PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat dan industri
yang saat ini masih terus menjadi masalah karena kekurangan produksi dalam
negeri, sementara kebutuhan terus meningkat. Direktorat Jenderal Perkebunan
(2016) menyatakan bahwa produksi gula di Indoesia pada tahun 2015 mencapai 2,3
juta ton, produksi tersebut masih dianggap jauh dari target. Hasil pengamatan yang
didapat dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2016) menyatakan bahwa terdapat
tiga status pengusahaan yang berbeda yaitu Perkebunan Besar Swasta (PBS),
Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Rakyat (PR). PBS lebih unggul
dalam memproduksi tebu dibandingkan dengan PBN dan PR.
Provinsi Lampung menduduki peringkat pertama dalam memproduksi gula
dengan rincian yaitu luas areal tanam seluas 96.876 ha dengan luas panen 96.766
ha yang menghasilkan produksi gula hablur sebanyak 616.080 ton dengan
produktivitas 6.367 kg/ha. Industri swasta di Provinsi Lampung berpotensi dalam
memproduksi gula, ditunjukkan dengan banyaknya luas areal yang dimiliki dan
produktivitas yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Proses produksi yang dilakukan di pabrik gula tidak hanya menghasilkan gula saja,
tetapi terdapat produk sampingan berupa limbah.
Limbah merupakan produk buangan yang terbuang percuma dan jarang di
manfaatkan, sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan yang secara tidak
langsung akan menambah pengeluaran pabrik gula. Proses pembuatan gula dari
tebu menghasilkan beberapa jenis limbah atau produk samping. Menurut Pusat
Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI, 2008) komposisi rata-rata hasil dari
pengolahan tebu industri di Indonesia terdiri dari limbah cair sebesar 52,9 persen,
ampas tebu (Bagasse) sebesar 32 persen, gula sebesar 7,05 persen, tetes sebesar 4,5
persen, blotong sebesar 3,5 persen, dan abu sebesar 0,1 persen. Satu ton tebu dapat
menghasilkan sekitar 300 kg bagasse dan satu ton bagasse bisa untuk
membangkitkan listrik dengan cogeneration sebesar 220-240 KWh (Agrofarm,
2014). Industri gula yang berada di luar Pulau Jawa khususnya, di pandang
memiliki hasil Bagasse yang cukup melimpah.
Bagasse merupakan limbah selulosik yang banyak sekali potensi
pemanfaatannya. Bagasse dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak
berserat. Dalam prosesnya, bagasse harus mengalami perlakuan fisik dan biologis
terlebih dahulu karena tekstur ampas tebu yang keras, nilai gizi yang rendah dan
rendahnya kecernaan membuat penggunaan pakan dari bagasse kurang baik.
Bagasse memiliki kadar pentosan cukup tinggi, yaitu sebesar 18,86 persen dengan
kadar air sebesar 6,76 persen, sehingga memungkinkan ampas tebu untuk diolah
menjadi furfural. Pembuatan fulfural belum ada di Indonesia, selama ini Indonesia
masih mengimpor fulfural dari Cina (Andaka, 2011). Berdasarkan riset yang
dilakukan selama tiga tahun (1999-2002), PT PG Rajawali II menemukan bahwa
bagasse merupakan bahan yang lebih baik dibandingkan jerami atau jagung, untuk
menggantikan asbesdalam pembuatan kanvas rem (Pratama, 2011).
Bagasse juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos,
pulp, dan particle board namun dalam pembuatannya, pabrik gula memerlukan 3
penambahan peralatan, tenaga kerja dan bahan tambahan lainnya sehingga sangat
jarang perusahaan yang memanfaatkan bagasse dengan mengolahnya sendiri.
Perusahaan gula cenderung menjual bagasse secara langsung dengan harga
Rp50/kg. Etanol, CMC (carboxymethyl cellulose), dan bahan penyerap (adsorbent)
zat warna juga merupakan hasil pengolahan bagasse yang masih dalam taraf
penelitian (Misran, 2005).
Beberapa pabrik gula hanya memanfaatkan bagasse sebagai bahan baku
pembuatan kompos dan bahan bakar pada katel uap (boiler), pemanfaatan bagasse
tersebut masih dalam skala kecil sehingga hanya menghabiskan bagasse sedikit.
Penggunaan bagasse yang sedikit sebagai bahan bakar pada boiler menyebabkan
jumlah limbah bagasse yang menumpuk dan dapat menimbulkan masalah dalam
penyimpanannya. Salah satu cara perusahaan dalam menangani limbah bagasse
adalah dengan cara dibakar. Pembakaran bagasse oleh pabrik dapat menyebabkan
pencemaran udara dan menyebabkan kebakaran pada pabrik.
Kasus kebakaran yang pernah terjadi pada beberapa pabrik gula diantaranya
PG Cukir (11 November 2013), PTPN X (2 Februari 2015), PG Candi (31 Juli
2015), PG Rajawali (10 September 2015) dan PT LPI (5 Januari 2017). Kebakaran
tersebut disebabkan oleh kurangnya kepedulian perusahaan terhadap penanganan
bagasse (Dinata, 2017). Salah satu kontribusi perusahaan industri gula terhadap
penekanan dampak pencemaran lingkungan adalah dengan memanfaatkan limbah
bagasse sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
Saat ini bagasse digunakan sebagai salah satu sumber energi alternatif
pengganti fosil dalam pembuatan energi listrik. Kementerian Energi dan Sumber
Daya 4 Mineral (2015) menunjukkan rasio elektrifikasi kelistrikan nasional hingga
akhir tahun 2014 yang tercatat hanya sebesar 84,35 persen. Kondisi tersebut dinilai
belum cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Menurut pasal 11 ayat
(1) UU 30 Tahun 2009, tidak hanya BUMN saja yang berhak untuk melakukan
usaha penyediaan tenaga listrik, namun sekarang BUMD, badan usaha swasta,
koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga
listrik juga punya hak yang sama dalam hal melakukan usaha penyediaan tenaga
listrik. Jumlah bagasse yang melimpah dan sukar disimpan memberikan peluang
perusahaan industri gula untuk terus dapat memanfaatkan ketersediaan bahan bakar
tersebut untuk diolah menjadi listrik.
Pemanfaatan limbah di PT Gunung Madu Plantations dianggap cukup
optimal dibuktikan dengan pengolahan bagasse sehingga terpenuhinya kebutuhan
akan listrik secara mandiri dan menghasilkan surplus listrik, oleh sebab itu pada
tahun 2015 PT GMP menerima penghargaan energi. Menurut Direktorat Jenderal
Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE, 2015) penghargaan
tersebut merupakan apresiasi pemerintah untuk menghargai jasa perusahaan yang
berjasa dan berdampak besar dalam kegiatan usaha pengembangan, penyediaan dan
pemanfaatan energi dengan prinsip diversifikasi atau konservasi energi dengan
menghasilkan produk nyata sebagai hasil inovasi dan pengembangan teknologi
baru.Tidak hanya itu, PT GMP juga bersertifikat PROPER (Program Penilaian
Peringkat Kinerja Perusahaan dalam pengelolaan Lingkungan Hidup) hijau, Itu
artinya perusahaan telah berupaya dalam pengendalian pencemaran atau kerusakan
lingkungan hidup dan mencapai hasil lebih baik dari persyaratan yang ditentukan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.
PT Gunung Madu Plantations merupakan pionir industri gula di Lampung
yang menerapkan teknologi maju di kebun dan di pabrik termasuk pemanfaatan
produk sampingan yang berupa limbah. PT GMP memanfaatkan limbah padatnya
yang berupa bagasse sebagai bahan bakar boiler sumber utama bahan pembangkit
listrik. Bagasse di manfaatkan sebagai bahan bakar 4 unit boiler dengan kapasitas
terpasang masing-masing No.1= 120 ton/jam; No.2= 120 ton/jam; No.3= 80
ton/jam; No.4= 120 ton/jam. Energi potensial uap yang dibangkitkan digunakan
untuk menggerakkan 4 buah back pressure turbo-alternator yang masing-masing
mampu membangkitkan tenaga listrik sebesar 5MW, menggerakkan turbin uap
penggerak unit preparasi (cane cutter dan shredder) dan unit ekstraksi (gilingan).
Pada masa tidak giling (off-season) boiler4 tetap beroperasi dan memanfaatkan
bahan bakar bagasse kelebihan dari masa giling untuk melayani kebutuhan uap
penggerak turbine generator dalam memenuhi kebutuhan listrik perumahan divisi I
s/d divisi VII, perkantoran, maintenance peralatan di pabrik dan pompa irigasi
pertanian.
Upaya pengendalian pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup dengan
cara memanfaatkan limbah bagasse menjadi energi listrik merupakan tindakan
alternatif yang menguntungkan bagi perusahaan. Oleh karna itu diperlukan
pengetahuan tentang analisis pengolahan bagasse di PT Gunung Madu Plantations.
1.3. Tujuan
Tujuan dari pengolahan limbah padat blontong ini adalah :
1. Mengetahui manfaat yang diperoleh dari penanganan limbah padat
pada Pabrik Gula.
2. Mengetahui kandungan yang ada didalam limbah padat blotong
sehingga bisa digunakan sebagai pupuk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bagasse memiliki kadar pentosan cukup tinggi, yaitu sebesar 18,86% dengan kadar
air sebesar 6,76% (Andaka, 2011), sehingga memungkinkan ampas tebu untuk diolah
menjadi furfural. Hasil studi menunjukkan yield furfural mencapai titik maksimum pada
suhu 100 oC sebesar 5,07% dan yield furfural mencapai titik optimum pada waktu reaksi
hidrolisis selama 120 menit sebesar 5,67%. Furfural memiliki aplikasi cukup luas dalam
berbagai industri, seperti pengolahan minyak bumi, pembuatan nilon, pelapisan, farmasi,
dan serat sintetik. Pembuatan furfural belum ada di Indonesia, selama ini Indonesia masih
mengimpor furfural dari Cina(Wijanarko, 2006).
Menurut Rifai (2015), proses pabrikasi gula dari tebu setelah tebu dipanen dan
sudah berada di halaman pabrik (cane yard) untuk diproses pada dasarnya dilakukan
dalam beberapa tahapan yaitu ekstraksi, pemurnian, penguapan, kristalisasi, sentrifugasi
dan penyelesaian.Diagram alir proses pabrik gula dengan sistem kogenerasinya
(lama)akan disajikan pada Gambar 1.
Diagram alir di bawah merupakan porses dan energi di pabrik gula dengan sistem
kogenerasi model lama yang sebagian masih ada di pabrik gula di Indonesia. Ampas tebu
dari proses ekstraksi digunakan sebagai bahan bakar di stasiun pembangkit untuk
menghasilkan energi uap dan energi listrik yang diperlukan untuk menjalankan semua
peralatan proses pabrikasi gula, hal ini diistilahkan sebagai sistem kogenerasi. Definisi dari
kogenerasi (co- generation) yaitu 10 memproduksi energi listrik dan energi termal secara
bersamaan dari suatu proses pembakaran bahan bakar. Pada proses di bawah, ampas
tebu dari stasiun ekstrasi digunakan sebagai bahan bakar boiler di stasiun pembangkit,
uap dari boiler sebagian digunakan untuk menggerakkan turbin alternator untuk
menghasilkan listrik dan sebagian digunakan oleh turbin penggerak gilingan di stasiun
ekstraksi.Uap tereduksi yang keluar dari turbin penggerak turbin alternator maupun
turbin penggerak gilingan digunakan sebagai pemanas baik di stasiun pemurnian,
penguapan dan kristalisasi.
Gambar 2.1. Diagram alir proses pabrik gula dengan sistem kogenerasi lama (Rifai,
2015).
Potensi surplus listrik dari proses pabrikasi gula dari tebu dapat dicapai bila
pembangkitan, distribusi dan penggunaan energi baik energi uap maupun energi listrik
dilakukan lebih efisien. Pemilihan skema dan peralatan proses yang digunakan sangat
menentukan pencapaian efisiensi yang ingin dicapai. Terdapat beberapa pilihan skema
proses yang dapat diterapkan di pabrik gula untuk meningkatkan efisiensi energi, yaitu:
a. Stasiun penguapan menggunakan sistem quintiple, yaitu sistem penguapan multi efek
dengan jumlah efek sebanyak 5. Semakin banyak jumlah efek maka semakin ekonomis
penggunaan uap, hal ini telah diteliti oleh Norbert Rillieux di Lousiana (US) dan
dipatenkan pada tahun 1840 dimana pada prinsip pertama Rillieux pada penguapan
multi efek menyatakan bahwa dalam penguapan sistem multi efek dengan jumlah N
efek maka 1 kg uap akan dapat menguapkan sejumlah N kg air.
b. Mengoptimalkan penggunaan uap bleeding, yaitu penggunaan uap hasil penguapan
nira di stasiun evaporator untuk digunakan sebagai media pemanas di pemanas nira
(juice heater) dan media pemanas di stasiun kristalisasi (masakan). Hal ini sesuai
dengan prinsip Rillieux yang kedua yaitu bila sejumlah uap diambil dari efek ke i dari
penguapan multi efek sebanyak N efek dan digunakan sebagai pemanas ditempat lain
maka akan mendapatkan penghematan uap sebanyak i/N dikalikan dengan jumlah uap
yang digunakan.
c. Mengganti mesin-mesin penggerak turbin uap (steam turbine drive) terutama untuk
penggerak gilingan dengan mesin penggerak yang lebih efisien seperti
penggerakelektromotor (electrical drive) atau penggerak hidraulik (hydraulic drive).
Peter Rein(2007), mengungkapkan bahwa efisiensi energi penggerak turbin-turbin uap
dapat mencapai 70 – 75 persen, sedangkan penggerak elektro motor dapat mencapai
80 – 90 persen dan penggerak hidraulik berkisar 80 – 85 persen.
Dengan menerapkan skema dan pemilihan peralatan yang tepat maka dapat
diperkirakan jumlah penghematan energi yang akan diperoleh. Diagram alir proses di
pabrik gula dengan sistem kogenerasi terbaruakan disajikan pada Gambar 2. Diagram alir
tersebut menunjukkan bahwa semua ampas tebu dioptimalkan untuk menghasilkan listrik
di stasiun pembangkit dimana uap boiler difokuskan untuk menggerakkan turbin
alternator, semua mesin penggerak diganti dengan sistem elekromotor kemudian
kebutuhan uap pemanas dalam proses dicukupi dengan uap tereduksi yang keluar dari
turbin uap penggerak turbin alternator sebagai penghasil listrik.
Gambar 2.2. Diagram alir proses di pabrik gula dengan sistem kogenerasi terbaru (Rifai,
2015)
Gambaran umum proses dan sistem pembangkit yang digunakan di pabrik gula disajikan
pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3.Gambaran umum proses dan sistem pembangkit yang digunakan di pabrik
gula (Rifai, 2015).
Tebu sebagai bahan baku produksi diproses pertama kali di stasiun gilingan untuk
diambil cairan gula (nira) dengan dibantu penambahan air imbibisi. Nira tebu dari stasiun
gilingan yang diperoleh selanjutnya diproses untuk menghasilkan produk gula, hasil
samping stasiun gilingan berupa bagasse digunakan sebagai bahan bakar boileruntuk
menghasilkan uap baru yang digunakan sebagai energi penggerak turbin-turbin baik
turbin generator maupun turbin penggerak gilingan.Uap sisa yang keluar dari turbin-
turbin tersebut yang disebut dengan uap bekas kemudian digunakan sebagai pemanas di
dalam produksi (Rifai, 2015).
Gambar 2.4.Sistem kogenerasi di pabrik gula yang saat ini umum digunakan (Rifai,
2015).
2.4 Proses Konversi Energi dari Ampas Tebu Menjadi Energi Listrik
Energi listrik dapat diperoleh dengan melalui proses yang bertahap dari sumbar
bahan bakar menjadi energi listrik. Proses konversi energi dari ampas tebu menjadi energi
listrikakan disajikan pada Gambar 5. Ampas tebu dimasukkan ke dalam furnace chamber
melalui bagian atas lalu ampas tebu tersebut dimasukkan BOILER BOILER Gilingan Uap
bekas 1-2 Bar T/A (bp) Listrik Untuk proses Uap baru + 20 bar 15 ke dalam furbace
chamber dengan menggunakan grate sehingga ampas tebu benar-benar terbakar
sempurna. Ampas tebu yang terbakar sempurna itu jatuh ke bagian bawah furnace
chamber.
Boiler terdiri dari dua drum yang berada di bagian atas dan berada di bagian bawah.
Dua drum tersebut dihubungkan dengan pipa yang melewati bagian dalam furnace
chamber, sehingga air dari drum bawah yang dialirkan ke drum bagian atas akan langsung
menjadi uap saat pipa melewati bagian dalam furnace chamber. Uap yang dihasilkan
tersebut lalu dialirkan ke drum bagian atas. Uap yang dihasilkan bersuhu 325°C dengan
tekanan sedang, yaitu 18 kg/cm2 lalu, uap yang dihasilkan ditimbun terlebih dahulu di
Steam Header, supaya terkumpul banyak, lalu setelah itu digunakan untuk memutar
turbin.
Turbin yang berputar dengan kecepatan yang cukup tinggi direduksi kecepatan
putarnya oleh reduction gear yang dipasang antara turbin dan generator sehinggga
diperoleh sinkronisasi kecepatan antara turbin dan generator. Generator yang
berputarakan menimbulkan medan listrik sehingga akan membangkitkan tenaga listrik.
Siklus yang tepat digunakan untuk system pembangkit biomassa ampas tebu adalah siklus
topping dengan uap exhaust yang dihasilkan bertekanan rendah. Uap bertekanan rendah
tersebut digunakan untuk menggerakkan mesin uap pada penggilingan satu, dua dan tiga
serta digunakan untuk proses pembuatan gula.
Gambar 2.5. Proses konversi energi dari ampas tebu menjadi energi listrik
(Saputra, 2010).
BAB III
ISI
4.1 Kesimpulan
1. Jumlah selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang terkandung dalam kelapa
sawit, berpengaruh pada jumlah biooil yang akan dihasilkan karena
kandungan biopolimer yang dimiliki cangkang (jumlah selulosa,
hemiselulosa, dan lignin) paling besar diantara kedua umpan lainnya yakni
sebesar 94,2%.
2. Semakin banyak kandungan biopolimer yang dimiliki biomasa, maka akan
semakin banyak jumlah perengkahan yang dihasilkannya
3. Proses fast pyrolysis akan menghasilkan konversi produk cair pada suhu
550°C untuk limbah padat cangkang dan tandan dengan hasil optimum
mencapai 50,7-62 %.
4.2 Saran
1. Memakai katalis agar reaksi dapat diarahkan menuju komponen penyusun
bahan bakar tertentu.
2. Dilakukan penempatan produk cair pada kondisi yang rendah, untuk
menjaga agar produk cair yang bersifat volatile tidak menguap.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson dan Khalid (2000) Decomposition processes and nutrient release patterns
of oil palm residu Journal of Oil Palm Research, 12, 46-63.
Angga, Y dan K. Kartika. 2005. Pembuatan Briket Bioarang dari Arang Serbuk
Gergaji Kayu Putih. Laporan Skripsi. Teknik Kimia Universitas
Diponegoro.
Arif, E., Mire, B., Amaliyah, R. & Zain, M. 2012. Pengaruh Dimensi Partikel Arang
Kulit Kakao Terhadap Mutu Briket sebagai Energi Alternatif. Skripsi.
Universitas Hasanuddin. Sulawesi Selatan.
Fei Ling Pua, Zakaria, S., Chia, C.H., Suet Pin Fan, Rosenau, T., Liebner, F. 2013.
Solvolytic Liquefaction of Oil Palm Empty Fruit Bunch (EFB) Fibres:
Analysis of Product Fractions Using FTIR and Pyrolysis-GCMS.Sains
Malaysiana. Volume 42. Nomer 6
Ismayana, A. Dan Afriyanto, M.R. 2012. Pengaruh Jenis dan Kadar Bahan Perekat
Pada Pembuatan Briket Blotong Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Laporan
Penelitian. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB
Jamilatun S. 2011. Kualitas Sifat-sifat Penyalaan dari Pembakaran Briket
Tempurung Kelapa, Briket Serbuk Gergaji Kayu Jati, Briket Sekam Padi
dan Briket Batubara. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia
“Kejuangan”. Paris, O., C. Zollfrank, dan G. A. Zickler. 2005.
Decomposition and Carbonization of Wood Biopolymer Microstructural
Study of Wood Pyrolisis. Carbon. Vol.43. pp:53-66.
Rhen C., Gref R. Sjostrom M., Wasterlud I., 2005. Effect Raw Material, Moisture
Content, Densification Pressure and Temperature on Some Properties of
Norway Spruce Pellets. Fuel Processing Technology. Vol. 87. Pp: 11-16
Riseanggara R.R. 2008. Optimasi Kadar Perekat pada Briket Limbah Biomassa.
Bogor: Perpustakaan Institut Pertanian Bogor.
Jurnal Rekayasa Proses. Vol. 4. No.1. pp: 13-18 Triono A 2006. Karakteristik
Briket Arang dari Campuran Serbuk Gergaji Kayu Afrika (Maesopsis
eminii Engl.) dan Sengon (Paraserianthes facataria L. Nielsen) dengan
Penambahan Tempurung Kelapa (Cocos nucifera L.) Skripsi. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan air, tanah, dan udara. Kadang
juga menimbulkan bau dan rasa yang tidak sedap.