan oleh cincin hiperekoik, tidak ada gerakan pada donat
tersebut dan ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm. Ketebalan tepi luar lebih dari 1,6 cm menunjukkan perlunya
intervensi pembedahan. Pada tampilan logitudinal tampak pseudokidney sign yang timbul sebagai
tumpukan lapisan hipoekoik dan hiperekoik (2,3,4,6).

Pemeriksaan USG selain sebagai diagnostik, juga dapat digunakan untuk membantu mendiferensiasikan
tipe dari intususepsi. Park et al (2007) melaporkan bahwa intususepsi transien dari usus kecil lebih sering
terlokalisir pada kuadran kanan bawah atau region periumbilikal, memiliki diameter anteroposterior yang
lebih kecil (1,38 cm vs 2,53 cm), memiliki garis luar yang lebih tipis (0,26 cm vs 0,53 cm), dan tidak
memiliki nodus limfatikus, dimana berbanding terbalik dengan intususepsi ileocolic (2).

Sebuah studi oleh Munden et al (2007) mendukung penemuan ini, dengan diameter anteroposterior rata-
rata adalah 1,5 cm pada intususepsi ileoileal dan 3,7 cm pada intususepsi ileocolic dan panjang rata-
ratanya berkisar 2,5 cm dan 8,2 cm secara respektif (2).

CT Scan

Intususepsi yang digambarkan pada CT scan merupakan gambaran klasik seperti pada USG yaitu target
sign. Intususepsi temporer dari usus halus dapat terlihat pada CT maupun USG, dimana sebagian besar
kasus ini secara klinis tidak signifikan(2).
Diagnosis Banding(13)

Gastroenteritis, bila diikuti dengan intususepsi dapat ditandai jika dijumpai perubahan rasa sakit, muntah
dan perdarahan.

Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.

Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya obstipasi, bila disentri berat
disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan demam.

Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.

Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali dan pada colok dubur didapati
hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada intususepsi didapati adanya celah.

Penatalaksanaan
Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi, penatalaksanaan lini pertama sangat
penting dilakukan untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut. Selang lambung (Nasogastric tube)
harus dipasang sebagai tindakan kompresi pada pasien dengan distensi abdomen sehingga bisa dievaluasi
produksi cairannya. Setelah itu, rehidrasi cairan yang adekuat dilakukan untuk menghindari kondisi
dehidrasi dan pemasangan selang catheter untuk memantau ouput dari cairan. Pemeriksaan darah lengkap
dan elektrolit darah dapat dilakukan (2,16).

“Pneumatic” atau kontras enema masih menjadi pilihan utama untuk diagnosa maupun terapi reduksi lini
pertama pada intususepsi di banyak pusat kesehatan. Namun untuk meminimalisir komplikasi, tindakan
ini harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa panduan. Salah satunya adalah menyingkirkan
kemungkinan adanya peritonitis, perforasi ataupun gangrene pada usus. Semakin lama riwayat perjalanan
penyakitnya, semakin besar kemungkinan kegagalan dari terapi reduksi tersebut (16).

Tindakan Non Operatif

Hydrostatic Reduction

Metode reduksi hidrostatik tidak mengalami perubahan signifikan sejak dideskripsikan pertama kali pada
tahun 1876. Meskipun reduksi hidrostatik dengan menggunakan barium di bawah panduan fluoroskopi
telah menjadi metode yang dikenal sejak pertengahan 1980-an, kebanyakan pusat pediatrik menggunakan
kontras cairan saline (isootonik) karena barium memiliki potensi peritonitis yang berbahaya pada
perforasi intestinal(16).

Berikut ini adalah tahapan pelaksanaannya (2,4,16) :

Masukkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan difiksasi kuat diantara pertengahan bokong.

Pengembangan balon kateter kebanyakan dihindari oleh para radiologis sehubungan dengan risiko
perforasi dan obstruksi loop tertutup.

Pelaksanaannya memperhatikan “Rule of three” yang terdiri atas: (1) reduksi hidrostatik dilakukan
setinggi 3 kaki di atas pasien; (2) tidak boleh lebih dari 3 kali percobaan; (3) tiap percobaan masing-
masing tidak boleh lebih dari 3 menit.

Pengisian dari usus dipantau dengan fluoroskopi dan tekanan hidrostatik konstan dipertahankan sepanjang
reduksi berlangsung.
Reduksi hidrostatik telah sempurna jika media kontras mengalir bebas melalui katup ileocaecal ke ileum
terminal. Reduksi berhasil pada rentang 45-95% dengan kasus tanpa komplikasi.

Selain penggunaan fluoroskopi sebagai pemandu, saat ini juga dikenal reduksi menggunakan air (dilusi
antara air dan kontras soluble dengan perbandingan 9:1) dengan panduan USG. Keberhasilannya
mencapai 90%, namun sangat tergantung pada kemampuan expertise USG dari pelakunya (4).

Teknik non pembedahan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan reduksi secara operatif.
Diantaranya yaitu : penurunan angka morbiditas, biaya, dan waktu perawatan di rumah sakit (2,16).

Pneumatic Reduction(16)

Reduksi udara pada intususepsi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1897 dan cara tersebut telah
diadopsi secara luas hingga akhir tahun 1980. Prosedur ini dimonitor secara fluroskopi sejak udara
dimasukkan ke dalam rectum. Tekanan udara maksimum yang aman adalah 80 mmHg untuk bayi dan
110-120 mmHg untuk anak. Penganut dari model reduksi ini meyakini bahwa metode ini lebih cepat,
lebih aman dan menurunkan waktu paparan dari radiasi. Pengukuran tekanan yang akurat dapat
dilakukan, dan tingkat reduksi lebih tinggi daripada reduksi hidrostatik. Berikut ini adalah langkah-
langkah pemeriksaannya:

Sebuah kateter yang telah dilubrikasi ditempatkan ke dalam rectum dan direkatkan dengan kuat.

Sebuah manometer dan manset tekanan darah dihubungkan dengan kateter, dan udara dinaikkan perlahan
hingga mencapai tekanan 70-80 mmHg (maksimum 120 mmHg) dan diikuti dengan fluoroskopi. Kolum
udara akan berhenti pada bagian intususepsi, dan dilakukan sebuah foto polos.

Jika tidak terdapat intususepsi atau reduksinya berhasil, udara akan teramati melewati usus kecil dengan
cepat. Foto lain selanjutnya dibuat pada sesi ini, dan udara akan dikeluarkan duluan sebelum kateter
dilepas.

Untuk melengkapi prosedur ini, foto post reduksi (supine dan decubitus/upright views) harus dilakukan
untuk mengkonfirmasi ketiadaan udara bebas.

Reduksi yang sulit membutuhkan beberapa usaha lebih. Penggunaan glucagon (0.5 mg/kg) untuk
memfasilitasi relaksasi dari usus memiliki hasil yang beragam dan tidak rutin dikerjakan.
Tindakan Operatif

Apabila diagnosis intususepsi yang telah dikonfirmasi oleh x-ray, mengalami kegagalan dengan terapi
reduksi hidrostatik maupun pneumatik, ataupun ada bukti nyata akan peritonitis difusa, maka penanganan
operatif harus segera dilakukan(16).

Prosedur operatif(20):

Insisi

Antibiotik intravena preoperatif profilaksis harus diberikan 30 menit sebelum insisi kulit.

Pasien diposisikan terlentang dan sayatan kulit sisi kanan perut melintang dibuat sedikit lebih rendah
daripada umbilikus (Gambar 12). Sayatan bisa dibuat sejajar, di bawah atau di atas umbilikus, tergantung
pada derajat intususepsi.

Diseksi

Teknik pemisahan otot dimulai dari eksternal, obliqus internus, dan fascia transversalis.
Usus yang mengalami intususepsi secara hati-hati dijangkau dari luka operasi dan reduksi dilakukan
dengan lembut, meremas usus distal ke apex bersamaan dengan tarikan lembut dari usus proksimal untuk
membantu reduksi (Gambar 13). Traksi yang kuat atau menarik usus intususeptum dari intususipien harus
dihindari, karena ini dapat dengan mudah mengakibatkan cedera lebih lanjut pada usus besar.

Setelah reduksi, kondisi umum ileum terminal yang mengalami intususepsi harus dinilai dengan hati-hati
(Gambar 14).
Kadang-kadang, reseksi usus segmental diperlukan jika reduksi tidak dapat dicapai atau usus nekrotik
diidentifikasi setelah reduksi. Umumnya, ileum terminal yang direduksi muncul kehitaman dan menebal
pada palpasi. Penempatan spons yang hangat dan lembab selama beberapa menit dapat meningkatkan
perfusi jaringan lokal, sehingga, berpotensi menghindari reseksi bedah yang tidak perlu.

Appendektomi standar dilakukan jika dinding cecal berdekatan adalah normal (Gambar 15).

Menutup

Setelah reduksi dicapai atau reseksi dilakukan (jika diperlukan) dan hemostasis dipastikan, penutupan
fasia perut dilakukan di lapisan menggunakan benang absorbable 3-0.

Kulit reapproximated dengan jahitan subcuticular 5-0 yang diserap.


Komplikasi

Intususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah
dehidrasi dan aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia dan nekrosis usus dapat menyebabkan perforasi
dan sepsis. Nekrosis yang signifikan pada usus dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan
dengan “short bowel syndrome”. Meskipun diterapi dengan reduksi operatif maupun radiografik, striktur
dapat muncul dalam 4-8 minggu pada usus yang terlibat (2).

Perawatan pasca Operasi(13)

Pada kasus tanpa reseksi, Nasogastric tube berguna sebagai dekompresi pada saluran cerna selama 1-2
hari dan penderita tetap dengan infus. Setelah oedem dari intestine menghilang, pasase dan peristaltik
akan segera terdengar. Kembalinya fungsi intestine ditandai dengan menghilangnya cairan kehijauan dari
nasogastric tube. Abdomen menjadi lunak, tidak distensi. Dapat juga didapati peningkatan suhu tubuh
pasca operasi yang akan turun secara perlahan. Antibiotika dapat diberikan satu kali pemberian pada
kasus dengan reduksi. Pada kasus dengan reseksi perawatan menjadi lebih lama.

Prognosis

Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak-anak sekarang jarang di negara
maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan intususepsi tetap tinggi di beberapa negara berkembang.
Pasien di negara berkembang cenderung untuk datang ke pusat kesehatan terlambat, yaitu lebih dari 24
jam setelah timbulnya gejala, dan memiliki tingkat intervensi bedah, reseksi usus dan mortalitas lebih
tinggi(8).

Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali lipat dalam kebanyakan studi) pada bayi
yang ditangani 48 jam setelah timbulnya gejala daripada bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah
onset pertama(8). Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi nonoperatif dan operatif masing-masing
rata-rata 5% dan 1-4%(2).
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Intususepsi merupakan salah satu kegawatdaruratan yang harus dikenali dengan cepat dan tepat serta
penanganan segera karena misdiagnosis atau keterlambatan diagnosis akan meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas. Oleh sebab itu, para calon dokter umum diharapkan bisa mempersiapkan diri
minimal mengetahui teori terkait intususepsi mulai dari definisi sampai pada penatalaksanaan awal
sebagai bekal jika suatu waktu menghadapi kasus ini di lapangan.
KEPUSTAKAAN

Blanco FC. Intussusception. Medscape Reference [serial online] 2012 Jan 13 [cited 2012 Feb 17];
Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/930708-overview#showall

Irish MS. Pediatric intussusception surgery. Medscape Reference [serial online] 2011 Apr 14 [cited 2012
Feb 29]; Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/937730-overview#showall

Wyllie R. Ileus, adhesi, insusepsi dan obstruksi lingkar tertutup in Nelson Ilmu Kesehatan Anak.
Behrmen, Kliegmen, Arvin editors. 15th ed. Vol 2. EGC: Jakarta. 1999. p.1319.

Ramachandran P. Intussusception in pediatric surgery diagnosis and management. Puri P, Hollwarth M


editors. Spinger: Dordrecht Heidelberg. 2009.

Kartono D. Invaginasi in Kumpulan kuliah ilmu bedah. Reksoprodjo S, Pusponegoro AD, et al. Binarupa
Aksara: Tangerang. 2005.

Pendergast LA & Wilson M. Intussusception: a sonographer’s perspective. JDMS 19:231-238. Jul-Aug.


2003.

Fallan ME. Intussusception in Pediatric Surgery, Ashcraft KW, Holder TM (eds). 4th ed. Philadelphia:
WB Saunders Company, 2005.

Bines J, Ivanoff B. Acute Intussusception in Infants and Children: Incidence, Clinical Presentation and
Management: A Global Perspective. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2002.

Boudville IC, Phua KB, Quak SH, Lee BW, Han HH, Verstraeten T, et al. The epidemiology of Paediatric
Inturssusception in Singapore: 1997 to 2004. Ann Acad Med Singapore 2006;35:674-9.e

Ekenze SO, Mgbor SO. Childhood intussusception: The implications of delayed presentation. Afr J
Paediatr Surg 2011;8:15-8.
van Heek NT, Aronson DC, Halimun EM, Soewarno R, Molenaar JC, Vos A. Intussusception in a tropical
country: comparison among patient populations in Jakarta, Jogyakarta, and Amsterdam. J Pediatr
Gastroenterol Nutr 1999;29:402-5.

http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/006/6710-0550×0475.jpg

Santoso MIJ, Yosodiharjo A dan Erfan F. Hubungan antara lama timbulnya gejala klinis awal hingga
tindakan operasi dengan lama rawatan pada penderita invaginasi yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik
Medan. Universitas Sumatera Utara: Medan. 2011.

http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/CAP/Case05/Images/Case05.01.jpg

http://dynamic.psu.ac.th/kidsurgery.psu.ac.th/Pediatric
%20surgery/KID/Atlas/Images/E/E5/DSC01002.jpg

Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy JM, eds. Ashcraft’s Pediatric
Surgery. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.p.508.

Hooker RL, Schulman MH, Yu Chang & Kan JH. Radiographic evaluation of intussusception: utility of
left side down decubitus view. RSNA 2008;248:3.

http://onradiology.blogspot.com/2011_02_01_archive.html

http://www.erpocketbooks.com/er-ultrasounds/other-ultrasounds/

Chung DH. Intussusception. In: Atlas of General Surgical Techniques. Townsend CM & Evers.
Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.

Anda mungkin juga menyukai