Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat dan industri
yang saat ini masih terus menjadi masalah karena kekurangan produksi dalam
negeri, sementara kebutuhan terus meningkat. Direktorat Jenderal Perkebunan
(2016) menyatakan bahwa produksi gula di Indoesia pada tahun 2015 mencapai 2,3
juta ton, produksi tersebut masih dianggap jauh dari target. Hasil pengamatan yang
didapat dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2016) menyatakan bahwa terdapat
tiga status pengusahaan yang berbeda yaitu Perkebunan Besar Swasta (PBS),
Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Rakyat (PR). PBS lebih unggul
dalam memproduksi tebu dibandingkan dengan PBN dan PR.
Provinsi Lampung menduduki peringkat pertama dalam memproduksi gula
dengan rincian yaitu luas areal tanam seluas 96.876 ha dengan luas panen 96.766
ha yang menghasilkan produksi gula hablur sebanyak 616.080 ton dengan
produktivitas 6.367 kg/ha. Industri swasta di Provinsi Lampung berpotensi dalam
memproduksi gula, ditunjukkan dengan banyaknya luas areal yang dimiliki dan
produktivitas yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Proses produksi yang dilakukan di pabrik gula tidak hanya menghasilkan gula saja,
tetapi terdapat produk sampingan berupa limbah.
Limbah merupakan produk buangan yang terbuang percuma dan jarang di
manfaatkan, sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan yang secara tidak
langsung akan menambah pengeluaran pabrik gula. Proses pembuatan gula dari
tebu menghasilkan beberapa jenis limbah atau produk samping. Menurut Pusat
Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI, 2008) komposisi rata-rata hasil dari
pengolahan tebu industri di Indonesia terdiri dari limbah cair sebesar 52,9 persen,
ampas tebu (Bagasse) sebesar 32 persen, gula sebesar 7,05 persen, tetes sebesar 4,5
persen, blotong sebesar 3,5 persen, dan abu sebesar 0,1 persen. Satu ton tebu dapat
menghasilkan sekitar 300 kg bagasse dan satu ton bagasse bisa untuk
membangkitkan listrik dengan cogeneration sebesar 220-240 KWh (Agrofarm,
2014). Industri gula yang berada di luar Pulau Jawa khususnya, di pandang
memiliki hasil Bagasse yang cukup melimpah.
Bagasse merupakan limbah selulosik yang banyak sekali potensi
pemanfaatannya. Bagasse dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak
berserat. Dalam prosesnya, bagasse harus mengalami perlakuan fisik dan biologis
terlebih dahulu karena tekstur ampas tebu yang keras, nilai gizi yang rendah dan
rendahnya kecernaan membuat penggunaan pakan dari bagasse kurang baik.
Bagasse memiliki kadar pentosan cukup tinggi, yaitu sebesar 18,86 persen dengan
kadar air sebesar 6,76 persen, sehingga memungkinkan ampas tebu untuk diolah
menjadi furfural. Pembuatan fulfural belum ada di Indonesia, selama ini Indonesia
masih mengimpor fulfural dari Cina (Andaka, 2011). Berdasarkan riset yang
dilakukan selama tiga tahun (1999-2002), PT PG Rajawali II menemukan bahwa
bagasse merupakan bahan yang lebih baik dibandingkan jerami atau jagung, untuk
menggantikan asbesdalam pembuatan kanvas rem (Pratama, 2011).
Bagasse juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos,
pulp, dan particle board namun dalam pembuatannya, pabrik gula memerlukan 3
penambahan peralatan, tenaga kerja dan bahan tambahan lainnya sehingga sangat
jarang perusahaan yang memanfaatkan bagasse dengan mengolahnya sendiri.
Perusahaan gula cenderung menjual bagasse secara langsung dengan harga
Rp50/kg. Etanol, CMC (carboxymethyl cellulose), dan bahan penyerap (adsorbent)
zat warna juga merupakan hasil pengolahan bagasse yang masih dalam taraf
penelitian (Misran, 2005).
Beberapa pabrik gula hanya memanfaatkan bagasse sebagai bahan baku
pembuatan kompos dan bahan bakar pada katel uap (boiler), pemanfaatan bagasse
tersebut masih dalam skala kecil sehingga hanya menghabiskan bagasse sedikit.
Penggunaan bagasse yang sedikit sebagai bahan bakar pada boiler menyebabkan
jumlah limbah bagasse yang menumpuk dan dapat menimbulkan masalah dalam
penyimpanannya. Salah satu cara perusahaan dalam menangani limbah bagasse
adalah dengan cara dibakar. Pembakaran bagasse oleh pabrik dapat menyebabkan
pencemaran udara dan menyebabkan kebakaran pada pabrik.
Kasus kebakaran yang pernah terjadi pada beberapa pabrik gula diantaranya
PG Cukir (11 November 2013), PTPN X (2 Februari 2015), PG Candi (31 Juli
2015), PG Rajawali (10 September 2015) dan PT LPI (5 Januari 2017). Kebakaran
tersebut disebabkan oleh kurangnya kepedulian perusahaan terhadap penanganan
bagasse (Dinata, 2017). Salah satu kontribusi perusahaan industri gula terhadap
penekanan dampak pencemaran lingkungan adalah dengan memanfaatkan limbah
bagasse sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
Saat ini bagasse digunakan sebagai salah satu sumber energi alternatif
pengganti fosil dalam pembuatan energi listrik. Kementerian Energi dan Sumber
Daya 4 Mineral (2015) menunjukkan rasio elektrifikasi kelistrikan nasional hingga
akhir tahun 2014 yang tercatat hanya sebesar 84,35 persen. Kondisi tersebut dinilai
belum cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Menurut pasal 11 ayat
(1) UU 30 Tahun 2009, tidak hanya BUMN saja yang berhak untuk melakukan
usaha penyediaan tenaga listrik, namun sekarang BUMD, badan usaha swasta,
koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga
listrik juga punya hak yang sama dalam hal melakukan usaha penyediaan tenaga
listrik. Jumlah bagasse yang melimpah dan sukar disimpan memberikan peluang
perusahaan industri gula untuk terus dapat memanfaatkan ketersediaan bahan bakar
tersebut untuk diolah menjadi listrik.
Pemanfaatan limbah di PT Gunung Madu Plantations dianggap cukup
optimal dibuktikan dengan pengolahan bagasse sehingga terpenuhinya kebutuhan
akan listrik secara mandiri dan menghasilkan surplus listrik, oleh sebab itu pada
tahun 2015 PT GMP menerima penghargaan energi. Menurut Direktorat Jenderal
Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE, 2015) penghargaan
tersebut merupakan apresiasi pemerintah untuk menghargai jasa perusahaan yang
berjasa dan berdampak besar dalam kegiatan usaha pengembangan, penyediaan dan
pemanfaatan energi dengan prinsip diversifikasi atau konservasi energi dengan
menghasilkan produk nyata sebagai hasil inovasi dan pengembangan teknologi
baru.Tidak hanya itu, PT GMP juga bersertifikat PROPER (Program Penilaian
Peringkat Kinerja Perusahaan dalam pengelolaan Lingkungan Hidup) hijau, Itu
artinya perusahaan telah berupaya dalam pengendalian pencemaran atau kerusakan
lingkungan hidup dan mencapai hasil lebih baik dari persyaratan yang ditentukan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.
PT Gunung Madu Plantations merupakan pionir industri gula di Lampung
yang menerapkan teknologi maju di kebun dan di pabrik termasuk pemanfaatan
produk sampingan yang berupa limbah. PT GMP memanfaatkan limbah padatnya
yang berupa bagasse sebagai bahan bakar boiler sumber utama bahan pembangkit
listrik. Bagasse di manfaatkan sebagai bahan bakar 4 unit boiler dengan kapasitas
terpasang masing-masing No.1= 120 ton/jam; No.2= 120 ton/jam; No.3= 80
ton/jam; No.4= 120 ton/jam. Energi potensial uap yang dibangkitkan digunakan
untuk menggerakkan 4 buah back pressure turbo-alternator yang masing-masing
mampu membangkitkan tenaga listrik sebesar 5MW, menggerakkan turbin uap
penggerak unit preparasi (cane cutter dan shredder) dan unit ekstraksi (gilingan).
Pada masa tidak giling (off-season) boiler4 tetap beroperasi dan memanfaatkan
bahan bakar bagasse kelebihan dari masa giling untuk melayani kebutuhan uap
penggerak turbine generator dalam memenuhi kebutuhan listrik perumahan divisi I
s/d divisi VII, perkantoran, maintenance peralatan di pabrik dan pompa irigasi
pertanian.
Upaya pengendalian pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup dengan
cara memanfaatkan limbah bagasse menjadi energi listrik merupakan tindakan
alternatif yang menguntungkan bagi perusahaan. Oleh karna itu diperlukan
pengetahuan tentang analisis pengolahan bagasse di PT Gunung Madu Plantations.

1.2. Rumusan Masalah


Permasalahn dalam penelitian ini adalah pemanfaatan dalam upaya
penanganan limbah padat yang dihasilkan oleh Pabrik Gula Madukismo, yang
antara lain sebagai berikut :
1. Apa saja manfaat dari limbah padat yang telah ditangani itu?
2. Kandungan apa saja yang ada didalam limbah padat blotong sehingga bisa
digunakan sebagai pupuk ?

1.3. Tujuan
Tujuan dari pengolahan limbah padat blontong ini adalah :
1. Mengetahui manfaat yang diperoleh dari penanganan limbah padat
pada Pabrik Gula.
2. Mengetahui kandungan yang ada didalam limbah padat blotong
sehingga bisa digunakan sebagai pupuk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ampas Tebu Bernilai Ekonomis


Kemampuan alam untuk mengelola limbah semakin berkurang karena terlalu
banyaknya limbah yang harus ditampung melebihi daya tampung lingkungan, dan
kemampuan alam menyediakan kesenangan juga semakin berkurang karena banyak
sumber daya alam dan lingkungan yang telah diubah fungsinya atau karena meningkatnya
pencemaran. Limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan atau proses produksi. Limbah
dapat dibedakan berdasarkan nilai ekonomisnya dapat digolongkan dalam 2 golongan
yaitu (1)Limbah yang memiliki nilai ekonomis, limbah yang dengan proses lebih
lanjut/diolah dapat memberikan nilai tambah. (2)Limbah non ekonomis, limbah yang
tidak akan memberikan nilai tambah walaupun sudah diolah, pengolahan limbah ini
sifatnya untuk mempermudah sistem pembuangan(Suparmoko dan Suparmoko, 2000).

Bagasse merupakan limbah selulosik yang banyak sekali potensi pemanfaatannya.


Bagasse dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak berserat. Dalam prosesnya,
bagasse harus mengalami perlakuan fisik dan biologis terlebih dahulu karena tekstur
ampas tebu yang keras, nilai gizi yang rendah dan rendahnya kecernaan membuat
penggunaan pakan dari bagasse kurang baik.

Upaya mengatasinya dengan melakukan pemecahan ikatan lignin selulosa dan


hemiselulosa pada ampas tebu. Pemasakan ampas tebu dengan kadar air 30% pada
tekanan 1,5 kg/cm2 menggunakan autoclave dan fermentasi menggunakan starter
berupa kapang Trichodermaviride mampu menurunkan kadar serat dinding sel
(NDF/Neutral Detergent Fiber) dan kadar selulosa pada ampas tebu sehingga sesuai
digunakan sebagai pakan ternak berserat (Christiyanto, 2005).

Bagasse memiliki kadar pentosan cukup tinggi, yaitu sebesar 18,86% dengan kadar
air sebesar 6,76% (Andaka, 2011), sehingga memungkinkan ampas tebu untuk diolah
menjadi furfural. Hasil studi menunjukkan yield furfural mencapai titik maksimum pada
suhu 100 oC sebesar 5,07% dan yield furfural mencapai titik optimum pada waktu reaksi
hidrolisis selama 120 menit sebesar 5,67%. Furfural memiliki aplikasi cukup luas dalam
berbagai industri, seperti pengolahan minyak bumi, pembuatan nilon, pelapisan, farmasi,
dan serat sintetik. Pembuatan furfural belum ada di Indonesia, selama ini Indonesia masih
mengimpor furfural dari Cina(Wijanarko, 2006).

Berdasarkan riset yang dilakukan selama tiga tahun (1999-2002), PT PG Rajawali II


menemukan bahwa bagasse merupakan bahan yang lebih baik dibandingkan jerami atau
jagung, untuk menggantikan asbes dalam pembuatan kanvas rem (brake pad). Kanvas rem
jenis ini belum banyak diminati karena kotoran dari pengikisan kampas berwarna hitam
dapat mengotori pelek, harganya pun lebih mahal dan tidak pakem pada panas tinggi
(Pratama, 2011). Bagasse juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp, dan particle
board. Etanol, CMC (carboxymethyl cellulose), dan bahan penyerap (adsorbent) namun
masih dalam taraf penelitian (Misran, 2005).

Menurut hasil penelitian Saputra (2010), memanfaatkan limbah industri gula


berupa ampas tebu (bagasse) sebagai bahan bakarPLTU bernilai ekonomis bila
dibandingkan dengan PLTU batu bara dalam hal biaya modal dan biaya bahan bakar.
Selain itu, dengan harga jual Rp 795,00/ KWh, dengan suku bunga 6%, biaya modal untuk
pembangunan PLTU Ampas tebu ini dapat kembali setelah 17 tahun.Jenis konversi energi
pembangkit listrik dengan menggunakan biomassa, mempunyai biaya pembangkitan yang
sedikit relative lebih murah dibanding dengan PLTU batubara karena PLTU biomassa
menggunakan bahan bakar limbah ampas tebu, sehingga biayanya sangat murah. Selain
memiliki harga pembangkitan yang relative murah, biaya bahan bakar dari biomassa
merupakan energy renewable, sehingga tidak dapat habis.

2.2 Proses Pabrikasi Gula dari Tebu

Menurut Rifai (2015), proses pabrikasi gula dari tebu setelah tebu dipanen dan
sudah berada di halaman pabrik (cane yard) untuk diproses pada dasarnya dilakukan
dalam beberapa tahapan yaitu ekstraksi, pemurnian, penguapan, kristalisasi, sentrifugasi
dan penyelesaian.Diagram alir proses pabrik gula dengan sistem kogenerasinya
(lama)akan disajikan pada Gambar 1.

Diagram alir di bawah merupakan porses dan energi di pabrik gula dengan sistem
kogenerasi model lama yang sebagian masih ada di pabrik gula di Indonesia. Ampas tebu
dari proses ekstraksi digunakan sebagai bahan bakar di stasiun pembangkit untuk
menghasilkan energi uap dan energi listrik yang diperlukan untuk menjalankan semua
peralatan proses pabrikasi gula, hal ini diistilahkan sebagai sistem kogenerasi. Definisi dari
kogenerasi (co- generation) yaitu 10 memproduksi energi listrik dan energi termal secara
bersamaan dari suatu proses pembakaran bahan bakar. Pada proses di bawah, ampas
tebu dari stasiun ekstrasi digunakan sebagai bahan bakar boiler di stasiun pembangkit,
uap dari boiler sebagian digunakan untuk menggerakkan turbin alternator untuk
menghasilkan listrik dan sebagian digunakan oleh turbin penggerak gilingan di stasiun
ekstraksi.Uap tereduksi yang keluar dari turbin penggerak turbin alternator maupun
turbin penggerak gilingan digunakan sebagai pemanas baik di stasiun pemurnian,
penguapan dan kristalisasi.

Gambar 2.1. Diagram alir proses pabrik gula dengan sistem kogenerasi lama (Rifai,
2015).
Potensi surplus listrik dari proses pabrikasi gula dari tebu dapat dicapai bila
pembangkitan, distribusi dan penggunaan energi baik energi uap maupun energi listrik
dilakukan lebih efisien. Pemilihan skema dan peralatan proses yang digunakan sangat
menentukan pencapaian efisiensi yang ingin dicapai. Terdapat beberapa pilihan skema
proses yang dapat diterapkan di pabrik gula untuk meningkatkan efisiensi energi, yaitu:

a. Stasiun penguapan menggunakan sistem quintiple, yaitu sistem penguapan multi efek
dengan jumlah efek sebanyak 5. Semakin banyak jumlah efek maka semakin ekonomis
penggunaan uap, hal ini telah diteliti oleh Norbert Rillieux di Lousiana (US) dan
dipatenkan pada tahun 1840 dimana pada prinsip pertama Rillieux pada penguapan
multi efek menyatakan bahwa dalam penguapan sistem multi efek dengan jumlah N
efek maka 1 kg uap akan dapat menguapkan sejumlah N kg air.
b. Mengoptimalkan penggunaan uap bleeding, yaitu penggunaan uap hasil penguapan
nira di stasiun evaporator untuk digunakan sebagai media pemanas di pemanas nira
(juice heater) dan media pemanas di stasiun kristalisasi (masakan). Hal ini sesuai
dengan prinsip Rillieux yang kedua yaitu bila sejumlah uap diambil dari efek ke i dari
penguapan multi efek sebanyak N efek dan digunakan sebagai pemanas ditempat lain
maka akan mendapatkan penghematan uap sebanyak i/N dikalikan dengan jumlah uap
yang digunakan.
c. Mengganti mesin-mesin penggerak turbin uap (steam turbine drive) terutama untuk
penggerak gilingan dengan mesin penggerak yang lebih efisien seperti
penggerakelektromotor (electrical drive) atau penggerak hidraulik (hydraulic drive).
Peter Rein(2007), mengungkapkan bahwa efisiensi energi penggerak turbin-turbin uap
dapat mencapai 70 – 75 persen, sedangkan penggerak elektro motor dapat mencapai
80 – 90 persen dan penggerak hidraulik berkisar 80 – 85 persen.
Dengan menerapkan skema dan pemilihan peralatan yang tepat maka dapat
diperkirakan jumlah penghematan energi yang akan diperoleh. Diagram alir proses di
pabrik gula dengan sistem kogenerasi terbaruakan disajikan pada Gambar 2. Diagram alir
tersebut menunjukkan bahwa semua ampas tebu dioptimalkan untuk menghasilkan listrik
di stasiun pembangkit dimana uap boiler difokuskan untuk menggerakkan turbin
alternator, semua mesin penggerak diganti dengan sistem elekromotor kemudian
kebutuhan uap pemanas dalam proses dicukupi dengan uap tereduksi yang keluar dari
turbin uap penggerak turbin alternator sebagai penghasil listrik.
Gambar 2.2. Diagram alir proses di pabrik gula dengan sistem kogenerasi terbaru (Rifai,
2015)
Gambaran umum proses dan sistem pembangkit yang digunakan di pabrik gula disajikan
pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3.Gambaran umum proses dan sistem pembangkit yang digunakan di pabrik
gula (Rifai, 2015).
Tebu sebagai bahan baku produksi diproses pertama kali di stasiun gilingan untuk
diambil cairan gula (nira) dengan dibantu penambahan air imbibisi. Nira tebu dari stasiun
gilingan yang diperoleh selanjutnya diproses untuk menghasilkan produk gula, hasil
samping stasiun gilingan berupa bagasse digunakan sebagai bahan bakar boileruntuk
menghasilkan uap baru yang digunakan sebagai energi penggerak turbin-turbin baik
turbin generator maupun turbin penggerak gilingan.Uap sisa yang keluar dari turbin-
turbin tersebut yang disebut dengan uap bekas kemudian digunakan sebagai pemanas di
dalam produksi (Rifai, 2015).

2.3 Sistem Kogenerasi di Pabrik Gula


Kogenerasi adalah memproduksi energi listrik dan energi termal secara bersamaan
dari suatu proses pembakaran bahan bakar. Proses kogenerasi ini merupakan sebuah sub
sistem tersendiri dari pabrik gula, oleh karena itu dalam sub sistem ini juga terdapat
peluang untuk peningkatan efisiensi.Efisiensi penggerak gilingan Ampas Bahan Baku Tebu
Tebu Gilingan Uap baru untuk penggerak Turbin Penggerak Gilingan Boller (Kabel) Bahan
Bakar Ampas Uap baru untuk penggerak Turbin Generator Proses Produksi Gula Air
Imbibisi Nira Tebu Uap Bekas untuk Proses Uap Baru Air Ketel (BFW) Stasiun Gilingan
Stasiun Pembangkit Listrik untuk Kebutuhan Pabrik 14 dengan motor dapat lebih tinggi
dari efisiensi penggerak gilingan dengan mesin uap, kemudian dari sisi distribusi energi
listrik juga lebih efisien dibandingkan distribusi energi dalam bentuk uap. Oleh karena itu
efisiensi sistem kogenerasi di pabrik gula dapat ditingkatkan dengan merubah sebagian
besar energi uap dari boiler untuk diutamakan menghasilkan listrik dan mengganti turbin
penggerak gilingan dengan elektromotor.Sistem kogenerasi di pabrik gula saat ini
umumnya terdiri dari boiler sebagai penghasil uap dengan bahan bakar ampas kemudian
uap dari boiler tersebut sebagian digunakan untuk menggerakkan turbin alternator
(generator) untuk menghasilkan listrik dan sebagian digunakan untuk menggerakkan
turbin penggerak gilingan (Rifai, 2005).Sistem kogenerasi di pabrik gula yang saat ini
umum digunakan akan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 2.4.Sistem kogenerasi di pabrik gula yang saat ini umum digunakan (Rifai,
2015).

2.4 Proses Konversi Energi dari Ampas Tebu Menjadi Energi Listrik
Energi listrik dapat diperoleh dengan melalui proses yang bertahap dari sumbar
bahan bakar menjadi energi listrik. Proses konversi energi dari ampas tebu menjadi energi
listrikakan disajikan pada Gambar 5. Ampas tebu dimasukkan ke dalam furnace chamber
melalui bagian atas lalu ampas tebu tersebut dimasukkan BOILER BOILER Gilingan Uap
bekas 1-2 Bar T/A (bp) Listrik Untuk proses Uap baru + 20 bar 15 ke dalam furbace
chamber dengan menggunakan grate sehingga ampas tebu benar-benar terbakar
sempurna. Ampas tebu yang terbakar sempurna itu jatuh ke bagian bawah furnace
chamber.
Boiler terdiri dari dua drum yang berada di bagian atas dan berada di bagian bawah.
Dua drum tersebut dihubungkan dengan pipa yang melewati bagian dalam furnace
chamber, sehingga air dari drum bawah yang dialirkan ke drum bagian atas akan langsung
menjadi uap saat pipa melewati bagian dalam furnace chamber. Uap yang dihasilkan
tersebut lalu dialirkan ke drum bagian atas. Uap yang dihasilkan bersuhu 325°C dengan
tekanan sedang, yaitu 18 kg/cm2 lalu, uap yang dihasilkan ditimbun terlebih dahulu di
Steam Header, supaya terkumpul banyak, lalu setelah itu digunakan untuk memutar
turbin.
Turbin yang berputar dengan kecepatan yang cukup tinggi direduksi kecepatan
putarnya oleh reduction gear yang dipasang antara turbin dan generator sehinggga
diperoleh sinkronisasi kecepatan antara turbin dan generator. Generator yang
berputarakan menimbulkan medan listrik sehingga akan membangkitkan tenaga listrik.
Siklus yang tepat digunakan untuk system pembangkit biomassa ampas tebu adalah siklus
topping dengan uap exhaust yang dihasilkan bertekanan rendah. Uap bertekanan rendah
tersebut digunakan untuk menggerakkan mesin uap pada penggilingan satu, dua dan tiga
serta digunakan untuk proses pembuatan gula.

Gambar 2.5. Proses konversi energi dari ampas tebu menjadi energi listrik
(Saputra, 2010).
BAB III
ISI

1.1 Metode Teknologi


3.1.1 Persiapan Membuat Pupuk Organik dari Blotong
Proses pembuatan pupuk organik dari blotong harus mempersiapkan alat dan
bahannya terlebih dahulu. Berikut penjelasannya :
 Untuk peralatan, bisa menggunakan beberapa jenis peralatan kebun seperti
cangkul, sekop, wadah berupa ember ataupun baskom, dan alat pemotong.
 Untuk baskom ataupun ember bisa disesuaikan dengan banyaknya jumlah
pupuk yang ingin anda buat.
 Setelah peralatan siap, dalam pembuatan pupuk harus menyiapkan bahan-
bahan yang akan digunakan.
 Ada dua jenis bahan yang harus disiapkan, pertama yaitu bahan penunjang
berupa kotoran ternak. Untuk kotoran ternak yang baik yaitu kotoran sapi
ataupun kerbau.
 Adapun bahan utama dalam pembuatan pupuk yaitu blotong tebu, bahan
utamanya didapatkan dari pabrik gula.
 Biasanya blotong yang sudah tidak dipakai akan diberikan dengan Cuma-
Cuma oleh pabrik sehingga akan sangat ekonomis.
 Lakukan proses pengeringan terlebih dahulu.
 Letakkan karung beras di atas lahan kosong ataupun halaman rumah, dimana
sinar matahari mengenainya secara langsung.
 Letakkan blotong di atas karung beras bekas, biarkan beberapa hari hingga
blotong benar- benar mengering.
 Tujuan mengeringkan blotong, selain untuk menghilangkan kadar air juga
untuk menghilangkan bau.
 Setelah kering, potong-potong dan cincang blotong menjadi potongan-
potongan kecil dan masukkan ke dalam wadah berupa baskom ataupun ember.
 Selain blotong kering, dalam pembuatan pupuk juga harus menyediakan abu
ketel, campuran bakteri, fungi, kotoran ayam, dan aktinomisetes sebagai bahan
campuran dalam pengomposan nantinya.
3.1.2 Pembuatan pupuk (Kompos)
Cara pembuatan pupuk organik dilakukan dengan
 menyiapkan tempat selebar 1,5 m dan panjang 2 m. Serta membuat
parit-parit untuk aliran air di sekitar tempat pengomposan.
 Kemudian sebagian bahan baku utama (limbah industri gula dan limbah
ternak) dicampur dengan bahan yang lain secara merata dan dibuat 1
lapisan setebal ± 25 cm.
 Perbandingan campuran arang ampas tebu dan/atau blotong; arang
sekam dan kotoran ternak adalah 3:1:1. Dalam hal ini arang ampas tebu
dicampur blotong karena di sekitar pabrik gula tumbu arang tidak bisa
diambil tersendiri melainkan selalu tercampur dengan blotong.
Disamping itu adanya blotong dapat menambah kandungan Nitrogen
dari pupuk organik yang akan dibuat Pada permukaan lapisan, Siram
dengan air yang telah diberi bibit kompos/starter (jumlah starter adalah
100 ml/10 tutup botol untuk 10 liter air) sampai campuran berkadar air
kurang lebih 60%. Lakukan hal yang sama dengan membuat lapisan
kedua dan seterusnya sampai bahan habis. Media bahan kompos yang
telah disusun, ditutup dengan terpal/plastik hitam yang agar bila hujan
turun, proses pembuatan tidak terpengaruh sekaligus menghindarkan
dari sinar matahari secara langsung selain itu penutupan juga berfungsi
untuk menjaga suhu agar mikrobia dekomposer dapat aktif bekerja.,
bagian luar lapisan ditutup dengan terpal/plastik hitam dan cek suhu
selama 4 hari berturut-turut. Apabila suhu melebihi 50 oC balik
campuran itu sehingga posisi terbalik (lapisan atas menjadi lapisan
bawah). Pembalikan dilakukan setiap hari pada 4 hari pertama,
mengingat proses dekomposisi bahan sedang berlangsung sehingga
suhu menjadi tinggi ( 60oC) dan selanjutnya pembalikan dilakukan satu
minggu sekali . Penyiraman dilakukan bila diperlukan.Ulangi lagi
proses pembalikan dan diamkan selama seminggu. Demikian
seterusnya. Apabila campuran bahan organik sudah tidak berbau, suhu
stabil mendekati suhu ruang dan sudah berwarna coklat kehitaman
seperti tanah biasa serta mudah dihancurkan, berarti pupuk organik
sudah jadi dan siap untuk digunakan.
Sebelum pelaksanaan proses, ada beberapa hal yang harus dilakukan yaitu
mengkalibrasi pengatur laju alir gas N2 (flowmeter) dan mengukur laju minimum
fluidizied reaktor.
1. Kalibrasi Flowmeter
Tujuan dari kalibrasi flowmeter ini adalah untuk menghitung berapa banyak gas
yang keluar dalam tiap waktunya pada tiap skala rotameter. Rotameter adalah
alat pemutar pada flowmeter yang ditunjukkan pada skala dimulai dari 0-150
L/m oleh bandul pemberat yang terdapat didalamnya. Jika angka pada bandul
pemberat berada pada angka 20, menunjukkan bahwa skala rotameter adalah 20
dan bukan menunjukkan laju alir gas sebesar 20 mL/menit. Pada peralatan ini
terdapat tiga flowmeter yang pengaturannya diatur oleh tiga rotameter yang
berbeda. Untuk penelitian ini yang dipakai hanya dua flowmeter saja, yaitu
flowmeter di sebelah kiri (flowmeter 1) dan flowmeter di sebelah kanan
(flowmeter 2). Flowmeter 1 mengalirkan gas N2 dari tangki menuju bagian
feeder. Gas di bagian ini juga befungsi untuk mendorong umpan biomasa yang
masuk ke dalam reaktor melalui pipa reaktor. Dalam aplikasinya, flowmeter ini
dapat digantikan oleh electric motor (stirrer). Pada flowmeter 2 mengalirkan gas
N2 dari tangki menuju ke bagian bawah reaktor. Gas ini bertujuan untuk mem-
fluidizied pasir yang berada dalam reaktor. Keberadaan pasir ini bertujuan agar
panas di dalam reaktor tersebut tersebar merata. Cara mengkalibrasinya adalah
sebagai berikut:
a. Menyiapkan semua peralatan kalibrasi dimulai dari tabung gas N2, flowmeter,
rotameter, buble soap colum, dan stopwatch.
b. Membuka tabung gas N2 hingga mencapai tekanan 8 bar.
c. Membuka valve pada f1 yang berskala 0-150. Masing-masing nilai skala,
kita kalibrasi agar mendapat berapa jumlah laju alir gas N2 tiap waktunya.
d. Jika sudah ada gas N2 yang mengalir, maka selanjutnya menghitung laju alir
buih sabun yang mengalir pada bubble soap column.
e. Mencatat waktu yang didapat untuk tiap skala bubble soap. Jika pada tiap skala
flowmeter sudah didapatkan nilai laju alir gas N2 yang mengalir tiap
waktunya, maka untuk selanjutnya kita dapat melakukan proses fast pyrolysis.
2. Mengukur laju alir gas N2 minimum untuk mem-fluidizied pasir di dalam
reaktor.
Di dalam reaktor terdapat pasir yang digunakan untuk menyebarkan panas secara
merata di dalam reaktor. Pengukuran laju alir gas N2 minimum bertujuan untuk
mengetahui berapa laju alir gas N2 yang didapat untuk menggerakkan/
menyebarkan pasir sedikit saja di dalam reaktor. Dengan mengetahui laju
minimum ini, maka ketika dilakukan percobaan kita harus menset laju alir gas
N2 diatas nilai minimum yang sudah ditentukan. Jika tidak, maka proses
penyebaran panas di dalam reaktor tidak akan merata dikarenakan pasir tidak
bergerak (bubbling).

3.1.3 Pembuatan Biooil


Pembuatan biooil dilakukan dengan cara fast pyrolysis pada biomasa limbah
kelapa sawit yang sudah berukuran 0,1-2 mm. Umpan biomasa dimasukkan ke
dalam reaktor sebanyak 2-3 g/menit dengan dibantu dorongan gas N2. Proses di
dalam reaktor ini akan berlangsung cepat. Diharapkan dengan waktu tinggal yang
cepat ini akan mendapatkan produk cair yang lebih banyak. Sebelum dilakukan
proses Fast Pyrolysis, kami akan mencoba melakukan pirolisis secara konvensional,
yaitu dengan cara memasukkan langsung umpan biomasa ke dalam reaktor yang
kemudian dibakar. Proses ini caranya sama dengan proses pembuatan arang. Tujuan
dilakukannya proses ini adalah untuk memastikan apakah reactor sudah bisa
digunakan dan layak untuk proses fast pyrolysis. Apabila pembakaran ini
menghasikan produk cair walaupun tidak terlalu banyak, maka peralatan
diindikasikan sudah dapat dipakai untuk proses fast pyrolysis. Proses pembuatan
biooil mempunyai tahapan sebagai berikut:
a. Persiapan bahan
1. Menyiapkan bahan-bahan yang akan digunakan sebelum reactor dinyalakan,
yaitu berupa biomasa dari bagian-bagian kelapa sawit (tandan, cangkang,
daun, batang, pelepah). Umpan biomasa ini dimasukkan ke dalam feeder
bagian atas.
2. Menyiapkan bahan pendingin. Pada penelitian ini digunakan oil bath fischer
sehingga suhu air pendingin dapat diset sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya
pompa air dinyalakan untuk mengalirkan air dingin yang mengalir dari ember
ke pendingin spiral.
3. Menyiapkan gas N2 sebagai gas carrier ketika proses berlangsung.
4. Memasukkan pasir ke dalam reaktor dengan tinggi sekitar 8 cm.
b. Reaksi Fast Pyrolysis
1. Jika semua bahan dan persiapan proses sudah siap, selanjutnya mulai menyetel
temperatur yang diinginkan pada kontrol temperatur yang berada di panel.
2. Membuka kecil valve flowmeter dengan tujuan penyebaran panas di dalam
reaktor dapat merata.
3. Jika temperatur dari reaktor sudah sama dengan temperatur setelan, maka laju
alir gas N2 diperbesar sesuai dengan setelan yang kita buat.
4. Memasukkan umpan dari feeder yang dibantu dengan menggunakan pengaduk
berputar yang dibantu oleh motor penggerak.
5. Membiarkan proses fast pyrolysis berlangsung sampai umpan di feeder habis.
Proses ini dapat terjadi pada rentang waktu 1⁄2 -1 jam, tergantung dari kondisi
umpan biomasa saat dimasukkan ke dalam reaktor.
6. Umpan yang dimasukkan ke dalam reaktor diputar dengan menggunakan
motor penggerak dengan laju 0,2 gram/menit.
7. Hasil dari proses ini akan menghasilkan arang yang langsung dipisahkan dari
produk lain berupa biooil.

3.1.4 Kondensasi Uap


Kondensasi uap adalah proses pendinginan uap hasil proses fast pyrolysis
yang berupa biooil. Proses pendinginan ini akan dilakukan dengan dua kali proses
pendinginan. Pendinginan pertama adalah dengan dry ice yang berada pada
pendingin kotak dan yang kedua adalah air dingin yang berada pada pendingin
spiral. Tujuan dari dua kali pendinginan ini adalah untuk mendapatkan banyak
produk yang terkondensasi.
Gambar 3.1 Skema Peralatan Proses Fast Pyrolysis

3.2 Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data


Produk cair yang didapat selanjutnya akan dianalisis karakteristik fisika dan
kimianya. Karakteristik yang diuji yaitu berupa berat jenis, viskositas, pH,
kandungan sulfur, nilai kalor HHV, kandungan gugus fungsi, dan kandungan unsur
dasar C, H, O, dan N.

3.3 Hasil Proses Pengolahan Melalui Fast Pyrolysis


Proses fast pyrolysis ini dipengaruhi oleh suhu. Dengan kondisi operasi
pada condenser dengan suhu konstan 17°C dan ukuran partikel 0.1-2 mm. pada suhu
yang ditetapkan, maka akan didapatkan produk cair dari jenis kelapa sawit dengan
jumlah dan persentase yang berbeda, dan diperoleh hasil terbesar atau optimum
biooil. Semakin banyak kandungan biopolymer yang dimiliki oleh biomasa, maka
akan semakin banyak jumlah perengkahan yang dihasilkan.

3.4 Evaluasi terhadap Teknologi Pengolahan yang Dilakukan


3.4.1 Evaluasi terhadap Dampak Lingkungan
Pengolahan limbah padat kelapa sawit (cangkang, tandan, dan serat)
menjadi bio-oil secara fast pirolisis sangat bermanfaat karena dapat menghasilkan
produk baru dan dapat mengurangi limbah tandan sawit yang bila tidak di olah atau
di biarkan saja dapat mencemari lingkungan. Sehingga dengan dilakukannya
teknologi pengolahan ini dapat mengurangi jumlah limbah padat yang dihasilkan
oleh industri minyak sawit ini.

3.4.2 Evaluasi terhadap Dampak Ekonomis


Dengan dilakukannya pengolahan limbah padat kelapa sawit ini dengan
menggunakan teknologi fast pyrolysis yang menghasilkan biooil yang dapat
digunakan untuk bahan bakar yaitu menghasilkan produk baru yang bernilai dan
dapat memberikan keuntungan bagi pabrik ketika diolah.

3.4.3 Evaluasi terhadap Dampak Sosial


Proses pengolahan limbah padat ini melalui teknologi fast pyrolysis mampu
memberikan dampak positif pada masyarakat. Karena dengan melakukan teknologi
ini maka produk dapat digunakan oleh masyarakat untuk menjadi bahan bakar dan
dapat memberikan pengaruh yang baik karena tidak terganggunya masyarakat
dengan limbah yang apabila tidak diolah semestinya.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Jumlah selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang terkandung dalam kelapa
sawit, berpengaruh pada jumlah biooil yang akan dihasilkan karena
kandungan biopolimer yang dimiliki cangkang (jumlah selulosa,
hemiselulosa, dan lignin) paling besar diantara kedua umpan lainnya yakni
sebesar 94,2%.
2. Semakin banyak kandungan biopolimer yang dimiliki biomasa, maka akan
semakin banyak jumlah perengkahan yang dihasilkannya
3. Proses fast pyrolysis akan menghasilkan konversi produk cair pada suhu
550°C untuk limbah padat cangkang dan tandan dengan hasil optimum
mencapai 50,7-62 %.

4.2 Saran
1. Memakai katalis agar reaksi dapat diarahkan menuju komponen penyusun
bahan bakar tertentu.
2. Dilakukan penempatan produk cair pada kondisi yang rendah, untuk
menjaga agar produk cair yang bersifat volatile tidak menguap.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson dan Khalid (2000) Decomposition processes and nutrient release patterns
of oil palm residu Journal of Oil Palm Research, 12, 46-63.

Angga, Y dan K. Kartika. 2005. Pembuatan Briket Bioarang dari Arang Serbuk
Gergaji Kayu Putih. Laporan Skripsi. Teknik Kimia Universitas
Diponegoro.

Arif, E., Mire, B., Amaliyah, R. & Zain, M. 2012. Pengaruh Dimensi Partikel Arang
Kulit Kakao Terhadap Mutu Briket sebagai Energi Alternatif. Skripsi.
Universitas Hasanuddin. Sulawesi Selatan.

Bain dan Richard, L. (2004) An introduction to biomas thermochemical conversion.


DEO/NASLUGC Biomas and Solar Energy Workshop. August 3-4. Beis, S.
H., Onay, O., Kockar, O. M. (2002) Fixed bed pyrolysis of safflower seed:
influence of pyrolysis parameter on product yields and compositions,
Journal Renewable Energy, 26, 21-32.

Fei Ling Pua, Zakaria, S., Chia, C.H., Suet Pin Fan, Rosenau, T., Liebner, F. 2013.
Solvolytic Liquefaction of Oil Palm Empty Fruit Bunch (EFB) Fibres:
Analysis of Product Fractions Using FTIR and Pyrolysis-GCMS.Sains
Malaysiana. Volume 42. Nomer 6

Goyal, H. B., Seal, D., Saxena, R. C. (2006) Bio-fuels from thermochemical


conversion of renewable resources: A review, Renewable and Sustainable
Energy Reviews.

Ismayana, A. Dan Afriyanto, M.R. 2012. Pengaruh Jenis dan Kadar Bahan Perekat
Pada Pembuatan Briket Blotong Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Laporan
Penelitian. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB
Jamilatun S. 2011. Kualitas Sifat-sifat Penyalaan dari Pembakaran Briket
Tempurung Kelapa, Briket Serbuk Gergaji Kayu Jati, Briket Sekam Padi
dan Briket Batubara. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia
“Kejuangan”. Paris, O., C. Zollfrank, dan G. A. Zickler. 2005.
Decomposition and Carbonization of Wood Biopolymer Microstructural
Study of Wood Pyrolisis. Carbon. Vol.43. pp:53-66.

Rhen C., Gref R. Sjostrom M., Wasterlud I., 2005. Effect Raw Material, Moisture
Content, Densification Pressure and Temperature on Some Properties of
Norway Spruce Pellets. Fuel Processing Technology. Vol. 87. Pp: 11-16

Riseanggara R.R. 2008. Optimasi Kadar Perekat pada Briket Limbah Biomassa.
Bogor: Perpustakaan Institut Pertanian Bogor.

Surono, U.B. 2010. Peningkatan Kualitas Pembakaran Biomassa Limbah Tongkol


Jagung Sebagai Bahan Bakar Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan
Pembriketan.

Jurnal Rekayasa Proses. Vol. 4. No.1. pp: 13-18 Triono A 2006. Karakteristik
Briket Arang dari Campuran Serbuk Gergaji Kayu Afrika (Maesopsis
eminii Engl.) dan Sengon (Paraserianthes facataria L. Nielsen) dengan
Penambahan Tempurung Kelapa (Cocos nucifera L.) Skripsi. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan air, tanah, dan udara. Kadang
juga menimbulkan bau dan rasa yang tidak sedap.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen43 halaman
    Bab Ii
    Shinta
    Belum ada peringkat
  • File Judul
    File Judul
    Dokumen9 halaman
    File Judul
    Shinta
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    Shinta
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen5 halaman
    Daftar Pustaka
    Shinta
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen8 halaman
    Bab I
    Shinta
    Belum ada peringkat
  • BAB I KKKPPP
    BAB I KKKPPP
    Dokumen4 halaman
    BAB I KKKPPP
    Shinta
    Belum ada peringkat