Oleh :
M Adi Amali M G99181040
I.B Tri Ojas Saktiana G99172088
Witri Widiati Ningrum G99181066
Fadel Muhammad S. A G991906011
PEMBIMBING:
dr. NOVI PRIMADEWI, Sp.THT-KL., M.Kes.
1
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograd dari asam lambung
atau isinya seperti pepsin kesaluran esofagus atas dan menimbulkan
cedera mukosa karena trauma langsung. Sehingga terjadi kerusakan silia
yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem dan batuk
kronis akibatnya akan sebabkan iritasi dan inflamasi (Kumar, 2016).
Patofisiologi
Patofisiologi LPR sampai saat ini masih sulit dipastikan. Seperti yang
diketahui mukosa faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah
cedera langsung akibat asam lambung dan pepsin yang terkandung
pada refluxate. Laring lebih rentan terhadap cairan refluks dibanding
esophagus karena tidak mempunyai mekanisme pertahanan ekstrinsik
dan instrinsik seperti esophagus (Tokashiki, 2005)
Terdapat beberapa teori yang mencetuskan respon patologis karena
cairan refluks ini, yaitu:
4
1. Cedera laring dan jaringan sekitar akibat trauma langsung oleh cairan
refluks yang mengandung asam dan pepsin. Cairan asam dan pepsin
merupakan zat berbahaya bagi laring dan jaringan sekitarnya.
Pepsin merupakan enzim proteolitik utama lambung. Aktivitas optimal
pepsin terjadi pada pH 2,0 dan tidak aktif dan bersifat stabil
pada pH 6 tetapi akan aktif kembali jika pH dapat kembali ke pH
2,0 dengan tingkat aktivitas70% dari sebelumnya.
2. Asam lambung pada bagian distal esofagusakan merangsang refleks
vagal sehingga akan mengakibatkan bronkokontriksi, gerakan mendehem
(throat clearing) dan batuk kronis. Lama kelamaan akan menyebabkan
lesi pada mukosa. Mekanisme keduanya akan menyebabkan perubahan
patologis pada kondisilaring. Bukti lain juga menyebutkan bahwa
rangsangan mukosa esofagu soleh cairan asam lambung juga akan
menyebabkan peradangan pada mukosa hidung, disfungsi tuba dan
gangguan pernafasan. Cairan lambung tadi menyebabkan refleks
vagal eferen sehingga terjadi respons neuroinflamasi mukosa dan dapat
saja tidak ditemukan inflamasi di daerah laring
3.
Terdapat 4 jenis pertahanan fisiologis yang melindungi traktus aerodigestif
dari cedera refluks yaitu, LES (Lower Esophageal Spinchter), fungsi motorik
esofageal dengan pembersihan asam lambung, resistensi jaringan mukosa
esofageal, dan spingter esofageal atas (Lipan, 2010).
a. LES (Lower Esophageal Spinchter)
Mekanisme pertama pada pertahanan anti refluks adalah gastroesophageal
junction. Pertahanan ini terdiri dari sphincter dengan elemen otot dari lower
esophageal sphincter (LES) dan otot lurik dari diafragma bagian bawah,
yang berkombinasi untuk menjaga tekanan GEJ, hal ini penting untuk
menahan tekanan intraabdominal, dan mencegah isi lambung melewati
esofagus. Secara fisiologis LES merupakan sphincter dengan panjang 3-4
cm dengan otot yang dapat berkontraksi di distal esofagus. Sphincter akan
relaksasi setelah terjadi proses menelan makanan dan memasukkan ke
5
dalam lambung, secara anatomi daerah ini mempunyai ketebalan 2-3 kali
lebih tebal dibanding bagian dinding proksimal esofagus.
6
selama respirasi dan menjaga sekresi gaster masuk ke faring sewaktu
refluks. Adanya penyimpangan pada fungsi yang kedua tersebut diyakini
sebagai penyebab kerusakan primer pada LPR, yang bermanifestasi
terjadinya refluks yang mencapai laryngopharyng.
Gejala Klinik
Pasien LPR biasanya memiliki gejala seperti halitosis, suara serak, batuk,
disfagia, post nasal drip, sakit tenggorokan. Gejala lain yang menyertai
adalah: eksaserbasi asma, sakit leher, odinofagia, otalgia, lendir tenggorok
berlebih (Mitrovic, 2011).
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI) dan
pemeriksaan Laring (Reflux Finding Score/ RFS). Akan tetapi
pemeriksaan penunjang sering digunakan untuk menegakkan diagnosis
(Koufman, 2011).
a. Riwayat Penyakit:
Hal yang penting ditanyakan apakah ada perubahan suara terutama
perubahan suara yang intermitten di siang hari. Jika ada keluhan ini
perlu ada kecurigaan akan LPR. Gejala lain yang sering dikeluhkan
pasien adalah rasa seperti tersangkut di tenggorok (Globus sensation),
mendehem (throat clearing), batuk dan suara serak. Gejala lain seperti
nyeri tenggorok, penumpukan dahak di tenggorok, obstruksi jalan
nafas intermiten, post nasal drip, wheezing, halitosis dan disfagia
dapat timbul. Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang
paling nyata dan utama (Koufman, 2011).
7
perubahan suara. Asma dan sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR.
Refluks sering dianggap sebagai faktor yang dapat mencetuskan asma.
Pada pasien yang asam lambungnya dapat ditekan terlihat ada
perbaikan fungsi paru dan perbaikan keluhan pada kasus asma 78%
(Koufman, 2011).
Gejala tersering pada LPR adalah suara serak 71%, batuk 51% dan
rasa mengganjal di tenggorok (globus faringeus) 47%. Pasien
karsinoma laring ditemukan riwayat LPR 58% dan stenosis subglotik
56%. Skor RSI adalah 0-45 dengan skor ≥ 13 curiga LPR (Adam,
2009).
8
b. Pemeriksaan Fisik
9
asli dan palsu seperti bertemu dan tidak terlihat adanya ruang
ventrikel.21
Udem laring yang difus dinilai dari perbandingan antara ukuran laring
dengan ukuran jalan nafas, penilaian mulai nari nol sampai nilai 4
(obstruksi). Hipertrofi komissura posterior gradasi ringan (nilai 1)
jika komissura posterior terlihat seperti “kumis”, nilai 2 (gradasi
sedang) jika komisura posterior bengkak sehingga seperti membentuk
garis lurus pada belakang laring. Gradasi berat (nilai 3) jika terlihat
penonjolan laring posterior kearah jalan nafas dan gradasi sangat berat
apabila terlihat ada obliterasi ke arah jalan nafas. Gambaran lain yang
mungkin ditemukan adalah sinusitis berulang dan erosi dari gigi (Lipan,
2010).
c. Pemeriksaan Penunjang
10
diperkenalkan oleh Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini dianjurkan
pada keadaan pasien dengan keluhan LPR tetapi pada pemeriksaan
klinis tidak ada kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif dalam
mendiagnosis refluks karena pemeriksaan ini secara akurat dapat
membedakan adanya refluks asam pada sfingter esofagus atas
dengan dibawah sehingga dapat menentukan adanya LPR atau
GERD (Amirlak, 2017).
Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak nyaman
dan dapat ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%. Hal ini
dikarenakan pola refluks pada pasien LPR yang intermittent atau
berhubungan dengan gaya hidup sehingga kejadian refluks dapat
tidak terjadi saat pemeriksaan. Pemeriksaan ini hanya dapat
menilai refluks asam sedangkan refluks non asam tidak terdeteksi.
Pemeriksaan ini disarankan pada pasien yang tidak respons
terhadap pengobatan supresi asam (Lipan, 2010)
3. Pemeriksaan Endoskopi : Dengan menggunakan esofagoskop dapat
membantu dalam penegakan diagnosis. Gambaran esofagitis hanya
ditemukan sekitar 30% pada kasus LPR. Gambaran yang patut
dicurigai LPR adalah jika kita temukan gambaran garis melingkar
“barret” dengan atau tanpa adanya inflamasi esophagus (Lipan,
2010).
4. Pemeriksaan videostroboskopi : Pemeriksaan video laring dengan
menggunakan endoskop sumber cahaya xenon yang diaktifasi oleh
pergerakan pita suara. Gambaran ini dapat dilihat dengan gerakan
lambat (Amirlak, 2017).
5. Pemeriksaan Histopatologi : Pada biopsi laring ditemukan gambaran
hyperplasia epitel skuamosa dengan inflamasi kronik pada
submukosa. Gambaran ini dapat berkembang menjadi atopi dan
ulserasi epitel serta penumpukan fibrin,jaringan granulasi dan
fibrotik didaerah submukosa (Amirlak, 2017).
6. Pemeriksaan esofagografi dengan bubur Barium : Pemeriksaan ini
dapat melihat gerakan peristaltik yang abnormal juga motilitas, lesi di
11
esofagus, hiatus hernia, refluks spontan dan kelainan sfingter
esofagus bawah. kelemahannya pemeriksaan ini tidak dapat menilai
refluks yang intermiten. pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan
jika pengobatan gagal, terdapat indikasi klinis kearah GERD,
disfungsi esofagusatau diagnosis yang belum pasti (Pham, 2014).
7. Pemeriksaan laringoskopi langsung : Pemeriksaan ini memerlukan
anestesi umum dan dilakukan diruangan operasi. Dapat melihat
secara langsung struktur laring dan jaringan sekitarnya serta dapat
dilakukan tindakan biopsi (Amirlak, 2017).
d. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Proton Pump Inhibitor (PPI) atau penghambat pompa proton merupakan
terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus
refluks. Cara kerja PPI dengan menurunkan kadar ion hidrogen cairan
refluks tetapi tidak dapat menurunkan jumlah dan durasi refluks. PPI
dapat menurunkan refluks asam lambung sampai lebih dari 80%. Akan
tetapi efektifitas obat terhadap LPR tidak seoptimal efektifitasnya pada
kasus GERD. Akan tetapi pengobatan PPI ternyata cukup efektif
dengan catatan harus menggunakan dosis yang lebih tinggi dan
pengobatan lebih lama dibandingkan GERD. Rekomendasi dosis
adalah 2 kali dosis GERD dengan rentang waktu 3 sampai 6 bulan
(Pham, 2014).
13
bermakna nilai gejala/keluhan (RSI) dengan pemberian terapi
Lansoprazole 2x30 mg perhari pada 8 minngu I dan II terapi akan tetapi
pada 8 minggu III tidak terlihat perbaikan pada RSI. Kemudian zat
proteksi mukosa, sukralfat misalnya dapat digunakan untuk melindungi
mukosa dari cedera akibat asam dan pepsin (Bailey, 2009).
Terapi Pembedahan
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/ barier pada
daerah pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah
refluks seluruh isi gaster kearah esofagus. Keadaan ini dianjurkan
pada pasien yang harus terus menerus minum obat atau dengan dosis
yang makin lama makin tinggi untuk menekan asam lambung.
Sekarang ini tindakan yang sering dilakukan adalah funduplikasi
laparoskopi yang kurang invasif. Akan tetapi tindakan ini bukannya
tanpa komplikasi, perlu dokter yang berpengalaman dan mengerti
mengenai anatomi esofagus serta menguasai teknik funduplikasi
konvensional agar angka komplikasi dapat ditekan. Sehingga operasi
ini bukan pilihan pertama pada kasus LPR (Pham, 2014).
Prognosis
14
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan
catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan
gaya hidup. Dari salah satu kepustakaan menyebutkan angka
keberhasilan pada pasien dengan laryngitis posterior berat sekitar 83%
setelah diberikan terapi 6 minggu dengan omeprazol. Dan sekitar 79%
kasus alami kekambuhan setelah berhenti berobat. sedangkan prognosis
keberhasilan dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2 kali sehari
selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86% (Ballenjer,
2016).
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Adam GL. Diseases of the nasopharynx and oropharynx. In: Boies fundamentals
of otolaryngology. A text book of ear, nose and throat diseases 6th Ed. WB
Saunders Co 2009: p,332-69.
Adams, G.L., Boies, L.R., dan Hilger, P.A., 2013. Boies: Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Ahuja V, MD. Head and Neck Manifestations of Gastroesophageal Reflux
disease. American Family Physician. 1999 vol 60.
Amirlak B. 2017. Reflux Laryngitis. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/864864-overview#showall.
(Diakses pada taggal 20 Juli 2019)
Bailey BJ, Johnson JT, American Academy of Otolaryngology – Head and Neck
Surgery. Lippincott Williams & Wilkins, Fourth Edition, Volume one,
United States of America, 2006. p601-13.
Ballenjer JJ. Diseases of the oropharynx. In: Otorhinolaryngology head and neck
surgery. 15th Ed. Lea Febiger Book. Baltimore, Philadelphia, Sydney,
Tokyo: p.236-44.
Becker W, Nauman HH & Pfalt CR, Acute laryngitis in Ear nose and Throath
Desease, New york, Thieme medical publisher:2014:414-15
Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The validity and reliability if the Reflux
Finding Score (RFS). Laryngoscope. 2001;111:1313-1317
Clouse RE, Diamant NE. Eshopageal Motor and Sensory Function and Motor
Disorders of the Esophagus, In:Feldman:Sleisenger & Fordtran’s
Gastrointestinal and Liver Disease, 7th ed. Elsevier.2002
Diamond L. 2005. Laryngopharyngeal reflux-It’s not GERD. JAAPA.; 18 (8):
50-53
17
Jhon SD & Maves MD Surgical Anatomy of the Head and Neck. In Byron-Head
and Neck surgery Otolaryngology.ed3.Vol I,USA.Wilkins
Publisher,2001:9
John L. Boone, MD. Etiology of Infectious Diseases of the Upper
Respiratory Tract. In: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Nexk
Surgery 16th Edition. 2003 BC Decker Inc. Chapter 30. P: 635-7.
Karkos PD, Wilson JA. 2006. Empiric treatment of Laryngopharyngeal Reflux
with Proton Pump Inhibitors: A systematic review. Laryngoscope. 116:
144-48
Kumar S, Disease of the Larinx in Fundamental Of Ear, Nose, & throath Disease
And Head-Neck Surgery, Calcutta,publisher Mohendra Nath
Paul,2016:391-99
Lipan MJ. Anatomy of Reflux: A Growing Health Problem Affecting Structures
of the Head and Neck. The Anatomical Record (part B: New Anat, 2010
vol 289B: 261-70
Mitrovic SM. Terminology, Diagnostic and Therapy of Laringopharingeal Reflux:
71(6): 608-10.
Pham V. Laryngopharyngeal Reflux with an Emphasis on Diagnostic and
Therapeutic Considerations http://www.utmb.edu/otoref/grnds/laryng-
reflux-090825/laryng-reflux-090825.doc
18
Rees LE, Pazmany L, Gutowska-Owsiak D, Inman CF, Phillips A, Stokes CR.
The Mucosal Immune Response to Laryngopharingeal Reflux. American
Journal of Respiratory and Critical Care Medicine: Vol 177(1): 1187-93.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ (Diakses pada tanggal, 19 Juni 2019)
Soepardi, Efiaty A, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher, edisi ke 6. Jakarta:FKUI, 2010, 238-241.
Tokashiki Ret al. 2015. the relationship between esophagoscopic findings and
total acid reflux time below pH 4 and pH 5 in the upper esofagusin
patients with laryngopharyngeal reflux disease (LPRD). Auris Nasus
Larynx. 32: 265-68
19