Dunia
Disusun Oleh :
Selain itu, usaha tersebut pada umumnya bersifat mengikuti selera pasar yang
bersifat lokal dan terbatas waktu (menurut buku “Blue Ocean Strategy” (Kim, Chan W
dan Mauborgne, Renee, 2005) hal tersebut disebut sebagai “Red Ocean”
)(Syafina,2018), tidak jarang usaha tersebut hanya memiliki profit yang tidak
sebanding dengan anggaran awal untuk penyajian makanan serta peralatan penunjang
serta hanya bertahan dalam jangka waktu tertentu (karena kadang-kadang produk yang
dijual memiliki sifat musiman). Meskipun demikian, memiliki impian yang tinggi
tetaplah penting karena dengan memiliki impian yang tinggi tersebut, kita akan
memiliki suatu rangkaian target yang jelas serta upaya yang dapat dikatakan semampu
kita dalam mencapai target tersebut.
II. ISI
Salah satu target yang belum bahkan dapat dikatakan susah dicapai untuk
komunitas kuliner Indonesia hingga saat ini adalah tercapainya pengakuan
internasional untuk makanan Indonesia terutama makanan kita yang pada umumnya
berasal dari rumah tangga (comfort food) maupun makanan yang disajikan di gerai-
gerai kecil pinggir jalan maupun pusat perbelanjaan.
Untuk standar yang lebih tinggi, tentu banyak yang berharap suatu saat restoran
kita mendapatkan penghargaan bergengsi “Michelin Star”, memiliki standar restoran
yang berkelas internasional, serta (jikalau mungkin) memiliki cerita menarik dengan
unsur “rags to riches” atau merangkak dari bawah dan naik kelas menjadi lebih
bergengsi. Sebuah cerita dengan premis menarik yang sangat laris apabila dijadikan
suatu tema film atau komik.
Hal sederhana ini sudah banyak terjadi di Indonesia. Banyak restoran yang
mulai naik kelas ke tingkat yang lebih baik dari sebelumnya baik dari jumlah
pelanggan, lokasi, pendapatan, kualitas makanan, proses memasak, maupun publikasi.
Akan tetapi, kenaikan tingkat ini banyak yang tidak diikuti oleh pengakuan yang lebih
bergengsi dan lebih layak di tingkat internasional. Sebuah pengakuan yang sebenarnya
diperlukan untuk menghadapi era persaingan pasar bebas yang bersifat terbuka di mana
kita tidak akan lagi berhadapan dengan lawan yang bersifat teritoir atau regional, tetapi
internasional.
Akan tetapi, salah satu kelemahan dari sesuatu yang bersifat viral tersebut,
terutama di Indonesia, adalah hal tersebut akan berlangsung tidak terlalu lama atau
bersifat pergi begitu saja. Disukai orang dalam sementara waktu, kemudian
menghilang begitu saja digantikan oleh hal lain yang lebih populer atau tidak bertahan
lama karena kejenuhan pasar.
Tentu saja, hal ini lumrah secara hukum alam dan hukum ekonomi bahwa
sesuatu pasti tidak akan bertahan lama karena ada hal lain yang lebih kuat atau
kebosanan pasar akibat suatu produk yang terus mendominasi tanpa adanya perubahan
yang signifikan dari produk tersebut seperti yang terjadi pada produsen bir Schlitz di
Wisconsin, Amerika Serikat dan Blockbuster Video. Produk tersebut mengalami
kemusnahan atau dalam bahasa lain menghilang dari pasar sebagai akibat dari
kekalahan di dalam mengatasi pasar bebas.
Salah satu hal yang dapat mengatasi permasalahan mendasar ini adalah harus
ditemukannya suatu ceruk pasar yang setia (loyal). Pembeli yang loyal pada dasarnya
merupakan salah satu upaya selain untuk mempertahankan bisnis juga sebagai upaya
lain untuk meluaskan pasar melalui pendekatan personal melalui metode emosional
kepada pelanggan (rasa terima kasih telah menggunakan produk barang dan jasa yang
ditawarkan).
Metode ini dianggap lebih efektif karena penyedia barang dan jasa telah
dianggap memberdayakan pelanggan melalui pendekatan personal seperti keluarga
sendiri sehingga kita telah menanamkan suatu rasa keyakinan serta kepercayaan
kepada pembeli di dalam alam pikiran bawah sadar mereka sehingga mereka akan lebih
sering menggunakan produk yang dihasilkan penyedia layanan tersebut serta ceruk
pasar (market niche) yang ada, dan dianggap potensial, telah berhasil digapai.
Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan adalah kebersihan lokasi tempat
makan, keindahan penyajian di atas alat saji seperti piring (platting), konsistensi
makanan serta proses memasak, kehigienisan bahan masakan, serta hal-hal pendukung
seperti keramahan kru restoran terhadap pengunjung restoran. Hal-hal sederhana
tersebut secara tidak langsung dapat bepengaruh terhadap persepsi seseorang akan
tempat makan tersebut dalam alam bawah sadarnya sehingga ia akan rajin mengunjungi
tempat makan tersebut pada kesempatan lain.
Sebagai contoh yang bisa kita ambil adalah kisah keberhasilan ibu Lanny
Siswoyo (“Ibu Rudy”) yang berhasil mengembangkan usaha mikro dengan nama
“Sambal Bu Rudy”. Kisah Lanny Siswoyo berawal dari dirinya yang memiliki hobi
memasak terutama membuat sambal bajak dengan tambahan berupa udang.
Keberuntungan yang ia miliki berawal dari hidangan tambahan berupa sambal udang
yang ia buat untuk melengkapi hidangan ikan yang dipancing oleh suaminya suatu hari
yang akan dinikmati bersama rekan-rekan suaminya.
Karena dirasa masakan, terutama sambal bawang buatannya, yang ia buat enak
menurut rekan-rekannya, bu Rudy yang saat itu masih berjualan di Pasar Turi Surabaya
disarankan untuk membuka kios sendiri yang pada saat itu berupa kios emperan pinggir
jalan di dalam mobil yang menjual masakan berupa nasi beserta lauk-lauknya. Lama
kelamaan para pelanggan pun menyukai masakan bu Rudy terutama sambal bawang
dan sambal udang miliknya karena rasa dari sambal tersebut yang enak.