Anda di halaman 1dari 21

PRODEXA BUSINESS PARTNER

JURNAL MANAJEMEN
TEKNOLOGI
Indonesian Journal for Science Of Management

Rudy Haryanto
9/20/2014
PRODEXA BUSINESS PARTNER 2
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

First Release 2014

Alternatif Pengembangan
Subsektor Kreatif
Tradisional
Berbasis
Digital - Pop Culture
Rudy Haryanto

Abstract

Selama puluan tahun generasi muda dikuasai industri kreatif asing tanpa banyak menyisakan
peminat bagi aktivitas komersial beragam sub budaya tradisional. Selain menyebabkan budaya
tradisional ditinggalkan pelaku oleh sulitnya jaminan finansial, subsektor hiburan dan gaya hidup
populer mengedukasi generasi semakin jauh meninggalkan budaya sendiri. Minimnya regenerasi
dan rendahnya tingkat penghargaan atas budaya sendiri juga menjadi ancaman bagi eksistensi
budaya tradisional ke depannya. Perlu upaya serius merangkul kembali segmen usia muda sebagai
ujung tombak kelestarian budaya nusantara. Perlu strategi meraih minat pasar muda melalui cara
cara yang lebih mudah diserap sengment tersebut. Kuncinya terletak pada keseriusan melibatkan
generasi muda yang selama ini diperankan sebatas menjadi obyek program pemberdayaan..
Pelibatan tersebut terletak pada pengembangan Kreatifitas Digital dan Kultur Populer Nasional
dalam aktivitas industri berbasis budaya tradisional. Implementasi program meliputi inkubasi dan
edukasi ekosistem demi tercipta lingkaran industri kreatif kuat guna mendukung eksistensi
budaya nusantara sebagai komoditas unggulan Indonesia. Perlu langkah kreatif mengawal
kreatifitas Indonesia sebelum budaya tradisional benar benar ditinggalkan.

Kata Kunci : Ekonomi Kreatif, Cultural Development, Regional Development

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 3
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

I. PENDAHULUAN
1. TRADISIONALITAS DALAM PERSPEKTIF INDUSTRI KREATIF
Budaya tradisional mengambil sebagian porsi dari 15 subsektor Industri Kreatif yang telah
dipetakan Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Subsektor kreatif lain meliputi
Periklanan, Arsitektur, Desain, Fashion, Game, Video dan Fotografi, Musik, Kuliner, Televisi dan
Radio, Riset dan Pengembangan hingga Layanan Komputer, Piranti Lunak dan Multimedia.
Deretan subsektor di atas memastikan bahwa Ekonomi kreatif bukan terbatas pada kerajinan,
kesenian atau pagelaran tradisional seperti paradigma umum sebagian besar masyarakat.
Ekonomi Kreatif adalah era baru perekonomian global yang bersumber dari kreatifitas SDM,
olah informasi, budaya dan pemberdayaan teknologi. Peralihan tersebut ditandai oleh tingginya
peran produk kreatif digital dan pop culture mengawal Negara Negara Modern menjadi raksasa
Industri.

Ekonomi Kreatif memiliki ranah luas. Secara umum Ekonomi Kreatif didefinisikan sebagai
kumpulan usaha olah daya cipta yang memiliki nilai ekonomis. Istilah “Ekonomi Kreatif” mulai
dikenal secara global sejak munculnya buku “The Creative Economy: How People Make Money
from Ideas” (2001) oleh John Howkins. Howkins dengan ringkas mendefinisikan Ekonomi
Kreatif sebagai “The creation of value as a result of idea”

Dalam sebuah wawancara oleh Donna Ghelfi dari World Intellectual Property Organization
(WIPO) di tahun 2005, John Howkins secara sederhana menjelaskan Ekonomi Kreatif yang
diartikan sebagai “Kegiatan ekonomi dalam masyarakat yang menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk menghasilkan ide, tidak hanya melakukan hal-hal yang rutin dan berulang.
Karena bagi masyarakat ini, menghasilkan ide merupakan hal yang harus dilakukan untuk
kemajuan.”

Industri Kreatif membuka akses penuh interaksi budaya lintas Negara. Interaksi tersebut
membuka ruang kompetisi antar budaya memperebutkan pengaruh. Persaingan tersebut terjadi
antara kreatifitas lokal berbasis budaya tradisional menghadapi Industri Kreatif asing berbasis
teknologi digital dan pop culture. Kompetisi tersebutlah faktor utama kemuduran kesenian dan
budaya tradisional oleh lemahnya daya saing.

Diperlukan rasionalitas tepat memposisikan kesenian dan budaya tradisional di puncak nilai
tawar tertinggi. Contoh rasionalitas tersebut meliputi kreatifitas ide bisnis, logika pemasaran,
edukasi ekosistem kreatif kontemporer hingga penerapan sistem manajemen paling modern.
Keempat contoh tersebut adalah aset tidak berwujud yang jarang diperhatikan dalam program
program pemberdayaan masyarakat dan UMKM.

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 4
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

II. FRAMEWORK
1. TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Jurnal didesain sedikit berbeda dari pakem karya tulis ilmiah pada umumnya. Keseluruhan
materi jurnal lebih difokuskan membangun tindakan daripada sebatas pembahasan masalah.
Pembahasan jurnal bertujuan mencari rasionalitas tepat mengembangkan budaya tradisional
melalui perspektif manajemen bisnis modern. Dengan demikian, berbagai analisis ke berbagai
aktivitas komersial dalam membangun industri berbasis ekonomi kreatif.
Materi Jurnal mengkaji dua subsektor potensi kreatif nasional. Yaitu budaya tradisional sebagai
business value utama, didampingi kreatifitas digital - pop culture sebagai komponen pendukung.
Ruang lingkup analisis mengkaji berbagai fenomena sistemik yang mempengaruhi dua
subsektor tersebut dari sudut pandang rasio bisnis dan investasi sebagai alat bantu. Dengan
demikian, olah kaji menggunakan keluaran kualitatif atas data meliputi ekosistem industri dan
iklim investasi, regulasi dan kebijakan, sosial kemasyarakatan, komponen sumberdaya,
teknologi dan infrastruktur serta pasar dan persaingan.
Sedangkan ruang lingkup implementasi di arahkan
2. ANALISIS PEMILIHAN FRAMEWORK

Sesuai dengan tujuan dan ruang lingkup, framework yang digunakan dalam patut memiliki
kualifikasi sebagai berikut

a. Kerangka kerja harus memiliki kapabilitas sebagai media analisis informasi sekaligus
mampu mengurai masalah sistemik menjadi poin poin penting gejala (sympthom) menuju
akar permasalahan (root cause). Dengan demikian, dapat ditemukan road map strategi
implementasi dimulai dari langkah sederhana paling realistis
b. Kerangka kerja harus memiliki Logical Frame sebagai acuan kesinambungan program dan
alat bantu mengkonstruksi manajemen secara optimal. Acuan tesebut difungsikan menjamin
kinerja manajemen tetap berjalan sesuai roadmap jangka panjang. Jadi bukan terbatas dari
bagaimana membangun, tapi juga bagaimana menjaga dan mengembangkan program.
c. Framework berorientasi penuh pada pengembangan dan kemandirian. Seluruh komponen
diproyeksikan berjalan sesuai sistem dalam program . SDM Masyarakat, Pemerintah serta
Swasta bisa bersinergi dalam satu lingkaran industri secara otomatis (mandiri). Dengan
demikian, semakin berkembang program, mudah dikontrol dan dikembangkan.

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 5
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

3. INTEGRATED TRI COORDINATE

Sistem menjadi pembeda antara program jangka panjang dengan program jangka pendek.
Sistem adalah mesin yang menggerakkan konsep diatas kertas menjadi kinerja nyata melalui
berbagai strategi, taktis dan operasional. Sistem juga menjadi penjaga program berjalan secara
berkesinambungan. Dengan demikian, Integrated Tri – Coordinate (ITC) dipilih sebagai
kerangka kerja utama.

ITC merupakan merupakan framework sistem manejemen yang dimodifikasi khusus sebagai
mesin penggerak berbagai program pemberdayaan masyarakat. ITC menggabungkan berbagai
kerangka kerja baku yang meliputi Balance Scorecard, Performance Prism, IPMS, Project Cycle
Management, Business Model hingga Analisis SWOT. Dengan demikian, selain sebagai dasar
rancangan Sistem Manajemen, ITC juga didesain sebagai dasar konstruksi program baru yang
bisa diimplementasikan.

4. METODE KONSTRUKSI PROGRAM


Gagasan pada umumnya juga sulit menemukan solusi oleh masalah yang terlanjur menyebar.
Tanpa mengurai poin poin permasalahan, akan sulit ditentukan langkah efisien mengatasi
masalah tersebut secara akurat. ITC mengurai analisis situasi guna mengukur aspek SWOT di
tiap perspektif analisis yang meliputi Budaya Tradisional, Masyarakat, Kreatif Pop Culture Lokal,
Ekosistem Industri Nasional dan Pengaruh Aktivitas Negara Raksasa Industri. Kelima sudut
pandang tersebut diurai dalam pemetaan Industri serta Model Matrik - Project Cycle
Management (PCM) sebagai acuan kaji banding, keterkaitan dan aspek kinerja.

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 6
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

Parameter rasionalitas lainnya terletak pada solusi yang ditawarkan. Apakah solusi terstruktur
dan bisa ditindaklanjuti atau sebatas kesimpulan atas permasalahan. ITC membangun solusi
berdasar analisis pemetaan tersebut guna menemukan aspek kinerja mana yang perlu segera
ditindaklanjuti, aspek mana yang tidak perlu ditindaklanjuti, aspek mana yang perlu langkah
alternative dan aspek mana yang menjadi parameter pengukuran keberhasilan program. Dengan
demikian dapat ditemukan strategi efisien membangun roadmap jangka panjang melalui
langkah awal paling realistis diimplementasikan.

ITC mengambil resep manajemen perusahaan modern yang diadaptasikan secara sederhana ke
berbagai program pemberdayaan masyarakat. Gagasan menggunakan kerangka kerja standar
manajemen bisnis modern sebagai alat rasionalitas komersial program. Alat bantu tersebut
meliputi Standar Business Model sebagai media konsepsi dan Performance Management System
sebagai standar pengukuran dan pengembangan kinerja manajemen. Standar Model Bisnis
(Business Model Canvas) berfungsi sebagai alat ukur rasionalitas model bisnis. Kerangka
tersebut bisa dikembangkan sebagai Rencana Bisnis Atau Rencana Pemasaran yang bisa dijalani
secara professional oleh masyarakat bersama stakeholder.

Sebagai penentu keberlangsungan program, ITC menggunakan gabungan Standar Sistem


Manajemen Kinerja Balance Scorecard dan Performance Prism yang digunakan perusahaan
modern di seluruh dunia. Pengadaptasian dalam ITC cukup menerapkan model Workshop
(Pelatihan), Asistensi serta Pengukuran Kinerja ataupun Status Usaha bagi UMKM. Dasar
pengukuran menggunakan patokan tiga fungsi manajemen yang tercantum dalam Performance
Framework.

Berdasar hasil oleh kerangka kerja, Jurnal memiliki format berbeda dengan rincian daftar isi
sebagai berikut

1. Analisis Situasi
2. Rekontruksi Chart Model
3. Uraian Solusi
4. Roadmap
5. Strategi Model Bisnis
6. Strategi Sistem Manajemen
7. Kesimpulan

Jurnal Manajemen Teknologi


III. ANALISIS SITUASI
1. EKSISTENSI BUDAYA TRADISIONAL
Budaya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari
buddhi (budi atau akal). Secara ringkas, arti kata tersabut membangun definisi budaya sebagai
hasil olah pikir manusia yang digunakan sebagai acuan perilaku bersama. Sedangkan tradisional
dibangun dari bahasa latin tradition yang memiliki arti “diteruskan” atau diwariskan. Dengan
demikian, budaya tradisional adalah hasil olah pikir manusia yang diwariskan ke tiap generasi.
Indonesia memiliki total kurang lebih 350 etnis berikut sub-etnis dan etnis akulturasi yang
tersebar di nusantara. Jika dilipatgandakan dengan 15 elemen budaya, maka tercipta puluhan
ribu produk budaya tradisional nusantara. Elemen meliputi alat musik, cerita rakyat, makanan
minuman, motif kain, musik dan lagu, naskah kuno dan prasasti, ornamen, pakaian tradisional,
permainan tradisional, produk arsitektur, ritual, seni pertunjukan, senjata dan alat perang,
tarian, serta tata cara pengobatan dan pemeliharaan kesehatan. Data tersebut menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan jumlah produk budaya tradisional tertinggi di dunia.
Budaya tradisional merupakan warisan kekayaan intelektual yang tidak dimiliki Negara lain.
Kekayaan tersebut membangun potensi ekonomi tersendiri yang bisa diberdayakan melalui
jalur pariwisata, hiburan serta produk produk kreatif tradisional yang memiliki nilai jual tinggi.
Kesuksesan batik, keris, angklung, wayang serta produk budaya lain membuktikan bahwa
warisan budaya nasional mampu menjadi jaminan finansial baik bagi masyarakat, pemerintah
serta industri sektoral yang berkaitan.
Ironisnya, kekayaan budaya nusantara justru kurang diminati masyarakat sendiri. Generasi
muda tidak lagi tertarik pada sekian banyak budaya asli daerah sendiri. Kecilnya minat tersebut
membuat berbagai aktifitas budaya tradisional yang bersifat komersial lambat laun kehilangan
jaminan pasar. Sulitnya pemasaran tersebut membuat budaya tradisional kurang memberi
jaminan finansial dan ditinggalkan penggiatnya. Di sisi lain, kecilnya minat pemuda juga
membuat budaya tradisional kehilangan sumber regenerasi utama.
Tingkat regenerasi menjadi faktor krusial eksistensi budaya asli. Sedangkan regenerasi sendiri
erat kaitannya dengan generasi muda. Di sinilah permasalahan utamanya. Jika
PRODEXA BUSINESS PARTNER 8
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

2. EKSISTENSI KREATIF DIGITAL DAN KULTUR POPULER


Berbeda dengan tradisional, kultur populer merupakan hasil olah pikir yang berubah ubah
sesuai jaman. Berbagai produk budaya yang dihasilkan bersifat tren sesaat dengan generasi
muda sebagai sasaran utama. Sedangkan kreatif digital merupakan tren daya cipta berbasis
teknologi yang menjadi tren kultur populer abad ini. Kreatif digital pop culture adalah kelompok
subsektor kreatif berbasis hiburan kontemporer yang memiliki nilai ekonomi tersendiri.
Kelompok subsektor tersebut memiliki fokus produksi dan pemasaran berdasar bidikan pasar
utama, yaitu segmen usia muda. Secara umum, kelompok subsektor tersebut meliputi komik
(manga), kartun (anime), permainan digital dan digital interaktif (game), rich content dan
konten original, hiburan musik populer, aplikasi multimedia serta berbagai jenis tayangan film
dan animasi.
Indonesia memiliki kompetensi di sektor digital pop - culture. Tidak banyak yang menyangka
bahwa generasi muda Indonesia berprestasi besar di sektor ini. Komik buatan anak bangsa
meraih Silver Award International Manga di Jepang. Putra bangsa juga berperan di pembuatan
komik edisi khusus Barack Obama yang edar di seluruh dunia. Selain itu, terdapat pula nama
nama penting di Industri film holywood yang ternyata melibatkan generasi muda Indonesia di
dalamnya. SDM Indonesia terlibat dalam pembuatan film Iron Man, Avenger, Hulk, Adventure of
Tin Tin, Spiderman serta beberapa nama besar Box Office Lainnya. Putra putri Indonesia juga
menjadi SDM penting di beberapa studio animasi Hollywood ternama yang meliputi
Dreamwork, Lucas Film dan sebagainya. Nama tersebut meliputi Rini Sugiarto, Griselda
Sastrawijaya, Andre Surya, Marsha Chikita, Pamela Halomoan serta Christiawan Lie. Prestasi
tersebut membuktikan potensi sektor kreatif digital – pop culture Indonesia memiliki daya saing
tinggi yang bisa dikembangkan membangun negeri. Belum lagi nama nama programmer, game
creator serta konten multimedia lokal yang eksis di Industri Kreatif tanah air.
Akan tetapi, sebagian besar SDM tersebut masih didominasi generasi muda di kota kota besar.
Secara umum, SDM Indonesia masih belum kualified menghadapi persaingan di sektor ini. Hal
tersebut dibuktikan oleh tingginya produk kreatif digital – pop culture asing menguasai pasar
dalam negeri. Faktor utama terletak pada minimnya kualitas pendidikan Indonesia mendukung
aspek kreatifitas anak didik, terutama subsektor berbasis teknologi. Faktor lain juga terletak
pada minimnya perhatian pemerintah mendukung sektor pop – culture sebagai pondasi
industry kreatif. Belum jelasnya arah kebijakan tersebut membuat sebagian besar SDM unggulan
justru memilih bekerja untuk asing yang dipandang lebih prospektif. Sedangkan pelaku yang
masih eksis di negeri sendiri, harus menerima resiko klasik yang meliputi ketidakjelasan lisensi,
kesulitan akses pemasaran, pendanaan dan tertekan persaingan. Faktor tersebut kedepannya
berpotensi menjadikan negara hanya menjadi sasaran pemasaran industri kreatif asing.

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 9
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

3. EKOSISTEM INDUSTRI KREATIF


Raksasa Industri kreatif Luar negeri semisal Cool Japan dan Korean Wave terlebih dahulu
melakukan inkubasi kreatifitas dalam negeri. Jepang selama 40 tahun membangun pondasi
Industri berbasis kreatifitas. Jepang menyatukan berbagai stakeholder industri terutama swasta
yang berperan besar di pendanaan pematangan program. Hasilnya, Jepang berhasil membangun
perekonomian melalui konten original semacam manga (komik), anime (kartun), animasi, game
dan pop culture. Sedangkan Korea selama 15 tahun melakukan inkubasi serupa melalui Game
On – Line, layanan multimedia, perfileman dan pop cultere semacam K – Pop. Inkubasi tersebut
berhasil menyatukan swasta dan pemerintah mendukung ekspansi pelaku ekonomi kreatif
dalam satu lingkaran industri. Penetrasi pemasaran tersebut didukung Perusahaan Perusahaan
Negara asal melalui media elektronik, internet, mobile serta lisensi publishing. Sedangkan
pemerintahnya membangun kerjasama perekonomian yang membuka akses pemasaran.

Keseriusan Industri kreatif asing disambut baik oleh Pelaku Industri Nasional. Perusahaan besar
kreatif digital – pop culture nasional lebih mendukung masuknya produk kreatif asing melalui
berbagai aktivitas komersial. Begitu banyak perusahaan vendor elektronik, penerbit, penyedia
layanan multimedia, stasiun televisi swasta, perfilman nasional dan sebagainya memilih menjadi
pembuka akses utama produk kreatif asing ke dalam negeri daripada mengembangkan potensi
budaya sendiri. Selain itu, Pelaku kreatif perorangan, studio dan komunitas juga lebih memilih
bergabung dengan swasta mendukung masuknya budaya asing daripada mendukung kekayaan
budaya negara sendiri.

Fenomena tersebut semakin menempatkan budaya tradisional di posisi sulit. Generasi muda
yang seharusnya menjadi jaminan pasar utama justru diambil alih oleh produk budaya asing.
Seiring perkembangan jaman, semakin tersisih pula eksistensi budaya tradisional oleh lemahnya
daya saing. Dan lemahnya daya saing tersebut kurang diserap pemerintah guna membangun
solusi efektif. Pengemasan daya saing budaya tradisional justru lebih banyak diarahkan ke pasar
asing daripada ke generasi sendiri. Pemerintah kurang mengkaji keberhasilan raksasa industri
yang selama puluhan tahun menjajah pasar dalam negeri. Pengembangan sektor kreatif pun
justru mengikuti UK Creative Industry yang berorientsi ke invensi dan inovasi produk
pendukung industri manufaktur. Kurang tepatnya logika industri tersebut semakin membuka
lebar subsektor kreatif digital pop – culture asing oleh minimnya proteksi pasar dalam negeri.
Perlu strategi efektif membangun daya saing budaya tradisional dalam ruang kompetisi sektor
kreatif. Minimal menjaga potensi tersebut tetap eksis di negeri sendiri.

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 10
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

4. REGULASI DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH

Secara regulatif Indonesia selangkah lebih maju dibanding Negara Negara ASEAN lainnya.
Pemerintah Indonesia menjadi yang pertama mengagendakan Ekonomi Kreatif dalam rencana
pengembangan ekonomi nasional. Regulasi tersebut teracantum dalam Road Map
Pengembangan Klaster Industri Prioritas Industri Penunjang Industri Kreatif dan Industri
Kreatif Tertentu Tahun 2010 – 2014. Sebelumnya terdapat Dokumen Rencana Pengembangan
Industri Kreatif 2025 mengikuti Perpres Nomor 28 Tahun 2008. Dengan demikian Indonesia
sudah memiliki wadah jelas atas pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai salah satu pilar
pengembangan Industri.

Akan tetapi, Produk kreatif berbasis budaya tradisional kurang memiliki porsi di 35 Roadmap
Pengembangan Klaster Industri Prioritas. Prioritas tersebut hanya mengambil subsektor yang
dipandang prospektif dan telah memiliki track record dalam perekonomian. Subsektor tersebut
meliputi perangkat, fashion serta Industri kerajinan dan barang seni. Ketiganya adalah
subsektor yang sukses mencetak pencapaian grafik eksport tahun 2008 sehingga menjadi latar
belakang pemerintah menetapkan kebijakan. Sedangkan Produk kreatif berbasis budaya
tradisional sebagian besar masih diarahkan ke sektor pariwisata meski menempati sekian poin
dari 15 subsektor yang telah dipetakan sebagai kekayaan intelektual.

Aktifitas kreatif digital – pop culture juga masih kurang mendapat perhatian. Belum banyak
upaya rasional mengawal aktifitas ekonomi kontemporer tersebut bisa lebih eksis di negeri
sendiri. Kebijakan Pemerintah juga berkaian dengan infrastruktur yang disediakan. Laporan
State of the Internet (kuartal III 2013) yang mencantumkan kualitas koneksi Internet Indonesia
muncul di posisi ke-118. Masih menempati posisi kedua terbawah di antara Negara-negara asia
pasifik lainnya. Data tersebut membuktikan minimnya perhatian pemerintah atas aktivitas
kreatif digital yang sebenarnya lebih potensial. Internet cepat buat apa?

Permasalahan lain terletak di akses pendanaan, pemasaran serta jaminan lisensi. Pelaku kreatif
dalam negeri masih kesulitan di pendanaan. Perbankan sebagai referensi finansial utama pun
belum sepenuhnya menyerap potensi subsektor tersebut sebagai jaminan kredit. Pemberdayaan
dana CSR pun masih diarahkan ke aktivitas rigid (kaku) semacam kesehatan, pertanian,
perikanan dan sebagainya. Akses pemasaran juga tidak jauh berbeda. Pelaku kreatif – pop
culture kurang mendapat akses pemasaran, preferensi agensi serta tertekan persaingan. Hingga
beberapa pelaku lebih memilih menjadi co creator pop culture luar negeri. Di sisi lain, terdapat
pula pebisnis start up dalam negeri yang lebih memilih diakuisisi asing. Belum lagi jaminan
lisensi atas karya intelektual. Keseluruhan permasalah tersebut mengindikasikan belum adanya
keseriusan pemerintah memasukan pop culture sebagai bagian dari perekonomian.

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 11
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

5. MASYARAKAT : JAMINAN PASAR DAN KETERSEDIAAN SDM


Persektif masyarakat menjadi permasalahan krusial dalam perekonomian. Masyarakat menjadi
poin utama berbagai aktivitas operasional terutama produksi dan pemasaran. Termasuk
aktivitas komersial produk budaya tradisional. Dewasa ini aktifitas komersial produk budaya
tradisional mengalami penurunan drastis. Penerunan tersebut minat generasi muda yang lebih
memilih produk kreatif modern sebagai gaya hidup. Peralihan minant tersebut menyebabkan
budaya tradisional kehilangan jaminan pasar. Sehingga pelaku budaya tradisional, baik penari,
pagelaran rakyat, pengerajin pusaka, alat musik, bahkan upacara upacara adat lebih memilih
menjalani aktifitas lain yang lebih memiliki jaminan hidup.
Ketersediaan SDM juga menjadi permasalahan. Aktivitas budaya tradisional kurang memiliki
jaminan regenerasi oleh minimnya minat generasi muda. Sedangkan kreatifitas digital – pop
culture juga hanya diminati segelintir SDM yang berada di kota kota besar. Hal tersebut
mengindikasikan adanya kelemahan di faktor edukasi. Baik edukasi formal maupun edukasi
sosial yang berimplikasi kuat pada konsep diri SDM.
Edukasi formal di Indonesia secara umum memiliki satu permasalahan klasik. Yaitu
mengarahkan anak didik pada satu standar saja sebagai tenaga kerja. Kelemahan tersebut
berakibat pada edukasi pola pikir masyarakat yang kurang tertarik dengan pilihan profesi lain
selain menjadi karyawan atau pegawai. Pola pikir tersebut memicu minimnya mentalitas
mengembangkan budaya tradisional dan kreatif digital – pop culture sebagai jaminan finansial.
Sehingga berimbas pada minimnya ketersediaan SDM berkualitas di bidang kreatif.
Minimnya komunikasi lembaga pendidikan formal dengan pelaku usaha kreatif juga menjadi
faktor lain. Lembaga pendidikan lebih fokus mengejar proses penyerapan kurikulum daripada
produk pendidikan yang dihasilkan. Orientasi penyerapan tersebut juga memicu orientasi
komersial berbagai lembaga pendidikan. Orientasi tersebut ditandai meningkatnya jumlah
lembaga namun kurang memberi hasil berkualitas pada SDM. Sehingga Industri nasional lebih
banyak menempatkan SDM lokal di posisi operasional saja sebagai tenaga kerja. Termasuk
industri kreatif berbasis tradisional maupun digital - pop culture

Jurnal Manajemen Teknologi


IV. CHART MODEL REKONSTRUKSI
1. INDUSTRIAL ANALISYS CHART

Budaya Negara
Asing

Pemerintah Negara Raksasa


Keterlibatan Peran Industri Kreatif menggabungkan
Swasta Pemerintah berbagai faktor pendukung
Lingkaran ekonomi kreatif dalam membagun
Industri Kreatif lingkaran industri kuat. Upaya
tersebut dilanjutkan melalui
Luar Negeri kebijakan ekspansif menuju
negara sasaran pasar potensial.
Termasuk segmen pasar usia
Masyarakat muda Tanah Air
Ekonomi Kreatif

Dukungan Perusahaan berbasis media digital, Produk Kreatif Penetrasi Budaya melalui produk digital pop
elektronik, mobile dan publishing dalam culture semacam komik, kartun, hiburan gaya
menembus pasar kreatif global
Digital PopCulture hidup, game, internet, pertunjukan musik

Lingkaran
Sistem
Bantuan Pemasaran Bantuan
Industri Regulasi

Penetrasi
Pemasaran
Dukungan swasta
Orientasi Pasar
memasukan
Eksklusif luar
budaya asing
negeri melalui
melalui kerjasama
kerjasama minim
komersial
Generasi muda menolak proteksi budaya
bersama
budaya tradisional dan lokal
perusahaan asal Pasar Potensial memilih budaya popular
(Segmen Muda) asing sebagai gaya hidup

PENOLAKAN PASAR POTENSIAL

Keterlibatan Peran
Swasta Ekonomi Pemerintah
Kreatif
Ketergantungan pada Nasional Ketergantungan pada
Perusahaan Swasta (Tanpa Lingkaran) program pemerintah

Pelaku Kreatif Pelaku Kreatif


Digital – Pop Pelaku Kreatif dan Penggiat
Tradisional belum
Culture dalam banyak didukung oleh Budaya
Negeri kreatif kontemporer Tradisional
2. PROBLEM ANALISYS - PCM MODEL MATRIX

Eksistensi Budaya Kondisi Sosial Eksistensi Kreatif Aktivitas Industri Aktivitas Negara Raksasa
Tradisional Kemasyarakatan Digital PopCulture Kreatif Nasional Industri Kreatif Global
Kepunahan
Beragam Sub
Budaya Asli
Nusantara
Implikasi Lanjutan Atas Permasalahan Inti

Minim Upaya Sektor Hiburan How to


Penurunan Jumlah Minim Kontribusi Read?
Regenerasi dan dan Teknologi
Pelaku - Penggiat Mengangkat
Pelestarian Mengikis Budaya
Budaya Tersisa Budaya Sendiri
Budaya Tradisional
Because
Why?

Minim Jaminan Kurang SDM dan Usaha


Lebih Mendukung Because
Finansial bagi Menghargai Potensial
Pemasaran Produk Why?
Pelaku dan Kekayaan Diakuisisi Industri
Kreatif Asing
Pelestari Budaya Intelektual Kreatif Asing

Because
Why?
Aktivitas Shock Culture, Tertarik Tingginya
Tertekan
Komersial Terpengaruh Business Value
Persaingan Ketat
Kehilangan Pasar Hedonisme Gaya Kreatif Asing atas
di Negara Sendiri
Kesinambungan Hidup Asing Pasar Domestik

Persaingan Ketat
Masalah

Pasar Segmen Muda


Dasar

Sesama Penggiat
Domestik Dikuasai
Memperebutkan
Kreatifitas Asing
Pasar Sempit

Kajian Banding Dan Keterkaitan Faktor


Eksternal (Raksasa Industri Asing)
Simptom (Gejala) Berbagai Permasalahan

Berorientasi Pada Konsumtif, Mudah Minim Proteksi Minim Komunikasi Penetrasi


Pasar Asing dan Terpengaruh dan dan Kurang dan Aktivitas Pemasaran Ke
High End daripada Salah Identifikasi Mendapat Publik Diluar Segmen Muda
Pangsa Usia Muda Modernitas Prioritas Berbagai Aspek Komersial Negara Sasaran
Pihak

Strategi Kurang Produktif, Community Based, Kurang Integrasi Seluruh


Pengemasan Daya Minim Wawasan Terpencar dan Berintegrasi Stakeholder
Saing Kurang dan Kelemahan Minim Aktivitas Dengan Membangun
Tepat Sasaran Pondasi Mental Komersial Pemerintah dan Sektor Kreatif
Masyarakat

Aspek Komersial Minim Edukasi Belum mendapat Belum Tercipta Terciptanya


Menggunakan Mentalitas inkubasi dan Lingkaran Industri Lingkaran Industri
Cara Cara berbasis edukasi ekosistem Kuat di Sektor Kuat Sektor
Tradisional Entrepreneurship sektor kreatif Kreatif Kreatif
Pemerintah
Perspektif

Kelemahan di Sentralistik Minim inisiasi & Kelemahan Aspek Keseriusan


Kualitas Sistem regulasi memberi Roadmap Jelas Budaya Kerja Inisiatif Inkubasi
Pendidikan porsi masyarakat Membangun Birokrasi dan Edukasi
Nasional Sebatas obyek Ekosistem Kreatif Menyerap Strategi Ekosistem Kreatif
PRODEXA BUSINESS PARTNER 14
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

3. PROBLEM SOLVING

Eksistensi Budaya Kondisi Sosial Eksistensi Kreatif Aktivitas Industri Aktivitas Negara Raksasa
Tradisional Kemasyarakatan Digital PopCulture Kreatif Nasional Industri Kreatif Global
Kelestarian
Tujuan
Utama

Budaya Asli dan


Penambahan
Budaya Baru
Efek Domino Penyelesaian Tiap Masalah

Peningkatan Meregenerasi dan Peningkatan Dukungan How to


Jumlah Pelaku – Melestarikan Kontribusi Kreatif Industri Hiburan Read?
Pelestari Budaya Budaya Mengangkat atas Eksistensi
Tradisional Tradisional Budaya Sendiri Budaya Tradisionl
If
Then

Peningkatan Penghargaan Peningkatan Dukungan


Jaminan Finansial Penuh atas Aset Pelaku Kreatif dan Pemasaran Atas If
bagi Pelaku – Intelektualitas Penurunan Jumlah Produk Kreatif
Pelestari Bangsa Sendiri Akuisisi Dalam Negeri Then

If
Kesinambungan Menyerap Edukasi Peningkatan Daya Peralihan Business Then
Aktivitas Nilai Nilai Budaya Saing Marketshare Value Ke Produk
Komersial Tiap melalui Produk Kreatif Digital Pop Kreatif Asli Dalam
Elemen Budaya Kreatif Lokal Culture Nasional Negeri
Pencapaian
Parameter

Tiap Daerah
Peralihan orientasi
Memiliki Jaminan
Pasar ke Produk
Kesinambungan

Peralihan Minat Pasar


Pemasaran Berdasar
kreatif dalam negeri

Meredam Penetrasi
Pasar Sendiri

Orientasi Penuh Produktif, Membangun


Output

Membangun Penetrasi
Awal

pada Pasar Lokal, Berprinsip dan Proteksi dan Komunikasi dan Pemasaran Ke
Terutama Segmen Cerdas Mencerna Prioritas Berbagai Partnership Segmen Muda
Pasar Usia Muda Modernitas Stakeholder Komersial Negara Sasaran
Kajian Banding Dan Keterkaitan Faktor
Eksternal (Raksasa Industri Asing)

Eksekusi Strategi Meningkatkan Penyatuan Membangun Integrasi Seluruh


Pemasaran Lokal, Produktivitas, Komunitas Kemitraan Swasta, Stakeholder
Kinerja Developer

Terutama Segmen Wawasan dan Membangun Pemerintah dan Membangun


Pasar Usia Muda Pondasi Mental Aspek Komersial Masyarakat Sektor Kreatif

Implementasi Alternatif Edukasi Inkubasi dan Implementasi Terciptanya


Road Map berbasis Edukasi Ekosistem Road Map Jelas Lingkaran Industri
Pengembangan Entrepreneurship Serius Sektor Membangun Kuat Sektor
Budaya dan Manajemen Kreatif Digital Pop Lingkaran Industri Kreatif
Tradisional Bisnis Modern Culture Sektor Kreatif

Membangun Developer Kaji Banding Eksternal


Keseriusan
Pemerintah
Perspektif

Inisiatif Inkubasi
Memangkas Kelemahan Sistem dan Kerjasama Bottom Up dengan Pemerintah dan Edukasi
Ekosistem Kreatif
Kelemahan di Sentralistik Minim inisiasi & Kelemahan Aspek
Kualitas Sistem regulasi memberi Roadmap Jelas Budaya Kerja
Pendidikan porsi masyarakat Membangun Birokrasi
Nasional Sebatas obyek Ekosistem Kreatif Menyerap Strategi

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 15
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

4. KONDISIS IDEAL

Budaya Negara
Asing

Keterlibatan Peran
Swasta Lingkaran Pemerintah
Industri Kreatif
Luar Negeri

Pelaku Ekonomi
Kreatif

Konten Original
Produk Kreatif
Lingkaran
Sistem
Alat bantu Pemasaran Alat bantu
Industri Regulasi

Penetrasi
Pemasaran

PENOLAKAN PASAR POTENSIAL

Pasar Domestik Peralihan minat pasar


muda dari produk kreatif
(Segmen Muda) asing menuju produk
kreatif nasional

Alat bantu Edukasi Ekosistem Kreatif Alat bantu


Industri Berbasis budaya tradisional Industri
Sosialisasi dan Pemahaman
Potensi Indusri Kreatif dan Strategi Inkubasi,
Budaya Tradisional ke proteksi, dukungan
Dukungan Swasta Generasi Muda melalui fasilitas dan Roadmap
melalui berbagai berbagai aktivitas dan Jelas
aktivitas komersial produk kreatif komersial mengembangkan
dalam industri potensi generasi
muda dalam Industri
Lingkaran kreatif
Keterlibatan Industri Peran
Swasta Kreatif Pemerintah
Pelaku Budaya Tradisional
Pelaku Kreatif Digital Pop Nasional mendapat jaminan strategi
Culture mendapat jaminan pemasaran rasional
proteksi dan perhatian khusus Pelibatan Penuh sehingga tidak harus selalu
pemerintah sehingga tidak Generasi Muda bergantung dengan
harus bergantung dengan Pelaku Kreatif Menyatukan Aktivitas Pelaku Kreatif Program Pemerintah
kebijakan swasta yang kurang Pendukung Budaya Tradisional dan Inti
mutualis Kreatif Digital - Pop
(Digital, Pop Culture dalam
(Kebudayaan
Culture) lingkaran Industri Tradisional)

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 16
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

1. MEMANGKAS KELEMAHAN SISTEM


Sebagian besar gagasan, terutama yang menjangkau ranah makro lebih ke arah kritisi atas peran
pemerintah melalui penyajian berbagai permasalahan. Solusi yang ditawarkanpun cenderung
sebatas keluaran kaji banding eksternal yang belum tentu sesuai dengan berbagai variabel.
Sedangkan ranah makro sendiri merupakan aktivitas sistem yang tiap komponennya saling
mempengaruhi. Kurang rasional jika menempatkan pemerintah sebagai satu satunya pihak yang
wajib bertindak menyelesaikan berbagai permasalahan. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri
bahwa pemerintah merupakan operator utama yang menjadi penyebab pertama berbagai
permasalahan sistemik. Termasuk berbagai permasalahan sektor kreatif Indonesia yang mulai
tertinggal dibanding Negara Asia Pasifik Lainnya.
Peran pemerintah tercermin melalui ketetapan regulasi dan kinerja birokrasi menindak lanjuti
kebijakan baik di aspek strategi, taktis maupun operasional. Regulasi tercipta mengikuti koridor
sistem yang dikonstruksi sedemikian rupa melalui beragam proses yang tidak sederhana. Poin
kelemahan regulasi terletak pada rasionalitas konstruksi yang masih menggunakan sistem
tradisional dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Dibawah adalah beberapa ciri
kelemahan regulasi
1. Reaktif
Regulasi dibangun setelah terjadi masalah atau ancaman. Bukan dibangun sebagai prefentif
atas kelemahan. Regulasi juga dicitpakan hanya setelah menangkap peluang yang
sebelumnya sudah dijalankan sendiri oleh Masyarakat atau Swasta. Hanya sebagian kecil
regulasi yang mengukur kekuatan dan membangun potensi dari nol.
2. Rigid
Regulasi lebih berorientasi pada aspek yang terlihat (berwujud) daripada aspek yang tidak
berwujud. Contoh implementasi terlihat pada upaya pengembangan perekonomian yang
lebih memperhatikan sektor kaku semacam ketersediaan sumberdaya alam, migas, kekayaan
hayati daripada aset tak terlihat semacam sistem perekonomian, sistem pelayanan publik
atau sistem manajemen birokrasi pemerintah sendiri.

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 17
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

3. Tekstual
Regulasi dibangun mentah berdasar data data kuantitatif literal atau sebatas aturan di atas
kertas tanpa banyak detail tindak lanjut. Konteks tekstual juga mengarah pada model empiris
yang mematerialkan potensi. Sebagai contoh, sektor kreatif lebih menekankan pada produk
yang terlihat semacam produk fashion, kerajian dan produk informatika. Sehingga sektor lain
yang bersifat ide abstrak kurang pendapat perhatian.

Kelemahan lain terletak pada aspek budaya kerja dan kualitas SDM birokrasi. Kelemahan
menimbulkan sulitnya implementasi program pusat oleh minimnya kualitas birokrasi menyerap
strategi. Di sisi lain, terdapat pula faktor kepentingan tiap personal atau kelompok SDM
birokrasi yang menyebabkan hierarki tidak berjalan sebagaimana mestinya. Permasalahan
tersebut menyebabkan hambatan di pelayanan publik yang saling tumpang tindih.

Butuh waktu lama dan sumberdaya yang tidak sedikit untuk merombak berbagai permasalah
pemerintah yang sudah mengakar tersebut. Diperlukan upaya strategis memangkas kelemahan
sistem melalui metode paling efisien. Jika tidak, Liberalisasi perekonomian ASEAN justru
membuat Sektor kreatif Indonesia semakin terjajah Industri Asing.

Metode yang digunakan adalah membangun badan pengembang khusus yang murni berasal dari
masyarakat. Badan pengembang bersifat independen dan menjadi garis depan pengembang
Industri Kreatif melalui Tiga Strategi. Yaitu strategi memangkas kelemahan sistem, strategi
komuinikasi industri dan strategi pelibatan langsung masyarakat. Dasar konsep mengikuti
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri. Pendekatan yang
digunakan mengikuti ketetapan Kementrian perindustrian melalui pendekatan bottom-up yang
menetapkan kompetensi inti industri daerah. Sedangkan pusat turut membangun daya saing
melalui kinerja strategis berdasar roadmap.

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 18
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

2. INTEGRASI DUA KULTUR KREATIFITAS


Sumber utama permasalahan terletak pada minimnya perhatian pemerintah atas peran generasi
muda. Generasi muda masih dipandang sebagai obyek dan kurang dilibatkan dalam
pembangunan Negara. Sebagai contoh di aspek budaya tradisional. Tata cara penanaman budaya
asli masih menggunakan cara-cara “orang tua” yang kurang disukai generasi muda. Tata cara
tersebut masih berkutat di materi hafalan sekolah, penyelenggaraan ekspo, workshop, museum,
kewajiban ekstrakulikuler budaya, dan sebagainya. Sehingga, budaya yang ditanamkan tersebut
dilupakan sebagian besar generasi saat mereka menginjak usia dewasa.
Dari aspek pemasaranpun juga masih tidak jauh berbeda. Sebagian besar pemasaran produk
budaya tradisional lebih diarahkan kepada pasar sempit (pasar asing dan high end) daripada ke
generasi muda sendiri. Sehingga beragam upaya konservasi berbagai pihak, hanya menjangkau
sebagian kecil budaya yang saat ini menjadi ikon mayor pariwisata. Jika peran pemuda lebih
diperhatikan, akan ditemukan rasionalitas tepat menyajikan budaya dalam kemasan yang
disukai generasi penerus tersebut.
Sebagai kaji banding, Jepang dan Korea Selatan menyajikan tradisionalitas melalui jalur digital -
pop culture semacam komik, kartun, game, film dan sebagainya. Pendekatan tersebut berhasil
mempertahankan sebagian besar budaya asli oleh pengemasan yang berpihak pada minat
generasi sendiri. Cara tersebut juga mampu menanamkan budaya ke generasi negara lain
melalui penetrasi pemasaran produk kreatif serupa.
Kesuksesan raksasa industri sepatutnya menjadi contoh penerapan serupa di dalam negeri.
Komikus dalam negeri bisa diberdayakan mengangkat cerita cerita rakyat, menonjolkan
settingan bahasa, lokasi, kearifan lokal serta mengangkat atribut kental budaya sendiri dalam
tiap cerita yang disajikan. Selain itu, musik kontemporer juga bisa dipadukan bersama musik
tradisional. Kreator game, animasi dan kartun juga bisa mengangkat kisah kisah fenomenal
nusantara. Desainer dan arsitek bisa juga diberdayakan mengangkat kekayaan desain,
arsitektur, simbol, product package. Begitupun kuliner. Upaya tersebut selain mengangkat
budaya sendiri ke generasi muda, juga mengimbangi penetrasi pemasaran produk kreatif asing
yang menjadi permasalah utama kepunahan budaya.
3. PONDASI EMBRIO DAN INKUBASI
Pondasi embrio menjadi poin penting yang patut diperhatikan dalam membangun industri,
terutama di sektor kreatif. Fase tersebut patut menjawab tantangan krusial di aspek kualitas
SDM embrio kreatif. Industri Kreatif memiliki syarat kemandirian daya pikir yang jarang dimiliki
SDM muda Masyarakat. Hal tersebut didukung statment Departemen Perindustrian Negara yang
menyatakan hambatan utama Industri terletak pada kualitas SDM. Perlu upaya dekonstruksi
berbagai penanaman mentalitas destruktif yang tercipta oleh berbagai faktor, terutama faktor
pendidikan formal.

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 19
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

Perlu dibangun lembaga khusus yang berperan membangun kembali mentalitas SDM. Lembaga
tersebut berfungsi selain sebagai edukator, juga berperan sebagai mediator dan fasilitator
profesional bidang kreatif tradisional dan digital - pop culture melatih SDM binaan lembaga.
Selain itu, Lembaga juga berfungsi mengukur kinerja SDM berdasar sistem manajemen yang
digunakan, yaitu Integrated Tri – Cooridate.
Fase selanjutnya adalah inkubasi. Pada fase ini adalah fase penting menyatukan seluruh
komponen pendukung dalam satu lingkaran industri. Perlu menyatukan swasta, pemerintah,
professional dan masyarakat dalam satu roadmap jelas berdasar sistem. Pada fase ini penting
membuka berbagai akses pendanaan, pemasaran, link distribusi hingga penjaminan hak cipta.
Terdapat dua poin yang menjadi tantangan utama. Yaitu akses pendanaan dan dukungan
pemerintah. Ekonomi kreatif kurang memiliki agunan riil yang memenuhi standar kredit
perbankan. Sistem yang diterapkan perbankanpun kurang mendukung usaha baru yang
produknya masih butuh waktu diserap pasar. Dengan demikian, butuh jaminan dana lunak.
Yaitu dari pemindahan akses dana pemerintah yang sebelumnya diarahkan bagi program
program minim efisiensi. Cara lain adalah memberdayakan CSR melalui komunikasi dengan
swasta terkait.
Peran pemerintah sangat diperlukan sebagai katalis percepatan program. Peran tersebut
terutama diarahkan ke upaya memangkas penyerapan pasar melalui otoritas institusi.
Departemen pendidikan bisa menjadi link utama distribusi produk kreatif lokal yang langsung
diarahkan lembaga pendidikan terkait. Semisal komik edukasi dan budaya, tabloid atau jasa
desain. Selain itu, lembaga kebudayaan juga berperan penting memberikan workshop, pameran
dan sebagainya agar produksi program langsung diarahkan ke sasaran.

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 20
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

4. EDUKASI EKOSISTEM

Edukasi Ekosistem menjadi langkah lanjutan pematangan kreatifitas dalam lingkaran industri.
Proses ini mengedukasi berbagai pihak atas potensi program dalam menarik dukungan. Baik
dukungan pasar, dukungan masyarakat, pemerintah hingga swasta. Perlu upaya menarik minat
segmen muda melalui penetrasi pemasaran terstruktur. Dengan memperkuat jaminan pasar
memperkuat pula nilai bisnis dalam menarik dukungan swasta. Sebagaimana yang sudah
dijabarkan sebelumnya, faktor utama minat swasta mendukung produk keatif asing terletak
pada tingginya nilai bisnis berdasar jaminan pasar domestik yang sudah settle. Jika Program
pengembangan Industri berhasil diterapkan, maka mudah menjalin komunikasi dengan swasta
melalui berbagai kerjasama win win solution. Baik kerjasama investasi, pemasaran maupun
integrasi program industri.

5. REGULASI DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH

Aspek pemahaman lain adalah mengukur rasionalitas regulasi yang sudah ada. Model kebijakan
pemerintah cenderung reaktif terhadap peluang.

…… >>Next

Jurnal Manajemen Teknologi


PRODEXA BUSINESS PARTNER 21
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI

To Be Continued

5. REKONSTRUKSI
1. PONDASI REGULASI DAN KEBIJAKAN
2. REGIONAL DEVELOPMENT
3. PEMETAAN KOMPONEN INTI
4. PEMETAAN KOMPONEN PENDUKUNG
5. DASAR PENERAPAN SISTEM

6. KONSTRUKSI MANAJEMEN
1. PONDASI SISTEM MANAJEMEN
2. VISI, MISI DAN STRATEGI
3. WORKSHOP, ASISTENSI DAN PENGUKURAN
6. MENTALITAS, DUPLIKASI DAN OUTCOME

7. ROADMAPPING
1. PONDASI MANAJEMEN
2. INKUBASI
3. EDUKASI EKOSISTEM
4. PENGUKUHAN INDUSTRI REGIONAL
5. PENGEMBANGAN

8. CONTOH MODEL BISNIS


1. METODOLOGI RINGKAS
2. CONTOH PEMETAAN MODEL BISNIS
3. SEGMENTASI PASAR DAN VALUE PREPOTITION
4. CHANNELING DAN RELATIONSHIP
5. AKTIVITAS DAN SUMBERDAYA DAN STAKEHOLDER KUNCI
6. CONTOH PROYEKSI KEUANGAN

9. PENUTUP
1. KEMENTRIAN BARU BIDANG KREATIF
2. PENDEKATAN BOTTOM UP STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI
3. TINDAK LANJUT DISKUSI

10. REFERENSI

Jurnal Manajemen Teknologi

Anda mungkin juga menyukai