Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori TB Paru

2.1.1. Pengertian TB Paru

Tuberculosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis (MTB) dengan gejala yang sangat bervariasi

(Mansjoer, 2001). TB paru tidak hanya menyerang parenkim paru tetapi dapat

juga ditularkan melalui bagian tubuh lainnya seperti meninges, ginjal, tulang dan

nodus limfe. Kuman yang terdapat pada TB paru berbentuk batang aerobik tahan

asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet

(Smeltzer & Bare, 2001).

2.1.2. Epidemiologi

Di seluruh dunia TB menyerang 10 juta orang dan menyebabkan 3 juta

kematian setiap tahun. Di negara maju, TB jarang terjadi yaitu menyerang kira-

kira 1 per 10.000 populasi. TB paru paling sering menyerang masyarakat di Asia

yakni di Cina dan India Barat. Transmisi melalui udara dan kontak dekat

menyebarkan penyakit ini. Orang usia lanjut, orang yang malnutrisi atau orang

dengan penekanan sistem imun (infeksi HIV, diabetes melitus, terapi

kortikosteroid, alkoholisme, intercurrent lymphoma) lebih mudah terkena.

Perbaikan keadaan rumah dan malnutrisi mengurangi insidensi (Jane, 2002).

8
9

2.1.3. Morfologi dan Fisiologi Kuman TB Paru

Basil tuberkulosis berukuran sangat kecil berbetuk batang tipis, agak

bengkok, bergranular, bepasangan yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop.

Panjangnya 1-5 mikron dan lebarnya antara 0,3-0,6 mikron. Basil tuberkulosis

akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37 C dengan tigkat PH optimal (PH

6,4-7,0). Untuk membelah dari 1-2 kuman membutuhkan waktu 14-20 jam.

Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak lebih dari 30% berat dinding kuman, asam

asstrearat, asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta Cord factor dan protein

terdiri dari tuberkuloprotein (tuberkulin). TB paru pada orang dewasa biasanya

disebabkan oleh reaktivasi infeksi sebelumnya. Berdasarkan sifat metabolisme

basil, terdapat 4 jenis populasi basil tuberkulosis. Populasi basil tuberkulosis,

yaitu:

a. Populasi A, yang terdiri atas kuman yang secara aktif berkembang biak

dengan cepat, kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi

yang mempunyai PH netral.

b. Populasi B, terdiri atas kuman yang tumbuhnya sangat lamban dan berada

dalam lingkungan PH rendah. Lingkungan asam ini yang melindunginya

terhadap obat anti tuberkulosis tertentu.

c. Populasi C, yang terdiri atas kuman tuberkulosis yang berada dalam keadaan

dormant hampir sepanjang waktu. Kuman yang terdapat pada dinding kavitas

ini jarang mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat.

d. Populasi D, terdri atas kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat dormant

sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat-obatan tuberkulosis.


10

2.1.4. Patogenesis

Penyebaran TB paru dari penderita melalui nuklei droplet infeksius yang

keluar bersama batuk, bersin dan bicara dengan memproduksi percikan yang

sangat kecil berisi kuman TB. Kuman ini melayamg-layang di udara yang dihirup

oleh orang lain. Faktor utama dalam perjalanan infeksi adalah kedekatan dan

durasi kontak serta derajat infeksius penderita dimana semakin dekat seseorang

berada dengan penderita, makin banyak kuman TB yang mungkin akan

dihirupnya.Tempat implantasi kuman tuberculosis yang paling sering adalah

permukaan alveoli dari parenkim paru pada bagian bawah lobus atas bagian atas

lobus bawah.

Reaksi yang ditimbulkan oleh basil ini merupakan suatu proses peradangan

alveoli yang akut. Tahap tersebut dapat sembuh sendiri, dapat pula berkembang

lebih lanjut, dimana peradangan menjadi degeneratif dan eksudat menjadi lebih

banyak. Ada kalanya paru-paru terdapat kaverne sehingga eksudat juga dapat

terbawa melalui kelenjar limfe maupun aliran darah yang mengakibatkan

peradangan pada organ lainnya; antara lain peritonitis, tuberculosis, meningitis

dan limfadenitis tuberculosis. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah

atelektasis, hemoptisis dan pneumothorak. Tetapi bagaimana gejala klinik

penyakit ini bervariasi tanpa gejala, hanya dengan pemeriksaan kulit positif

sampai adanya gangguan paru-paru dan gangguan sistemik.

Reaksi individu yang terinfeksi tuberculosis tergantung pada daya tahan

tubuh individu, jumlah basil dan virulensi basil. Banyak individu yang terinfeksi

basil ini tidak menunjukkan tuberculosis aktif, tetapi menunjukkan tuberculosa


11

pasif, tetapi menunjukkan pemeriksaan kulit positif dan dari foto thorak

ditemukan adanya kalsifikasi dan kavitas. Pembagian jenis TB Paru dapat

digolongkan menjadi :

1) Tuberkulosis Primer

Penyebaran tuberkulosis ini terjadi pada penderita yang belum pernah

terinfeksi sebelumnya. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran nafas

akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni

disebut sarang primer (afek primer). Peradangan akan kelihatan dari sarang primer

saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) yang diikuti oleh

pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfangitis regional). Limfangitis

regional bisa sembuh tanpa mengalami cacat, sembuh dengan meninggalkan

sedikit bekas dan mengalami penyebaran. Penyebarannya dengan beberapa cara

yaitu:

a) Perkontinuitatum adalah penyebaran kuman tuberkulosis disekitar paru

yang terserang kuman tuberkulosis tersebut.

b) Bronkogen adalah penyebaran baik di paru bersangkutan maupun keparu

sebelahnya.

c) Hematogen dan limfogen adalah penyebaran yang berkaitan dengan daya

tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Penyebaran ini akan

menimbulkan keadaan cukup gawat apabila tidak terdapat imunitas yang

baik.
12

2) Tuberkulosis Post Primer

Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun setelah tuberculosis

primer. Penyebaran tuberkulosis ini dimulai dengan sarang dini yang umumnya

terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang ini

awalnya terbentuk suatu sarang pneumonia kecil yang bisa sembuh tanpa

meninggalkan cacat, meluas dan segera terjadi proses penyembuhan. Bisa juga

meluas dan membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).

2.1.5. Diagnosis TB Paru

TB paru sering menimbulkan gejala klinis yaitu gejala respiratorik dan

gejala sistematik. Gejala respiratorik seperti batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri

dada, sedangkan gejala sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia,

penurunan berat badan dan malaise. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari

mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya

lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum

terlibat dalam proses penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk. Batuk

yang pertama terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan

untuk membuang dahak keluar.

Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan pada

pemeriksaan fisik. Kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.

Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama di daerah

apeks dan segmen posterior. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai antara lain suara

napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan

paru, diapragma dan mediastinum. Untuk yang diduga menderita TB paru, diperiksa 3
13

spesimen dahak dalam waktu 2 hari yaitu sewaktu pagi – sewaktu (SPS). Berdasarkan

panduan program TB nasional, diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan

dengan dijumpainya kuman TB (BTA). Sedangkan pemeriksaan lain seperti foto

toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sesuai

dengan indikasinya dan tidak dibenarkan dalam mendiagnosis TB jika diagnosis

dibuat hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks.

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang

2.1.6.1.Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti

yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk

pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,

bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi.

2.1.6.2.Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas indikasi seperti

foto apikolordotik, oblik, CT Scan. Tuberkulosis memberikan gambaran

bermacam-macam pada foto toraks. Gambaran radiologis yang ditemukan

dapat berupa: bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal

lobus bawah, bayangan berawan atau berbercak, adanya kavitas tunggal

atau ganda, bayangan bercak milier, bayangan efusi pleura, umumnya

unilateral, destroyed lobe sampai destroyed lung

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia luasnya proses yang tampak

pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut:


14

a) Lesi minimal (Minimal Lesion): bila proses tuberkulosis paru

mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak

lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction

dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau

korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.

b) Lesi luas (FarAdvanced): kelainan lebih luas dari lesi minimal

2.1.6.3.Pemeriksaan Khusus

Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat

mendeteksi kuman TB seperti :

a. BACTEC: dengan metode radiometrik , dimana CO2 yang dihasilkan

dari metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi growth

indexnya.

b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari

M.tuberculosis, hanya saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini

adalah kemungkinan kontaminasi.

c. Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT dan Mycodot

2.1.6.4.Pemeriksaan Penunjang Lain

Seperti analisa cairan pleura dan histopatologi jaringan, pemeriksaan darah

dimana LED biasanya meningkat, tetapi tidak dapat digunakan sebagai

indikator yang spesifik pada TB. Di Indonesia dengan prevalensi yang

tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnosis penyakit kurang berarti

pada orang dewasa. Uji ini mempunyai makna bila didapatkan konversi,

bula atau kepositifan yang didapat besar sekali.


15

2.1.7. Klasifiasi Penyakit

Berdasarkan lokasi TB paru diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:

1. Tuberkulosis Paru, yaitu tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,

tidak termasuk pleura. Berdasarkan pemeriksaan mikroskopis TB paru

dapat dibagi, yaitu:

1). TB Paru BTA Positif, yaitu: Sekurang-kurangnya 2 dari 3

pemeriksaan spesimen dahak menunjukkan BTA (+). Hasil

pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan BTA positif

dan biakan positif.

2). TB Paru BTA Negatif yaitu : Hasil pemeriksaan dahak 3 kali

menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan

radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan

dahak 3 kali menunjukkan hasil negatif dan biakan menunjukkan

tuberkulosis positif.

2. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru (misalnya

selaput otak, kelenjar limfe, pleura, pericardium, persendian, tulang,

kulit, usus, saluran kemih, ginjal, alat kelamin dll). Berdasarkan

tingkat keparahannya, TB ekstra paru ini dibagi menjadi TB ekstra

paru berat (severe) dan TB ektra paru ringan (not/less severe).


16

Tipe penderita berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya ada beberapa tipe

penderita TB paru, yaitu:

2.7.1.1 Kasus baru

Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

Dimana OAT yang diberikan adalah OAT yang mempunyai efek dapat

mencegah pertumbuhan kuman-kuman resisten seperti, isoniazid (H),

rifampisin (R), etambuthol (E) dan pirazinamid (Z).

2.7.1.2. Kasus kambuhan

Kasus kambuh adalah penderita TB paru yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan TB paru dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif. Sebelum ada hasil resistensi dapat

diberikan 2 RHZES/ 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji

resistensi. Bila tidak ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE

selama 5 bulan.

2.7.1.3.Kasus defaulted atau drop out

Kasus defaulted atau drop out adalah penderita yang telah menjalani

pengobatan > 2 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut

atau lebih sebelum masa pengobatan selesai.

2.7.1.4. Kasus gagal

Kasus gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum masa
17

pengobatan berakhir) atau akhir pengobatan. Sejak BTA dalam seputum

negatif, dengan memakai tiga obat setiap hari dalam jangka waktu 3-4

bulan pertama (yang belum pernah di berikan sebelumnya): RMP- EMB-

PZA atau SM- PAS- PZA. Obat lain seperti etambutol atau prothionamid,

sikloserin, thiaketazone atau kanamisin dan kapreomisin dapat

dipertimbangkan untuk diberikan.

2.7.1.5. Kasus kronik

Kasus kronik adalah penderita dengan pemeriksaan BTA masih positif

setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan ulang dengan

pengobatan kategori II dengan pengawasan yang baik. Pengobatan kasus

kronik, jika belum ada hasil uji resistensi diberikan RHZES. Jika telah ada

hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi ditambah dengan

obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Jika tidak mampu

dapat diberikan INH seumur hidup

2.1.8. Komplikasi

2.1.8.1. Pleuritis dan Empiema

Pleuritis adalah peradangan jaringan tipis yang meliputi paru-paru dan

melapisi rongga dinding rongga dada bagian dalam (pleura).

Empiema adalah berkumpulnya atau timbunan pus (nanah) di dalam suatu

kavitas organ berongga yaitu paru-paru.


18

2.1.8.2. Pneumothoraks spontan

Pneumothoraks adalah masuknya udara atau gas secara abnormal kedalam

paru, dimana gas tersebut memisahkan pleura viseralis dan pleura

parientalis sehingga jaringan paru tertekan dan kesulitan bernafas.

Pneumothoraks spontan dapat terjadi bila udara memasuki rongga pleura

sesudah terjadi robekan pada kavitas tuberkulosis. Hal ini mengakibatkan

rasa sakit pada dada secara akut dan tiba-tiba bersamaan dengan sesak

nafas. Ini dapat berlanjut menjadi suatu empiema tuberkulosis.

2.1.8.3. Laringitis tuberculosis

Laringitis tuberkulosis adalah radang pangkal tenggorokan dengan gejala

serak, perubahan suara dan gatal pada kerongkongan. Keganasan pada

laring jarang menimbulkan rasa sakit. Sputum biasanya positif, tetapi

diagnosis mungkin perlu ditegakkan dengan biopsi pada kasus-kasus yang

sulit. Tuberkulosis laring memberikan respon yang sangat baik terhadap

kemoterapi. Bila terdapat nyeri hebat yang tidak cepat hilang dengan

pengobatan, tambahkan prednisolon selama 2-3 minggu.

2.1.8.4. Kor pulmonale

Kor pulmonale adalah suatu bentuk penimbunan cairan di dalam paru

(abses paru). Gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat

kerusakan paru dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang sangat luas.

Keadaan ini dapat terjadi walaupun penyakit tuberkulosis sudah tidak aktif

lagi, dimana banyak meninggalkan jaringan parut. Pengobatan dini

terhadap penyakit TB Paru dengan jelas dapat mengurangi komplikasi ini.


19

2.1.8.5. Apergilomata

Apergilomata adalah kavitas tuberkulosis yang sudah di obati dengan baik

dan sudah sembuh terinfeksi jamur Aspergillus fumingatus. Aspergillus

fumingatus yaitu sepesies jamur lingkungan yang menghasilkan spora

yang terdapat di dalam udara dan dihirup secara terus menerus. Pada sinar

rontgen dapat dilihat semacam bola terdiri atas fungus yang berada dalam

kavitas. Keadaan ini kadang-kadang menyebapkan hemoptisis (batuk

berdarah) yang berat bahkan fatal. Fungsi paru sudah sering rusak berat

karena tuberkulosis lama sehingga tidak dapat lagi di operasi.

2.1.9. Keluhan Dan Gejala Tuberkulosis Paru

Keluhan pada penderita tuberkulosis paru dapat dibagi menjadi gejala

lokal di paru dan keluhan pada seluruh tubuh pada umumnya:

2.1.9.1.Batuk, gejala batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang

paling sering dikeluhkan. Biasanya batuknya ringan sehingga dianggap

batuk biasa atau akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan

secret akan terkumpul pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan pada

saat penderita bangun pagi hari. Bila proses destruksi berlanjut, sekret

dikeluarkan terus menerus sehingga batuk akan menjadi lebih dalam dan

sangat mengganggu penderita pada waktu siang maupun malam hari. Bila

yang terkena trakhea dan/atau bronkus, batuk akan terdengar sangat keras,

lebih sering atau terdengar berulang-ulang (paroksismal). Bila laring yang

terserang, batuk terdengar sebagai hollow sounding cough, yaitu batuk

tanpa tenaga dan disertai suara serak.


20

2.1.9.2.Batuk Darah, darah yang dikeluarkan penderita mungkin hanya berupa

garis atau bercak-bercak darah, Gumpalan-gumpalan darah atau darah

segar dalam jumlah yang sangat banyak (profus). Batuk darah jarang

merupakan tanda permulaan dari penyakit tuberkulosis atau initial symtom

karena batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi dan

ulcerasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas. Batuk darah pada

pemeriksaan radiologis tampak ada kelainan. Sering kali darah yang

dibatukkan pada penyakit tuberkulosis bercampur dahak yang

mengandung basil tahan asam. Batuk darah juga dapat terjadi pada

tuberkulosis yang sudah sembuh karena robekan jaringan paru atau darah

berasal dari bronkhiektasis yang merupakan salah satu penyulit

tuberkulosis paru. Pada saat seperti ini dahak tidak mengandung basil

tahan asam (negatif).

2.1.9.3.Nyeri Dada, nyeri dada pada penyakit tuberkulosis paru termasuk nyeri

pleuritik yang ringan. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi

pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung skapula atau

tempat-tempat lain).

2.1.9.4.Sesak Nafas, pada tuberkulosis disebabkan oleh penyakit yang luas pada

paru atau oleh adanya penggumpalan cairan di rongga pleura sebagai

komplikasi TB paru. Penderita yang sesak nafas sering demam dan berat

badan turun.

2.1.9.5.Demam, merupakan gejala yang paling sering dijumpai dan paling

penting. Sering kali panas badan sedikit meningkat pada siang maupun
21

sore hari. Panas badan meningkat atau menjadi lebih tinggi bila proses

berkembang menjadi progresif sehingga penderita merasakan badannya

hangat atau muka terasa panas.

2.1.9.6.Menggigil, dapat terjadi bila panas badan naik secara cepat, tetapi tidak

diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi

sebagai suatu reaksi umum yang lebih erat.

2.1.9.7.Keringat Malam, bukan merupakan gejala yang patognomonis untuk

penyakit tuberkulosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila

proses telah lanjut, kecuali pada orang-orang yang fasomotornya labil,

keringat malam..

2.1.9.8.Anoreksia, yaitu tidak selera makan dan berat badan turun merupakan

manifestasi toksemia yang timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan

bila proses progesif. Rendahnya asupan makanan yang disebabkan karena

anoreksia, menyebabkan peningkatan metabolisme energi dan protein.

Asupan yang tidak kuat menimbulkan pemakaian cadangan energi tubuh

yaang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan

mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan dan kelainan biokimia

tubuh.

2.1.9.9.Lemah badan, gejala ini dapat disebabkan oleh kerja berlebihan, kurang

tidur dan keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan. Oleh sebab itu

harus dianalisa dengan baik apabila dijumpai perubahan sikap dan

tempramen, perhatian penderita berkurang atau menurun pada pekerjaan.


22

2.1.10. Tatalaksana TB Paru

Beberapa hal penting dalam penatalaksanaan TB Paru adalah: Obat TB

diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan dalam monoterapi, pemberian

gizi yang kuat, dan mencari penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara

simultan.

Tatalaksana medika mentosa TB terdiri dari terapi (pengobatan) dan

profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada orang yang menderita

penyakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada orang yang pernah kontak

TB. Paduan obat terapi TB prinsip dasar erapi TB adalah minimal 3 macam obat

dan diberikan dalam jangka waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB

dibagi dalam 2 fase yaitu fase Intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase

lanjutan (4 bulan kecuali pada TB berat). Pemberian paduan obat ini ditujukan

untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman

intraseluler dan ekstraseluler.

Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman

juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. OAT diberikan

setiap hari dengan paduan obat yaitu Rifampisin, Isoniazid, etambuthol dan

Pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid.

Sedangkan pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid. Untuk kasus TB

tertentu yaitu: TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB TB endobronkial,

meningitis TB dan peritonitis TB diberikan Kortikosteroid (prednison). Lama

pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan


23

taffering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid adalah

untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadinya perlekatan jaringan.

2.1.11. Faktor Risiko Penyakit TB Paru

Faktor resiko adalah semua variabel yang berperan terhadap timbulnya

kejadian penyakit. Pada berbagai faktor resiko TBC saling berkaitan satu sama

lain. Faktor resiko yang berperan dalam kejadian penyakit TBC adalah faktor

karakteristik individu dan faktor resiko lingkungan (Smeltzer & Bare, 2001 dan

Crofton, 2002).

1. Faktor Karakteristik Individu

Karakteristik individu adalah keseluruhan kelakuan dan kemampuan yang

ada pada individu sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungan. Karakteristik

bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang

menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Beberapa faktor

karakteristik individu yang menjadi faktor risiko terjadinya kejadian TB paru

menurut Smeltzer & Bare, (2001 dan Crofton, (2002) adalah :

a. Faktor Usia

Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberculosis di Amerika yaitu

umur, jenis kelamin, ras, asal Negara bagian, serta infeksi AIDS. Variabel

umur berperan dalam kejadian penyakit TBC. Dari hasil penelitian yang

dilaksanakan di New York pada panti penampungan gelandangan

menunjukan bahwa kemungkinan mendapat infeksi TBC aktif meningkat

secara bermakna sesuai dengan umur. Prevalensi TB paru meningkat

seiring dengan peningkatan usia. Pada wanita prevalensi mencapai


24

maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang sedangkan

pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya

mencapai 60 tahun (Crofton, 2002).

Resiko untuk mendapatkan TBC dapat dikatakan seperti halnya kurva

terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun ketika diatas dua tahun

hingga dewasa. Puncaknya pada dewasa muda, dan menurun kembali

ketika seseorang menjelang usia tua (Achmadi, 2005). Di Indonesia

diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu

15-50 tahun ( Depkes, 2007).

b. Faktor Jenis Kelamin

Prevalensi tuberculosis paru tampaknya meningkat seiring dengan

peningkatan usia. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia

tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui

usia subur, wanita sering mendapat tuberculosis paru sesudah bersalin

(Crofton, 2002). Jenis kelamin dapat juga mempengaruhi terhadap

penyebab terjadinya penyakit TBC paru. Di mana hal ini dikarenakan oleh

faktor kebiasaan merokok pada laki-laki yang hampir 2 kali lipat di

bandingkan wanita. Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada jenis

kelamin laki-laki dibanding perempuan (menurut WHO). Pada jenis

kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan

minuman beralkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh,

sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB paru.


25

c. Tingkat pendidikan

Pendidikan seseorang merupakan salah proses perubahan tingkah laku,

semakin tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih pusat-pusat

pelayanan kesehatan semakin diperhitungkan, merupakan suatu faktor

yang mempengaruhi perilaku seseorang dan pendidikan dapat

mendewasakan seseorang serta berperilaku baik, sehingga dapat memilih

dan membuat keputusan dengan lebih baik (Suryo, 2010 dalam Anggraini,

2014)

Tingkat pemahaman penderita TB paru di pengaruhi oleh latar belakang

pendidikan, yang memberikan pengaruh positif dalam penyembuhan.

Tingkat pendidikan yang relatif rendah pada penderita TB paru

menyebapkan keterbatasan informasi tentang gejala dan pengobatan TB

paru. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan diri dalam hal

ini berupa pencegahan terhadap masalah penyakit (Depkes RI, 2002)

d. Pekerjaan

Jenis Pekerjaan menentukan faktor resiko apa yang harus dihadapi

setiap individu. Perbedaan pekerjaan yang dimiliki seseorang

menyebabkan terdapat pula perbedaan status sosial ekonomi yang

dimilikinya (Notoatmodjo, 2007). Setiap pekerjaan merupakan beban dan

beresiko bagi pelakunya. Beban yang dimaksudkan yaitu fisik, mental atau

sosial pekerja. Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap

pendapatan keluarga, yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup

sehari-hari diantaranya konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan dan


26

kepemilikan (konstruksi) rumah. Pekerjaan yang dimaksud dalam

penelitian TB paru adalah pekerjaan sehari-hari penderita. Bila pekerja

bekerja di lingkungan yang berdebu, paparan partikel debu akan

mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan

kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama

terjadinya penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru (Dessy

Anggraini, 2014).

e. Kebiasaan merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatnya resiko

kejadian kanker paru, penyakit jantung koroner, dan bronchitis kronik.

Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB Paru sebanyak

2,2 kali (Anggraini, 2014). Prevalensi merokok pada hamper semua

Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa,

sedangkan wanita perokok kurang dari 5%.

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran antara 70 hingga 120 mm

(bervariasi tergantung negara) dengan diameter 10mm yang berisi daun

daun tembakau yang telah dicacah. Nikotin adalah bahan adiktif dari

rokok. Nikotin sangat cepat diserap kedalam aliran darah dan dalam 30

detik dapat masuk kedalam tubuh dan mencapai otak. Hal ini yang dapat

menimbulkan rasa rileks dan gairah. Namun sesungguhnya, hal itu hanya

kesenangan sesaat karena setelah setengah jam perasaan ini akan hilang

dan yang tersisa adalah perasaan depresi dan kelelahan (Suryoprayogo,

2009). Perilaku merokok merupakan perilaku yang telah umum dijumpai


27

dilingkungan sekitar . Perokok berasal dari berbagai kelas sosial, status,

serta kelompok umur yang berbeda, dalam hal ini mungkin dapat

disebabkan karena rokok bisa didapatkan dengan mudah dan dapat

diperoleh dimanapun juga. Dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok

adalah suatu kegiatan aktifitas membakar rokok dan kemudian

menghisapnya dan menghembuskannya keluar dan dapat menimbulkan

asap yang dapat terhisap oleh orang-orang disekitarnya.

Banyak orang, terutama perokok, bakal menyangkal keras adanya

hubungan antara rokok dan TBC. Faktanya, tembakau merupakan

penyebab kematian lima terbesar di dunia. Satu di antara 10 kematian

orang dewasa di seluruh dunia disebabkan kebiasaan merokok (sekitar 5

juta kematian tiap tahun). Bila pola merokok ini terus berlanjut, sampai

tahun 2020 diperkirakan akan ada 10 juta kematian. Setidaknya kini lebih

dari 1 miliar orang termasuk pemakai tembakau aktif (70% di antaranya

berada di negara berpenghasilan rendah) di mana setengahnya akhirnya

meninggal oleh tembakau. Pemakaian tembakau merupakan penyebab

utama kematian pada penyakit berat seperti penyakit paru obstruktif kronis

(PPOK), kanker paru, aneurisma aorta, penyakit jantung koroner, kanker

kandung kemih, kanker saluran pernapasan bagian atas, dan kanker

pankreas. Hasil survei tahun 2006 menyebutkan, di Indonesia jumlah

seluruh perokok tak kurang dari 160 juta orang (hampir 70% dari

populasi) dan sekitar 22,6 persen dari 3.320 kematian disebabkan penyakit

yang berkaitan dengan kebiasaan merokok.


28

Kenyataan lain memperlihatkan kondisi memprihatinkan, lebih dari 45

juta anak (usia 0-14 tahun) tinggal bersama perokok. Padahal, anak-anak

yang kerap terpapar asap rokok akan mengalami pertumbuhan paru yang

kurang normal dan lebih mudah terkena infeksi saluran pernapasan serta

penyakit asma.

f. Status gizi

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya

kejadian TB Paru. Mekanisme kerja antara status gizi dan penyakit infeksi

cukup komplek. Penyakit infeksi melalui penurunan nafsu makan dan

peningkatan kebutuhan waktu sakit dapat diikuti oleh penurunan gizi.

Sebaliknya penderita status gizi kurang memiliki daya tahan tubuh lemah

sehingga peka terhadap penularan penyakit infeksi (Sediaoetomo, 2004).

Seseorang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk

menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya

cukup atau lebih.

Status gizi dapat dikatakan sebagai determinan yang penting bagi

terjadinya penyakit infeksi. Pada kondisi gizi yang baik, tubuh memiliki

kemampuan yang cukup untuk mempertahankan diri dari gangguan

penyakit infeksi, tetapi apabila keadaan gizi buruk maka reaksi kekebalan

tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh untuk

mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi menurun. Oleh

karena itu setiap bentuk gangguan gizi meskipun dalam kondisi gejala

defisiensi ringan sekalipun, merupakan pertanda awal terganggunya sistem


29

kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Ini yang menjadi pemikiran

bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor utama

peningkatan resiko TB menjadi aktif.

Pola makan orang Indonesia yang hampir 70% karbohidrat dan hanya

10% protein yang pada penyakit kronis selalu disertai dengan tidak selera

makan, tidak mau makan, tidak bisa makan atau tidak mampu membeli

makanan yang mempunyai kandungan gizi baik (kurang protein), sehingga

penderita ini mempunyai status gizi yang buruk.

g. Kondisi sosial ekonomi

WHO tahun 2007 menyebutkan 90% penderita TB paru di dunia

menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin dan menurut

Enarson TB merupakan penyakit terbanyak yang menyerang negara

dengan penduduk berpenghasilan rendah. Sosial ekonomi yang rendah

akan menyebapkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan buruknya

lingkungan, selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem

bagi golongan sosial ekonomi rendah. Kondisi sosial ekonomi bukan

merupakan penyebap langsung terjadinya penyakit TB paru, namun

dengan kondisi sosial ekonomi yang kurang baik akan berpengaruh

terhadap penurunan gizi, penanganan dan sikap masyarakat terhadap

penderita penyakit TB paru (Soediaoetomo, 2004). Pada umumnya

penderita yang terserang penyakit TB paru adalah golongan masyarakat


30

berpenghasilan rendah, sehingga kebutuhan primer sehari-hari masih lebih

penting dari pada memelihara kesehatan.

h. Prilaku

Prilaku sesorang yang berkaitan dengan penyakit TB paru adalah

kebiasaan sehari-hari individu yang berkaitan dengan prilaku hidup bersih

dan sehat. Prilaku tersebut diantaranya : kebiasaan membuka jendela

setiap hari, menutup mulut bila batuk atau bersin, meludah sembarangan,

kebiasaan menjemur kasur atau bantal, merokok dan mencuci tangan.

Prilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap, dan tindakan. Pengetahuan

penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara

pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang

sakit dan akhirnya menjadi sumber penularan bagi orang lain di

sekelilingnya.

2. Riwayat kontak dengan penderita TB paru BTA positif

Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =

ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%, berarti

diantara 1000 penduduk ada 10 orang yang akan terinfeksi setiap tahun.

Sedangkan sumber penularan yang paling banyak adalah didalam rumah dan

anggota keluarga yang paling rentan terhadap penularan ini adalah anak-anak

dan lanjut usia. Adanya kontak dengan penderita yang lama, erat dan terus

menerus maka mempunyai resiko tertular yang sangat tinggi. Ketika

seseorang telah terpapar atau terinfeksi oleh kuman TB ini orang tersebut

telah terinfeksi TB di dalam rumahnya (Depkes RI, 2001). Penelitian Topley


31

(1996), membuktikan bahwa ada sebesar 63.8% yang terdeteksi menderita TB

paru yang berasal dari kontak serumah dengan keluarga atau orang yang

menderita TB paru melalui skrining klinis.

3. Faktor resiko lingkungan

Beberapa faktor lingkungan yang menjadi faktor resiko terhadap kejadian TB

Paru adalah sebagai berikut :

a) Kepadatan hunian

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni

didalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus di sesuaikan

dengan jumlah penghuni agar tidak menyebabkan overload. Jika terjadi

overload maka menjadi tidak sehat karena kurangnya konsumsi oksigen,

bila ada anggota keluarga terkena penyakit infeksi, maka akan mudah

menular kepada anggota keluarga lainnya (Notoatmodjo, 2003).

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan

dalam M2/orang. Luas minimum perorang sangat relative tergantung dari

kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. untuk kamar tidur

diperlukan luas lantai minimum 3 M2/orang.

b) Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan

tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk kedalam ruangan

rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga

merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembang

biaknya bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah


32

akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusak mata

(Notoatmodjo, 2003). Cahaya dapat dibedakan menjadi 2 yakni, cahaya

alamiah dan cahaya buatan. Cahaya alamiah yaitu cahaya matahari yang

mengandung sinar ultraviolet. Cahaya ini sangat penting karena dapat

membunuh bakteri pathogen di dalam rumah, misalnya basil TBC,

karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang

cukup.

c) Ventilasi

Yang di maksud dengan ventilasi adalah dimana proses dimana udara

bersih dari luar ruang sengaja di alirkan kedalam ruang dan udara yang

buruk dari dalam ruang dikeluarkan (Notoatmodjo, 2003). Fungsi

ventilasi adalah menjaga aliran udara agar tetap segar, menjaga

keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah,

membebaskan udara ruangan dari bakteri pathogen, dan menjaga

kelembaban (humiditiy) yang optimum (Notoatmodjo, 2003).

Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi

sebesar 10% dari luas lantai (Kepmenkes, 2009).

d) Kondisi rumah

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit

TB Paru. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang

biakan kuman. Lantai dan dinding yang susah dibersihkan akan

menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media


33

yang baik bagi perkembangbiakan Mycobacterium tuberculosis

(Achmadi, 2005).

e) Kelembaban udara

Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,

dimana kelembaban berkisar 40-60% dengan suhu udara yang nyaman

18-300C. kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari

langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat

yang gelap dan lembab. Mulyadi (2008) mengemukakan bahwa penghuni

rumah yang memiliki kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 60%

beresiko terkena TBC 10,7 kali di banding penghuni rumah yang tinggal

pada kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60%.

f) Suhu

Suhu dalam ruang harus dapat diciptakan sedemikian rupa sehingga

tubuh tidak terlalu banyak kehilangan panas atau sebaliknya. Suhu ruang

dalam rumah yang ideal adalah berkisar 18-300C dan suhu tersebut

dipengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara dan kelembaban

udara dalam ruangan (Kepmenkes, 2008).

g) Ketinggian wilayah

Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu

lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter selisih udara dengan permukaan

air laut sebesar 0,5 0C. Selain itu berkaitan juga dengan kerapatan

oksigen, Mycobacterium tuberculosis sangat aerob, sehingga


34

diperkirakan kerapatan pegunungan akan mempengaruhi viabilitas kumat

TBC(Achmadi, 2005).

2.1.12. Pengobatan TBC

Pengobatan TB Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak,

tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak

menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi

negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH (Isoniazid) 5–10

mg/kgbb/hari.

1. Pencegahan (profilaksis) primer :

Anak yang kontak erat dengan penderita TB BTA (+) mendapat INH

minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin memberi hasil negatif. Terapi

profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi negatif atau

sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.

2. Pencegahan (profilaksis) sekunder :

Anak dengan infeksi TB yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala

sakit. Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan. Obat yang digunakan untuk

TB digolongkan atas dua kelompok yaitu :

a). Obat primer : INH, Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.

Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat

ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat

ini.

b). Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,

Kapreomisin dan Kanamisin.


35

2.1.13. Penyakit Penyerta pada penderita TB Paru

Penyakit penyerta pada penderita TB paru perlu di ketahui guna

penanggulangan dan penyembuhan penderita. Penelitian yang telah dilakukan

pada penyakit penyerta penderita TB paru secara retrospektif pada medical record

di rumah sakit, Puskesmas dan BP4 di DKI dan Bandung, dengan hasil bahwa

penyakit yang menyertai TB paru diantaranya DM (diabetes melitus), PPOK

(penyakit paru obstruksi kronik), Maag, Asma, Arterio sclerosis, cirosis hepatis

dan bronchiektasis (litbang Depkes, 2006).

Pada penderita TB paru primer, dimana infeksi bakteri TB dari penderita

belum mempunyai reaksi spesifik. Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka

infeksi primer tidak berkembang lebih jauh dan kuman menjadi dorman atau tidur.

Ketika suatu saat kondisi inang melemah akibat sakit lama, daya tahan tubuh

melemah maka kuman TB ini akan menjadi aktif kembali. Kondisi yang

melemahkan daya tahan tubuh inang diantaranya pada penyakit DM, silikosis,

HIV/AIDS, Keganasan dan alkoholis (Muttaqin, 2012)

Pada beberapa kepustakaan dilaporkan malnutrisi merupakan faktor risiko

infeksi TB pada anak. Hubungan antara malnutrisi dengan infeksi TB terjadi

secara tidak langsung yaitu keadaan malnutrisi akan mempengaruhi sistem imun.

Secara tidak langsung akan menyebabkan daya tahan tubuh anak yang mengalami

malnutrisi lebih rentan dalam menghadapi infeksi TB dibandingkan dengan anak

sehat. Meskipun demikian derajat berat ringannya malnutrisi, dan densitas partikel

kuman yang terjadi juga turut berperan dalam terjadinya infeksi TB (Kurniasari,

2011).
36

2.2. Penelitian Terkait

Penelitian Amanto (2012) yang berjudul “Hubungan karakteristik individu

dan kebiasaan merokok dengan kejadian TB paru BTA positif di ruang penyakit

dalam RSUD Jend A. Yani Metro tahun 2012” menujukkan hasil sebagai berikut :

Umur responden dewasa (31- 55 tahun) sebanyak 38 (46,9%), jenis kelamin laki-

laki sebanyak 69 responden (85,2%), pendidikan rendah sebanyak 41 (50,6%),

responden merokok sebanyak 66 (81,5%) ,dan hasil uji statistik terdapat hubungan

yang signifikan antara umur (p value 0,001), Jenis kelamin (p value 0,034),

pendidikan (p value 0,025) dan kebiasaan merokok (p value 0,014).

Penelitian Permitasari (2012) yang berjudul “Faktor resiko terjadinya

koinfeksi Tuberculosis pada pasien HIV / AIDS di RSU P DR Karyadi Semarang”

menunjukan hasil diantara koinfeksi HIV- TB terbanyak pada laki-laki (71,1%),

golongan umur 15-35 tahun (59%), hasil uji statistik ada hubungan yang

signifikan antara jenis kelamin (p value 0,009), penyakit penyerta (p value 0,006)

dan variabel yang paling berhubungan adalah kadar Hb (p value 0,001).

Penelitian Kurniasari (2011) dengan judul “ Faktor Risiko Kejadian

Tuberkulosis Paru di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri” dengan hasil

penelitian menunjukan bahwa umur responden dewasa (31- 55 tahun) sebanyak

(54,9%), jenis kelamin laki-laki (75,2%), sosial ekonomi rendah (52,6%), riwayat

merokok (61,5%), kondisi rumah / luas ventilasi kurang (51,7%), dan hasil uji

statistik terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat merokok (p value

0,025) sosial ekonomi rendah (p value 0,035), kondisi rumah/ luas ventilasi (p

value 0,005).
37

2.3. Kerangka Teori

Mengacu dari tinjauan teori tentang faktor resiko penyebab terjadinya

penyakit TB Paru pada manusia, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar

kerangka teori berikut ini:

Faktor-faktor yang berhubungan dengan TB Paru

Karakteristik Individu :
- Umur
- Jenis kelamin
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Pengetahuan
- Prilaku
- Status gizi
- Kebiasaan merokok
Penderita TB
- Imunisasi Paru
- Penyakit penyerta ( HIV/ Kasus Baru
AIDS, DM)

Faktor Resiko Lingkungan :

- Kepadatan hunian
- Pencahayaan
- Suhu
- Kelembaban
- Jenis lantai
- Jenis dinding

Sumber : Modifikasi Crofton (2002), Smeltzer & Bare (2001) dan Achmadi (2005)

Gambar 2.1. Kerangka Teori

2.4. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah suatu uraian antara

konsep-konsep serta variabel yang ingin diamati atau di ukur melalui penelitian
38

yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep pada penelitian ini

adalah sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel dependen

Umur

Jenis Kelamin
Kejadian TB Paru
Kebiasaan Merokok

Penyakit Penyerta

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

2.5. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban suatu dugaan sementara dari penelitian yang

kebenarannya lebih lanjut (Arikunto,2010). Berdasarkan kerangka kerja di atas

penulis mengajukan hipotesis yaitu:

2.5.1. Ada hubungan umur penderita dengan kejadian TB Paru rawat inap di

RSUD Jendral Ahmad Yani Metro Tahun 2014.

2.5.2. Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian TB Paru rawat inap di RSUD

Jendral Ahmad Yani Metro Tahun 2014.

2.5.3. Ada hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru rawat inap di

RSUD Jendral Ahmad Yani Metro Tahun 2014

2.5.4. Ada hubungan penyakit penyerta dengan kejadian TB Paru rawat inap di

RSUD Jendral Ahmad Yani Metro Tahun 2014

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen9 halaman
    Bab Iv
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • POWER POIN Hasil
    POWER POIN Hasil
    Dokumen15 halaman
    POWER POIN Hasil
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen22 halaman
    Bab Ii
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    Ghani
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen9 halaman
    Bab Iv
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen9 halaman
    Bab Iv
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Lampiran I
    Lampiran I
    Dokumen4 halaman
    Lampiran I
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Dokumentasi Penerapan
    Dokumentasi Penerapan
    Dokumen2 halaman
    Dokumentasi Penerapan
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    Ghani
    Belum ada peringkat
  • Lembar Bimbingan N
    Lembar Bimbingan N
    Dokumen2 halaman
    Lembar Bimbingan N
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen7 halaman
    Bab I
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen2 halaman
    Bab V
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Halaman Depan
    Halaman Depan
    Dokumen15 halaman
    Halaman Depan
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Lampiran II
    Lampiran II
    Dokumen2 halaman
    Lampiran II
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Lampiran II
    Lampiran II
    Dokumen1 halaman
    Lampiran II
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • FORMULIR PROTOKOL PENELITIAN Upload
    FORMULIR PROTOKOL PENELITIAN Upload
    Dokumen20 halaman
    FORMULIR PROTOKOL PENELITIAN Upload
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • KATA PENGANTAR... Edit
    KATA PENGANTAR... Edit
    Dokumen4 halaman
    KATA PENGANTAR... Edit
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Halaman Pengesahan Penelitian
    Halaman Pengesahan Penelitian
    Dokumen1 halaman
    Halaman Pengesahan Penelitian
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Kuisioner 2
    Kuisioner 2
    Dokumen5 halaman
    Kuisioner 2
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    nurdiyanto
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen7 halaman
    Bab I
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    Ghani
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • ABSTRAK
    ABSTRAK
    Dokumen1 halaman
    ABSTRAK
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen6 halaman
    Bab Iii
    Anonymous EQVxwWa
    Belum ada peringkat