Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

GLOMERULONEFRITIS PASCA INFEKSI STREPTOKOKUS


PADA ANAK

Disusun Oleh :
Puspitadewi Oeniasih (07120120078)

Pembimbing :
dr. Anita Halim,SpA

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Rumah Sakit Umum Siloam
Periode 8 Mei 2016 – 16 Juli 2016
DAFTAR ISI

Daftar isi........................................................................................................................1

BAB 1

Pendahuluan.................................................................................................................2

BAB 2

I. Epidemiologi..............................................................................................................3

II. Etiologi.....................................................................................................................4

III. Patogenesis.............................................................................................................4

IV. Diagnosis.................................................................................................................5

V. Diagnosis banding....................................................................................................7

VI. Tata laksana...........................................................................................................9

VII. Prognosis.............................................................................................................10

BAB 3

Kesimpulan.................................................................................................................11

Daftar Pustaka............................................................................................................12

1
BAB 1
PENDAHULUAN

Glomerulonefritis akut merupakan suatu penyakit pada ginjal akibat adanya


inflamasi dan poliferasi sel glomerulus yang umumnya disebabkan oleh mekanisme
imunologis. Proses imunologis yang terjadi dapat menyebabkan kelainan patologis
glomerulus dengan mekanisme yang masih belum jelas.1 Glomerulonefritis akut
merupakan suatu kondisi yang cukup sering terjadi pada anak. Pada anak,
glomerulonefritis akut paling sering terjadi pasca infeksi streptokokus beta
hemolitikus grup A tipe nefritogenik. Penyebab glomerulonefritis akut lainnya, seperti
Hemolytic uremic syndrome(HUS), Henoch-Schoenlein purpura(HSP), goodpasture
syndrome, idiopathic rapidly progressive glomerulonephritis, dan IgA nephropathy,
jarang ditemukan pada anak.2
Gejala yang dapat timbul pada glomerulonefritis akut adalah gejala nefrtik
seperti hematuria, edema, dan hipertensi. Gejala nefrotik berupa proteinuria berat dan
hipoalbuminemia juga dapat ditemukan, yang sering kali membuat diagnosis menjadi
lebih sulit. Ketepatan diagnosis penting untuk menentukan tata laksana yang tepat dan
mengantisipasi terjadinya komplikasi akut seperti gagal ginjal atau overload cairan
yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Gejala hipertensi lebih sering
timbul pada glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus (GNAPS) dibandingkan
pada glomerulonefritis akut yang disebabkan oleh penyebab lainnya. GNAPS
merupakan self limiting disease, sebagian besar kasus akan resolusi sempurna tanpa
menimbulkan komplikasi jangka panjang. Pada sebagian kecil kasus, GNAPS dapat
berkembang menjadi penyakit ginjal kronik, karena itu diperlukan pemantauan jangka
panjang untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi.1,2

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

I. EPIDEMIOLOGI
Glomerulonefritis akut merupakan penyebab ketiga terjadinya gagal ginjal
tahap akhir. Glomerulonefritis akut lebih sering terjadi pada anak usia 2 hingga 15
tahun dengan anak laki-laki memiliki angka kejadian dua kali lipat lebih tinggi
dibandingkan dengan anak perempuan.3 Pada anak, Glomerulonefritis akut paling
sering disebabkan oleh infeksi streptokokus beta hemolitikus. Glomerulonefritis akut
pasca Streptokokus(GNAPS) merupakan 80 % kasus sindrom nefritik pada anak
dengan insidens sekitar 0.3 kasus per 100.000 anak pertahunnya pada negara-negara
maju, dan 9.3 - 9.8 per 100.000 anak pertahunnya pada negara-negara berkembang.4,5
WHO memperkirakan terdapat 472.000 kasus GNAPS setiap tahunnya di dunia,
dengan sekitar 404.000 merupakan kasus pada anak.3 Pada negara seperti Australia,
Venezuela, dan Valencia, GNAPS merupakan penyebab masuk ke rumah sakit yang
cukup signifikan yaitu sebesar 70% dari keseluruhan pasien anak yang dirawat pada
bagian nefrologi. Di Bangladesh, pada tahun 2013, dari 3636 pasien anak yang datang
ke pediatrik, sebanyak 98 anak (2,76%) terdiagnosa dengan GNAPS. Pada negara
seperti Cina dan Singapura, terjadi penurunan jumlah kasus GNAPS dalam 40 tahun
terakhir. 4
Di Indonesia, kasus GNAPS cukup banyak ditemukan. Pada Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM, didapatkan 45 (0,4%) kasus GNAPS dari 10.709 pasien yang
berobat ke unit gawat darurat maupun instalasi rawat jalan pada periode tahun
1998-2002. Dari 45 kasus ini, didapatkan jumlah anak laki-laki sebanyak 26 pasien
dan anak perempuan sebanyak 19 pasien pada rentang usia 4 - 14 tahun dengan
jumlah terbanyak pada rentang usia 6 - 11 tahun. Angka kejadian ini relatif rendah,
namun memiliki tinggkat morbiditas yang bermakna. 95% dari keseluruhan kasus
dapat sembuh dengan sempurna, akan tetapi sebesar 2% berkembang menjadi gagal
ginjal kronik, sedangkan 2% lainnya menyebabkan kematian saat fase akut dari
penyakit tersebut.4

3
II. ETIOLOGI
Glomerulonefritis akut pada anak paling sering didahului oleh infeksi bakteri
streptokokus grup A. Streptokokus grup A dapat di kelompokan berdasarkan protein
M, yang merupakan faktor virulens dan berada dipermukaannya. Streptokokus grup A
juga dapat di bagi menjadi 2 kelompok berdasarkan ada tidaknya lipoproteinase yang
disebut serum opacity factor. Streptokokus grup A yang tidak memiliki faktor
opasitas (lipoproteinase) akan bersifat reumatogenik, sedangkan yang memiliki faktor
opasitas akan bersifat nefritogenik.6 Karena itu, deman rematik dan GNAPS tidak
disebabkan oleh infeksi streptokokus yang sama. Streptokokus grup A yang bersifat
nefritogenik dapat kelompokkan lagi menjadi dua kelompok, yaitu streptokokus grup
A yang awalnya menyebabkan infeksi kulit (pioderma) dan streptokokus grup A yang
awalnya menyebabkan infeksi faring (faringitis). serotipe yang biasanya berhubungan
dengan pioderma adalah M49, M2, M42, M56, M57, dan M60. sedangkan serotipe
yang berhubungan dengan faringitis adalah M1, M4, M25, dan beberapa serotipe
M12.6,7

III. PATOGENESIS
Glomerulonefritis akut disebabkan oleh kompleks imun yang
menyebabkan perubahan struktural dari glomerulus. GNAPS terjadi setelah satu
hingga dua minggu pasca infeksi pada faring, atau dua hingga empat minggu pasca
infeksi pada kulit. Bagian dari bakteri yang berpengaruh terhadap terjadinya
glomerulonefritis akut terdapat dalam protein M, yaitu antigen endostreptosin, protein
kationik, protein yang berhubungan degan strain nefriris, streptococcal pyrogenic
exotoxin B (SPEB), serta nephritis associated plasmin receptor (Naplr). Terdapat dua
antigen yang diduga sebagai antigen yang paling mungkin menyebabkan
glomerulonefritis yaitu SPEB dan Naplr. 3,8
Mekanisme terbentuknya imun oleh streptokokus grup A belum diketahui,
namun terdapat beberapa hipotesis. Hipotesisi yang pertama adalah kompleks
antigen-antibodi yang bersirkulasi terjebak di glomerulus. Hipotesis yang kedua
adalah kompleks imun tersentuk secara in situ di glomerulus akibat adanya reaksi
antibodi terhadap bagian atau antigen dari streptokokus yang terdeposisi di dalam
glomerulus. Hipotesis ketiga menjelaskan bahwa beberapa antigen dari streptokokus
memiliki komponen yang sama seperti membran basal dari glomerulus, hal ini disebut
sebagai “molecular mimicry”. Molecular mimicry ini akan menyebabkan terjadinya

4
reaksi silang dari antibodi dan menyebabkan terbentuknya kompleks imun di
glomerulus.8
Kompleks imun yang berada di glomerulus menyebabkan proses inflamasi
yang menyebabkan deposisi komplemen, infiltrasi leukosit, terutama neutrofil. Enzim
lisosom yang dihasilkan oleh neutrofil menyebabkan kerusakan pada basal membran
glomerulus, endotelium kapiler dan mesangial.1 Pada kasus berat akan terjadi
poliferasi sel mesangial, matriks dan sel endotel, yang difus sehingga menyebabkan
penebalan pada membran glomerulus, disertai infiltrasi sel polimorfonuklear dan
monosit, serta penyumbatan lumen kapiler. Hal-hal tersebut menyebabkan gangguan
perfusi kapiler sehingga menyebabkan penurunan dari laju filtrasi glomerulus. Akibat
dari penurunan laju filtrasi, air dan garam akan teretensi sehingga menyebabkan
peningkatan cairan ekstraselular dan kelebihan cairan. Selain itu, zat-zat seperti
potasium dan urea, yang seharusnya diekskresi melalu urin, menjadi menumpuk di
dalam tubuh sehingga mengalami peningkatan. Aktivasi dari komplemen, sitokin
inflamasi, oksidan protease, dan faktor pertumbuhan akan menyerang sel epitelial,
merusak permeabilitas membran, dan menyebabkan proteinurea.1,8.9

IV. DIAGNOSIS
Diagnosis GNAPS dapat ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang dapat
timbul serta pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan. Gejala klasik dari
glomerulonefritis adalah gross hematuria, edema dan hipertensi, yang disebut sebagai
trias glomerulonefritis akut. Pada beberapa kasus, gejala tersebut tidak timbul secara
secara signifikan. Pada beberapa pasien, hematuria hanya dapat dilihat secara
microskopik, tekanan darah hanya sedikit meningkat, dan edema hanya muncul
didaerah palpebra sehingga jarang disadari oleh pasien. Hematuria muncul pada
hampir seluruh pasien dengan glomerulonefritis akut, akan tetapi hanya sepertiga dari
total keseluruhan yang mengarami gross hematuria. Pasien biasanya mengatakan
bahwa urinnya menjadi berwarna kecoklatan seperti teh atau cola. Warna kecoklatan
terjadi karena oksidasi dari hemoglobin yang berada di urin serta karena berada di
daerah yang bersifat asam dalam waktu yang cukup lama. Gross hematuria dapat
bertahan selama 10 hari dan terkadang disertai dengan demam. Hematuria yang hanya
bisa dilihat secara mikroskopik dapat bertahan selama 1 bulan hingga beberapa tahun,
sedangkan Edema biasanya terjadi selama 7 hingga 10 hari dan hipertensi biasanya
bertahan hingga 10 hari.8

5
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 53 anak dengan diagnosis GNAPS
yang dirawat di RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou Manado pada periode Agustus 2012 -
Agustus 2016, menyebutkan bahwa edema merupakan gejala klinis yang paling sering
muncul yaitu pada 83% kasus. Dari gejala edema yang muncul, 14% merupakan
edema anasarka, sedangkan 56.6% merupakan edema lokal. Hipertensi akan terjadi
pada 69,8% pasien dengan 37,7% merupakan hipertensi grade I dan 32,1 %
merupakan hipertensi grade II.4
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan terhadap 68 anak dengan
diagnosis GNAPS di kota Addis Ababa,, menyebutkan bahwa 77.9% pasien dengan
glomerulonefritis mengalami edema dan sebanyak 85,3% mengalami hipertensi
dengan 20.6% pasien merupakan hipertensi grade I dan 64.7% pasien merupakan
hipertensi grade II.10
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mendiagnosis GNAPS. Salah satu
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pewarnaan gram dan kultur dari
usapan tengorok atau kulit untuk mencari kuman streptokokus grup A. Akan tetapi,
kultur positif hanya akan muncul pada 15-20% kasus yang sudah menjadi
glomerulonefritis akut, hal ini menyebabkan perlu dilakukan pemeriksaan lainnya
seperti pemeriksaan antigen rapid streptococcal.8
Proteinuria dapat ditemukan pada pemeriksaan urinalisis. Proteinuria dapat
terjadi pada 79,8% kasus. Pada 71,1% kasus didapatkan bahwa leukosit positif.
Silinder granula didapatkan pada 7,5% kasus, sedangkan silinder hialin didapatkan
pada 20,8% kasus. Hematuria dapat terjadi pada 80-100% kasus. Hal ini
menyimpulkan bahwa hematuria secara mikroskopik terjadi pada hampir seluruh
pasien dengan glomerulonefritis.4
Diagnosis dapat juga ditegakkan dengan pemeriksaan lainnya, seperti
pemeriksaan titer antistreptolisin O (ASTO), serum C3, laju endap darah (LED),
kadar hemoglobin, laju filtrasi glomerulus, leukosit, trombosit, ureum, dan kreatinin.
ASTO merupakan suatu antibodi yang dibentuk untuk melawan antigen yang
dihasilkan oleh streptokokus grup A. Saat terinfeksi dengan streptokokus, tubuh akan
memproduksi berbagai jenis antibodi untuk melawan antigen yang dihasilkan oleh
streptokokus, salah satu dari antibodi tersebut disebut sebagai ASTO.11
Peningkatan titer ASTO menunjukan adanya infeksi streptokokus. ASTO
akan meningkat pada hari ke-10 hingga ke-14 pasca infeksi streptokokus dan akan
mencapai puncaknya pada minggu ke-4.12 Pada sebuah hasil pemeriksaan

6
laboratorium darah yang dilakukan pada 53 pasien dengan GNAPS, didapatkan
bahwa sebanyak 54,7% mengalami peningatan titer ASTO, 66% pasien dengan
penurunan serum C3, 34% pasien dengan peningkatan LED, 17% pasien dengan
penurunan hemoglobin (anemia ringan), 73,6% pasien dengan azotemia (15,4% hanya
dengan peningkatan kadar ureum dan 20,5% hanya dengan peningkatan kreatinin),
92,5% pasien dengan penurunan LFG, 35,8% pasien mengalami trombositosis, dan
41,5% pasien mengalami leukositosis.4
Biopsi ginjal tidak perlu dilakukan pada seluruh kasus GNAPS. Biopsi hanya
diindikasikan bila terjadi keterlambatan dalam penyembuhan atau terjadi komplikasi.
Selain itu biopsi juga dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya.
Indikasi dari biopsi gingal antara lain :3
1. Gross hematuria lebih dari 1 bulan
2. Hematuria mikroskopik lebih dari 1 tahun.
3. Hipertensi, oligouria, azotemia lebih dari 2 minggu
4. Nefrotik range proteinuria lebih dari 2 minggu
5. Proteinuria yang persisten lebih dari 6 bulan
6. Kecurigaan terhadap vaskulitis, IgA nefropati, sindrom alport, rapidly
progressive glomerulonephritis (RPGN).

V. DIAGNOSIS BANDING
Selain pasca infeksi streptokokus grup A, glomrulonefritis juga dapat
disebabkan oleh kondisi lainnya. Glomerulonefriris dapat terjadi pada Systemic lupus
erythematosus (SLE), Hemolytic uremic syndrome(HUS), Henoch-schoenlein
purpura(HSP), Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN), immunoglobulin A
(IgA) nephropathy, dan Goodpasture syndrom (GPS).13
IgA Nephropaty dapat terjadi pada semua kelompok usia, akan tetapi lebih
sering pada rentang usia 20 - 30 tahun. Pada pasien dengan IgA Nephropaty,
hematuria merupakan gejala yang paling menonjol dan timbul secara tiba-tiba 24
hingga 48 jam setelah terjadi infeksi saluran pernafasan atas atau gastrointestinal.
Infeksi yang mendahului IgA Nephropaty merupakan infeksi virus. Pada IgA
Nephropaty, gejala edema, proteinuria lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan
GNAPS. Hipertensi terjadi pada 50% kasus IgA Nephropaty dan edema terjadi pada
10% kasus. Pada 50% kasus IgA Nephropaty, terjadi peningkatan serum IgA,
sedangkan komplemen C3 biasanya dalam batas normal. Diagnosis IgA Nephropaty

7
dapat di tegakkan dengan biopsi ginjal dan penemuan poliferasi yang bersifat lokal
pada pemeriksaan mikroskopik.9,13,14
HUS memiliki gejala yang serupa pada GNAPS, akan tetapi pada HUS tidak
didapatkan penurunan komplemen C3. Berbeda dengan GNAPS, Pada HUS biasanya
diawali dengan gastroentritis dan pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya
anemia hemolitik, morfologi sel darah merah yang tidak normal, dan
trombositopenia.12
Pada HSP, gangguan ginjal biasanya diawali dengan gejala lainnya seperti
purpura, atritis, kolik abdomen, dan melena, yang tidak terjadi pada GNAPS. Berbeda
dengan GNAPS, pada HSP terjadi peningkatan IgA dengan komplemen C3 normal.12
RPGN lebih sering terjadi pada rentan usia 50 - 60 tahun. Gejala nefritik
terjadi pada 90% pasien dengan RPGN dan dapat tidak disertai dengan proteinuria,
edema maupun hipertensi. Diagnosis RPGN ditegakan dengan bila didapatkan
crescents pada biopsi ginjal. 9,13,14
SLE merupakan penyakit autoimun yang mengenai multi organ. Organ yang
sering terkena adalah sendi, kulit, otak, ginjal, dan hati. Pada ginjal (nefritis lupus)
ditemukan pada 90% pasien dengan SLE. Nefritis lupus terjadi pada anak diatas 10
tahun dan jarang terjadi pada anak dibawah 5 tahun. Pada nefritis lupus dapat timbul
gejala proteinuria, hematuria, hipertensi, dan hipoalbuminemia. Nefritis lupus
biasanya di setai dengan gejala SLE lainnya seperti ruam kupu-kupu dimuka, ruam
diskoid dikulit, fotosensitif, ulkus dimulut, dan artritis. Diagnosis nefritis lupus dapat
ditegakkan jika pada pemeriksaan antibodi antinukril (ANA) positif.15
GPS lebih sering terjadi pada rentang usia 15 - 30 tahun. Pada 90% kasus
GPS terjadi sindrom nefritik. Proteinuria dan hipertensi jaang terjadi pada GPS.
Gejala lain yang dapat ditemukan pada GPS adalah anemia defisiensi besi dan
pulmonary hemorrhage. Diagnosis GPS dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal
dimana ditemukan poliferasi difus dengan crescent.14

8
VI. TATA LAKSANA
Tata laksana pada GNAPS adalah terapi suportif dan simtomatik. Perawatan
dirumah sakit diindikasikan jika terdapat ketidak seimbangan cairan dan elektrolit,
hipertensi stadium II, atau untuk tujuan diagnosis. Pasien rawat inap dengan diagnosis
GNAPS dapas dipulangkan saat kondisi sudah stabil dan gross hematuria, hipertensi,
azetomia, dan edema sudah membaik.12 Untuk mengurangi kelebihan cairan dapat
dilakukan restriksi cairan dengan jumlah 400 ml/m2/hari hingga anuria atau oligouria
membaik, selain itu dapat diberikan furosemide dengan dosis 1-2 mg/kgbb secara IV
atau oral tiap 12 jam.1,12
Hipertensi pada anak diklasifikasikan menjadi prahipertensi (≥P90 dan <P95
atau ≥120/80 pada remaja), hipertensi stadium I (P95-99 + 5 mmHg), stadium II
( ≥P99 + 5 mmHg), dan krisis hipertensi (sistolik ≥180 mmHg dan/atau diastolik
≥120mmHg). Pada pasien hipertensi yang disebabkan oleh GNAPS, maka diuretik
menjadi pilihan utama obat anti hipertensi dan dapat diberikan furosemide dengan
dosis 0.5-2 mg/kgbb/hari, 1-2x, maksimal 6 mg/kgbb/hari. dosis furosemide dapat
dinaikan hingga dosis maksimal. Jika tekanan darah tidak turun dengan dosis
maksimal furosemide, maka dapat ditambahkan atau diganti dengan propanolol
dengan dosis 1-2mg/kgbb/hari, 2-3x, maksimal 4mg/kgbb/hari. Jika tekanan darah
tidak turun maka dapat ditambahkan hidralazin 0.75 mg/kgbb/hari, 1x. pada pasien
dengan krisi hipertensi, dapat diberikan nifedipin sublingual dengan dosis 0.1
mg/kgbb/dosis atau diazoxid intravena cepat (1-2 menit) dengan dosis 2-5 mg/kgbb,
ulangi jika dalam 1 jam tidak ada respon. 16
Penggunaan antibiotik hanya diberikan jika hasil kultur positif. Antibiotik
yang dapat digunakan adalah penisillin dengan dosis 50.000 U/kgbb secara IM. Jika
memiliki alergi terhadap penisillin, dapat diberikan eritromisin dengan dosis 40
mg/kgbb/ hari secara oral selama 10 hari. Pembatasan konsumsi makanan dilakukan
berdasarkan beratnya edema, gagal ginjal, dan hipertensi. Protein hanya perlu dibatasi
jika kadar urea > 100 mg/dl. Bila terjadi azotemia, asupan protein dapat dibatasi
menjadi 0.5 gram/ kgbb/ hari.1

9
VII. PROGNOSIS
Glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus pada anak cenderung memiliki
prognosis yang baik. Dari keseluruhan kasus pada anak, 99% mengalami
penyembuhan total dalam beberapa minggu. Akan tetapi pada 1% dapat terjadi
kematian. Kematian dapat terjadi akibat adanya hiperkalemia dan edema paru.
Kemungkinan menjadi kronik adalah sebesar 5-10%. pada sekitar 0.5-2% kasus
menunjukan penurunan fingsi ginjal yang cepat dan bersifat progresif sehingga dalam
beberapa minggu atau bulan dapat menjadi gagal ginjal fase terminal. Komplikasi
yang terjadi dapat dicegah dengan diagnosis yang cepat dan tepat serta
penatalaksanaan yang sesuai.1,3,8

10
BAB 3
KESIMPULAN

Glomerulonefritis akut merupakan suatu penyakit pada ginjal akibat adanya


inflamasi dan poliferasi sel glomerulus yang umumnya disebabkan oleh mekanisme
imunologis. Pada anak, glomerulonefritis akut umumnya terjadi pasca infeksi
streptokokus. Infeksi streptokokus tersebut dapat terjadi baik dari faringitis maupun
pioderma. Dalam 40 tahun terakhir, infeksi pioderma mengalami penurunan sehingga
faringitis akibat infeksi streptokokus menjadi penyebab utama terjadinya
glomerulonefritis pasca Streptokokus(GNAPS). GNAPS lebih sering terjadi pada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 2:1.
sampai saat ini, mekanisme dari infeksi tersebut menyebabkan glomerulonefritis
masih belum jelas. Terdapat 3 hipotesis yang menjelaskan hal tersebut, akan tetapi
masih belum ada bukti yang cukup kuat dan masih memerlukan penelitian yang lebih
lanjut.
Terdapat 3 gejala khas dari glomerulonefritis akut dan disebut sebagai trias
glomerulonefritis akut. Ketiga gejala tersebut adalah edema, hematuria serta
hipertensi. Untuk menegakan diagnosis dari glomerulonefritis akut dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti urinalisis, pemeriksaan darah lengkap, kadar kreatinin,
serta pemeriksaan elektrolit. Pada urinalisis dapat ditemukan seldarah merah, sel pus,
dan protein. Dari pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan leukositosis
polimorfonuklear serta dapat ditemukan anemia ringan. Dapat terjadi peningkatan
kadar kreatinin. Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan adalah kultur tengorok,
pemeriksaan kadar komplemen C3, serta titer antibodi ASTO. Biopsi ginjal hanya
dilakukan jika terdapat indikasi yang jelas.
Tatalaksana dari glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus adalah terapi
suportif dan simtomatik. Terapi dapat diberikan diureik, obat antihipertensi, dan
restriksi cairan. Selain itu dapat juga diberikan antibiotik jika hasil kultur positif. Pada
anak-anak, prognosis GNAPS adalah baik karena dapat terjadi penyembuhan total.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya kematian akibat komplikasi
seperti hipertensi ensepalitis maupun karena edema paru. Untuk mencegah
komplikasi-komplikasi tersebut perlu dilakukan diagnosis yang cepat dan tepat serta
tatalaksana yang sesuai.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbanbatu SM. Glomerulonefritis akut pasca Streptokokus pada anak. Sari Pediatri.
2003; 15: 58-63.
2. Welch TR. An approach to the child with acute glomerulonephritis. IJP. 2012; 2012.
3. Hidayani HRE, Umboh A, Gunawan S. Profil Glomerulonefritis akut pasca infeksi
streptokokus pada anak yang dirawat di ilmu kesehatan anak RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou
Manado. eCl. 2016; 4.
4. Roy RR, Laila K. Acute post-streptococcal glomerulonephritis in children- a review.
Banglajol. 2014; 38(1): 32-9.
5. Irtube BR, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyuting. Pediatric nephrology. Edisi ke-6.
USA: Springer; 2009: 743-55.
6. Eison TM, Ault BH, Jones DP, Chesney RW, Wyatt RJ. Post-streptococcal acute
glomerulonephritis in children: clinical features and pathogenesis. Pediatr nephrol. 2011;
26: 165-80.
7. Cunningham MW. Pathogenesis of group A streptococcal infection. Clin microbiol. 2000;
13: 470-511.
8. VanDeVoorde RG. Acute poststreptococcal glomerulonephritis: the most common acute
glomerulonephritis. Pedsinreview. 2015; 36, no I.
9. Huether SE, Forshee BA. Alterations of renal and urinary tract function. Dalam:
McCance KL, Hueter SE, Brashers VL, Rote NS, penyuting. Pathophysiology the
biologic basis for disease in adults and children. Edisi ke-6.USA: Elsevier; 2010:
1365-419.
10. Mossie L, Shimelis D. Outcom of children with acute post streptococcal
glomerulonephritisin tikur anbessa specialized teaching hospital addis ababa,Ethiopia.
Epseth. 2012; 8, no 8.
11. Machado CSM, Ortiz K, Martins ADLB, Martins RS, Machado MC. Antistreptolysin O
titer profile in acute rheumatic fever diagnosis. Jped. 2001; 77: 105-11.
12. McCrory MW. Glomerulonephritis. Aap. 2017; 5: 19-25
13. Aviles DH. Treatment of glomerulonephritis. Dalam: Burg FD, Ingelfinger JR, Polin RA,
Gershon AA, penyuting. Current pediatric therapy. Edisi ke-18. USA: Elsevier; 2006:
616-9.
14. Pan CG, Avner ED. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. Dalam: Kliegman RM,
Staton BF, Schor NF, Geme JW, Berhrman RE, penyuting. Nelson textbook of pediatrics.
Edisi ke-19. USA: Elsevier; 2011: 1783-5.
15. Alatas H. Nefritis lupus pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K,
Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, dkk, penyuting. Kompendium nefrologi anak.
Bandung: IDAI; 2011: 118-23.
16. Prasetyo RV. Tata laksana hipertensi pada anak. Dalam: soemyarso NA, Prasetyo RV,
Suryaningtyas W, penyuting. Hipertensi pada anak. Surabaya: AUP; 2016: 37-78.

12

Anda mungkin juga menyukai