Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DAN HIV/ AIDS


STIGMA DAN DISKRIMINASI
Dosen Pengampu : Ns.Grace Carrol Sipasulta, M.Kep.,Sp.Kep.Mat

Disusun Oleh :
Aprilliani Salamatussa’diah (P07220117043)
Bella Febrianti (P07220117044)
Hanifah Fauziah Amaliah (P07220117050)
Reischa Delvi Octavia (P07220117069)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN


KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
karuniannya makalah ini dapat terselesaikan. Dalam penyelesaian makalah ini,saya
banyak mengalami kesulitan,terutama disebabkan oleh kurangnya pengetahuan yang
menunjang. Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Makalah ini berasal dari berbagai sumber. Dari makalah ini insyaallah
yang lain akan mendapatkan pengetahuan yang lebih luas dan lebih mudah
mengingatnya. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan teman-teman.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stigma masyarakat terhadap Orang Dengan HIV&AIDS sampai sekarang ini
masih sangat besar. Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan
pada gilirannya akan mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA dan
keluarganya, hal semacam itu dapat memperparah epidemik HIV&AIDS. Mereka
menghambat usaha pencegahan dan perawatan dengan memelihara kebisuan dan
penyangkalan tentang HIV&AIDS, seperti juga mendorong keterpinggiran
ODHA dan mereka yang rentan terhadap infeksi HIV.
Stigma pada ODHA adalah sebuah penilaian negatif yang diberikan oleh
masyarakat karena dianggap bahwa penyakit HIV-AIDS yang diderita sebagai
akibat perilaku yang merugikan diri sendiri dan berbeda dengan penyakit akibat
virus lain. Ditambah lagi kondisi ini di perparah karena hampir sebagian besar
kasus penularan HIV pada ODHA disebabkan karena aktivitas seksual yang
berganti-ganti pasangan.
Stigma dari lingkungan sosial dapat menghambat proses pencegahan dan
pengobatan. Penderita akan cemas terhadap diskriminasi dan sehingga tidak mau
melakukan tes. ODHA dapat juga menerima perlakuan yang tidak semestinya,
sehingga menolak untuk membuka status mereka terhadap pasangan atau
mengubah perilaku mereka untuk menghindari reaksi negatif. Mereka jadi tidak
mencari pengobatan dan dukungan, juga tidak berpartisipasi untuk
mengurangi penyebaran. Reaksi ini dapat menghambat usaha untuk
mengintervensi HIV & AIDS.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian stigma dan diskriminasi?
2. Bagaimana bahasa HIV/ AIDS?
3. Bagaimana tanggapan risiko jangkitan HIV?
4. Bagaimana pandangan masyarakat berhubungan stigma & diskriminasi?
5. Kes kajian stigma (prasangka buruk) & diskriminasi?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa pengertian stigma dan diskriminasi
2. Mengetahui bagaimana bahasa HIV/AIDS
3. Mengetahui bagaimana tanggapan masyarakat berhubungan stigma &
diskriminasi
4. Kes kajian stigma (prasangka buruk) & diskriminasi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Stigma adalah prasangka memberikan label sosial yang bertujuan untuk
memisahkan atau mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap
atau pandangan buruk. Dalam prakteknya, stigma mengakibatkan tindakan
diskriminasi, yaitu tindakan tidak mengakui atau tidak mengupayakan pemenuhan
hak-hak dasar individu atau kelompok sebagaimana selayaknya sebagai manusia
yang bermartabat. Stigma dan diskriminasi masih sering terjadi pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) (Kemenkes RI, 2012).
Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan seseorang
yang terinfeksi HIV dengan nilai-nilai negatif yang diberikan oleh mereka
(masyarakat). Stigma membuat ODHA diperlakukan secara berbeda dengan orang
lain. Diskriminasi terkait HIV adalah suatu tindakan yang tidak adil pada
seseorang yang secara nyata atau diduga mengidap HIV.
Diskriminasi pula boleh dianggap sebagai layanan yang tidak adil kepada
seseorang individu ataupun kumpulan tertentu (Joseph, 2016). Stigma dan
diskriminasi berkaitan HIV merujuk kepada sikap prejudis dan negatif serta
penyalahgunaan dan penganiayaan kepada orang yang hidup dengan HIV/AIDS
(Positive Malaysian Treatment Access & Advocacy Group, 2012). Selain itu,
stigma dan diskriminasi HIV/AIDS juga digambarkan sebagai proses penurunan
nilai (process of devaluation) terhadap orang yang hidup atau mempunyai kaitan
dengan HIV/AIDS (UNAIDS, 2003).
Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya stigma pada ODHA di
masyarakat. Pendidikan kesehatan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan
mengenai HIV/AIDS dalam banyak penelitian dibuktikan sebagai salah satu
faktor yang paling memengaruhi terjadinya pengurangan stigma. Orang yang
memiliki pengetahuan cukup tentang faktor risiko, transmisi, pencegahan, dan
pengobatan HIV/AIDS cenderung tidak takut dan tidak memberikan stigma
terhadap ODHA.
Selain pengetahuan yang kurang, pengalaman atau sikap negatif terhadap
penularan HIV dianggap sebagai faktor yang dapat memengaruhi munculnya
stigma dan diskriminasi. Pendapat tentang penyakit AIDS merupakan penyakit
kutukan akibat perilaku amoral juga sangat memengaruhi orang bersikap dan
berperilaku terhadap ODHA.
Dalam jurnal penelitian oleh Ahwan Zainul yang berjudul “Stigma dan
diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS di masyarakat basis anggota
Nahdlatul Ulama Bangil” menjelaskan bahwa mata rantai penyebaran HIV/AIDS
bukan hanya berhenti pada permasalahan kesehatan dan medis belaka tetapi juga
berkaitan dengan perlakuan terhadap orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Banyak
kasus deskriminasi terjadi pada penderita HIV/AIDS dimasyarakat baik dalam
pergaulan sosial, lingkungan dunia pendidikan, dunia kerja dan pelayanan
kesehatan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap
penyakit HIV/AIDS.
Penelitian oleh Shaluhiyah, Mustofa & Widjanarko dengan judul “Stigma
Masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS” menjelaskan bahwa stigma dan
diskriminasi muncul karena tidak tahunya masyarakat tentang informasi HIV
yang benar dan lengkap, khususnya dalam mekanisme penularan HIV, kelompok
orang yang beresiko tertular HIV dan cara pencegahannya termasuk penggunaan
kondom. Stigma merupakan pengahalang terbesar dalam pencegahan penularan
dan pengobatan HIV. Pandangan buruk yang muncul berkaitan dengan
tidaktahunya seeorang tentang mekanisme penularan HIV/AIDS dan sikap negatif
yang dipengaruhi oleh adanya epidemi HIV/AIDS. Kesalahpahaman atau
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS seringkali berdampak
pada ketakutan masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS, sehingga
memunculkan penolakan terhadap penderita HIV/AIDS. Penelitian terkait oleh
Suratini, Permatasari yang berjudul “Pengalaman orang dengan HIV/AIDS
mendapatkan perawatan keluarga :Studi Fenomenologi “ mengatakan bahwa
masyarakat menganggap bahwa penyakit HIV/AIDS menular melalui makanan
dan pakaian. Masyarakat takut tertular melalui pakaian penderita HIV/AIDS
sehingga keluarga dari penderita HIV/AIDS tersebut disuruh oleh tetangga untuk
membuang semua pakaian dan tempat tidur penderita HIV agar tidak tertular.
Pandangan yang tidak benar ini membuat pendertia HIV/AIDS menutup diri
terhadap orang lain.

B. Bahasa HIV/AIDS
Istilah yang sering digunakan dalam bahasa HIV/AIDS
1. Bukan aids, tetapi AIDS (Dari Segi Penulisan) :
AIDS bukanlah perkataan, tetapi merupakan singkatan yang bermaksud
perkataan yang dibentuk daripada huruf awal, yang bermaksud ACQUIRED
IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME (SINDROM KURANG DAYA
TAHAN PENYAKIT)
2. Bukan virus AIDS, tetapi HIV :
HIV ialah virus dan AIDS ialah sindrom penyakit. Sindrom ialah sekumpulan
tanda dan gejala yang menunjukkan seseorang mempunyai suatu keadaan atau
penyakit. AIDS bukanlah PENYEBAB tetapi HASIL/AKIBAT jangkitan
HIV.
3. Bukan Pembawa AIDS, tetapi HIV positif :
Istilah “Pembawa AIDS” yang bermaksud yang boleh mendapat AIDS
menerusi perhubungan seks adalah tidak benar. Ia juga bermaksud yang
penyebab jangkitan adalah AIDS dan bukannya HIV, Ini juga tidak benar.
HIV positif bermaksud yang dijangkiti HIV, dan ini adalah istilah sesuai
untuk digunakan.
4. Bukan mangsa AIDS, tetapi Orang yang Hidup Dengan HIV atau AIDS :
Orang yang mempunyai HIV atau AIDS tidak suka dilabel sebagai “mangsa”.
Ia bermaksud yang mereka tidak berkuasa atau ditewaskan oleh penyakit.
PLWHA adalah istilah yang memberi lebih maruah, harapan dan kekuatan
kepada orang yang mencari kekuatan untuk menghadapi penyakit yang sukar.
5. Bukan penderita atau pesakit AIDS, tetapi Orang yang Hidup dengan HIV
atau AIDS:
Orang yang hidup dengan HIV atau AIDS tidak sakit sepanjang masa. Tentu
sekali ada ketikanya mereka akan menjadi pesakit, tetapi istilah ini bermaksud
tidak berdaya dan tidak membantu memberi kekuatan kepada ODHA untuk
merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri. Ia juga memperkecil hakikat
yang ODHA mampu menjalani kehidupan normal, memanjangkan jangka
hayat mereka dan memperbaiki kualiti kehidupan mereka dengan rawatan
yang betul dan bantuan sosial.
6. Bukan ujian AIDS, tetapi Ujian Antibodi HIV:
Tidak ada satu ujian pun yang boleh menentukan sama ada seseorang
mempunyai AIDS ataupun tidak, memandangkan AIDS adalah sindrom bagi
berbagai keadaan dan penyakit. Anda tidak diuji untuk AIDS tetap diuji untuk
jangkitan HIV; ataupun lebih tepat lagi untuk antibodi terhadap HIV. Jika
antibodi dihasilkan sebagai tindak balas kepada jangkitan, orang itu adalah
HIV positif.
7. Bukan Kumpulan Berisiko Tinggi, tetapi Kelakuan Berisiko Tinggi :
Anda dijangkiti HIV bukan disebabkan SIAPA ANDA tetapi apa yang anda
BUAT. Jika anda terlibat dalam kelakuan berisiko tinggi yang akan
mendedahkan anda kepada HIV, anda boleh dijangkiti walau siapa sekalipun
anda, sama ada miskin ataupun kaya, lelaki atau wanita, pelacur atau suri
rumah.
C. Tanggapan Risiko Jangkitan HIV
Pandangan masyarakat yang salah terhadap HIV/AIDS :
1. Masyarakat masih menganggap bahwa HIV/AIDS adalah penyakit pada
mereka yang kurang moral karena tertular melalui hubungan seks, dan para
pecandu narkoba. Akibatnya mereka dijauhin dan penyebarannya makin tidak
terkontrol. Mitos yang beredar di masyarakat bahwa berhubungan sosial
denga penderita HIV/AIDS akan membuat kita tertular, seperti bersalaman,
menggunakan WC yang sama, tinggal serumah atau menggunakan sprei yang
sama dengan penderita HIV/AIDS. Angggapn bahwa HIV juga tinggal
menunggu waktu “mati” (Katiandagho, 2015).
2. HIV adalah penyakit yang mengancam hidup.
3. Ketakutan untuk kontak langsung dengan penderita HIV/AIDS.
4. Penderita HIV/AIDS dihubungkan dengan perilaku seperti homoseksual,
pekerja seks komersial (PSK).
5. Penderita HIV/AIDS dinilai sebagai penyakit yang dibuat sendiri.
6. Masyarakat menganggap HIV/AIDS adalah kesalahan moral, seperti
penyimpangan seks yang pantas mendapatkan hukuman.
7. Kurangnya pengetahuan yang benar mengenai HIV/AIDS (Widoyono, 2011).
8. HIV/AIDS menular melalui hubungan kontak sosial biasa dari satu orang ke
orang lain dirumah, tempat kerja tau tempat umum.
9. HIV/AIDS menular melalui makanan, udara dan air (kolam renang, toilet).
10. HIV/AIDS menular melalui serangga/nyamuk.
11. HIV/AIDS melalui batuk, bersin dan meludah.
12. HIV/AIDS menular melalui bersalaman, menyentuh, berpelukan atau cium
pipi ( Hasdianah, 2014)

Pernyataan yang benar terhadap penyakit HIV/AIDS :

Tetap bersikap/ berpikir positif, berusaha mendapatkan terapi HIV/AIDS,


menghindari seks bebas dan tidak aman, menghindarai penyalahgunaan NAPZA
(Hasdianah, 2014). HIV bukanlah vonis mati bagi pengidapnya, HIV adalah virus
yang dapat menyebabkan hilangnya kekebalan tubuh manusia. HIV bukanlah hal
yang harus ditakuti hingga menjadi momok yang seakan - akan mengancam
kehidupan manusia, selama pengidap tersebut menjaga kondisi tubuhnya maka ia
akan hidup dengan wajar dan sehat, dan selama pengidap juga menjaga dan dapat
merubah perilakunya maka penularan tak akan terjadi (Katiandagho, 2015). HIV
hanya ditularkan melalui seks atau melalu cairan mani/cairan vagina, melalui
darah dan melalui air susu ibu yang positif HIV. HIV/AIDS tidak ditularkan
melalui ciuman, berpelukan, berjabat tangan dengan orang yang positif HIV,
pemakaian toilet, wastafel, kamar mandi bersama, berenang bersama dikolam
renang, gigitan nyamuk/serangga, membuang ingus/batuk, meludah dan
pemakaian piring atau minum bersama dengan penderita HIV/AIDS (Komisi
Penanggulangan AIDS,2010).

D. Pandangan Masyarakat Berhubungan Stigma & Diskriminasi


Hal yang paling sering didengar adalah HIV sangat mudah menular bahkan
lewat kontak biasa, dengan adanya mitos ini akhirnya masyarakat awam menjadi
menjaga jarak dan antipati terhadap ODHA karena mereka mungkin berpikir akan
tertular jika dekat-dekat dengan ODHA.
Padahal HIV sendiri tidak mudah menular, HIV memiliki prinsip dalam
penularannya, bukan semata-mata dengan bersentuhan saja bisa tertular. Seperti
yang sudah kita ketahui, HIV hanya dapat menyebar melalui kontak dengan darah
atau cairan tubuh lain. Memeluk, mencium, berbagi minuman, menggunakan
peralatan olahraga, berbagi peralatan makan, menggunakan toilet yang sama atau
ketika batuk dan bersin, keadaan tersebut tidak bisa menyebabkan penyebaran
HIV.
Selain itu pandangan yang masih banyak dipercaya yaitu penularan HIV yang
berkaitan dengan hubungan seksual jadi dipandang bahwa ODHA adalah orang-
orang yang nakal atau “perempuan nakal”, karena itu mereka pantas
mendapatkannya. Sebenarnya memang salah satu cara penularan HIV sendiri
melalui hubungan seksual yang beresiko misal, berhubungan seksual berganti-
ganti pasangan baik heteroseksual maupun homoseksual tanpa menggunakan
pengaman namun sebenarnya selain lewat hubungan seksual HIV sendiri juga
menular lewat jarum suntik yang digunakan bersamaan dengan orang yang
terinfeksi HIV atau bisa juga penularan pada bayi pada saat kehamilan dan
transfusi darah. Jadi, sebenarnya penularan HIV tidak semata-semata lewat
hubungan seksual atau “perempuan nakal” seperti yang banyak dipikirkan
masyarakat umum. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa mereka yang
berganti-ganti pasangan dan berhubungan seksual tanpa menggunakan pengaman-
lah yang akan terinfeksi HIV, namun sebenarnya sekarang banyak sekali ibu
rumah tangga yang tercatat terinfeksi HIV. Selain itu, juga tercatat ada anak usia
balita yang juga terinfeksi HIV dan ini membuktikan bahwa HIV bukan
permasalahan mengenai “perempuan nakal” atau “orang nakal”.
Sebenarnya masih banyak lagi pandangan-pandangan masyarakat awam yang
keterbatasan atau miskin informasi yang akhirnya memperlakukan ODHA dengan
stigma dan diskriminasi. Misal, jika orang tua mengetahui anaknya bermain
dengan ODHA, bisa dengan mudah mereka menyarankan anaknya tersebut untuk
hati-hati dan menjaga jarak karena takut tertular, atau ketika masyarakat awam
yang sedang melewati poli yang menangani kasus HIV lalu berkata, “yaa gitu itu
kalau dia-nya nakal, jadi kena HIV”. Selain itu ada juga di daerah-daerah sekitar
dimana ODHA masih tidak diterima di lingkungan dan diusir, namun masih
banyak juga daerah yang bisa menerima masayarakatnya secara adil tanpa stigma
dan diskriminasi, paling tidak minimnya pengusiran terjadi. Biasanya pandangan-
pandangan ini terjadi karena informasi yang diberikan kurang merata, misalnya
pemberian informasi kadang tidak melibatkan masyarakat umum, hal ini
membuat masyarakat umum masih memegang pandangan yang salah mengenai
HIV. Selain itu kurang nya rasa ingin tahu maupun masalah kepandaian dalam
menggunakan fasilitasi sosial media juga membuat informasi yang benar menjadi
sulit untuk menyebar, misal, sudah banyak informasi yang tersedia di media
sosial atau internet menjadi tidak bisa di jangkau oleh masyarakat yang gagap
teknologi.

Anda mungkin juga menyukai