Anda di halaman 1dari 29

GENESA BATUBARA

1. TINJAUAN UMUM

Batubara yang mempunyai rumus kimia C, adalah bahan tambang yang tidak termasuk
dalam kelompok mineral. Batubara (coal) adalah : bahan baker hidro-karbon padat
yang terbentuk dari tetumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena
pengaruh P & T yang berlangsung lama sekali (hingga puluhan-ratusan juta tahun).
Batubara dapat dikategorikan sebagai salah satu batuan sedimen yang kaya akan
material organik. Cook & Sherwood (1991) mengemukakan bahwa suatu deposit bisa
disebut sebagai batubara jika kandungan material organiknya lebih dari 80%. Deposit
batubara merupakan hasil akhir dari suatu efek kumulatif proses pembusukan dan
penguraian tumbuhan, deposisi dan pembebanan sedimen, proses endogenik seperti
pergerakan kerak bumi dan proses eksogenik contohnya erosi

Proses pembentukan batubara memakan waktu hingga puluhan juta tahun, dimulai dari
pembentukan gambut (peat) kemudian menjadi lignite, sub-bituminous, bituminous
hingga antrasit. Proses pembentukan batubara/pembatubaraan (koalifikasi) dapat
diartikan sebagai proses pengeluaran berangsur-angsur dari zat pembakar (O2) dalam
bentuk karbon dioksida (CO2) dan air (H2O) hingga akhirnya menyebabkan konsentrasi
karbon tetap (fixed carbon) dalam bahan asal batubara bertambah.

Kandungan Air :
Peat (gambut) < 60 %
--------------------------------------------------------------------
Lignite 30 – 40 %
Sub-bituminous 10 – 25 %
Bituminous 5 – 10 %
Antrasit 1- 3%

Gambut meskipun dalam banyak hal mempunyai kesamaan dengan batubara, tidak
digolongkan sebagai batubara. Gambut secara umum mempunyai pengertian sebagai

111111111
suatu sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan hancuran atau
bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam keadaan tertutup udara (di bawah
air), tidak padat, kandungan air lebih dari 60 %. Ada satu hal penting yang menjadikan
alasan, mengapa gambut tidak bisa digolongkan kedalam kelompok batubara, yaitu
pada gambut belum/tidak terjadi metamorfosa akibat pengaruh P (pressure) & T
(temperature), sehingga karakter fisik dan kimianya tidak jauh beda dengan kayu,
meskipun penampakan fisualnya lebih mirip dengan batubara.

2. BAGAIMANA BATUBARA TERBENTUK ?

Untuk mengetahui bagaimana batubara itu terbentuk, ada dua hal penting yang harus
diketahui, yaitu pertama; lingkungan atau kondisi yang bagaimana batubara itu dapat
terbentuk (lingkungan pengendapan/pembentukan batubara) dan kedua ; tahapan dan
proses apa saja yang berlangsung serta yang menyertainya selama pembentukan
batubara, dari mulai tanaman hingga menjadi batubara..

2.1 Tumbukan Lempeng (Kerak Bumi) dan Kaitannya dengan


Pembentukan Cekungan Pengendapan Batubara di Indonesia

Bumi yang kita tinggali, sebenarnya merupakan sebuah benda cair (liquid) panas yang
diselimuti oleh suatu lapisan padat yang lebih dingin, yang dikenal sebagai kerak atau
lempeng bumi. Suatu massa cair yang panas akan selalu bergejolak, ditambah lagi
dengan adanya rotasi bumi menghasilkan energi yang luar biasa, hingga dirasakan
pengaruhnya sampai ke kerak bumi bagian atas. Hal ini ditandai dengan munculnya
pergerakan, pergeseran, tumbukan dan pemekaran kerak (lempeng) bumi.

Di Indonesia dan wilayah sekitarnya, tedapat beberapa lokasi tumbukan lempeng itu,
baik yang terbentuk di sebelah barat dan selatan Indonesia, maupun yang terjadi di
Indonesia bagian timur (Gambar 1.) Salah satu dari tumbukan lempeng yang terkenal
adalah tumbukan antara lempeng benua Asia dari utara dan lempeng samudera Hindia
yang bergerak dari selatan mendesak ke utara.

222222222
Gambar 1. Peta tektonik Indonesia dan wilayah sekitarnya (sumber Charlile dan Mitchel (1994)
Akibat tumbukan itu menghasilkan suatu morfologi yang khas, yaitu palung (jurang
laut yang sempit dan dalam), punggungan mélange akibat sesar naik, cekungan-
cekungan, dan jajaran gunung-gunung api atau jalur batuan beku (Gambar 2). Dari
model morfologi yang terbentuk akibat tumbukan ini, yang terpenting dan terkait erat
dengan pembentukan batubara adalah munculnya cekungan-cekungan. Cekungan-
cekungan ini dikelompokkan menjadi cekungan busur muka, cekungan antar
pegunungan dan cekungan busur belakang.

333333333
Gambar 2. Model tektonik Indonesia bagian barat

Cekungan antar pegunungan jarang terjadi, kecuali bila ada sesar mendatar yang sangat
besar, seperti yang membelah pulau Sumatera hingga bagian barat Myanmar,
menghasilkan cekungan antar pegunungan. Batubara di Ombilin adalah contoh endapan
batubara yang terbentuk di cekungan antar pegunungan.

Di Jawa, endapan batubara terbatas pada daerah tepian cekungan busur muka. Karena
tidak dijumpai sesar mendatar yang cukup besar di Jawa, maka cekungan antar gunung
yang mengandung batubara tidak berkembang. Sampai saat ini, belum ada penemuan
batubara yang berarti di daerah cekungan bususr belakang di Jawa.

Cekungan busur belakang membentang mulai pesisir timur Sumatera dan utara Jawa
hingga Kalimantan. Gambut dan batubara dengan deposit yang besar banyak ditemukan
di cekungan ini. Batubara di Bukit Asam terjadi di cekungan busur belakang, demikian
pula gambut dan batubara di seluruh Kalimantan terbentuk di cekunagn busur
belakang.

444444444
2.2 Lingkungan Pengendapan Gambut /Batubara

Secara umum lingkungan pembentuk batubara dapat dibedakan menjadi 2 kelompok


yaitu (1) lingkungan paralik atau marginal marine (daerah pesisir) dan (2) lingkungan
limnik atau air tawar.

Pada lingkungan paralik atau marginal marine, terdapat beberapa sublingkungan


dimana batubara umum terbentuk, yaitu pada:
- estuarin, lagun dan teluk: pada lingkungan ini terjadi deposisi sedimen
klastik dan material organik dari marsh/swamp (paya/rawa) di sekitarnya serta
kontribusi alga in situ.
- coastal marsh: lingkungan ini berada pada daerah rendah di belakang
gosong pantai sehingga terpisah dari laut. Akan tetapi pada saat terjadi pasang
tinggi dan badai, coastal marsh secara periodik dipengaruhi oleh air laut.
Tumbuhan yang terdapat pada lingkungan ini adalah tumbuhan yang mampu
beradaptasi dengan berbagai kondisi salinitas. Tumbuhan yang umumnya
ditemukan pada coastal marsh daerah tropis adalah berupa mangrove.
- Lower delta plain marsh/swamp: fasies ini terutama berupa
daratan/pulau interdistributer yang ditumbuhi tumbuhan (mangrove) pada delta
bagian depan yang berhadapan dengan laut. Pada saat terjadi pasang tinggi dan
badai, air laut yang masuk dapat menyebabkan penambahan sulfur sehingga
menyebabkan terbentuknya deposit gambut yang kaya akan pirit. Selain itu
pada saat banjir, sedimen berbutir halus dapat diendapkan bersama material
tanaman sehingga terbentuk gambut yang kandungan abunya tinggi.

Lingkungan limnik atau air tawar merupakan lingkungan yang didominasi oleh air
tawar (atau di atas level pasang tertinggi) dan tidak memiliki hubungan hidrologis
secara langsung dengan laut. Sub-lingkungan yang membentuk deposit batubara
adalah:
- fluvial swamp (termasuk upper delta plain swamp): rawa fluvial banyak
terdapat pada dataran banjir fluvial oleh karena terlindung dari suplai sedimen
oleh adanya leeve sepanjang teras sungai. Gambut/batubara yang dihasilkan

555555555
dapat berselang-seling dengan lapisan pasir atau lempung yang terbawa oleh
adanya banjir. Kadang pembentukan gambut pada lingkungan ini juga diselingi
dengan adanya fasies danau.
- danau: pembentukan gambut terutama terjadi pada pinggir danau,
sedangkan pada posisi yang lebih dalam terbentuk lumpur organik oleh karena
minimnya sirkulasi air.
- upland bog: gambut juga dapat terbentuk pada lingkungan yang tidak
secara langsung berhubungan dengan kondisi fluviatil, akan tetapi tetap terjadi
drainasi dan akumulasi material klastik tidak terlalu banyak melampaui
akumulasi tumbuhan.

2.2.1 Syarat-Syarat Pembentukan Batubara :

Batubara dapat terbentuk setidaknya harus terpenuhi empat hal, yaitu :


1. Ketersediaan tumbuhan yang melimpah
2. Morfologi tempat pengendapan yang sesuai : kondisi rawa ideal untuk
perkembangan organisme anaeraob, muka air tanah dangkal, iklim yang sesuai.
3. Penurunan dasar cekungan/rawa saat pengendapan (synsedimenter) :
 Terjadi keseimbangan biotektonik, yaitu keseimbangan kecepatan
sedimentasi bahan-bahan pembentuk humin atau gambut dengan penurunan
dasar rawa.
 Terjadi fase biokimia (proses-proses kimiawi dengan bantuan mikro
organisme dalam lingkungan bebas oksigen).
4. Penurunan cekungan/dasar rawa sesudah pengendapan
(postsedimenter) :
 Proses-proses geotektonik
 Terjadi fase geokimia, yaitu proses-proses kimiawi bahan/material oleh
proses-proses alam yang terjadi di dalam bumi.

2.2.2 Tahapan dan Proses Terjadinya Batubara :

666666666
Tahapan dan Proses Pembentukan Batubara dapat digolongkan menjadi dua kejadian,
yaitu pertama tahap/fase diagenesa (perusakan dan penguraian) oleh organisme, atau
sering juga disebut sebagai tahap/fase biokimia. Kedua adalah tahap metamorfosa,
yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara, yang sering juga disebut sebagai tahap
geokimia (Gambar 3.dan 4)

2.2.2.1 Tahap/Fase Diagenesa (Biokimia)

Ekosistem rawa berbeda dengan ekosistem sungai dan danau, demikian pula kondisi air
dan tanahnya. Pada lingkungan rawa, sirkulasi air sangat minim bahkan sering tidak
ada sirkulasi air sama sekali, hal ini mengakibatkan minimnya kandungan oksigen di
rawa. Dalam lingkungan seperti ini, tanaman dan sisa-sisa tanaman rawa yang mati
tidak bisa membusuk secara wajar (untuk pembusukan dibutuhkan oksigen/bakteri –
bakteri aerob/suka oksigen). Pada akhirnya yang dominan adalah bakteri-bakteri jenis
an aerab.

Bakteri anaerob mengurai tanaman yang mati tidak menjadi kompos (busuk), tetapi
menjadi bahan lain yang disebut dengan gel atau jelly. Penguraian ini terjadi di
lingkungan yang bebas (minim) oksigen. Lingkungan rawa yang selalu basah/berair
atau muka air tanah yang sangat dangkal dan tanpa sirkulasi air yang baik,
menghasilkan lingkungan yang cocok untuk bakteri an aerob berkembang biak dan
aktif mengurai tanaman menjadi gel.

Tahap selanjutnya, gel atau jelly semakin lama semakin tebal, membentuk sedimen,
mampat dan memadat. Pemadatan biasanya diikuti dengan penurunan kandungan air,
hingga akhirnya membentuk endapan/sedimen yang kaya bahan-bahan organik (humin)
yang dikenal sebagai gambut (peat).

2.2.2.2 Fase Metamorfosa (Geokimia)

777777777
Pada fase ini, terjadi perubahan yang mendasar dari sifat-sifat fisik dan kimiawi bahan
gambut menjadi batubara. Perubahan mendasar ini ditandai dengan semakin
menurunnya kandungan air, hydrogen, oksigen, karbon dioksida dan bahan-bahan lain
yang mudah terbakar (volatile matter). Bakteri tidak lagi berperan disini, akan tetapi
yang berperan adalah perubahan-perubahan dan aktivitas-aktivitas yang terjadi di
dalam bumi, seperti adanya perubahan tekanan dan temperatur, struktur, intrusi dan lain
sebagainya.

Tahap
Diagenesa

888888888
Gambar 3. Tahapan pembentukan batubara

Cekungan atau dasar rawa tempat terdapatnya lapisan gambut, yang terus menurun,
ditandai dengan timbunan sedimen dengan ketebalan hingga ribuan meter,
mengakibatkan bertambahnya tekanan (P) dan suhu (T) yang cukup tinggi, hingga
sebagian senyawa dan unsur (H2O, O2, CO2, H2, CH4, dll.) akan berkurang dan
hilang. Dilain pihak, akibat berkurangnya kandungan za-zat tadi akan menambah
prosentase unsur C (carbon) yang terkandung dalam batubara. Semakin tinggi
kandungan C dalam batubara, maka tahap pembatubaraan (coalifikasi) semakin baik,
ditandai dengan kenaikan kelas (rank) batubara. Dari unsure C inilah kalori batubara
dihitung. Semakin tinggi prosentase C dalam batubara, maka nilai kalorinya semakin
tinggi.

Material Proses parsial Reaksi kimia utama


Diagenesis
Vegetasi yang
membusuk

Penggambutan Penguraian sesuai siklus hidup bakteri dan


jamur
Gambut

Lignifikasi Oksidasi udara, diikuti dengan


dekarbosilaksi dan dehidrasi
Lignit

Bituminisasi Dekarbosilaksi dan disproporsi hydrogen

Batubara bituminus

Metagenesis Pra-antrasitasi Kondensasi menjadi sistem lingkar


aromatik kecil
Semi-antrasit

Antrasitasi Kondensasi sistem lingkar aromatik kecil


menjadi lebih besar, dehidrogenisasi
Antrasit

Grafitisasi Karbonifikasi

Meta-antrasit

999999999
Gambar 4. Skema proses pembatubaraan (Van Krevelen, 1992 dengan diolah kembali)

Peningkatan kelas (rank) batubara dapat juga terjadi akibat adanya intrusi magma atau
hidrotermal. Lapisan gambut atau batubara yang terkena intrusi hingga radius tertentu
akan mendapat P dan T yang lebih tinggi dibanding gambut dan batubara di tempat
lain, sehingga kelas batubaranya akan naik.

Reaksi pembentukan batubara dapat digambarkan sebagai berikut (Sukandarrumidi,


1995) :

5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H20 + 6CO2 + CO


cellulosa lignit gas metan
5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H20 + 6CO2 + CO
cellulosa bitumine gas metan

2.2.3. Tipe Pengendapan Batubara

Ditinjau dari mekanisme atau tipe pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara


maupun pengendapan batubara, dapat digolongkan menjadi dua kelompok
(Sukandarrumidi, 1995), yaitu : batubara yang terbentuk secara in-situ atau
autochthonous dan yang terbentuk secara drift atau allochthonous.

Batubara jenis in-situ atau autochthonous yaitu batubara yang terjadi dari sedimentasi
gambut dimana rawa gambut tersebut berada. Jadi batubara benar-benar berasal dari
rawa gambut tempat tumbuh dan berkembangnya tanaman rawa tersebut, yang
kemudian oleh proses-proses biokimia, geokimia dan geotektonik, batubara terbentuk
(Gambar 5).

101010101010101010
Batubara jenis drift atau allochthonous adalah lapisan batubara yang terbentuk dari
hasil pelapukan, erosi, transportasi dan akhirnya sedimentasi kembali dari lapisan
batubara yang sudah terbentuk sebelumnya. Bahan asal batubara (tumbuhan maupun
gambut) dapat terbawa, tererosi dan tertransportasi oleh aliran air. Sedimentasi kembali
bahan-bahan organik ini dalam linkungan dan kondisi yang cocok untuk terjadinya
proses pembatubaraan (coalification) dapat memungkinkan terbentuknya lapisan
batubara. (Gambar 5).

Gambar 5. Pembentukan batubara tipe in-situ dan tipe drift

2.3. Model Lapisan (Seam) Batubara Akibat Proses Geologi dan Sedimentasi

111111111111111111
Endapan batubara sering dijumpai berlapis-lapis atau berselang-seling dengan batuan
sedimen lain (clay stone, sand stone, limestone, dll.). Terkadang lapisan batubara ini
(biasa disebut seam) sangat tebal, tipis-tipis, bercabang dan terkadang dijumpai pula
sisipan-sisipan (lenses) batu lempung atau batu pasir .

Pada dasarnya model atau pola (pattern) endapan dan perlapisan pada batubara dapat
digolongkan menjadi dua model, yaitu yang terjadi karena stratigrafinya (stratigraphic
pattern) dan karena pengaruh struktur geologi (structural pattern).

2.3.1. Model atau Pola Stratigrafi (Stratigraphic Pattern)

Endapan batubara model ini terjadi bilamana tidak ada pengaruh struktur geologi
(patahan, lipatan, dll.) yang berarti, tetapi oleh proses sedimentasi normal atau adanya
erosi dan ketidakselarasan (unconformity). Model-model lapisannya berupa lapisan
yang normal mendatar atau sedikit miring (tebal atau tipis, atau berselangseling) dan
terkadang dijumpai sisipan-sisipan lempung atau batupasir.

2.3.1.1. Lapisan atau Seam Batubara yang Tebal

Lapisan (seam) batubara yang tebal diperkirakan terjadi karena pada saat pembentukan
lapisan gambut, dasar rawa mengalami penurunan yang signifikan dan terus-menerus.
Apabila kecepatan penurunan dasar rawa tempat pembentukan lapisan gambut tersebut
sebanding (seimbang) dengan kecepatan pembentukan materi asal batubara (gel atau
gambut), maka gambut yang terbentuk akan tebal, hingga memungkinkan terbentuk
seam batubara yang tebal.. Keseimbangan ini dikenal sebagai keseimbangan
biotektonik.

2.3.1.2. Lapisan atau Seam Batubara yang Tipis

Lapisan (seam) batubara yang tipis diperkirakan terjadi karena beberapa hal,
diantaranya adalah ketersediaan bahan-bahan pembentuk gambut (tetumbuhan) kurang
mencukupi. Kemungkinan lain adalah karena pada saat pembentukan lapisan gambut,

121212121212121212
rawa terus mengalami pendangkalan karena tidak adanya penurunan dasar rawa, hingga
akhirnya ekosistem rawa berubah menjadi ekosistem darat.

Perubahan ekosistem dan iklim yang ekstrim (perubahan iklim basah ke iklim kering)
diperkirakan juga menjadi penyebab terputusnya proses pembentukan dan sedimentasi
gambut, hingga menghasilkan lapisan gambut dan batubara yang tipis.

2.3.1.3. Lapisan atau Seam Batubara dengan Sisipan Sedimen Lain

Model lapisan batubara jenis ini diperkirakan terjadi erosi oleh sungai yang memotong
lapisan-lapisan gambut pada saat pembentukannya. Perpindahan letak sungai, seperti
yang sering dijumpai pada proses meander, pada daerah rawa tempat pembentukan
gambut tersebut diperkirakan menjadi penyebab utama munculnya sisipan-sisipan
lempung atau pasir pada suatu seam batubara.

Pembentukan lapisan gambut pada suatu rawa gambut (mire/moor), dapat tererosi dan
terpotong oleh aliran sungai, sehingga akan diendapkan sedimen asing di tempat
tersebut. Apabila kemudian sungai ini mati/atau berpindah (sering dijumpai pada
peristiwa meander sungai), sedimen yang terdapat di bekas sungai itu akan dapat
tertutup lagi oleh sedimentasi gambut. Hasil akhir dari proses ini menghasilkan bentuk-
bentuk perlapisan (seam) batubara yang disisipi oleh sedimen lempung atau pasir
(Gambar 6).

Selama sedimentasi bahan gambut dan setelah batubara terbentuk, terjadi interaksi
dengan berbagai macam proses geologi yang dapat menyebabkan adanya variasi
distribusi lapisan batubara. Proses tersebut antara lain menyebabkan terjadinya
splitting, washouts dan floor rolls. Selain itu struktur geologi dapat menghasilkan
perubahan distribusi seam baik secara lateral maupun vertikal.

131313131313131313
Gambar 6 . Tahapan pembentukan lensa-lensa batu pasir atau batu lempung pada suatu
seam batubara.

Splitting adalah fenomena dimana lapisan batubara terbagi menjadi 2 lapisan atau
lebih. Material (sedimen) bukan batubara yang memisahkan lapisan tersebut dikenal
sebagai parting atau band. Parting atau band merupakan hasil deposisi material klastik
yang menggantikan akumulasi material organik. Material tersebut dapat dihasilkan oleh
karena pembanjiran mire oleh air sungai atau air laut secara periodik.

141414141414141414
Gambar 7. Beberapa bentuk splitting: (a) simple splitting, (b) multiple
splitting, (c) Z / S shape splitting (Thomas, 2002).

Washout terbentuk pada saat lapisan batubara tererosi oleh gelombang atau arus dan
kemudian terisi oleh sedimen. Washout merupakan masalah besar dalam operasi
penambang karena dapat mengurangi secara signifikan jumlah batubara yang
tertambang.

151515151515151515
Gambar 8. Beberapa bentuk channeling (washout) pada lapisan
batubara. (a) channel yang terisi pasir membentuk atap
pada lapisan batubara, (b) channel yang terisi pasir material
rombakan lain mengerosi lapisan batubara, (c) channel
yang terisi mudstone mengerosi lapisan batubara, (d)
multiple channel sequence yang mengerosi lapisan
batubara (Thomas, 2002).

Floor rolls adalah kenampakan dimana material batuan menyodok/menembus lapisan


batubara ke atas dari bawah. Hal ini terjadi karena kompaksi gambut/batubara tidak
terjadi pada tingkat yang sama sehingga terdapat bagian lapisan yang lebih atau kurang
tertekan dibandingkan bagian lapisan yang lain.

2.3.1.4. Batubara Berlapis-Lapis atau Terkadang dengan Sedimen


Asal Laut Batugamping

Batubara yang berlapis-lapis, diperkirakan terjadi karena terputusnya proses


penggambutan akibat beberapa hal, seperti penurunan dasar rawa yang terlalu cepat,
sehingga dapat mengubah ekosistem rawa secara ekstrim.

Penurunan dasar rawa yang lebih cepat dari wilayah sekitarnya, mengakibatkan daerah
tersebut lebih rendah, sehingga air dan sedimen-sedimen asing cenderung masuk ke
daerah ini, membawa lempung dan pasir. Masuknya aliran air dan sedimen asing akan
mempengaruhi ekosistem dan biokimia rawa, menyebabkan mikroorganisme
pembentuk humin (gel dan gambut) mati.

Penurunan dasar rawa dekat pantai yang terlalu cepat dapat menyebabkan air laut
masuk ke rawa (transgression), menyebabkan ekosistem rawa berubah menjadi
ekosistem laut. Perubahan ekosistem ini dapat menghasilkan terbentuknya lapisan-
lapisan batu gamping diantara lapisan-lapisan batubara. Apabila ekosistem ini berubah
kembali ke ekosistem rawa karena terjadinya kemunduran laut (regression), proses

161616161616161616
penggambutan dapat terjadi lagi, sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan lapisan
batubara lagi, berselang-seling dengan lapisan batugamping dan sedimen lain.

2.3.1.5. Bentuk Burried Hill

Bentuk ini terjadi apabila ditempat dimana proses penggambutan terjadi, terdapat suatu
kulminasi (puncak/punggungan di dasar rawa), sehingga lapisan batubara yang
terbentuk seperti terpotong oleh semacam “intrusi” (Gambar 9).

Gambar 9. Bentuk buried hill

2.3.2. Model atau Pola Akibat Struktur Geologi (Structural Pattern)

Model atau pola ini terjadi akibat struktur geologi yang berkembang selama proses
penggambutan maupun pembatubaraan. Struktur geologi yang berpengaruh terhadap
distribusi lapisan batubara dapat bersifat syndepositional (bersamaan dengan akumulasi
gambut) dan postdepositional (sesudah pembentukan lapisan gambut/batubara).
Struktur yang bersifat syndepositional terutama terjadi karena kombinasi dari
akumulasi sediment yang tebal dan penurunan cekungan yang cukup cepat. Struktur
yang mungkin terjadi umumnya berupa slumping dan loading. Struktur yang sudah ada
sebelumnya dan kemudian aktif kembali pada saat deposisi gambut, dapat pula
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi lapisan oleh karena deposisi lapisan
gambut akan mengikuti perubahan dasar pengendapan. Seperti sudah diketahui struktur

171717171717171717
yang bersifat postdepositional seperti pensesaran dan perlipatan akan menyebabkan
distribusi lapisan yang bervariasi dan dapat berubah-ubah dari satu tempat lain.

2.3.2.1. Bentuk Lapisan (Seam) Melengkung atau Bercabang

Percabangan pada batubara dapat terjadi manakala pada saat proses penggambutan
(dimana pada tahap ini lapisan yang terbentuk masih dianggap plastis), terjadi
penurunan dasar rawa setempat-setempat (tidak merata secara luas). Akibatnya ada
sebagian lapisan gambut yang tertarik melengkung ke bawah.
Perbedaan penurunan dasar rawa (lebih cepat daripada di tempat lain) ini
mengakibatkan daerah yang lebih rendah akan terisi oleh aliran air baru yang
membawa sedimen asing (pasir atau lempung), sehingga proses penggambutan di
cekungan ini terhenti. Apabila kedudukan dasar rawa yang terisi sedimen asing ini
sudah seimbang dengan dasar rawa di sekitarnya, ekosistem rawa dapat terbentuk lagi,
sehingga memungkinkan proses-proses penggambutan dapat terjadi lagi.

2.3.2.2. Bentuk Clay Vein (Urat Lempung)

Bentuk ini terjadi apabila diantara dua bagian deposit batubara terdapat urat lempung.
Bentuk ini terjadi apabila dalam proses penggambutan atau pembatubaraan mengalami
patahan (jenis patahan geser/mendatar, atau patahan normal), kemudian pada bidang
patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung atau pasir
(Gambar 11).

2.3.2.3. Bentuk Fault (Patah)

Bentuk ini terjadi dari lapisan batubara yang mengalami beberapa tahap patahan.
Patahan umumnya terjadi setelah lapisan batubara terbentuk, dengan bidang patahan
relatif tidak terbuka, sehingga tidak memunculkan urat lempung.

2.3.2.4. Bentuk Fold (Melipat)

181818181818181818
Bentuk melipat terjadi bilamana lapisan batuan mengalami perlipatan akibat gaya-gaya
yang bekerja (Gambar 12)

2.3.2.5. Bentuk Horse Back (Punggung Kuda)

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan batuan yang menutupinya
melengkung ke arah akibat gaya kompresi. Ketebalan kea rah lateral lapisan batubara
kemungkinana sama atau lebih kecil atau menipis.

2.3.2.6. Bentuk Pinch

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada umumnya
dasar dari lapisan batubara merupakan batuan yang plastis, misal batu lempung, sedang
di atas lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batu pasir yang secara lateral
merupakan pengisian suatu alur.

191919191919191919
Gambar 10. Tahapan terjadinya percabangan pada lapisan batubara

202020202020202020
Gambar 11. Model clay vein pada lapisan batubara

Gambar 12. Bentuk endapan batubara yang terjadi karena perlipatan

212121212121212121
3. KETERDAPATAN DAN TIPE MINERAL PADA BATUBARA

Batubara dapat tersusun atas bahan-bahan organik dan non organik, dengan kandungan
bahan organik pada batubara dapat mencapai lebih dari 75 %. Bahan organik ini disebut
maseral (maceral) yang berasal dari sisa tumbuhan dan telah mengalami berbagai
tingkat dekomposisi serta perubahan sifat fisik dan kimia baik sebelum ataupun
sesudah tertutup oleh lapisan di atasnya, sedangkan bahan anorganik disebut mineral
atau mineral matter. Kehadiran mineral dalam jumlah tertentu akan mempengaruhi
kualitas batubara terutama parameter abu, sulfur dan nilai panas sehingga dapat
membatasi penggunaan batubara. Keterdapatan mineral dalam batubara bermanfaat
dalam mempelajari genesa (Finkelman, 1993).

Mineral atau mineral matter pada batubara dapat diartikan sebagai mineral-mineral dan
material organik lainnya yang berasosiasi dengan batubara (Ward, 1986). Secara
keseluruhan mancakup tiga golongan material yaitu :

a. Mineral dalam bentuk partikel diskrit dan kristalin pada batubara.


b. Unsur atau senyawa dan biasanya tidak termasuk unsur nitrogen dan sulfur.
c. Senyawa anorganik yang larut dalam air pori batubara dan air permukaan

Mineral matter pada batubara dapat berasal dari unsur anorganik pada tumbuh-
tumbuhan pembentuk batubara atau disebut inherent mineral serta mineral yang berasal
dari luar rawa atau endapan kemudian ditransport ke dalam cekungan pengendapan
batubara melalui air atau angin dan disebut extraneous atau adventitious mineral matter
(Falcon dan Snyman, 1986; Speight, 1994).

Berdasarkan episode pembentukannya (Mackowsky,1982) membagi mineral matter


menjadi dua kategori yaitu : syngenetic dan epigenetic. Syngenetic (primary) mineral
matter adalah mineral yang terbentuk sebagai detrital maupun authigenic. Umumnya
mineral-mineral ini mempunyai ukuran butir lebih kecil dari mineral epigenetic dan
tersebar secara merata pada batubara.

222222222222222222
Berdasarkan atas kelimpahannya, maka mineral-mineral pada batubara dapat dibedakan
atas : mineral utama (major minerals), mineral tambahan (minor minerals) dan mineral
jejak (trace minerals). Ranton (1982) menggolongkan mineral utama jika kadarnya >
10 % berat, mineral tambahan 1-10 % dan mineral jejak , 1 % berat. Umumnya yang
termasuk mineral utama adalah mineral lempung dan kuarsa sedangkan mineral minor
yang umum adalah karbonat, sulfida dan sulfat.

Klasifikasi mineral yang terdapat pada batubara ditinjau dari segi genetis selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 1.

3.1. Mineral Lempung (Clay)

Mineral ini merupakan kelompok yang palaing dominan dijumpai pada batubara,
sekitar 60-80 % dari total mineral matter. Umumnya terdapat sebagai mineral primer
yang terbentuk akibat adanya aksi air atau angin yang membawa material detrital ke
dalam cekungan pengendapan batubara. Distribusi mineral lempung dalam batubara
dikendalikan oleh kondisi kimia rawa (Bustin, 1989). Spesies mineral lempung yang
umum terdapat dalam batubara adalah kaolinite, illite dan montmorilonit. Kaolinit
umumnya terdapat dalam batubara secara syngenetic yang terkonsentrasi pada bidang
perlapisan, tersebar pada vitrinit sebagai pengisi rekahan dan lainnya berbentuk speris.
Sedangkan illite biasanya lebih banyak terdapat pada batubara dengan lapisan penutup
(roof) batuan sedimen marin.
Mineral lempung yang terbentuk pada fase ke dua (secondary), umumnya dihasilkan
oleh adanya transformasi dari lempung fase pertama. Bila kedalaman penimbunan
bertambah, maka proporsi kaolinit berkurang sedangkan illite bertambah. Asosiasi
mineral lempung pada lapisan batubara berupa inklusi halus yang tersebar dan sebagai
pita-pita lempung (tonstein).

3.2. Kuarsa

Kuarsa (SiO2) adalah salah satu mineral oksida yang paling penting terdapat dalam
batubara (Tylor et al, 1998). Ada dua tipe kuarsa yang dapat dibedakan berdasarkan

232323232323232323
teksturnya yaitu : butiran kuarsa klastik berbentuk bulat jika terendapkan melalui media
air dan berbentukmenyudut jika melalui media angin. Sedangkan tipe lainnya adalah
kuarsa kristal halus yang terbentuk dari larutan setelah pengendapan batubara.
Kebanyakan merupakan silika yang terlarut dari hasil pelapukan felspar dan mika.
Kuarsa merupakan mineral syngenetic dan jarang ditemukan sebagai epigenetic
(Ranton, 1982).

Tabel 1. Klasifikasi mineral yang terdapat pada batubara ditinjau dari segi genetis
(Bustin et al, 1989)

Secondary (Epigenetic)
Primary (syngenetic) Formation
Formation
Deposited in Tranformation
Detrital Authigenic
cleat fractures & of primary
cavities minerals
-Kaolinite Sericite, Illite, chlorite
Clays Al2Si2O5 (OH)4 smectite (from other
clays)
-Illite
KAl2(AlSiO3) O10
(OH)2 Mixed-
layer clays
-Siderite -Ankerite
Carbonate FeCO3 (Mg,Fe,Mn)
s -Dolomite CO3
(CaMg)CO3
-Ankerite,
-Calcite
CaCO3
Pyrite FeS2, Pyrite, Pyrite
Sulphides Marcasite marcasite, (from
FeS2 Sphalerite ZnS, siderite)
Melnikovite Galena PbS,
Chalcopyrite
CuFeS2

242424242424242424
Silicas Quartz-SiO2 Quarzt SiO2
Chalcedony

Oxides & Rutile TiO2 Hematite


Hydroxid Fe2O3
es Limonite
FeO(OH)2H2
O

Phosphate Apatite -Phosphorite


s Ca5F(PO4)3 -Apatite

Zircon ZrSiO4
Silicates Felspar
Tourmaline,
Micas
-Hydrated
Sulphates iron
-Sulphate
-Gypsum
CaSO42H2O
(oxidation
products)

3.3. Karbonat

Terdapat 4 (empat) spesies mineral karbonat yang biasa ditemukan dalam batubara
yaitu : kalsit (CaCO3), siderit (FeCO3), dolomit (Ca, Mg) CO3 dan ankerit
(CaMgFe)CO3. Mineral-mineral ini dapat terbentuk baik pada fase syngenetic akhir
maupun epigenetic (Diessel, 1992). Karbonat syngenetic umumnya terdapat dalam
bentuk konkresi speroidal dan sebagai pengisi ronga-rongga fusinite dan semifusinite.

252525252525252525
Siderit yang terbentuk dalam kondisi reduksi dapat dianggap sebagai karbonat primer,
sedangkan kalsit dapat terbentuk baik dalam lingkungan air tawar maupun laut
(Ranton, 1982). Hadirnya dolomit merupakan indikasi lingkungan pengendapan laut
(Stach, 1982).

3.4. Sulfida

Pirit dan markasit merupakan mineral sulfida yang paling umum terdapat pada
batubara. Ke dua spesies mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS 2)
hanyan berbeda dalam bentuk kristalnya. Pirit berbentuk kubik dan markasit berbentuk
ortorombik.

Mineral ini dapat terbentuk baik secara syngenetik maupun epigenetik dalam berbagai
bentuk (Diesel, 1992). Beberapa bentuk mineral pirit yang telah ditemukan dalam
batubara adalah sebagai berikut :

a. Kristal pirit berukuran kecil yang terdapat sebagai inklusi dalam vitrinit
dan semufusinit dan seringkali berasosiasi dengan pirit framboidal.
b. Nodul pirit atau markasit dengan ukuran hingga beberapa centimeter
yang umumnya terdiri dari kristal-kristal membulat atau memanjang.
c. Bentuk Fe-Sulfida syngenetic yang paling umum adalah kristal pirit
dengan ukuran lebih kecil dari 2 mikron, terdapat dalam bentuk speroidal atau
framboidal dan berasosiasi dengan vitrinit.
d. Tipe konkresi dari kristal kecil bergabung membentuk lensa-lensa pipih
atau pita-pita yang menunjukkan presipitasi pirit generasi ke dua yang terjadi
selama diagenesa akhir. Hal ini dianggap sebagai peralihan ke pirit epigenetic.
e. Pirit epigenetic yang terbentuk sebagai material pengisi rekahan, kekar
dan celah.

3.5. Sulfat

262626262626262626
Mineral sulfat yang paling dominan terdapat pada batubara adalah bassanit dan
gypsum. Umumnya mineral ini terbentuk dari hasil oksidasi mineral sulfida (pirit) pada
batubara terutama bila berhubungan dengan udara luar dalam waktu lama

 Kemenerusan lapisan Batubara

Kemenerusan batubara dapat terbelah oleh bentuk membaji dari sedimen bukan
batubara. Berdasarkan pennyebabnya dapat karena proses sedimentasi
(autosedimentational split) atau tektonik yang ditunjukkan oleh perbedaan
penurunan dasar cekungan yang mencolok akibat sesar (Warbroke, 1981
dalam Diessel, 1992). Oleh karena itu, pemahaman yang baik
tentang split akan sangat membantu pada:

- Kegiatan eksplorasi untuk menentukan sebaran lapisan batubara


dan penentuan perhitungan cadangan

- Kegiatan penambangan hadirnya split dengan kemiringan sekitar


45 derajat yang umumnya disertai dengan perubahan kekompakan
batuan, maka akan menimbulkan masalah dalam kegiatan tambang
terbuka, kestabilan lereng, dan kestabilan atap pada operasi
penambangan bawah tanah

KENAMPAKAN GEOLOGI PADA LAPISAN BATUBARA

Splitting
Merupakan lapisan batubara yang bercabang atau terbelahnya lapisan batubara (secara
lateral) dimana jarak antar percabangannya relatif dekat, dimana jarak antar belahan
batubara tersebut diisi oleh sedimen bukan batubara (umumnya berupa channel
batupasir)
Bentuk-bentuk splitting ada 3, yaitu :
Simple splitting : Splitting sederhana yang disebabkan oleh kehadiran tubuh lentikuler
yang besar berupa sedimen bukan batubara (washout).
Progresif splitting : Terdiri dari beberapa lensa, dimana splitting dapat berkembang
secara terus menerus.

272727272727272727
Zig-zag splitting : Lapisan batubara yang terbelah kemudian bergabung lagi dengan
lapisan batubara yang lain.

Washout
Adalah tubuh lentikuler suatu sedimen non batubara yang menonjol ke bawah,
umumnya berupa batupasir yang akan menggantikan sebagian atau seluruhnya suatu
lapisan batubara. Ketebalannya 1 m – beberapa meter.

Clastic dykes dan Cleats


Clastic dykes merupakan tubuh membaji atau tubuh seperti lembaran dari material
sedimentasi yang memotong melintang perlapisan batubara.
Umumnya mengisi retakan-retakan dalam batubara (cleats)
Intrusi Batuan Beku
Pengaruh intrusi batuan beku terhadap material organik batubara adalah sangat besar
terutama akan meningkatkan nilai kalori dan berkurangnya kadar air (nilai moisture)
lapisan batubara, akibat panas yang dihasilkan.

Plies, Bands dan Partings


Plies atau benches merupakan kehadiran lapisan bukan batubara untuk membagi
lapisan batubara (coal seam) kedalam satuan-satuan yang lebih kecil.
Bands merupakan lapisan yang terdiri dari material, terjadi karena suplai akumulasi
sedimen klastik telah melebihi akumulasi gambut.
Lapisan bukan batubara umumnya dikenal dengan istilah : bands atau partings.
. GEOMETRI LAPISAN BATUBARA
v Geometri lapisan batubara merupakan aspek dimensi atau ukuran dari suatu lapisan
batubara yang meliputi parameter ketebalan, kemiringan, kemenerusan, keteraturan,
sebaran, bentuk, kondisi roof dan floor, cleat, dan pelapukan.
v Aspek geometri lapisan batubara berhubungan atau dikendalikan oleh faktor
lingkungan pengendapan dan proses tektonik yang berlangsung. Kedua faktor tersebut
dicerminkan oleh proses-proses geologi, yaitu
a. Proses geologi yang berlangsung bersamaan dengan pembentukan batubara:
perbedaan kecepatan sedimentasi dan bentuk morfologi dasar pada cekungan,

282828282828282828
pola strukur yang sudah terbentuk sebelumnya, dan kondisi lingkungan saat
batubara terbentuk.
b. Proses geologi yang berlangsung setelah lapisan batubara terbentuk: adanya sesar,
erosi oleh proses-proses yang terjadi di permukaan atau terobosan batuan beku
(intrusi).

292929292929292929

Anda mungkin juga menyukai