Anda di halaman 1dari 37

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa
gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral symptom) yang mengganggu
(disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptive) (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E.
1998). Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa,
melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga
terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku.
Demensia adalah satu penyakit yang melibatkan sel-sel otak yang mati secara abnormal.
Hanya satu terminologi yang digunakan untuk menerangkan penyakit otak degeneratif yang
progresif. Daya ingatan, pemikiran, tingkah laku dan emosi terjejas bila mengalami demensia.
Penyakit ini boleh dialami oleh semua orang dari berbagai latarbelakang pendidikan mahupun
kebudayaan. Walaupun tidak terdapat sebarang rawatan untuk demensia, namun rawatan untuk
menangani gejala-gejala boleh diperolehi.
Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara
perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan kemampuan untuk
memusatkan perhatian, dan bisa terjadi kemunduran kepribadian.
Pada usia muda, demensia bisa terjadi secara mendadak jika cedera hebat, penyakit atau
zat-zat racun (misalnya karbon monoksida) menyebabkan hancurnya sel-sel otak. Tetapi
demensia biasanya timbul secara perlahan dan menyerang usia diatas 60 tahun. Demensia bukan
merupakan bagian dari proses penuaan yang normal. Sejalan dengan bertambahnya umur, maka
perubahan di dalam otak bisa menyebabkan hilangnya beberapa ingatan (terutama ingatan jangka
pendek) dan penurunan beberapa kemampuan belajar. Perubahan normal ini tidak mempengaruhi
fungsi.
Lupa pada usia lanjut bukan merupakan pertanda dari demensia maupun penyakit
Alzheimer stadium awal. Demensia merupakan penurunan kemampuan mental yang lebih serius,
yang makin lama makin parah. Pada penuaan normal, seseorang bisa lupa akan hal-hal yang
detil; tetapi penderita demensia bisa lupa akan keseluruhan peristiwa yang baru saja terjadi.

B. EPIDEMIOLOGI
Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut diatas 60 tahun adalah
7,2 % (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta). peningkatan angka kejadian kasus demensia
berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi . Kira-kira 5 % usia lanjut
65 – 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45
% pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri kasus demensia 0.5 –1.0 % dan di Amerika
jumlah demensia pada usia lanjut 10 – 15% atau sekitar 3 – 4 juta orang.
Demensia terbagi menjadi dua yakni Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler.
Demensia Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju Amerika dan Eropa
sekitar 50-70%. Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15-20% sisanya 15- 35% disebabkan
demensia lainnya. Di Jepang dan Cina demensia vaskuler 50 – 60 % dan 30 – 40 % demensia
akibat penyakit Alzheimer
.
C. KLASIFIKASI
1. Menurut Umur :
a. Demensia senilis (>65th)
b. Demensia prasenilis (<65th)
2. Menurut perjalanan penyakit :
a. Reversibel
b. Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, vit B Defisiensi,
Hipotiroidisma, intoxikasi Pb.
3. Menurut kerusakan struktur otak :
a. Tipe Alzheimer
b. Tipe non-Alzheimer
c. Demensia vaskular
d. Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)
e. Demensia Lobus frontal-temporal
f. Demensia terkait dengan SIDA(HIV-AIDS)
g. Morbus Parkinson
h. Morbus Huntington
i. Morbus Pick
j. Morbus Jakob-Creutzfeldt
k. Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker
l. Prion disease
m. Palsi Supranuklear progresif
n. Multiple sklerosis
o. Neurosifilis
4. Menurut sifat klinis:
a. Demensia proprius
b. Pseudo-demensia

D. ETIOLOGI
Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa penyakit yang dapat menyebabkan timbulnya
gejala demensia ada sejumlah tujuh puluh lima. Beberapa penyakit dapat disembuhkan
sementara sebagian besar tidak dapat disembuhkan (Mace, N.L. & Rabins, P.V. 2006). Sebagian
besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala demensia adalah
penyakit Alzheimer, penyakit vascular (pembuluh darah), demensia Lewy body, demensia
frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh penyakit lain.
Lima puluh sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah penyakit Alzheimer.
Alzhaimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak
tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya (Grayson, C. 2004). Penderita Alzheimer
mengalami gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses
berpikir.
Kemungkinan penyebab demensia

1. Demensia Degeneratif
a. Penyakit Alzheimer
b. Demensia frontotemporal (misalnya; Penyakit Pick)
c. Penyakit Parkinson
d. Demensia Jisim Lewy
e. Ferokalsinosis serebral idiopatik (penyakit Fahr)
f. Kelumphan supranuklear yang progresif

2. Lain-lain
a. Penyakit Huntington
b. Penyakit Wilson
c. Leukodistrofi metakromatik
3. Trauma
a . Dementia pugilistica,posttraumatic dementia
b. Subdural hematoma

4. Infeksi
a . Penyakit Prion (misalnya penyakit Creutzfeldt-Jakob, bovine spongiform
encephalitis,(Sindrom Gerstmann Straussler)
b. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS)
c. Sifilis

5. Kelainan jantung, vaskuler dan


a. Neuroakantosistosis

6. Kelainan Psikiatrik
a. Pseudodemensia pada depresi
b. Penurunan fungsi kognitif pada skizofrenia lanjut

7 . Fisiologis
a. Hidrosefalus tekanan normal

8. Kelainan Metabolik
a. Defisiensi vitamin (misalnya vitamin B12, folat)
b. Endokrinopati (e.g.,hipotiroidisme)
c. Gangguan metabolisme kronik (contoh : uremia)

9. Tumor
a. Tumor primer maupun metastase (misalnya meningioma atau tumor metastasis dari
tumor payudara atau tumor paru)
10. anoksia
a. Infark serebri (infark tunggak mauapun mulitpel atau infark lakunar)
b. Penyakit Binswanger (subcortical arteriosclerotic encephalopathy)
c. Insufisiensi hemodinamik (hipoperfusi atau hipoksia)
11. Penyakit demielinisasi
a. Sklerosis multipel
12. Obat-obatan dan toksin
a. Alkohol
b. Logam berat
c. Radiasi
d. Pseudodemensia akibat
e. pengobatan (misalnya penggunaan antikolinergik)
f. Karbon monoksida.

Demensia Tipe Alzheimer


Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya diberi nama
dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun
dengan perjalanan demensia progresif selama 4,5 tahun. Diagnosis akhir Alzheimer didasarkan
pada pemeriksaan neuropatologi otak; meskipun demikian, demensia Alzheimer biasanya
didiagnosis dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lain telah disingkirkan dari
pertimbangan diagnostik.2,5

Gambar.2.2 Penyakit Alzheimer. Tampak secara jelas plak senilis disebelah kiri. Beberapa
serabut neuron tampak kusut disebelah kanan. Menjadi catatan tentang adanya
kekacauan hantaran listrik pada sistem kortikal.2

Gambar.2.3 Sel otak pada Penyakit Alzheimer dibandingkan dengan sel otak normal.7
Faktor Genetik
Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah terjadi kemajuan
dalam molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama neuropatologi gangguan.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien demensia mempunyai riwayat keluarga
menderita demensia tipe Alzheimer, jadi setidaknya pada beberapa kasus, faktor genetik
dianggap berperan dalam perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut. Dukungan tambahan
tentang peranan genetik adalah bahwa terdapat angka persesuaian untuk kembar monozigotik,
dimana angka kejadian demensia tipe Alzheimer lebih tinggi daripada angka kejadian pada
kembar dizigotik. Dalam beberapa kasus yang telah tercatat dengan baik, gangguan
ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen autosomal dominan, walau transmisi tersebut
jarang terjadi.
Protein prekursor amiloid
Gen untuk protein prekusor amiloid terletak pada lengan panjang kromosom 21. Melalui
proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein prekusor amiloid. Protein
beta/ A4, yang merupakan konstituen utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan 42-
asam amino yang merupakan hasil pemecahan dari protein prekusor amiloid. Pada kasus sindrom
Down (trisomi kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein prekusor amiloid, dan pada
kelainan dengan mutasi yang terjadi pada kodon 717 dalam gen protein prekusor amiloid, suatu
proses patologis yang menghasilkan deposit protein beta/A4 yang berlebihan. Bagaimana proses
yang terjadi pada protein prekusor amiloid dalam perannya sebagai penyebab utama penyakit
Alzheimer masih belum diketahui, akan tetapi banyak kelompok studi yang meneliti baik proses
metabolisme yang normal dari protein prekusor amiloid maupun proses metabolisme yang terjadi
pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Gen E4 multipel
Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit Alzheimer. Individu
yang memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar daripada
individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan individu yang memiliki dua kopi gen E4
memiliki kemungkinan delapan kali lebih besar daripada yang tidak memiliki gen tersebut.
Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini tidal direkomendasikan untuk saat ini, karena gen
tersebut ditemukan juga pada individu tanpa demensia dan juga belum tentu ditemukan pada
seluruh penderita demensia.
Neuropatologi
Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer menunjukkan
adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel serebri. Gambaran
mikroskopis klasik dan patognomonik dari demensia tipe Alzheimer adalah plak senilis,
kekusutan serabut neuron, neuronal loss (biasanya ditemukan pada korteks dan hipokampus),
dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf. Kekusutan serabut neuron (neurofibrillary
tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan protein primer terfosforilasi, meskipun jenis protein
sitoskletal lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut neuron tersebut tidak khas
ditemukan pada penyakit Alzheimer, fenomena tersebut juga ditemukan pada sindrom Down,
demensia pugilistika (punch-drunk syndrome) kompleks Parkinson-demensia Guam, penyakit
Hallervon-Spatz, dan otak yang normal pada seseorang dengan usia lanjut. Kekusutan serabut
neuron biasanya ditemukan di daerah korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus sereleus
Plak senilis (disebut juga plak amiloid), lebih kuat mendukung untuk diagnosis penyakit
Alzheimer meskipun plak senilis tersebut juga ditemukan pada sindrom Down dan dalam
beberapa kasus ditemukan pada proses penuaan yang normal.
Neurotransmiter
Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi dari demensia Alzheimer adalah
asetilkolin dan norepinefrin. Keduanya dihipotesis menjadi hipoaktif pada penyakit Alzheimer.
Beberapa penelitian melaporkan pada penyakit Alzheimer ditemukannya suatu degenerasi
spesifik pada neuron kolinergik pada nukleus basalis meynert. Data lain yang mendukung
adanya defisit kolinergik pada Alzheimer adalah ditemukan konsentrasi asetilkolin dan
asetilkolintransferase menurun.

Penyebab potensial lainnya


Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan penyakit Alzheimer.
Satu teori adalah bahwa kelainan dalam pengaturan metabolisme fosfolipid membran
menyebabkan membran yang kurang cairan yaitu, lebih kaku dibandingkan dengan membran
yang normal. Penelitian melalui spektroskopik resonansi molekular (Molecular Resonance
Spectroscopic; MRS) mendapatkan kadar alumunium yang tinggi dalam beberapa otak pasien
dengan penyakit Alzheimer.
Familial Multipel System Taupathy dengan presenile demensia
Baru-baru ini ditemukan demensia tipe baru, yaitu Familial Multipel System Taupathy, biasanya
ditemukan bersamaan dengan kelainan otak yang lain ditemukan pada orang dengan
penyakit Alzheimer. Gen bawaan yang menjadi pencetus adalah kromosom 17. Gejala penyakit
berupa gangguan pada memori jangka pendek dan kesulitan mempertahankan keseimbangan dan
pada saat berjalan. Onset penyakit ini biasanya sekitar 40 – 50 detik, dan orang dengan penyakit
ini hidup rata-rata 11 tahun setelah terjadinya gejala.Seorang pasien dengan penyakit Alzheimer
memiliki protein pada sel neuron dan glial seperti pada Familial Multipel System
Taupathy dimana protein ini membunuh sel-sel otak. Kelainan ini tidak berhubungan dengan
plaq senile pada pasien dengan penyakit Alzheimer.
Demensia vaskuler
Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang multipel yang menimbulkan gejala
berpola demensia. Ditemukan umumnya pada laki-laki, khususnya dengan riwayat hipertensi dan
faktor resiko kardiovaskuler lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral
berukuran kecil dan sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkhim multipel
yang menyebar luas pada otak (gambar 2.2). Penyebab infark berupa oklusi pembuluh darah oleh
plaq arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat lain( misalnya katup jantung). Pada
pemeriksaan akan ditemukan bruit karotis, hasil funduskopi yang tidak normal atau pembesaran
jantung

Penyakit Binswanger
Dikenal juga sebagai ensefalopati arteriosklerotik subkortikal, ditandai dengan ditemukannya
infark-infark kecil pada subtansia alba yang juga mengenai daerah korteks serebri dan kuat
seperti resonansi magnetik (Magnetic Resonance Imaging; MRI) membuat penemuan
kasus ini menjadi lebih sering.

Penyakit Pick
Penyakit Pick ditandai atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal. Daerah tersebut
mengalami kehilangan neuronal, gliosis dan adanya badan Pick neuronal, yang merupakan massa
elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa spesimen postmortem tetapi tidak
diperlukan untuk diagnosis. Penyebab dari penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick
berjumlah kira-kira 5% dari semua demensia ireversibel. Penyakit ini paling sering pada laki-
laki, khususnya yang memiliki keluarga derajat pertama dengan penyakit ini. Penyakit Pick sukar
dibedakan dengan demensia Alzheimer. Walaupun stadium awal penyakit lebih sering ditandai
oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relatif bertahan.
Gambaran sindrom Kluver-Bucy (contohnya: hiperseksualitas, flaksiditas, hiperoralitas) lebih
sering ditemukan pada penyakit Pick daripada pada penyakit Alzheimer. yang paling luas pada
lobus frontalis serta pada lobus temporalis dan parietalis .

Penyakit Jisim lewy (Lewy body diseases)


Penyakit Jisim Lewy adalah suatudemensia yang secara klinis mirip dengan penyakit Alzheimer
dan sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran Parkinsonisme, dan gejala
ekstrapiramidal. Inklusi Jisim Lewy ditemukan di daerah korteks serebri. Insiden yang
sesungguhnya tidak diketahui. Pasien dengan penyakit Jisim Lewy ini menunjukkan efek yang
menyimpang (adverse effect) ketika diberi pengobatan dengan antipsikotik.

Penyakit Huntington
Penyakit Huntington secara klasik dikaitkan dengan perkembangan demensia. Demensia pada
penyakit ini terlihat sebagai demensia tipe subkortikal yang ditandai dengan abnormalitas
motorik yang lebih menonjol dan gangguan kemampuan berbahasa yang lebih ringan
dibandingkan demensia tipe kortikal. Demensia pada penyakit Huntington menunjukkan
perlambatan psikomotor dan kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan yang kompleks, akan tetapi
memori, bahasa, dan tilikan relatif utuh pada stadium awal dan pertengahan penyakit. Dalam
perkembangannya, demensia menjadi lengkap dan gambaran klinis yang membedakannya
dengan demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insiden depresi dan psikosis, selain gangguan
pergerakan berupa gambaran koreoatetoid klasik.

Penyakit Parkinson
Sebagaimana pada penyakit Huntington, Parkinsonisme merupakan penyakit pada ganglia
basalis yang biasanya dikaitkan dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20 hingga 30 persen
pasien dengan penyakit Parkinson mengalami gangguan kemampuan kognitif. Gerakan lambat
pada pasien dengan penyakit Parkinson sejajar dengan perlambatan berpikir pada beberapa
mpasien, suatu gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai bradifrenia.2

E. GEJALA KLINIS
Ada dua tipe demensia yang paling banyak ditemukan, yaitu tipe Alzheimer dan
Vaskuler.
1. Demensia Alzheimer
Gejala klinis demensia Alzheimer merupakan kumpulan gejala demensia akibat
gangguan neuro degenaratif (penuaan saraf) yang berlangsung progresif lambat, dimana akibat
proses degenaratif menyebabkan kematian sel-sel otak yang massif. Kematian sel-sel otak ini
baru menimbulkan gejala klinis dalam kurun waktu 30 tahun. Awalnya ditemukan gejala mudah
lupa (forgetfulness) yang menyebabkan penderita tidak mampu menyebut kata yang benar,
berlanjut dengan kesulitan mengenal benda dan akhirnya tidak mampu menggunakan barang-
barang sekalipun yang termudah. Hal ini disebabkan adanya gangguan kognitif sehingga timbul
gejala neuropsikiatrik seperti, Wahan (curiga, sampai menuduh ada yang mencuri barangnya),
halusinasi pendengaran atau penglihatan, agitasi (gelisah, mengacau), depresi, gangguan tidur,
nafsu makan dan gangguan aktifitas psikomotor, berkelana.
Stadium demensia Alzheimer terbagi atas 3 stadium, yaitu :
 Stadium I
Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala gangguan memori, berhitung dan
aktifitas spontan menurun. Fungsi memori yang terganggu adalah memori baru atau lupa hal
baru yang dialami.
 Stadium II
Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebutr stadium demensia. Gejalanya, antara lain :
1. Disorientasi
2. Gangguan bahasa (afasia)
3. Penderita mudah bingung
Penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat melakukan kegiatan sampai
selesai, tidak mengenal anggota keluarganya tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan
sehingga mengulanginya lagi. Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan penderita mudah
tersesat di lingkungannya, depresi berat prevalensinya 15-20%,”
 Stadium III
Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun. Gejala klinisnya antara lain :
1. Penderita menjadi vegetatif
2. Tidak bergerak dan membisu
3. Daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak mengenal keluarganya sendiri
4. Tidak bisa mengendalikan buang air besar/ kecil
5. Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan ornag lain
6. Kematian terjadi akibat infeksi atau trauma
2. Demensia Vaskuler
Untuk gejala klinis demensia tipe Vaskuler, disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah di
otak. “Dan setiap penyebab atau faktor resiko stroke dapat berakibat terjadinya demensia,”.
Depresi bisa disebabkan karena lesi tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi darah otak,
sehingga depresi itu dapat didiuga sebagai demensia vaskuler. Gejala depresi lebih sering
dijumpai pada demensia vaskuler daripada Alzheimer. Hal ini disebabkan karena kemampuan
penilaian terhadap diri sendiri dan respos emosi tetap stabil pada demensia vaskuler.
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya perubahan kepribadian
dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.. Penderita yang dimaksudkan
dalam tulisan ini adalah Lansia dengan usia enam puluh lima tahun keatas. Lansia penderita
demensia tidak memperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana
Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan
oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu
barang.
Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu
adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-
orang terdekat yang tinggal bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat
yang semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan
perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik
penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia, mereka
menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh
munculnya penyakit lain dan biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin
saja Lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga
membawa Lansia penderita demensia ke rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal
utama fokus pemeriksaan.
Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak
semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala
demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu
waktu yang panjang sebelum memastikan seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada
lima jenis pemeriksaan penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang
individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status mental dan sebagai penunjang
perlu dilakukan juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin
mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik perubahan
tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku
pada demensia dapat memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota
keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral
symptom) yang dapat terjadi pada Lansia penderita demensia di antaranya adalah delusi,
halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi spasial, ketidakmampuan
melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri,
melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal (Volicer, L., Hurley, A.C.,
Mahoney, E. 1998).
Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sbb:
a. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, “lupa” menjadi bagian
keseharian yang tidak bisa lepas.
b. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan, tahun, tempat
penderita demensia berada
c. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar, menggunakan
kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali
d. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah drama televisi,
marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak
beralasan. Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut
muncul.
e. Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah.

F. PERAN KELUARGA
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita demensia
yang tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia bukan hal yang mudah, tapi
perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun lingkungan sekitar. Pada tahap awal demensia
penderita dapat secara aktif dilibatkan dalam proses perawatan dirinya. Membuat catatan
kegiatan sehari-hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat membantu dalam menekan laju
kemunduran kognitif yang akan dialami penderita demensia.
Keluarga tidak berarti harus membantu semua kebutuhan harian Lansia, sehingga Lansia
cenderung diam dan bergantung pada lingkungan. Seluruh anggota keluargapun diharapkan aktif
dalam membantu Lansia agar dapat seoptimal mungkin melakukan aktifitas sehari-harinya secara
mandiri dengan aman. Melakukan aktivitas sehari-hari secara rutin sebagaimana pada umumnya
Lansia tanpa demensia dapat mengurangi depresi yang dialami Lansia penderita demensia.
Merawat penderita dengan demensia memang penuh dengan dilema, walaupun setiap hari
selama hampir 24 jam kita mengurus mereka, mungkin mereka tidak akan pernah mengenal dan
mengingat siapa kita, bahkan tidak ada ucapan terima kasih setelah apa yang kita lakukan untuk
mereka. Kesabaran adalah sebuah tuntutan dalam merawat anggota keluarga yang menderita
demensia. Tanamkanlah dalam hati bahwa penderita demensia tidak mengetahui apa yang terjadi
pada dirinya. Merekapun berusaha dengan keras untuk melawan gejala yang muncul akibat
demensia.
Saling menguatkan sesama anggota keluarga dan selalu meluangkan waktu untuk diri
sendiri beristirahat dan bersosialisasi dengan teman-teman lain dapat menghindarkan stress yang
dapat dialami oleh anggota keluarga yang merawat Lansia dengan demensia.
Tingkah Laku Lansia
Pada suatu waktu Lansia dengan demensia dapat terbangun dari tidur malamnya dan
panik karena tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit untuk ditenangkan.
Untuk mangatasi hal ini keluarga perlu membuat Lansia rileks dan aman. Yakinkan bahwa
mereka berada di tempat yang aman dan bersama dengan orang-orang yang menyayanginya.
Duduklah bersama dalam jarak yang dekat, genggam tangan Lansia, tunjukkan sikap dewasa dan
menenangkan. Berikan minuman hangat untuk menenangkan dan bantu lansia untuk tidur
kembali.
Lansia dengan demensia melakukan sesuatu yang kadang mereka sendiri tidak
memahaminya. Tindakan tersebut dapat saja membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain.
Mereka dapat saja menyalakan kompor dan meninggalkannya begitu saja. Mereka juga merasa
mampu mengemudikan kendaraan dan tersesat atau mungkin mengalami kecelakaan. Memakai
pakaian yang tidak sesuai kondisi atau menggunakan pakaian berlapis-lapis pada suhu yang
panas.
Seperti layaknya anak kecil terkadang Lansia dengan demensia bertanya sesuatu yang
sama berulang kali walaupun sudah kita jawab, tapi terus saja pertanyaan yang sama
disampaikan. Menciptakan lingkungan yang aman seperti tidak menaruh benda tajam sembarang
tempat, menaruh kunci kendaraan ditempat yang tidak diketahui oleh Lansia, memberikan
pengaman tambahan pada pintu dan jendela untuk menghindari Lansia kabur adalah hal yang
dapat dilakukan keluarga yang merawat Lansia dengan demensia di rumahnya.
G. PENCEGAHAN DAN PERAWATAN DEMENSIA
Hal yang dapat kita lakukan untuk menurunkan resiko terjadinya demensia diantaranya
adalah menjaga ketajaman daya ingat dan senantiasa mengoptimalkan fungsi otak, seperti :
a. Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol dan zat adiktif yang
berlebihan.
b. Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan setiap hari.
c. Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif.
d. Kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.
e. Tetap berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan teman yang memiliki persamaan
minat atau hobi.
f. Mengurangi stress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap relaks dalam kehidupan sehari-
hari dapat membuat otak kita tetap sehat.

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN LANSIA DENGAN DEMENSIA


1. PENGKAJIAN
Mengkaji pasien lansia dengan demensia Untuk mengkaji pasien lansia dengan demensia,
saudara dapat menggunakan tehnik mengobservasi prilaku pasien dan wawancara langsung
kepada pasien dan keluarganya. Observasi yang saudara lakukan terutama untuk mengkaji data
objective demensia. Ketika mengobservasi prilaku pasien untuk tanda-tanda seperti :
a. Kurang konsentrasi
b. Kurang kebersihan diri
c. Rentan terhadap kecelakaan: jatuh
d. Tidak mengenal waktu, tempat dan orang
e. Tremor
f. Kurang kordinasi gerak
g. Aktiftas terbatas
h. Sering mengulang kata-kata.
Berikut ini adalah aspek psikososial yang perlu dikaji oleh perawat : apakah lansia
mengalami kebingungan, kecemasan, menunjukkan afek yang labil, datar atau tidak sesuai. Bila
data tersebut saudara peroleh, data subjective didapatkan melalui wawancara.

2. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN


Berdasarkan tanda dan gejala yang ditemukan pada saat pengkajian, maka ditetapkan
diagnosa keperawatan :
a. Sindrom Stress Relokasi
Berhubungan dengan perasaan tidak berdaya, gangguan status kesehatan psikososial, tidak ada
persiapan untuk masuk rumah sakit, perubahan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, kurangnya
sistem dukungan yang adekuat.
Ditandai dengan :
- Kebingungan, keprihatinan, gelisah, tampak cemas, mudah tersinggung, tingkah laku defensif,
kekacauan mental, tingkah laku curiga, dan tingkah laku agresif
- Tampak tanda stimulasi saraf simpatis, gangguan gastrointestinal, dan perubahan kebiasaan
makan
- Gangguan tidur
Kriteria Hasil :
- Mengidentifikasi perubahan
- Mampu beradaptasi pada perubahan lingkungan dan aktivitas kehidupan sehari-hari
- Mempertahankan rasa berharga pada diri dan identitas pribadi yang positif.
- Membuat pernyataan positif tentang lingkungan yang baru
- Memperlihatkan penerimaan terhadap perubahan lingkungan dan penyesuaian kehidupan
- Mampu menunjukkan rentang perasaan yang sesuai/tidak cemas
- Tidak menyimpan pengalaman menyakitkan
- Menggunakan bantuan dari sumber yang tepat selama waktu pengaturan pada lingkungan
baru.
Tindakan keperawatan

a. Perubahan Proses Pikir


Berhubungan dengan : perubahan fisiologis, kehilangan memori/ingatan, gangguan tidur, konflik
psikologis, gangguan penilaian.
Ditandai dengan :
- Hilang konsentrasi (distrakbilitas).
- Hilang ingatan/memori.
- Tidak mampu membuat keputusan, menghitung, mengumpulkan gagasan, melakukan
abstraksi/konseptualisasi, dan memecahkan masalah.
- Tidak mampu menginterpretasikan stimulasi dan menilai realitas dengan akurat.
- Disorientasi waktu, tempat, orang, lingkungan, dan peristiwa.
- Paranoid, delusi, obsesi, halusinasi, konfabulasi, bingung/frustasi dan perubahan dalam respon
tingkah laku.
Kriteria hasil :
- Mampu memperlihatkan kemampuan kognitif untuk menjalani konsekuensi kejadian yang
menegangkan terhadap emosi dan pikiran tentang diri.
- Mampu mengembangkan strategi untuk mengatasi anggapan diri yang negatif.
- Mampu mengenali perubahan dalam berpikir atau tingkah laku dan faktor penyebab.
- Mampu memperlihatkan penurunan tingkah laku yang tidak diinginkan, ancaman dan
kebingungan.
Tindakan keperawatan :

a. Perubahan persepsi-sensori berhubungan dengan


 Perubahan persepsi, transmisi dan/ atau integrasi sensori (penyakit neurologi, tidak mampu
berkomunikasi, gangguan tidur, nyeri).
 Stress psikologi ( penyempitan pandangan perceptual disebabkan kecemasan).
 Pembatasan lingkungan secara terapeutik (isolasi, perawatan intensif, tirah baring).
 Pembatasan lingkungan social (institusional, panti jompo), stigma (gangguan jiwa,
keterbelakangan mental).
 Gangguan kimiawi (endogen, eksogen).
Ditandai dengan:
 Perubahan kemampuan pemecahan masalah
 Perubahan respons terhadap stimulasi normal, seperti disorientasi spasial, bingung, perubahan
perilaku, konsentrasi menurun.
 Respon emosional berlebihan, seperti kecemasan, paranoid, apatis, gelisah, iritabilitas, depresi,
takut, marah, dan halusinasi.
 Ketidakmampuan mengatakan letak bagian tubuh tertentu.
 Perubahan dalam sensasi rasa.
Kriteria hasil:
 Mengalami penurunan halusinasi
 Mengembangkan strategi psikososial untuk mengurangi stress atau mengatur perilaku
 Mendemonstrasikan respon yang sesuai stimulasi
 Perawat mampu mengidentifikasikan factor eksternal yang berperan terhadap perubahan
kemampuan persepsi sensori.
Intervensi
1. Kembangkan lingkungan yang suportif dan hubungan perawat –klien terapeutik
Rasional : meningkatkan kenyamanan dan menurunkan kecemasan pada klien.
2. Bantu klien untuk memahami halusinasi
Rasional : meningkatkan koping dan menurunkan halusinasi
3. Beri informasi tentang sifat halusinasi, hubungannya dengan stressor/ pengalaman emosional
yang traumatik, pengobatan, dan cara mengatasi.
Rasional : untuk membantu klien dalam memahami halusinasi.
4. Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi klien
termasuk penurunan penglihatan dan pendengaran.
Rasional : keterlibatan otak memperlibatkan masalah yang bersifat asimetris menyebabkan klien
kehilangan kemampuan pada salah satu sisi tubuh ( gangguan unilateral). Klien tidak dapat
mengenali rasa lapar/haus, penerimaan nyeri eksternal (dari luar).
5. Ajarkan strategi untuk mengurangi stress
Rasional : untuk menurunkan kebutuhan akan halusinasi.
6. Anjurkan untuk menggunakan kaca mata atau alat bantu pendengaran sesuai keperluan.
Rasional : meningkatkan masukan sensori, membatasi/menurunkan kesalahan interprestasi
stimulasi.
7. Berikan lingkungan yang tenang dan tidak kacau jika diperlukan ( music yang lembut,
gambar/dinding cat sederhana)
Rasional : menghindarkan masukan sensori penglihatan atau pendengaran yang berlebihan
dengan mengutamakan kualitas yang tenang dan konsisten.
8. Berikan sentuhan dan perhatian
Rasional : meningkatkan persepsi terhadap diri sendiri.
9. Berikan perhatian dalam indah secara berkala ( musik dan cerita peristiwa yang menyenangkan,
foto)
Rasional : meningkatkan perasaan nyaman yang memudahkan adaptasi pada perubahan
lingkungan.

b. Resiko terhadap cidera berhubungan dengan:


 Kurangnya pendidikan tentang keamanan
 Riwayat trauma terdahulu
 Kurangnya penglihatan
 Ketidakmampuan mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan
 Disorientasi, bingung, ganguan dalam pengambilan keputusan
 Kesulitan keseimbangan, kelemahan, otot tidak terkoordinasi, aktifitas kejang
Kriteria Hasil :
 Meningkatkan tingkat aktifitas
 Dapat beradaptasi dengan lingkungan umtuk mengurangi resiko cidera
 Tidak mengalami trauma/cidera
 Keluarga mengenali potensial dilingkungan dan mengidentifikaksi tahap-tahap untuk
memperbaikinya
Intervensi
1. Kaji derajat gangguan kemampuan, tingkah laku impulsive dan penurunan presepsi visual. Bantu
keluarga mengidentifikasi resiko terjadinya bahaya yang mungkin timbul.
Rasional : mengidentifikasi resiko dilingkungan dan mempertinggi kesadaran perawat akan
bahaya. Klien dengan tingkah laku impulsive berisiko trauma karena kurang mampu
mengendalikan perilaku. Penurunan persepsi visual berisiko terjatuh.
2. Hilangkan sumber bahaya lingkungan.
Rasional : klien dengan gangguan kognitif, gangguan persepsi adalah aweal terjadi trauma akibat
tidak bertanggung jawab terhadap kebutuhan keamanan dasar.
3. Alihkan perhatian saat perilaku teragitasi/berbahaya, seperti memanjat pagar tempat tidur.
Rasional : mempertahankan keamanan dengan menghindari konfrontasi yang meningkatkan resiko
terjadinya trauma.
4. Kaji efek samping obat, tanda keracunan (tanda ekstra piramida, hipotensi ortostatik, gangguan
penglihatan, gangguan gastrointestinal).
Rasional : klien yang tidak dapat melaporkan tanda/gejala obat dapat menimbulkan kadar
toksisitas pada lansia. Ukuran dosis/penggantian obat diperlukan untuk mengurangi gangguan.
5. Hindari penggunaan restrain terus menerus. Berikan kesempatan keluarga tinggal bersama klien
selama periode agitasi akut.
Rasional : membahayakan klien, meningkatkan agitasi dan timbul resiko fraktur pada klien lansia
(berhubungan dengan penurunan kalsium

DAFTAR PUSTAKA
Nugroho,Wahjudi. 1999. Keperawatan Gerontik. Edisi2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi2. Jakarta : EGC.
Kushariyadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta : Salemba Medika.
Roan Witjaksana. Delirium dan Demensia. Diakses dari :http://www.
idijakbar.com/prosiding/delirium.htm. 7 Oktober 2008. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia
Alcott. Delirium, dementia, amnestic and cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. 49-67 Dementia. Diakses dari :
http://www.medicinenet.com/dementia/ article. htm. 7 Oktober 2008
Maslim R.Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ III.2001, Jakarta; PT Nuh
Jaya. 20- 26
MemorDisoders. Diakses dari :http://www.gabehavioral.com/Memory%20Disorders.htm. 7 Oktober
2008
Information about dementia. Diakses darihttp://www.umsl.edu/~homecare/dementia.htm. 7 Oktober
2008
Dementia. Diakses darigeriatricsandaging.ca/fmi/xsl/article.xsl? lay=Article
Name=Dementia:%20Biological%20and%20Clinical%20Advances- Part%20I&-find. 7 Oktober
2008
Smith, David S. Field Guide to Bedside Diagnosis, 2nd Edition. 2007 Lippincott Williams & Wilkins

KLASIFIKASI DEMENSIA
1. Menurut Kerusakan Struktur Otak
a. Tipe Alzheimer
Alzheimer adalah kondisi dimana sel saraf pada otak mengalami kematian sehingga membuat
signal dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya (Grayson, C. 2004). Penderita
Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan
proses berpikir. Sekitar 50-60% penderita demensia disebabkan karena penyakit Alzheimer.
Demensia ini ditandai dengan gejala :
1) Penurunan fungsi kognitif dengan onset bertahap dan progresif,
2) Daya ingat terganggu, ditemukan adanya : afasia, apraksia, agnosia, gangguan fungsi eksekutif,
3) Tidak mampu mempelajari / mengingat informasi baru,
4) Perubahan kepribadian (depresi, obsesitive, kecurigaan),
5) Kehilangan inisiatif.

Penyakit Alzheimer dibagi atas 3 stadium berdasarkan beratnya deteorisasi intelektual :


1) Stadium I (amnesia)
a) Berlangsung 2-4 tahun
b) Amnesia menonjol
c) Perubahan emosi ringan
d) Memori jangka panjang baik
e) Keluarga biasanya tidak terganggu
2) Stadium II (Bingung)
a) Berlangsung 2 – 10 tahun
b) Episode psikotik
c) Agresif
d) Salah mengenali keluarga
3) Stadium III (Akhir)
a) Setelah 6 - 12 tahun
b) Memori dan intelektual lebih terganggu
c) Membisu dan gangguan berjalan
d) Inkontinensia urin
b. Demensia Vascular
Demensia tipe vascular disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah di otak dan setiap penyebab
atau faktor resiko stroke dapat berakibat terjadinya demensia. Depresi bisa disebabkan karena
lesi tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi darah otak, sehingga depresi dapat diduga sebagai
demensia vaskular.
Tanda-tanda neurologis fokal seperti :
1) Peningkatan reflek tendon dalam
2) Kelainan gaya berjalan
3) Kelemahan anggota gerak

2. Menurut Umur:
a. Demensia senilis ( usia >65tahun)
b. Demensia prasenilis (usia <65tahun)

3. Menurut perjalanan penyakit :


a. Reversibel (mengalami perbaikan)
b. Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, vit.B, Defisiensi,
Hipotiroidisma, intoxikasi Pb)
Pada demensia tipe ini terdapat pembesaran vertrikel dengan meningkatnya cairan
serebrospinalis, hal ini menyebabkan adanya :
1) Gangguan gaya jalan (tidak stabil, menyeret).
2) Inkontinensia urin.
3) Demensia.

4. Menurut sifat klinis:


a. Demensia proprius
b. Pseudo-demensia

C. PATOFISIOLOGI
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia (usia >65 tahun) adalah adanya perubahan
kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Lansia penderita
demensia tidak memperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana
Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan
oleh penderita itu sendiri, mereka sulit untuk mengingat dan sering lupa jika meletakkan suatu
barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan bahwa itu adalah hal
yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat
yang tinggal bersama mereka, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang
semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin lansia kelelahan dan perlu
lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik
penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia, mereka menjaga
jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya
penyakit lain dan biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja lansia
menjadi sangat ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Disinilah keluarga membawa Lansia
penderita demensia ke rumah sakit dimana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus
pemeriksaan. Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan.
Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji ddan mengenali
gejala demensia.
Faktor Psikososial
Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh faktor psikososial.
Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit maka semakin tinggi juga
kemampuan untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien dengan awitan demensia yang
cepat (rapid onset) menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada pasien yang
mengalami awitan yang bertahap. Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan memperburuk
gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada individu yang mengalami depresi dan mengeluhkan
gangguan memori, akan tetapi pada kenyataannya ia mengalami gangguan depresi. Ketika
depresinya berhasil ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang : (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
1. Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk
membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia reversible, walaupun 50%
penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal,
pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin
dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah,
ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat
2. Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi
pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.
3. Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian besar
EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus
dan kompleks periodik.
4. Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan
imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi atipikal,
hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
5. Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3
allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda.
Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat
atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin
meningkat.
6. Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas sehari-hari /
fungsional dan aspek kognitif lainnya. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003) Pemeriksaan
neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama
pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi
visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi sangat berguna
terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi.
Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Mampu menyaring secara cepat suatu populasi
b. Mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan demensia.
7. Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah test yang paling
banyak dipakai. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003 ;Boustani,2003 ;Houx,2002 ;Kliegel
dkk,2004) tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan memori ringan. (Tang-Wei,2003)
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat ini,
penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi,
menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di
bawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada
penderita berpendidikan tinggi.(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003).
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih
dianggap normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia.
(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pada penelitian Crum R.M 1993 didapatkan median skor
MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25 untuk yang > 80 tahun, dan median
skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan
22 untuk yang berpendidikan 0-4 tahun.Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu
pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode
yang dapat menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan. (Burns,2002). Penilaian
fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori, orientasi,
pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri.
Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif
yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable
dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu
derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang berat.
(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003, Golomb,2001)

E. PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
Sebagian besar kasus demensia tidak dapat disembuhkan.
a. Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat - obatan antikoliesterase
seperti Donepezil , Rivastigmine , Galantamine , Memantine
b. Dementia vaskuler membutuhkan obat -obatan anti platelet
seperti Aspirin , Ticlopidine , Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah ke otak sehingga
memperbaiki gangguan kognitif.
c. Demensia karena stroke yang berturut-turut tidak dapat diobati, tetapi perkembangannya bisa
diperlambat atau bahkan dihentikan dengan mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis
yang berhubungan dengan stroke.
d. Jika hilangnya ingatan disebabakan oleh depresi, diberikan obat anti-depresi
seperti Sertraline dan Citalopram.
e. Untuk mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yang bisa menyertai demensia
stadium lanjut, sering digunakanobat anti-psikotik
(misalnya Haloperidol , Quetiapine dan Risperidone). Tetapi obat ini kurang efektif dan
menimbulkan efek samping yang serius. Obat anti-psikotik efektif diberikan kepada penderita
yang mengalami halusinasi atau paranoid.

2. Dukungan atau Peran Keluarga


a. Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap memiliki orientasi.
Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam dinding dengan angka-angka yang besar atau
radio juga bisa membantu penderita tetap memiliki orientasi.
b. Menyembunyikan kunci mobil dan memasang detektor pada pintu bisa membantu mencegah
terjadinya kecelekaan pada penderita yang senang berjalan-jalan.
c. Menjalani kegiatan mandi, makan, tidur dan aktivitas lainnya secara rutin, bisa memberikan rasa
keteraturan kepada penderita.
d. Memarahi atau menghukum penderita tidak akan membantu, bahkan akan memperburuk
keadaan.
e. Meminta bantuan organisasi yang memberikan pelayanan sosial dan perawatan, akan sangat
membantu.

3. Terapi Simtomatik
Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatik, meliputi :
a. Diet
b. Latihan fisik yang sesuai
c. Terapi rekreasional dan aktifitas
d. Penanganan terhadap masalah-masalah

F. PENCEGAHAN DAN PERAWATAN DEMENSIA


Hal yang dapat kita lakukan untuk menurunkan resiko terjadinya demensia diantaranya adalah
menjaga ketajaman daya ingat dan senantiasa mengoptimalkan fungsi otak, seperti :
1. Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol dan zat adiktif yang
berlebihan.
2. Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan setiap hari.
3. Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif :
a. Kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.
b. Tetap berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan teman yang memiliki persamaan
minat atau hobi
4. Mengurangi stress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap relaks dalam kehidupan sehari-hari
dapat membuat otak kita tetap sehat.

DIAGNOSA KEPERAWATAN DEMENSIA


1. Sindrom stress relokasi berhubungan dengan perubahan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari
ditandai dengan kebingungan, keprihatinan, gelisah, tampak cemas, mudah tersinggung, tingkah
laku defensive, kekacauan mental, tingkah laku curiga, dan tingkah laku agresif.
2. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis (degenerasi neuron ireversibel)
ditandai dengan hilang ingatan atau memori, hilang konsentrsi, tidak mampu
menginterpretasikan stimulasi dan menilai realitas dengan akurat.
3. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi atau integrasi
sensori (penyakit neurologis, tidak mampu berkomunikasi, gangguan tidur, nyeri) ditandai
dengan cemas, apatis, gelisah, halusinasi.
4. Perubahan pola tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan ditandai dengan keluhan
verbal tentang kesulitan tidur, terus-menerus terjaga, tidak mampu menentukan kebutuhan/
waktu tidur.
5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas, menurunnya daya tahan dan
kekuatan ditandai dengan penurunan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari.
6. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan kesulitan keseimbangan, kelemahan, otot tidak
terkoordinasi, aktivitas kejang.
7. Resiko terhadap perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mudah lupa,
kemunduran hobi, perubahn sensori.

INTERVENSI KEPERAWATAN
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil
1 Setelah diberikana. Jalin hubungan salinga) Untuk membangan kepercayaan
tindakan keperawatan mendukung dengan klien. dan rasa nyaman.
diharapkan klien dapatb. Orientasikan pada
beradaptasi dengan lingkungan dan rutinitasb) Menurunkan kecemasan dan
perubahan aktivitas baru. perasaan terganggu.
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil
sehari- hari danc. Kaji tingkat stressor
lingkungan dengan KH : (penyesuaian diri,c) Untuk menentukan persepsi klien
a. mengidentifikasi perkembangan, peran tentang kejadian dan tingkat
perubahan keluarga, akibat perubahan serangan.
b. mampu beradaptasi pada status kesehatan)
perubahan lingkungan dand. Tentukan jadwal aktivitas
aktivitas kehidupan yang wajar dan masukkan
sehari-hari dalam kegiatan rutin. c)
Konsistensi mengurangi
c. cemas dan takut kebingungan dan meningkatkan
berkurang e. Berikan penjelasan dan rasa kebersamaan.
d. membuat pernyataan yang informasi yang
positif tentang lingkungan menyenangkan mengenaie) Menurunkan ketegangan,
yang baru. kegiatan/ peristiwa. mempertahankan rasa saling
percaya, dan orientasi.
2 Setelah diberikana. Kembangkan lingkungana. Mengurangi kecemasan dan
tindakan keperawatan yang mendukung dan emosional.
diharapkan klien mampu hubungan klien-perawat
mengenali perubahan yang terapeutik.
dalam berpikir denganb. Pertahankan lingkungan
KH: yang menyenangkan dan
a. Mampu memperlihatkan tenang. b. Kebisingan merupakan sensori
kemampuan kognitifc. Tatap wajah ketika berlebihan yang meningkatkan
untuk menjalani berbicara dengan klien. gangguan neuron.
konsekuensi kejadian
yang menegangkand. Panggil klien dengan
c.
Menimbulkan perhatian, terutama
terhadap emosi dan namanya. pada klien dengan gangguan
pikiran tentang diri. perceptual.
b. Mampu mengembangkan d. Nama adalah bentuk identitas diri
strategi untuk mengatasi dan menimbulkan pengenalan
anggapan diri yange. Gunakan suara yang agak terhadap realita dan klien.
negative. rendah dan berbicara
c. Mampu mengenali dengan perlahan pada e. Meningkatkan pemahaman.
tingkah laku dan faktor klien. Ucapan tinggi dan keras
penyebab. menimbulkan stress yg
mencetuskan konfrontasi dan
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil
respon marah.

3 Setelah diberikana. Kembangkan lingkungana. Meningkatkan kenyamanan dan


tindakan keperawatan yang suportif dan menurunkan kecemasan pada klien.
diharapkan perubahan hubungan perawat-klien
persepsi sensori klien yang terapeutik.
dapat berkurang ataub. Bantu klien untukb. Meningkatkan koping dan
terkontrol dengan KH: memahami halusinasi. menurunkan halusinasi.
a. Mengalami penurunan
halusinasi. c. Kaji derajat sensori atauc. Keterlibatan otak memperlihatkan
b. Mengembangkan strategi gangguan persepsi dan masalah yang bersifat asimetris
psikososial untuk bagaiman hal tersebut menyebabkan klien kehilangan
mengurangi stress. mempengaruhi klien kemampuan pada salah satu sisi
c. Mendemonstrasikan termasuk penurunan tubuh.
respons yang sesuai penglihatan atau
stimulasi. pendengaran.
d. Ajarkan strategi untuk c. Untuk menurunkan kebutuhan
mengurangi stress. akan halusinasi.

e. Ajak piknik sederhana,e. Piknik menunjukkan realita dan


jalan-jalan keliling rumah memberikan stimulasi sensori yang
sakit. Pantau aktivitas. menurunkan perasaan curiga dan
halusinasi yang disebabkan
perasaan terkekang.
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil
4 Setelah dilakukana. Jangan menganjurkan kliena. Irama sirkadian (irama tidur-
tindakan keperawatan tidur siang apabila bangun) yang tersinkronisasi
diharapkan tidak terjadi berakibat efek negative disebabkan oleh tidur siang yang
gangguan pola tidur pada terhadap tidur pada malam singkat.
klien dengan KH : hari.
a. Memahami faktorb. Evaluasi efek obat klienb. Deragement psikis terjadi bila
penyebab gangguan pola (steroid, diuretik) yang terdapat panggunaan kortikosteroid,
tidur. mengganggu tidur. termasuk perubahan mood,
b. Mampu menentukan insomnia.
penyebab tidur inadekuat.
c. Melaporkan dapatc. Tentukan kebiasaan dan
beristirahat yang cukup. rutinitas waktu tidur malamc. Mengubah pola yang sudah
d. Mampu menciptakan pola dengan kebiasaan terbiasa dari asupan makan klien
tidur yang adekuat. klien(memberi susu pada malam hari terbukti
hangat). mengganggu tidur.
d. Memberikan lingkungan
yang nyaman untuk
meningkatkan d. Hambatan kortikal pada formasi
tidur(mematikan lampu, reticular akan berkurang selama
ventilasi ruang adekuat, tidur, meningkatkan respon
suhu yang sesuai, otomatik, karenanya respon
menghindari kebisingan). kardiovakular terhadap suara
e. Buat jadwal tidur secara meningkat selama tidur.
teratur. Katakan pada klien
bahwa saat ini adalah
waktu untuk tidur.
e. Penguatan bahwa saatnya tidur dan
mempertahankan kesetabilan
lingkungan.
5 Setelah diberikana. Identifikasi kesulitana. Memahami penyebab yang
tindakan keperawatan dalam berpakaian/ mempengaruhi intervensi. Masalah
diharapkan klien dapat perawatan diri, seperti: dapat diminimalkan dengan
merawat dirinya sesuai keterbatasan gerak fisik, menyesuaikan atau memerlukan
dengan kemampuannya apatis/ depresi, penurunan konsultasi dari ahli lain.
dengan KH : kognitif seperti apraksia.
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil
a. Mampu melakukanb. Identifikasi kebutuhanb. Seiring perkembangan penyakit,
aktivitas perawatan diri kebersihan diri dan berikan kebutuhan kebersihan dasar
sesuai dengan tingkat bantuan sesuai kebutuhan mungkin dilupakan.
kemampuan. dengan perawatan
b. Mampu mengidentifikasi rambut/kuku/ kulit,
dan menggunakan sumber bersihkan kaca mata, dan
pribadi/ komunitas yang gosok gigi.
dapat memberikan
bantuan. c. Perhatikan adanya tanda-
tanda nonverbal yang
c. Kehilangan sensori dan penurunan
fisiologis. fungsi bahasa menyebabkan klien
mengungkapkan kebutuhan
perawatan diri dengan cara
nonverbal, seperti terengah-engah,
ingin berkemih dengan memegang
dirinya.

d. Beri banyak waktu untuk


d. Pekerjaan yang tadinya mudah
melakukan tugas. sekarang menjadi terhambat karena
penurunan motorik dan perubahan
kognitif.

e. Bantu mengenakan pakaiane. Meningkatkan kepercayaan untuk


yang rapi dan indah. hidup.
6 Setelah dilakukana. Kaji derajat gangguana. Mengidentifikasi risiko di
tindakan keperawatan kemampuan, tingkah laku lingkungan dan mempertinggi
diharapkan Risiko cedera impulsive dan penurunan kesadaran perawat akan bahaya.
tidak terjadi dengan KH : persepsi visual. Bantu Klien dengan tingkah laku impulsi
a. Meningkatkan tingkat keluarga mengidentifikasi berisiko trauma karena kurang
aktivitas. risiko terjadinya bahaya mampu mengendalikan perilaku.
b. Dapat beradaptasi dengan yang mungkin timbul. Penurunan persepsi visual berisiko
lingkungan untuk terjatuh.
mengurangi risiko trauma/
cedera.
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil
c. Tidak mengalami cedera. b. Hilangkan sumber bahaya
lingkungan. b. Klien dengan gangguan kognitif,
gangguan persepsi adalah awal
terjadi trauma akibat tidak
bertanggung jawab terhadap
kebutuhan keamanan dasar.

c. Alihkan perhatian saat c. Mempertahankan keamanan


perilaku teragitasi/ dengan menghindari konfrontasi
berbahaya, memenjat pagar yang meningkatkan risiko
tempat tidur. terjadinya trauma.

d. Kaji efek samping obat,d. Klien yang tidak dapat melaporkan


tanda keracunan (tanda tanda/gejala obat dapat
ekstrapiramidal, hipotensi menimbulkan kadar toksisitas pada
ortostatik, gangguan lansia. Ukuran dosis/ penggantian
penglihatan, gangguan obat diperlukan untuk mengurangi
gastrointestinal). gangguan.
e. Hindari penggunaane. Membahayakan klien,
restrain terus-menerus. meningkatkan agitasi dan timbul
Berikan kesempatan risiko fraktur pada klien lansia
keluarga tinggal bersama (berhubungan dengan penurunan
klien selama periode agitasi kalsium tulang).
akut.
7 Setelah dilakukana. Beri dukungan untuka. Motivasi terjadi saat klien
tindakan keperawatan penurunan berat badan. mengidentifikasi kebutuhan berarti.
diharapkan klien b. Memberikan umpan balik/
mendapat nutrisi yang b. Awasi berat badan setiap penghargaan.
seimbang dengan KH: minggu.
a. Mengubah pola asuhan c. Identifikasi kebutuhan membantu
yang benar c. Kaji pengetahuan keluarga/ perencanaan pendidikan.
b. Mendapat diet nutrisi klien mengenai kebutuhan
yang seimbang. makanan. d. Klien tidak mampu menentukan
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil
c. Mendapat kembali beratd. Usahakan/ beri bantuan pilihan kebutuhan nutrisi.
badan yang sesuai. dalam memilih menu. e. Ketidakmampuan menerima dan
e. Beri Privasi saat kebiasaan hambatan sosial dari kebiasaan
makan menjadi masalah. makan berkembang seiring
berkembangnya penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah .Vol 1 & 2. EGC : Jakarta.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati.
EGC : Jakarta.
Elizabeth.J.Corwin. 2009. Buku Saku : Patofisiologi. Ed.3. EGC : Jakarta.
Kushariyadi.2010. Askep pada Klien Lanjut Usia. Salemba medika : Jakarta
Nugroho, Wahjudi. 1999. Keperawatan Gerontik Edisi 2 Buku Kedokteran. EGC : Jakarta.
Silvia.A.Price & Wilson, Patofisiologi. Ed.8. Jakarta. EGC.2006
Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Edisi2. EGC; Jakarta.
Sumber : http://stikeskabmalang.wordpress.com/2009/10/03/demensia-pada-lansia-3/
Arjatmo, (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
Brunner & Suddart, (1996). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Capernito, (2000). Diagnosa Keperawatan, edisi 8. Jakarta: EGC
Doengoes, (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Prince, Loraine M. Wilson, (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta: EGC
Corwin, J. Elizabeth, (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

LP Gerontik Fungsi Kognitif (Demensia)


LAPORAN PENDAHULUAN KELOMPOK LANSIA BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN
FUNGSI KOGNITIF (DEMENSIA)
1.1 Defenisi
Gangguan kognitif (Demensia) adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif
yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi
sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)

1.2. faktor Resiko terjadinya gangguan kognitif pada Lansia

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
(faktor risiko vaskuler)
1. Lanjut usia
2. Jenis kelamin
3. Kondisi genetik
4. Mutasi pada amyloid precusor protein
5. Munculnya apolipo protein E
6. Trisomi 21
7. Cerebral autosomal dominant artheriopathy with subcortical infarct and leucoencephalopathy
1. Tekanan darah tinggi
2. Diabetes mellitus dan resistensi insulin
3. Dislipidemia
4. Merokok
5. Obesitas
6. Gagal jantung
7. Fibrilasi atrium
8. Hiperkoagulasi dan hiperagregasi trombosit

A. kriteria diagnostik untuk mild cognitif impairment


1. Keluhan memori
2. Fungsi memori yang tidak sesuai umur dan pendidikan
3. Fungsi kognitif umum masih baik
4. Aktivitas sehari-hari masih baik
5. Tidak demensia
B. kriteria diagnostik untuk vacular cognitif impairment
1. Gangguan kognitif ringan sampai sedang turut fungsi eksekutif
2. Adanya iskemik atau tandainfark jaringan otak
3. Adanya atherosklerosis
4. HIS (Hachinski ischemic score) yang tinggi
5. Tidak memenuhi kriteria demensia

1.3 Tahapan Demensia


1. Praklinis demensia
belum terdapat gejala klinis, individu masih dapat berfungsi dengan baik
2. gangguan kognitif ringan
penurunan daya ingat, masih bisa menjalankan aktivitas sehari-hari, pemeriksaan fungsi kognitif
global didapatkan nilai dalam batas normal, test neuropsikologi spesifik didapatkan nilai dalam batas
normal, test neuropsikologis spesifik didapatkan penurunan dibawah rerata orang seusianya dengan
latar belakang pendidikan yang sama.
3. Demensia dini
Sering dianggap sebagai proses penuaan sesuai usia individu, penderita berusaha menutupi
kekuranganya.
4. Demensia sedang
Gangguan nyata pada aktivitas aharian, individu tidak mandiri lagi, gejala perilaku dan psikologis
(delusi, agitasi, depresi, insomnia, halusinasi), komunikasi mulai sulit dan dan taraf kemunduran
mental setara dengan balita.
5. Demensia berat
Bergantung pada pelaku perawat; ketrampilan kognitif, psikomotor, dan verbal terbatas; individu
menjadi seperti bayi

1.4 Klasifikasi demensia. (Sjahrir,1999)


Demensia terbagi atas 2 dimensi:
A. Menurut umur; terbagi atas:
1. Demensia senilis onset > 65 tahun
2. Demensia presenilis < 65 tahun
B. Menurut level kortikal:
1. Demensia kortikal
2. Demensia subkortikal
C. Klasifikasi lain yang berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi-anatomisnya
1. Anterior : Frontal premotor cortex : Perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti sosial, reaksi
lambat.
2. Posterior: lobus parietal dan temporal : Gangguan kognitif: memori dan bahasa, akan
a. tetapi
b. behaviour relatif baik.
3. Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak.
4. Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia.

1.5 Tanda Gejala Demensia


A. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan dengan baik
1) Gangguan daya ingat (gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru dan
untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya)
2) Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut;
a) Afasia (gangguan bahasa)
b) Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi
motorik utuh), kehilangan inisiatif, apatis dan malas.
c) Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun fungsi
sensorik utuh)
d) Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu merencanakan, engorganisasi,mengurutkan), tidak
mampu membuat keputusan, menilai, mengantisipasi situasi, dan tindakan selanjutnya
B. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan gangguan yang
bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan suatu penurunan bemakna dari
tingkat fungsi sebelumnya. Perubahan kepribadian dari kondisi sebelumnya.
C. Perjalanan penyakit ditandai oleh onset yang bertahap dan penurunan kognitif yang terus
Menerus.
D. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 bukan karena salah satu berikut ;
(1) Kondisi sistem saraf pusat lain yang menyebabkan defisit progresif dalam daya ingat
kognisi misalnya penyakit serebrovaskuler, penyakit Parkinson, penyakit Huntington, hematoma
subdural , hidrosefalus tekanan normal, tumor otak
(2) Kondisi sistemik yang diketehui menyebabkan demensia misalnya, hipotiroidisme,
defisiensi vitamin B12 atau asam folat, defisiensi niasin, hiperkalsemia, neurosifilis, infeksi HIV
(3) Kondisi yang berhubungan dengan zat
E. Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan suatu delirium
F. Gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan aksis lainnya (misalnya, gangguan
depresif berat,Skizofrenia) Kondisi akibat zat Kode didasarkan pada tipe onset dan ciri yang
menonjol; Tanpa gangguan perilaku ; Jika ganguan kognitif tidak disertai dengan gangguan perilaku
yang bermakna secara klinis Dengan gangguan perilaku ; Jika gangguan kognitif disertai gangguan
perilaku yang bermakna secara klinis (misalnya keluyuran, agitasi) Subtipe yang spesifik;Dengan
onset dini : jika onset pada umur < 65 tahun Dengan onset lanjut ; jika onset pada usia > 65 tahun
Catatan cara ; Penyakit Alzheimer ditulis pada aksis 3. Gejala klinis lain yang menonjol yang
berhubungan dengan penyakit Alzheimer,s didiagnosis pada aksis I ( misalnya gangguan mood yang
berkaitan dengan penyakit Alzheimer, dengan depresi yang menonjol, dan perubahan kepribadian
yang berhubungan dengan penyakit Alzheimer, tipe agresif )

1.6 Pemeriksaan demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)


Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai saat ini belum ada
pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan lain untuk menegakkan demensia
secara pasti. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain :
1. Riwayat medik umum
Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat menyebabkan
demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit jantung koroner, gangguan katup
jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia
vaskular. Pada saat wawancara biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head
turning sign.

2. Riwayat neurologi umum


Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi khusus penyebab
demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi
dan operasi otak karena tumor atau hidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan
motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan
kelainan struktural dari pada sebab degeneratif.
3. Riwayat neurobehavioral
Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia atau tidaknya seseorang.
Ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang
dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian,
mengurus uang dan membuat keputusan.

4. Riwayat psikiatrik
Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah mengalami gangguan
psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya riwayat depresi, psikosis, perubahan
kepribadian, tingkah laku agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga
dapat menurunkan fungsi kognitif, hal ini disebut pseudodemensia.

5. Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan


Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan gangguan kognitif
walaupun laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi
pertimbangan walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa anti depresan
golongan trisiklik dan anti kolinergik dapat menurunkan fungsi kognitif.

6. Riwayat keluarga
Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga, terutama hubungan
keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.

7. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan
neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.
8. Adanya gangguan faal kognitif secara objectif antara lain dapat dilakukan dengan
pemeriksaan neuropsikiatri seperti :
a) The mini mental state eximination (MMSE)
Sering dipakai dalam mengevaluasi pasien dengan gangguan kognitif. Pemeriksaanya mencakup:
memori, fungsi eksekutif, perhatian, behasa, praksis dan kemampuan visuospasial. Nilai dari MMSE
dipengaruhi umur dan tingkat pendidikan lansia.
b) Abbreviated Mental Test (AMT)
c) The global Deterioration scale (GDS)
d) The Clinical dementia Ratings (CDR)
1.7 Tatalaksana demensia
A. Mental Emosional
a) Konseling
b) CBT (cognitif bihaviour theraphy)
c) Group therapy
d) Psikotherapi individual/kelompok
B. Program pelatihan kognitif :
a) Paper and Pancil (menggambar dan menulis)
b) Computerized program (kelompok atau individu)
c) Obat-obatan : acethylcolin esterase inhibitor, antidepresan, psikotriopik
C. Lain-lain : operasi, pet therapy, aroma therapy, music therapy, dance terhapy, massage therapy,
physiotherapi.
PROSES KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Faktor Predisposisi
Penyebab : - Gangguan fungsi susunan saraf pusat
- Gangguan pengiriman nutrisi
- Ganggua peredaran darah
a. Penuaan
Kumulatif degeneratif jaringan otak akibat penuaan
Racun dalam jaringan otak
Kimia toksik/logam berat sebagai Respon kognitif maladaptif
b. Neurobiologi
Penyakit Alzheimer’s
Gangguan metabolik : Penyakit lever kronik, GGK, Devisit vitamin, Malnutrisi
Anorexia nervosa
Bulimia nervosa
c. Genetik : Penyakit otak degeneratif herediter ( Huntington’s Chorea)
2. Stressor Presipitasi
a. Hipoksia :
Anemia hipoksik
Histotoksik hipoksia
Hipoksemia hipopoksik
Iskemia hipoksik
Suplai darah ke otak menurun/berkurang
b. Gangguan metabolisme
Malfungsi endokrin : Underproduct / Overproduct Hormon
Hipotiroidisme
Hipertiroidisme
Hipoglikemia
c. Racun, Infeksi
Gagal ginjal
Syphilis
Aids Dement Comp
d. Perubahan Struktur
Tumor
Trauma
e. Stimulasi Sensori
Stimulasi sensori berkurang
Stimulasi berlebih
3. Mekanisme koping :
Dipengaruhi pengalaman masa lalu
Regresi
Rasionalisasi
Denial
Intelektualisasi
4.Sumber Koping :
Pasien
Keluarga
Teman
B. Diagnosa Keperawatan Menurut Nanda :
a) Anxietas
b) Komunikasi, kerusakan verbal
c) Resiko tinggi terhadap cedera
d) Sindrom defisit perawatan diri ( mandi,/kebersihan diri, makan, berpakaian, berhias, toilet )
e) Perubahan sensori/perseptual ( penglihatan, pendengaran, pengecapan, perabaan, dan pembau)
f) Gangguan pola tidur
g) Perubahan proses pikir
( Stuart and Sundeen, 1995.hal 556 )

Contoh diagnosa lengkap dalam proses keperawatan :


Gangguan proses pikir berhubungan dengan gangguan otak ditandai dengan :
- Interpretasi lingkungan yang tidak akurat
- Kurang memori saat ini
- Kerusakan kemampuan memberikan rasional
- Konfabulasi
Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan :
- Ketakutan
- Disorientasi yang ditandai dengan perilaku agitasi
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan :
- Kerusakan kognitif
- Kehilangan memori saat ini
- Konfabulasi

C. Perencanaaan :
Identifikasi hasil : Pasien dapat mencapai fungsi kognitif yang optimal
Prioritas :
1) Menjaga keselamatan hidup
2) Pemenuhan kebutuhan bio-psiko-sosial
3) Libatkan keluarga
4) Pendidikan kesehatan mental
Usaha perawatan : Memfungsikan pasien seoptimal mungkin sesuai kemempuan
pasien
D. Intervensi pada Demensia
a. Orientasi
1) Tujuan : Membentuk pasien berfungsi dilingkungannya
2) Tulis nama petugas pada kamar pasien jelas, besar, sehingga dapat dibaca pasien
3) Orientasikan pada situasi lingkungan
4) Perhatikan penerangan terutama dimalam hari
5) Kontak personal dan fisik sesring mungkin
6) Libatkan dalam kegiatan T.A.K
7) Tanamkan kesadaran :
• Mengapa pasien dirawat
• Memberikan percaya diri
• Berhubungan dengan orang lain
• Tanggap situasi lingkungan dengan menggunakan panca indera
• Inyteraksi personal
8) Identifikasi proses pulang
b. Komunikasi
1) Membina hubungan saling percaya
Umpan balik yang positif
Tentramkan hati
Ulangi kontrak
Respek, pendengaran yang baik
Jangan terdesak
Jangan memaksa
2) Komunikasi verbal, Jelas, Ringkas, Tidak terburu buru
3) Topik percakapan dipilih oleh pasien Topik buat spesipik
4) Waktu cukup untuk pasien
5) Pertanyaan tertutup
6) Pelan dan diplomatis dalam menghadapi persepsi yang salah
7) Empati
8) Gunakan tehnik klarifikasi
9) Summary
10) Hangat
11) Perhatian
c. Pengaturan koping
Koping yang selama dipakai ini yang positif positif dimaksimalkan dan yang negatif
diminimalkan
Bantu mencari koping baru yang posistif
d. Kurangi agitasi
didorong melakukan sesuatu yang tidak biasa dan tidak jelas
beri penjelasan
beri pilihan
penyaluran energi :
Perawatan mandiri
Menggunakan kekuatan dan kemampuan dengan tepat, misalnya
berolahraga
Saat agitasi :
Tetap senyum
Tujukkan sikap bersahabat
Empati
e. Keluarga dan masyarakat
o Siapkan keluarga untuk menerima keadaan pasien
o Siapkan fasilitas dalam berinteraksi dengan dimasyarakat
o Perlu bantuan dalam merawat 24 jam dirumah, yang diprogramkan melalui : Puskesmas dan Pos-
pos pelayanan kesehatan dirumahsakit
f. Farmakologi
Tergantung penyebab gangguan, spt Penyakit Alzheimer’s: Pada orang tua harus hati-hati, karena
keadaan yang sensitif
g. Wandering : Perilaku yang harus diperhatikan oleh pemberi perawatan
h. Therapeutik Milieu
a) Stimulasi kognitif
b) Melakukan aktifitas yang berfungsi untuk perbaikan kognitif misalnya diskusi
c) Kelompok
d) Dukung perasaan aman
e) Situasi yang tenang
f) Rancangai fisik konsisten
g) Struktur yang teratur
h) Fokus pada kekuatan dan kemampuan
i) Minimalkan perilaku destruktif
i. Intervensi interpersonal
- Psychotherapi
- Life review therafi: Untuk menyelesaikan masalah yang melibatkan individu dann
kelompok dengan saling menceritakan riswayat hidup
- Latihan dan terafi kognitif
a) Latihan daya ingat
b) Memelihara inteligensia
- Therapi relaksasi
a) Untuk mengurangi ketegangan dan stres
b) Deep Breathing
c) Konsentrasi
- Kelompok pendukung dan konseling
a) Ekspres filling
b) Pemecahan masalah yang dilakukan dengan cara :
1. Meningkatkan harga diri
2. Meningktkan percaya diri
3. Meningkatkan simpati
4. Meningkatkan empati
j. Gangguan daya ingat :
- Mulai percakapan dengan menyebut nama anda dan panggil nama pasien
- Hindarkan konfrontasi atas pernyataan pasien yang salah
- Penataan barang pribadi jangan dirubah
- Lakukan progran orientasi
k. Gangguan perawatan diri :
- Buat jadwal mandi dengan teratur
- Tempatkan pakaian yang kemungkinan mudah dijangkau pasien
- Ajarkan cara mandi secara bertahap :
• Peralatan mandi
• Langkah-langkah mandi
• Perhatikan privacy
- Ajarkan cara berpakaian
• Buat langkah berpakaian yang rutin
• Hindarkan kancing dan resleting
• Beri instruksi yang sederhana
• Lakukan berulang-ulang
• Tetap perhatikan privacy
- Ajarkan BAB dan BAK pada tempatnya
l. Isolasi sosial
- Mulai kotak dengan keluarga
- Teman dekat
- Dorong berhubungan dengan orang lain
- Masukkan dalam kelompok aktifitas
- Buat jadwal kontak sosial secara teratur

Prinsip Konservatif Myra Levines


Penerapannya pada pasien gangguan kognitif.
Tujuan : Meningkatkan fungsi kognitif yang optimal.
a. Konservatif Energi
Intervensi :
- Nutrisi adekuat
- Observasi intake
- Observasi out put
- Observasi tanda vital
- Kesempatan istirahat dirangsang
- Bantu pergerakan
- Kaji gangguan fisiologis
- Kaji stres, bantu cara menghindari dan mengatasi
b. Konservasi Integritas Struktur
Intervensi :
- Kaji fungsi sensori
- Kaji persepsi
- Beri kaca mata
- Alat bantu dengar
- Tongkat
- Observasi dan jauhkan benda-benda berbahaya
- Supervisi pemberian obat
- Lindungi dari bahaya
c. Konservasi Integritas Personal
Intervensi :
- Orientasi realita
- Hubungan saling percaya
- Dorong untuk mandiri
- Identifikasi minat
- Identifikasi kemampuan
- Beri pujian
- Lakukan tehnik komunikasi terapeutik
- Pemeliharaan peningkatan harga diri
d. Konservasi sosial
Intervensi :
- Kontak keluarga
- Kontak teman dekat
- Dorong untuk berhubungan dengan orang lain
- Didik keluarga dan pasien
- Ijinkan keluarga/orang dekat untuk membantu perawat
- Bertemu keluarga secara teratur
- Libatkan keluarga dalam perencanaan pulang
e. Evaluasi
a. Realistis
b. Tidak pesimis
c. Ditujukan pada :
Orientasi waktu
Tempat
Orang
Interaksi sosial
Perawatan mandiri
Status nutrisi
Fungsi kognitif
Pasien terhindar dari cedera
d. Ditujukan pada pasien demensia
pasien melakukan perawatan mandiri secara optimal
keluarga tetap memelihara hubungan dengan pasien.

Kesimpulan

Gangguan kognitif pada pasien yang mengalami gangguan jiwa, erat hubungannnya dengan
gangguan mental organik. Hal ini terlihat dari gambaran secara umum perilaku/ gejala yang timbul
akan dipengaruhi pada bagian otak yang mengalami gangguan, misalnya pada lobus oksipitalis, lobus
parietalis, lobus temporalis, lobus frontalis maupun sistim limbik. Dari intervensi yang dilakukan
untuk mengatasi masalah pasien , hal utama yang dilakukan adalah : selalu menerapkan tehnik
komunikasi terapeutik. Pendekatan secara individu dan kelompok, juga keterlibatan keluarga dalam
melakukan perawatan sangat penting untuk mencapai kesembuhan pasien. Berdasarkan hal diatas
masalah dengan gangguan kognitif sangat penting diketahui apa penyebab terjadinya . Sehinngga
intervensi yang diberikan tepat dan sesuai untuk mengatasi masalah pasien. Akhirnya pasien
diharapkan dapat seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhannya dan terhindar dari kecelakaan
yang ,membahayakan keselamatan pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Stuart, Gw. and Sundeen S.J (1995). Perbandingan Delirium, Depresi dan Demensia.St.louis: Mosby
year book
stuart, Gail Wiscarz. Sundeen. J. Sandra. 1995. Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai