1
2.10 Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan .......................................... 25
2.10.1 Pandangan Umum ......................................................................... 25
2.10.2 Penanganan pra-kehamilan ........................................................... 25
2.10.3 Penatalaksanaan hipertensi kronis selama keham8ilan ................. 27
2.10.4 Penatalaksanaan preeklamsi .......................................................... 28
2.10.5 Penatalaksanaa eklamsi ................................................................. 33
2.10.6 Pilihan obat anti hipertensi ............................................................ 37
2.10.7 Efek Samping Obat ....................................................................... 43
BABIII. KESIMPULAN ..................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 45
2
DAFTAR TABEL, GAMBAR, DAN BAGAN
TABEL HALAMAN
Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan .....................................10
Tabel 2.2 Penyebab yang mendasari hipertensi kronis .......................................... 12
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis .................................................................13
Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi ............................................................... 58
3
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan salah
satu dari tiga rangkaian penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga
banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Pada tahun 2001,
menurut National Center for Health Statistics, hipertensi gestasional telah diidentifikasi pada
150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Selain itu, Berg dan kawan-kawan (2003) melaporkan
bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian yang berhubungan dengan kehamilan di Amerika
Serikat dari tahun 1991 - 1997 adalah akibat dari komplikasi-komplikasi hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan.5
Secara umum, preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan proteinuria
yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia
kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida
biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur
lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.5
Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan
berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi
uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus- kasus berat. Kematian
janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio plasenta atau
vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat (IUGR). Di negara
berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan kelainan hipertensi dalam
kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi berat, kejang grand mal, dan
kerusakan end organ lainnya.4,5,7,17
4
BAB II
LAPORAN KASUS
I.2. ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis tanggal 26 Mei 2019 di Ruang Rawat Inap RSUD Pasar
Minggu pukul 11.00 WIB
a. Keluhan Utama
Pasien rujukan dari Puskesmas Pancoran dengan G4P3A0 hamil 36 minggu datang
dengan plasenta previa dan keluhan pusing sejak 1 minggu SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengaku hamil dirujuk dari Puskesmas Pancoran karena plasenta yang tidak
normal, pasien datang dengan hari pertama haid terakhir (HPHT) 06 September 2018 ̴ 36
minggu dengan taksiran persalinan 13 Juni 2019. Pasien mengaku rutin ANC di Puskesmas
Pancoran sebanyak 4 kali pada trimester pertama dan kedua, setelah itu, pasien ANC di
RSUD Pasar Minggu 1x pada trimester ketiga . Selama pasien kontrol, pasien mengaku
tekanan darah pasien normal dan perkembangan janin baik. Pasien mengaku tahu pertama kali
hamil menggunakan test pack saat usia kehamilan 3 minggu. USG pertama kali dilakukan
pada kehamilan 8 minggu. USG terakhir (25 Mei 2019) dengan JK: Laki-Laki, TBJ : 2900 gr.
Pasien sekarang merasa mulas, keluar air-air berwarna bening dan gerak janin masih aktif.
Pasien mengaku selama 8 bulan terakhir mengalami bengkak dikedua kakinya sehingga sulit
berjalan disertai dengan pandangan kabur. BAB dan BAK tidak ada keluhan, darah (-) lendir
(-), flek (-), mual (-) muntah (-), demam (-), berdebar (-), nyeri kepala (-).
5
c. Riwayat Kehamilan Saat ini
• HPHT = 06 September 2018
• TP = 13 Juni 2019
• Usia Kehamilan = 36 minggu
d. Riwayat Menstruasi
Menarche umur 12 tahun, siklus 28 hari, durasi 7-8 hari, 3-4 kali ganti pembalut 3x sehari,
nyeri saat haid tidak ada.
e. Riwayat Pernikahan
Menikah 1 kali. Pertama kali pada tahun 2001 saat usia 26 tahun.
f. Riwayat Obstetri
G4P3A0
1. 2002, laki-laki, lahir secara normal, usia kehamilan 37 minggu, BBL 3550 gram
2. 2005, laki-laki, lahir secara normal, usia kehamilan 38 minggu, BBL 4150 gram
3. 2011, laki-laki , lahir secara normal , usia kehamilan 37 minggu, BBL 4050 gram
4. Hamil ini
g. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memliki riwayat PCOS (+). Tidak pernah mengalami tekanan darah tinggi sebelum
hamil. DM disangkal. Asma disangkal. Penyakit jantung disangkal. Alergi disangkal,
Gangguan pembekuan darah disangkal . Riwayat operasi 1x, yaitu appendisitis
h. Riwayat Penyakit Keluarga
HT (-) DM (-) Asma (-) Penyakit jantung (-) Alergi (-) Gangguan pembekuan darah (-)
i. Riwayat Sosial Ekonomi
- Pekerjaan Suami adalah Pegawai Swasta dengan lulusan S1 ekonomi , sedangkan
pekerjaan pasien adalah pegawai swasta dengan lulusan S1 ekonomi
6
I.3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital :
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Frekuensi nadi : 87x/menit
Frekuensi napas : 16x/menit
Suhu : 36.5°C
BB sebelum hamil : 90 kg
BB setelah hamil : 112 kg
TB : 171 cm
IMT : 38.3 (overweight)
Status Generalis
Mata : Konjungtiva tidak pucat. sklera tidak ikterik
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa lembab
THT : Tidak ada sekret, tidak ada mukus
Jantung : Bunyi jantung S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikular, rhonki basah halus (-/-), wheezing tidak ada
Abdomen : Status Obstetrik
Genitlia : Status Genitalia
Ekstretnitas : Akral hangat, edema tidak ada -/-/-/-, CRT < 2 detik
Status Obstetrik
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak membuncit sesuai kehamilan, striae gravidarum (+)
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi :
Leopold 1 : TFU 30 cm, teraba bulat lunak, presentasi bokong
Leopold 2 : Punggung kiri
Leopold 3 : Teraba bulat keras, presentasi kepala
Leopold 4 : Konvergen, kesan belum masuk pintu atas panggul
DJJ : 156 dpm
Perkusi : Timpani
Status Genitalia
I : V/U tidak ada kelainan, tenang, perdarahan aktif (-)
7
IO : Tidak dilakukan
VT : Tidak dilakukan
I.4.2 USG
Hasil USG :
- Janin tunggal hidup, presentasi kepala, aktivitas gerakan janin normal.
- Tak tampak kelainan kongenital mayor. Jenis kelamin perempuan.
- Biometri janin DBP 85 mm; HC 300 mm; AC 323 mm; FL 64 mm; HL 60 mm, taksiran
berat janin 2550 gram, sesuai kehamilan 33-34 minggu, normal
- Plasenta berimplantasi di korpus depan meluas menutupu OUI, tampak lacuna ramai,
sebagian clear zone menghilang, bringing vessel (+), tebal miometrium tipis 1.8 mm, sesuai
dengan plasenta previa
I.6. DIAGNOSIS
HDK dd PEB pada G4P3A0 hamil 36 minggu dengan Plasenta Previa
I.7. PLANNING
- Protab PEB
- Dexametason 2x1 ampul IV
- Adalat oros 1x30 mg po
- Cek urin
-Konsul Jantung
9
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
11
1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan,
persalinan, atau pada wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan
non-proteinuri.
- Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)
- Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)
- Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi)
2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit
ginjal kronis (proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu)
- Hipertensi kronis (without proteinuria)
- Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa
hipertensi)
- Hipertensi kronis dengn superimposed
- Pre-eklamsi (proteinuria)
3. Unclassified hypertension dan/atau proteinuria
4. Eklampsia.18
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the
NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu :
1. Hipertensi gestasional
2. Preeklamsi
3. Eklamsi
4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis
5. Hipertensi kronis.2,4,5,7,10,16
12
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu
beristirahat 140/90 mmHg atau lebih besar. Pada masa lalu, telah
dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau
sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila
tekanan darah saat diukur di bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut
sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti menunjukkan bahwa
wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek
samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah
biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik
pada primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik
sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik
karena hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang
normotensi. Oedem dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi
tangan, muka, dan tungkai.5,7,10,16
13
- Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
- Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri
epigastrium atau trombositopenia.5
2.3.2 Preeklamsi
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley
(1985) menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan
tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam
melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak
menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat proteinuria
dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24 jam, bahkan pada
kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak
membuktikan adanya proteinuria yang berarti.2,5
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi
adalah hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium
yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi
meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan
secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri
epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut.5
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan
akibat nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan
kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum
hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk
mengakhiri kehamilan.5
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang
memburuk, dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan
agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh
vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan
ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi
dan merupakan indikasi penyakit yang berat.5
Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan
fungsi jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan
janin yang nyata.5
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
14
Kriteria minimal, yaitu :
- TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
- Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :
- TD 160/110 mmHg.
- Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
- Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah
meningkat.
- Trombosit <100.000/mm3.
- Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
- peningkatan ALT atau AST.
- Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
- Nyeri epigastrium persisten.5
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas
abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak
ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus
dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan
berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat
berkembang dengan cepat menjadi berat.5
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis
preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut
tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita
dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan
darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah
mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan
darah yang cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri
kepala berat yang persisten atau gangguan visual.5
15
Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada
Serum Kreatinin Normal Meningkat
Trombositopeni Tidak ada Ada
Peningkatan enzim hati Minimal Nyata
Hambatan pertumbuhan janin Tidak ada Nyata
Oedem paru Tidak ada Ada
Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan 5
2.3.3 Eklamsi
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak
dapat dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi
secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan.
Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama nulipara,
serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah
perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum dan
intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan
bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum
(Chames dan kawan-kawan, 2002).5
16
beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia 20
minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat
sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal
terjadinya preeklamsi. 1,10,19
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan
dialami selama kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial
merupakan penyebab dari penyakit vaskular pada > 90% wanita hamil.
Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum lainnya. Pada
beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari penyakit
parenkim ginjal yang mendasari.5
Hipertensi esensial
Obesitas
Kelainan arterial :
Hipertensi
renovaskular
Koartasi aorta
Gangguan-gangguan
endokrin :
Diabetes mellitus
Sindrom cushing
Aldosteronism primer
Pheochromocytoma
Thyrotoxicosis
Glomerulonephritis
(akut dan kronis)
Hipertensi renoprival :
Glomerulonephritis
kronis
Ketidakcukupan ginjal
kronis
Diabetic nephropathy
17
Penyakit jaringan
konektif :
Lupus erythematosus
Systemic sclerosis
Periarteritis nodosa
Penyakit ginjal
polikistik
Gagal ginjal akut
Tabel 2.2 Penyebab yang mendasari hipertensi kronis 5
Sedangkan klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat
dilihat pada tabel 2.3.13
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre – hipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi stadium I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi stadium II ≥ 160 ≥ 100
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis 13
2.4 Insidensi
Wanita kulit hitam memiliki kecenderungan mengalami preeklamsi
dibandingkan kelompok rasial lainnya. Preeklamsi umumnya terjadi pada
usia maternal ekstrim (< 18 tahun atau > 35 tahun). Peningkatan prevalensi
hipertensi kronis pada wanita > 35 tahun dapat menjelaskan mengapa
terjadi peningkatan frekuensi preeklamsi diantara gravida tua.4,5,7,10
Selain itu, meskipun merokok selama kehamilan dapat
menyebabkan berbagai hal yang merugikan, ironisnya merokok
telah dihubungkan secara konsisten dengan risiko hipertensi yang
18
menurun selama kehamilan. Placenta previa juga telah dilaporkan dapat
mengurangi risiko gangguan-gangguan hipertensi pada kehamilan.5
Di Amerika Serikat angka terjadinya eklamsi telah menurun karena
sebagian besar wanita sekarang ini menerima perawatan prenatal yang
cukup.
2.5 Faktor Risiko
Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Faktor risiko maternal :
- Kehamilan pertama
- Primipaternity
- Usia < 18 tahun atau > 35 tahun
- Riwayat preeklamsi
- Riwayat preeklamsi dalam keluarga
- Ras kulit hitam
- Obesitas (BMI ≥ 30)
- Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.5,7
19
- Hidrops fetalis
- Penyakit trofoblastik gestasional
- Triploidi.3,4,5,7
2.6 Etiologi
Menurut Sibai (2003), sebab-sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab
preeklamsi adalah sebagai berikut :
1. Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus.
2. Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin.
3. Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi
dari kehamilan normal.
4. Faktor nutrisi.
5. Pengaruh genetik.5
20
Gambar 2.1 Implantasi plasenta normal5
21
Karena preeklamsi terjadi paling sering pada kehamilan pertama,
terdapat spekulasi bahwa terjadi reaksi imun terhadap antigen paternal
sehingga menyebabkan kelainan ini.5
Hanya ada sedikit data yang mendukung keberadaan teori bahwa
preeklamsi adalah proses yang dimediasi sistem imun. Perubahan adaptasi
pada sistem imun dalam patofisiologi preeklamsia dimulai pada awal
trimester kedua. Wanita yang cenderung mengalami preeklamsi memiliki
jumlah T helper cells (Th1) yang lebih sedikit.dibandingkan dengan wanita
yang normotensif. Ketidakseimbangan ini terjadi karena terdapat dominasi
Th2 yang dimediasi oleh adenosin. Limfosit T helper ini mengeluarkan
sitokin spesifik yang memicu implantasi dan kerusakan pada proses ini
dapat menyebabkan preeklamsi.3,5,16
22
2.6.4 Faktor nutrisi
Beberapa studi telah membuktikan hubungan antara kekurangan
makanan dan insidensi terjadinya preeklamsi. Hal ini telah didahului oleh
studi-studi tentang suplementasi dengan berbagai unsur seperti zinc,
kalsium, dan magnesium yang dapat mencegah preeklamsi.3,5,8
2.6.5 Faktor genetik
Predisposisi herediter terhadap hipertensi tidak diragukan lagi
berhubungan dengan preeklamsi dan tendensi untuk terjadinya preeklamsi
juga diturunkan.3,5
2.7 Patofisiologi
Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti,
preeklamsi merupakan suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu
vasospasme. Pada beberapa kasus, mikroskop cahaya menunjukkan bukti
23
insufisiensi plasenta akibat kelainan tersebut, seperti trombosis plasenta
difus, inflamasi vaskulopati desidua plasenta, dan invasi abnormal
trofoblastik pada endometrium. Hal-hal ini menjelaskan bahwa
pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan plasenta akibat
mikrotrombosis difus merupakan pusat perkembangan kelainan ini.4,5,7
Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme,
dengan konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif
dibandingkan dengan kehamilan normal. Sistem vaskular pada wanita
hamil menunjukkan adanya penurunan respon terhadap peptida vasoaktif
seperti angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi
menunjukkan hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini dan hal ini
merupakan gangguan yang dapat terlihat bahkan sebelum hipertensi
tampak jelas. Pemeliharaan tekanan darah pada level normal dalam
kehamilan tergantung pada interaksi antara curah jantung dan resistensi
vaskular perifer, tetapi masing-masing secara signifikan terganggu dalam
kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50% karena peningkatan nadi dan
volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang bersirkulasi
meningkat pada trimester II, tekanan darah cenderung untuk menurun,
menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi
diakibatkan karena penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh
darah terhadap angiotensin karena adanya prostaglandin vasodilator. 4,5,7
Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal
yang terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi
terhadap perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel yang luas
menimbulkan manifestasi klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi
susunan saraf pusat, hepar, pulmonal, renal, dan sistem hematologi.
Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran kapiler patologis yang dapat
bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan berat badan yang cepat, edema
non dependen (muka atau tangan), edema pulmonal, dan hemokonsentrasi.
Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin dapat terkena dampaknya
akibat penurunan aliran darah utero-plasenta. Penurunan perfusi ini
menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju jantung janin yang non-
reassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion, dan pertumbuhan
janin terhambat pada kasus-kasus yang berat.4,5,7
24
Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah
sedikit, sedangkan tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada
usia kehamilan muda (13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke
III. Pembentukkan ruangan intervillair, yang menurunkan resistensi
vaskular, lebih lanjut akan menurunkan tekanan darah.4,5,7
Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya sebagai patogenesis dari
konvulsi eklamsi meliputi vasokonstriksi atau vasospame serebral,
hipertensi ensefalopati, infark atau edema serebral, perdarahan serebral,
dan ensefalopati metabolik. Akan tetapi, tidak ada kejelasan apakah
penemuan ini merupakan sebab atau efek akibat konvulsi.4,5,7,19
25
terjadi perubahan fungsi ginjal, aliran darah ginjal menurun, kecepatan
filtrasi glomerulus menurun yang mengakibatkan menurunnya klirens
asam urat dan akhirnya terjadi peningkatan kadar asam urat serum. Rata-
rata kadar asam urat mulai meningkat 6 minggu sebelum preeklampsia
menjadi berat.19
Konsentrasi asam urat > 350 umol/l merupakan pertanda suatu
preeklampsia berat dan berhubungan dengan angka kematian perinatal
yang tinggi khususnya pada umur kehamilan 28-36 minggu. Pada
penderita yang sudah terbukti preeklampsia maka kadar asam urat serum
menggambarkan beratnya proses penyakit.19
2. Kadar Kalsium
Beberapa peneliti melaporkan adanya hipokalsiuria dan perubahan
fungsi ginjal pada pasien preeklampsia. Perubahan-perubahan tersebut
terjadi beberapa waktu sebelum munculnya tanda-tanda klinis. Hal ini
terlihat dari perubahan hasil tes fungsi ginjal. Rondriquez mendapatkan
bahwa pada umur kehamilan 24-34 minggu bila didapatkan
mikroalbuminuria dan hipokalsiuria ini dideteksi dengan pemeriksaan
tes radioimunologik.19
26
Pada keadaan hipertensi dalam kehamilan terjadinya penurunan
volume plasma sesuai dengan beratnya penyakit. Terjadinya penurunan
volume plasma sebesar 30%-40% dari nilai normal.
27
dalam kehamilan. Bellenger melaporkan peningkatan kadar fibronectin
sebagai tanda awal preeklampsia pada 31 dari 32 wanita dengan usia
kehamilan antara 25-36 minggu. Kadar fibronectin meningkat antara
3,6 – 1,9 minggu lebih awal dari kenaikan tekanan darah atau
proteinuria. 19
2.8.4. Ultrasonografi
Dalam 2 dekade terakhir ultrasonografi semakin banyak dipakai
alat penunjang diagnostik dalam bidang obstetri. Bahkan dengan
perkembangan teknik Doppler dapat dilakukan pengukuran gelombang
kecepatan aliran darah dan volume aliran darah pada pembuluh darah
besar seperti arteri uterina dan arteri umbilikalis. Pada wanita penderita
hipertensi dalam kehamilan sering ditemukan kelainan gelombang arteri
umbilikalis, dimana dapat terlihat gelombang diastolik yang rendah, hilang
atau terbalik.19
Penentuan letak plasenta ini dilakukan dengan pemeriksaan USG
real time. Dikatakan bahwa bila plasenta terletak unilateral maka arteri
uterina yang terdekat dengan plasenta mempunyai tahanan yang lebih
rendah dibandingkan dengan yang lainnya, sedang pada plasenta letak
sentral tahanan kedua arteri tersebut sama besarnya. Pada tahanan yang
lebih besar tersebut dapat menurunkan aliran darah uteroplasenter yang
merupakan salah satu kelainan dasar pada preeklampsia. Terjadinya
hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu mekanisme kompensasi
untuk meningkatkan aliran darah uterus yang disebabkan oleh iskemia.19
Ultrasonografi dapat digunakan sebagai alat untuk pemeriksaan
wanita hamil dengan risiko tinggi sebab cara ini aman, mudah dilakukan,
tidak invasif dan dapat dilakukan pada kehamilan muda. 19
2.9 Pencegahan
Beragam strategi telah digunakan dalam melakukan pencegahan
terhadap terjadinya preeklamsia dan eklamsi. Setelah dilakukan evaluasi
terhadap strategi-strategi ini, tidak ada satupun yang terbukti efektif secara
klinis.5
28
2.9.1 Pencegahan preeklamsi
1. Manipulasi diet
Salah satu cara yang paling awal dalam mencegah preeklamsia
adalah pembatasan garam. Setelah beberapa tahun diselidiki,
pembatasan garam tidaklah penting.
Sekitar 14 penelitian secara acak dan sebuah meta-analisis
menunjukkan bahwa suplementasi kalsium pada waktu antenatal
menghasilkan penurunan yang signifikan dari tekanan darah dan
insidensi preeklamsia.5,8
3. Antioksidan
Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi
lipid yang berperan dalam kerusakan endotel. Pada penelitian lain,
dengan pemberian vitamin C sebanyak 1000 mg/hari dan vitamin E
400 IU/ hari pada usia kehamilan 16 – 22 minggu berhubungan dengan
rendahnya insidensi preeklamsi. Karena itu masih perlu dilakukan
penelitian sebelum menyarankan penggunaan Vitamin C dan E untuk
penggunaan secara klinis.13
4. Suplemen kalsium
Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan
antara asupan diet rendah kalsium dengan terjadinya preeklamsi.
Dengan pemberian suplemen kalsium sebanyak 1,5 – 2 g/hari telah
disarankan untuk upaya pencegahan preeklamsi. Pemberiannya bisa
menguntungkan untuk mereka yang termasuk kelompok dengan
asupan kalsium yang memang kurang atau pada kelompok risiko
tinggi, seperti mereka dengan riwayat preeklamsi berat.6
5. N-Acetylcystein
29
Diduga dapat mencegah preeklamsi karena sifatnya sebagai anti
radikal bebas atau antioksidan, sehingga pemberian obat ini diharapkan
dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah yang
diakibatkan kerusakan sel endotel pembuluh darah. Namun pemberian
obat ini masih kontroversi. Meskipun demikian beberapa ahli sudah
mencoba menggunakan obat ini.6
30
sulfat hanya direkomendasikan pada wanita yang dirawat dengan
diagnosis preeklamsi. Magnesium sulfat diberikan selama persalinan dan
12-24 jam postpartum. Namun tidak ada data yang mendukung pemberian
profilaksis magnesium sulfat pada wanita dengan hipertensi ringan.17
31
faeokromositoma karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi
apabila keadaan ini tidak terdiagnosa pada ante partum.13
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada
akhir trimester untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan
tekanan darah yang tinggi (140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit
sekitar 2-3 hari untuk menentukan beratnya hipertensi. Wanita hamil
dengan hipertensi yang berat akan dievaluasi secara ketat bahkan dapat
dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang
ringan dapat menjalani rawat jalan.13
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan,
penting diketahui mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang
telah diketahui aman digunakan selama kehamilan, seperti metildopa atau
beta bloker. Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan sebelum
terjadinya konsepsi atau segera setelah kehamilan terjadi.13
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan
hipertensi berat, terutama apabila terdapat hipertensi yang persisten atau
bertambah berat atau munculnya proteinuria. Evaluasi secara sistematis
meliputi :
1. Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis
seperti sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan
penambahan berat badan secara cepat.
2. Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari
setelahnya.
3. Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.
4. Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali
saat pertengahan tengah malam dengan pagi hari.
5. Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim
hati, frekuensi pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.
6. Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis
dan dengan menggunakan ultrasonografi.4,5,7,10
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-
harinya yang berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula
dengan pemberian sedatif. Diet harus mengandung protein dan kalori
32
dalam jumlah yang cukup. Pembatasan garam tidak diperlukan asal tidak
berlebihan.5
33
dilaporkan. Kebanyakan prognosis paling buruk berhubungan dengan
superimposed preeklamsi. Lebih jauh lagi, wanita dengan hipertensi kronis
mempunyai faktor risiko lebih tinggi dalam memperburuk prognosis
neonatal jika proteinuria didapatkan pada awal kehamilan.5,7,15
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum
kehamilan sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap
janin dapat diganti dengan obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil
dopa merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan dan tetap
menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang
baik. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif garam
atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus dihentikan
apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat.
Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi kronis
tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular
yang mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat lini pertama
yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra
indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin
atau labetalol dapat digunakan.3,5,15
34
Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk
mengawasi perjalanan penyakit karena penyakit ini dapat memburuk
sewaktu-waktu. Adanya gejala seperti sakit kepala, nyeri ulu hati,
gangguan penglihatan dan proteinuri meningkatkan risiko terjadinya
eklamsi dan solusio plasenta. Pasien-pasien dengan gejala seperti ini
memerlukan observasi ketat yang dilakukan di rumah sakit. Pasien
harus diobservasi tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan klirens
kreatinin dan protein total seminggu 2 kali, tes fungsi hati, asam urat,
elektrolit, dan serum albumin setiap minggu. Pada pasien preeklamsi
berat, pemeriksaan fungsi pembekuan seperti protrombin time, partial
tromboplastin time, fibrinogen, dan hitung trombosit. Perkiraan berat
badan janin diperoleh melalui USG saat masuk rumah sakit dan setiap 2
minggu. Perawatan jalan dipertimbangkan bila ketaatan pasien baik,
hipertensi ringan, dan keadaan janin baik. Penatalaksanaan terhadap ibu
meliputi observasi ketat tekanan darah, berat badan, ekskresi protein
pada urin 24 jam, dan hitung trombosit begitu pula keadaan janin
(pemeriksaan denyut jantung janin 2x seminggu). Sebagai tambahan,
ibu harus diberitahu mengenai gejala pemburukan penyakit, seperti
nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan gangguan penglihatan. Bila ada
tanda-tanda progresi penyakit, hospitalisasi diperlukan. Pasien yang
dirawat di rumah sakit dibuat senyaman mungkin. Ada persetujuan
umum tentang induksi persalinan pada preeklamsi ringan dan keadaan
servik yang matang (skor Bishop >6) untuk menghindari komplikasi
maternal dan janin. Akan tetapi ada pula yang tidak menganjurkan
penatalaksanaan preeklamsi ringan pada kehamilan muda. Saat ini tidak
ada ketentuan mengenai tirah baring, hospitalisasi yang lama,
penggunaan obat anti hipertensi dan profilaksis anti konvulsan. Tirah
baring umumnya direkomendasikan terhadap preeklamsi ringan.
Keuntungan dari tirah baring adalah mengurangi edema, peningkatan
pertumbuhan janin, pencegahan ke arah preeklamsi berat, dan
meningkatkan outcome janin. Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan
kecuali tekanan darah melonjak dan usia kehamilan 30 minggu atau
kurang. Pemakaian sedatif dahulu digunakan, tetapi sekarang tidak
dipakai lagi karena mempengaruhi denyut jantung istirahat janin dan
35
karena salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor pembekuan
yang tergantung vitamin K dalam janin.
Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali
dengan NST dan USG terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non
reaktif memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan profil biofisik dan
oksitosin challenge test. Amniosentesis untuk mengetahui rasio
lesitin:sfingomielin (L:S ratio) tidak umum dilakukan karena persalinan
awal akibat indikasi ibu, tetapi dapat berguna untuk mengetahui tingkat
kematangan janin. Pemberian kortikosteroid dilakukan untuk
mematangkan paru janin jika persalinan diperkirakan berlangsung 2-7
hari lagi. Jika terdapat pemburukan penyakit preeklamsi, maka monitor
terhadap janin dilakukan secara berkelanjutan karena adanya bahaya
solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter.5,15
2. Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah
konvulsi, mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan
persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat
terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang
atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia
kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk
mendapatkan NICU yang baik.15
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk
dengan progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan
janin. Oleh karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa
memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila
terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat
janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu.
Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi
kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan
keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas neonatal jangka
pendek dan jangka panjang.5,15,20
Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu yang menderita
preeklamsi ringan harus memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38
36
minggu, wanita dengan preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang
sesuai harus diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34
minggu dengan preeklamsi berat harus dipertimbangkan persalinan dan
janin sebaiknya diberi kortikosteroid. Pada pasien dengan usia
kehamilan 23-32 minggu yang menderita preeklamsi berat, persalinan
dapat ditunda dalam usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
perinatal. Jika usia kehamilan < 23 minggu, pasien harus diinduksi
persalinan untuk terminasi kehamilan.15
Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi
berat adalah mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti
ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium
sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah
dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk
pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan
diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan
mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg , sedangkan yang
lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg.
Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah 126
mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik
< 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial
pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah
hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi
bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis
tersebut hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau
jika ibu mengalami efek samping seperti takikardi, sakit kepala, atau
mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan.
Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan hidralazin,
beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi
preeklamsi berat.
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi
berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada
awal puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan. Setelah
pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka pemberian
hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post
37
partum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama
masih diperlukan.5,7,15,20
Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125
ml perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare,
diaforesis, atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan
hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan
pembuluh darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga
pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan
secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada cairan
ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara cairan
intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan yang banyak
dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga
meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau edema otak.20
Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal
dihindarkan pada wanita dengan preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan
utama karena adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat blokade
simpatis. Ada juga pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena
blokade simpatis dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi
plasenta. Ketika teknik analgesi telah mengalami kemajuan beberapa
dekade ini, analgesi epidural digunakan untuk memperbaiki
vasospasme dan menurunkan tekanan darah pada wanita penderita
preeklamsi berat. Selain itu, klinisi yang lebih menyenangi anestesi
epidural menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat terjadi
penigkatan tekanan darah tiba-tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea
dan dapat menyebabkan edema pulmonal, edema serebral dan
perdarahan intrakranial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wallace
dan kawan-kawan menunjukkan bahwa penggunaan anestesi baik
metode anestesi umum maupun regional dapat digunakan pada
persalinan dengan cara seksio sesarea pada wanita preeklamsi berat jika
langkah-langkah dilakukan dengan pertimbangan yang hati-hati.
Walaupun anestesi epidural dapat menurunkan tekanan darah, telah
dibuktikan bahwa tidak ada keuntungan signifikan dalam mencegah
hipertensi setelah persalinan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah
anestesi epidural aman digunakan selama persalinan pada wanita
38
dengan hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan terapi
terhadap hipertensi.4,5,15,20
Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Indikasi ibu
- Usia kehamilan ≥ 38 minggu
- Hitung trombosit < 100.000 sel/mm3
- Kerusakan progresif fungsi hepar
- Kerusakan progresif fungsi ginjal
- Suspek solusio plasenta
- Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
- Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah
b. Indikasi janin
- IUGR berat
- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring
- Oligohidramnion.9
39
Magnesium sulfat yang diberikan secara parentral hampir
seluruhnya diekskresikan lewat ginjal. Intoksikasi magnesium sulfat
dapat dihindari dengan memastikan bahwa keluaran urine adekuat,
reflek patella positif, dan tidak adanya depresi pernafasan. Konvulsi
eklamsi dan kejadian ulangannya hampir selalu dapat dicegah dengan
mempertahankan kadar magnesium dalam plasma sebesar 4- 7mEq/L
(4.8 – 8.4 mg/dL atau 2.0 – 3.5 mmol/L). Pemberian infus intravena
awal sebesar 4-6 gram dipakai untuk membuat pemeliharaan tingkat
pengobatan yang tepat dan dilanjutkan dengan injeksi intra muskular
10 gram, diikuti 5 gram setiap 4 jam atau infus kontinu 2-3 gram per
jam. Jadwal dosis pemberian seperti ini diharapkan dapat
mempertahankan tingkat plasma efektif sebesar 4-7 mEq/L.5,15
Setelah pemberian 4 gram magnesium secara intravena selama 15
menit, akan terjadi penurunan sedikit pada MABP dan peningkatan
cardiac index sebesar 13%. Dengan demikian, magnesium menurunkan
resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arteri rata-rata dan pada
saat yang bersamaan meningkatkan cardiac output tanpa depresi
miokardium. Hal ini tampak pada pasien berupa mual sementara dan
flushing, efek kardiovaskular ini hanya menetap selama 15 menit.5,15
Ion magnesium dalam konsentrasi yang tinggi dapat mendepresi
kontraktibilitas miometrium. Namun dengan menjalani regimen yang
telah ditentukan, maka tidak ada bukti penurunan kontraktibilitas
miometrium. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa
magnesium sulfat tidak mengganggu induksi oleh oksitosin.
Mekanisme magnesium dalam menginhibisi kontraktibilitas
miometrium tidak jelas benar, tetapi diasumsikan tergantung dari efek
pada kalsium intraselular. Jalur reguler kontraksi uterus adalah
peningkatan kalsium bebas intraselular yang akan mengaktivasi rantai
ringan miosin kinase. Konsentrasi tinggi magnesium tidak hanya
menginhibisi influk kalsium ke sel-sel miometrium, tetapi juga
menyebabkan kadar kalsium intraselular yang tinggi. Mekanisme
penghambatan kontrasi uterus tergantung dari dosis, yaitu berkisar 8-10
mEq/L. Hal ini menjelaskan mangapa tidak pernah terjadi hambatan
40
kontrasi uterus ketika magnesium diberikan untuk terapi dan profilaksis
eklamsi dengan menggunakan regimen yang telah ditentukan.5,15
Magnesium sulfat tidak menyebabkan depresi pada janin kecuali
terjadi hipermagnesemia berat saat persalinan. Gangguan neonatus
setelah terapi dengan magnesium juga tidak pernah dilaporkan.
Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara infus intra vena
kontinu untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1. Berikan 4-6 gram loading dose magnesium sulfat yang diencerkan
dalam 100 mL cairan infus sekitar 15-20 menit.
2. Mulai dengan dosis 2 gram/ hari dalam 100 ml cairan infus
pemeliharaan.
3. Ukur serum magnesium setiap 4-6 jam dan sesuaikan infus untuk
menjaga level plasma 4-7 mEq/L.
4. Magnesium sulfat tidak dilanjutkan 24 jam setelah persalinan.5
Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara injeksi intra
muskular intermiten untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1. Berikan 4 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan
kecepatan tidak lebih dari 1 gram/menit.
2. Dilanjutkan dengan 10 gram magnesium sulfat 50%, 5 gram
diinjeksikan pada masing-masing kuadran atas bokong kanan-kiri
dengan menggunakan jarum 3 inchi (tambahkan 1 ml lidocain 2%
untuk mengurangi nyeri). Jika konvulsi teteap terjadi setelah 15
menit, berikan tambahan 2 gram magnesium sulfat 20% secara
intra vena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit.
3. Setiap 4 jam kemudian, beikan 5 gram magnesium sulfat 50% yang
diinjeksikan pada kuadran kanan atas bokong secara bergantian
kanan dan kiri. Hal yang harus diperhatikan : reflek patella, tidak
ada depresi pernafasan, output urine dalam 4 jam lalu mencapai
100 mL.
4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah persalinan.5
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110
mmHg. Tujuan utama pemberian obat anti hipertensi adalah
menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-100 mmHg.15
41
2. Penatalaksanaan Pasca salin
Beberapa bagian terapi tidak perlu dilanjutkan setelah persalinan.
Karena 25% konvulsi sering terjadi postpartum, pasien dengan
preeklamsi tetap melanjutkan magnesium sulfat sampai 24 jam setelah
persalinan. Fenobarbital 120 mg/hari kadang-kadang digunakan pada
pasien dengan hipertensi persisten dimana diuresis spontan postpartum
tidak terjadi atau hiperreflek menetap 24 jam pemberian magnesium
sulfat. Bila tekanan diastol tetap konstan diatas 100 mmHg selama 24
jam postpartum, beberapa obat anti hipertensi harus diberikan seperti
diuretik, Ca channel blocker, ACE inhibitor, Central alpha agonist, atau
beta bloker. Setelah follow-up 1 minggu, pemberian terapi anti
hipertensi dapat dievaluasi kembali.5
Prioritas utama penatalaksanaan eklamsi adalah mencegah
kerusakan maternal dan menjaga fungsi respirasi dan kardiovaskular.
Selama atau segera setalah episode konvulsi akut, terapi suportif harus
diberikan untuk mencegah kerusakan serius maternal dan aspirasi.
Penjagaan jalan nafas dilakukan dengan penyangga lidah yang
dimasukkan diantara gigi dan diberikan oksigenisasi maternal. Untuk
meminimalisasikan risiko aspirasi, pasien harus berbaring dengan posisi
dekubitus lateral. Muntah dan sekresi oral harus dihisap bila diperlukan.
Selama terjadi konvulsi, hipoventilasi dan asidosis respiratoar sering
terjadi. Walaupun konvulsi pertama hanya berlangsung selama
beberapa menit, penting untuk menjaga oksigenisasi dengan pemberian
oksigen lewat face mask dengan atau tanpa reservoir sebesar 8-10
L/menit. Setelah konvulsi berhenti, pasien mulai bernafas kembali dan
oksigenisasi menjadi masalah lagi. Hipoksemia maternal dan asidosis
dapat terjadi pada pasien yang mengalami konvulsi berulang,
pneumonia aspirasi, edema pulmonal, atau kombinasi faktor-faktor ini.
Ada kebijakan untuk menggunakan transcutaneus pulse oxymetri untuk
monitor oksigenasi pada semua pasien eklamsi. Bila hasil pulse
oksimetri abnormal (saturasi oksigen < 92%), maka perlu dilakukan
analisis gas darah. Hal yang selanjutnya diperlukan untuk mencegah
terjadinya konvulsi berulang adalah pemberian magnesium sulfat sesuai
regimen yang telah tersedia di masing-masing rumah sakit. Sekitar 10%
42
wanita eklamsi akan mengalami konvulsi ke dua setelah menerima
magnesium sulfat.
43
adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi
persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan
tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg.5,6,15
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi
dalam kehamilan :
1. Hidralazine
Obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang
dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat
hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek
meningkatkan cardiac output penting karena dapat meningkatkan
aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.5,15
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol
mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih
dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-
20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah
diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan
perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama
kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan
angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian
perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah
dalam 95% kasus preeklamsi.5,15
2. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan
penghambat α1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk
oral maupun intra vena.15
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan
non selektif β, dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut
pada kehamilan. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena. Jika
tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg
labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg,
pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300
mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit,
efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian
labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah
44
uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat
ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian
labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.15
3. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat
ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke
sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di
jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan
resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis
10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan
vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama
hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien
dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun
nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan.5,15
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-
10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata
sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik secara
oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada
wanita penderita preeklamsi berat.5,15
4. Metil dopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat
anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk
janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa
menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat
ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral α-
2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa.
Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2 perifer
lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri,
sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang.
Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik
untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali
sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3 jam
setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal
45
terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat
ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan
hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat
menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini.3,5,15
5. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai
dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental
0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60
mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output
menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping
adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat
menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian
kembali klonidin.
6. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat
ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas
pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload.
Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung,
curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini
dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi obat
melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan,
absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang.
Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada
wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam
30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan
pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak ada
efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga
sering dikombinasikan dengan beta bloker.15
7. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga
curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi
vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot polos.
46
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi
plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume
intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat
preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu,
diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena
dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan
efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante
partum dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal.
Obat diuretika seperti triamterene dihindari karena merupakan
antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek janin.9,15
8. Penghambat ACE
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang
mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor
poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini
juga meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan
menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini
seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.13
OBAT REKOMENDASI
Hydralazi Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika
n tekanan darah tidak terkontrol, diulangi setiap
interval 20 menit. Jika tekanan darah sudah
terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam).
Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM
Labetalol Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika
tidak optimal, beri 40 mg setelah 10 menit dan 80
mg setiap 10 menit. Gunakan mdosis maksimal 220
mg. Hindari pemberian labetalol pada wanita
dengan asma atau gagal jantung kongestif
Nifedipin Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30
e menit bila perlu. Tidak diperbolehkan penggunaan
nifedipine kerja singkat dalam terapi hipertensi
Sodium Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak
nitroprus berespon terhadap obat yang terdaftar disini.
47
sid Dimulai dengan dosis 0.25 µg/kg/menit sampai
dosis maksimal 5µg/kg/menit. Fetal sianida terjadi
jika digunakan lebih dari 4 jam.
Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi 15
48
- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar
dalam susu ibu daripada plasma ibu.
- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama
terdapat pada ACE inhibitor.15
49
BAB III
KESIMPULAN
50
DAFTAR PUSTAKA
51
12. Mose J, Gestosis, dalam Obstetri Patologi : Ilmu Kesehatan Reproduksi, edisi
ke-2, Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah F, penyunting,
Jakarta : EGC, 2003 : 68-82
13. National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure, dalam The Seventh Report of the Joint
National Committee, NIH publication, 2004 : 49-52
14. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi
ke-3, Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005: 281-301
15. Reynolds C, Mabie W, Sibai B, Hypertensive States of Pregnancy, dalam
Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9, New
York : McGraw-Hill, 2003: 338-353
16. Scott J, Disaia P, Hammond C, Spellacy W, Gordon J, Danforth Buku Saku
Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Obstetri dan Ginekologi, edisi
ke-1, Koesoema H, penyunting, Jakarta : Widya Medika, 2002: 202-213
17. Seely E, Maxwell C, Chronic Hypertension in Pregnancy. 2007, diakses
tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //circ.ahajournals.org/cgi/content/full/115
18. Shennan A, Hypertensive disorders, dalam Dewhurst’s textbook of Obstetrics
& Gynaecology, edisi ke-7, USA : Blackwell Publishing, 2007 : 227-234
19. Sibai B, Diagnosis, Prevention, and Management of Eclampsia, 18 November
2004, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.greenjournal.org
20. Sibai B, Treatment of Hypertension in Pregnant Women, 25 Juli 1996, diakses
tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.NEJM.org/cgi/content/full
52