Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan akibat
trauma di banyak negara berkembang.1 Cedera ini dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
(terbanyak), baik pejalan kaki maupun pengemudi kendaraan bermotor. Selain itu, cedera
kranioserebral dapat juga terjadi akibat jatuh, peperangan (luka tembus peluru), dan lainnya.
Akibat cedera ini, seseorang dapat mengalami kondisi kritis seperti tidak sadarkan diri pada saat
akut, dan yang tidak kalah penting adalah saat perawatan karena jika penatalaksanaannya tidak
akurat, dapat terjadi kematian atau kecacatan berat. 7
Cedera kepala mempunyai angka kejadian yang masih relatif tinggi. Data pasien trauma
kepala akibat kecelakaan maupun akibat tindak kekerasan yang dibawa ke instalasi gawat darurat
dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Di Amerika tiap tahunnya didapatkan 1.500.000 kasus
cedera kepala, sekitar 50.000 meninggal, dan 80.000 mengalami kecacatan. Saat ini terdapat
sekitar 5.300.000 warga Amerika yang mengalami cacat permanen karena kasus cedera kepala. 8
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan patologi yang dibagi dalam komosio serebri,
kontusio serebri, dan laserasi. Di samping patologi yang terjadi pada otak, mungkin terdapat juga
fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini ada yang di basis kranium, dan ada yang di temporal, frontal,
parietal, ataupun oksipital. Fraktur bisa terbuka atau tertutup, bisa linear, impresi/depresi.7
Fraktur Impresi adalah fraktur yang disebabkan dari cedera fokal akibat kekuatan yang
signifikan. Korteks dalam dan luar tengkorak terganggu dan sebuah fragmen tulang ditekan ke
dalam lebih dari melekatnya inner table.2
Pada suatu studi dengan 453 kasus pasien menderita fraktur impresi/depresi, didapatkan
insiden fraktur impresi/depresi tertinggi (56%) pada kelompok umur 16-45 tahun. Terdapat
dominasi kasus laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan rasio 7: 1. Mode cedera yang
paling umum tercatat sebagai serangan yang diduga (36%) dan wilayah parietal (34%) menjadi
situs yang paling umum. Sebagian besar kasus mengalami cedera ringan (62%) dengan skor
Glasgow Coma Scale 13-15. Persentase fraktur depresi murni adalah 57% dan sisanya 42%
dikaitkan dengan lesi intrakranial, yang mana lesi intracranial paling umum adalah kontusio
(25%). Infeksi luka superfisial diamati pada 38% pasien. Dari semua 453 pasien, 91% dilakukan

1
operasi dan sebagian besar dalam waktu 24 jam setelah operasi memiliki tingkat kematian
keseluruhan 17%.4
Meskipun telah ditemukan berbagai modalitas terapeutik untuk cedera kepala dengan
fraktur impresi/depresi, namun penyakit ini masih memiliki tingkat morbiditas dan mrtalitas yang
cukup tinggi. Maka dari itu penulis tertarik menulis referat mengenai fraktur impresi/depresi
tulang tengkorak.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Neuroanatomi
1. Kulit Kepala (SCALP)
Lapisan luar dari kepala yaitu terdiri dari skin, connective tissue, apenurosis, losse
connective tissue dan periosteum. Karena suplai darah kulit kepala yang banyak, laserasi
kulit kepala yang dapat menyebabkan kehilangan darah besar, syok hemoragik, dan
bahkan kematian. Pasien dengan lama waktu transportasi beresiko khusu untuk
komplikasi ini. 3
2. Tulang Tengkorak
Dasar dari tulang tengkorak tidak beraturan, dan permukaannya dapat menyebabkan
cedera ketika otak bergerak di dalam tengkorak selama percepatan dan perlambatan yang
terjadi selama persitiwa traumatis. Fossa anterior terdiri dari lobus frontal, fossa media
terdiri dari lobus temporal dan fossa posterior terdiri dari batang otak bagian bawah dan
cerebellum. 3
3. Kranium
Kranium atau tengkorak merupakan tulang penyusun kepala. Tulang sebenarnya
terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar
disebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula interna. Struktur
demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebi besar, dengan bobot yang
lebih ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisikan ateri meningea anterior,
media dan posterior. Terdapat dua bagian cranium, yaitu neurocranium dan
viscerocranium. Neurocranium terdiri atas calvaria dan basis cranii. Bagian eksternal
basis cranii terdiri atas arcus alveolaris os maxilla, processus palatina os maxilla, os
palatum, os sphenoidalis, vomer, temporal, dan os occipital. Bagian internal basis cranii
terdiri atas tiga fossa cranial, yaitu fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior. Fossa
anterior terdiri atas os frontalis pada bagian anterior dan lateral, os ethmoidalis pada
bagian tengah, dan os sphenoidalis pada bagian posterior. Bagian terbesar pada fossa
anterior dibentuk oleh orbital plates os frontalis, yang menyokong lobus frontal cerebri
dan membentuk atap orbita. Fossa media terdiri atas sella tursica yang terletak pada
3
permukaan atas corpus os sphenoidalis. Fossa posterior merupakan fossa cranii yang
terbesar dan terdalam. Di dalamnya terdapat cerebellum, pons, dan medulla oblongata.
Fossa posterior sebagian besar terdiri atas os occipital dan sebagian kecil dibentuk oleh os
sphenoidalis dan os temporalis. Pada fossa posterior terdapat lekukan yang dilalui oleh
sinus sigmoid dan sinus transversus. Pada bagian tengah fossa posterior terdapat foramen
magnum. 2,3,6
4. Meninges
Meninges menutupi otak dan terdiri dari tiga lapisan yaitu durameter, arachnoid dan
piameter. Duramater itu keras, membran fibrosa yang melekat kuat pada permukaan
internal tengkorak. Pada tempat tertentu, dura terbagi menjadi dua “leaves” yang
menutupi sinus vena besar yang menyediakan drainase vena utama dari otak. Sinus sagital
superior midline mengalirkan ke transversal bilateral dan sinus sigmoid, dimana biasanya
lebih besar pada sisi kanan. Laserasi dari sinus vena dapat menyebabkan perdarahan
masif. Arteri meningeal terletak di antara dura dan lapisan luar dari tengkoral pada ronga
epidural. Fraktur tengkorak diatasnya dapay menyebabkan laserasi arteri dan
menyebabkan epidural hematom. Arteri yang paling sering terkena trauma yaitu arteri
meningeal media, yang terletak di fossa temporal. Perluasan hematoma dari cedera arteri
di lokasi ini dapat menyebabkan kerusakan dan kematian yang cepat. Hematoma epidural
juga dapat terjadi akibat cedera pada sinus dural dan fraktur tengkorakm yang cenderung
meluas secara perlahan dan mengurasi tekanan pada otak yang mendasarinya. Namu,
sebagiab besar hematom epidural merupakan keadaan darurat yang mengancam jiwa yang
harus dievaluasi oleh ahli bedah syaraf sesegera mungkin. Dibawah dura adalah lapisan
meningeal kedua yaitu lapisan arachnoid dan tipis. Karena duramater tidak melekat pada
membran arachnoid yang mendasarinya, ada ruang potensial anatar lapisan-lapisan
tersebut (ruang subdural), dimana perdarahan dapat terjadi. Pada cedera ota, vena yang
menjembatani yang berjalan dari permukaan otak ke sinus vena dalam dura bisa robek
yang mengarah ke pembentukan hematoma subdural. Lapisan ketiga piameter (ruang
subarachnoid) yang melindungi otak dan sumsum tulang belakang. Perdarahan ke dalam
ruang tertutup ini (perdarahan subarachnoid) yang sering menyertai kontusio otak dan
cedera pembuluh darah utama di basis kranial. 2,3

4
5. Otak
Otak terdiri dari cerebrum, batang otak dan cerebelum. Cerebrum terdiri dari hemisfer
kanan dan kiri yang terpisahkan oleh falx serebri. Hemisfer kiri terdiri dari pusat bahasa
pada semua orang tangan kanan secara virtual. Lobus frontal mengatur fungsi eksekutif,
emosi, fungsi motorik, dan pada sisi dominan, ekspresi berbicara (area bicara motorik).
Lobus pariental berfungsi sesebagai sensorik langsung dan orientasi spasial, lobus
temporal mengantur fungsi memori, dan lobus oksipital mengatur pengelihatan.
Batang otak terdiri dari midbrain, pons dan medulla. Midbrain dan upper pons memiliki
retikuler aktivasi sistem, dimana bertanggung jawab sebagai tingkat kesadaran. Pusat
kardiorespirasi vital berada di medulla, dimana meluas ke tulang belakang. Walaupun lesi
kecil pada batang otak dapat terasosiasi dengan defisit neurologis yang berat.
Cerebellum, bertanggung jawab sebagai pusat koordinasi dan keseimbangan, berada
diposterior fossa dan terhubungan dengan tulang belakang, batang otak dan hemisfer
cerebral. 3
6. Sistem Ventrikel
Ventrikel adalah sistem CSF yang mengisi ruang dan aqueduct dari otak. CSF secara
konstan memproduksi dalam ventrikel dan mengabsosrbsi pada lapisan otak. Keberadaan
darah di CSF dapat mengganggu reabsorbsi, menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial. Edema dan lesi masa (contoh: hematoma) dapat menyebabkan pergeseran
2
dari ventrikel simestris, dimana dapat di lihat dari CT scan.

7. Kompartemen Intrakranial
Tentorium cerebeli membagi rongga intrakranial menjadi kompartemen supratentorial dan
infratentorial. Midbrain melewati celah yang disebut hiatus tentatif atau takik. Saraf
okulomotor (saraf kranial III) membentang di sepanjang tepi tentorium dan dapat menjadi
tertekan saat herniasi lobus temporal, Parasimpatis yang menyempitkan pupil terletak
pada permukaan saraf kranial ketiga, kompresi serat superfisial ini selama herniasi
menyebabkan dilatasi pupil karena aktivitas simpatis yang sering disebut dengan “blown”
pupil. Bagian dari otak yang biasanya mengalami herniasi melalui lekukan tentorial
adalah bagian medial lobus temporal, yang dikenal sebagai uncus. Herniasi unkal juga
menyebabkan kompresi saluran kortikospinal (piramidal) pada midbrain. Traktus motorik
5
menyilang ke sisi yang berlawanan pada foramen magnum, sehingga kompresi pada
midbrain akan menghasilkan kelemahan pada sisi yang berlawanan dari tubuh. Ipsilateral
pupil dilatas dihubungkan dengan hemiparese kontralateral pada tanda herniasi uncal. 3

Gambar 1. Neuroanatomi

6
Gambar 2. Anatomi Cerebrum

7
2.2 Fisiologi

1. Peningkatan tekanan intrakranial.


Peningkatan tekanan intrakranial dapat menurunkan perfusi serebral dan memnyebab
eksaserbasi iskemik. Normal ICP pada psien dengan hasil rata rata 10 mmHg.
Peningkatan lebih lebih dari 22 mmHg, diasosiasikan dengan prognosis yang buruk.3

2. Doktrin Monro Kellie


Doktrin Monro-Kellie simplel, tetapi konsep vital yang menjelaskan dinamika ICP.
Doktrin ini menyatakan bahwa volume total dari isi intrakranial harus tetap konstan,
karena cranium adalah wadah yang kaku yang tidak dapat berkembang. Ketika volume
intrakranial normal terlampaui, ICP naik. Darah vena dan CSF dapat di kompresi keluar
memberikan peningkatan tekanan. Jadi, sangat awal setelah trauma, massa seperti
gumpalan clot dapat meningkat ketika ICP normal. Namun, begitu batas perpindahan CSF
dan darah intravaskular telah tercapai ICP meningkat secara cepat. 3

Gambar 3. Doktrin Monro Kellie

8
3. Aliran Darah Cerebral
TBI yang cukup parah hingga menyebabkan coma dapat menurunkan cerebral blood flow
(CBF) selama beberapa jam pertama setelah cedera. CBF biasanya meningkat selama 2
hingga 3 hari kedepan, tetapu untuk pasien yang tetap koma, tetap dibawah normal selama
beberapa hari atau minggu setelah cedera. Semakin banyak bukti bahwa kadar CBF yang
tidak memenuhi kebutuhan metabolisme otak lebih awal setelah cedera, Iskemia serebral
regional, bahkan global adalah sering terjadi setelah cederan kepala yang hebat dimana
tidak diketahui dan tidak dimnegerti. Vaskulator otak serebral biasanya dapat secara
konstriktif dilatasi atau kontriksi pada respon perubahan pada rata arterial blood pressure
(MAP). Untuk tujuan klinis, tekanan perfusi serebral (CPP) didefinisikan sebagai tekanan
mean arteri minus tekanan intrakranial (CPP= MAP-ICP). Sebuah MAP dari 50-150 mm
Hg adalah autoregulasi yang mengantu CBF secara konstan (autoregulasi tekanan). TBI
berat dapat merusak tekanan autoregulasi pada poin yang dimata otak tidak secara
adekuat kompensasi atau perubahan CPP. Pada situasi ini apabila MAP sangat rendah,
iskemik dan infark yang akan dihasilkan. Apabila MAP sangat tinggi, menandakan
pembengkan terjadi dengan peningkatan ICP. Pembuluh darah cerebral juga berkontriksi
atau dilatas pada perubahan respon pada peningkatan tekanan parsial oksigen (PaO2) dan
tekaan parsial carbon dioxida (PaCO2) pada darah (regulasi kimia). Cederan kedua dapat
menyebabkan hipotensi, hipoxia, hipercapnia dan hipocapnia iatrogenik. Usaha untuk
meningkatkan perfusi serebral dan aliran darah dengan menurunkan peningkatan ICP,
mempertahankan volume intravaskular normal dan MAP, membuat kembali oksigen
normal dan ventilasi. Hematom dan lesi lainnya yang meningkatan intrakranial volume
harus di evaluasi terlebih dahulu. 3

9
2.3 Cedera Kepala

2.3.1 Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen. Menurut Brain
Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabakan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. 3, 4

2.3.2 Keparahan Cedera Kepala


The glasgow Coma Scale (GCS) skor digunakan sebagai penilaian objektif untuk
menghitung keparahan dari cedera kepala. Pasien dengan GC 8 atau kurang dari 8
menjadi dapat dikatakan koma atau cedera kepala berat. Pasien dengan cedera
keapala dengan GCS 9-12 dikategorikan sebagai cedera kepala sedang dan GCS
13-15 sebagai cedera kepala ringan. Untuk menilai GCS, ketika terdapat kanan/kiri
atau atas/bawah asimetris, pastikan menggunakan respon motorik terbaik untuk
menghitung GCS karena merupakan sebagai hasil yang terpercaya. 3 4

10
Tabel 1. Klasifikasi Cedera Kepala
Keparahan  Ringan  Skor GCS 13-15
 Sedang  Skor GCS 9-12
 Berat  Skor GCS 3-8
Morfologi Fraktur Vault Linear vs stellate
Tengkorak Depressed/nondepressed
Basilar Dengan/Tanpa Kebocoran
CSF
Dengan/tanpa nervus VII
palsy
Lesi Intrakranial Focal Epidural
Subdural
Intracerebral
Diffuse Concussion
Multipel kontusio
Iskemik Injury
Axonal injury
Sumber : ATLS

2.3.3 Morfologi Cedera Kepala


Cedera kepala dapat termasuk fraktur tengkorak dan lesi intrakranial termasuk
kontusio, hematoma, diffuse injury dan edema.

a. Fraktur Tengkorak
Fraktur ini tengkorak dapat terjadi padan basis kranium, dan ada yang di temporal,
frontal, parietal, ataupun oksipital. Fraktur bisa terbuka atau tertutup, bisa linear
maupun fraktur impresi/depresi.7 Fraktur tengkorak basilar biasanya
membutuhkan CT scan dengan bone window untuk mengidentifikasi. Tanda klinis
dari fraktur basilar tengjorak permasuk periorbital ekimosis (raccon eyes),
retroauricular ekimosi (Battle sign), Kebocoran CSF dari hidung (rhinorea) atau
11
telinga (ottorrhea), dan disfungsi dari nerbus cranial VII dan VIII (paralisis fasial
dan kehilangan pendengaran), dimana dapat terjadi beberapa hari setelah cedera.
Keberadaan tanda tersebut harus meningkat index kecurigaan dan membantu
mengidentifikasi fraktur basiler. Beberapa fraktur dapat melewati kanal carotis
dan dapat merusak arteri karotis (diseksi, pseudoaneurisma atau trombosis).
Dokter harus mempertimbangkan arteriograpy cerebri (CT-Angiografi). Terbuka
atau fraktur tengkorak compund menghasilkan komunikasi langsung antara
laserasi kulit kepala dan permukaan serebral ketika dura robek. 4

b. Lesi Intrakranial
1. Cedera otak diffuse
Cedera otak diffuse mulai dari concussio, dimana CT scan normal, menjadi
hipoksia berat, iskemik injury. Dengan concusio, pasien memiliki gangguan
neurologis sementara, non fokal yang sering termasuk kehilangan kesadaran.
Cedera Diffuse berat kadang menyebabkan hipoksia, iskemik yang berdampak
pada otak dengan syok dam apnea yang terjadi langsung setelah trauma.
2. Cedera otak Fokal yang terdiri dari epidural hematom, subdural hematom,
kontusio dan intracerebral hematom.
- Epidural hematom, hematom yang terjadi berbentuk biconveks atau
lentikuler karena mendorong dura yang melekat menjauh dari dalam
tengkorak. EDH sering terjasi di temporal dan temporoparietal dan
kerusakan pada arteri meningeal media yang disebabkan oleh fraktur.
- Subdural hematom, SDH terjadi disebabkan karena robeknya permukaan
kecil pada pembulu darag vena bridging di korteks cerebral.
- Kontusio dan intracerebral hematom, kontusio otak cukup umum, mereka
terjadi sekitar 20% hingga 30% pasien dengan cedera otak parah. Sebagian
luka memar berada di lobus frontal dan temporal, walaupun mungkin ada
di bagian otak manapun. Dalam periode berjam-jam atau berhari-hari,
kontusio dapat berevolusi untuk membentuk hematoma intraserebral atau
kontusio koalesen dengan efek yang cukup untuk memerlukan evakuasi
bedah segera. 3
12
2.4 Fraktur Impresi
2.4.1 Definisi Fraktur Impresi/Depresi
Fraktur Impresi adalah fraktur yang disebabkan dari cedera fokal akibat kekuatan yang
signifikan. Korteks dalam dan luar tengkorak terganggu dan sebuah fragmen tulang
ditekan ke dalam lebih dari melekatnya inner table. Fragmen ini dapat tumpang tindih di
tepi dari tulang intak atau bisa jatuh sepenuhnya di bawah level tengkorak normal yang
berdekatan. Fraktur tengkorak dikarakteristikan dengan depresi bagian dalam atau bagian
tulang tengkorak, yang sering menekan otak dan otak yang mendasarinya. Fraktur Depresi
otak yang tertekan akan menampilkan luka kulit terbuka yang berkomunikasi dengan
fragmen tengkorak. Fraktur depresi terbagi menjadi 2 yaitu terbuka (compound depressed
fracture) dan tertutup (simple depressed fracture). 2

2.4.2 Epidemiologi Fraktur Impresi/Depresi


Insiden fraktur tengkorak Impresi sangat tinggi (56%) pada umur 16-45 tahun. da
dominasi kasus laki-laki di atas perempuan dengan rasio 7: 1. Mode cedera yang paling
umum tercatat sebagai serangan yang diduga (36%) dan wilayah parietal (34%) menjadi
bagian yang paling umum. Sebagian besar kasus mengalami cedera ringan (62%) dengan
skor Glasgow Coma Scale 13-15. Persentase fraktur impresi murni adalah 57% dan
sisanya 42% dikaitkan dengan lesi intrakranial, yang paling umum adalah kontusio (25%).
Infeksi luka superfisial diamati pada 38% pasien. 4

2.4.3 Etiologi Fraktur Impresi/Depresi


Fraktur tengkorak depresi adalah jenis patah tulang yang biasanya diakibatkan oleh
trauma gaya tumpul, seperti dipukul dengan palu, batu, atau ditendang di kepala. Yang
sering mengenai bagian parietal dan temporal/ Jenis-jenis patah tulang yang terjadi pada
11% dari cedera kepala parah adalah patah tulang di mana patah tulang menggusur ke
dalam. Patah tulang tengkorak yang tertekan menghadirkan risiko tinggi peningkatan
tekanan pada otak, atau pendarahan ke otak yang menghancurkan jaringan halus. Patah
tulang tengkorak yang tertekan terjadi ketika ada laserasi pada fraktur, menempatkan
rongga tengkorak internal bersentuhan dengan lingkungan luar, meningkatkan risiko
13
kontaminasi dan infeksi. Pada fraktur depresi kompleks, duramater robek. Otak dapat
dipengaruhi secara langsung oleh kerusakan pada jaringan sistem saraf dan pendarahan.
Otak juga dapat dipengaruhi secara tidak langsung oleh bekuan darah yang terbentuk di
bawah tengkorak dan kemudian menekan jaringan otak yang mendasarinya (hematoma
subdural atau epidural). Jenis fraktur ini penting secara klinis karena dapat menyebabkan
cedera otak mendasar yang signifikan dan menyebabkan komplikasi seperti infeksi dan
kejang. Setiap pasien yang dicurigai menderita fraktur tengkorak yang tertekan
memerlukan profilaksis untuk kejang pasca-trauma (terutama dengan riwayat LOC
positif), yang terdiri dari tujuh hari obat antiepilepsi, biasanya fosphenytoin. Fraktur
tengkorak yang tertekan diklasifikasikan sebagai fraktur tertutup (sederhana) atau terbuka
(fraktur gabungan), yang dapat dikelola secara pembedahan atau non-pembedahan
berdasarkan kriteria yang tercantum di bawah ini. 5

2.4.4 Manifestasi Klinis Impresi/Depresi


Sekitar 25% dari pasien dengan fraktur kepala depressed tidak datang dengan keluhan
hilangnya kesadaran, dan 25% lainnya hilang kesadaran dalam waktu kurang dari 1 jam.
Gejala pada fraktur kepala antara laim, nyeri kepala, mual, muntah. Presentasi klinis
berbeda tergantung apabila ada kelainan intrakranial seperti epidural hematom dan
kejang. Pada pemeriksaan fisik terdapat fraktur yang terbuka atau tertutup dengan segmen
tulang yang lebih cekung dibandingkan sekitarnya. 5

2.4.5 Diagnosis Fraktur Impresi/Depresi


Diagnosis pada fraktur impresi/depresi ini dapat ditekan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis, dari anamnesis yang didapatkan diperlukannya mengetahui mekanisme
injuri pada penderita dan adanya riwayat trauma,
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang awal dilakukan mencari tanda tanda gawat darurat yaitu
permasalahan pada primary survey ABCDE lalu dilanjutkan dengan secondary survey
yang menilai dari kepala sampai kaki (terlihat jejas, luka terbuka maupun hematoma).

14
3. Pemeriksaan Penunjang, pemeriksaan pada depresi tulang tengkorak ini dapat
ditegakan dengan pencitraan yaitu X ray, CT scan dan MRI. Pada rontgen kepala
didapatkan double countour, sedangkan pada CT dan didapatkan fraktur depresi.
Penggunaan MRI dilakukan ketika terdapat kecurigaan kelainan pada pembuluh
darah. Fraktur depresi dianggap bermakna apabila tabula eksterna segmen yang
impresi (misal kontusio paru serebri) masuk dibawah tabula interna segmen tulang
2
yang sehat .

Gambar 4. CT scan Fraktur Depresi

15
2.4.6 Tatalaksana Fraktur Impresi/Depresi
Pada fraktur terbuka depresi, tindakan pertama yang harus dilakukan oleh
dokter yaitu membersihkan dan mencuci dengan NaCL 0,9% steril yang kemudian
dilakukan penjahitan luka jika penemuan kasus dilakukan dengan golden period.
Dilakukannya hal ini dengan mengurangi infeksi resiko karena adanya hubungan
antara intrakranial dan dunia luar. Dapat dilakukan juga pemeriksaan lain seperti
pemeriksaan darah, dan di rujuk pada rumah sakit yang memiliki bedah syaraf untuk
dilakukan debridement diruang operasi yang bertujuan untuk mengilangkan jaringan
otak yang nekrotik, mengangkat fragmen tulang atau korpus alenium, menghentikan
perdarahan, evakuasi hematoma, dan penutupan durameter. Indikasi dilakukan operasi
pada fraktur depresi adalah fraktur depresi 8-10 mm, terdapat defisit neurologis,
kebocoran cairan cerebrospinal, fraktur depresi tebuka. Pasien dengan fraktur terbuka
yang tekontaminasi dan ditangani dengan tindakan bedah, perlu dipantau 2-3 bulan
setelah operasi dilakukannya beberapa kali CT sccan, untuk melihat apakah terjadi
dan terbentuk abses dan kejang. 2

16
Tabel 2. Managemen Cedera Kepala

17
Tabel 3. Managemen Cedera Kepala

18
Bagan 1. Managemen Cedera kepala Ringan

19
Bagan 2. Managemen Cedera kepala Sedang

20
Bagan 3. Managemen Cedera Kepala Berat

2.4.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah epidural hematoma,
subdural hematoma, edema serebral, komosio serebral, kontusio dan laserasi.2 Ruptur
vaskular dapat terjadi sekalipun pada cedera kepala ringan yang dapat mengakibatkan
di suatu ruang seperti ekstra aksial, epidural, subdural, maupun intraparenkim otak.9
a) Perdarahan Epidural
Darah terakumulasi diantara duramater dan tulang tengkorak sehingga
membentuk suatu hematoma yang dapat mnegakibatkan pendesakan otak di
bawahnya ke arah bawah dan dalam ketika otak tersebut berekspansi. 2 Pada
umumnya perdarahan berasal dari pembuluh darah arteri sehingga kompresi otak
terjadi dengan cepat.10 Sebagian besar perluasan hematoma terjadi di daerah
paritotemporal, mendesak bagian medial lobus temporal di bawah tepi tentorium.
Desakan ini menyebabkan penekanan saraf dan pembuluh darah. Gambaran
klinis yang klasik pada perdarahan epidural (hilang kesadaran sementara yang
dilanjutkan dengan periode normal, kemudian letargi atau koma) jarang terlihat
21
pada anak-anak.2 Tanda-tanda adanya kompresi korteks diantaranya muntah,
penurunan kesadaran, sakit kepala, kejang, hemiparese. Pemeriksaan fisik,
dilatasi pupil yang tidak simetris, postur dekortikasi mengindikasikan adanya
tekanan yang ekstrim pada korteks. Penekanan korteks dapat mengakibatkan
kerusakan pada batang otak, fungsi respirasi dan kardiovaskuler.10
Hematoma epidural yang signifikan secara klinis jarang ditemukan pada
anak- anak yang berusia kurang dari 4 tahun.Perbedaan ini mungkin disebabkan
oleh berkurangnya kelenturan tulang tengkorak terhadap fraktur, perdarahan dari
pembuluh darah kecil menyebabkan perdarahan yang lebih perlahan dan tidak
massif, dan kemungkinan penurunan kerentanan otak anak terhadap perubahan
tekanan. 2
b) Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural merupakan perdarahan vena di ruang antara
2,10
membran durameter dan arachnoid (rongga subdural). Frekuensi
perdarahan subdural lebih sering 10 kali dibandingkan dengan perdarahan
epidural, dan perdarahan subdural paling sering dijumpai pada bayi dengan
insidensi puncak pada usia 6 bulan yang diakibatkan karena trauma lahir,
terjatuh, serangan atau guncangan yang kuat.2 Pada bayi umumnya mengalami
peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan kejang, muntah,
hiperiritabilitas, dan pembesaran kepala. 10 Berbeda dengan perdarahan
epidural yang terjadi ke arah dalam dengan mendesak jaringan otak yang
kurang resisten, perdarahan subdural cenderung berkembang lebih lambat dan
menyebar secara tipis serta luas sampai perdarahan ini dibatasi sekat
durameter yaitu falks serebral dan tentorium. Ruang subdural yang sempit dan
durameter yang melekat erat pada tulang tengkorak di daerah ini sangat rentan
terhadap peningkatan TIK.2.
c) Edema Serebral
Edema serebral diperkirakan terjadi pada saat 24 sampai 72 jam setelah
trauma kranioserebral. Edema serebral yang disebabkan karena cedera
vaskular atau selular yang bersifat langsung akan menimbulkan statis
vaskular, anoksia, dan vasodilatasi lanjut. Jika proses ini terus berlangsung
22
tanpa diketahui, TIK akan melampaui tekanan arterial dan muncul anoksia
lanjut yang fatal, dan/atau tekanan tersebut menyebabkan herniasi sebagian
otak pada tepi tentorium sehingga terjadi kompresi batang otak dan
menyumbat arteri serebral posterior. Pembengkakan serebral difus dan
perubahan aliran darah serebral merupakan pola lazim dijumpai pada cedera
kepala yang dialami anak-anak.2

23
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen.
Digunakan The glasgow Coma Scale (GCS) skor dengan GCS 8 atau kurang dari
8 menjadi dapat dikatakan koma atau cedera kepala berat. Pasien dengan cedera keapala
dengan GCS 9-12 dikategorikan sebagai cedera kepala sedang dan GCS 13-15 sebagai
cedera kepala ringan.
Cedera kepala dapat termasuk fraktur tengkorak dan lesi intrakranial. Fraktur
tengkorak salah satunya ialah fraktur impresi/depresi yang merupakan fraktur dari cedera
fokal yang menyebabkan korteks dalam dan luar tengkorak terganggu dan sebuah fragmen
tulang ditekan ke dalam lebih dari melekatnya inner table. Fraktur impresi diakibatkan oleh
trauma gaya tumpul, seperti dipukul dengan palu, batu, atau ditendang di kepala yang
menghadirkan risiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial, atau pendarahan ke otak,
sehingga gejala klinis dapat berupa nyeri kepala, mual, muntah. Pada pemeriksaan fisik
terdapat fraktur yang terbuka atau tertutup dengan segmen tulang yang lebih cekung
dibandingkan sekitarnya.
Diagnosis pada fraktur impresi/depresi ini dapat ditekan melalui anamnesis untuk
mengetahui mekanisme injuri, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dengan
rontgen akan didapatkan double countour, sedangkan pada CT dan didapatkan fraktur
depresi.
Tatalaksana pertama ialah membersihkan dan mencuci dengan NaCL 0,9% steril
yang kemudian dilakukan penjahitan luka jika penemuan kasus dilakukan dengan golden
period. Indikasi operasi adalah fraktur depresi 8-10 mm, terdapat defisit neurologis,
kebocoran cairan cerebrospinal, fraktur depresi tebuka. Pasien dengan fraktur terbuka yang
tekontaminasi dan ditangani dengan tindakan bedah. Komplikasi pada kasus ini dapat
terjadi epidural hematoma, subdural hematoma, edema serebral, komosio serebral, kontusio
dan laserasi.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Tjahjadi, M., Arifin, M. Z., Gill, A. S., & Faried, A. (2013). Early mortality predictor of
severe traumatic brain injury: A single center study of prognostic variables based on
admission characteristics. The Indian Journal of Neurotrauma, 10(1), 3-8.
2. Brunicardi, C., et.al. 2015. Schwartz’s Principle of Surgery. Mc Graw Hill. New York
Chicago.
3. Henry, S., Karen Brasel and Ronald, M.S., 2018. ATLS (Advanced Trauma Life
Support) Tenth Edition. American Collage of Surgeon. Saint Clair Street.Chicago.
4. Prakash, A., Virat H., Utkarsh G., Jayendra K., dan Anil K. 2018. Depressed Fracture of
Skull: An Institutional Series of 453 Patient and Briev Review of litteratur. Asian Journal
of Surgery. 13 (2). India. 222-226.
5. Khan, Arshad., Nishant Shrivastava. 2018. Primary Recontruction of depressed skull
fracture. International Surgery Journal. 5(5). Gandy Medical Collage: India. 1802-11806
6. Trelease, R.B,. 2017. Netter’s Surgical Anatomy Review. Elsevier. Philadelphia.
7. Soertidewi, Lyna. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral.
Continuing Medical Education. Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia RS Cipto Mangunkusumo: Jakarta. CDK-193/ vol. 39 no. 5
8. Kraus JF, Chu LD. Epidemiology. In Text Book of Traumatic Brain Injury. Arlington:
American Psycchiatric Publishing, Inc.; 2005. p. 3-26.
9. Pohl, C. A. (2006). Pediatrics on call. USA: The McGraw-Hill Companies.
10. Pilliteri, A. (2004). Child health nursing : Care of the child and family. Philadelphia :
Lippincott.

25

Anda mungkin juga menyukai