Anda di halaman 1dari 8

Perbaikan Berkelanjutan untuk Menggapai Makanan UMKM atau PKL Kelas

Dunia

Disusun Oleh :

Edo Widi Virgian


I. LATAR BELAKANG

Salah satu bukti Indonesia negara yang mengalami keterlambatan di dalam


memanfaatkan teknologi di era perdagangan bebas seperti saat ini adalah saat berita
adanya dua pedagang hawker (gerai makanan kaki lima) di Singapura yang
mendapatkan satu bintang Michelin (salah satu penghargaan prestisius di bidang
makanan) (Yong, Debbie, 2016, https://guide.michelin.com, diakses 3 Januari 2019).
Meskipun bintang Michelin (Resminnya disebut sebagai Michelin Guide) bukan satu-
satunya penghargaan prestisius tingkat dunia untuk bidang makanan karena masih
terdapat penghargaan lain baik di dalam maupun luar negeri (seperti Google Ratings
and Reviews yang popular untuk pengguna Android), nilai gengsi dari penghargaan
Michelin ini sangat bepengaruh bagi beberapa koki kelas dunia. Saking bergengsinya,
banyak koki yang mengalami depresi dan paranoia jika restoran yang mereka kelola
mengalami penurunan peringkat atau tidak mendapatkan bintang sama sekali.

Sedangkan di dalam budaya kuliner Indonesia, masakan kita memang belum


memiliki standar yang sangat baku karena kebanyakan muncul di pinggir jalan (street
food) (Arbi, Sumandoyo, 2016, https://tirto.id, diakses 3 Januari 2019). Karena lahir di
pinggir jalan, usaha tersebut bergerak sekedar untuk mempertahankan hidup atau
ekonomi pemilik usaha (eksistensi) atau sebagai usaha sampingan untuk sekedar
mengisi waktu luang seperti beberapa usaha yang dijalankan oleh beberapa kelompok
pelajar, mahasiswa. ibu-ibu rumah tangga bahkan kelompok komunitas tertentu
(terutama saat bulan puasa).

Selain itu, usaha tersebut pada umumnya bersifat mengikuti selera pasar yang
bersifat lokal dan terbatas waktu (menurut buku “Blue Ocean Strategy” (Kim, Chan W
dan Mauborgne, Renee, 2005) hal tersebut disebut sebagai “Red Ocean”
)(Syafina,2018), tidak jarang usaha tersebut hanya memiliki profit yang tidak
sebanding dengan anggaran awal untuk penyajian makanan serta peralatan penunjang
serta hanya bertahan dalam jangka waktu tertentu (karena kadang-kadang produk yang
dijual memiliki sifat musiman). Meskipun demikian, memiliki impian yang tinggi
tetaplah penting karena dengan memiliki impian yang tinggi tersebut, kita akan
memiliki suatu rangkaian target yang jelas serta upaya yang dapat dikatakan semampu
kita dalam mencapai target tersebut.

II. ISI

Salah satu target yang belum bahkan dapat dikatakan susah dicapai untuk
komunitas kuliner Indonesia hingga saat ini adalah tercapainya pengakuan
internasional untuk makanan Indonesia terutama makanan kita yang pada umumnya
berasal dari rumah tangga (comfort food) maupun makanan yang disajikan di gerai-
gerai kecil pinggir jalan maupun pusat perbelanjaan.

Untuk standar yang lebih tinggi, tentu banyak yang berharap suatu saat restoran
kita mendapatkan penghargaan bergengsi “Michelin Star”, memiliki standar restoran
yang berkelas internasional, serta (jikalau mungkin) memiliki cerita menarik dengan
unsur “rags to riches” atau merangkak dari bawah dan naik kelas menjadi lebih
bergengsi. Sebuah cerita dengan premis menarik yang sangat laris apabila dijadikan
suatu tema film atau komik.

Gambar 1. Kategori-kategori Bintang yang Menjadi Acuan Michelin Star

Apabila memiliki premis cerita yang menarik, sederhananya, restoran tersebut


pada awalnya berawal dari gerai pinggir jalan (pedagang kaki lima (PKL)) atau lapak-
lapak pinggir rumahan dengan manajemen yang baik serta didukung pelayanan yang
memuaskan menurut para pelanggan dan juga diikuti dengan hubungan timbal balik
terhadap pelanggan seperti respon positif dari mulut ke mulut (mouth to mouth
marketing) serta selalu mengingat nama pelanggan yang rutin berkunjung (seperti pada
salah satu episode film kartun terkenal “Spongebob Squarepants”).

Hal sederhana ini sudah banyak terjadi di Indonesia. Banyak restoran yang
mulai naik kelas ke tingkat yang lebih baik dari sebelumnya baik dari jumlah
pelanggan, lokasi, pendapatan, kualitas makanan, proses memasak, maupun publikasi.
Akan tetapi, kenaikan tingkat ini banyak yang tidak diikuti oleh pengakuan yang lebih
bergengsi dan lebih layak di tingkat internasional. Sebuah pengakuan yang sebenarnya
diperlukan untuk menghadapi era persaingan pasar bebas yang bersifat terbuka di mana
kita tidak akan lagi berhadapan dengan lawan yang bersifat teritoir atau regional, tetapi
internasional.

Sederhananya, dengan adanya pengakuan internasional secara tidak langsung


memengaruhi pengakuan yang “baik” pada tingkatan di bawahnya karena kebanyakan
pengakuan yang bersifat internasional akan memengaruhi pemikiran para pengamat
bahwa hal yang mendapat pengakuan tersebut pasti telah mendapatkan pengakuan
yang baik di tingkat nasional ataupun regional. Sehingga, masyarakat sudah memiliki
pola pikir yang terpatri bahwa sesuatu yang mendapatkan reputasi internasional
tersebut sudah pasti dianggap baik dan bagus di tingkat bawahnya.

Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa penghargaan internasional yang terkadang


dianggap prestisius seringkali tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa
kualitas barang dan jasa terkait tidak sesuai bahkan dianggap masih banyak barang dan
jasa lain yang lebih layak namun tidak mendapat perhatian yang cukup dari masyarakat
maupun media. Hal ini terjadi karena adanya bias yang terdapat di masyarakat. Bias
yang dimaksud adalah bias selera sekaligus bias publikasi. Bias selera ini, sekaligus
bias publikasi, ini muncul sebagai akibat tidak maksimalnya penggunaan teknologi
kepada lapisan masyarakat yang memang layak mendapatkan publikasi serta sirkulasi
yang hanya terpusat di daerah-daerah yang terdekat dengan pusat pemukiman
penduduk atau kawasan padat penduduk seperti perkotaan atau kawasan suburban.
Sebagai contoh, viralnya beberapa tempat wisata yang terjadi hanya setelah
tempat tersebut diunggah fotonya di beberapa platform media sosial seperti tempat-
tempat wisata yang ada di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Magelang,
Jawa Tengah. Bayangkan jika tempat wisata tersebut tidak diunggah melalui media
sosial, mungkin saja tempat wisata tersebut masih bersifat territoir (lokal) dan hanya
memiliki nilai sirkulasi (perputaran) uang yang tidak terlalu besar yang tentu
berdampak lebih kepada tingkat perekonomian masyarakat di sekitar tempat wisata
tersebut. Meskipun akan timbul masalah lain ketika tempat wisata tersebut sudah
mendapatkan perhatian yang lebih luas sebagai akibat publikasi viral media sosial
seperti penyediaan lapangan parkir yang memadai, fasilitas utilitas yang layak seperti
sanitasi dan konsumsi serta kebersihan lingkungan.

Analogi serupa dapat diterapkan di dalam dunia kuliner Indonesia. Banyak


sekali warisan kuliner kita yang bersifat tradisional, modern, maupun paduan dari
keduanya yang tidak mendapatkan publikasi yang layak karena ketiadaan pihak yang
sanggup melakukan pengambilan lokasi serta survey yang tepat atau kekurang serius
pembuat konten di dalam mencari dan menjelajah sumber konten yang memiliki nilai
potensial tinggi serta kemampuan di dalam mengolah isi konten tersebut menjadi lebih
menarik dan memiliki nilai jual meskipub ada beberapa jenis kuliner serta tempat
makan lokal yang menjadi viral karena diunggah melalui media sosial dan mengalami
peningkatan di dalam jumlah pengunjung.

Akan tetapi, salah satu kelemahan dari sesuatu yang bersifat viral tersebut,
terutama di Indonesia, adalah hal tersebut akan berlangsung tidak terlalu lama atau
bersifat pergi begitu saja. Disukai orang dalam sementara waktu, kemudian
menghilang begitu saja digantikan oleh hal lain yang lebih populer atau tidak bertahan
lama karena kejenuhan pasar.

Tentu saja, hal ini lumrah secara hukum alam dan hukum ekonomi bahwa
sesuatu pasti tidak akan bertahan lama karena ada hal lain yang lebih kuat atau
kebosanan pasar akibat suatu produk yang terus mendominasi tanpa adanya perubahan
yang signifikan dari produk tersebut seperti yang terjadi pada produsen bir Schlitz di
Wisconsin, Amerika Serikat dan Blockbuster Video. Produk tersebut mengalami
kemusnahan atau dalam bahasa lain menghilang dari pasar sebagai akibat dari
kekalahan di dalam mengatasi pasar bebas.

Salah satu hal yang dapat mengatasi permasalahan mendasar ini adalah harus
ditemukannya suatu ceruk pasar yang setia (loyal). Pembeli yang loyal pada dasarnya
merupakan salah satu upaya selain untuk mempertahankan bisnis juga sebagai upaya
lain untuk meluaskan pasar melalui pendekatan personal melalui metode emosional
kepada pelanggan (rasa terima kasih telah menggunakan produk barang dan jasa yang
ditawarkan).

Metode ini dianggap lebih efektif karena penyedia barang dan jasa telah
dianggap memberdayakan pelanggan melalui pendekatan personal seperti keluarga
sendiri sehingga kita telah menanamkan suatu rasa keyakinan serta kepercayaan
kepada pembeli di dalam alam pikiran bawah sadar mereka sehingga mereka akan lebih
sering menggunakan produk yang dihasilkan penyedia layanan tersebut serta ceruk
pasar (market niche) yang ada, dan dianggap potensial, telah berhasil digapai.

Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan adalah kebersihan lokasi tempat
makan, keindahan penyajian di atas alat saji seperti piring (platting), konsistensi
makanan serta proses memasak, kehigienisan bahan masakan, serta hal-hal pendukung
seperti keramahan kru restoran terhadap pengunjung restoran. Hal-hal sederhana
tersebut secara tidak langsung dapat bepengaruh terhadap persepsi seseorang akan
tempat makan tersebut dalam alam bawah sadarnya sehingga ia akan rajin mengunjungi
tempat makan tersebut pada kesempatan lain.

Sebagai contoh yang bisa kita ambil adalah kisah keberhasilan ibu Lanny
Siswoyo (“Ibu Rudy”) yang berhasil mengembangkan usaha mikro dengan nama
“Sambal Bu Rudy”. Kisah Lanny Siswoyo berawal dari dirinya yang memiliki hobi
memasak terutama membuat sambal bajak dengan tambahan berupa udang.
Keberuntungan yang ia miliki berawal dari hidangan tambahan berupa sambal udang
yang ia buat untuk melengkapi hidangan ikan yang dipancing oleh suaminya suatu hari
yang akan dinikmati bersama rekan-rekan suaminya.

Karena dirasa masakan, terutama sambal bawang buatannya, yang ia buat enak
menurut rekan-rekannya, bu Rudy yang saat itu masih berjualan di Pasar Turi Surabaya
disarankan untuk membuka kios sendiri yang pada saat itu berupa kios emperan pinggir
jalan di dalam mobil yang menjual masakan berupa nasi beserta lauk-lauknya. Lama
kelamaan para pelanggan pun menyukai masakan bu Rudy terutama sambal bawang
dan sambal udang miliknya karena rasa dari sambal tersebut yang enak.

Kenikmatan masakan bu Rudy ini kemudian menjadi viral melalui upaya


promosi dari mulut ke mulut sehingga nama bu Rudy pun semakin dicari-cari oleh
masyarakat. Ia kemudian disarankan untuk menjual sambal miliknya di dalam suatu
kemasan yang mudah dibawa dan tahan dalam jangka waktu tertentu (paling lama tiga
hingga lima hari). Karena mendengarkan saran dari pelanggannya ini, bu Rudy
kemudian menjalankan bisnis kulinernya ini dan kemudian menjadi rezekinya di masa
depan. Kini bisnis sambal dalam kemasan yang ia miliki ini menjadi salah satu ikon
kuliner yang ada di kota Surabaya.

Gambar 2. Salah Satu Kemasan Sambal Bu Rudy


III. PENUTUP
Upaya untuk memajukan kuliner kita sebagai salah satu UMKM yang dapat
menjadi salah satu upaya untuk pengentasan kemiskinan dan mendorongnya untuk
maju menjadi usaha kelas dunia dapat kita lakukan dengan memanfaatkan teknologi
yang ada terutama teknologi terkini yang mampu mendorong pemasaran produk seperti
berbagai platform media sosial online dan perlu ditunjang dengan perbaikan yang
berlanjut dalam infrastruktur UMKM tersebut.

IV. DAFTAR PUSTAKA


 Yong, Debbie, 2016, https://guide.michelin.com, diakses 3 Januari 2019
 Kim, Chan W dan Mauborgne, Renee, Blue Ocean Strategy, Boston: Harvard
University Press, 2005
 Syafina, Dea Chadiza, 2018, https://tirto.id/latah-bisnis-di-lautan-merah-dari-
batu-akik-hingga-es-kepal-milo-cTBY, diakses 6 Maret 2019
 Arbi, Sumandoyo, 2016, https://tirto.id/untuk-masakan-indonesia-michelin-star-
tidak-relevan-bK1s, diakses 6 Maret 2019
 Agmasari, Silvita, 2017,
https://travel.kompas.com/read/2017/08/10/220400727/kisah-sambal-bu-rudy-
yang-melegenda-di-surabaya, diakses 6 Maret 2019

Anda mungkin juga menyukai