TINJAUAN TEORI
1.1 Definisi
Ablasio retina terjadi bila ada pemisahan retina neurosensori dari lapisan
epitel berpigmen, retina dibawahnya karena retina neurosensori, bagian retina
yang mengandung batang dan kerucut, terkelupas dari epitel berpigmen
pemberi nutrisi, maka sel fotosensitif ini tak mampu melakukan aktivitas
fungsi visualnya dan berakibat hilangnya penglihatan. (Smeltzer, 2002)
Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang
retina dengan dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen
masih melekat erat dengan membrane Bruch. Sesungguhnya antara sel kerucut
dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan structural dengan koroid
atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk
lepas secara embriologis. (C. Smeltzer & G. Bare, 2001)
Ablasio retina adalah lepasan retina dari koroid suatu membran yang
mengandung banyak pembuluh darah yang terletak di antara retina dan sklera.
Retina merupakan lapisan tipis jaringan peka cahaya yang melapisi bagian
belakang mata. Karena retina lepas,retina akan mengalami kekurangan asupan
darah dan sumber nutrisi sehingga kehilangan fungsinya. Hal ini dapat
menggangu penglihatan yang dapat mengarah kebutaan. (M.Black &
Hokanson, 2014)
1.2 Klasifikasi
Dikenal 3 bentuk ablasio retina:
1. Ablasio Retina Regmatogenesa
Ablasio terjadi akibat adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk
ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan
retina oleh badan kaca cair (fluid vitreous) yang masuk melalui robekan
atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan
retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid. Ablasio Regmatogen
(akibat robekan) merupakan ablasio yang paling sering terjadi, terutama
1
pada kelompok usia 40-70 tahun. Terdapat kecenderungan pada pria yang
diperkirakan akibat trauma. Ablasi terjadi pada mata yang mempunyai
faktor predisposisi untuk terjadi ablasi retina. Kondisi yang merupakan
predisposisi meliputi: myopia (pandangan dekat) tinggi (lebih dari 8
dioptri), degenerasi latis, afakia (pengangkatan bedah sebagian atau
keseluruhan lensa kristalina), dan trauma.
2. Ablasio Retina Eksudatif
Ablasio yang terjadi karena akibat tertimbunnya eksudat dibawah retina
dan mengangkat retina. Penimbunan cairan subretina sebagai akibat
keluarnya cairan dari pembuluh darah retina dan koroid (ekstra vasasi).
Hal ini disebabkan penyakit koroid kelainan ini dapat terjadi pada skleritis,
koroiditis, tumor retrobulbar, radang uvea, idiopati, toksemia gravidarum.
Cairan dibawah retina tidak dipengaruhi oleh posisi kepala. Permukaan
retina yang terangkat terlihat cincin. Penglihatan dapat berkurang dari
ringan sampai berat. Ablasi ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun
setelah penyebabnya berkurang atau hilang.
3. Ablasio Retina Traksi (Tarikan)
Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan
parut pada badan kaca yang akan mengakibatkan ablasi retina dan
penglihatan menurun tanpa sakit.
Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan diabetes
mellitus proliferative, trauma, dan perdarahan badan kaca akibat bedah
atau infeksi. Pengobatan ablasi akibat tarikan di dalam kaca dilakukan
dengan melepaskan tarikan jaringan parut atau fibrosis di dalam badan
kaca dengan tindakan yang disebut sebagai vitrektomi.
2
1.3 Etiologi
Malformasi kongenital
Kelainan metabolisme
Penyakit vaskuler
Inflamasi introkuler
Neoplasma
Trauma
Perubahan degeneratif dalam vitreus atau retina (Smeltzer, 2002)
1.5 Patofisiologi
Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan
rongga vesikel optic embriogenik. Kedua jaringan ini melekat longgar, pada
mata yang matur dapat berpisah:
1. Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami
likuifikasi dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio
progresif (ablasio regmatogenesa)
2. Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina,
misalnya seperti pada retinopati proliferative pada diabetes mellitus
(ablasio retina traksional)
3. Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruangan subretina
akibat proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada kehamilan
(ablasio retina eksudatif)
Ablasio retina idiopatik (regmatogen) terjadinya selalu karena adanya robekan
retina atau lubang retina. Sering terjadi pada myopia, pada usia lanjut, dan
3
pada mata afakia. Perubahan yang merupakan faktor predisposisi adalah
degenerasi retina perifer (degenerasi kisi-kisi/lattice degeration), pencairan
sebagian badan kaca yang tetap melekat pada daerah retina tertentu, cedera,
dan sebagainya.
Perubahan degeneratif retina pada myopia dan usia lanjut juga terjadi di
koroid. Sklerosis dn sumbatan pembuluh darah koroid senil akan
menyebabkan berkurangnya perdarahan ke retina. Hal semacam ini juga bisa
terjadi pada myopia karena teregangnya dan menipisnya pembuluh darah
retina. Perubahan ini terutama terjadi di daerah ekuator, yaitu tempat
terjadinya 90% robekan retina. Terjadinya degenerasi retina pada mata myopia
10 sampai 15 tahun lebi awal daripada mata emetropia atau hyperopia. Ablasio
retina terjadi sampai 4% dari semua mata afakia, yang berarti 100 kali lebih
sering daripada mata fakia.
Terjadinya sineresis dan pencairan badan kaca pada mata myopia satu
dasawarsa lebih awal daripada mata normal. Depolimerisasi menyebabkan
penurunan daya ikat air dari asam hialuron sehingga kerangka badan kaca
mengalami disintegrasi. Akan terjadi pencairan sebagian dan ablasio badan
kaca posterior. Oleh karenanya badan kaca kehilangan konsistensi dan struktur
yang mirip agar-agar, sehingga badan kaca tidak menekan retina pada epitel
pigmen lagi. Dengan gerakan mata yang cepat, badan kaca menarik perlekatan
vireoretina. Perlekatan badan kaca yang kuat biasanya terdapat di daerah
sekeliling radang atau daerah sclerosis degeneratif. Sesudah ekstraksi katarak
intrakapsular, gerakan badan kaca pada gerakan mata bahkan akan lebih kuat
lagi. Sekali terjadi robekan retina, cairan akan menyusup dibawah retina
sehingga neuroepitel akan terlepas dari epitel pigmen dan koroid.
4
1.6 Pathway
Inflamasi intraokuler perubahan generative pada
atau trauma viterus
tarikan retina
robekan retina
penurunan tajam
Ansietas
pandang sentral
Gangguan persepsi
Resiko cedera
penglihatan
1.7 Penatalaksanaan
5
Non medis:
Penderita tirah baring sempurna.
Mata yang sakit ditutup dengan bebat mata.
Pada penderita dengan ablasio retina non regmatogen, jika penyakit
primernya sudah diobati tetapi masih terdapat ablasio retina, dapat
dilakukan operasi cerclage.
Medis:
Tujuan perbaikan bedah ablasio retina adalah untuk menempatkan kembali
retina pada tempat perlekatan semula pada koroid serta menutup lubang dan
robekan yang terjadi. Oleh karena perbaikan ablasio retina dapat
membutuhkan beberapa jam, anastesi umum sering digunakan. Pupil harus
berdilatasi dengan lebar sebelum operasi dan klien dapat diberikan sedatif.
a. Fotokoagulasi laser
Jika robekan retina hanya ringan laser digunakan dapat membakar tepi
robekan dan menghambat laju robekan. Jika robekan kecil, laser dapat
digunakan untuk melekatkan retina pada koroid. Bedah laser biasanya
dilakukan pada rawat jalan dengan anastesi topikal.
b. Kriopeksi
Kriopeksi menggunakan nitrat oksida digunakan untuk membekukan
jaringan dibelakang robekan retina, menyebabkan pembentukan jaringan
parut yang dapat melekatkan tepi robekan. Biasanya dilakukan pada rawat
jalan dengan klien diberikan anastesi lokal.
c. Retinopeksi Pneumatik
Retinopeksi Pneumatik merupakan tindakan paling efektif untuk blasio
retina yang terjadi pada bagian atas mata. Mata dikebaskan dengan
anastesi lokal dan gelembung gas kecil diinjeksikan pada badan vitreus.
Gelembung gas naik dan menekan retina kearah koroid. Gelembung gas
pelan-pelan diserap pada satu atau dua minggu berikutnya.
d. Buckling Sclera
Prosedur pembedahan untuk menempatkan retina kembali pada koroid
disebut sebagai buckling sclera atau sabuk sklera. Sklera ditekan dari luar
dengan busa atau pita silikon menyerupai karet atau silastic yang dijahit
6
secara permanen. Sebagai tambahan prosedur ini, injeksi intraokuler
gelembung udara atau sulfur heksaflorida (SF6) atau keduanya untuk
memberikan tekanan pada retina dari dalam bola mata. Hal ini akan
menempatkan retina pada tempatnya dengan gaya gravitasi selama proses
penyembuhan. Penempatan posisi klien pasca operasi memaksimalkan
efek pembendungan gelembung gas atau udara. Gelembung ini akan
diabrbsobsi perlahan-lahan. Pembengkakan sel dan jaringan pada kamera
okuli anterior pasca operasi karena proses inflamasi atau peningkatan
intraokuler. Oleh karena kerapuhan jaringan berpengaruh pada proses
penyembuhan ablasio ulangan dapat terjadi sewaktu-waktu, jika pada
sewaktu-waktu retina lepas pada waktu yang cukup lama sehingga,
seandainya jika diletakkan kembalipun retina tidak dapat berfungsi seperti
semula dan penglihatan klien tidak membaik. Infeksi pasca operasi juga
dapat menjadi suatu resiko.
Klien sebaiknya tidak mengharapkan kembalinya penglihatan
dengan segera. Inflamasi pasca operasi dan tetes mata sebagai efek dilator
sering menganggu penglihatan seiring dengan proses penyembuhan
setelah mingguan atau bulanan, penglihatan akan berangsur meningkat.
1.8 Komplikasi
a. Komplikasi awal setelah pembedahan
Peningkatan TIO
Glukoma
Infeksi
Ablasio koroid
Kegagalan pelekatan retina
Ablasio retina berulang
b. Komplikasi lanjut
Infeksi
Lepasnya bahan buckling melalui konjungtiva atau erosi melalui bola
mata
Vitreo retinopati proliveratif (jaringan parut yang mengenai retina)
7
Diplopia
Kesalahan refraksi
Astigmatisme
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
1. Identitas pasien
8
Meliputi nama, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, pekerjaan, no
register, tanggal MRS, diagnosa medis
2. Keluhan utama
a. Riwayat melihat benda mengapung
b. Pasien melihat bayangan berkembang atau tirai bergerak dilapang
pandang, mengakibatkan pandangan kabur, dan kehilangan lapang
pandang
c. Penurunan tajam pandangan sentral atau hilangnya pandangan sentral
3. Riwayat penyakit sekarang
Adanya keluhan pada penglihatan seperti penurunan penglihatan, adanya
kilat cahaya dalam lapang pandang, adanya tirai hitam yang menutupi
penglihatan.
4. Riwayat kesehatan masa lalu
Sebelum klien menderita penyakit ablasio retina biasanya klien pernah
mengalami miopi, retinopati serta klien pernah mengalami trauma.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit ini sebelumnya.
6. Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan hidup sehat
Kemampuan merawat diri pasien menurun dan juga terjadi perubahan
pemeliharaan kesehatan
b) Pola nutrisi
Pada klien ablasio retina tidak mengalami perubahan nutrisi
c) Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pasien mengalami ketidakefektifan diri karena harus tirah
baring
d) Pola eliminasi
Pada klien tidak mengalami gangguan pola eliminasi
e) Pola istirahat dan tidur
Pola tidur klien berubah
f) Pola persepsi dan kognitif
9
Penglihatan klien kabur, adanya tirai dan adanya cahaya pada
penglihatan. Biasanya klien merasa resah dan cemas akan terjadinya
kebutaan
g) Pola hubungan peran
Hubungan klien dengan orang disekitarnya menurun, begitu juga
dalam melaksanakan perannya.
h) Pola reproduksi dan seksual
Pola ini tidak mengalami gangguan
i) Pola penanggulangan setress.
Biasanya klien sering bertanya kapan akan dilakukan tindakan operasi
dan merasa cemas karena takut terjadinya kecacatan pada penglihatan
7. Pemeriksaan fisik
Kepala : Bentuk simetris, kadang pusing bila dipaksa melihat.
Mata :
Mata kanan Mata kiri
1/300 PI BSA Visus 1/300 PI BSA
14,6 mmHg Tekanan Okuli 10,2 mmHg
Spasme (-), odeme (-) Palpebra spasme (-), odeme (-)
CVI(-), PCVI (-) Konjungtiva CVI(-), PCVI (-)
Jernih Kornea jernih
Reguler Iris reguler
2 mm Pupil bulat, VC (+) 3mm
Keruh Lensa jernih
FR (-) Funduskopi FR (+) pupil N
II
Batas tegas, warna normal, retina blass (+), makula reff , eksudat (-),
tear belum ditemukan.
Fungsi penglihatan : kabur, terlihat bayangan hitam seperti ombak, tidak
ada rasa sakit, tanda-tanda radang (-).
Hidung :tidak ada kelainan
Mulut dan tenggorokan : tidak ada kelainan
Pernafasan : tidak ada perubahan pola nafas
10
Muskuloskeletal : tidak ada kelainan
8. Data Laboratorium
Darah Lengkap : Urin Lengkap :
Hb :11,5 gr Leukosit 25 / ul (+)
LED : 20 mm/l Eritrosit 25 / ul (+)
Leukosit : 5.000 x 109 / dl Warna : kuning muda
Trombosit : 240 . 109 / l Kekeruhan : jernih
Kimia Darah :
Bilirubin total 0,49 mg/dl Darah puasa : 79 mg/dl
Bilirubin terikat 0,6 mg/dl 2 jam pp : 127 mg/dl
SGOT : 29 u/I kreatin serum : 0,66 mg/dl
SGPT : 26 u/I BUN : 9 mg/dl
Protein total : 7,2 g/dl
Albumin : 4,1 g/dl
Glukosa : 3,2 g/dl
2.4 Implementasi
No Tindakan Hasil
13
1. 1. Menganjurkan klien untuk bedrest total. 1. Px mau melakukan bedrest total.
Usahakan tidur terlentang 2. Px memahami tujuan bedrest
2. Memberikan penjelasan tujuan bedrest total
total 3. Px mau melakukan penghindaran
3. Menghindari pergerakan yang hal tersebut.
mendadak, menghentakkan kepala, 4. Px mampu menjaga kebersihan
menyisir, batuk, bersin matanya.
4. Menjaga kebersihan mata 5. Px mau meminum obatnya yang
5. Memberikan obat tetes mata dan obat sudah diberikan
oral sesuai anjuran dokter
2.5 Evaluasi
14
No Diagnosa Evaluasi
1. Perubahan persepsi sensori S : Px mengeluh mata kirinya masih kabur
berhubungan dengan efek O : VOS 1/300 PI BSA TO 10,2 mmHg
dari lepasnya saraf sensori fdOS = FR (+) Pupil N II batas tegas, warna
dari retina normal, retina blass (+), makula reff , eksudat (-),
tear belum ditemukan.
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
DAFTAR PUSTAKA
C. Smeltzer, S., & G. Bare, B. (2001). Buku Ajar Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
15
M.Black, J., & Hokanson, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah :
Menejemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan Edisi 8 buku 3. Jakarta:
Salemba Medika.
16