Anda di halaman 1dari 2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi jamur merupakan salah satu penyakit kulit yang masih menjadi masalah yang
dihadapi dunia kesehatan khususnya di negara beriklim tropis, dimana prevalensinya mencapai
20 – 80% (Hay R. Dkk, 2009). Di Indonesia sendiri, penyakit kulit termasuk dalam 10 penyakit
terbesar pada rawat jalan Rumah Sakit pada tahun 2008 (Depkes RI, 2008). Beberapa jamur yang
dapat menyebabkan infeksi pada kulit manusia antara lain Candida albicans, Epidermiophyton
floccosum, Malassezia furfur, Microsporum gypseum, Trichophyton rubrum.

Beberapa penyakit yang disebabkan oleh jamur-jamur tersebut antara lain, Candida albicans
dapat menyerang daerah mulut, vagina, kulit, kuku, paru-paru dan beberapa titik saluran pencernaan
(Jawetz, 1995). Epidermiophyton floccosum dapat menginfeksi kulit (tinea corporis, tinea cruris, tinea
pedis) dan kuku (onychomycosis) dimana infeksi terbatas pada lapisan korneum kulit luar (Daili et al.,
2005). Malassezia furfur dapat menyebabkan penyakit Pityriasis versicolor (Panu) (Partogi, 2008).
Microsporum gypseum merupakan dapat menyebabkan penyakit kulit, pemakan zat tanduk atau keratin,
serta merusak kuku dan rambut dan dapat menimbulkan radang yang moderat pada manusia
(Wicaksana, 2008). Trichophyton rubrum menyerang jaringan kulit dan menyebabkan beberapa infeksi
kulit kaki, daerah inguinal (perut dan paha), aksila, kulit kepala, dan kuku (Matthew dkk., 2015).

Saat ini, sudah ditemukan sejumlah obat penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur, baik
obat sintetis maupun obat tradisional. Penggunaan obat tradisional dikalangan masyarakat
sebagai alternatif pengobatan semakin meningkat. WHO menyatakan sekitar 80% penduduk di
dunia menggunakan obat tradisional yang berasal dari tanaman (Verma et al, 2011). Obat herbal
atau obat yang berasal dari tanaman lebih aman dan memiliki spesifikasi khasiat yang sangat
unik. Selain itu, hanya dari satu jenis obat herbal dapat menghasilkan khasiat yang beragam
(Mahendra, 2006).
Indonesia sudah dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang jumlahnya sangat
melimpah. Sekitar 250 ribu hingga 30 ribu spesies tumbuhan berpotensi sebagai sumber pangan
dan pakan. Bahkan, lebih dari 20 ribu sumber daya hayati berpotensi sebagai bahan obat-obatan
tradisional dan modern (Ubaidillah,2015).
Salah satu tumbuhan yang dapat dijadikan sumber pengobatan herbal adalah jengkol.
Jengkol (Archidendron pauciflorum (Benth.) I.C.Nielsen) adalah tumbuhan khas di wilayah Asia
Tenggara. Produksi jengkol di Indonesia tahun 2009 mencapai 62.475 ton/tahun. Dari jumlah
tersebut dapat dihasilkan limbah kulit jengkol sekitar 49.087,5 ton/tahun (Fauza, dkk 2015).
Kulit jengkol tergolong sampah organik yang masih belum banyak dimanfaatkan secara
maksimal untuk meningkatkan nilai ekonomis dan mengurangi jumlah limbah yang sangat besar.
Senyawa kimia yang khas dalam tanaman jengkol adalah asam jengkolat. Senyawa ini
merupakan asam amino alifatik yang mengandung sulfur dan bersifat toksik (Hyeronimus,
2008). Hasil skrinning fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol, kulit jengkol mengandung
senyawa kimia yaitu alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, fenolik dan steroid/triterpenoid (Rizal,
2016).
Senyawa tanin merupakan senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan yang bersifat
sebagai antibakteri dan memiliki kemampuan menyamak kulit atau dikenal sebagai astringensia
(Robinson, 1995). Dari sifat antibakteri senyawa tanin, maka tanin dapat digunakan sebagai obat
antiradang, antidiare, pengobatan infeksi pada kulit dan mulut, dan pengobatan luka bakar. Oleh
karena itu, tanin sebagai antibakteri dapat digunakan dalam bidang pengobatan (Hariana, 2007).
Selain itu, menurut Nurussakinah (2010) senyawa tanin dan flavonoid merupakan
golongan senyawa polifenol yang bersifat sebagai antibakteri. Selain sebagai antibakteri,
metabolit sekunder dalam tumbuhan yang berasal dari golongan alkaloid, flavonoid, fenol,
steroid dan terpenoid dapat berfungsi sebagai antioksidan alami (Yuhernita, dkk., 2011).
Berdasarkan uraian tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan uji kemampuan
antifungi ekstrak kulit Jengkol terhadap jamur Candida albicans, Epidermiophyton floccosum,
Malassezia furfur, Microsporum gypseum, Trichophyton rubrum.

Anda mungkin juga menyukai