Anda di halaman 1dari 11

Tantangan bagi Generasi Millennial dalam Menghadapi Tahun Emas 2045

Jika boleh jujur, sebagai millennial, saya harus berterima kasih kepada dua sosok yang
sangat menghargai millennial jauh sebelum tokoh-tokoh terkini menggunakan kata millennial di
dalam kalimat ceramahnya. Tokoh tersebut adalah Y.B. Mangunwijaya (Romo Mangun),
rohaniawan dan arsitek dengan pendekatan budaya, dan Kafi Kurnia, salah satu pakar pemasaran.
Romo Mangun bahkan menulis di dalam bukunya yaitu “Menuju Republik Indonesia Serikat”
(1998) bahwa generasi millennial, yang saat itu berada dalam tingkat pendidikan sekolah dasar
(SD) dan taman kanak-kanak (TK), merupakan salah satu calon pemimpin masa depan terutama
dalam menghadapi tiga tahun-tahun penting dalam sejarah Indonesia ke depan (Romo Mangun
menyebut tahun 2008,2028,2045) sedangkan Kafi Kurnia menuliskan di dalam bukunya yang
berjudul “Intrik Trik-trik Bisnis Meracik Sukses” (1999) bahwa secara ekonomi, pasar market
millennial memiliki sifat yang susah diprediksi namun memiliki ceruk pasar yang cukup besar
bahkan melebihi generasi di atasnya yaitu Generasi-X (lahir dalam rentang tahun 1964-1980).

Buku “Menuju Republik Indonesia Serikat” karya Y.B. Mangunwijaya (1998)

Buku “Intrik Trik-Trik Bisnis Meracik Sukses” Karya Kafi Kurnia (1999)

1
Untuk saat ini, millennial memang memegang peranan yang penting baik di bidang
ekonomi maupun sosial. Millennial (menurut laporan U.S. White House (2013), millennial adalah
generasi yang lahir pada tahun 1980 hingga 1996) merupakan target pasar yang menguntungkan
bagi para politisi maupun pengusaha yang mencoba mencari keuntungan melalui jumlah pasar
yang besar dari generasi yang sedang menguasai populasi ini (sebelum didahului Generasi Z alias
post-Millennial). Tidak heran, banyak politisi dan pengusaha memanfaatkan jargon-jargon serta
nama “millennial” sebagai nama jualan produk yang mereka jual, entah hal tersebut menarik minat
para millennial atau tidak. Yang jelas, millennial memang merupakan salah satu target pasar yang
potensial karena merupakan salah satu penyusun utama bonus demografi penduduk di Indonesia.
Beberapa karakteristik millennial, yang sering menjadi bahan stereotip menurut Pusat Data
Republika (2016) (dengan sedikit perubahan) antara lain sebagai berikut:

 80 juta millennials lahir pada tahun 1976 - 2001


 Generasi millennial rata-rata mengalihkan perhatiannya dari berbagai gawai (gadget)
seperti PC (Personal Computer), smartphone (telepon pintar), tablet, dan televisi 27 kali
setiap jam. Angka ini meningkat 17 kali per jam dibandingkan generasi sebelumnya.
 Dalam urusan pekerjaan, millennial lebih tertarik memiliki pekerjaan yang bermakna
ketimbang sekadar bayaran yang besar.
 Dalam urusan konsumsi hiburan, millennial menghabiskan waktu 18 jam perhari untuk
menikmati layanan tontonan on demand, bermain gim, atau sekadar menonton televisi
konvensional.

Tabel yang menggambarkan perbedaan generasi ke generasi (http://rumahmillennials.com/,


diakses 12 Januari 2019)

2
Mengenai jumlah populasi generasi millennial dan bonus demografi, untuk saat ini,
terutama di Indonesia, generasi millennial menguasai populasi dengan persentase 34,45 persen
dari jumlah penduduk Indonesia atau 90 juta dari jumlah penduduk Indonesia (Aziz, Munawir,
2018, https://nasional.kompas.com, diakses 10 Januari 2019). Adapun yang menyebutkan bahwa
kelompok usia millennial adalah usia 15-39 tahun dengan jumlah sekitar 84,75 juta dari total
penduduk Indonesia yang jumlahnya 258 juta. Artinya, sekitar 32% penduduk Indonesia adalah
usia produktif yang merupakan generasi Y atau disebut dengan generasi millennial (Annisa,
Finastri, 2017, https://ideannisa.com/, diakses 10 Januari 2019).
Data tersebut, yang kebanyakan diambil pada jangka waktu tahun 2017 dan 2018,
menunjukkan bahwa generasi millennial memang merupakan kunci penentu masa depan karena
millennial yang akan mengambil alih kepemimpinan di masa depan selain juga fakta lain yang
menyebutkan bahwa salah satu penyumbang bonus demografi bagi Indonesia adalah generasi
millennial sendiri.
Adapun bonus demografi sendiri merupakan suatu istilah mengacu kepada adanya ledakan
populasi manusia yang berada pada umur produktif kerja yaitu 15 – 64 tahun di suatu
negara. Keberadaan bonus demografi diasumsikan dapat meningkatkan percepatan pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Perubahan struktur umur dalam cakupan negara pada kondisi tertentu dapat
menjadi stimulus untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. (rumahmillennials.com,
2017, diakses 11 Januari 2019)
Struktur umur penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 sebanyak 157
juta jiwa atau 66% dari total penduduk Indonesia sedang berada pada usia produktif yaitu 15 – 64
tahun. Jika dilihat melalui kacamata sejarah, transisi demografi Indonesia sudah dimulai sejak
tahun 1970. Melalui sensus penduduk pada tahun 2000, diketahui bahwa ada peningkatan jumlah
penduduk yang berusia 15 – 64 tahun dari 63 – 65 juta penduduk pada tahun 1970 menjadi 133 –
135 juta penduduk pada tahun 2000.
Melihat realita yang terjadi, berdasarkan data pertumbuhan penduduk tersebut, maka
Indonesia akan dianggap mengalami masa bonus demografi. Sejalan dengan itu, tahun 2017 –
2019 merupakan bonus demografi Indonesia yang pertama dan tahun 2020 – 2035 merupakan
bonus demografi Indonesia yang kedua. Puncak dari bonus demografi Indonesia akan berada pada
tahun 2028 – 2032 (sejalan dengan salah satu tahun emas Indonesia menurut Mangunwijaya
(1998)) sehingga pada tahun 2045 kita telah menikmati hasil dari bonus demografi tersebut
(http://rumahmillennials.com/, diakses 12 Januari 2019).
Jika millennial, seperti dalam Finastri (2017), yang saat ini berusia antara 15 hingga 39
tahun tetap menjaga kesehatan mereka, bonus demografi yang telah diramalkan pada tahun ini
akan menjadi salah satu modal yang besar pada dua tahun penting yang tersisa (menurut
Mangunwijaya (1998)) yaitu 2028 dan 2045. Karena pada dua tahun tersebut, millennial
diramalkan akan menjadi pemegang kekuasaan tertinggi baik di bidang politik, ekonomi,
pertahanan, sosial budaya, serta pendidikan. Selain itu, bukannya tidak mungkin kita akan melihat
kabinet eksekutif (presiden beserta menteri-menterinya) pada era tersebut akan didominasi oleh
generasi millennial.

3
Struktur Penduduk Indonesia per tahun 2016 (Anissa, Finastri (2017))

Grafik yang Menunjukkan Bonus Demografi yang Akan Dialami Indonesia dalam Kurun Waktu
2010-2035 (2017, http://rumahmillennials.com/, diakses 11 Januari 2019)

Harapan atas generasi millennial ini semakin tinggi mengingat generasi millennial
merupakan generasi di Indonesia yang memiliki bekal individu yang lebih bagus dibandingkan
generasi-generasi sebelumnya di Indonesia dan di dunia. Meskipun demikian, millennial perlu
mengingat beberapa tantangan yang akan mereka hadapi dalam kesehariannya. Sebagai contoh
adalah bidang keuangan (finansial).

4
Secara finansial, generasi millennial merupakan generasi yang lemah secara ekonomi
bahkan memiliki kesalahan mendasar di bidang keuangan. Permasalahan keuangan generasi
milenial sering dipandang lebih sulit. Mereka pun tak jarang melakukan kesalahan keuangan.
Douglas Boneparth, penulis buku "Millennial Money Fix," menjabarkan tiga kesalahan keuangan
yang kerap dilakukan oleh generasi milenial sebagai berikut:

1. Tidak memiliki arah dan tujuan keuangan (yang jelas).


2. Gagal mengatur arus (perputaran) uang.
3. Investasi tanpa tahu tujuannya
(Setiawan, Sakina Rakhma Diah, 2017, https://ekonomi.kompas.com/, diakses 14 Desember 2019)
Selain itu, ada faktor lain yang dapat menjelaskan mengapa generasi millennial memiliki
masalah keuangan. Yang pertama adalah kebanyakan generasi millennial tidak banyak menabung
atau investasi. Kebanyakan pengeluaran mereka habis untuk nongkrong di kafe sepulang kantor
atau pulang kuliah dan hal ini dilakukan hampir setiap hari sehingga mereka tidak memiliki cukup
uang yang tersisa untuk berinvestasi.
Faktor lain yang bepengaruh adalah sifat generasi millennial cenderung tidak mau memiliki
aset yang dimiliki individu karena prinsip 'sharing economy' yang menjadi sifat generasi millennial
di dunia termasuk di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari berkembangnya bisnis-bisnis berbasis
sharing alias berbagi dengan menggunakan ruang kosong (idle capacity) atau tempat kosong yang
tidak terpakai dan rata-rata semua bisnis ini berbasis teknologi. Sebagai contoh penginapan dengan
AirBnB, kendaraan dengan Uber da GoJek group, tempat kerja berkonsep co-working space dan
lain sebagainya.
Selain itu, standar status sosial generasi millennial berbeda dengan generasi-generasi
sebelumnya. Untuk generasi millennial, status sosial tidak terletak pada mobil apa yang mereka
miliki akan tetapi lebih kepada gadget terbaru yang mereka miliki. Dapat disimpulkan kepemilikan
aset telah bergeser dari rumah dan mobil ke teknologi dan gadget (bagi generasi millennial).
Ada juga faktor lain yang juga bepengaruh yaitu generasi millennial cenderung mencari
pengalaman (salah satunya Travelling). Salah satu alasan mengapa generasi milenial tidak bisa
menabung dan berinvestasi adalah mereka cenderung menghabiskan uang untuk jalan-jalan demi
mencari pengalaman dan mengunjungi tempat-tempat baru. Bagi mereka, aset terpenting adalah
pernah mendatangi tempat baru ditambah dengan adanya teknologi dan media sosial terbaru yang
memungkinkan mereka untuk menunjukkan jati diri dengan memamerkan posisi mereka
mengunjungi tempat-tempat tersebut. (Madjid, Aidil Akbar, 2017, https://finance.detik.com,
diakses 14 Januari 2019)
Hal-hal tersebut membuktikan bahwa generasi millennial secara ekonomi dan finansial
memang lemah dibandingkan generasi di atasnya dalam taraf usia yang sama sehingga tidak
mengherankan banyak berita yang juga menulis bahwa generasi millennial yang tidak memiliki
investasi jangka panjang berupa properti (dalam hal ini rumah).
Di Indonesia, terutama kawasan metropolitan Jabodetabek, CNN Indonesia dalam artikel
tahun 2017 menuliskan bahwa banyak generasi millennial yang terancam tidak memiliki rumah.
Sejumlah riset melansir sedikitnya 83 persen generasi millennial, yang berpenghasilan rata-rata
Rp 7.500.000,00 per bulan, tidak akan mampu memiliki rumah di Jakarta sampai kapan pun.
Sementara, sekitar 17 persen sisanya hanya mampu membeli rumah bekas senilai Rp
300.000.000,00. Hal ini disebabkan oleh harga properti yang makin melambung setiap tahun.
Diperkirakan, peningkatan harga rumah dalam lima tahun ke depan mencapai 150 persen. Padahal,
kenaikan pendapatan hanya mencapai 60 persen dalam periode yang sama. Hal ini disebabkan oleh

5
gaya hidup generasi millennial yang lebih mementingkan untuk “nongkrong” atau berkumpul
selepas bekerja dan mengkonsumsi makanan tertentu.
Penyebabnya, menurut perencana Keuangan Tejasari Assad, adalah generasi millenial
memiliki karakteristik salah satunya menyukai gaya hidup nongkrong atau duduk-duduk santai
bersama teman-teman di kafe atau rumah makan. Gaya hidup ini dianggap menguras keuangan
apalagi jika dilakukan cukup sering sehingga melakukan perencanaan keuangan untuk memiliki
hunian setelah satu atau dua tahun bekerja menjadi patut dilakukan. (Fauzie, Yuliyanna, 2017,
https://www.cnnindonesia.com, diakses 12 Januari 2019).
Meskipun demikian, millennial tidak perlu rendah diri karena millennial memiliki satu
bidang di mana mereka jauh lebih unggul dibandingkan generasi di atasnya. Hal tersebut adalah
kecakapan di bidang teknologi informasi terutama yang berkaitan dengan internet.
Dalam bidang informasi, generasi millennial merupakan salah satu generasi yang menjadi
penggerak aktifnya media sosial di Indonesia terutama dalam pencarian sumber informasi (berita),
hiburan, dan layanan e-commerce. Menurut Pusat Data Republika (2016), jumlah generasi
millennial yang mengonsumsi layanan video streaming semakin banyak. Data dari Ericsson
(seperti dikutip Pusat Data Republika (2016)) tercatat hingga tahun 2011 hanya ada sekitar tujuh
persen remaja berusia 16 - 19 tahun (lahir antara 1992 hingga 1995) yang menonton video melalui
Youtube. Rata-rata mereka menghabiskan waktu di depan layar perangkat mobile sekitar tiga jam
sehari. Angka tersebut kemudian meningkat empat tahun kemudian (2015) menjadi 20 persen.
Waktu yang digunakan untuk menonton layanan streaming juga meningkat tiga kali lipat. Fakta
tersebut membuktikan, perilaku generasi millennial sudah tak bisa dilepaskan dari menonton video
secara daring (online).
Mengenai perilaku belanja online generasi millennial, The Nielsen Global Survey of E-
commerce juga melakukan penelitian terhadap pergeseran perilaku belanja para generasi internet
(millennial). Penelitian tersebut menggambarkan perilaku generasi akrab internet ini memilih jalur
daring untuk meneliti dan membeli beragam produk atau jasa dalam memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Nielsen mencatat, pertumbuhan penetrasi perangkat mobile di kota-kota besar di Indonesia
mencapai 88 persen. Kepemilikan perangkat mobile menjadi salah satu faktor paling signifikan
terhadap perilaku belanja daring.
Berdasarkan riset Nielsen tersebut, Indonesia memiliki peringkat teratas secara global
dalam hal penggunaan ponsel pintar (smartphone) untuk belanja daring. Sebanyak 61 persen
konsumen memilih berbelanja menggunakan ponsel pintar dan 38 persen lainnya memilih tablet
atau perangkat lainnya. Sementara, 58 persen konsumen lebih memilih menggunakan komputer.
Meskipun demikian, kedekatan dengan dunia maya serta memiliki pengetahuan tinggi dalam
menggunakan platform dan perangkat mobile ternyata melahirkan titik lemah bagi para generasi
internet. Titik lemah tersebut berdampak buruk terhadap keamanan generasi millennial di dunia
maya. Salah satunya ancaman siber yang siap menerkam para pengguna.
Norton Cyber Security mengeluarkan Insight Report November 2016 (penelitian mengenai
keamanan internet). Hasil dari penelitian tersebut dianggap mengejutkan karena "Generasi
millennial secara mengejutkan menunjukkan kebiasaan keamanan daring yang mengendur," ujar
Direktur Asia Consumer Business Norton by Symantec Chee Choon Hong. Riset Norton ini lebih
menjelaskan mengenai perilaku generasi millennial dalam mengamankan perangkat mobile
pribadinya. Sebenarnya, penelitian tersebut menyebutkan bahwa pengguna makin menyadari
kebutuhan perlindungan perangkat terutama dalam melindungi informasi pribadi. Akan tetapi,
pengguna tidak termotivasi mengambil langkah pencegahan.

6
Data tersebut menyebutkan, 20 persen generasi millennial dengan senang hati berbagi kata
sandi yang berpotensi mengorbankan keamanan daring mereka. Kemudian, data juga
menunjukkan sebagian besar konsumen Indonesia atau sekitar 90 persen menggunakan koneksi
Wi-Fi publik. Akan tetapi, hanya 51 persen dari mereka yang mengetahui cara mengamankan
jaringan tersebut. Hanya 36 persen dari responden yang menghubungkan perangkat mobile dengan
jaringan Wi-Fi dengan menggunakan VPN (Virtual Private Network) secara reguler. Sementara
itu, 28 persen pengguna tidak mampu mengenali jenis email terinfeksi malware. Sebanyak 76
persen pemilik perangkat mobile mengetahui kepentingan perlindungan informasi daring
pribadinya dan hanya 22 persen yang melindungi perangkatnya. Hal tersebut menyebabkan 39
persen pengguna mengalami peretasan kata sandi, 28 persen pembobolan akun email, dan 26
persen peretasan data, dan akun media sosial. (Pusat Data Republika, 2016,
https://www.republika.co.id/, diakses 11 Januari 2019)
Akan tetapi, ada sedikit harapan bagi millennials dibandingkan generasi-generasi di
atasnya. Mereka secara umum jauh memiliki filter personal terhadap berita yang cenderung
bersifat hoax jika dibandingkan dengan generasi di atasnya. Vice Indonesia (2019) merilis fakta
bahwa generasi tua (di atas millennial) cenderung gampang membagi “berita hoaks” saat
berlangsungnya Pemilihan Presiden AS 2016 yang lalu.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen pengguna Facebook yang
diteliti tidak pernah membagikan disinformasi di halaman teman-teman mereka, menurut
penelitian tersebut. Dari pengguna yang membagikan berita palsu, umur si pengguna menjadi
faktor signifikan. Penelitian tersebut juga menemukan fakta bahwa “orang Amerika paling tua,
terutama mereka di atas umur 65 tahun (generasi baby boomer) lebih cenderung membagi berita
palsu kepada teman-teman Facebook mereka.” Hal ini masih terbukti bahkan dengan faktor-faktor
lain seperti ideologi dan partai pilihan sebagai faktor konstan. (Emerson, Sarah, 2019,
https://www.vice.com/, diakses 12 Januari 2019)
Lalu, apakah yang harus dilakukan bagi generasi millennial dalam menghadapi tantangan
menuju tahun emas 2045? Mari kita telaah baik secara pekerjaan, ekonomi, sosial, maupun
teknologi informasi.
Secara pekerjaan, termasuk secara ekonomi, generasi millennial justru merupakan generasi
yang mengenalkan konsep freelance, yang merupakan bentuk lain dari kata berwirausaha.
Generasi millennial telah menciptakan suatu konsep kemandirian bekerja yang berbeda dari
generasi sebelumnya. Yang membedakan konsep wirausaha dengan freelance sendiri adalah
definisi dari keduanya.
Freelance didefinisikan sebagai “Seorang yang berkerja secara mandiri dan bekerja untuk
perusahaan yang berbeda dalam tugas tertentu” sedangkan wirausaha didefinisikan sebagai
“Seseorang yang mendirikan sebuah bisnis atau banyak bisnis, dan mengambil risiko finansial
dengan harapan keuntungan “(Masters, David, 2015, https://business.tutsplus.com, diakses 13
Januari 2019). Sehingga, dapat diartikan bahwa seorang yang bekerja dengan konsep freelance
mengabdi kepada beberapa orang sedangkan seorang pengusaha lebih mengabdi kepada bidang
usahanya sendiri.
Salah satu hal yang dapat menguatkan kecenderungan millennial untuk melakukan
kegiatan freelance adalah adanya rasa kebebasan di dalam melakukan pekerjaan. Karena di dalam
freelance (bahasa Indonesia pekerja lepas), terkandung filosofi kebebasan yang mencakup
kebebasan waktu (tidak terikat konsep kerja delapan jam), ruang (tidak terikat di suatu tempat
maupun wilayah tertentu), orang (tidak hanya bertemu orang yang itu-itu saja), bahkan konsep
(kita bisa bermain bahkan menunjukkan idealisme karya kita). Suatu filosofi dari pekerjaan yang

7
dianggap tidak mungkin didapatkan apabila mereka mengambil pekerjaan konvensional yang
dianggap bersifat permanen (berada di suatu tempat dan bekerja delapan jam per hari) meskipun
untuk memulai freelance bagi yang masih pemula atau awam harus benar-benar bekerja keras dan
memulai dari nol karena mereka belum memiliki bakat yang memadai, strategi mengatur ritme
kerja, bahkan (yang terpenting) koneksi ke pasar atau pemakai jasa (Renaldi, Adi, 2018,
https://www.vice.com/, diakses 15 Januari 2019)
Selain itu, filosofi dasar generasi millennial yang memang tidak terlalu suka menetap di
satu perusahaan atau bidang pekerjaan juga mendorong mereka untuk mendapatkan banyak ilmu
dari berbagai tempat dan latar belakang sehingga dapat menjadi batu fondasi bagi mereka untuk
mendirikan usaha sendiri (Stephanie, Kimberley, tanpa tahun, https://koinworks.com, diakses 13
Januari 2019).
Meskipun demikian, generasi millennial harus mencoba belajar mengelola keuangan
secara mendasar, yaitu mengutamakan kebutuhan dasar (primer) dibandingkan kebutuhan tersier
sehingga permasalahan keuangan di hari tua tidak menjerat millennial, yang pada saat ini disebut
sebagai urban poor (kaum miskin perkotaan/urban) (Dini, Mega, 2018, https://www.popbela.com,
diakses 13 Januari 2019)
Secara sosial, generasi millennial memang cenderung lebih menyukai tinggal di kawasan
perkotaan (urban) dibandingkan pinggiran (sub-urban) maupun pedesaan (rural). Hal ini sudah
terlihat dalam laporan yang dirilis Alvara Strategic Research pada tahun 2016 (seperti dikutip pada
mazwahid, 2016, https://marketing.co.id, diakses 13 Januari 2019). Di dalam laporan tersebut,
dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam beberapa tahun ke depan komposisi penduduk yang tinggal
di kota (urban) semakin tinggi.
Perubahan komposisi penduduk kota-desa tidak hanya sekadar perubahan lokasi geografis
saja, tetapi juga termasuk perubahan budaya, nilai-nilai sosial, perilaku, dan pola pikir. Masyarakat
kota, yang kemudian kita sebut masyarakat urban, adalah masyarakat terbuka dan cenderung
individualis. Mau tidak mau dan suka tidak suka, nilai-nilai tradisional pelan tapi pasti akan
semakin terpinggirkan oleh budaya urban karena masyarakat urban adalah masyarakat yang
digerakkan oleh nilai-nilai ekonomi dan waktu karena itu sifat-sifat komunal juga akan tersisih.
Wajah Indonesia di masa mendatang akan sangat ditentukan pertemuan tiga entitas yakni
masyarakat urban, kelas menengah, dan generasi millennial. Merekalah yang akan menjadi pelaku
utama sejarah Indonesia di masa mendatang atau disebut juga sebagai “the urban middle-class
millennials”.
Lalu, bagaimana ciri dan karakter masyarakat urban middle-class millennials? Setidaknya
ada tiga hal antara lain:
 confidence; mereka ini adalah orang yang sangat percaya diri, berani mengemukakan pendapat
atau idenya, dan tidak sungkan-sungkan berdebat di depan publik.
 creative; mereka adalah orang yang biasa berpikir out of the box, kaya akan ide dan gagasan,
serta mampu mengomunikasikan ide dan gagasan itu dengan cemerlang.
 connected; yaitu pribadi-pribadi yang pandai bersosialisasi terutama dalam komunitas yang
mereka ikuti. Mereka juga aktif berselancar di media sosial dan internet untuk sekedar mencari
informasi atau hiburan.

8
Grafik Perkiraan Proyeksi Penduduk Perkotaan (Urban) di Indonesia dengan acuan tiga provinsi
besar di Pulau Jawa (Alvara (2016) seperti dikutip pada marketing.co.id (2016))

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), sebanyak 49,8% dari penduduk Indonesia sudah
tinggal di wilayah perkotaan pada tahun 2010 (data penduduk Indonesia pada Sensus Penduduk
2010 mencapai 258 juta) dan BPS memprediksi di tahun-tahun mendatang komposisi penduduk
kota (urban) akan semakin meningkat seperti yang terlihat pada grafik di atas. Prediksi yang
dilakukan BPS menunjukkan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa penduduk kota (urban) akan
mencapai 56,7% dan tahun 2035 akan mencapai 66,6%. Prediksi firma keuangan BCG (Boston
Consulting Group) menyebutkan jumlah MAC (Middle-Class and Affluent Consumers) tahun
2020 mencapai 141 juta orang sedangkan firma keuangan McKinsey sendiri memprediksi kelas
menengah Indonesia tahun 2030 akan mencapai 130 juta orang. Jumlah Millennial Indonesia tahun
2020 tidak akan berbeda jauh dengan jumlah sekarang bahkan cenderung konstan di angka 35%
akibat adanya faktor mortalitas (kematian). Generasi millennials di tahun 2020 akan berada pada
puncak keemasan kehidupan mereka baik dari sisi kehidupan pribadi maupun kehidupan
masyarakat (sosial) (mazwahid, 2016, https://marketing.co.id, diakses 13 Januari 2019).

Grafik MAC (Middle-Class and Affluent Consumers) di Indonesia (Sumber: marketing.co.id,


2016)

9
Selain itu, tantangan ke depan bagi generasi millennial secara teknologi informasi adalah
bagaimana mereka menjadi filter bagi tumbuhnya berita palsu/fortifikasi (hoax). Meskipun
kebanyakan penyebar hoax di media sosial adalah generasi tua (baby boomer), tetapi juga tidak
sedikit generasi millennial yang juga ikut menyebarkan hoax meskipun mereka dikenal sebagai
generasi yang memiliki literasi digital yang cukup tinggi jika dibandingkan generasi-generasi
sebelumnya seperti generasi baby boomer dan generasi X (Tambak, Ruslan, 2018,
https://politik.rmol.co/, diakses 15 Januari 2019).
Suka tidak suka, dengan penetrasi internet yang bersifat massif dari waktu ke waktu,
generasi millennial yang dikenal memiliki tingkat literasi internet serta pemakaian yang paling
tinggi akan bertanggung jawab terhadap isi konten yang ada di internet selain kepada generasi
sebelumnya juga kepada generasi penerus mereka (generasi Z dan generasi alfa yang tidak lain
adalah anak-anak mereka secara tidak langsung). Hal ini juga dibuktikan dengan data dari Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang menyatakan bahwa pengguna internet
Indonesia mencapai 51, 8% (132,7 juta orang) dari 256,2 juta orang penduduk Indonesia.
Penduduk Indonesia mengakses internet lebih banyak melalui perangkat gadget (mobile) sebesar
47, 6 % dan 25,3 % melakukan aktivitas mengakses internet adalah untuk up date informasi. Selain
itu, media sosial menjadi ‘kawan akrab’ bagi pengguna internet. Berdasarkan hasil survei APJII
(Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia) tahun 2016, terlihat bahwa 97, 5 % responden yang
melakukan kegiatan berbagi informasi adalah aktivitas tertinggi di dalam media sosial (Mardina,
2017).
Dengan semakin mudahnya gadget diperoleh dan dipakai saat ini serta sifat berbagi
informasi yang cepat tanpa perlu menyaring benar tidaknya informasi tersebut sudah menjadi
aktivitas sosial, maka generasi millennial perlu mempertimbangkan kembali etika dalam
berinternet. Etika atau prinsip penggunaan media sosial menjadi terabaikan karena tren ‘siapa
cepat menyebarkan informasi’ akan menaikkan rangking atau citra diri bagi penyebar informasi.
Banyak orang menjadi antusias untuk berbagi informasi tanpu melakukan pengecekan kembali
terhadap informasi tersebut. Penyebaran berita bohong atau ‘hoax’ menjadi letupan besar, bila
tidak dikendalikan dengan bijak, maka akan memberi ledakan dalam kehidupan sosial (Mardina,
2017).
Sehingga, kunci kesuksesan Indonesia pada tahun 2045 terletak pada generasi millennial
yang akan mendominasi peran ekonomi dan sosial. Untuk menunjang peran tersebut, generasi
millennial perlu menguatkan diri terutama di bidang ekonomi dan sosial melalui optimalisasi
penggunaan internet untuk menunjang kedua bidang tersebut sehingga impian “Indonesia Emas
2045” akan dicapai melalui generasi millennial dengan bantuan internet sebagai media yang
dianggap paling efektif dan efisien.

10
Referensi
Mardina, Riana, 2017, Literasi Digital bagi Generasi Digital Natives, Surabaya: Seminar Nasional
Perpustakaan & Pustakawan Inovatif Kreatif di Era Digital
Mangunwijaya, Yusuf Bilyarta, 1998, Menuju Republik Indonesia Serikat, Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama
Kurnia, Kafi, 1999, Intrik Trik-trik Bisnis Meracik Sukses, Jakarta: Mizan
Pusat Data Republika, 2016, https://www.republika.co.id/berita/koran/inovasi/16/12/26/ois64613-
mengenal-generasi-millennial, diakses 11 Januari 2019
Aziz, Munawir, 2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/03/10/21305651/demi-semangat-
kebhinekaan-generasi-millenial, diakses 10 Januari 2019
Annisa, Finastri, 2017, https://ideannisa.com/2017/05/04/peluang-ekonomi-bonus-demografi-
millenial/, diakses 11 Januari 2019.
Abdullah, Ahmad Fida, 2017, http://rumahmillennials.com/2017/05/16/generasi-milennials-
optimalisasi-bonus-demografi-indonesia-tahun-2017-2035, diakses 11 Januari 2019
Setiawan, Sakina Rakhma Diah, 2017,
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/12/11/084000226/tiga-kesalahan-keuangan-generasi-
milenial, diakses 14 Desember 2019
Madjid, Aidil Akbar, 2017, https://finance.detik.com/perencanaan-keuangan/d-3620868/generasi-
milenial-dan-keuangan-mereka, diakses 14 Januari 2019.
Fauzie, Yuliyanna, 2017, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170819183723-83-
235928/menghitung-gaji-anak-nongkrong-millenials-untuk-beli-hunian, diakses 12 Januari 2019
Emerson, Sarah, 2019, https://www.vice.com/id_id/article/439z8g/penelitian-generasi-baby-
boomer-alias-ortumu-yang-paling-rajin-bagikan-hoax-di-facebook, diakses 12 Januari 2019
Masters, David, 2015, https://business.tutsplus.com/id/articles/entrepreneur-or-freelancer-whats-
the-difference--cms-23416, diakses 13 Januari 2019
Stephanie, Kimberley, tanpa tahun, https://koinworks.com/blog/generasi-millennial-generasi-
terkaya/, diakses 13 Januari 2019
Renaldi, Adi, 2018, https://www.vice.com/id_id/article/7xqdad/mengintip-geliat-manusia-yang-
tak-pernah-mengenal-kantor, diakses 15 Januari 2019
Dini, Mega, 2018, https://www.popbela.com/career/inspiration/megadini/populer-di-internet-
tulisan-tentang-gaya-hidup-generasi-millennial-berhasil-menarik-perhatian-netizen, diakses 13
Januari 2019
mazwahid, 2016, https://marketing.co.id/indonesia-2020-generasi-millenial-kelas-menengah-
kota/, diakses 13 Januari 2019
Tambak, Ruslan, 2018, https://politik.rmol.co/read/2018/10/24/363325/Generasi-Milenial-Harus-
Perbanyak-Literasi-Untuk-Tangkal-Hoax, diakses 15 Januari 2019

11

Anda mungkin juga menyukai