Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK KEGAWATDARURATAN NEUROLOGI

EPILEPSI SIMTOMATIK ET CAUSA STROKE ISKEMIK

Disusun oleh:

Penguji:

KEPANITERAAN KLINIK KEGAWATDARURATAN NEUROLOGI


SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 20 MEI – 14 JUNI 2019
TANGERANG
BAB I
TINJAUAN KASUS

I. Identitas Pasien
a. Nama : Yeremia Sukarman
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Usia : 61 tahun
d. Status Perkawinan : Sudah menikah
e. Agama : Islam
f. No. Rekam Medis : RSUS.00-86-82-XX
g. Tanggal masuk RS : 28 Juni 2019
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 1 Juli 2019 pukul 09:00 WIB.
a. Keluhan Utama
Kejang 2 jam SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki berusia 61 tahun dibawa ke Rumah Sakit Umum Siloam
karena mengalami kejang 2 jam SMRS. Pada saat sampai di IGD pasien
sudah tidak kejang. Kejang diawali dengan tangan dan kaki kanan menjadi
kaku lalu kelojotan. Setiap kejang dikatakan berlangsung selama kurang
lebih 10 – 15 detik dan berhenti dengan sendirinya. Sebelum kejang,
dikatakan pasien tidak merasakan apa-apa. Saat kejang, pasien tidak
mengalami penurunan kesadaran. Sesudah kejang pasien juga tidak
merasa bingung, lemas, atau mengalami penurunan kesadaran.
Pasien juga mengalami kejang dengan pola yang sama sebanyak 10x sejak
3 hari SMRS. Kejang dikatakan berhenti dengan sendirinya.
Pasien juga mengalami kesulitan berbicara dimana pasien tidak fasih
dalam berbicara dan tampak tidak memahami apa yang disampaikan
kepadanya. Pasien juga tidak dapat mengulangi kata-kata.
Pada saat anamnesis tanggal 1 Juli 2019, pasien mengalami kejang dengan
pola yang sama sebanyak 1x pada tanggal 30 Juni dan sebanyak 5x pada
tanggal 1 Juli.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat stroke iskemik pada tahun 2013. Setelah
mengalami serangan stroke tersebut, anggota gerak kanan pasien menjadi
lemah dan bicara menjadi pelo. Pada tahun 2014, dikatakan pasien mulai
mengalami kesulitan bicara.
Pasien juga mengalami riwayat hipertensi, DM tipe II, dan dislipidemia
yang terkontrol. Pasien mengkonsumsi Metformin 2x500mg dan
Amlodipin 1x5mg secara rutin.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat HT,
DM, jantung, asma, maupun alergi disangkal.
e. Riwayat Sosial, Kebiasaan, Pola Hidup
Pasien tidak merokok atau minum-minuman beralkohol. Pasien sehari-
harinya jarang berolahraga.
III. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 1 Juli 2019
1. Keadaan Umum : Sakit sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis (E4M6Vafasia)
3. Tanda Vital :

Blood Pressure 130/80mmHg


Heart Rate 78x/min
Respiration Rate 20x/min
Temperature 36.3 ℃
SpO2 97%

4. Status Generalis :

Sistem Deskripsi
Kepala Normosefali, lesi (-), perdarahan (-)
Mata Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
THT Dalam batas normal
Leher KGB dalam batas normal
Thorax Vesikular, ronchi -/-, wheezing -/-
Abdomen Bising usus (+), nyeri tekan (-)
Extremitas Akral hangat, CRT <2 detik

5. Status Neurologis :
 Meningeal sign
Neck Stiffness -
Laseque sign ¿ 70 ° / ¿ 70 °
Kernig sign ¿ 135° / ¿ 135°
Brudzinski I sign -
Brudzinski II sign -

 Brainstem reflex

Pupillary reflex +/+


Corneal reflex +/+
Doll’s eye +/+
Gag reflex +

 Cranial nerve

I Tidak dilakukan
II Tidak dilakukan
III IV VI Dextra Sinistra

Celah Palpebral
Normal Normal
Pupil
RCL PBI 3mm PBI 3mm
RCTL + +
Nystagmus + +
Pergerakan bola Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
mata
V Sensoris; dalam batas normal
VII Motorik; sudut mulut kanan tertinggal
Sensoris; tidak dilakukan
VIII Tidak dilakukan
IX X Gag reflex +
XI Tidak dilakukan
XII Lidah menjulur ke arah kanan, atrofi (-),
fasikulasi (-), tremor (-)

 Motorik

Upper Extremity Atrofi (-), fasikulasi (-),


hipertonus anggota gerak
kanan, gerakan involunter (-)
Lower Extremity Atrofi (-), fasikulasi (-),
hipertonus anggota gerak
kanan, gerakan involunter (-)
Kekuatan 0000 5555
0000 5555
Physiologic reflex Dextra Sinistra
+3 +2
+3 +2
+3 +2
+3 +2
Patologic Reflex Dextra Sinistra
 Babinski + -
 Chaddock - -
 Oppenheim - -
 Gordon - -
 Hoffman - -
 Schaeffer - -

 Sensorik

Kanan Kiri
Raba + +
Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Coordination
Tidak dilakukan
 Otonom

Miksi Normal
Defekasi Normal
Sekresi Keringat Normal

 Fungsi luhur
MMSE tidak dilakukan
IV. Resume
Pasien laki-laki berusia 61 tahun dibawa ke Rumah Sakit Umum Siloam
karena mengalami kejang 2 jam SMRS. Kejang diawali dengan tangan dan
kaki kanan menjadi kaku lalu kelojotan. Kejang berlangsung selama kurang
lebih 10 – 15 detik dan berhenti dengan sendirinya. Sebelum kejang,
dikatakan pasien tidak merasakan apa-apa. Saat kejang, pasien tidak
mengalami penurunan kesadaran. Sesudah kejang pasien juga tidak merasa
bingung, lemas, atau mengalami penurunan kesadaran.
Pasien juga mengalami kejang dengan pola yang sama sebanyak 10x sejak 3
hari SMRS. Kejang dikatakan berhenti dengan sendirinya. Pada saat
anamnesis tanggal 1 Juli 2019, pasien mengalami kejang dengan pola yang
sama sebanyak 11x sejak tanggal 30 Juni.
Pasien mengalami kesulitan berbicara dimana pasien tidak fasih dalam
berbicara dan tampak tidak memahami apa yang disampaikan kepadanya.
Pasien juga tidak dapat mengulangi kata-kata.
Pasien memiliki riwayat stroke iskemik pada tahun 2013 dengan kelemahan
anggota gerak tubuh kanan serta bicara pelo. Pasien juga mengalami kesulitan
memahami dan membentuk bahasa. Pasien memiliki riwayat HT, DM tipe II,
dan dislipidemia terkontrol.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan hemiparesis dextra, parese CN VII dan XII
sentral dextra, hipertonus dan hiperrefleksia pada anggota gerak kanan, dan
refleks patologis Babinski positif dextra.
V. Diagnosis
a. Klinis : kejang fokal, hemiparesis dextra, parese CN VII dan XII
sentral dextra, hipertonus dextra, hiperrefleksia dextra, Babinski dextra,
afasia global.
b. Topis : Korteks serebri
c. Etiologis : Vaskuler
d. Patologis : Iskemia
VI. Diagnosis Kerja
Epilepsi simtomatik ec CVDNH
VII. Diagnosis Banding
Epilepsi simtomatik ec metabolik
VIII. Prognosis
a. Ad Vitam : dubia ad bonam
b. Ad Functionam : dubia ad malam
c. Ad Sanationam : dubia ad malam
IX. Saran Pemeriksaan Penunjang
a. CT scan kepala non kontras (28/06/19)
Kesan:
 Infark lama luas mencakup lobus fronto-parieto-temporal kiri, kapsula
interna cruz posterior kiri
 Atrofi cerebri senilis
b. X-ray thorax (28/06/19)

Gambar 2. X-ray thorax


Kesan:
 Paru: normal
 Mediastinum: Normal
 Trakea dan bronkus: normal
 Hilus: Normal
 Pleura: Normal
 Diafragma: Normal
 Jantung: CTR <50%
 Aorta: Normal
 Vertebra thorakal dan tulang-tulang lainnya: Nornal
 Jaringan lunak: Normal
 Abdomen yang tervisualisasi: Normal
 Leher yang tervisualisasi: Normal

Impression:

 Cor dan pulmo dalam batas normal


 Aorta elongasi dan kalsifikasi
c. Laboratorium
28/06/19

JENIS PEMERIKSAAN NILAI NILAI NORMAL


Compelete Blood Count
Hemoglobin 16.20 g/dL 13.20-17.30
Hematokrit 49.40 % 40.00-52.00
Erythrocyte 5.70 x 106 /μl 4.40-5.90
White Blood Cell 13.69 x 103/ μl 3.80-10.60
Platelet Count 336 x 103/ μl 150.000-440.000
MCV, MCH, MCHC

MCV 86.70 fL 80.00-100.00


MCH 28.40 pg 26.00-34.00
MCHC 32.80 g/dL 32.00-36.00
Biochemistry

SGOT – SGPT
SGOT (AST) 53 U/L 0 – 40
SGPT (ALT) 24 U/L 0 – 41

Electrolyte

Sodium (Na) 133 mmol/L 137-145


Potasium (K) 4.5 mmol/L 3.6 – 5.0
Chloride (Cl) 99 mmol/L 98– 107
Fungsi ginjal
Ureum 48 mg/dL < 50.00
Creatinin 1.19 mg/dL 0.5 – 1.3
eGFR 65.5 mL/mnt/ 1.73 > 60
m2

Random Blood Glucose 186 mg / dL < 200


LDL Cholesterol 146 mg/ dL
d. Urinalysis
28/06/19
Macroscopic:
 Color: yellow
 Appearance: clear
 Specific gravity: 1.010
 pH: 6.00
 Leucocyte esterase: negative
 Nitrit: negative
 Protein: negative
 Keton: negative
 Urobilinogen: 0.20
 Bilirubin: negative
 Occult blood: negative

Microscopic:

 Erithrocyte: 1 cells/uL
 Leucocyte: 4 cells/uL
 Epithel: 1+
 Casts: negative
 Crystals: negative
X. Saran Terapi
 Fenitoin IV 3x100mg
 Diazepam IV 1x10mg bila kejang
 Metformin PO 2x500mg
 Amlodipin PO 1x5mg
XI. Follow Up

Tanggal Follow Up
02/07/19 S Kejang sebanyak 3x dengan pola yang sama
dari pagi.
O KU: Sakit sedang
Kesadaran: Compos Mentis GCS
E4M6Vafasia
BP 130/80 mmHg HR 78x/min RR 20x/min
T 36.6
Kepala: KA -/- ,SI -/-
Thorax: vesikular, rh +/-, wh -/-
Abdomen: NT (-) BU (+)
Motorik:
0000/5555
0000/5555
Refleks Fisiologis: biceps 3+/2+, triceps
3+/2+
Parese CN VII dan XII sentral dextra
A Epilepsi simtomatik ec vaskular
P  Fenitoin IV 3x100mg
 Diazepam IV 10mg prn
 Metformin PO 2x500mg
 Amlodipin PO 1x5mg
Tanggal Follow Up
03/07/19 S Kejang sebanyak 1x dengan pola yang sama
pada pagi hari
O KU: Sakit sedang
Kesadaran: Compos Mentis GCS
E4M6Vafasia
BP 130/80 mmHg HR 76x/min RR 20x/min
T 36.4
Kepala: KA -/- ,SI -/-
Thorax: vesikular, rh +/-, wh -/-
Abdomen: NT (-) BU (+)
Motorik:
0000/5555
0000/5555
Refleks Fisiologis: biceps 3+/2+, triceps
3+/2+
Parese CN VII dan XII sentral dextra
A Epilepsi simtomatik ec vaskular
P  Fenitoin IV 3x100mg
 Diazepam IV 10mg prn
 Metformin PO 2x500mg
 Amlodipin PO 1x5mg

BAB II

ANALISA KASUS

Pasien laki-laki berusia 61 tahun datang dengan keluhan kejang berulang sejak 3 hari
SMRS. Kejang terjadi pada tangan dan kaki kanan. Setiap episode kejang
berlangsung selama 10-15 detik. Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran
sebelum, saat, dan setelah terjadinya kejang. Kejang merupakan dampak dari
penyakit sistem saraf pusat yang merupakan hasil dari aktivitas listrik abnormal di
dalam otak.

Menurut ILAE 2017, pengkajian kejang dilakukan dalam beberapa tahap seperti yang
dapat dilihat pada gambar berikut:

Kejang diklasifikasikan menjadi 3 tipe yaitu:


Pada pasien ini, kejang yang terjadi bersifat fokal dan diawali dengan tangan dan kaki
kanan yang menjadi kaku kemudian kelojotan. Pasien juga tidak mengalami
penurunan kesadaran.

Setelah kejang pasien diklasifikasikan, maka tahapan berikutnya adalah melihat


apakah kondisi yang dialami pasien memenuhi kriteria epilepsy atau tidak. Menurut
ILAE 2015, epilepsy adalah:

1. Terdapat minimal dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks
yang berselang lebih dari 24 jam, atau
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan adanya
kemungkinan bangkitan berulang dengan risiko rekurensi sama dengan dua
bangkitan tanpa provokasi (setidaknya 60%), yang dapat timbul hingga 10
tahun kedepan (bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat
induksi faktor pencetus tertentu seperti stimulasi visual, auditorik,
somatosensitive dan somatosensorik), atau
3. Dapat ditegakkannya diagnosis sindrom epilepsy
Kejang pasien yang diketahui secara pasti terjadi pada tanggal 28 Juni, 30 Juni, dan 1
Juli. Pada ketiga situasi tersebut, kejang terjadi tanpa adanya provokasi. Atas dasar
tersebut, pasien dapat didiagnosis menderita epilepsy.
Epilepsy sendiri diklasifikasikan menjadi empat yaitu:
1. Focal
2. Generalized
3. Combined focal and generalized
4. Unknown
Pengklasifikasian epilepsy didasari oleh tipe kejang yang telah dibahas sebelumnya
dimana pasien mengalami kejang focal sehingga dapat diklasifikan menjadi epilepsy
focal.
Tahapan berikutnya adalah mencari etiologi dari epilepsy tersebut. Terdapat beberapa
etiologi epilepsy yaitu:
 Struktural
 Genetik
 Infeksi
 Metabolik
 Autoimmune
 Tidak diketahui

Pasien ini memiliki riwayat stroke iskemik pada tahun 2013. Iskemia yang dialami
oleh pasien menyebabkan kelainan pada otak. Pada CT-SCAN kepala non-kontras,
ditemukan adanya infark lama luas mencakup lobus fronto-parieto-temporal kiri,
kapsula interna cruz posterior kiri. Defisit neurologis yang dapat muncul berdasarkan
topisnya adalah:
 Lobus frontalis: kelemahan anggota gerak, gangguan kognitif, gangguan
kepribadian, dan gangguan berbahasa.

 Lobus parietalis: gangguan berbahasa, disleksia, apraxia, dan agnosia.

 Lobus temporalis: gangguan berbahasa, disleksia, agnosia, gangguan daya


ingat.

 Kapsula interna: hemiparesis dan hemihipestesia.

Faktor risiko seseorang menderita epilepsy setelah stroke atau yang dapat disebut
post-stroke epilepsy adalah derajat keparahan deficit neurologis, derajat keparahan
disabilitas, lesi yang luas, kerusakan kortikal, dan kerusakan hippocampus.

Pasien tidak memiliki anggota keluarga yang menderita epilepsy juga sehingga
penyebab genetik menjadi tidak memungkinkan. Meskipun ada kemungkinan bahwa
terjadi mutasi de novo yang mengakibatkan kejang, kemungkinannya sangat kecil
dibandingkan penyebab lainnya. Pasien juga tidak memiliki gejala-gejala infeksi
sistem saraf pusat seperti demam, nyeri kepala, atau kaku kuduk sehingga penyebab
infeksi dapat disingkirkan. Penyakit autoimun yang seringkali menyebabkan epilepsy
adalah anti-NMDA encephalitis dan anti-LG11 encephalitis. Pasien tidak memiliki
gejala-gejala encephalitis sehingga penyebab autoimun dapat disingkirkan. Terlebih
lagi, pasien berusia 61 tahun ketika kejang terjadi, menurunkan kemungkinan
autoimmune sebagai penyebabnya. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus
sehingga kelainan metabolic yang dapat menyebabkan epilepsy pada pasien adalah
hipoglikemi atau hiperglikemi. Setelah dilakukan pemeriksaan gula darah, ditemukan
gula darah pasien masih berada dalam batas normal. Pasien ditemukan mengalami
hiponatremia yang diketahui juga dapat menyebabkan epilepsy namun dengan derajat
hiponatremia yang rendah seperti pada pasien kemungkinan terjadinya kejang sangat
kecil. Terlebih lagi, tidak ditemukan adanya tanda-tanda hiponatremia yang lain
seperti lemas dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan CT-SCAN kepala non-
kontras juga tidak ditemukan adanya edema otak. Atas dasar-dasar tersebut, kelainan
metabolic dapat disingkirkan. Setelah ditelurusi kemungkinan-kemungkinan
penyebab epilepsy, yang paling memungkinkan pada pasien ini adalah penyebab
struktural.

Tahap berikutnya adalah menilai apakah pasien memiliki sindroma epilepsy atau
tidak. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan EEG sehingga sulit diketahui
apakah pasien masuk dalam kriteria salah satu sindroma epilepsy atau tidak. Namun,
berdasarkan onset dan gejala klinis, pasien tidak termasuk dalam salah satu sindroma
epilepsy yang ada.

Sampai pada tahap ini, pasien dapat digolongkan sebagai epilepsy focal dengan onset
motoric tanpa penurunan kesadaran yang disebabkan oleh kelainan struktural.

Klasifikasi lain yang digunakan oleh ICD-10 dapat dilihat pada gambar berikut:
Menurut ICD-10, maka pasien dapat didiagnosis dengan symptomatic focal epilepsy
dengan simple partial seizures. Pengklasifikasian menurut ICD-10 berguna dalam
menentukan kode diagnosis guna kepentingan administrasi.

Kejang yang dialami pasien tidak memenuhi kriteria status epileptikus yaitu kejang
yang berlangsung selama > 5 menit secara terus-menerus atau tidak adanya
pemulihan kesadaran diantara dua kejang.
Penanganan kejang pada pasien ini dapat menggunakan algoritma sebagai berikut:
Pada pasien ini, setelah dilakukan stabilisasi ABC diberikan Diazepam IV 10mg dan
kejang yang dialami berhenti. Setelah kejang yang dialami berhenti, diberikan dosis
rumatan yaitu Fenitoin IV 3x100mg. Berat badan pasien adalah 58kg sehingga dosis
yang diberikan sudah tepat.

Jika pasien sudah bebas kejang selama 2x24 jam, maka pasien dapat menjalani rawat
jalan. Pasien diwajibkan meminum obat anti-epilepsi selama rawat jalan. Obat yang
sering diberikan untuk epilepsy focal adalah Carbamazepine dengan dosis 2x200mg.
Obat-obatan lain yang dapat diberikan adalah Fenitoin atau Gabapentin. Fenitoin
memiliki banyak efek samping seperti hipotensi, aritmia, dan demineralisasi tulang
sehingga sebaiknya tidak diberikan. Gabapentin relatif lebih aman namun tidak
memiliki efek yang kuat. Obat lain yang dapat diberikan adalah Levetiracetam. Obat
ini memiliki spectrum yang luas dan aman digunakan. Dosis yang dapat diberikan
adalah 2x500mg.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper, Allan H., Samuels MA. Epilepsy and Disorders of Consciousness. In:
Adam and Victor’s Principles of Neurology. 9th ed. New York: McGraw Hill
Medical; 2009. p. 304– 30.
2. Scheffer et al. ILAE classification of the epilepsies: Position paper of the
ILAE Commission for Classification and Terminology. Epilepsia.
2017;58(4):512-21.
3. Fisher RS, Cross JH, Souza CD, French JA, Haut SR, Higurashi N, et al.
Instruction manual for the ILAE 2017 operational classification of seizure
types. 2017;54:531–42.
4. Trinka E, Cock H, Hesdorffer D, Rossetti AO, Scheffer IE, Shinnar S, et al. A
definition and classification of status epilepticus - report of the ILAE task
force on classification of status epilepticus. Epilepsia. 2015;56:1515–23.
5. Myint, P. K. Post-stroke seizure and post-stroke epilepsy. Postgraduate
Medical Journal.2006.
6. Duus P. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala
Ed.4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010

Anda mungkin juga menyukai