Anda di halaman 1dari 67

SEMINAR KASUS KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA ANAK. F DENGAN DIAGNOSA MEDIS
TUMOR LARING+ BRONKOPNEUMONIA+ANEMIA
DI BONA II RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA

Disusun Oleh :

KELOMPOK III-B

1. Ria Sabekti, S.Kep 131823143041


2. Arsi Susilawati, S.Kep 131823143042
3. Pahlevi Betsytifani, S.Kep 131823143043
4. Elizabeth Risha, S.Kep 131823143044
5. Frida Rachmadianti, S.Kep 131823143045

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
16

BAB I
LATAR BELAKANG

1.1 Pendahuluan
Croup merupakan penyakit saluran pernafasan yang umum pada anak anak.
Kata croup sendiri berasal dari anglo-saxon kropan, yang berarti “to cry aloud”.
Penyakit ini biasanya menyerang anak anak dengan manifestasi klinis yang timbul
adalah batuk menggonggong, suara serak, dan stridor inspirasi dan beberapa variasi
dari gejala distress pernafasan (Malhotra et al, 2017). Croup atau juga dikenal
sebagai laringotrakheobronkhitis merupakan salah satu penyakit kegawatan bidang
respiratorik pada anak (Zoorob, 2011). Istilah lain untuk croup adalah laringitis akut
yang menunjukkan lokasi inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut
laringotrakeitis, dan jika sampai ke bronkus digunakan istilah
laringotrakeobronkitis. Sindroma croup atau laringotrakeobronkitis akut
disebabkan oleh virus yang menyerang saluran pernafasan bagian atas. Penyakit ini
dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas, obstruksi ini dapat ringan sampai berat
(Malhotra et al, 2017).
Sifat penyakit ini adalah self limited, tetapi kadang cenderung mejadi berat
bahka fatal. Sebelum kortikosteorid digunakan , 30% kasus croup harus dirawat di
RS dan 1,7% memerlukan intubasi endotrakea. Akan tetapi, setelah kortikosteroid
telah digunakan secara luas, kasus croup yang memerlukan perawatan di RS
menurun drastis, dan intubasi jarang dilakukan (Rajapaksa, 2010)
Penyakit ini biasanya menyerang anak pada usia 6 bulan sampai 3 tahun
degan puncaknya usia 1-2 tahun. Akan tetapi, sindroma croup dapat juga terjadi
pada anak usia 3 bulan dan diatas 15 tahun (Rajapaksa, 2010). Manifestasi klinis
yang muncul pada Croup lebih merupakan gambaran dari saluran nafas bagian atas,
berupa sesak nafas, suara serak, stridor inspiratoar, batuk, menggonggong, yang
kadang disertai dengan distres pernafasan (Hiebert et al, 2016).
Tatalaksna croup sangat bergantung seringkali pada tingkat keparahan
penyakit. Namun, prinsip utama dalam tatalaksana croup tersebut adalah mengatasi
obstruksi jalan nafas, sehingga kebutuhan oksigen tetap terpenuhi (Kartasasmita

16
dkk, 2012). Pada ringan biasanya sembuh sendiri karena bersifat self limited, namun
pada kasus berat diperlukan tatalaksana khusus, mulai epinefrin hingga tindakan
intubasi (Yangtjik, 2010). Diagnosis cepat dan terapi segera merupakan tindakan
yang dapat menyelamatkan nyawa. Dengan demikian penting untuk tenaga
kesehatan sebagai penyedia pelayanan kesehatan untuk dapat mendiagnosis secara
cepat dan memberikan penanganan awal pada kasus-kasus yang membutuhkan
rujukan.
Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang dapat tidak
menyenangkan bagi anak, hal ini disebabkan oleh lingkungan fisik rumah sakit
seperti bangunan atau ruang rawat, alat-alat, bau yang khas, pakaian putih petugas
rumah sakit. Di lingkungan sosial rumah sakit seperti interaksi dengan sesame
pasien anak ataupun interaksi dan sikap petugas kesehatan menimbulkan perasaan
takut, cemas, tegang, nyeri, dan perasaan tidak menyenangkan lainnya yang sering
dialami oleh anak. Maka dari itu anak perlu mendapatkan perhatian khusus dalam
proses tumbuh kembang. Maka dari itu peran perawat sangat penting pada pasien
meningoensepalitis, terutama dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
tersebut. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan
pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien,
menggunakan pendekatan proses keperawatan.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang kami rumuskan dari seminar kasus ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan
laringotrakheobronkhitis?
2. Bagaimana penerapan asuhan keperawatan pada pasien
laringotrakheobronkhitis?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu melakukan
asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit laringotrakheobronkhitis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelakan Pengertian Laringotrakheobronkhitis
2. Menjelaskan Etiologi Laringotrakheobronkhitis
3. Menjelaskan WOC dan Patofisiologi Laringotrakheobronkhitis
4. Menjelaskan Manifestasi Klinis Laringotrakheobronkhitis
5. Melakukan Pemeriksaan Dignostik pada Laringotrakheobronkhitis
6. Melakukan Penatalaksanaan Pasien dengan Laringotrakheobronkhitis
7. Menjelaskan Komplikasi Laringotrakheobronkhitis
8. Mahasiswa mampu menganalisa tentang konsep teori dan asuhan
keperawatan pada pasien Laringotrakheobronkhitis

1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu memberikan pelayanan kesehatan terutama perawatan pada
pasien anak dengan laringotrakheobronkhitis. Mahasiswa juga dapat melatih
softskill dalam komunikasi pemberian edukasi tentang penyakit hingga sebagai
konselor perawatan pada pasien dengan laringotrakheobronkhitis

Sumber :
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak


2.1.1 Pengertian Anak
Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimuali dari bayi hingga remaja.
Anak diartikan sebagai seseorang yang usianya kurang dari 18 tahun
dalam masa tumbuh kembang, dengan kebutuhan khusus yaitu kebutuhan fisik,
psikologis, social, dan spiritual.
2.1.2 Tahap Usia Perkembangan Anak
Menurut Krisnana, et al (2016) tahap usia perkembangan anak ternagi menjadi:
1. Usia Infant (0-1 tahun)
Usia infant merupakan fase perkembangan rasa percaya dan pikiran
sensorimotor. Hal yang dialami oleh anak dapat membentuk rasa percaya
pada orang lain maupun sebaliknya. Karakteristiknya terdiri dari:
a) Kedekatan dengan orang tua
Libatkan dan izinkan orang tua untuk selalu berada dekat dengan anak
hal ini yakni dapat menumbuhkan kenyaman pada anak.
b) Ansietas dengan orang lain
Setiap orang yang berada di rumah sakit dapat menjadi orang asing bagi
anak, oleh karena itu batasi pengunjung dan orang lain yag tidak
berkepentingan.
c) Fase pembelajaran sensorimotor
Fase inisegala sesuatu yang diterima panca indera anak akan direspon
oleh organ motoric anak. Oleh karena itu penting bagi perawat
memberikan stimulasi permainan yang dapat merangsang perkembangan
sensori motoric anak misalnya dengan permainan.
d) Memori pengalaman masa lalu
Fase ini perawat harus memberikan tentang kenyamanan bagi anak
karena pengalaman yang kurnag menyenangkan dapat diingat oleh
sampai anak dewasa. Pentng bagi perawat menerapkan prinsip penerapan
atraumatik pada anak untuk meminimalkan pengelaman yang tidak
menyenangkan.
e) Meniru sikap tubuh
Anak mempunyai kebiasaan untuk maniru apa yang ida lihat dan dialami,
oleh akrena itu penting untuk perawat melakukan kegitan yang baik tanpa
menimbulkan cedera bagi anak.
f) Peningkatan control muscular dan sebagainya
2. Masa Preschool (3-5 tahun)
Fase ini anak mengalami fase perkembangan rasa inisiatif dan pikiran
preoperative. Beberapa karakteristik yang ditampilkan anank usia preschool:
a) Egosentris
Anak memiliki pikiran yang berpusat pada dirinya, perawat harus
melakukan pendekatan yang baik dengan memperhatikan pikiran
egosentris yang dimiliki oleh anak.
b) Peningkatan ketrampilan berbahasa
Anak preschool memiliki ketrampilan berbahasa yang lebih baik
dibandingkan dengan anak infant.
c) Konsep waktu dan ketrampilan toleransi terhadap frustasi terbatas
Anak usia preschool memiliki batasan waktu yang masih terbatas,
sehingga perawat harus memberikan keterangan yang sederhana
mengenai waktu pelaksanaan tindakan dan tidak boleh melakukan
tindakan yang sifatnya menunda tanpa kejeasan. Ketidak jelasan waktu
dan penundaan waktu tindakan dapat meningkatkan rasa cemas dan
frustasi.
d) Penyakit dan hospitalisasi dapat dipandang sebagai hukuman
Rasa sakit dan penyakit yang dialami anak menimbulkan perasaan sedih,
bahkan anak dapat menganggap bahwa penyakit yang dialaminya
sekarang adalah karena hukuman atas kenakalan yang dilakukan
sebelumnya.
e) Rasa takut terhadap bahaya tubuh dan gangguan
Anak dapat cemas terhadap kondisi tubuh yang sakit. Bahkan anak
sangat sensitive terhadap bagian tubuhnya.
f) Uapaya untuk inisiatif
Libatkan anak pada kegiatan yang sederhana dan sesuai dengan
kemampuan anak. Hal ini dapat menurunkan kecemasan anak akan
tindakan yang dialaminya.
3. Masa usia sekolah (6-12 tahun)
a) Peningkatan kemampuan berbahasa : minat terhadap pengetahuan
Anak usia sekolah memiliki ketrampilan berbahasa yang lebi baik
dibandingkan denga preschool. Anak usia sekolah mulai tertarik untuk
mengetahui segala hal yang dialaminya dan aka terjadi pada dirinnya.
Pada saat ini anak dapat diikutsertakan saat penjelasan tentang prosedur
tinddakan.
b) Perbaiki konsep waktu
Lakukan kontrak waktu secara jelas jika berhubungan dengan anak usia
sekolah. Disiplin danketepatan waktu sangat diperhatikan dan menjadi
tuntutan bagi anak.
c) Peningkatan control diri
Anak usia sekolah memiliki daya control dan pengendalian diri yang
lebih baik daripada anak usia prechool. Menangis dan berteriak sudah
lebih jarang dan mungkin akan ditutupi atau disembunyikan oleh anak.
d) Upaya untuk industry
Meskipun anak pada kondisi sakit, perawat dapat tetap menstimulasi
perkembangan psikososial anak melalui kegiatan bermain yang bersifat
industry atau pencspsisn suatu kreativitas.
e) Mengembangkan hubungan dengan teman sebaya
Anak usia sekolah mulai membangun pertemanan sebaya yang dinamis.
Teman sebaya merupakan bagian yang penting dalam hidupnya data ini.
Dukungan teman sebaya dapat menjadi support system yang potensial.
4. Masa remaja (12-18 tahun)
Masa remaja mengalami perkembangan rasa identitas dan pikiran
abstrak. Anak remaja memiliki perkembangan kognitif dan psikososial yang
berbeda dan lebih meningkat dibandingkan anak usia sekolah. Beberapa
karakteristik yang dimiliki anak remaja:
a) Peningkatan kemampuan berfikir abstrak dan rasional
Anak usia remaja sudah mampu memilikrkan hal yang abstrak dan yang
berkaitan dengan masa depan. Segala tindakan harus dapat dijelaskan
secara rasional agar dapat diterima dengan baik oleh anak.
b) Kesadaran penampilan
Anak usia remaja sangat memperhatikan penampilan, sehingga upayakan
untuk meminimalisir kejadian yang menimbulkan kecacatan bagi anak
terutama pada area yang mepengaruhi penampilan
c) Khawatir / terpusat pada kejadian saat ini daripada masa datang
Segala kejaian yang terjadi saat ini akan dikaitkan dengan hal yang akan
dialami anak dimasa depan.
d) Berusaha kemandirian
Anak usia remaja sudah mulai tumbuh upaya untuk hidup amndiri tanpa
ketergantungan denga pihak lain terutama keluarga
e) Perkembangan hubungan sebaya dan identitas
Teman sebaya mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan anak
remaja.
2.1.3 Teori perkembangan anak
1. Menurut Piaget teori perkembangan anak yakni terdiri dari:
a) Tahap sensori motor (0-2 tahun)
Anak mampu mengasimilasi dan mengakomodasi informasi dengan cara
melihat, mendengar, menyentuh, dan aktivitas motoric. Semua kegiatan
berfokus pada mulut (oral).
b) Tahap preopreasional (2-7 tahun)
Anak mampu mengoprasionalisasikan apa yang dipikirkan melalui
tindakan sesuai dengan pikirannya. Pada saat ini anak masih bersifat
egosentris, pikirannya masih transduktif, artinya menganggap semua
sama.
c) Tahap konkret (2-11 tahun)
Anak dapat memmandang realistis dan mempunayi anggapan sama
dengan orang lain. Sifat egosentris mulai hilang karena mulai sadar aka
keterbatasan dirinya. Tetapi sifat realistic belum sampai kedalam pikiran
sehingga belum dapat membuat konsep / hipotesis.
d) Formal operasional (>11 tahun)
Anak membentuk gambaran mental dan mampu menyelesaikan aktivitas
yang ada dalam pikirannya, mampu mendga dan memperkirakan dalam
pikirannya yang abstrak.
2. Perkembangan Psikososial Menurut Sigmud Freud
a) Tahap oral (0-1 tahun)
Kepauasan dan kesenangan anak didapat melalui kegiatan menghisap,
menggigit, mengunyah atau bersuara .
b) Tahap anak (1-3 tahun)
Kepuasan anak didapat pada saat pengeluaran tinja. Anak akan
menunjukkan keakuannya dan sangat egosentrik dan narsistik yakni cinta
terhadap diri sendiri.
c) Tahap oedipal / phalik (3-5 tahun)
Kepuasan anak terletak pada rangsanga autoerotic yakni meraba-raba
merasakan kenikmatan dari beberapa daerah orogennya dan mulai suka
pada lawan jenis.
d) Tahap laten (5-12 tahun)
Kepuasan anak muali terintegrasi, anak masuk dalam masa pubertas dan
berhadapan langsung dengan tuntutan social seperti menyukai hubungan
dengan kelompoknya / sebaya. Dorongan libido mulai mereda.
e) Tahap genital (> 12 tahun)
Kepuasan anak pada masa ini akan kembali bangkit dan mengatasi pada
perasaan cinta yang matang terhadap lawan jenis.
3. Perkembangan Psikososial menurut Erikson
a) Tahap percaya vs tidak percaya (0-1 tahun)
Tahap ini bayi membentuk rasa percaya kepada seseorang. Kegagalan
atau kesalahan dalam mengasuh pada tahap ini dapat menimbulkan rasa
tidak percaya pada anak.
b) Tahap kemandirian (otonom) vs rasa malu dan ragu (1-3 tahun/todler)
Anak mulai mencoba mandiri dalam tugas tumbuh kembangnya seperti
fungsi motoric dan bahasa, mulai latihan jalan sendiri dan belajar
berbicara. Anak merasa malu bila orang tua terlalu melindungi dan tidak
memberikan kemandirian / kebebasan bahkan menuntut anak dengan
harapan yang tinggi.
c) Tahap inisiatif vs rasa bersalah (4-6 tahun / prasekolah)
Anak mulai berinisiatif dlam belajar mencari paengalan baru secara aktif
melalui aktivitasnya. Apabila anak dilarang atau dicegah maka akan
tumbuh perasaan bersalah pada dirinya.
d) Tahap rajin vs rendah diri (6-12 tahun / sekolah)
Anak selalu berusaha mencari segala sesuatu yang diinginkan dan
berusaha mencapai prestasinya sehingga pada usia ini anak rajin
melakukan sesuatu. Apabila harapan tidak dicapai kemungkinan besar
anak akan rendah diri.
e) Tahap identitas vs kebingunan peran (masa remaja/adolence)
Terjadi perubahan pada anak khususnya perubahan fisik, kematangan
usia dan perubahan hormonal. Anak menunjukka idaentitas dirinya
seperti siapa saya. Apabila kondisi ini tidak sesuai hati maka
kemungkinan akan terjadi kebingungan dalam peran.
f) Tahap keintiman dan pemisahan / isolasi (dewasa muda)
Anak mencoba berhubungan dengan teman sebaya atau kelompok
masayarakat dalam kehidupan social untuk menjalin keakraban. Apabila
anak tidak mampu membina hubungan dengan orang lain maka
kemungkinan akan menarik diri dari anggota kelompokkanya.
g) Tahap generasi dan penghentian (dewasa pertengahan)
Individu berusaha memperhatikan generasi berikutny dalam kegiatan di
masayarakat dan melibatkan diri dengan maksud agar lingkungan
menerimanya. Apabila terjadi kegagalan pada tahap ini maka akan terjadi
penghentian / dtagnasi dalam kegiatan atau aktivitasnya.
h) Tahap integritas dan keputusasaan (dewasa lanjut)
Tahap ini individu memikirkan tugas dalam mengakhiri kehidupan.
Perasaan putua asa akan mudah timbul karena kegagalan dalam
melakukan aktivitasnya.
2.1.4 Pertumbuhan dan perkembangan anak menurut (Aziz, 2005)
1. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh dalam
arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multifikasi sel-sel tubuh dan
juga karena bertambah besarnya sel.
2. Perkembangan adalah bertambhanya kemampuan dan struktur fungi tubuh
yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan
dirasakan sebagai hasil dari proses difensiasi sel, jaringan tubuh, organ-
organ, dan sistemnya yang terintegrasi (IDAI, 2000).
2.1.5 Prinsip-prinsip Keperawatan Anak
1. Anak bukan miniature orang dewasa tetapi sebagai individu yang unik
2. Anak sebagai individu yang unik dan mempunyai kebutuhan sesuai dengan
tahap perkembangannya
3. Pelayanan keperawatan anak berorientasi pada upaya pencegahan penyakit
dan peningkatan deraja kesehatan, bukan hanya mengobati anak yang sakit.
4. Keperawatan anak merupakan disiplin ilmu kesehatan yang berfokus pada
kesejahteraan anak sehingga perawat bertanggungjawab secara
komprehensif dalam memberikan asuhan keperawatan anak.
5. Praktik keperawatan anak mencakup kontrak dengan anak dan keluarga
untuk mencegah, menkaji, mengintervensi, dan meningkatkan kesejahteraan
hidup, dengan menggunakan proses keperawatan yang sesuai dengan aspek
moral (etik) dan aspek hukum (legal).
6. Tujuan keperawatan anak dan remaja adalah untuk meningkatkan maturasi
atau kematangan yang sehat bagi anak dan remaja sebagai makhluk.
7. Pada masa yang akan datang kecenderungan keperawatan anak berfokus
pada ilmu tumbuh kembanga sebab ilmu tumbuh kembang ini yang akan
mempelajari aspek kehidupan anak.
2.1.6 Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang (Soetjiningsih, 2005)
1. Kebutuhan fisik – biomedik (asuh), meliputi:
a) Pangan/ gizi
b) Perawatan kesehatan dasar: imunisasi, pemberian ASI, penimbangan
secara teratur, pengobatan bila sakit.
c) Papan / pemulasaran yang layak
d) Hygiene perorangan, sanitasi lingkungan
e) Sandang
f) Kesegaran jasmani, rekreasi.
2. Kebutuhan emosi / kasih (asih)
Kehadiran ibu / pengganti ibu selanggeng mungkin akan menjamin rasa
aman. Kasih sayang yang kurang dari ibu pada tahun pertama kehidupan
akan berdampak negative pada tumbuh kembang baik fisik, maupun mental,
social.
3. Kebutuhan stimulus mental (asah)
Stimulasi mental akan memupuk perkembangan mental psikososial anak
dalam hal kecerdasan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian moral,
etika, produktivitas, dan sebagainya.

2.1.7 Hospitalisasi anak


Hospitalisasi anak merupakan suatu proses yang karena suatu alas an
yang berencana / darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit
menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Selama
proses tersebut anak dan orang tua dapat mengalami bernagai kejadian yang
ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatic dan penuh stress
(Supartini, 2009).
1. Dampak hospitalisasi pada anak
Dampak hospitalisasi pada anak menyebabkan kecemasan dan dtress pada
semua tingkat usia. Anak semakin stress dan dapat menurunkan imun anak.
2. Pencegahan dampak hospitalisasi (Prinsip atraumatic care)
a) Menurunkan dan mencegah dampak perpisahan dari keluarga
b) Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan anak
c) Mencegah atau mengurangi cedera (injury) dan nyeri (dampak
psikologis)
d) Tidak melakukan kekerasan pada anak
e) Modifikasi lingkungan fisik
2.2 Konsep Penyakit Menengioensefalitis
2.2.1 Definisi
Meningitis adalah inflamasi lapisan di sekeliling otak dan medulla spinalis
yang disebabkan oleh bakteri atau virus, biasanya inflamasi terjadi di meningen.
Bakteri penyebabnya adalah N. Meningitis, S. Pneumoniac, dan Haemophilus
influenza merupakan penyebab tersering meningitis pada anak-anak (Brunner &
Suddarth, 2013).
Ensefalitis adalah inflamasi pada parenkim otak. Ensefalitis merupakan
salah satu infeksi sistem saraf pusat yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
jamur, dan protozoa. Ensefalitis pada anak umumnya disebabkan oleh virus
diantaranya Enterovirus, Cytomegalivirus, dan Adenovirus (Brunner & Suddarth,
2013).
Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, merupakan
gabungan dari meningitis dan ensefalitis. Jika pada meningitis bakteri, mediator
inflamasi dan toksin yang dihasilkan dalam sel subarachnoid menyebar ke dalam
parenkim otak dan menyebabkan respon radang ke jaringan otak.

2.2.2 Etiologi
Menurut Brunner & Suddarth (2013) penyebab meningoensefalitis adalah
virus, bakteri, parasit, dan juga fungi.
a. Virus paling sering menyebabkan meningoensefalitis adalah: herpes
simplex tipe -1 (HSV-1), enterovirus, herpes zoster.
b. Bakteri yang dapat menyebabkan meningoensefalitis adalah: Haemophilus
influenza, Neisseria meningitides, Streptococcus pneumoniae,
Staphilococcus aureus, dan Mycobacterium tuberculosa.
c. Parasit: Plasmodium falcifarum, Toxoplasma gondii, Naeglaria fowleri
(Primary amebic, Meningoencephalitis).
d. Fungi: Criptococcus neoformans, Loccidiodes immitis, Histoplasma
capsulatum, dan Aspegilus.
Meningoensefalitis dapat terjadi ketika virus, bakteri, fungi dan parasite
menginvasi cairan cerebrospinal dan memperbanyak diri dengan cepat
karena di subarachnoid dan cairan cerebrospinal tidak terdapat antibody
opsonin dan sel fagosit, sehingga virus dan bakteri akan mudah menginvasi
otak dan menyebabkan penyakit tersebut.

2.2.3 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala anak menderita penyakit meningoensefalitis biasanya
hampir sama dengan tanda dan gejala anak menderita meningitis dan ensefalitis
(Brunner & Suddarth, 2013) diantaranya adalah:
1) Sakit kepala dan demam yang tidak turun-turun sering kali menjadi gejala
awal, sakit kepala biasanya tak kunjung hilang.
2) Iritasi meningeal memunculkan sejumlah tanda lain yang dikenali dengan
baik sebagai tanda umum semua jenis meningitis:
a) Kaku kuduk adalah tanda awal.
b) Tanda kernig positif: ketika berbaring dengan paha difleksikan pada
abdomen, pasien tidak dapat mengekstensikan tungkai secara komplit.
c) Tanda brudzinski positif: memfleksikan leher pasien menyebabkan fleksi
lutut dan pinggul.
d) Fotophobia (sensitivitas terhadap cahaya biasanya terjadi).
3) Kejang dapat terjadi dan merupakan akibat dari area iritabilitas di otak.
4) ICP meningkat akibat perluasan pembengkakan di otak atau hidrosefalus,
tanda awal ICP meningkat adalah penurunan tingkat kesadaran dan defisit
motorik fokal.

2.2.4 Patofisiologi
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran
darah ataupun klompikasi luka. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk
sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain dekat dengan otak. Mula-mula
terjadi peradangan supuratif pada selaput atau jaringan otak. Proses peradangan ini
membentuk eksudat, thrombosis septik pada pembuluh darah, dan agregasi leukosit
yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan timbul edema, kemudian
abses yang kian membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ruang
subarachnoid yang menyebabkan infeksi.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus masuk ke tubuh manusia
melalui saluran pernafasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, bayi dalam
dalam kandungan dapat terjadi infeksi melalui plasenta oleh virus rubella dan
cytomegalovirus. Virus tersebut memperbanyak diri di dalam tubuh dan menyerang
saraf pusat. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung melalui
ruang ekstraseluler. Infeksi virus di dalam otak dapat menyebabkan meningitis
ataupun ensefalitis, dan dapat merusak nefron, terjadi peradangan otak, edema otak,
dan thrombosis.
Sedangkan untuk parasit dan jamur dapat masuk melalui berbagai hal
seperti melalui saluran pernafasan. Jamur atau parasite yang terhirup secara tidak
langsung oleh manusia, melalui makanan seperti toxoplasma yang dapat hidup pada
daging, daging yang tidak matang dikonsumsi oleh manusia, bisa juga menular
lewat ibu, fetus yang dapat menyebabkan kematian atau kecacatan pada anak.

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang


1) Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar haemoglobin, jumlah dan jenis leukosit, hitung
jenis darah.
2) Kultur bakteria dan pewarnaan gram pada CSF dan darah.
3) Pemeriksaan radiologis
a) CT scan dan MRI otak dapat menyingkirkan kemungkinan lesi massa
dan menunjukkan edema otak
b) Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti
disfungsi otak difus.
4) Pemeriksaan pungsi lumbal
Pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan apabila terjadi peningkatan
tekanan intrakranial dan juga edema pupil. Pada kasus seperti ini, pungsi
lumbal dapat ditunda sampai kemungkinan massa dapat disingkirkan dengan
melakukan pemindaian CT scan atau MRI.
2.2.6 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis (Brunner & Suddarth, 2013):
1. Vaksinasi
Imunisasi aktif terhadap Haemophilus influenza diberikan secara rutin
pada anak berusia2, 3, dan 4 bulan.
2. Pemberian terapi antibiotic yang sesuai dengan kondisi anak dan tes
alergi, misalnya cefotaxime dan ceftriaxone.
3. Dexamethasone telah terbukti bermanfaat sebagai terapi pelengkap untuk
mencegah inflamasi yang telah parah pada anak.
4. Dehidrasi dan syok dicegah dengan pemberian terapi cairan.
5. Kejang, dikontrol dengan pemberian phenytoin.
b. Penatalaksanaan keperawatan:
1. Kaji status neurologis dan tanda-tanda vital secara konstan
2. Kaji tanda-tanda vital klien meliputi tekanan darah, nadi, suhu,
respiratory rate, serta saturasi oksigen.
3. Membantu menurunkan demam klien dengan cara mengompres bagian
kening, lipatan paha, lipatan ketiak.
4. Lindungi pasien dari cedera sekunder akibat aktifitas kejang atau
perubahan tingkat kesadaran.
5. Pemberian terapi cairan IV dapat diprogramkan, terapi hati-hati jangan
sampai menghindari pasien secara berlebihan karena pasien berisiko
mengalami edema cerebral.
6. Cegah komplikasi yang disebabkan oleh imobolisasi seperti ulkus tekan
dan pneumonia.

2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan meningoensefalitis
adalah:
1) Epilepsi (kejang)
2) Hidrosefalus
3) Paralisis serebri
4) Efusi subdural, dll.
2.3. Konsep Asuhan Keperawatan
2.3.1 Pengkajian
a. Identitas pasien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, nomor rekam
medis dan tanggal masuk rumah sakit.
b. Identitas penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan dan hubungan
dengan pasien.

2.3.2 Riwayat Kesehatan


a. Keluhan utama
Pada pasein dengan meningoensefalitis kebanyakan mengeluh
demam tinggi disertai kejang dan penurunan kesadaran.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien dengan meningoensefalitis mengalami demam yang
sulit untuk turun, sakit kepala yang menetap, selain itu dapat terjadi
kejang dan terjadi sewaktu-waktu. Pasien mengalami tanda dan
gejala meningitis seperti kaku kuduk, dan brudzinski serta
fotophobia.
c. Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan kepada keluarga yang mendampingi pasien, apakah
pasien pernah mengalami penyakit meningitis ataupun encephalitis
sebelumnya, karena hal tersebut dapat memicu terjadinya
meningoensefalitis.
d. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit ini ataupun
meningitis dan juga encephalitis, tanyakan kepada ibu pasien apakah
sering mengkonsumsi daging setengah matang pada waktu hamil,
apakah anak juga di imunisasi waktu kecil.
2.3.3 Pemeriksaan Kesehatan
a. B1 (Breathing)
- Periksa suara napas klien, suara napas tambahan berhubungan
dengan penurunan kesadaran klien.
- Periksa respiratory rate (RR) dan penggunaan otot-otot bantu
pernapasan.
- Kaji apakah klien pernah menderita TB paru ataupun ISPA yang
berulang.
b. B2 (Blood)
- Kaji tanda-tanda vital klien meliputi tekanan darah, nadi dan
tanda-tanda syok.
c. B3 (Brain)
- Kaji adanya penurunan kesadaran dengan menggunakan GCS,
biasanya pada pasien dengan meningoencephalitis kesadaran
pasien menurun berkisar antara stupor, letargi ataupun semi
koma.
- Kaji adanya gejala meningitis seperti: kaku kuduk, kering positif
dan brudzinski, fotophobia dan juga kejang.
d. B4 (Bladder)
- Kaji intake dan output cairan, pada pasien dengan
meningoencepjalitis volume urine berkurang karena penurunan
perfusi dan curah jantung ke ginjal.
- Ukur pemberian terapi cairan karena jika berlebihan pasien
beresiko mengalami edema serebral.
e. B5 (Bowel)
- Kaji turgor kulit klien, CRT <2 detik, mual dan muntah serta
membran mukosa.
f. B6 (Bone)
- Kaji kekuatan otot klien, pada pasien dengan penurunan
kesadaran dapat menurunkan mobilitas, maka dari itu cegah
terjadinya kekakuan otot, risiko dekubitus.
2.3.4 Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif (D.0001)
2. Hipertermia (D.0130)
3. Risiko perfusi cerebral tidak efektif (D.0017)
4. Risiko cedera (D.0136)
5. Gangguan eliminasi urine (D.0040)
6. Deficit nutrisi (D.0019)
7. Gangguan integritas kulit/ jaringan (D.0129)

2.3.5 Intervensi Keperawatan


1. Diagnosa keperawatan: bersihan jalan nafas tidak efektif (D.0001)
SLKI: Bersihan jalan nafas (L.0001)
Kriteria hasil:
1) Produksi sputum menurun (5)
2) Mengi menurun (5)
3) Frekuensi nafas membaik (5)
4) Pola nafas membaik (5)
SIKI: Manajemen jalan nafas (I.01011)
a) Observasi
- Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
- Monitor bunyi nafas tambahan (missal wheezing, ronkhi)
- Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
b) Terapeutik
- Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Berikan minum hangat
- Posisikan semi fowler/ fowler, jika memungkinkan
- Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
- Berikan oksigen, sesuai kebutuhan.
c) Edukasi
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/ hari, jika tidak ada kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk efektif
d) Kolaborasi
- Pemberian mukolitik, ekspektoran, bronkodilator, jika perlu.
2. Diagnosa keperawatan: Risiko perfusi serebral tidak efektif (D.0017)
SLKI: Perfusi serebral (L.02014)
Kriteria hasil:
1) Tingkat kesadaran meningkat (5)
2) Tekanan intrakranial menurun (5)
3) Sakit kepala menurun (5)
4) Kesadaran membaik (5)
SIKI: Manajemen peningkatan tekanan intracranial (I.06194)
a) Observasi
- Identifikasi penyebab peningkatan TIK (missal: lesi, edema
cerebral)
- Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK (missal: tekanan darah
meningkat, kesadaran menurun, bradikardia, nadi melebar, dan pola
nafas irregular)
- Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
- Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika tersedia
- Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)
- Monitor status pernafasan
- Monitor intake dan output cairan
- Monitor cairan cerebrospinal (missal: warna, konsistensi)
b) Terapeutik
- Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
- Berikan posisi semi fowler
- Cegah terjadinya kejang
- Hindari maneuver valsava
- Pertahankan suhu tubuh normal
c) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan
3. Diagnosa keperawatan: Hipertermia (D.0130)
SLKI: Termoregulasi (L.14134)
Kriteria hasil:
1) Menggigil menurun (5)
2) Suhu tubuh membaik (5)
3) Kejang menurun (5)
SIKI: Manajemen hipertermia (I.15500)
a) Observasi
- Identifikasi penyebab hipertermia (missal: dehidrasi)
- Monitor suhu tubuh
- Monitor kadar elektrolit
- Monitor haluaran urine
- Monitor komplikasi akibat hipertermia.
b) Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang dingin
- Longgarkan pakaian
- Basahi dan kipasi permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
- Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrasi
(keringat berlebih)
- Lakukan pendinginan eksternal (missal: kompres dingin, pada dahi,
leher, ketiak, dada)
- Hindari pemberian aspirin.
c) Edukasi
- Anjurkan tirah baring
d) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu.
2.3 Konsep Penyakit Bronchopneumonia
2.3.1 Pengertian
Bronchopneumoni adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola
penyebaran berbecak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi didalam bronchi
dan meluas di parenkim paru yang berdekatan disekitarnya.
Bronchopneumoni disebut juga pneumonia lobularis, yaitu radang paru- paru
yang di sebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan lain- lain.
Bronchopneumonia/ pneumonia lobaris merupakan radang paru yang
menyebabkan bronkhioli terminal. Bronkhioli terminal tersumbat oleh eksudat yang
berbentuk bercak- bercak., kemudian menjadi bagian yang terkonsulidasi atau
membentuk gabungan dan meluas ke parenkim paru.
Penyakit ini sering bersifat sekunder, menyertai infeksi saluran pernafasan atas,
demam, infeksi yang spesifik dan penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh.
2.3.2 Etiologi
Secara umum bronchopneumonia diakibatkan penurunan mekanisme pertahanan
tubuh terhadap virulensi organisme patogen. Orang normal dan sehat mempunyai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap organ pernapasan yang terdiri atas : refleks
glotis dan batuk, adanya lapisan mukus, gerakan sillia yang menggerakkan kuman
keluar dari organ, dari sekresi humoral setempat.
Broncopneumonia dapat disebabkan oleh:
· Bakteri= streptococcus, straphylococcus, influenmza
· Virus= legionella pneumonia, virus influenza
· Jamur= aspergilus, candida albicons
· Aspirasi makanan, sekresi oropharing/isi lambung ke dalam paru
· Kongesti paru kronik
· Flora normal, hidrokarbon.
2.3.3 Patofisiologi
Sebagian besar penyebab bronkopneumonia adalah mikroorganisme (jamur,
bakter, virus) dan sebagian kecil oleh penyebab lain seperti hidrokarbon (minyak
tanah, bensin dan sejenisnya). Serta aspirasi ( masuknya isi lambung ke dalam
saluran napas). Awalnmya mikroorganisme akan masuk melalui percikan ludah (
droplet) infasi ini akan masuk ke saluran pernapasan atas dan menimbulkan reaksi
imunologis dari tubuh. Reaksi ini menyebabkan peradangan, dimana saat
terjadi peradangan ini tubuh akan menyesuaikan diri sehingga timbulah gejala
demam pada penderita.
Reaksi peradangan ini akan menimbulkan secret. Semakin lama secret semakin
menumpuk di bronkus sehingga aliran bronkus menjadi semakin sempit dan pasien
akan merasa sesak. Selain terkumpul di bronkus, lama kelamaan secret akan sampai
ke alveolus paru dan mengganggu system pertukaran gas di paru.
Selain menginfeksi saluran napas, bakteri ini juga dapat menginfeksi saluran
cerna saat ia terbawa oleh darah. Bakteri ini akan membuat flora normal dalam usus
menjadi agen pathogen sehingga timbul masalah GI tract.
2.3.4 Manifestasi Klinis
Bronchopneumonia biasanya didahului oleh suatu infeksi disalurran napas atas
beberapa hari. Pada tahap awal, penderita bronchopneumonia mengalami tanda dan
gejala yang khas yaitu seperti menggigil, demam, nyeri dada pleuritis, batuk
produktif, hidung kemerahan, saat bernapas menggunakan otot aksesorius dan bisa
timbul sianosis. Terdengar adanya krekels di atas paru yang sakit dan terdengar
ketika terjadi konsolidasi.
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Leukosit meningkat 15.000-40.000/mm3
2) Laju endap darah meningkat 100mm
3) ASTO meningkat pada infeksi streptococcus.
4) GDA menunjukkan hipoksemia tanpa hiperkapnea atau retensi CO2
5) Urin biasanya berwarna lebih tua, mungkin terdapat albumin urin ringan
karena peningkatan suhu tubuh.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Terlihat bercak- bercak pada bronkus hingga lobus.
2.3.6 Penatalaksanaan
a. Antibiotic seperti ; penisilin, eritromicin, kindomisin, dan sefalosforin.
b. Terapi oksigen (O2)
c. Nebulizer, untuk mengencerkandahak yang kental dan pemberian bronkodilator.
d. Istirahat yang cukup
e. Kemoterafi untuk mikoplasma pneumonia dapat diberikan eritromicin 4x 500 mg/
hari atau tetrasiklin 3-4 x 500mg/ hari.
2.3.7 Komplikasi
a. Atelektasis : Pengembangan paru yang tidak sempurna.
b. Emfisema : Terdapatnya pus pada rongga pleura.
c. Abses paru : Pengumpulan pus pada jaringan paru yang meradang.
d. Infeksi sistomik
e. Endokarditis : Peradangan pada endokardium.
f. Meningitis : Peradangan pada selaput otak.
2.3.8 Pencegahan Pada Anak
a. Hindari anak dari paparan asap rokok, polusi dan tempat keramaian yang
berpotensi penularan.
b. Hindari kontak anak dengan penderita ISPA
c. Membiasakan pemberian ASI
d. Segera berobat jika terjadi demam, batuk, dan pilek, terlebih disertai suara sesak
dan sesak pada anak.
e. Imunisasi Hb untuk kekebalan terhadapa hameophilus influenza.
2.3.9 WOC (Web Of Caution)
2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Bronchopneumonia
2.4.1 Pengkajian Keperawatan
a. Identitas
b. Riwayat Keperawatan
1) Keluhan utama
Anak sangat gelisah, dispnea, pernapasan cepat dan dangkal, diserai pernapasan
cuping hidupng, serta sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang disertai muntah
dan diare.atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa lendir, anoreksia dan
muntah.
2) Riwayat penyakit sekarang
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian
atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak sampai 39-
40oC dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun menurun.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Anggota keluarga lain yang menderita penyakit infeksi saluran pernapasan dapat
menularkan kepada anggota keluarga yang lainnya.
5) Riwayat kesehatan lingkungan
Menurut Wilson dan Thompson, 1990 pneumonia sering terjadi pada musim
hujan dan awal musim semi. Selain itu pemeliharaan ksehatan dan kebersihan
lingkungan yang kurang juga bisa menyebabkan anak menderita sakit.
Lingkungan pabrik atau banyak asap dan debu ataupun lingkungan dengan
anggota keluarga perokok.

6) Imunisasi
Anak yang tidak mendapatkan imunisasi beresiko tinggi untuk mendapat
penyakit infeksi saluran pernapasan atas atau bawah karena system pertahanan
tubuh yang tidak cukup kuat untuk melawan infeksi sekunder.
7) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
8) Nutrisi
Riwayat gizi buruk atau meteorismus (malnutrisi energi protein = MEP).
c. Pemeriksaan persistem
1) Sistem kardiovaskuler
Takikardi, irritability.
2) Sistem pernapasan
Sesak napas, retraksi dada, melaporkan anak sulit bernapas, pernapasan cuping
hdidung, ronki, wheezing, takipnea, batuk produktif atau non produktif,
pergerakan dada asimetris, pernapasan tidak teratur/ireguler, kemungkinan
friction rub, perkusi redup pada daerah terjadinya konsolidasi, ada
sputum/sekret. Orang tua cemas dengan keadaan anaknya yang bertambah sesak
dan pilek.
3) Sistem pencernaan
Anak malas minum atau makan, muntah, berat badan menurun, lemah. Pada
orang tua yang dengan tipe keluarga anak pertama, mungkin belum memahami
tentang tujuan dan cara pemberian makanan/cairan personde.
4) Sistem eliminasi
Anak atau bayi menderita diare, atau dehidrasi, orang tua mungkin belum
memahami alasan anak menderita diare sampai terjadi dehidrasi (ringan sampai
berat).
5) Sistem saraf
Demam, kejang, sakit kepala yang ditandai dengan menangis terus pada anak-
anak atau malas minum, ubun-ubun cekung.
6) Sistem lokomotor/muskuloskeletal
Tonus otot menurun, lemah secara umum.
7) Sistem endokrin
Tidak ada kelainan.
8) Sistem integumen
Turgor kulit menurun, membran mukosa kering, sianosis, pucat, akral hangat,
kulit kering.
9) Sistem penginderaan
Tidak ada kelainan.
d. Pemeriksaan diagnostik dan hasil
Secara laboratorik ditemukan lekositosis, biasanya 15.000 - 40.000 / m3
dengan pergeseran ke kiri. LED meninggi. Pengambilan sekret secara broncoskopi
dan fungsi paru-paru untuk preparat langsung; biakan dan test resistensi dapat
menentukan/mencari etiologinya.
Tetapi cara ini tidak rutin dilakukan karena sukar. Pada punksi misalnya
dapat terjadi salah tusuk dan memasukkan kuman dari luar. Foto roentgen (chest x
ray) dilakukan untuk melihat :
1) Komplikasi seperti empiema, atelektasis, perikarditis, pleuritis, dan OMA.
2) Luas daerah paru yang terkena.
3) Evaluasi pengobata
4) Pada bronchopnemonia bercak-bercak infiltrat ditemukan pada salah satu atau
beberapa lobur.
Pada pemeriksaan ABGs ditemukan PaO2 < 0 mmHg.
2.4.2 Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum ditandai dengan adanya ronchi, dan ketidakefektifan batuk.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan proses infeksi pada jaringan paru
(perubahan membrane alveoli) ditandai dengan sianosis, PaO2 menurun, sesak
nafas.
c. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi terhadap infeksi saluran nafas ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh, mengigil, akral teraba panas.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
metabolisme sekunder terhadap demam dan proses infeksi ditandai dengan nafsu
makan menurun, BB turun, mual dan muntah, turgor kulit tidak elastis.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2
dengan kebutuhan oksigen ditandai dengan tidak mampu berpartisipasi dalam
kegiatan sehari-hari sesuai kemampuan tanpa bantuan.
f. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu
tubuh,kehilangan cairan karena berkeringat banyak, muntah atau diare.
g. Resiko infeksi berhubungan dengan resiko terpajan bakteri patogen.
2.4.3 Intervensi Keperawatan
Dx Keperawatan 1
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum ditandai dengan adanya ronchi, dan ketidakefektifan batuk.
Tujuan dan kriteria hasil : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama (…x…) diharapkan
jalan nafas pasien efektif dengan criteria hasil : jalan nafas paten, tidak ada bunyi nafas
tambahan, tidak sesak, RR normal (35-40x/menit), tidak ada penggunaan otot bantu nafas,
tidak ada pernafasan cuping hidung
INTERVENSI RASIONAL
1) Observasi TTV terutama respiratory rate 1) Memberi informasi tentang pola
pernafasan pasien, tekanan darah, nadi,
suhu pasien.
2) Auskultasi area dada atau paru, catat hasil 2) Crekcels, ronkhi dan mengi dapat
pemeriksaan terdengar saat inspirasi dan ekspirasi pada
tempat konsolidasi sputum
3) Latih pasien batuk efektif dan nafas dalam 3) Memudahkan bersihan jalan nafas dan
4) Lakukan suction sesuai indikasi ekspansi maksimum paru
4) Mengeluarkan sputum pada pasien tidak
5) Memberi posisi semifowler atau supinasi sadar atau tidak mampu batuk efektif
dengan elevasi kepala 5) Meningkatkan ekspansi paru
6) Anjurkan pasien minum air hangat
6) Air hangat dapat memudahkan
Kolaborasi : pengeluaran secret
7) Bantu mengawasi efek pengobatan
nebulizer dan fisioterapi nafas lainnya 7) Memudahkan pengenceran dan
8) Berikan obat sesuai indikasi, seperti pembuangan secret
mukolitik, ekspektoran, bronkodilator, 8) Proses medikamentosa dan membantu
analgesic mengurangi bronkospasme
9) Berikan O2 lembab sesuai indikasi
9) Mengurangi distress respirasi
Dx Keperawatan 2
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan proses infeksi pada jaringan paru
(perubahan membrane alveoli) ditandai dengan sianosis, PaO2 menurun, sesak
nafas.
Tujuan dan KH : setelah dilakukan asuhan (..x..) diharapkan ventilasi pasien
tidak terganggu dengan KH : GDA dalam rentang normal ( PO2 = 80 – 100
mmHg, PCO2 = 35 – 45 mmHg, pH = 7,35 – 7,45, SaO2 = 95 – 99 %), tidak
ada sianosis, pasien tidak sesak dan rileks.
INTERVENSI RASIONAL
1) Kaji frekuensi, kedalaman, 1) Memberi informasi tentang
kemudahan bernapas pasien. pernapasan pasien.
2) Observasi warna kulit, membran 2) Kebiruan menunjukkan sianosis.
mukosa bibir.
3) Berikan lingkungan sejuk, 3) Untuk membuat pasien lebih
nyaman, ventilasi cukup. nyaman.
4) Tinggikan kepala, anjurkan napas 4) Meningkatkan inspirasi dan
dalam dan batuk efektif. pengeluaran sekret.
5) Pertahankan istirahat tidur. 5) Mencegah terlalu letih.
6) Kolaborasikan pemberian oksigen 6) Mengevaluasi proses penyakit dan
dan pemeriksaan lab (GDA) mengurangi distres respirasi.

Dx Keperawatan 3
Hipertermi berhubungan dengan inflamasi terhadap infeksi saluran nafas ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh, mengigil, akral teraba panas.
Tujuan dan KH : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama (...x...)
diharapkan suhu pasien turun atau normal (36,5 – 37,5°C) dengan KH: pasien
tidak gelisah, pasien tidak menggigil, akral teraba hangat, warna kulit tidak ada
kemerahan.

INTERVENSI RASIONAL

1) Kaji suhu tubuh pasien 1) Data untuk menentukan intervensi


2) Pertahankan lingkungan tetap 2) Menurunkan suhu tubuh secara
sejuk radiasi
3) Menurunkan suhu tubuh secara
3) Berikan kompres hangat basah konduksi
pada ketiak, lipatan paha, kening
(untuk sugesti) 4) Peningkatan suhu tubuh
4) Anjurkan pasien untuk banyak mengakibatkan penguapan cairan
minum tubuh meningkat, sehingga
diimbangi dengan intake cairan
yang banyak
5) Pakaian yang tipis mengurangi
5) Anjurkan mengenakan pakaian penguapan cairan tubuh
yang minimal atau tipis 6) Antipiretik efektif untuk
6) Berikan antipiretik sesuai indikasi menurunkan demam
7) Mengobati organisme penyebab
7) Berikan antimikroba jika
disarankan

Dx Keperawatan 4
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
metabolisme sekunder terhadap demam dan proses infeksi ditandai dengan nafsu
makan menurun, BB turun, mual dan muntah, turgor kulit tidak elastis.
Tujuan dan KH : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama (...x...)
diharapkan kebutuhan nutrisi pasien adekuat dengan KH: nafsu makan pasien
meningkat, BB pasien ideal, mual muntal berkurang, turgor kulit elastis, pasien
tidak lemas
INTERVENSI RASIONAL
1) Kaji penyebab mual muntah pasien 1) Untuk menentukan intervensi
selanjutnya
2) Berikan perawatan mulut 2) Mulut yang bersih meningkatkan
nafsu makan
3) Bantu pasien membuang atau 3) Sputum dapat menyebabkan bau
mengeluarkan sputum sesering mulut yang nantinya dapat
mungkin menurunkan nafsu makan
4) Anjurkan untuk menyajikan 4) Membantu meningkatkan nafsu
makanan dalam keadaan hangat makan
5) Anjurkan pasien makan sedikit 5) Meningkatkan intake makanan
tapi sering
6) Kolaborasikan untuk memilih 6) Memenuhi gizi dan nutrisi sesuai
makanan yang dapat memenuhi dengan keadaan pasien
kebutuhan gizi selama sakit

Dx Keperawatan 5:
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2
dengan kebutuhan oksigen ditandai dengan tidak mampu berpartisipasi dalam
kegiatan sehari-hari sesuai kemampuan tanpa bantuan.
Tujuan dan K.H : setelah diberikan asuhan keperawatan selama (…x…)
diharapkan toleransi pasien terhadap aktifitas meningkat dengan KH : pasien
mampu berpartisipasi dalam kegiatan sehari – hari sesuai kemampuan tanpa
bantuan, pasien mampu mempraktekkan teknik, penghematan energy, TTV
stabil (S = 36,5°C – 37,5°C, N = 75 – 100x/menit, RR = 35 -40 x/ menit)

INTERVENSI RASIONAL
1) Evaluasi tingkat kelemahan dan 1) Sebagai informsdi dalam
toleransi pasien dalam melakukan menentukan intervensi selanjutnya
kegiatan
2) Berikan lingkungan yang tenang 2) Menghemat energy untuk aktifitas
dan periode istirahat tanpa dan penyembuhan
ganguan
3) Bantu pasien dalam melakukan 3) Oksigen yang meningkat akibat
aktifitas sesuai dengan aktifitas
kebutuhannya
Kolaborasi :
4) Berikan oksigen tambahan 4) Mengadekuatkan persediaan oksigen

Dx Keperawatan 6
Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu
tubuh,kehilangan cairan karena berkeringat banyak, muntah atau diare.
Tujuan dan KH : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama (…x…)
diharapkan volume cairan tubuh pasien seimbang dengan KH : membrane
mukosa pasien lembab, turgor kulit baik, pengisian capiler cepat / < 3detik, input
dan output seimbang, pasien tidak muntah. Pasien tidak diare, TTV normal (S
= 36,5°C – 37,5°C, N = 75 – 100x/menit, RR = 35 -40 x/ menit)
INTERVENSI RASIOANL
1) Observasi TTV @ 2- 4 jam, kaji 1) Peningkatan suhu menunjukkan
turgor kulit. peningkatan metabolic
2) Pantau intake dan output cairan 2) Mengidentifikasi kekurangan
volume cairan
3) Anjurkan pasien minum air yang 3) Menurunkan resiko dehidrasi
banyak
Kolaborasi :
4) Berikan terapi intravena seperti 4) Melengkapi kebutuhan cairan pasien
infuse sesuai indikasi
5) Pasang NGT sesuai indikasi untuk 5) Membantu memenuhi cairan bila
pemasukan cairan tidak bisa dilakukan secara oral

Dx Keperawatan 7
Resiko infeksi berhubungan dengan resiko terpajan bakteri patogen.
Tujuan dan KH : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 x 24 jam
diharapkan infeksi tidak terjadi dengan KH: klien bebas dari tanda dan gejala
infeksi, menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi, jumlah
leukosit dalam batas normal, menunjukkan perilaku hidup sehat
INTERVENSI RASIOANL
1) Kaji suhu badan 8 jam 1) Mendeteksi adanya tanda dari
2) Monitor tanda dan gejala infeksi infeksi
sistemik dan lokal 2) Mempermudah untuk penanganan
3) Inspeksi kulit dan membran jika infeksi terjadi
mukosa terhadap kemerahan, 3) Panas, kemerahan merupakan tanda
panas dari infeksi
4) Ajarkan pasien dan keluarga tanda
dan gejala infeksi 4) Dengan melibatkan keluarga tanda
Kolaborasi : infeksi lebih cepat diketahui
5) Berikan terapi antibiotik
5) Antibiotik efektif untuk mencegah
penyebaran bakteri
BAB 3
TINJAUAN KASUS

Tanggal Pengkajian : 21 Juli 2019 Jam : 13.21 WIB


Tanggal MRS : 19 Juli 2019 No. RM : 12.76.XX.XX
Ruang/Kelas : PICU Bona 2 Dx Medis : Brokopneumonia +
Anemia +Tumor Laring
Identitas Anak Identitas Orang Tua
Nama Anak : An. F Nama Ayah : Tn. A (27 tahun)
Tanggal Lahir : 12 Januari 2019 Nama Ibu : Ny. A (20 tahun)
Identitas

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan Ayah/Ibu : Swasta / IRT


Usia : 6 bulan Pendidikan Ayah/Ibu: SMK / SMA
Diagnosa Medis : Bronkopneumonia Agama : Islam
Suku /Bangsa : Jawa/ Indonesia Alamat : Malang
Alamat : Malang
Sumber Informasi : Keluarga dan Data Rekam Medis Pasien
Keluhan Utama : Ibu klien mengatakan klien sesak sehingga membuat klien rewel.

Riwayat Penyakit Sekarang : Klien merupakan pasien rujukan dari RS Saiful Anwar. Ibu
klien mengatakan anaknya MRS 1 hari sebelum masuk RS Dr. Soetomo dengan keluhan
sesak, demam di sertai batuk dan nafas ngik-ngik. Klien dirawat 4 hari di Ruang Respiro
Bona 2 RS Dr. Soetomo lalu pada tanggal 18 Juli 2019 klien diperbolehkan untuk pulang.
Pada tanggal 19 Juli 2019 klien di bawa ke RS Saiful Anwar dengan keluhan sesak di
sertai batuk kemudian klien di rujuk di RS Dr. Soetomo dan saat ini klien di rawat di
ruang PICU Bona 2 RS Dr. Soetomo Surabaya.

Riwayat Kesehatan Sebelumnya

Riwayat kesehatan yang lalu :


Riwayat Sakit dan Kesehatan

1. Penyakit yang pernah diderita :


Demam Kejang Batuk Pilek
Mimisan Lain-lain:
2. Operasi : Ya Tidak Tahun:
3. Alergi : Makanan Obat Udara Debu
Lainnya, Sebutkan: Klien tidak memiliki riwayat alergi.

Imunisasi : BCG (Umur 0 bulan) Polio 2x (Umur 0 bulan, 2 bulan )


DPT 2x (Umur 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan) Campak (belum
dilakukan) Hepatitis (Umur ……………)
Riwayat Nutrisi

1. Nafsu makan : Baik Tidak Mual Muntah


2. Pola makan : 2x/hari 3x/hari >3x/hari
3. Minum : Jenis: ASI jumlah :
4. Pantangan makan : Ya Tidak
5. Menu makanan :
Riwayat Pertumbuhan

1. BB saat ini : 84 Kg, TB : 67 cm, LK : tidak diukur, LD : tidak diukur, LLA : tidak
diukur
2. BB lahir : 3.800 gram, BB sebelum sakit: tidak diukur
3. Panjang lahir : 51 cm PB/TB saat ini : 67 cm
Riwayat Perkembangan
1. Pengkajian Perkembangan (DDST) :
2. Tahap Perkembangan Psikososial :
3. Tahap Perkembangan Psikoseksual :
(Brea
thing
Pern
apas

ROS
B1
an

)
Observasi dan pemeriksaan fisik (ROS : Review of System)
Keadaan umum : Baik Sedang Lemah
Tanda- tanda vital : TD : - Nadi : 130 x/menit Suhu : 37,8̊ C RR : 48 x/menit

Bentuk dada : Normal Tidak, Jenis :


Pola napas : Irama : Teratur Tidak teratur
Jenis : Dispnea Kusmaul Ceyne Stokes Lain-lain:
Suara napas : Vesiculer Ronchi Wheezing Stridor Lain-lain
Sesak napas : Ya Tidak Batuk: Ya Tidak
Retraksi otot bantu napas Ada ICS Supraklavikular Suprasternal
Tidak ada
Lain –lain : Klien terpasang ETT, menggunakan oksigen nasal 2 lpm
Masalah : Gangguan Ventilasi Spontan (D.0004)
Pola Napas Tidak Efektif (D.0005)
Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif (D.0001)

Irama Jantung : Reguler Ireguler S1/S2 Tunggal Ya Tidak


Kardiovaskuler B2 (Blood)

Nyeri Dada : Ya Tidak


Bunyi Jantung: Normal Murmur Gallop Lain-Lain
CRT : < 3 dt >3 dt
Akral : Hangat Panas Dingin Kering Dingin Basah
Lain-lain :
Masalah: Tidak ada masalah keperawatan

GCS Eye : 4 Verbal : 5 Motorik : 6


Reflek Fisiologis : Menghisap Menoleh Mengenggam Moro
Patella Triceps Biceps Lain-Lain
Refleks Patologis : Babinsky Budzinsky Kernig Lain-Lain
Lain-Lain :
Istirahat / Tidur : Gangguan Tidur:
Kebiasaan Sebelum Tidur : Minum Susu Mainan Cerita atau Dongeng
Penglihatan (Mata)
Pupil : Isokor Anisokor Lain-Lain :
Persyaratan B3 (Brain)

Sclera/Konjungtiva : Anemis Ikterus Lain-Lain :


Pendengaran/Telinga
Gangguan Pandangan : Ya Tidak Jelaskan :
Penciuman (Hidung)
Bentuk : Normal Tidak Jelaskan :
Gangguan Penciuman: Ya Tidak Jelaskan :
Masalah: Tidak ada masalah keperawatan
Kebersihan : Bersih Kotor
Urin : Jumlah : 140 cc/ hari Warna : kuning Bau: khas
Alat bantu (kateter dan lain-lain): Klien menggunakan pampers
Perkemihan B4 (Bladder)

Kandung Kencing : Membesar Ya Tidak


Nyeri Tekan Ya Tidak
Alat Kelamin : Normal Tidak Normal, Sebutkan:
Uretra : Normal Hipospadia/Epispadia
Gangguan : Anuria Oliguri Retensi Inkontinensia
Nokturia Lain-lain

Masalah: Tidak ada masalah keperawatan

Nafsu makan : Baik Menurun Frekuensi


Porsi makan : Habis Tidak Ket:
Minum : Susu Purinol intra sonde 6x45 cc Jenis : Susu

Mulut dan tenggorokan


Mulut : Bersih Kotor Berbau
Mukosa : Lembab Kering Stomatitis
Pencernaan B5 (Bowel)

Tenggorokan : Sakit /nyeri telan Kesulitan


Pembesaran tonsil Lain-lain: Klien terpasang ETT
Abdomen
Perut : Tegang Kembung Ascites Nyeri tekan,
lokasi :
Peristaltik : x/menit
Pembesaran hepar : Ya Tidak
Pembesaran lien : Ya Tidak
Buang air besar : Teratur Ya Tidak
Konsistensi : Lunak Bau: Khas Warna: Kuning
Lain-lain :

Masalah: Tidak ada masalah keperawatan


Kemampuan pergerakan sendi : Bebas Terbatas
Kekuatan otot : 2 2
Muskuloskeletal B6 (Bone &

2 2
Kulit
Integumen)

Warna kulit : Ikterus Sianotik Kemerahan Pucat Hiperpigmentasi


Turgor : Baik Sedang Jelek
Odema : Ada Tidak ada Lokasi :
Lain-lain :

Masalah: Tidak ada masalah keperawatan

Tyroid : Membesar Ya Tidak


Hiperglikemia : Ya Tidak
Hipoglikemia : Ya Tidak
Endokrin

Luka gangren : Ya Tidak


Lain-lain :
Masalah: Tidak ada masalah keperawatan

Mandi : 2 x/hari Sikat gigi :-


Keramas :- Memotong kuku :-
Personal

Hygiene

Ganti pakaian : …1../hari


Masalah: Tidak ada masalah keperawatan

Ekspresi afek dan emosi : Senang Sedih Menangis


Cemas Marah Diam
Takut Lain :
Psiko Sosio Spiritual

Hubungan dengan keluarga : Akrab Kurang akrab


Dampak hospitalisasi bagi anak : Klien tampak memperhatikan setiap orang yang
datang kepadanya.
Dampak hospitalisasi bagi orang tua : Ibu klien mengatakan tidak tega melihat kondisi
anaknya.

Masalah: Ansietas (D. 0080)


Data Penunjang (Lab, Foto, CT Scan, dll)
a. Pemeriksaan laboratorium (16 Juli 2019)
Hb : 10,3 g/dl
GDA : 125 g/dl
Na : 134
K : 3,2
b. Foto Thoraks (13 Juli 2019)
Keradangan Paru
c. Lain-lain
FOL tumor laring dd papilloma
Terapi/Tindakan lain :

1. Infus D5 ¼ NS
2. Injeksi Ampicilin 200 mg tiap 6 jam IV
3. Nebul Adrenalin 4 ampul tiap 6 jam
4. Dexametaxone 8 mg tiap 8 jam IV

DAFTAR PRIORITAS MASALAH

1. Gangguan ventilasi spontan


2. Pola napas tidak efektif
3. Bersihan jalan napas tidak efektif
4. Ansietas

Surabaya, 21 Juli 2019


Ners

(Tim Praktek Profesi B20 Bona 2)


FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN ANAK

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

ANALISA DATA

DATA ETIOLOGI MASALAH

DS: - Gangguan Ventilasi


Spontan (D.0004)

DO:

 Klien terpasang ETT


 PCO2 :
 PCO3 :
 SpO2 : 99%
 Nadi :
 Terdapat retraksi dada
 Klien tampak gelisah

DS : Ibu klien mengatakan Bronkopneumonia Pola napas tidak


anaknya sesak, rewel efektif

DO : (D. 0005)
Edema antara kapiler dan
 Klien tampak sesak alveoli
 Klien menangis
 Menggunakan O2
nasal 2 lpm
Penurunan compliance paru
 Terdengar bunyi suara
tambahan ronchi
 SPO2 : 99%
Suplai O2 menurun

Hiperventilasi

Dyspnea
Pola napas tidak efektif

DS : - Bronkopneumonia Bersihan jalan


napas tidak efektif
DO : (D.0001)
 Terdengar suara napas Peningkatan kuman pada
tambahan ronchi bronkus
 Klien batuk dan
terdapat sputum

Terjadi proses peradangan

Akumulasi sekret

Peningkatan mukus bronkus

Bersihan jalan napas tidak


efektif

DS : Ibu klien mengatakan Bronkopneumonia Ansietas (D. 0080)


tidak tega melihat kondisi
anaknya saat ini, klien
menangis terus menerus Hospitalisasi
DO:

 Ibu klien tampak Tindakan medis


cemas dan takut
 Klien menangis ketika
perawat datang
 Klien di gendong oleh Takut dan cemas
ibunya

Ansietas
DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan laringotrakeobronchitis di
tandai dengan penurunan PO2
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan bronkopneumonia ditandai
dengan dyspnea.
3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret
ditandai dengan suara ronkhi.
4. Ansietas berhubungan dengan dampak hospitalisasi ditandai dengan keluarga
takut.
FORMAT INTERVENSI KEPERAWATAN

Hari /
Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Rencana Keperawatan
tanggal

Senin, 21 1. Gangguan ventilasi Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi (I.01014)


Juli 2019 spontan b.d keperawatan selama 1x24 jam
laringotrakeobronchitis diharapkan ventilasi spontan 1. Monitor pola napas
d.d PO2 menurun 2. Monitor adanya sputum
meningkat dengan kriteria hasil :
3. Auskultasi bunyi napas
b. Dyspnea menurun (skala 5) 4. Monitor saturasi oksigen
c. Penggunaan otot bantu napas 5. Dokumentasikan hasil pemantauan
menurun (skala 5) 6. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
d. Gelisah menurun (skala 5) 7. Informasikan hasil pemantauan
e. PCO2 membaik (skala 5)
f. PO2 membaik (skala 5)
Senin, 21 2. Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Dukungan Ventilasi (I. 01002)
Juli 2019 b.d bronkopneumonia d.d keperawatan selama 1 x 24 jam
dyspnea 1. Monitor status respirasi dan oksigenasi
diharapkan pola napas membaik
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan kriteria hasil : 3. Berikan posisi yang nyaman
4. Berikan oksigenasi sesuai advice dokter
a. Dyspnea menurun (skala 5)
5. Kolaborasi pemberian bronkodilator
b. Pernapasan cuping hidung
menurun (skala 5)
c. Frekuensi napas membaik (skala
5)
Senin, 21 3. Bersihan jalan napas tidak Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas (I.01011)
Juli 2019 efektif b.d penumpukan keperawatan selama x 24 jam 1. Monitor bunyi napas tambahan
sekret d.d bunyi napas diharapkan bersihan jalan napas 2. Posisikan klien pada posisi yang nyaman
tambahan ronkhi 3. Anjurkan keluarga untuk memberikan minum
meningkat dengan kriteria hasil :
hangat
a. Mengi menurun (skala 5) 4. Berikan O2
b. Dyspnea menurun (skala 5) 5. Kolaborasi pemberian nebulizer
c. Gelisah menurun (skala 5) 6. Lakukan suctioning
d. Frekuensi napas membaik (skala 7. Evaluasi suara napas
5)
e. Pola napas membaik (skala 5)
Senin, 21 4. Ansietas b.d dampak Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas (I.09314)
Juli 2019 hospitalisasi d.d keluarga keperawatan selama x 24 jam 1. Monitor tanda-tanda ansietas
tampak takut dan cemas diharapkan tingkat ansietas menurun 2. Ciptakan suasana terapeutik
dengan kriteria hasil : 3. Pahami situasi yang membuat ansietas
4. Gunakan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan
a. Perilaku gelisah menurun (skala 5. Jelaskan prosedur tindakan terapeutik
5) 6. Jelaskan tujuan prosedur tindakan terapeutik
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

Tanggal Jam No.DX Implementasi Jam Evaluasi (SOAP) Paraf

Senin, 21 07.00 1 1. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemantauan 14.00 Diagnosa 1


Juli 2019 kepada ibu klien
R/ Ibu klien tampak mengerti dan memahami S: -
penjelasan perawat. O:
2. Memonitor tanda-tanda vital klien
R/ TD : 36/57 mmHg, HR : 150 x/menit, N : 150 Klien tampak tenang (skala TIM
x/menit, S : 36,7 C, SpO2 : 99%, RR : 35 x/menit 5)
3. Memonitor adanya sputum  Klien tampak tidak sesak
R/ Terdapat sputum (skala 5)
4. Menginformasikan hasil pemantauan kepada ibu  SpO2 : 99% (skala 5)
klien  PCO2 : (skala 2)
R/ Ibu klien tampak memahami penjelasan  PO2 : (skala 2)
perawat. A: Masalah gangguan ventilasi
5. Mendokumentasikan hasil pemantauan pada spontan belum teratasi
lembar observasi. P: Lanjutkan intervensi

1. Mempertahankan kepatenan jalan napas klien Diagnosa 2


2 R/ Klien terpasang ETT S: -
O:
 Klien tampak tidak sesak
(skala 5)
1. Menjelaskan kepada ibu klien prosedur dan tujuan
 Tidak terdapat pernapasan
3,4 tindakan suction cuping hidung (skala 5)
R/ Ibu klien tampak kooperatif dan mengerti apa  RR : 30 x/menit (skala 5)
yang dikatakan perawat. A: Masalah teratasi
P: Pertahankan intervensi
2. Melakukan suctioning
R/ Sputum dapat dikeluarkan. Diagnosa 3
3. Mengevaluasi bunyi napas klien S: -
O:
R/ Tidak terdapat bunyi napas tambahan
 Klien tampak tidak sesak
(skala 5)
 Klien tampak tenang (skala
5)
 RR : 30 x/menit
 Tidak terdapat bunyi napas
tambahan (skala 5)
A: Masalah teratasi
P: Pertahankan intervensi

08.00
1. Memonitor tanda-tanda vital klien
R/ TD : 45/67 mmHg, HR : 162 x/menit, N : 162
1 x/menit, S : 36,5 C, SpO2 : 99%, RR : 37 x/menit
2. Menginformasikan hasil pemantauan kepada ibu
09.00 klien
R/ Ibu klien tampak memahami penjelasan
perawat.
1 3. Mendokumentasikan hasil pemantauan pada lembar
observasi.

10.00
1. Memonitor tanda-tanda vital klien
R/ TD : 45/67 mmHg, HR : 162 x/menit, N : 162
x/menit, S : 36,5 C, SpO2 : 99%, RR : 37 x/menit
1 2. Menginformasikan hasil pemantauan kepada ibu
klien
R/ Ibu klien tampak memahami penjelasan perawat.
3. Mendokumentasikan hasil pemantauan pada lembar
observasi.

1. Memonitor tanda-tanda vital klien


11.00 R/ TD : 45/67 mmHg, HR : 162 x/menit, N : 162
x/menit, S : 36,5 C, SpO2 : 99%, RR : 37 x/menit
2. Menginformasikan hasil pemantauan kepada ibu
klien
1
R/ Ibu klien tampak memahami penjelasan perawat.
3. Mendokumentasikan hasil pemantauan pada lembar
observasi.

1. Memonitor tanda-tanda vital klien


12.00 R/ TD : 45/67 mmHg, HR : 162 x/menit, N : 162
x/menit, S : 36,5 C, SpO2 : 99%, RR : 37 x/menit
2. Menginformasikan hasil pemantauan kepada ibu
klien
R/ Ibu klien tampak memahami penjelasan perawat.
1 3. Mendokumentasikan hasil pemantauan pada lembar
observasi.

1. Memonitor tanda-tanda vital klien


R/ TD : 45/67 mmHg, HR : 162 x/menit, N : 162
x/menit, S : 36,5 C, SpO2 : 99%, RR : 37 x/menit
13.00 2. Menginformasikan hasil pemantauan kepada ibu
klien
R/ Ibu klien tampak memahami penjelasan perawat.
3. Mendokumentasikan hasil pemantauan pada lembar
observasi.
1
1. Memonitor tanda-tanda vital klien
R/ TD : 45/67 mmHg, HR : 162 x/menit, N : 162
x/menit, S : 36,5 C, SpO2 : 99%, RR : 37 x/menit
2. Menginformasikan hasil pemantauan kepada ibu
14.00 klien
R/ Ibu klien tampak memahami penjelasan perawat.
3. Mendokumentasikan hasil pemantauan pada lembar
observasi.
1
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian

Ibu pasien mengatakan anaknya sering mengalami demam tinggi dan sulit
turun selama 3 bulan ini, sering keluar masuk rumah sakit dengan penyakit yang
sama, ketika suhu anak panas, anak sering mengalami kejang, kemudian anak s.
mengalami penurunan kesadaran dan dibawa ke rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya
oleh keluarga dan saat ini di rawat di ruang Bona 2 ruang Neurologi

Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 17 juni 2019, didapatkan hasil


bahwa anak s. berusia 9 bulan, mengalami penurunan kesadaran dengan GCS: E:4,
V:3, M:4, selain itu demam yang sulit turun dengan suhu Suhu: 38,9 0C, dan sempat
pukul 13.00 suhu pasien 40,2 0C yang mengakibatkan pasien mengalami kejang
sampai 3 kali. Anak s. mengalami sesak napas dan menggunakan nasal canul 2 lpm,
terdapat otot-otot bantu pernapasan yaitu restraksi intercostea, terdapat bunyi suara
napas tambahan yaitu wheezing dan SPO2: 96%, selain itu bu pasien mengatakan
bahwa anaknya sulit makan dan hanya dapat mengkonsumsi susu, ketika dikaji
didapatkan hasil, antopoemetri BB: 4,7 Kg, TB: 72 cm, LK: 39 cm, BB ideal: 8 kg-
8,9 kg, Biokemia: HB: 10,0 g/dl, Cimia Clinis: badan kecil, rambut tidak merata
dan berwarna kuning, terpasang selang NGT, dietari: makan minum melalui sonde
diet susu formula 8x30 ml= 240 ml, pasien muntah 1x.

Prevalensi kejang sekitar 2– 5% pada anak balita. Umumnya terjadi pada


anak umur 6 bulan sampai 5 tahun. Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi,
diantaranya; usia, jenis kelamin, riwayat kejang dan epilepsi dalam keluarga, dan
normal tidaknya perkembangan neurologi. Menurut Nadirah (2011), di antara
semua usia, bayi yang paling rentan terkena step atau kejang demam berulang.
Risiko tertinggi pada umur di bawah 2 tahun, yaitu sebanyak 50% ketika kejang
demam pertama. Sedang bila kejang pertama terjadi pada umur lebih dari 2 tahun
maka risiko berulangnya kejang sekitar 28%. Selain itu, dari jenis kelamin juga
turut mempengaruhi. Meskipun beberapa penelitian melaporkan bahwa anak laki-
laki lebih sering mengalami kejang demam dibanding anak perempuan, namun
risiko berulangnya kejang demam tidak berbeda menurut jenis kelamin. Riwayat
kejang dalam keluarga merupakan risiko tertinggi yang mempengaruhi berulangnya
kejang demam, yaitu sekitar 50-100%, dan anak-anak yang mengalami
keterlambatan perkembangan neurologi meningkatkan risiko terjadinya kejang
demam berulang (Adhar Arifuddin, 2012).

Ditinjau dari segi usia, meningitis bakterial lebih sering ditemukan pada
anak usia 6- 12 bulan yang mengalami kejang demam pertama. Temuan tersebut
harus mendapat perhatian khusus karena pada anak berusia muda tanda dan gejala
meningitis seringkali tidak khas sehingga sulit membedakan apakah kejang demam
yang terjadi merupakan tanda dan gejala meningitis atau bukan meningitis.
(Anggraini Alam, 2011). Tanda dan gejala anak menderita penyakit
meningoensefalitis biasanya hampir sama dengan tanda dan gejala anak menderita
meningitis dan ensefalitis (Brunner & Suddarth, 2013) diantaranya adalah: Sakit
kepala dan demam yang tidak turun-turun sering kali menjadi gejala awal, sakit
kepala biasanya tak kunjung hilang, Iritasi meningeal memunculkan sejumlah tanda
lain yang dikenali dengan baik sebagai tanda umum semua jenis meningitis: Kaku
kuduk adalah tanda awal, Tanda kernig positif: ketika berbaring dengan paha
difleksikan pada abdomen, pasien tidak dapat mengekstensikan tungkai secara
komplit, Tanda brudzinski positif: memfleksikan leher pasien menyebabkan fleksi
lutut dan pinggul, dan juga kejang dapat terjadi dan merupakan akibat dari area
iritabilitas di otak serta biasanya disertaai penurunan kesadaran.

Meningitis adalah suatu penyakit yang terjadi karena peradangan atau


infeksi pada sistem selaput pelindung otak dan sumsum tulang belakang. Meningitis
dan meningoensafalitis infeksiosa dapat disebabkan oleh berbagai agen seperti
bakteri, mikobakteria, jamur, dan virus. Meningitis, merupakan masalah yang
serius sehingga dibutuhkan cara yang akurat dan efisien untuk menegakkan
diagnosis (Mansjoer A. 2010). Penyebab utama meningitis pada anak adalah
Haemophilus influenzae tipe B (Hib) dan Streptococcus pneumoniae (invasive
pneumococcal diseases/IPD). Insidens meningitis bakterialis di negara maju sudah
menurun sebagai akibat keberhasilan imunisasi Hib dan IPD.
4.2 Diagnosa Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif (D.0005)


DS: Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya mengalami sesak napas

DO: RR: 68x/ menit, terdapat otot-otot bantu pernapasan yaitu restraksi
intercostea, terdapat bunyi suara napas tambahan yaitu wheezing, SPO2:
96%, terpasang nasal canul 2 lpm

2. Hipertermia (D.0131)
DS: ibu pasien mengatakan bahwa anaknya mengalami panas dan sulit turun

DO: Suhu: 38,9 0C, Pasien menggigil, Kejang 3x dalam 24 jam

3. Resiko Perfusi serebral tidak efektif (D.0017)


DS: ibu pasien mengatakan anaknya seperti tidur terus tanpa sadar-sadar
DO: GCS: E:4, V:3, M:4, Kejang 3x, Tidak terdapat reflek patologis seperti:
kaku kuduk, Babinski dan brudzinski.
4. Defisit Nutrisi (D.0019)
DS: Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya sulit makan dan hanya dapat
mengkonsumsi susu
DO: Antopoemetri: BB: 4,7 Kg, TB: 72 cm, LK: 39 cm, BB ideal: 8 kg-8,9 kg,
Biokemia: HB: 10,0 g/dl, Cimia Clinis: badan kecil, rambut tidak merata dan
berwarna kuning, terpasang selang NGT. Dietari: makan minum melalui sonde
diet susu formula 8x30 ml= 240 ml, pasien muntah 1x
5. Resiko Cedera (D.0136)
DS: ibu pasien mengatakan anak nya sering mengalami kejang
DO: Pasien mengalami kejang 3x pada hari ini, Pasien mengalami
penurunan kesadaran
6. Ansietas (D.0080)
DS: ibu pasien merasa khawatir dengan kondisi anaknya, dan bingung
karena anaknya sering keluar masuk rumah sakit.
DO: Ekspresi wajah tampak bingung, Tampak gelisah
4.3 Rencana Tindakan Keperawatan

Terdapat beberapa rencana tindakan keperawatan di dalam Standar


Intervensi Keperawatan Indonesia (2018) yang diterapkan pada klien, dan secara
umum tahap perencanaan tinjauan kasus mengacu pada tinjauan teori, tetapi tetap
disesuaikan dengan keadaan, situasi, dan kondisi klien. Sehingga tidak semua
perencanaan keperawatan yang ditetapkan dari teori dapat diterapkan pada kasus.
Sehingga pada tahap perencanaan terdapat kesamaan antara teori dan kasus.

4.4 Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

Pada diagnose pola napas tidak efektif tindakan asuhan keperawatan yang
dapat dilakukan adalah manajemen jalan napas. Menurut SIKI (2018) salah
satu tindakan asuhan keperawatan pada anak dengan masalah pernapasan adalah
dengan memberikan posisi semi fowler karena dapat meningkatkan ventilasi dan
kolaborasi dalam pemberian oksigen. Infeksi mikroorganisme pada saluran napas
menyebabkan reaksi inflamasi dengan memproduksi mukus yang banyak sehingga
kebutuhan oksigenisasi terganggu. Kebutuhan oksigenisasi merupakan kebutuhan
fisiologis dasar bagi semua manusia untuk kelangsungan hidup sel dan jaringan
serta metabolisme tubuh. Selanjutnya dikatakan kebutuhan oksigen pada anak lebih
tinggi dari orang dewasa, pemenuhan kebutuhan oksigen sangat ditentukan oleh
keadekuatan sistem pernapasan dan sistem kardiovaskuler. (Wilson, 2006). Untuk
mencapai kenyamanan maka pemenuhan kebutuhan oksigen pasien harus seimbang
antara oksigen yang masuk dan karbondiksida yang dikeluarkan. Kenyamanan
harus menjadi perhatian bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien yang mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi

Pada diagnose hipertermia, tindakan asuhan keperawatan yang dapat


dilakukan adalah dengan cara manajemen hipertermia. Menurut SIKI (2018)
tindakan keperawatan yang dapat dilakukan apabila pasien mengalami demam
adalah dengan melakukan pendinginan eksternal (misalnya kompres dingin pada
dahi, ketiak, leher, dada dan abdomen). Demam pada Menengioensefalitis terjadi
karena adanya stimulus infeksi. Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan reaksi
inflamasi. Reaksi inflamasi tersebut akan merangsang keluarnya zat pirogen, seperti
endogen dan eksogen (bradikinin, serotonin, prostaglandin, dan histamin), zat
tersebut mempengaruhi pengatur suhu tubuh di hipotalamus. Kejadian selanjutnya
menyebabkan peningkatan suhu tubuh hingga terjadi demam. Proses demam
merupakan gangguan proses adaptasi tubuh, dari proses adaptasi jika didukung
dengan intervensi yang tepat dapat menghasilkan respon yang adaptif, namun
sebaliknya jika tidak maka dapat terjadi respon maladaptif (Arifianto, 2013).

Pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke


hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Sistem efektor mengeluarkan sinyal
untuk berkeringat dan vasodilatasi perifer. Terjadinya vasodilatasi ini
menyebabkan pembuangan energi / panas melalui keringat, sehingga suhu tubuh
menurun. Manfaat kompres hangat ini adalah menurunkan suhu tubuh dan memberi
rasa nyaman (Corwin, 2007). Sponge bath adalah suatu metode kompres untuk
menurunkan suhu dengan menggunakan air suhu ruangan (20-25°C) atau hangat
(suhu 29-32 °C) dengan cara membilas seluruh tubuh menggunakan waslap.
Dengan sponge bath sinyal dikirim ke hipotalamus posterior sehingga kulit
mengalami vasokontriksi, suhu tubuh diserap pori – pori kulit dan suhu tubuh
menurun.

Pada diagnose resiko perfusi cerebral tidak efektif, tindakan asuhan


keperawatan yang dilakukan menurut SIKI (2018) adalah monitor tanda dan gejala
peningkatan TIK (misalnya: bradikardi, kedaran menurun, tekanan nadi melebar),
monitor status pernapasan status pernapasan, monitor intake dan output cairan,
Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang, berikan posisi
semi fowler, dolaborasi dalam pemberian terapi sedasi dan antikonvulsan, misalnya
(diazepam, fenitoin).

Pada diagnose resiko cedera intervesi yang dilakukan oleh perawat adalah
melakukan menejemen pencegahan resiko cedera pada anak seperti memberikan
edukasi kepada orang tua agar selalu didekat anak, memastikan tempat tidur dalam
keadaan terkunci, memastikan bahwa pagar pengaman sudah terpasang. Selain itu
menganjurkan orangtua untuk selalu mengkompres anaknyaketika mengalami
demam. Karena kita ketahui bahwa ketika suhu tubuh panas akan meningkatkan
resiko terjadinya kejang pada anak. Menurut penelitian dari Adhar Arifuddin,
(2012), kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi
suhu tubuh pada saat timbul kejang merupakan nilai ambang kejang. Ambang
kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38,3°C– 41,4°C. Adanya
perbedaan ambang kejang ini menerangkan mengapa pada seorang anak baru
timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak
yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi. Dari
kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih
sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah dan mengalami demam
yang tinggi.

4.5 Evaluasi Keperawatan

Tahap evaluasi yang dilakukan dalam proses keperawatan adalah


menggunakan SOAP. Masalah keperawatan yang diterapkan sudah teratasi dengan
adanya bukti yang menunjukkan peningkatan atau perubahan keadaan dan kondisi
klien. Kemudian jika sudah teratasi klien keluar rumah sakit dengan diberikan
edukasi mengenai jadwal kontrol yang sesuai, menganjurkan meminum obat sesuai
dengan jadwal yang diberikan, dan menjalankan diet sesuai dengan yang telah
dianjurkan.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, yang
merupakan gabungan dari meningitis dan ensefalitis. Pada anak-anak dapat terjadi
peradangan pada otak karena bakteri mudah masuk ke tubuh anak-anak yang
memiliki imun rendah. Meningonesefalitis yang disebabkan oleh virus dapat masuk
ke tubuh manusia melalui saluran nafas, anak-anak juga mudah terserang penyakit
saluran nafas.
Kasus yang terjadi pada anak S yakni meningoensefalitis karena bakteri
dan virus yang menyebabkan anak demam tinggi, sulit turun suhunya sehingga
menyebabkan kejang berulang. Hingga anak mengalami penurunan kesadaran. Dari
kasus diatas didapatkan masalah keperawatan priorotas yakni pola nafas tidak
efektif, hipertemia, resiko perfusi serebral tidak efektif, deficit nutrisi, resiko
cedera, dan ansietas. Tindakan keperawatan prioritas yang dilakukan yakni
mengenai masalah pola nafas tidak efektif, hiperterni, dan resiko keperfusi cerebral
tidak efektif.
Implementasi yang dilakukan perawat yakni selama 3 hari mengenai pola
nafas tidak efektif yakni memberikan posisi semi fowler, memberikan oksigen nasal
kanul 2 lpm, mengkolaborasikan pemberian obat bronkodilator, memonitor
keadaan pola nafas, bunyi nafas klien. Masalah keperawatan hipertermi perawat
melakukan tindakan yakni memonitor suhu klien, mengompres hangat klien, dan
menganjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian tipis atau melepaskan pakaian
klien, melaakukan kolaborasi pemberian obat analgesic. Masalah keperawatan
resiko perfusi serebral tidak efektif yakni perawat melakukan tindakan keperawatan
yakni memonitor tanda peningkatan TIK, memonitor intake dan output cairan,
melakukan kolaborasi pemberian obat sedasi. Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 hari masalah belum teratasi dan perawat melanjutkan
intervensi yang telah direncanakan untuk mengurangi gejala masalah.
5.2 Saran
1. Bidang akademik
Makalah ini dapat digunakan sebagai referensi dalam pembuatan asuhan
keparawatan anak dengan meningoensefalitis. Dapat digunakan juga sebagai
bahan penelitian lebih lanjut.
2. Bidang pelayanan
Menganalisis derajat keparahan meningoensefalitis pada anak supaya dapat
mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat meningonefalitis.
3. Keluarga klien
Sebagai referensi dalam perawatan anak dengan meningoensefalitis ketika
keluarga harus merawat klien di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Zoorob R, Sidani M, Murray J. Croup: An Overview. American Family
Physician 2011; 83 (9). p. 1067-1072.
2. Rajapaksa S, Starr M, Croup assessment and management. Austr Fam
Physician. 2010;38(5):280-2.
3. Malhotra, Amisha and Leonard R. Krilo. 2017. Viral Croup. American
Academy od Pediatric : April 2017. Diunduh tanggal 22 April 2017.
http://pedsinreview.aappublications.org/content/pedsinreview/22/1/5.full.pdf
4. Hiebert JC, Zhao YD, Willis EB. Bronkhoscopy finding in recurrent croup: a
sytematic review and meta-analisis. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.
2016;90:86-90
5. Kartasasmita CB, Suardi AU, Nataprawira HM, Sudarwati S, Wulandari DA.
Respirologi. Dalam: Garna H, Nataprawira HM, editor. Pedoman Diagnosis
dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-4. Bandung: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokeran Universitas Padjadjaran- RSUP Dr.
Hasan Sadikin; 2012. h. 779-880 5. Yangtjik K, D
6. Yangtjik K, Dadiyanto DW. Croup (Laringotrakeobronkitis). Dalam:Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. Hlm.320-329
7. Meck. 2015. LP BRONKOPNEUMONIA. ( online ).
http://dokumen.tips/documents/lp-bronkopneumonia-55bd18c4ed6a1.html.
Diakses tanggal 3 november 2016
8. Febrianto,lukman. 2013. laporan pendahuluan
bronchopneumonia.(online).http://lukmanfebriantonurse.blogspot.co.id/2013/
04/laporan-pendahuluan-asuhan-keperawatan_3741.html. diakses tgl 3
november 2016
9. Putra, Juniarta semara. 2012.laporan pendahuluan bronchopneumonia
(online).https://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/11/08/laporan-
pendahuluan-bronkopneumonia/. Diakses tanggal 3 november 2016
10. Agus, setiawan. 2014. Laporan pendahuluan
bronchopneumonia.(online).http://www.academia.edu/9555933/LAPORAN_
PENDAHULUAN_BRONKOPNEUMONIA. Diakses tanggal 3 november
2016
Lampiran 1

PEMERIKSAAN PENUNJANG
HASIL PEMERIKSAAN URINE LENGKAP
Tanggal Pemeriksaan : 17 Juni 2019 13.05

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


Berat Jenis (SG) 1,021 1,003 – 1, 030
pH 6,0 4,5- 8,0
Lekosit Negative Negative
Nitrit Negative Negative
Protein Negative Negative
Glukosa Negative Negative
Keton +/- Negative
Urobilinogen 0,2 mg/dl 1,0
Bilirubin Negative Negative
Warna Dark
Yellow
Kejernihan Clear
Eritrosit (Darah) Negative Negative
ALBUMIN:CREAT (A:C) 150 mg/g <30 mg/g
PROTEIN:CREAT (P:C) 300 mg/g <50 mg/g
RBC 9,7 /uL M: <=17 F: <=17
RBC* 1,7 /HPF M: <=3 F: <=3
WBC 5,8 /uL M: <=11 F: <=17
WBC* 1,0 /HPF M: <=2 F: <=3
EC 6,1 /uL M: <=6 F: <=39
EC* 1,1 /HPF M: <=1 F: <=7
CAST 1,69 /uL M: <=1,38 F: <=1,38
CAST* 4,9 /HPF M: <=4 F: <=4
BACT 292,2 /uL M: <=26,4 F: <=130,7
BACT* 2,9 10^5/mL M: <=2,64x10^4
F: <=13,07x10^4
HASIL PEMERIKSAAN KIMIA KLINIK
Tanggal Pemeriksaan : 18 Juni 2019 10.15

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


BUN 6,0 mg/dL 7- 18
Kreatinin Serum 0,21 mg/dL 0,6 – 1,3
Kalium 3,7 mmol/l 3,5 – 5,1
Natrium 129,0 mmol/l 136 – 145
Klorida 94,0 mmol/l 98 – 107
Kalsium 7,8 mg/dL 8,5 – 10,1

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


HGB 10,0 g/dL L: 13,3-16,6 P: 11,0-14,7
RBC 4,15 10^6/uL 3,69 - 5,46
HCT 30,0 % L: 41,3-52,1 P: 35,2-46,7
MCV 72,3 fL 86,7 – 102,3
MCH 24,1 pg 27,1 – 32,4
MCHC 33,3 g/dL 29,7 – 33,1
RDW-SD 42,1 fL 41,2 – 53,6
RDW-CV 16,1 % 12,2 – 14,8
EO% 0,1 % 0,6 – 5,4
BASO% 0,3 % 0,3 – 1,4
NEUT% 67,7 % 39,8 – 70,5
LYMPH% 25,3 % 23,1 – 49,9
MONO% 6,6 % 4,3 – 10,0

EO# 0,02 10^3/uL 0 -0,5


BASO# 0,04 10^3/uL 0 – 0,15
NEUT# 9,99 10^3/uL 1,26 – 7,3
LYMPH# 3,74 10^3/uL 0,8 – 4,0
MONO# 0,97 10^3/uL 0,1 – 0,8
IG% 0,5 %
IG# 0,07 10^3/uL
PLT 103 10^3/uL 150 -450
PDW 12,3 fL 9,6 – 15,2
MPV 10,5 fL 9,2 – 12,0
P-LCR 28,8 % 19,7 – 42,4
PCT 0,11 % 0,19 – 0,39
HASIL PEMERIKSAAN GAS DARAH
Tanggal Pemeriksaan : 17 Juni 2019 09.34

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


pH 7,32 7,35 – 7,45
pCO2 34 mmHg 35 – 45
pO2 166 mmHg 80 – 100
TCO2 18,5 mmol/l 23 – 30
SO2c 99 % 94 – 98
HCO3- 17,5 mmol/l 22,0 – 26,0
Temp 37,0 C 0,00 – 0,00

HASIL PEMERIKSAAN KIMIA KLINIK


Tanggal Pemeriksaan : 19 Juni 2019 09.34

Parameter Hasil Satuan Rujukan


GDA 83 mg/dL <100
Kalium 2,9 mmol/l 3,5 – 5,1
Natrium 134,0 mmol/l 136 – 145
Klorida 98,0 mmol/l 98 – 107
Kalsium 8,4 mmol/l 8,5 – 10,1

Anda mungkin juga menyukai