JURNAL MANAJEMEN
TEKNOLOGI
Indonesian Journal for Science Of Management
Rudy Haryanto
9/20/2014
PRODEXA BUSINESS PARTNER 2
JURNAL MANAJEMEN TEKNOLOGI
Alternatif Pengembangan
Subsektor Kreatif
Tradisional
Berbasis
Digital - Pop Culture
Rudy Haryanto
Abstract
Selama puluan tahun generasi muda dikuasai industri kreatif asing tanpa banyak menyisakan
peminat bagi aktivitas komersial beragam sub budaya tradisional. Selain menyebabkan budaya
tradisional ditinggalkan pelaku oleh sulitnya jaminan finansial, subsektor hiburan dan gaya hidup
populer mengedukasi generasi semakin jauh meninggalkan budaya sendiri. Minimnya regenerasi
dan rendahnya tingkat penghargaan atas budaya sendiri juga menjadi ancaman bagi eksistensi
budaya tradisional ke depannya. Perlu upaya serius merangkul kembali segmen usia muda sebagai
ujung tombak kelestarian budaya nusantara. Perlu strategi meraih minat pasar muda melalui cara
cara yang lebih mudah diserap sengment tersebut. Kuncinya terletak pada keseriusan melibatkan
generasi muda yang selama ini diperankan sebatas menjadi obyek program pemberdayaan..
Pelibatan tersebut terletak pada pengembangan Kreatifitas Digital dan Kultur Populer Nasional
dalam aktivitas industri berbasis budaya tradisional. Implementasi program meliputi inkubasi dan
edukasi ekosistem demi tercipta lingkaran industri kreatif kuat guna mendukung eksistensi
budaya nusantara sebagai komoditas unggulan Indonesia. Perlu langkah kreatif mengawal
kreatifitas Indonesia sebelum budaya tradisional benar benar ditinggalkan.
I. PENDAHULUAN
1. TRADISIONALITAS DALAM PERSPEKTIF INDUSTRI KREATIF
Budaya tradisional mengambil sebagian porsi dari 15 subsektor Industri Kreatif yang telah
dipetakan Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Subsektor kreatif lain meliputi
Periklanan, Arsitektur, Desain, Fashion, Game, Video dan Fotografi, Musik, Kuliner, Televisi dan
Radio, Riset dan Pengembangan hingga Layanan Komputer, Piranti Lunak dan Multimedia.
Deretan subsektor di atas memastikan bahwa Ekonomi kreatif bukan terbatas pada kerajinan,
kesenian atau pagelaran tradisional seperti paradigma umum sebagian besar masyarakat.
Ekonomi Kreatif adalah era baru perekonomian global yang bersumber dari kreatifitas SDM,
olah informasi, budaya dan pemberdayaan teknologi. Peralihan tersebut ditandai oleh tingginya
peran produk kreatif digital dan pop culture mengawal Negara Negara Modern menjadi raksasa
Industri.
Ekonomi Kreatif memiliki ranah luas. Secara umum Ekonomi Kreatif didefinisikan sebagai
kumpulan usaha olah daya cipta yang memiliki nilai ekonomis. Istilah “Ekonomi Kreatif” mulai
dikenal secara global sejak munculnya buku “The Creative Economy: How People Make Money
from Ideas” (2001) oleh John Howkins. Howkins dengan ringkas mendefinisikan Ekonomi
Kreatif sebagai “The creation of value as a result of idea”
Dalam sebuah wawancara oleh Donna Ghelfi dari World Intellectual Property Organization
(WIPO) di tahun 2005, John Howkins secara sederhana menjelaskan Ekonomi Kreatif yang
diartikan sebagai “Kegiatan ekonomi dalam masyarakat yang menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk menghasilkan ide, tidak hanya melakukan hal-hal yang rutin dan berulang.
Karena bagi masyarakat ini, menghasilkan ide merupakan hal yang harus dilakukan untuk
kemajuan.”
Industri Kreatif membuka akses penuh interaksi budaya lintas Negara. Interaksi tersebut
membuka ruang kompetisi antar budaya memperebutkan pengaruh. Persaingan tersebut terjadi
antara kreatifitas lokal berbasis budaya tradisional menghadapi Industri Kreatif asing berbasis
teknologi digital dan pop culture. Kompetisi tersebutlah faktor utama kemuduran kesenian dan
budaya tradisional oleh lemahnya daya saing.
Diperlukan rasionalitas tepat memposisikan kesenian dan budaya tradisional di puncak nilai
tawar tertinggi. Contoh rasionalitas tersebut meliputi kreatifitas ide bisnis, logika pemasaran,
edukasi ekosistem kreatif kontemporer hingga penerapan sistem manajemen paling modern.
Keempat contoh tersebut adalah aset tidak berwujud yang jarang diperhatikan dalam program
program pemberdayaan masyarakat dan UMKM.
II. FRAMEWORK
1. TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Jurnal didesain sedikit berbeda dari pakem karya tulis ilmiah pada umumnya. Keseluruhan
materi jurnal lebih difokuskan membangun tindakan daripada sebatas pembahasan masalah.
Pembahasan jurnal bertujuan mencari rasionalitas tepat mengembangkan budaya tradisional
melalui perspektif manajemen bisnis modern. Dengan demikian, berbagai analisis ke berbagai
aktivitas komersial dalam membangun industri berbasis ekonomi kreatif.
Materi Jurnal mengkaji dua subsektor potensi kreatif nasional. Yaitu budaya tradisional sebagai
business value utama, didampingi kreatifitas digital - pop culture sebagai komponen pendukung.
Ruang lingkup analisis mengkaji berbagai fenomena sistemik yang mempengaruhi dua
subsektor tersebut dari sudut pandang rasio bisnis dan investasi sebagai alat bantu. Dengan
demikian, olah kaji menggunakan keluaran kualitatif atas data meliputi ekosistem industri dan
iklim investasi, regulasi dan kebijakan, sosial kemasyarakatan, komponen sumberdaya,
teknologi dan infrastruktur serta pasar dan persaingan.
Sedangkan ruang lingkup implementasi di arahkan
2. ANALISIS PEMILIHAN FRAMEWORK
Sesuai dengan tujuan dan ruang lingkup, framework yang digunakan dalam patut memiliki
kualifikasi sebagai berikut
a. Kerangka kerja harus memiliki kapabilitas sebagai media analisis informasi sekaligus
mampu mengurai masalah sistemik menjadi poin poin penting gejala (sympthom) menuju
akar permasalahan (root cause). Dengan demikian, dapat ditemukan road map strategi
implementasi dimulai dari langkah sederhana paling realistis
b. Kerangka kerja harus memiliki Logical Frame sebagai acuan kesinambungan program dan
alat bantu mengkonstruksi manajemen secara optimal. Acuan tesebut difungsikan menjamin
kinerja manajemen tetap berjalan sesuai roadmap jangka panjang. Jadi bukan terbatas dari
bagaimana membangun, tapi juga bagaimana menjaga dan mengembangkan program.
c. Framework berorientasi penuh pada pengembangan dan kemandirian. Seluruh komponen
diproyeksikan berjalan sesuai sistem dalam program . SDM Masyarakat, Pemerintah serta
Swasta bisa bersinergi dalam satu lingkaran industri secara otomatis (mandiri). Dengan
demikian, semakin berkembang program, mudah dikontrol dan dikembangkan.
Sistem menjadi pembeda antara program jangka panjang dengan program jangka pendek.
Sistem adalah mesin yang menggerakkan konsep diatas kertas menjadi kinerja nyata melalui
berbagai strategi, taktis dan operasional. Sistem juga menjadi penjaga program berjalan secara
berkesinambungan. Dengan demikian, Integrated Tri – Coordinate (ITC) dipilih sebagai
kerangka kerja utama.
ITC merupakan merupakan framework sistem manejemen yang dimodifikasi khusus sebagai
mesin penggerak berbagai program pemberdayaan masyarakat. ITC menggabungkan berbagai
kerangka kerja baku yang meliputi Balance Scorecard, Performance Prism, IPMS, Project Cycle
Management, Business Model hingga Analisis SWOT. Dengan demikian, selain sebagai dasar
rancangan Sistem Manajemen, ITC juga didesain sebagai dasar konstruksi program baru yang
bisa diimplementasikan.
Parameter rasionalitas lainnya terletak pada solusi yang ditawarkan. Apakah solusi terstruktur
dan bisa ditindaklanjuti atau sebatas kesimpulan atas permasalahan. ITC membangun solusi
berdasar analisis pemetaan tersebut guna menemukan aspek kinerja mana yang perlu segera
ditindaklanjuti, aspek mana yang tidak perlu ditindaklanjuti, aspek mana yang perlu langkah
alternative dan aspek mana yang menjadi parameter pengukuran keberhasilan program. Dengan
demikian dapat ditemukan strategi efisien membangun roadmap jangka panjang melalui
langkah awal paling realistis diimplementasikan.
ITC mengambil resep manajemen perusahaan modern yang diadaptasikan secara sederhana ke
berbagai program pemberdayaan masyarakat. Gagasan menggunakan kerangka kerja standar
manajemen bisnis modern sebagai alat rasionalitas komersial program. Alat bantu tersebut
meliputi Standar Business Model sebagai media konsepsi dan Performance Management System
sebagai standar pengukuran dan pengembangan kinerja manajemen. Standar Model Bisnis
(Business Model Canvas) berfungsi sebagai alat ukur rasionalitas model bisnis. Kerangka
tersebut bisa dikembangkan sebagai Rencana Bisnis Atau Rencana Pemasaran yang bisa dijalani
secara professional oleh masyarakat bersama stakeholder.
Berdasar hasil oleh kerangka kerja, Jurnal memiliki format berbeda dengan rincian daftar isi
sebagai berikut
1. Analisis Situasi
2. Rekontruksi Chart Model
3. Uraian Solusi
4. Roadmap
5. Strategi Model Bisnis
6. Strategi Sistem Manajemen
7. Kesimpulan
Keseriusan Industri kreatif asing disambut baik oleh Pelaku Industri Nasional. Perusahaan besar
kreatif digital – pop culture nasional lebih mendukung masuknya produk kreatif asing melalui
berbagai aktivitas komersial. Begitu banyak perusahaan vendor elektronik, penerbit, penyedia
layanan multimedia, stasiun televisi swasta, perfilman nasional dan sebagainya memilih menjadi
pembuka akses utama produk kreatif asing ke dalam negeri daripada mengembangkan potensi
budaya sendiri. Selain itu, Pelaku kreatif perorangan, studio dan komunitas juga lebih memilih
bergabung dengan swasta mendukung masuknya budaya asing daripada mendukung kekayaan
budaya negara sendiri.
Fenomena tersebut semakin menempatkan budaya tradisional di posisi sulit. Generasi muda
yang seharusnya menjadi jaminan pasar utama justru diambil alih oleh produk budaya asing.
Seiring perkembangan jaman, semakin tersisih pula eksistensi budaya tradisional oleh lemahnya
daya saing. Dan lemahnya daya saing tersebut kurang diserap pemerintah guna membangun
solusi efektif. Pengemasan daya saing budaya tradisional justru lebih banyak diarahkan ke pasar
asing daripada ke generasi sendiri. Pemerintah kurang mengkaji keberhasilan raksasa industri
yang selama puluhan tahun menjajah pasar dalam negeri. Pengembangan sektor kreatif pun
justru mengikuti UK Creative Industry yang berorientsi ke invensi dan inovasi produk
pendukung industri manufaktur. Kurang tepatnya logika industri tersebut semakin membuka
lebar subsektor kreatif digital pop – culture asing oleh minimnya proteksi pasar dalam negeri.
Perlu strategi efektif membangun daya saing budaya tradisional dalam ruang kompetisi sektor
kreatif. Minimal menjaga potensi tersebut tetap eksis di negeri sendiri.
Secara regulatif Indonesia selangkah lebih maju dibanding Negara Negara ASEAN lainnya.
Pemerintah Indonesia menjadi yang pertama mengagendakan Ekonomi Kreatif dalam rencana
pengembangan ekonomi nasional. Regulasi tersebut teracantum dalam Road Map
Pengembangan Klaster Industri Prioritas Industri Penunjang Industri Kreatif dan Industri
Kreatif Tertentu Tahun 2010 – 2014. Sebelumnya terdapat Dokumen Rencana Pengembangan
Industri Kreatif 2025 mengikuti Perpres Nomor 28 Tahun 2008. Dengan demikian Indonesia
sudah memiliki wadah jelas atas pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai salah satu pilar
pengembangan Industri.
Akan tetapi, Produk kreatif berbasis budaya tradisional kurang memiliki porsi di 35 Roadmap
Pengembangan Klaster Industri Prioritas. Prioritas tersebut hanya mengambil subsektor yang
dipandang prospektif dan telah memiliki track record dalam perekonomian. Subsektor tersebut
meliputi perangkat, fashion serta Industri kerajinan dan barang seni. Ketiganya adalah
subsektor yang sukses mencetak pencapaian grafik eksport tahun 2008 sehingga menjadi latar
belakang pemerintah menetapkan kebijakan. Sedangkan Produk kreatif berbasis budaya
tradisional sebagian besar masih diarahkan ke sektor pariwisata meski menempati sekian poin
dari 15 subsektor yang telah dipetakan sebagai kekayaan intelektual.
Aktifitas kreatif digital – pop culture juga masih kurang mendapat perhatian. Belum banyak
upaya rasional mengawal aktifitas ekonomi kontemporer tersebut bisa lebih eksis di negeri
sendiri. Kebijakan Pemerintah juga berkaian dengan infrastruktur yang disediakan. Laporan
State of the Internet (kuartal III 2013) yang mencantumkan kualitas koneksi Internet Indonesia
muncul di posisi ke-118. Masih menempati posisi kedua terbawah di antara Negara-negara asia
pasifik lainnya. Data tersebut membuktikan minimnya perhatian pemerintah atas aktivitas
kreatif digital yang sebenarnya lebih potensial. Internet cepat buat apa?
Permasalahan lain terletak di akses pendanaan, pemasaran serta jaminan lisensi. Pelaku kreatif
dalam negeri masih kesulitan di pendanaan. Perbankan sebagai referensi finansial utama pun
belum sepenuhnya menyerap potensi subsektor tersebut sebagai jaminan kredit. Pemberdayaan
dana CSR pun masih diarahkan ke aktivitas rigid (kaku) semacam kesehatan, pertanian,
perikanan dan sebagainya. Akses pemasaran juga tidak jauh berbeda. Pelaku kreatif – pop
culture kurang mendapat akses pemasaran, preferensi agensi serta tertekan persaingan. Hingga
beberapa pelaku lebih memilih menjadi co creator pop culture luar negeri. Di sisi lain, terdapat
pula pebisnis start up dalam negeri yang lebih memilih diakuisisi asing. Belum lagi jaminan
lisensi atas karya intelektual. Keseluruhan permasalah tersebut mengindikasikan belum adanya
keseriusan pemerintah memasukan pop culture sebagai bagian dari perekonomian.
Budaya Negara
Asing
Dukungan Perusahaan berbasis media digital, Produk Kreatif Penetrasi Budaya melalui produk digital pop
elektronik, mobile dan publishing dalam culture semacam komik, kartun, hiburan gaya
menembus pasar kreatif global
Digital PopCulture hidup, game, internet, pertunjukan musik
Lingkaran
Sistem
Bantuan Pemasaran Bantuan
Industri Regulasi
Penetrasi
Pemasaran
Dukungan swasta
Orientasi Pasar
memasukan
Eksklusif luar
budaya asing
negeri melalui
melalui kerjasama
kerjasama minim
komersial
Generasi muda menolak proteksi budaya
bersama
budaya tradisional dan lokal
perusahaan asal Pasar Potensial memilih budaya popular
(Segmen Muda) asing sebagai gaya hidup
Keterlibatan Peran
Swasta Ekonomi Pemerintah
Kreatif
Ketergantungan pada Nasional Ketergantungan pada
Perusahaan Swasta (Tanpa Lingkaran) program pemerintah
Eksistensi Budaya Kondisi Sosial Eksistensi Kreatif Aktivitas Industri Aktivitas Negara Raksasa
Tradisional Kemasyarakatan Digital PopCulture Kreatif Nasional Industri Kreatif Global
Kepunahan
Beragam Sub
Budaya Asli
Nusantara
Implikasi Lanjutan Atas Permasalahan Inti
Because
Why?
Aktivitas Shock Culture, Tertarik Tingginya
Tertekan
Komersial Terpengaruh Business Value
Persaingan Ketat
Kehilangan Pasar Hedonisme Gaya Kreatif Asing atas
di Negara Sendiri
Kesinambungan Hidup Asing Pasar Domestik
Persaingan Ketat
Masalah
Sesama Penggiat
Domestik Dikuasai
Memperebutkan
Kreatifitas Asing
Pasar Sempit
3. PROBLEM SOLVING
Eksistensi Budaya Kondisi Sosial Eksistensi Kreatif Aktivitas Industri Aktivitas Negara Raksasa
Tradisional Kemasyarakatan Digital PopCulture Kreatif Nasional Industri Kreatif Global
Kelestarian
Tujuan
Utama
If
Kesinambungan Menyerap Edukasi Peningkatan Daya Peralihan Business Then
Aktivitas Nilai Nilai Budaya Saing Marketshare Value Ke Produk
Komersial Tiap melalui Produk Kreatif Digital Pop Kreatif Asli Dalam
Elemen Budaya Kreatif Lokal Culture Nasional Negeri
Pencapaian
Parameter
Tiap Daerah
Peralihan orientasi
Memiliki Jaminan
Pasar ke Produk
Kesinambungan
Meredam Penetrasi
Pasar Sendiri
Membangun Penetrasi
Awal
pada Pasar Lokal, Berprinsip dan Proteksi dan Komunikasi dan Pemasaran Ke
Terutama Segmen Cerdas Mencerna Prioritas Berbagai Partnership Segmen Muda
Pasar Usia Muda Modernitas Stakeholder Komersial Negara Sasaran
Kajian Banding Dan Keterkaitan Faktor
Eksternal (Raksasa Industri Asing)
Inisiatif Inkubasi
Memangkas Kelemahan Sistem dan Kerjasama Bottom Up dengan Pemerintah dan Edukasi
Ekosistem Kreatif
Kelemahan di Sentralistik Minim inisiasi & Kelemahan Aspek
Kualitas Sistem regulasi memberi Roadmap Jelas Budaya Kerja
Pendidikan porsi masyarakat Membangun Birokrasi
Nasional Sebatas obyek Ekosistem Kreatif Menyerap Strategi
4. KONDISIS IDEAL
Budaya Negara
Asing
Keterlibatan Peran
Swasta Lingkaran Pemerintah
Industri Kreatif
Luar Negeri
Pelaku Ekonomi
Kreatif
Konten Original
Produk Kreatif
Lingkaran
Sistem
Alat bantu Pemasaran Alat bantu
Industri Regulasi
Penetrasi
Pemasaran
3. Tekstual
Regulasi dibangun mentah berdasar data data kuantitatif literal atau sebatas aturan di atas
kertas tanpa banyak detail tindak lanjut. Konteks tekstual juga mengarah pada model empiris
yang mematerialkan potensi. Sebagai contoh, sektor kreatif lebih menekankan pada produk
yang terlihat semacam produk fashion, kerajian dan produk informatika. Sehingga sektor lain
yang bersifat ide abstrak kurang pendapat perhatian.
Kelemahan lain terletak pada aspek budaya kerja dan kualitas SDM birokrasi. Kelemahan
menimbulkan sulitnya implementasi program pusat oleh minimnya kualitas birokrasi menyerap
strategi. Di sisi lain, terdapat pula faktor kepentingan tiap personal atau kelompok SDM
birokrasi yang menyebabkan hierarki tidak berjalan sebagaimana mestinya. Permasalahan
tersebut menyebabkan hambatan di pelayanan publik yang saling tumpang tindih.
Butuh waktu lama dan sumberdaya yang tidak sedikit untuk merombak berbagai permasalah
pemerintah yang sudah mengakar tersebut. Diperlukan upaya strategis memangkas kelemahan
sistem melalui metode paling efisien. Jika tidak, Liberalisasi perekonomian ASEAN justru
membuat Sektor kreatif Indonesia semakin terjajah Industri Asing.
Metode yang digunakan adalah membangun badan pengembang khusus yang murni berasal dari
masyarakat. Badan pengembang bersifat independen dan menjadi garis depan pengembang
Industri Kreatif melalui Tiga Strategi. Yaitu strategi memangkas kelemahan sistem, strategi
komuinikasi industri dan strategi pelibatan langsung masyarakat. Dasar konsep mengikuti
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri. Pendekatan yang
digunakan mengikuti ketetapan Kementrian perindustrian melalui pendekatan bottom-up yang
menetapkan kompetensi inti industri daerah. Sedangkan pusat turut membangun daya saing
melalui kinerja strategis berdasar roadmap.
Perlu dibangun lembaga khusus yang berperan membangun kembali mentalitas SDM. Lembaga
tersebut berfungsi selain sebagai edukator, juga berperan sebagai mediator dan fasilitator
profesional bidang kreatif tradisional dan digital - pop culture melatih SDM binaan lembaga.
Selain itu, Lembaga juga berfungsi mengukur kinerja SDM berdasar sistem manajemen yang
digunakan, yaitu Integrated Tri – Cooridate.
Fase selanjutnya adalah inkubasi. Pada fase ini adalah fase penting menyatukan seluruh
komponen pendukung dalam satu lingkaran industri. Perlu menyatukan swasta, pemerintah,
professional dan masyarakat dalam satu roadmap jelas berdasar sistem. Pada fase ini penting
membuka berbagai akses pendanaan, pemasaran, link distribusi hingga penjaminan hak cipta.
Terdapat dua poin yang menjadi tantangan utama. Yaitu akses pendanaan dan dukungan
pemerintah. Ekonomi kreatif kurang memiliki agunan riil yang memenuhi standar kredit
perbankan. Sistem yang diterapkan perbankanpun kurang mendukung usaha baru yang
produknya masih butuh waktu diserap pasar. Dengan demikian, butuh jaminan dana lunak.
Yaitu dari pemindahan akses dana pemerintah yang sebelumnya diarahkan bagi program
program minim efisiensi. Cara lain adalah memberdayakan CSR melalui komunikasi dengan
swasta terkait.
Peran pemerintah sangat diperlukan sebagai katalis percepatan program. Peran tersebut
terutama diarahkan ke upaya memangkas penyerapan pasar melalui otoritas institusi.
Departemen pendidikan bisa menjadi link utama distribusi produk kreatif lokal yang langsung
diarahkan lembaga pendidikan terkait. Semisal komik edukasi dan budaya, tabloid atau jasa
desain. Selain itu, lembaga kebudayaan juga berperan penting memberikan workshop, pameran
dan sebagainya agar produksi program langsung diarahkan ke sasaran.
4. EDUKASI EKOSISTEM
Edukasi Ekosistem menjadi langkah lanjutan pematangan kreatifitas dalam lingkaran industri.
Proses ini mengedukasi berbagai pihak atas potensi program dalam menarik dukungan. Baik
dukungan pasar, dukungan masyarakat, pemerintah hingga swasta. Perlu upaya menarik minat
segmen muda melalui penetrasi pemasaran terstruktur. Dengan memperkuat jaminan pasar
memperkuat pula nilai bisnis dalam menarik dukungan swasta. Sebagaimana yang sudah
dijabarkan sebelumnya, faktor utama minat swasta mendukung produk keatif asing terletak
pada tingginya nilai bisnis berdasar jaminan pasar domestik yang sudah settle. Jika Program
pengembangan Industri berhasil diterapkan, maka mudah menjalin komunikasi dengan swasta
melalui berbagai kerjasama win win solution. Baik kerjasama investasi, pemasaran maupun
integrasi program industri.
Aspek pemahaman lain adalah mengukur rasionalitas regulasi yang sudah ada. Model kebijakan
pemerintah cenderung reaktif terhadap peluang.
…… >>Next
To Be Continued
5. REKONSTRUKSI
1. PONDASI REGULASI DAN KEBIJAKAN
2. REGIONAL DEVELOPMENT
3. PEMETAAN KOMPONEN INTI
4. PEMETAAN KOMPONEN PENDUKUNG
5. DASAR PENERAPAN SISTEM
6. KONSTRUKSI MANAJEMEN
1. PONDASI SISTEM MANAJEMEN
2. VISI, MISI DAN STRATEGI
3. WORKSHOP, ASISTENSI DAN PENGUKURAN
6. MENTALITAS, DUPLIKASI DAN OUTCOME
7. ROADMAPPING
1. PONDASI MANAJEMEN
2. INKUBASI
3. EDUKASI EKOSISTEM
4. PENGUKUHAN INDUSTRI REGIONAL
5. PENGEMBANGAN
9. PENUTUP
1. KEMENTRIAN BARU BIDANG KREATIF
2. PENDEKATAN BOTTOM UP STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI
3. TINDAK LANJUT DISKUSI
10. REFERENSI