Anda di halaman 1dari 22

RESIKO SINDROM DISUSE

Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH

Disusun oleh :

Asep Supriyadi (312017010)

Dani Sukandar (312017011)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES AISYIYAH BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema
tugas yang kami selesaikan adalah “RISIKO SINDROM DISUSE”
Tinjauan teoritis yang kami buat dalam makalah ini memuat definisi,
batasan karakteristik, faktor resiko, anatomi fisologi dan patofisologi dari
resiko sindrom disuse. Diharapkan makalah ini dapat memberikan
pengetahuan kepada kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Hormat kami,

Tim penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

1.2 Tujuan ............................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN TEORITIS ................................................................. 2

2.1 Definisi .............................................................................................. 2

2.2 Batasan Karakteristik ........................................................................ 2

2.3 Faktor Resiko .................................................................................... 2

2.4 Anatomi Fisiologi ............................................................................. 3

2.5 Patofisiologi .................................................................................... 14

BAB III PENUTUP .................................................................................. 17

3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 17

3.2 Saran ................................................................................................ 17

DAFTAR ISI .................................................................................................

ii
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam masyarakat yang menua dengan angka kelahiran yang menurun,
ada kebutuhan yang meningkat untuk sistem rehabilitasi berbasis rumah dan
robot yang berpusat pada manusia untuk layanan perawatan kesehatan
(Gardner-Bonneau & Gosbee, 1997). Secara khusus, pasien lanjut usia yang
diminta untuk berbaring dalam posisi berbaring karena stroke atau patah tulang
mungkin menderita sindrom yang tidak digunakan, seperti luka baring,
kontraktur sendi dan atrofi otot (Bortz, 1984). Sulit bagi pasien lanjut usia ini
untuk secara aktif berolahraga untuk rehabilitasi preventif. Dengan demikian,
untuk mengelola sindrom yang tidak digunakan, peralatan rehabilitasi dan alat
bantu, seperti peralatan samping tempat tidur untuk latihan terus menerus dari
sendi, perangkat bantuan listrik untuk berdiri dan transfer kerekan harus
dikembangkan. Peralatan ini menuntut aktuator yang kuat dan lembut, serta
otot manusia.
Sebuah pola gejala sebagai akibat dari jangka panjang tidak digunakan ,
yang ditandai dengan baik efek fisik dan psikososial tidak aktif. Gejala
khas sindrom yang tidak digunakan termasuk kelemahan otot, rentang gerak
terbatas (ROM) sendi, penurunan fungsi pernapasan, perubahan aliran darah di
jaringan perifer, pengurangan kepadatan tulang dan gangguan fungsi mental.

1.2 Tujuan
Dapat lebih mengenal keadaan individu yang beresiko terhadap
memburuknya system tubuh sebagai akibat ketidakaktifan musculoskeletal
baik yang seharusnya dilakukan maupun yang tidak dapat dihindari.

1
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi
Rentan terhadap penyimpanan sistem tubuh akibat inaktifitas
muskuloskeletal yang diprogramkan atau yang tidak dapat dihindari, yang
dapat mengganggu kesehatan (Kamitsuru 2015-2017).
Sebuah pola gejala sebagai akibat dari jangka panjang tidak digunakan ,
yang ditandai dengan baik efek fisik dan psikososial tidak aktif. Gejala
khas sindrom yang tidak digunakan termasuk kelemahan otot, rentang gerak
terbatas (ROM) sendi, penurunan fungsi pernapasan, perubahan aliran darah di
jaringan perifer, pengurangan kepadatan tulang dan gangguan fungsi mental.
Disuse atrofi otot menunjukkan adanya penciutan ukuran sel akibat
kurang aktif, terputusnya saraf, pengurangan aliran darah, kekurangan nutrisi,
atau hilangnya rangsangan hormonal (Tambayong, 2000).
Disuse atrofi otot merupakan tidak berkontraksinya serabut-serabut otot
dalam waktu yang cukup lama sehingga perlahan-lahan akan mengecil (atrofi),
dimana terjadi perubahan perbandingan antara serabut otot dan jaringan fibrosa
(Guyton, 2007)

2.2 Batasan Karakteristik


-

2.3 Faktor Resiko


1. Imobilisasi
Gangguan mobilitas fisik (imobilisasi) menurut North American Nursing
Diagnosis Association (NANDA) adalah ketidakmampuan dari energi baik
dari segi fisik maupun psikis dalam memenuhi aktivitas sehari-hari. Bisa
disebabkan oleh gangguan masalah peredaran darah ataupun adanya
gambaran iskemik. Tingkat mobilisasi fisik dapat disebabkan oleh instruksi
pembatasan gerak volunter atau kehilangan fungsi motorik (Potter and

2
Perry, 2006). Pengukuran antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot,
menggunakan pencatatan asupan dan haluaran serta data laboratorium
untuk mengevaluasi status cairan, dan elektrolit. Pengkajian rentang gerak
juga penting dilakukan sehingga hasilnya bisa dibandingkan untuk
mengevaluasi terjadinya kehilangan mobilisasi sendi. Imobilisasi dapat
menimbulkan pengaruh yang bermakna pada tingkat kesehatan,
kemandirian, dan status fungsional (Potter and Perry, 2006).
2. Nyeri
3. Paralisis
Hilangnya persarafan otot, menyebabkan terjadinya atrofi otot. Pada
kelemahan (hemiparesis), hilangnya persarafan seluruh daerah anggota
tubuh dapat juga menyebabkan atrofi (disuse). Keadaan ini dapat
menyebabkan terjadinya atrofi sebagai hasil dari anoksia jaringan yang juga
bisa karena lambatnya dan berkurangnya aliran darah (Guyton, 2007).
4. Perubahan tingkat kesadaran
5. Program immobilisasi

2.4 Anatomi Fisiologi

A. ANATOMI SISTEM MUSCULOSKELETAL


Muskuloskeletal terdiri atas :
1. Muskuler/Otot : Otot, tendon,dan ligamen
2. Skeletal/Rangka : Tulang dan sendi

1. Muskuler/Otot
 Otot
Semua sel-sel otot mempunyai kekhususan yaitu untuk berkontraksi.
Terdapat lebih dari 600 buah otot pada tubuh manusia. Sebagian besar otot-otot

3
tersebut dilekatkan pada tulang-tulang kerangka tubuh oleh tendon, dan sebagian
kecil ada yang melekat di bawah permukaan kulit.

 Fungsi sistem muskuler/otot:


 Pergerakan otot menghasilkan gerakan pada tulang tempat otot tersebut
melekat dan bergerak dalam bagian organ internal tubuh.
 Penopang tubuh dan mempertahankan postur. Otot menopang rangka dan
mempertahankan tubuh saat berada dalam posisi berdiri atau saat duduk
terhadap gaya gravitasi.
 Produksi panas. Kontraksi otot-otot secara metabolis menghasilkan panas
untuk mepertahankan suhu tubuh normal.

 Ciri-ciri sistem muskuler/otot:


 Kontrakstilitas. Serabut otot berkontraksi dan menegang, yang dapat atau
tidak melibatkan pemendekan otot.
 Eksitabilitas. Serabut otot akan merespons dengan kuat jika distimulasi oleh
impuls saraf.
 Ekstensibilitas. Serabut otot memiliki kemampuan untuk menegang melebihi
panjang otot saat rileks.
 Elastisitas. Serabut otot dapat kembali ke ukuran semula setelah berkontraksi
atau meregang.

 Jenis-jenis otot
a) Otot rangka
Merupakan otot lurik, volunter, dan melekat pada rangka.
 Serabut otot sangat panjang, sampai 30 cm, berbentuk silindris dengan
lebar berkisar antara 10 mikron sampai 100 mikron.
 Setiap serabut memiliki banyak inti yang tersusun di bagian perifer.
 Kontraksinya sangat cepat dan kuat.

4
Struktur Mikroskopis Otot Rangka
• Otot skelet disusun oleh bundel-bundel paralel yang terdiri dari serabut-
serabut berbentuk silinder yang panjang, disebut myofiber /serabut otot.
• Setiap serabut otot sesungguhnya adalah sebuah sel yang mempunyai
banyak nukleus ditepinya.
• Cytoplasma dari sel otot disebut sarcoplasma yang penuh dengan
bermacam-macam organella, kebanyakan berbentuk silinder yang
panjang disebut dengan myofibril.
• Myofibril disusun oleh myofilament-myofilament yang berbeda-beda
ukurannya :
 yang kasar terdiri dari protein myosin
 yang halus terdiri dari protein aktin/actin.

b) Otot Polos
Merupakan otot tidak berlurik dan involunter. Jenis otot ini dapat ditemukan
pada dinding berongga seperti kandung kemih dan uterus, serta pada dinding
tuba, seperti pada sistem respiratorik, pencernaan, reproduksi, urinarius, dan
sistem sirkulasi darah.
 Serabut otot berbentuk spindel dengan nukleus sentral.
 Serabut ini berukuran kecil, berkisar antara 20 mikron (melapisi
pembuluh darah) sampai 0,5 mm pada uterus wanita hamil.
 Kontraksinya kuat dan lamban.

Struktur Mikroskopis Otot Polos


• Sarcoplasmanya terdiri dari myofibril yang disusun oleh myofilamen-
myofilamen.

Jenis otot polos


Ada dua kategori otot polos berdasarkan cara serabut otot distimulasi untuk
berkontraksi.

5
1. Otot polos unit ganda ditemukan pada dinding pembuluh darah
besar, pada jalan udara besar traktus respiratorik, pada otot mata
yang memfokuskan lensa dan menyesuaikan ukuran pupil dan
pada otot erektor pili rambut.
2. Otot polos unit tunggal (viseral) ditemukan tersusun dalam
lapisan dinding organ berongga atau visera. Semua serabut dalam
lapisan mampu berkontraksi sebagai satu unit tunggal. Otot ini
dapat bereksitasi sendiri atau miogenik dan tidak memerlukan
stimulasi saraf eksternal untuk hasil dari aktivitas listrik spontan.

c) Otot Jantung
 Merupakan otot lurik
 Disebut juga otot seran lintang involunter
• Otot ini hanya terdapat pada jantung
Bekerja terus-menerus setiap saat tanpa henti, tapi otot jantung juga
mempunyai masa istirahat, yaitu setiap kali berdenyut.

Kerja Otot
 Fleksor (bengkok) >< Ekstentor (meluruskan)
 Supinasi(menengadah) >< Pronasi (tertelungkup)
 Defresor(menurunkan) >< Lepator (menaikkan)
 Sinergis (searah) >< Antagonis (berlawanan)
 Dilatator(melebarkan) >< Konstriktor (menyempitkan)
 Adduktor(dekat) >< Abduktor (jauh)

 Tendon
Tendon adalah tali atau urat daging yang kuat yang bersifat fleksibel, yang
terbuat dari fibrous protein (kolagen). Tendon berfungsi melekatkan tulang
dengan otot atau otot dengan otot.

6
 Ligamen
Ligamen adalah pembalut/selubung yang sangat kuat, yang merupakan
jaringan elastis penghubung yang terdiri atas kolagen. Ligamen membungkus
tulang dengan tulang yang diikat oleh sendi.

Beberapa tipe ligamen :


 Ligamen Tipis
Ligamen pembungkus tulang dan kartilago. Merupakan ligament kolateral
yang ada di siku dan lutut. Ligamen ini memungkinkan terjadinya pergerakan
 Ligamen jaringan elastik kuning.
Merupakan ligamen yang dipererat oleh jaringan yang membungkus dan
memperkuat sendi, seperti pada tulang bahu dengan tulang lengan atas.

2. Skeletal / Rangka
 Tulang
Skeletal disebut juga sistem rangka, yang tersusun atas tulang-tulang. Tubuh kita
memiliki 206 tulang yang membentuk rangka. Bagian terpenting adalah tulang
belakang.

Fungsi Sistem Skeletal :


1. Memproteksi organ-organ internal dari trauma mekanis.
2. Membentuk kerangka yang yang berfungsi untuk menyangga tubuh dan otot-
otot yang.
3. Melekat pada tulang
4. Berisi dan melindungi sum-sum tulang merah yang merupakan salah satu
jaringan pembentuk darah.
5. Merupakan tempat penyimpanan bagimineral seperti calcium daridalam
darah misalnya.
6. Hemopoesis

7
Struktur Tulang
 Tulang terdiri dari sel hidup yang tersebar diantara material tidak hidup
(matriks).
 Matriks tersusun atas osteoblas (sel pembentuk tulang).
 Osteoblas membuat dan mensekresi protein kolagen dan garam mineral.
 Jika pembentukan tulang baru dibutuhkan, osteoblas baru akan dibentuk.
 Jika tulang telah dibentuk, osteoblas akan berubah menjadi osteosit (sel
tulang dewasa).
 Sel tulang yang telah mati akan dirusak oleh osteoklas (sel perusakan tulang).
Jaringan tulang terdiri atas :
a. Kompak (sistem harvesian  matrik dan lacuna, lamella intersisialis)
b. Spongiosa (trabecula yang mengandung sumsum tulang dan pembuluh
darah)

Klasifikasi Tulang berdasarkan penyusunnya


1. Tulang Kompak
a. Padat, halus dan homogen
b. Pada bagian tengah terdapat medullary cavity yang mengandung ’yellow
bone marrow”.
c. Tersusun atas unit : Osteon  Haversian System
d. Pada pusat osteon mengandung saluran (Haversian Kanal) tempat
pembuluh darah dan saraf yang dikelilingi oleh lapisan konsentrik
(lamellae).
e. Tulang kompak dan spongiosa dikelilingi oleh membran tipis yang
disebut periosteur, membran ini mengandung:
 Bagian luar percabangan pembuluh darah yang masuk ke dalam tulang
 Osteoblas
2. Tulang Spongiosa
a. Tersusun atas ”honeycomb” network yang disebut trabekula.
b. Struktur tersebut menyebabkan tulang dapat menahan tekanan.

8
c. Rongga antara trebakula terisi ”red bone marrow” yang mengandung
pembuluh darah yang memberi nutrisi pada tulang.
d. Contoh, tulang pelvis, rusuk,tulang belakang, tengkorak dan pada ujung
tulang lengan dan paha.

Klasifikasi Tulang berdasarkan Bentuknya


1. Tulang panjang, contoh: humerus, femur, radius, ulna
2. Tulang pendek, contoh: tulang pergelangan tangan dan pergelangan kaki
3. Tulang pipih, contoh: tulang tengkorak kepala, tulang rusuk dan sternum
4. Tulang tidak beraturan: contoh: vertebra, tulang muka, pelvis

Pembagian Sistem Skeletal


1. Axial / rangka aksial, terdiri dari :
 tengkorak kepala / cranium dan tulang-tulang muka
 columna vertebralis / batang tulang belakang
 costae / tulang-tulang rusuk
 sternum / tulang dada
2. Appendicular / rangka tambahan, terdiri dari :
 tulang extremitas superior
a. korset pectoralis, terdiri dari scapula (tulang berbentuk segitiga) dan
clavicula (tulang berbentuk lengkung).
b. lengan atas, mulai dari bahu sampai ke siku.
c. lengan bawah, mulai dari siku sampai pergelangan tangan.
d. tangan
 tulang extremitas inferior: korset pelvis, paha, tungkai bawah, kaki.

 Sendi
Persendian adalah hubungan antar dua tulang sedemikian rupa, sehingga
dimaksudkan untuk memudahkan terjadinya gerakan.

9
1. Synarthrosis (suture)
Hubungan antara dua tulang yang tidak dapat digerakkan, strukturnya terdiri
atas fibrosa. Contoh: Hubungan antara tulang di tengkorak.
2. Amphiarthrosis
Hubungan antara dua tulang yang sedikit dapat digerakkan, strukturnya
adalah kartilago. Contoh: Tulang belakang

3. Diarthrosis
Hubungan antara dua tulang yang memungkinkan pergerakan, yang terdiri
dari struktur sinovial. Contoh: sendi peluru (tangan dengan bahu), sendi
engsel (siku), sendi putar (kepala dan leher), dan sendi pelana (jempol/ibu
jari).

B. FISIOLOGI SISTEM MUSKULOSKELETAL

Sekitar 40% dari seluruh tubuh terdiri dari otot rangka dan sekitar 10% lainnya
adalah otot polos dan otot jantung. Semua susunan otot rangka dibentuk oleh
sejumlah serat yang diameternya berkisar dari 10 sampai 80 mikrometer. Pada
sebagian besar otot, serat-seratnya membentang di seluruh panjang otot kecuali
sekitar 2% serat hanya dipersarafi oleh satu ujung saraf (Guyton, 2007).
Sarkolema adalah membran sel dari serat otot yang terdiri dari membran sel
sebenarnya yang disebut dengan membran plasma dan sebuah lapisan luar yang
terdiri dari lapisan tipis bahan polisakarida yang mengandung sejumlah serat
kolagen tipis. Pada ujung serat otot, lapisan permukaan sarkolema ini bersatu
dengan serat tendon dan serat-serat tendon kemudian berkumpul menjadi berkas
untuk membentuk tendon otot dan kemudian menyisip ke dalam tulang. Setiap
serat otot mengandung beberapa ratus sampai beberapa ribu miofibril yang
terletak berdampingan (Guyton, 2007). Terdapat sekitar 1500 filamen miosin
dan 3000 filamen aktin yang merupakan molekul protein polimer besar yang
bertanggung jawab untuk kontraksi otot. Filamen miosin dan aktin sebagian
saling bertautan sehingga menyebabkan miofibril memiliki pita terang dan

10
gelap yang berselang-seling. Pita-pita terang hanya mengandung filamen aktin
dan disebut pita I karena mereka bersifat isotropik terhadap cahaya yang
dipolarisasikan, sedangkan pita-pita gelap mengandung filamen miosin yang
disebut pita A karena mereka bersifat anisotropik terhadap cahaya yang
dipolarisasikan (Guyton, 2007). Miofibril-miofibril yang terpendam dalam
serat otot di dalam suatu matriks yang disebut sarkoplasma, yang terdiri dari
unsur-unsur intraselular. Terdapat mitokondria dalam jumlah yang banyak
terletak di antara dan sejajar dengan miofibril. Hal tersebut menunjukkan bahwa
miofibril-miofibril yang berkontraksi membutuhkan sejumlah besar adenosin
trifosfat (ATP) yang dibentuk oleh mitokondria (Guyton, 2007). Sarkoplasma
juga terdapat banyak reticulum endoplasma yang berada di dalam serat otot,
disebut dengan retikulum sarkoplasmik. Retikulum ini mempunyai susunan
khusus yang sangat penting dalam pengaturan kontraksi otot. Semakin cepat
kontraksi suatu otot, maka ia mempunyai banyak retikulum sarkoplasmik, hal
itu menunjukkan bahwa struktur ini penting untuk menimbulkan kontraksi otot
yang cepat (Guyton, 2007). Timbul dan berakhirnya kontraksi otot terjadi dalam
urutan tahap-tahap berikut ini :
a. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang saraf motorik sampai ujung pada serat
otot.
b. Pada setiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmiter yaitu asetilkolin
dalam jumlah sedikit.
c. Asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serat otot untuk
membuka banyak saluran gerbang asetilkolin melalui molekul-molekul protein
dalam membran serat otot.
d. Terbukanya saluran asetilkolin memungkinkan sejumlah besar ion natrium
untuk mengalir ke bagian dalam membran serat otot pada titik terminal saraf
sehingga menimbulkan potensial aksi dalam serat otot.
e. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran serat otot dalam cara yang
sama.
f. Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi membran serat otot dan berjalan
secara dalam di dalam serat otot.

11
g. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan
miosin yang menyebabkan bergerak secara bersama-sama dan menghasilkan
proses kontraksi.
h. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali ke dalamretikulum
sarkoplasma sampai potensial aksi otot yang baru datang lagi.

Pada keadaan relaksasi, ujung-ujung filamen aktin yang berasal dari dua
lempeng Z berurutan saling tumpang tindih dan menjadi lebi dekat dengan
filamen miosin. Pada keadaan kontraksi, filamen aktin telah tertarik ke dalam
di antara filamen miosin sehingga saling tumpang tindih secara luas. Selama
kontraksi yang kuat, filamen aktin dapat ditarik bersama-sama begitu eratnya
sehingga ujung-ujung filamen miosin melekuk, menyebabkan mekanisme
pergeseran filamen (Guyton, 2007). Sebuah filamen aktin murni tanpa adanya
kompleks troponin-tropomiosin, akan berikatan secara cepat dan kuat dengan
kepala molekul miosin bila terdapat ion magnesium dan ATP yang terdapat di
dalam miofibril. Setelah filamen aktin menjadi teraktivasi oleh ion-ion kalsium,
kepala jembatan penyeberangan dari filamen miosin menjadi tertarik ke bagian
aktif dari filamen aktin yang akan menyebabkan kontraksi. Kelompok kekuatan
intramolekular antara kepala dan lengan menyebabkan kepala miring ke arah
lengan dan menarik filamen aktin, sehingga disebut dengan power stroke
(Guyton, 2007). Sebuah kontraksi otot memerlukan sejumlah ATP yang
dipecah membentuk ADP selama proses kontraksi. Semakin hebat kerja yang
dilakukan oleh otot, semakin besar jumlah ATP yang dipecahkan, disebut
dengan efek Fenn. Berikut rangkaian proses ATP sebagai sumber energi untuk
kontraksi, yaitu :
a) Sebelum terjadi kontraksi, aktivitas ATPase dari kepala miosin segera
memecah ATP tetapi meninggalkan hasil pemecahan.
b) Kompleks troponin-tropomiosin berikatan dengan ion-ion kalsium,
bagian aktif pada filamen aktin menjadi tidak tertutup dan kemudian
kepala miosin berikatan.

12
c) Ikatan antara kepala jembatan penyeberangan dan bagian aktif filamen
aktin menyebabkan perubahan kedudukan kepala, yaitu miring ke arah
lengan jembatan penyeberangan dan memberikan kedudukan power
stroke untuk menarik filamen.
d) Adanya pelepasan ATP yang sebelumnya melekat pada kepala saat
kepala jembatan penyeberangan miring.
e) Setelah kepala terpisah dari aktin, sebuah molekul ATP yang baru
dipecah untuk memulai siklus baru yang menimbulkan power stroke.
Sebagian besar energi dibutuhkan untuk menjalankan mekanisme
berjalan dimana jembatan penyeberangan menarik filamen-filamen
aktin. Tetapi sejumlah kecil energi dibutuhkan untuk memompa
kalsium dari sarkoplasma ke dalam retikulum sarkoplasmik setelah
kontraksi berakhir dan memompa ion-ion natrium dan kalium melalui
membran serat otot untuk mempertahankan lingkungan ionik yang
cocok untuk pembentukan potensial aksi. Sumber energi pertama yang
digunakan untuk menyusun kembali ATP adalah substansi keratin
fosfat, yang membawa ikatan fosfat berenergi tinggi yang serupa
dengan ATP (Guyton, 2007). Sumber energi berikutnya yang
digunakan untuk menyusun kembali keratin fosfat dan ATP adalah
glikogen yang sebelumnya telah disimpan dalam sel otot. Pemecahan
glikogen secara enzimatik menjadi asam piruvat dan asam laktat yang
berlangsung dengan cepat akan membebaskan energi yang digunakan
untuk mengubah ADP menjadi ATP. Lebih dari 95% energi yang
digunakan oleh otot untuk kontraksi jangka panjang yang dipertahankan
berasal dari metabolisme oksidatif (Guyton, 2007).

13
2.5 Patofisiologi
Bila masa total suatu otot meningkat, peristiwa ini disebut Hipertrofi
otot. Bila massanya menurun, proses ini disebut atrofi otot. Hipertrofi
otot terjsdi karena peningkatan jumlah filamen aktin dan miosin
dalam setiap serabut otot. Hypertrofi yang sangat luas bisa terjadai
bila diberikan beban pada saat kontraksi sementara ini bagaimana
terjadinya hipertrofi pada kontraksi yang kuat belum jelas hanya
diketahui bahwa selama terjadi hipertrofi, sintesis protein kontraktil
otot berlangsung lebih cepat, sehingga juga menghasilkan jumlah
filamen aktin dan miosin yang bertambah banyak secara progresif di
dalam miofibril yang bisa meningkat sampai 50 %. Kemudian
beberapa miofibril itu sendiri akan memecah didalam otot yang
mengalam hipertrofi untuk membentuk miofibril yang baru.
Pada keadaan otot tidak digunakan sehingga tidak terjadi kontraksi
ataupun kontraksinya lemah yang berlangsung berminggu-minggu
maka akan terjadi yang sebaliknya yaitu terjadi penghancuran protein
kontraktil akan berlangsung lebih cepat dibanding kecepatan
penggantiannya. Jalur yang muncul untuk menjelaskan sebagian besar
degradasi protein pada otot yang mengalami atrofi adalah jalur ATP-
dependent ubiquitin-proteasome. Proteasome adalah kompleks
protein besar yang mendegrasi protein rusak atau protein yang tidak
dibutuhkan dengan cara proteolisis, yaitu reaksi kimia yang memecah
ikatan peptida. Ubiquitin adalah protein pengatur yang pada dasarnya
menandai sel mana yang akan menjadi target degradasi proteosomal.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadinya
hipertrofi atau atrofi otot tergantung adanya aktifitas otot tersebut dan
kuat atau lemah nya aktifitas tersebut yang disebut kontraksi otot.
Kontraksi otot dipengaruhi oleh pungsi dari persyarafan yaitu serat
syaraf besar bermielin yang berasal dari motoneuron besar pada kornu
anterior medula spinalis yang dimulai dari terjadinya potensial aksi
yang akan menyekresi zat neurotransmiter yang disebut asetilkolin

14
yang akan bekerja membuka banyak kanal kation yang pada
kelanjutannya akan mengakibatkan ion kalsium menginisiasi
kekuatan menarik antara filamen aktin dan miosin yang menyebabkan
kedua filamen tersebut bergeser satu sama lain dan menghasilkan
proses Kontraksi. Sehingga apabila terjadi gangguan pada sistem ini
yang menggangu terjadinya potensial aksi maupun dialirannya pada
mielinnya ataupu pada pelepasan asetilkolinnya maka akan
mengganggu terjadinya kontraksi. Dimana ini terjadi pada kasus-
kasus gangguan syaraf atau yang memerintahkanya supaya syaraf
berfungsi dengan baik, kondisinya yaitu pada pasien penurunan
kesadaran,dan paralisis. Selain itu pada kondisi nyeri j juga seseorang
akan membatasi aktifitas otonya yang akan berpengaruh pada
penurunan terjadinya konttraksi otot. Imobilisasi mekanis dan juga
faktor kebutuhan therafi adanya program imobilisasi ini jelas akan
menurunkan terjadinya kontraksi. Sehingga hal-hal tersebut akan
beresiko terjadinya atrofi pada otot yang pada tahap lanjutnya akan
terjadi juga kontraktur pada sendinya yang kondisi seperti ini akan
berpengaruh pada kesehatan seseorang yang disebut resiko sindrome
disuse.

15
PATHWAY

Immobilisasi Program Perubahan Tingkat


Nyeri Paralisis
Immobilisasi Kesadaran
Mekanik

Penurunana Mobilitas Fisik

Penurunan Fungsi Korno Anterior Medula Spirola

Tidak Terjadinya Kontraksi Otot


Penurunan Fungsi Taut Saraf Otot

Penurunana Potensial Aksi

Penurunan Kontraksi Otot


Peningkatan Penghancuran Protein Konsolar

Atropi Otot

Risiko Sindrom Disuse 16


BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebuah pola gejala sebagai akibat dari jangka panjang tidak digunakan ,
yang ditandai dengan baik efek fisik dan psikososial tidak aktif. Gejala
khas sindrom yang tidak digunakan termasuk kelemahan otot, rentang gerak
terbatas (ROM) sendi, penurunan fungsi pernapasan, perubahan aliran darah di
jaringan perifer, pengurangan kepadatan tulang dan gangguan fungsi mental.
Disuse atrofi otot merupakan tidak berkontraksinya serabut-serabut otot
dalam waktu yang cukup lama sehingga perlahan-lahan akan mengecil (atrofi),
dimana terjadi perubahan perbandingan antara serabut otot dan jaringan
fibrosa.

3.2 Saran
Untuk pasien-pasien yang mengalami sindrom disuse seperti hal diatas
demikian, atau pengelolaan sindrom yang tidak digunakan, peralatan
rehabilitasi dan alat bantu, seperti peralatan samping tempat tidur untuk latihan
terus menerus dari sendi, perangkat bantuan listrik untuk berdiri dan transfer
kerekan harus dikembangkan. Peralatan ini menuntut aktuator yang kuat dan
lembut.

17
DAFTAR ISI

Kamitsuru, T. H. H. d. S. (2015-2017). Diagnosis Keperawatan Definisi dan


Klasifikasi (NANDA Internasional), EGC.

M. Djauhari Widjajakusumah dan Antonia Tanzil (2016). Fisiologi Kedokteran


(GUYTON dan HALL), ELSEVIER.

Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson (2005). Patofisologi (Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit), EGC

Nurus Safaah, Jurnal Sain Med, Vol. 5. No. 2 Desember 2013: 62–6564, Pengaruh
Latihan Range of Motion terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Lanjut Usia di UPT
Pelayanan Sosial Lanjut Usia (Pasuruan) Kec. Babat Kab Lamongan

Anda mungkin juga menyukai