Anda di halaman 1dari 16

Referat Junior Gastroenterohepatologi

Hepatitis Virus Pada Anak Dan Komplikasinya

Oleh:

Afriliana Mulyani

Pembimbing:
dr. Ninung Rose DK,Msi. Med Sp.A(K)
dr. Juwita Pratiwi, Sp.A

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 ILMU


KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Hepatitis virus adalah infeksi sistemik yang menyerang hati. Hepatitis virus
masih merupakan masalah kesehatan utama, baik di negara yang sedang
berkembang maupun negara maju. Virus penyebab adalah hepatitis virus A (HAV),
hepatitis virus B (HBV), hepatitis virus C (HCV), hepatitis virus D (HDV), hepatitis
virus E (HEV), dan hepatitis virus G (HGV).1
Infeksi virus hepatitis merupakan infeksi yang berupa inflamasi dan atau
nekrosis hepatosit serta infiltrasi panlobular oleh sel mononukleus (sel MN).
Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, saat ini identifikasi dan pengertian
patogenesis hepatitis virus menjadi lebih baik. Semua memberi gejala klinis yang
sama, mulai dari asimptomatik hingga ke hepatitis fulminan dan kematian adalah
sama bagi. Kecuali hepatitis virus G yang memberikan gejala sangat ringan, semua
infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis dapat berlanjut dalam bentuk subklinis
atau penyakit hati yang progresif dengan komplikasi sirosis atau timbulnya
karsinoma hepatoselular, yang dikenal dengan hepatoma. Virus hepatitis A dan
virus hepatitis E tidak menyebabkan penyakit kronis sedangkan virus hepatitis B,D
dan C dapat menyebabkan infeksi kronis. Petanda adanya kerusakan hati
(hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama
peningkatan alanin aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi baik
dengan beratnya nekrosis pada sel-sel hati.1,2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hepatitis A
Virus Hepatitis A menyebar secara fecal-oral. Seseorang dapat terkena
Hepatitis A saat memakan sesuatu yang telah terkontaminasi oleh kotoran
orang yang telah terinfeksi virus ini. Hal ini bisa terjadi dengan berbagai cara.
Misalnya saat orang yang telah terinfeksi menyiapkan/memasak makanan
untuk orang lain tanpa mencuci tangan terlebih dahulu dengan baik.
Seseorang pun bisa terkena Hepatitis A lewat minuman yang terkontaminasi
dengan virus ini. Virus Hepatitis A lebih mudah menyebar di area yang
kebersihannya kurang terjaga.3

a. Virologi
Hepatitis Virus A (HAV) adalah noneveloped virus berukuran 27
nm dan merupakan RNA virus rantai tunggal, dari famili picornavirus,
terdiri dari satu serotipe, tiga atau lebih genotipe, bereplikasi di sitoplasma
hepatosit yang terinfeksi. Kerusakan hepar yang terjadi disebabkan karena
mekanisme imun yang diperantai sel-T.1 Host infeksi HAV sangat
terbatas, hanya manusia dan beberapa primata yang dapat menjadi host
alamiah. Karena tidak ada keadaan karier, infeksi HAV terjadi melalui
transmisi serial dari individu yang terinfeksi ke individu lain yang rentan,
melalui rute fekal-oral. Virus yang tertelan bereplikasi di intestinum dan
bermigrasi melalui vena porta ke hepar dengan melekat pada reseptor viral
yang ada di membran hepatosit. HAV matur yang sudah bereplikasi
kemudian diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama feses. 1,2
Penyakit Hepatitis A ini merupakan penyakit endemis di beberapa
negara berkembang. Selain itu merupakan hepatitis yang ringan, bersifat
akut, sembuh spontan/ sempurna tanpa gejala sisa dan tidak menyebabkan
infeksi kronik. Sumber penularan umumnya terjadi karena pencemaran air
minum, makanan yang tidak dimasak, makanan yang tercemar, sanitasi
yang buru, dan personal hygiene rendah.4

b. Epidemiologi
Di negara berkembang dimana HAV masih endemis (Afrika,
Amerika Selatan, Asia Tengah, dan Asia Tenggara) paparan terhadap
HAV hampir 100% pada anak 10 tahun. Di Indonesia prevalensi di Jakarta,
Bandung, dan Makassar berkisar antara 35-45% pada usia 5 tahun, dan
mencapai lebih dari 0% pada usia 30 tahun. Di Papua pada umur 5 tahun
prevalensi anti HAV mencapai hampir 100%. Pada tahun 2008 terjadi
outbreak yang terjadi disekitar kampus universitas Gadjah Mada yang
menyerang lebih dari 500 penderita, yang diduga berasal dari pedagang
kaki lima yang berada sekitar kampus. Di negara maju prevalensi anti
HAV pada populasi umum di bawah 20% dan usia terjadinya infeksi lebih
tua daripada negara berkembang.2

c. Patofisiologi
Diawali dengan masuknya virus kedalam saluran pencernaan,
kemudian masuk ke aliran darah menuju hati melalui vena porta, lalu
menginvasi ke hepatosit, dan bereplikasi sehingga menyebabkan sel
hepatosit menjadi rusak. Setelah itu virus akan keluar dan masuk kedalam
ductus biliaris yang akan dieksresikan bersama feses. Hepatosit yang telah
rusak akan merangsang reaksi inflamasi yang ditandai dengan adanya
agregasi makrofag, pembesaran sel kupfer yang akan menekan ductus
biliaris sehingga aliran bilirubin direk terhambat, kemudian terjadi
penurunan ekskresi bilirubin ke usus. Keadaan ini menimbulkan
ketidakseimbangan antara uptake dan eksresi bilirubin dari sel hati
sehingga bilirubin yang telah mengalami proses konjugasi (direct) akan
terus menumpuk dalam sel hati yang akan menyebabkan refluks ke
pembuluh darah sehingga akan bermanifestasi kuning (ikterus) pada
jaringan kulit terutama pada sklera, dan kadang disertai rasa gatal dan air
kencing menjadi berwarna teh pekat akibat partikel bilirubin direk
berukuran kecil sehingga dapat masuk ke ginjal dan dieksresikan melalui
urin. Akibat bilirubin direk yang kurang dalam usus mengakibatkan
gangguan dalam produksi asam empedu, karena produksinya menurun,
sehingga proses pencernaan lemak terganggu, dan lemak akan bertahan
dalam lambung dengan waktu yang cukup lama, dan menyebabkan
regangan pada lambung sehingga merangsang saraf simpatis dan
parasimpatis mengakibatkan teraktifasinya pusat muntah yang berada di
medula oblongata dan menyebabkan timbulnya gejala mual, muntah, dan
menurun nya nafsu makan.5
Jejas pada hepatitis akut disebabkan oleh beberapa mekanisme.
Pertama merupakan refleksi jejas pada hepatosit, yang melepaskan alanin
aminotransferase (ALT, atau serum glutamat piruvat transaminase) dan
aspartat aminotransferase (AST, dahulu serum glutamatoksaloasetat
transaminase) ke dalam aliran darah. ALT lebih spesifik pada hati daripada
AST, yang juga dapat naik sesudah cedera pada eritrosit, otot skelet, atau
sel miokardium. Tingginya kenaikan tidak berkorelasi dengan luasnya
nekrosis hepatoseluler dan nilai prognostik kecil. Pada beberapa kasus,
penurunan kadar aminotransferase dapat meramalkan hasil yang jelek jika
penurunan terjadi bersama dengan kenaikan bilirubin dan waktu
protrombin yang memanjang (prothrombine time/PT). Kombinasi temuan
ini menunjukkan bahwa cedera hati masif telah terjadi, menyebabkan
sedikit berfungsinya hepatosit. Enzim lain, laktat dehidrogenase bahkan
kurang spesifik terhadap hati daripada AST dan biasanya tidak membantu
dalam evaluasi cedera hati.
Hepatitis virus juga disertai dengan ikterus kolestatik, dimana
kadar bilirubin direk maupun indirek naik. Ikterus akibat obstruksi aliran
saluran empedu dan cedera terhadap hepatosit. Kenaikan alkali fosfatase
serum, 5'-nukleotidase, -glutamil ɣ transpeptidase, dan urobilinogen
semua dapat merefleksikan cedera terhadap sistem biliaris. Kelainan
sintesis protein oleh hepatosit digambarkan oleh kenaikan PT. Karena
protein ini waktu paruhnya pendek, PT adalah indikator cedera pada hati
yang sensitif. Albumin serum adalah protein serum lain yang dibuat-hati,
tetapi waktu paruhnya yang panjang membatasi relevansinya untuk
pemantauan cedera hati akut. Kolestasis menyebabkan penurunan
kumpulan asam empedu usus dan pengurangan penyerapan vitamin larut-
lemak. Cedera hati dapat juga menyebabkan perubahan pada karbohidrat,
ammonia dan metabolisme obat.6

d. Manifestasi Klinis
Gejala muncul secara mendadak: panas, mual, muntah, anoreksia,
dan nyeri perut. Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan
jarang dikenali, jarang terjadi icterus (30%). Sebaliknya pada orang
dewasa yang terinfeksi HAV, hampir semuanya (70%) simtomatik dan
dapat menjadi berat. Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu: 2
1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (+ 28 hari)
2. Masa prodomal, terjadi selama 4 hari - 1 minggu atau lebih.
Gejala: fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual,
muntah, rasa tidak nyaman di daerah kanan atas, demam
(biasanya < 39°C). Merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti
flu. Tanda yang ditemukan biasanya hepatomegali ringan
dengan nyeri tekan.
3. Fase ikterik, dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua,
seperti teh, diikuti oleh feses yang berwarna seperti dempul,
kemudian warna sclera dan kulit perlahan-lahan menjadi
kuning. Gejala anoreksia, lesu, mual dan muntah bertambah
berat.
4. Fase penyembuhan, ikterus menghilang dan warna feses
kembali normal dalam 4 minggu setelah onset.
Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian besar
penderita sembuh total, tetapi relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan.
Tidak dikenal adanya viremia persisten maupun penyakit kronis.2
Terdapat 5 macam gejala klinis: 2
1. Hepatitis A klasik
Penyakit timbul secara mendadak didahului gejala
prodromal sekitar 1 minggu sebelum jaundice. Diderita
oleh + 80% dari penderita simtomatis. IgG anti-HAV pada
bentuk ini mempunyai aktivitas yang tinggi, dan dapat
memisahkan IgA dari kompleks IgA-HAV, sehingga dapat
dieliminasi oleh sistem imun, untuk mencegah terjadinya
relaps.
2. Hepatitis A relaps
Terjadi pada 4-20% penderita simtomatis. Timbul 6-10
minggu setelah dinyatakan sembuh secara klinis.
Kebanyakan terjadi pada umur 20-40 tahun. Gejala klinis
dan laboratoris dari serangan pertama bisa sudah hilang
atau masih ada sebagian sebelum timbulnya relaps. Gejala
relaps lebih ringan daripada bentuk pertama.
3. Hepatitis kolestatik
Terjadi pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan
pemanjangan gejala hepatitis dalam beberapa bulan disertai
panas, gatal-gatal, dan jaundice. Pada saat ini kadar AST,
ALT, dan ALP secara perlahan turun ke arah normal tetapi
kadar bilirubin serum tetap tinggi.
4. Hepatitis A protracted
Pada bentuk protracted (8,5%), clearance dari virus terjadi
perlahan sehingga pulihnya fungsi hati memerlukan waktu
yang lebih lama, dapat mencapai 120 hari. Pada biopsi
hepar ditemukan adanya inflamasi portal dengan piecemeal
necrosis, periportal fibrosis, dan lobular hepatitis.
5. Hepatitis A fulminant
Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk ini paling berat dan
dapat menyebabkan kematian. Ditandai dengan
memberatnya ikterus, ensefalopati, dan pemanjangan
waktu protombin. Biasanya terjadi pada minggu pertama
saat mulai timbulnya gejala. Penderita usia tua yang
menderita penyakit hati kronis (HBV dan HCV) berisiko
tinggi untuk terjadinya bentuk fulminan ini. 2
Pada hepatitis A ini resiko menjadi hepatitis fulminant lebih
besar, semakin muda usia anak semakin mudah untuk
menjadi hepatitis fulminant. Parameter laborat dianalisis
dimana terdapat peningkatan ALT dan AST
>200IU/dl,peningkatan bilirubin direk dan total 21,2mg/dl
dan 0,1-0,4 mg/dl. Peningkatan ALP>350 IU/L,
Pemanjangan INR>1,5x, Total Lymposit Count >
11000/mm3 atau <5000/mm3.Albumin <35 g/L,
GDS<54mg/dl.7
e. Diagnosis
Diagnosa hepatitis A dapat dilihat dari pemeriksaan laboratorium
dari pemeriksaan serologi IgM anti-HAV, antibodi ini ditemukan 1-2
minggu setelah terinfeksi dan bertahan dalam waktu 3-6 bulan. Sedangkan
untuk pemeriksaan IgG anti-HAV dapat dideteksi dalam waktu 5-6
minggu setelah terinfeksi dan bertahan sampai beberapa dekade, bahkan
memberi proteksi terhadap HAV seumur hidup. Pemeriksaan ALT dan
AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai 5000
U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat penyakit.
Pemanjangan waktu protrombin mencerminkan nekrosis sel yang luas
seperti pada bentuk fulminan.2
f. Penatalaksanaan
Indeksi akut dapat dicegah dengan pemberian imunoglobulin
dalam 2 minggu setelah terinfeksi atau menggunakan vaksin. Penderita
hepatitis A akut dirawat secara rawat jalan, dengan indikasi muntah hebat,
dehidrasi dengan kesulitan masukan per-oral, kadar SGOTSGPT>10 kali
nilai normal, koagulopati, dan ensefalopati.6 Pengobatan meliputi istirahat
dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya asetaminofen.
Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka
pendek. Pada tipe fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif
dengan evaluasi waktu protombin secara periodik. Parameter klinis untuk
prognosis yang kurang baik adalah:
1. Pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik
2. Umur penderita kurang dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun
3. Kadar bilirubin serum lebih dari 17mg/dl atau waktu sejak
dari ikterus menjadi ensefalopati lebih dari 7 hari.2,3

g. Pencegahan
Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A
maka pencegahan lebih diutamakan, terutama terhadap anak di daerah
dengan endemisitas tinggi dan pada orang dewasa dengan risiko tinggi
seperti umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit hati kronis.
Pencegahan umum meliputi nasehat kepada pasien yaitu : perbaikan
hygiene makanan-minuman, perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi
dan isolasi pasien (sampai dengan 2 minggu sesudah timbul gejala).
Pencegahan khusus dengan cara imunisasi. Terdapat 2 bentuk imunisasi
yaitu imunisasi pasif dengan immunoglobulin, dan imunisasi aktif dengan
inactivated vaccines (Havrix, Vaqta dan Avaxim).2
1. Imunisasi Pasif
Indikasi pemberian imunisasi pasif:2
a. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita
b. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila
didapatkan seorang penderita atau keluarganya
menderita hepatitis A.
c. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui
menderita hepatitis A.
d. Individu dari negara dengan endemisitas rendah
yang melakukan perjalanan ke negara dengan
endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4
minggu. IG juga diberikan pada usia dibawah 2
tahun yang ikut bepergian sebab vaksin tidak
dianjurkan untuk anak dibawah 2 tahun.
Imunisasi pasif dengan immunoglobulin normal atau immune
serum globulin prophylaxis dapat efektif dan memberi perlindungan
selama 3 bulan dengan dosis 0,02 ml/kgBB untuk memberikan
perlindungan selama 5 bulan diberikan secara intramuscular melalui otot
deltoid dengan dosis 0,06 ml/kgBB pada anak usia 2-18 tahun dan tidak
boleh diberikan dalam waktu 2 minggu setelah pemberian live attenuated
vaccines (measles,mumps, rubella, varicella) sebab IG akan menurunkan
imunogenitas vaksin. Akan tetapi, dengan penemuan vaksin yang sangat
efektif, immunoglobulin tersebut menjadi jarang digunakan. Imunisasi
pasif ini diindikasiskan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemic
dalam waktu singkat, wanita hamil, orang yang lahir di daerah endemis
HAV, orang dengan immunocompromised yang memiliki resiko penyakit
berat setelah kontak erat, dan pekerja kesehatan setelah terpajan akibat
pekerjaan. Ketika sumber infeksi HAV teridentifikasi, contohnya
makanan atau air yang terkontaminasi HAV, immune serum globulin
prophylaxis harus diberikan kepada siapa saja yang telah terpapar dari
kontaminan tersebut. Hal ini terutama berlaku untuk wabah dari HAV
yang terjadi di sekolah, rumah sakit, penjara, dan institusi lainnya.1,2
Normal human immunoglobulin (NIHG) mengandung 100 IU
antiHAV, diberikan sebagai upaya pencegahan setelah kontak (kontak
serumah, kontak seksual, saat epidemi) atau disebut profilaksis pasca
paparan. Diberikan secara intramuskular dengan dosis 0,02 ml/kg berat
badan pada anak yang lebih besar dan dewasa ≤5 ml, sedangkan pada anak
kecil atau bayi tidak melebihi 3 ml.7

Tabel 1. Rekomendasi Profilaksis Post-Exposure Terhadap HAV7


Saat Paparan (minggu) Usia (tahun) Rekomendasi
<2 <2 IG
>2 IG dan Vaksin
>2 <2 IG
>2 Vaksin

Tabel 2. Profilaksis Pre-Exposure Terhadap Pengunjung Dari Daerah Non


endemis7
Umur Lama Kunjungan Rekomemdasi Keterangan
< 2 tahun < 3 bulan IG 0.02 ml/kgBB 1 kali
3-5 bulan IG 0.06 ml/kgBB 1 kali
Jangka Panjang IG 0.06 ml/kgBB Saat berangkat,
diulang setiap 5 bulan
> 2 tahun < 3 bulan Vaksin atau IG Dosis dan jadwal
0.02 ml/kgBB imunisasi aktif lihat
3-5 bulan Vaksin atau IG perihal imunisasi aktif
0.06 ml/kgBB
Jangka Panjang Vaksin

2. Imunisasi Aktif
Vaksin yang beredar saat ini adalah Havrix dan
Vaqta, Avaxime. Semuanya berasal dari inaktivasi dengan
formalin dari sel kultur HAV. Havrix mengandung
preservatif sedangkan Vaqta tidak. Vaksin disuntikkan
secara intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak
diberikan pada anak dibawah 2 tahun karena transfer
antibodi dari ibu tidak jelas pada usia ini. Efikasi dan
imunogenisitas dari kedua produk adalah sama walaupun
titer geometric rata-rata anti-HAV pada Vaqta™ lebih
tinggi.
Dalam beberapa studi klinis kadar 20 mIU/L pada
Havrix™ dan 10 mIU/L pada Vaqta™ mempunyai nilai
protektif. Kadar protektif antibodi mencapai 88% dan 99%
pada Havrix™ dan 95% dan 100% pada Vaqta™ pada bulan
ke 1 dan ke 7 setelah imunisasi. Diperkirakan kemampuan
proteksi bertahan antara 5-10 tahun atau lebih. Tidak
ditemukan kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun
setelah imunisasi. 2
Indikasi imunisasi aktif: 1
a. Individu yang akan bekerja ke negara lain dengan
prevalensi HAV sedang sampai tinggi
b. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan
endemisitas tinggi atau periodic outbreak
c. Homoseksual
d. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun
noninjeksi, karena banyak golongan ini yang
mengidap hepatitis C kronis.
e. Peneliti HAV.
f. Penderita dengan penyakit hati kronis, dan
penderita sebelum dan sesudah transplantasi hati,
karena kemungkinan mengalami hepatitis
fulminan meningkat.
g. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi
faktor VIII dan IX).
Vaksinasi aktif memberikan kekebalan terhadap
infeksi sekunder dari kontak penderita, maupun pada saat
timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah penderita
yang divaksinasi untuk didapatkan satu kasus infeksi
sekunder adalah 18:1. Rasio ini dipengaruhi oleh status
imunologi dalam masyarakat. Kombinasi imunisasi pasif
dan aktif dapat diberikan pada saat yang bersamaan tetapi
berbeda tempat menyuntikkannya. Hal ini memberikan
perlindungan segera tetapi dengan tingkat protektif yang
lebih rendah. Oleh karena kekebalan dari infeksi primer
adalah seumur hidup, dan lebih dari 70% orang dewasa
telali mempunyai antibodi, maka imunisasi aktif HAV pada
orang dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan
serologis. Pemeriksaan kadar antibodi setelah vaksinasi
tidak diperlukan karena tingginya angka serokonversi dan
pemeriksaan tidak dapat mendeteksi kadar antibodi yang
rendah.2
Imunisasi menyebabkan terbentuknya serum-
neutralizing antibodies terhadap epitope permukaan virus.
Kebijakan imunisasi hepatitis A lebih bersifat individual
dan diberikan pada anak berusia ≥2 tahun.7

Tabel 3. Kandidat Vaksinasi HAV3


Imunisasi Rutin Anak di daerah endemis HVA atau daerah
dengan wabah periodik
Resiko Tinggi HAV  Staf bangsal neonatologi
 Pasien yang memerlukan konsentrat faktor
VIII
 Staf TPA, staf dan penghuni institusi untuk
cacat mental
 Pekerja dengan primate
 Pelancong ke daerah endemis yang belum
mempunyai kekebalan terhadap HVA
 Kontak dengan kelompok yang berisiko
 Pria homoseksual dengan pasangan ganda
 IVDU
Resiko Hepatitis Fulminant Pasien Penyakit Hati Kronis
Resiko Menularkan HAV Penyaji Makanan, Anak usia 2-3 tahun di
TPA

Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan (inactivated


vaccine). Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan
usia resipien.
a. Monovalen
- Anak ≥ 2 tahun: 720 IU
- Dewasa: 1440 IU
b. Kombinasi Hep A dan B: >1 tahun
c. Kombinasi Hep A dan tifoid: 2 tahun
Vaksin diberikan 2 kali, suntikan kedua atau booster
diberikan antara 6 - 18 bulan setelah dosis pertama,
tergantung produk. Vaksin hepatitis A terbukti
imunogenisitasnya baik. Diperkirakan anti-HAV protektif
menetap selama > 20 tahun. Proteksi jangka panjang terjadi
akibat antibodi protektif yang menetap atau akibat
anamnestic boosting infeksi alamiah. Pemberian vaksin
VHA bersamaan dengan vaksin lain (hepatitis B, tifoid)
tidak mengganggu respons imun masing-masing vaksin dan
tidak meningkatkan frekuensi efek samping. Vaksin VHA
tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami reaksi
7
berat sesudah penyuntikan dosis pertama. Vaksin HVA
aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi lokal
merupakan efek samping tersering (21-54%) tetapi
umumnya ringan. Demam dialami 4% resipien.7
BAB III

KESIMPULAN

Hepatitis virus merupakan masalah kesehatan utama di negara sedang


berkembang dan negara maju. Penemuan baru dalam bidang biologi molekuler
telah membantu identifikasi dan pemahaman patogenesis keenam virus yang
sekarang diketahui menyebabkan hepatitis. Hepatitis disebabkan oleh infeksi dan
non infeksi. Infeksi yang disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan
penyebab terbanyak hepatitis akut. Virus hepatitis merupakan penyebab terbanyak
dari infeksi tersebut. Terdapat sedikitnya 6 jenis virus hepatotropik penyebab utama
infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G. Semuanya memberi gejala
klinis hampir sama; bervariasi mulai dari asimtomatis, bentuk klasik, sampai
hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan kematian. Hepatitis A merupakan
penyakit self limiting dan memberikan kekebalan seumur hidup. Penyebaran
terutama dengan rute fekal-oral. Mekanisme kerusakan sel hati oleh HAV belum
sepenuhnya dapat dijelaskan, namun bukti secara langsung maupun tidak langsung
menyimpulkan adanya suatu mekanisme imunopatogenetik. Gejala klinisnya
bedakan menjadi 4 stadium yaitu: Masa inkubasi, masa prodomal, fase ikterik, fase
penyembuhan.
Pada pemeriksaan fisik, kulit dan membrana mukosa adalah ikterik,
terutama sklera dan mukosa dibawah lidah. Hati biasanya membesar dan nyeri pada
palpasi.
Komplikasi yang diakibatkan oleh hepatitis ini diantaranya hepatitis
fulminan,hepatitis kolestatik. Oleh karena itu, perlu pencegahan dengan adanya
vaksin hepatitis A perlu dipikirkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arief S. Hepatitis virus dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi
IDAI. Jilid 1. Jakarta: IDAI; 2012. H.285-328.
2. Herdiana M, Arief S, Setyobudi B. Mengenal hepatitis a pada anak. 2015.
Diunduh dari: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak
/mengenal-hepatitis-a-padaanak
3. Departemen Kesehatan RI. Situasi dan analisis hepatitis. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan RI; 2014. H. 2-7.
4. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Ed.7. Jakarta:
EGC;2007. H.673-680.
5. Crawford J, Liu C. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. Edisi ke
8. Saunders Elseifer, Philadelphia; 2010.h. 444-50
6. Ranuh G, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita C, Ismoedijanto,
Soedjatmiko. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke 5. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2014. h.247-53,335-40.

Anda mungkin juga menyukai