Disusun Oleh :
KELOMPOK III-B
BAB I
LATAR BELAKANG
1.1 Pendahuluan
Croup merupakan penyakit saluran pernafasan yang umum pada anak anak.
Kata croup sendiri berasal dari anglo-saxon kropan, yang berarti “to cry aloud”.
Penyakit ini biasanya menyerang anak anak dengan manifestasi klinis yang timbul
adalah batuk menggonggong, suara serak, dan stridor inspirasi dan beberapa variasi
dari gejala distress pernafasan (Malhotra et al, 2017). Croup atau juga dikenal
sebagai laringotrakheobronkhitis merupakan salah satu penyakit kegawatan bidang
respiratorik pada anak (Zoorob, 2011). Istilah lain untuk croup adalah laringitis akut
yang menunjukkan lokasi inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut
laringotrakeitis, dan jika sampai ke bronkus digunakan istilah
laringotrakeobronkitis. Sindroma croup atau laringotrakeobronkitis akut
disebabkan oleh virus yang menyerang saluran pernafasan bagian atas. Penyakit ini
dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas, obstruksi ini dapat ringan sampai berat
(Malhotra et al, 2017).
Sifat penyakit ini adalah self limited, tetapi kadang cenderung mejadi berat
bahka fatal. Sebelum kortikosteorid digunakan , 30% kasus croup harus dirawat di
RS dan 1,7% memerlukan intubasi endotrakea. Akan tetapi, setelah kortikosteroid
telah digunakan secara luas, kasus croup yang memerlukan perawatan di RS
menurun drastis, dan intubasi jarang dilakukan (Rajapaksa, 2010)
Penyakit ini biasanya menyerang anak pada usia 6 bulan sampai 3 tahun
degan puncaknya usia 1-2 tahun. Akan tetapi, sindroma croup dapat juga terjadi
pada anak usia 3 bulan dan diatas 15 tahun (Rajapaksa, 2010). Manifestasi klinis
yang muncul pada Croup lebih merupakan gambaran dari saluran nafas bagian atas,
berupa sesak nafas, suara serak, stridor inspiratoar, batuk, menggonggong, yang
kadang disertai dengan distres pernafasan (Hiebert et al, 2016).
Tatalaksna croup sangat bergantung seringkali pada tingkat keparahan
penyakit. Namun, prinsip utama dalam tatalaksana croup tersebut adalah mengatasi
obstruksi jalan nafas, sehingga kebutuhan oksigen tetap terpenuhi (Kartasasmita
16
dkk, 2012). Pada ringan biasanya sembuh sendiri karena bersifat self limited, namun
pada kasus berat diperlukan tatalaksana khusus, mulai epinefrin hingga tindakan
intubasi (Yangtjik, 2010). Diagnosis cepat dan terapi segera merupakan tindakan
yang dapat menyelamatkan nyawa. Dengan demikian penting untuk tenaga
kesehatan sebagai penyedia pelayanan kesehatan untuk dapat mendiagnosis secara
cepat dan memberikan penanganan awal pada kasus-kasus yang membutuhkan
rujukan.
Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang dapat tidak
menyenangkan bagi anak, hal ini disebabkan oleh lingkungan fisik rumah sakit
seperti bangunan atau ruang rawat, alat-alat, bau yang khas, pakaian putih petugas
rumah sakit. Di lingkungan sosial rumah sakit seperti interaksi dengan sesame
pasien anak ataupun interaksi dan sikap petugas kesehatan menimbulkan perasaan
takut, cemas, tegang, nyeri, dan perasaan tidak menyenangkan lainnya yang sering
dialami oleh anak. Maka dari itu anak perlu mendapatkan perhatian khusus dalam
proses tumbuh kembang. Maka dari itu peran perawat sangat penting pada pasien
meningoensepalitis, terutama dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
tersebut. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan
pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien,
menggunakan pendekatan proses keperawatan.
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu memberikan pelayanan kesehatan terutama perawatan pada
pasien anak dengan laringotrakheobronkhitis. Mahasiswa juga dapat melatih
softskill dalam komunikasi pemberian edukasi tentang penyakit hingga sebagai
konselor perawatan pada pasien dengan laringotrakheobronkhitis
Sumber :
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2.2 Etiologi
Menurut Brunner & Suddarth (2013) penyebab meningoensefalitis adalah
virus, bakteri, parasit, dan juga fungi.
a. Virus paling sering menyebabkan meningoensefalitis adalah: herpes
simplex tipe -1 (HSV-1), enterovirus, herpes zoster.
b. Bakteri yang dapat menyebabkan meningoensefalitis adalah: Haemophilus
influenza, Neisseria meningitides, Streptococcus pneumoniae,
Staphilococcus aureus, dan Mycobacterium tuberculosa.
c. Parasit: Plasmodium falcifarum, Toxoplasma gondii, Naeglaria fowleri
(Primary amebic, Meningoencephalitis).
d. Fungi: Criptococcus neoformans, Loccidiodes immitis, Histoplasma
capsulatum, dan Aspegilus.
Meningoensefalitis dapat terjadi ketika virus, bakteri, fungi dan parasite
menginvasi cairan cerebrospinal dan memperbanyak diri dengan cepat
karena di subarachnoid dan cairan cerebrospinal tidak terdapat antibody
opsonin dan sel fagosit, sehingga virus dan bakteri akan mudah menginvasi
otak dan menyebabkan penyakit tersebut.
2.2.4 Patofisiologi
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran
darah ataupun klompikasi luka. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk
sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain dekat dengan otak. Mula-mula
terjadi peradangan supuratif pada selaput atau jaringan otak. Proses peradangan ini
membentuk eksudat, thrombosis septik pada pembuluh darah, dan agregasi leukosit
yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan timbul edema, kemudian
abses yang kian membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ruang
subarachnoid yang menyebabkan infeksi.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus masuk ke tubuh manusia
melalui saluran pernafasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, bayi dalam
dalam kandungan dapat terjadi infeksi melalui plasenta oleh virus rubella dan
cytomegalovirus. Virus tersebut memperbanyak diri di dalam tubuh dan menyerang
saraf pusat. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung melalui
ruang ekstraseluler. Infeksi virus di dalam otak dapat menyebabkan meningitis
ataupun ensefalitis, dan dapat merusak nefron, terjadi peradangan otak, edema otak,
dan thrombosis.
Sedangkan untuk parasit dan jamur dapat masuk melalui berbagai hal
seperti melalui saluran pernafasan. Jamur atau parasite yang terhirup secara tidak
langsung oleh manusia, melalui makanan seperti toxoplasma yang dapat hidup pada
daging, daging yang tidak matang dikonsumsi oleh manusia, bisa juga menular
lewat ibu, fetus yang dapat menyebabkan kematian atau kecacatan pada anak.
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan meningoensefalitis
adalah:
1) Epilepsi (kejang)
2) Hidrosefalus
3) Paralisis serebri
4) Efusi subdural, dll.
2.3. Konsep Asuhan Keperawatan
2.3.1 Pengkajian
a. Identitas pasien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, nomor rekam
medis dan tanggal masuk rumah sakit.
b. Identitas penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan dan hubungan
dengan pasien.
6) Imunisasi
Anak yang tidak mendapatkan imunisasi beresiko tinggi untuk mendapat
penyakit infeksi saluran pernapasan atas atau bawah karena system pertahanan
tubuh yang tidak cukup kuat untuk melawan infeksi sekunder.
7) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
8) Nutrisi
Riwayat gizi buruk atau meteorismus (malnutrisi energi protein = MEP).
c. Pemeriksaan persistem
1) Sistem kardiovaskuler
Takikardi, irritability.
2) Sistem pernapasan
Sesak napas, retraksi dada, melaporkan anak sulit bernapas, pernapasan cuping
hdidung, ronki, wheezing, takipnea, batuk produktif atau non produktif,
pergerakan dada asimetris, pernapasan tidak teratur/ireguler, kemungkinan
friction rub, perkusi redup pada daerah terjadinya konsolidasi, ada
sputum/sekret. Orang tua cemas dengan keadaan anaknya yang bertambah sesak
dan pilek.
3) Sistem pencernaan
Anak malas minum atau makan, muntah, berat badan menurun, lemah. Pada
orang tua yang dengan tipe keluarga anak pertama, mungkin belum memahami
tentang tujuan dan cara pemberian makanan/cairan personde.
4) Sistem eliminasi
Anak atau bayi menderita diare, atau dehidrasi, orang tua mungkin belum
memahami alasan anak menderita diare sampai terjadi dehidrasi (ringan sampai
berat).
5) Sistem saraf
Demam, kejang, sakit kepala yang ditandai dengan menangis terus pada anak-
anak atau malas minum, ubun-ubun cekung.
6) Sistem lokomotor/muskuloskeletal
Tonus otot menurun, lemah secara umum.
7) Sistem endokrin
Tidak ada kelainan.
8) Sistem integumen
Turgor kulit menurun, membran mukosa kering, sianosis, pucat, akral hangat,
kulit kering.
9) Sistem penginderaan
Tidak ada kelainan.
d. Pemeriksaan diagnostik dan hasil
Secara laboratorik ditemukan lekositosis, biasanya 15.000 - 40.000 / m3
dengan pergeseran ke kiri. LED meninggi. Pengambilan sekret secara broncoskopi
dan fungsi paru-paru untuk preparat langsung; biakan dan test resistensi dapat
menentukan/mencari etiologinya.
Tetapi cara ini tidak rutin dilakukan karena sukar. Pada punksi misalnya
dapat terjadi salah tusuk dan memasukkan kuman dari luar. Foto roentgen (chest x
ray) dilakukan untuk melihat :
1) Komplikasi seperti empiema, atelektasis, perikarditis, pleuritis, dan OMA.
2) Luas daerah paru yang terkena.
3) Evaluasi pengobata
4) Pada bronchopnemonia bercak-bercak infiltrat ditemukan pada salah satu atau
beberapa lobur.
Pada pemeriksaan ABGs ditemukan PaO2 < 0 mmHg.
2.4.2 Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum ditandai dengan adanya ronchi, dan ketidakefektifan batuk.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan proses infeksi pada jaringan paru
(perubahan membrane alveoli) ditandai dengan sianosis, PaO2 menurun, sesak
nafas.
c. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi terhadap infeksi saluran nafas ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh, mengigil, akral teraba panas.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
metabolisme sekunder terhadap demam dan proses infeksi ditandai dengan nafsu
makan menurun, BB turun, mual dan muntah, turgor kulit tidak elastis.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2
dengan kebutuhan oksigen ditandai dengan tidak mampu berpartisipasi dalam
kegiatan sehari-hari sesuai kemampuan tanpa bantuan.
f. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu
tubuh,kehilangan cairan karena berkeringat banyak, muntah atau diare.
g. Resiko infeksi berhubungan dengan resiko terpajan bakteri patogen.
2.4.3 Intervensi Keperawatan
Dx Keperawatan 1
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum ditandai dengan adanya ronchi, dan ketidakefektifan batuk.
Tujuan dan kriteria hasil : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama (…x…) diharapkan
jalan nafas pasien efektif dengan criteria hasil : jalan nafas paten, tidak ada bunyi nafas
tambahan, tidak sesak, RR normal (35-40x/menit), tidak ada penggunaan otot bantu nafas,
tidak ada pernafasan cuping hidung
INTERVENSI RASIONAL
1) Observasi TTV terutama respiratory rate 1) Memberi informasi tentang pola
pernafasan pasien, tekanan darah, nadi,
suhu pasien.
2) Auskultasi area dada atau paru, catat hasil 2) Crekcels, ronkhi dan mengi dapat
pemeriksaan terdengar saat inspirasi dan ekspirasi pada
tempat konsolidasi sputum
3) Latih pasien batuk efektif dan nafas dalam 3) Memudahkan bersihan jalan nafas dan
4) Lakukan suction sesuai indikasi ekspansi maksimum paru
4) Mengeluarkan sputum pada pasien tidak
5) Memberi posisi semifowler atau supinasi sadar atau tidak mampu batuk efektif
dengan elevasi kepala 5) Meningkatkan ekspansi paru
6) Anjurkan pasien minum air hangat
6) Air hangat dapat memudahkan
Kolaborasi : pengeluaran secret
7) Bantu mengawasi efek pengobatan
nebulizer dan fisioterapi nafas lainnya 7) Memudahkan pengenceran dan
8) Berikan obat sesuai indikasi, seperti pembuangan secret
mukolitik, ekspektoran, bronkodilator, 8) Proses medikamentosa dan membantu
analgesic mengurangi bronkospasme
9) Berikan O2 lembab sesuai indikasi
9) Mengurangi distress respirasi
Dx Keperawatan 2
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan proses infeksi pada jaringan paru
(perubahan membrane alveoli) ditandai dengan sianosis, PaO2 menurun, sesak
nafas.
Tujuan dan KH : setelah dilakukan asuhan (..x..) diharapkan ventilasi pasien
tidak terganggu dengan KH : GDA dalam rentang normal ( PO2 = 80 – 100
mmHg, PCO2 = 35 – 45 mmHg, pH = 7,35 – 7,45, SaO2 = 95 – 99 %), tidak
ada sianosis, pasien tidak sesak dan rileks.
INTERVENSI RASIONAL
1) Kaji frekuensi, kedalaman, 1) Memberi informasi tentang
kemudahan bernapas pasien. pernapasan pasien.
2) Observasi warna kulit, membran 2) Kebiruan menunjukkan sianosis.
mukosa bibir.
3) Berikan lingkungan sejuk, 3) Untuk membuat pasien lebih
nyaman, ventilasi cukup. nyaman.
4) Tinggikan kepala, anjurkan napas 4) Meningkatkan inspirasi dan
dalam dan batuk efektif. pengeluaran sekret.
5) Pertahankan istirahat tidur. 5) Mencegah terlalu letih.
6) Kolaborasikan pemberian oksigen 6) Mengevaluasi proses penyakit dan
dan pemeriksaan lab (GDA) mengurangi distres respirasi.
Dx Keperawatan 3
Hipertermi berhubungan dengan inflamasi terhadap infeksi saluran nafas ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh, mengigil, akral teraba panas.
Tujuan dan KH : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama (...x...)
diharapkan suhu pasien turun atau normal (36,5 – 37,5°C) dengan KH: pasien
tidak gelisah, pasien tidak menggigil, akral teraba hangat, warna kulit tidak ada
kemerahan.
INTERVENSI RASIONAL
Dx Keperawatan 4
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
metabolisme sekunder terhadap demam dan proses infeksi ditandai dengan nafsu
makan menurun, BB turun, mual dan muntah, turgor kulit tidak elastis.
Tujuan dan KH : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama (...x...)
diharapkan kebutuhan nutrisi pasien adekuat dengan KH: nafsu makan pasien
meningkat, BB pasien ideal, mual muntal berkurang, turgor kulit elastis, pasien
tidak lemas
INTERVENSI RASIONAL
1) Kaji penyebab mual muntah pasien 1) Untuk menentukan intervensi
selanjutnya
2) Berikan perawatan mulut 2) Mulut yang bersih meningkatkan
nafsu makan
3) Bantu pasien membuang atau 3) Sputum dapat menyebabkan bau
mengeluarkan sputum sesering mulut yang nantinya dapat
mungkin menurunkan nafsu makan
4) Anjurkan untuk menyajikan 4) Membantu meningkatkan nafsu
makanan dalam keadaan hangat makan
5) Anjurkan pasien makan sedikit 5) Meningkatkan intake makanan
tapi sering
6) Kolaborasikan untuk memilih 6) Memenuhi gizi dan nutrisi sesuai
makanan yang dapat memenuhi dengan keadaan pasien
kebutuhan gizi selama sakit
Dx Keperawatan 5:
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2
dengan kebutuhan oksigen ditandai dengan tidak mampu berpartisipasi dalam
kegiatan sehari-hari sesuai kemampuan tanpa bantuan.
Tujuan dan K.H : setelah diberikan asuhan keperawatan selama (…x…)
diharapkan toleransi pasien terhadap aktifitas meningkat dengan KH : pasien
mampu berpartisipasi dalam kegiatan sehari – hari sesuai kemampuan tanpa
bantuan, pasien mampu mempraktekkan teknik, penghematan energy, TTV
stabil (S = 36,5°C – 37,5°C, N = 75 – 100x/menit, RR = 35 -40 x/ menit)
INTERVENSI RASIONAL
1) Evaluasi tingkat kelemahan dan 1) Sebagai informsdi dalam
toleransi pasien dalam melakukan menentukan intervensi selanjutnya
kegiatan
2) Berikan lingkungan yang tenang 2) Menghemat energy untuk aktifitas
dan periode istirahat tanpa dan penyembuhan
ganguan
3) Bantu pasien dalam melakukan 3) Oksigen yang meningkat akibat
aktifitas sesuai dengan aktifitas
kebutuhannya
Kolaborasi :
4) Berikan oksigen tambahan 4) Mengadekuatkan persediaan oksigen
Dx Keperawatan 6
Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu
tubuh,kehilangan cairan karena berkeringat banyak, muntah atau diare.
Tujuan dan KH : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama (…x…)
diharapkan volume cairan tubuh pasien seimbang dengan KH : membrane
mukosa pasien lembab, turgor kulit baik, pengisian capiler cepat / < 3detik, input
dan output seimbang, pasien tidak muntah. Pasien tidak diare, TTV normal (S
= 36,5°C – 37,5°C, N = 75 – 100x/menit, RR = 35 -40 x/ menit)
INTERVENSI RASIOANL
1) Observasi TTV @ 2- 4 jam, kaji 1) Peningkatan suhu menunjukkan
turgor kulit. peningkatan metabolic
2) Pantau intake dan output cairan 2) Mengidentifikasi kekurangan
volume cairan
3) Anjurkan pasien minum air yang 3) Menurunkan resiko dehidrasi
banyak
Kolaborasi :
4) Berikan terapi intravena seperti 4) Melengkapi kebutuhan cairan pasien
infuse sesuai indikasi
5) Pasang NGT sesuai indikasi untuk 5) Membantu memenuhi cairan bila
pemasukan cairan tidak bisa dilakukan secara oral
Dx Keperawatan 7
Resiko infeksi berhubungan dengan resiko terpajan bakteri patogen.
Tujuan dan KH : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 x 24 jam
diharapkan infeksi tidak terjadi dengan KH: klien bebas dari tanda dan gejala
infeksi, menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi, jumlah
leukosit dalam batas normal, menunjukkan perilaku hidup sehat
INTERVENSI RASIOANL
1) Kaji suhu badan 8 jam 1) Mendeteksi adanya tanda dari
2) Monitor tanda dan gejala infeksi infeksi
sistemik dan lokal 2) Mempermudah untuk penanganan
3) Inspeksi kulit dan membran jika infeksi terjadi
mukosa terhadap kemerahan, 3) Panas, kemerahan merupakan tanda
panas dari infeksi
4) Ajarkan pasien dan keluarga tanda
dan gejala infeksi 4) Dengan melibatkan keluarga tanda
Kolaborasi : infeksi lebih cepat diketahui
5) Berikan terapi antibiotik
5) Antibiotik efektif untuk mencegah
penyebaran bakteri
BAB 3
TINJAUAN KASUS
Riwayat Penyakit Sekarang : Klien merupakan pasien rujukan dari RS Saiful Anwar. Ibu
klien mengatakan anaknya MRS 1 hari sebelum masuk RS Dr. Soetomo dengan keluhan
sesak, demam di sertai batuk dan nafas ngik-ngik. Klien dirawat 4 hari di Ruang Respiro
Bona 2 RS Dr. Soetomo lalu pada tanggal 18 Juli 2019 klien diperbolehkan untuk pulang.
Pada tanggal 19 Juli 2019 klien di bawa ke RS Saiful Anwar dengan keluhan sesak di
sertai batuk kemudian klien di rujuk di RS Dr. Soetomo dan saat ini klien di rawat di
ruang PICU Bona 2 RS Dr. Soetomo Surabaya.
1. BB saat ini : 84 Kg, TB : 67 cm, LK : tidak diukur, LD : tidak diukur, LLA : tidak
diukur
2. BB lahir : 3.800 gram, BB sebelum sakit: tidak diukur
3. Panjang lahir : 51 cm PB/TB saat ini : 67 cm
Riwayat Perkembangan
1. Pengkajian Perkembangan (DDST) :
2. Tahap Perkembangan Psikososial :
3. Tahap Perkembangan Psikoseksual :
(Brea
thing
Pern
apas
ROS
B1
an
)
Observasi dan pemeriksaan fisik (ROS : Review of System)
Keadaan umum : Baik Sedang Lemah
Tanda- tanda vital : TD : - Nadi : 130 x/menit Suhu : 37,8̊ C RR : 48 x/menit
2 2
Kulit
Integumen)
Hygiene
1. Infus D5 ¼ NS
2. Injeksi Ampicilin 200 mg tiap 6 jam IV
3. Nebul Adrenalin 4 ampul tiap 6 jam
4. Dexametaxone 8 mg tiap 8 jam IV
ANALISA DATA
DO:
DO : (D. 0005)
Edema antara kapiler dan
Klien tampak sesak alveoli
Klien menangis
Menggunakan O2
nasal 2 lpm
Penurunan compliance paru
Terdengar bunyi suara
tambahan ronchi
SPO2 : 99%
Suplai O2 menurun
Hiperventilasi
Dyspnea
Pola napas tidak efektif
Akumulasi sekret
Ansietas
DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan laringotrakeobronchitis di
tandai dengan penurunan PO2
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan bronkopneumonia ditandai
dengan dyspnea.
3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret
ditandai dengan suara ronkhi.
4. Ansietas berhubungan dengan dampak hospitalisasi ditandai dengan keluarga
takut.
FORMAT INTERVENSI KEPERAWATAN
Hari /
Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Rencana Keperawatan
tanggal
08.00
1. Memonitor tanda-tanda vital klien
R/ TD : 45/67 mmHg, HR : 162 x/menit, N : 162
1 x/menit, S : 36,5 C, SpO2 : 99%, RR : 37 x/menit
2. Menginformasikan hasil pemantauan kepada ibu
09.00 klien
R/ Ibu klien tampak memahami penjelasan
perawat.
1 3. Mendokumentasikan hasil pemantauan pada lembar
observasi.
10.00
1. Memonitor tanda-tanda vital klien
R/ TD : 45/67 mmHg, HR : 162 x/menit, N : 162
x/menit, S : 36,5 C, SpO2 : 99%, RR : 37 x/menit
1 2. Menginformasikan hasil pemantauan kepada ibu
klien
R/ Ibu klien tampak memahami penjelasan perawat.
3. Mendokumentasikan hasil pemantauan pada lembar
observasi.
Ibu pasien mengatakan anaknya sering mengalami demam tinggi dan sulit
turun selama 3 bulan ini, sering keluar masuk rumah sakit dengan penyakit yang
sama, ketika suhu anak panas, anak sering mengalami kejang, kemudian anak s.
mengalami penurunan kesadaran dan dibawa ke rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya
oleh keluarga dan saat ini di rawat di ruang Bona 2 ruang Neurologi
Ditinjau dari segi usia, meningitis bakterial lebih sering ditemukan pada
anak usia 6- 12 bulan yang mengalami kejang demam pertama. Temuan tersebut
harus mendapat perhatian khusus karena pada anak berusia muda tanda dan gejala
meningitis seringkali tidak khas sehingga sulit membedakan apakah kejang demam
yang terjadi merupakan tanda dan gejala meningitis atau bukan meningitis.
(Anggraini Alam, 2011). Tanda dan gejala anak menderita penyakit
meningoensefalitis biasanya hampir sama dengan tanda dan gejala anak menderita
meningitis dan ensefalitis (Brunner & Suddarth, 2013) diantaranya adalah: Sakit
kepala dan demam yang tidak turun-turun sering kali menjadi gejala awal, sakit
kepala biasanya tak kunjung hilang, Iritasi meningeal memunculkan sejumlah tanda
lain yang dikenali dengan baik sebagai tanda umum semua jenis meningitis: Kaku
kuduk adalah tanda awal, Tanda kernig positif: ketika berbaring dengan paha
difleksikan pada abdomen, pasien tidak dapat mengekstensikan tungkai secara
komplit, Tanda brudzinski positif: memfleksikan leher pasien menyebabkan fleksi
lutut dan pinggul, dan juga kejang dapat terjadi dan merupakan akibat dari area
iritabilitas di otak serta biasanya disertaai penurunan kesadaran.
DO: RR: 68x/ menit, terdapat otot-otot bantu pernapasan yaitu restraksi
intercostea, terdapat bunyi suara napas tambahan yaitu wheezing, SPO2:
96%, terpasang nasal canul 2 lpm
2. Hipertermia (D.0131)
DS: ibu pasien mengatakan bahwa anaknya mengalami panas dan sulit turun
Pada diagnose pola napas tidak efektif tindakan asuhan keperawatan yang
dapat dilakukan adalah manajemen jalan napas. Menurut SIKI (2018) salah
satu tindakan asuhan keperawatan pada anak dengan masalah pernapasan adalah
dengan memberikan posisi semi fowler karena dapat meningkatkan ventilasi dan
kolaborasi dalam pemberian oksigen. Infeksi mikroorganisme pada saluran napas
menyebabkan reaksi inflamasi dengan memproduksi mukus yang banyak sehingga
kebutuhan oksigenisasi terganggu. Kebutuhan oksigenisasi merupakan kebutuhan
fisiologis dasar bagi semua manusia untuk kelangsungan hidup sel dan jaringan
serta metabolisme tubuh. Selanjutnya dikatakan kebutuhan oksigen pada anak lebih
tinggi dari orang dewasa, pemenuhan kebutuhan oksigen sangat ditentukan oleh
keadekuatan sistem pernapasan dan sistem kardiovaskuler. (Wilson, 2006). Untuk
mencapai kenyamanan maka pemenuhan kebutuhan oksigen pasien harus seimbang
antara oksigen yang masuk dan karbondiksida yang dikeluarkan. Kenyamanan
harus menjadi perhatian bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien yang mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi
Pada diagnose resiko cedera intervesi yang dilakukan oleh perawat adalah
melakukan menejemen pencegahan resiko cedera pada anak seperti memberikan
edukasi kepada orang tua agar selalu didekat anak, memastikan tempat tidur dalam
keadaan terkunci, memastikan bahwa pagar pengaman sudah terpasang. Selain itu
menganjurkan orangtua untuk selalu mengkompres anaknyaketika mengalami
demam. Karena kita ketahui bahwa ketika suhu tubuh panas akan meningkatkan
resiko terjadinya kejang pada anak. Menurut penelitian dari Adhar Arifuddin,
(2012), kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi
suhu tubuh pada saat timbul kejang merupakan nilai ambang kejang. Ambang
kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38,3°C– 41,4°C. Adanya
perbedaan ambang kejang ini menerangkan mengapa pada seorang anak baru
timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak
yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi. Dari
kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih
sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah dan mengalami demam
yang tinggi.
5.1 Kesimpulan
Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, yang
merupakan gabungan dari meningitis dan ensefalitis. Pada anak-anak dapat terjadi
peradangan pada otak karena bakteri mudah masuk ke tubuh anak-anak yang
memiliki imun rendah. Meningonesefalitis yang disebabkan oleh virus dapat masuk
ke tubuh manusia melalui saluran nafas, anak-anak juga mudah terserang penyakit
saluran nafas.
Kasus yang terjadi pada anak S yakni meningoensefalitis karena bakteri
dan virus yang menyebabkan anak demam tinggi, sulit turun suhunya sehingga
menyebabkan kejang berulang. Hingga anak mengalami penurunan kesadaran. Dari
kasus diatas didapatkan masalah keperawatan priorotas yakni pola nafas tidak
efektif, hipertemia, resiko perfusi serebral tidak efektif, deficit nutrisi, resiko
cedera, dan ansietas. Tindakan keperawatan prioritas yang dilakukan yakni
mengenai masalah pola nafas tidak efektif, hiperterni, dan resiko keperfusi cerebral
tidak efektif.
Implementasi yang dilakukan perawat yakni selama 3 hari mengenai pola
nafas tidak efektif yakni memberikan posisi semi fowler, memberikan oksigen nasal
kanul 2 lpm, mengkolaborasikan pemberian obat bronkodilator, memonitor
keadaan pola nafas, bunyi nafas klien. Masalah keperawatan hipertermi perawat
melakukan tindakan yakni memonitor suhu klien, mengompres hangat klien, dan
menganjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian tipis atau melepaskan pakaian
klien, melaakukan kolaborasi pemberian obat analgesic. Masalah keperawatan
resiko perfusi serebral tidak efektif yakni perawat melakukan tindakan keperawatan
yakni memonitor tanda peningkatan TIK, memonitor intake dan output cairan,
melakukan kolaborasi pemberian obat sedasi. Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 hari masalah belum teratasi dan perawat melanjutkan
intervensi yang telah direncanakan untuk mengurangi gejala masalah.
5.2 Saran
1. Bidang akademik
Makalah ini dapat digunakan sebagai referensi dalam pembuatan asuhan
keparawatan anak dengan meningoensefalitis. Dapat digunakan juga sebagai
bahan penelitian lebih lanjut.
2. Bidang pelayanan
Menganalisis derajat keparahan meningoensefalitis pada anak supaya dapat
mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat meningonefalitis.
3. Keluarga klien
Sebagai referensi dalam perawatan anak dengan meningoensefalitis ketika
keluarga harus merawat klien di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Zoorob R, Sidani M, Murray J. Croup: An Overview. American Family
Physician 2011; 83 (9). p. 1067-1072.
2. Rajapaksa S, Starr M, Croup assessment and management. Austr Fam
Physician. 2010;38(5):280-2.
3. Malhotra, Amisha and Leonard R. Krilo. 2017. Viral Croup. American
Academy od Pediatric : April 2017. Diunduh tanggal 22 April 2017.
http://pedsinreview.aappublications.org/content/pedsinreview/22/1/5.full.pdf
4. Hiebert JC, Zhao YD, Willis EB. Bronkhoscopy finding in recurrent croup: a
sytematic review and meta-analisis. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.
2016;90:86-90
5. Kartasasmita CB, Suardi AU, Nataprawira HM, Sudarwati S, Wulandari DA.
Respirologi. Dalam: Garna H, Nataprawira HM, editor. Pedoman Diagnosis
dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-4. Bandung: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokeran Universitas Padjadjaran- RSUP Dr.
Hasan Sadikin; 2012. h. 779-880 5. Yangtjik K, D
6. Yangtjik K, Dadiyanto DW. Croup (Laringotrakeobronkitis). Dalam:Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. Hlm.320-329
7. Meck. 2015. LP BRONKOPNEUMONIA. ( online ).
http://dokumen.tips/documents/lp-bronkopneumonia-55bd18c4ed6a1.html.
Diakses tanggal 3 november 2016
8. Febrianto,lukman. 2013. laporan pendahuluan
bronchopneumonia.(online).http://lukmanfebriantonurse.blogspot.co.id/2013/
04/laporan-pendahuluan-asuhan-keperawatan_3741.html. diakses tgl 3
november 2016
9. Putra, Juniarta semara. 2012.laporan pendahuluan bronchopneumonia
(online).https://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/11/08/laporan-
pendahuluan-bronkopneumonia/. Diakses tanggal 3 november 2016
10. Agus, setiawan. 2014. Laporan pendahuluan
bronchopneumonia.(online).http://www.academia.edu/9555933/LAPORAN_
PENDAHULUAN_BRONKOPNEUMONIA. Diakses tanggal 3 november
2016
Lampiran 1
PEMERIKSAAN PENUNJANG
HASIL PEMERIKSAAN URINE LENGKAP
Tanggal Pemeriksaan : 17 Juni 2019 13.05