Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes)

maka pencegahannya juga harus dilakukan dengan luar biasa pula. Hal ini

ditegaskan dalam konsiderans Undang-udang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :

“Tindak Pidana Korupsi yang selama ini terjadi secara meluas,


tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan
sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara
luar biasa”.1

Sehingga muncul asumsi dikalangan penegak hukum dalam

pemberatasan Tindak Pidana Korupsi “untuk mengungkap dosa besar kita

diperbolehkan melakukan dosa kecil” dalam artian untuk menberantas

tindak pidana korupsi yang begitu kompleks dan jejaringnya yang begitu

terorganisir, selayaknya harus sedikit melanggar dari aturan yang ada

seperti penyimpangan Asas Praduga Tak Bersalah yang menperoleh

tempat yang tegas dalam KUHAP atupun dengan cara-cara dan terobosan

yang baru untuk menembus jejaring pelaku tipikor yang begitu

terorganisir.2

1
Undang-udang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2
Ulhaq, Elegi Dalam Penegakan Hukum Pidana Materill, (Kumpulan Tulisan Hukum
Tahun 2010).
2

Belajar dari pengalaman pemerintahan Orde Baru ketika berkuasa

selama 32 tahun dapat dipahami betapa budaya Korupsi (KKN) telah

tumbuh subur dan menjadi suatu rutinitas oknum penguasa atau pejabat

pada waktu itu, dengan menggunakan jabatan atau dalam bahasa

hukumnya disebut Occupational Crime yang merupakan kejahatan yang

dilakukan pejabat atau birokrat seperti misalnya tindakan sewenang

wenang yang dapat merugikan masyarakat, korupsi, manipulasi, kolusi

dan berbagai jenis kejahatan dan kewenangan yang dimilikinya. 3

Kejahatan jabatan ini mengandung dua element sebagai mana

White Collar Crime. Element pertama berkaitan dengan status pelaku

tindak pidana (status of the offender), dan yang kedua berkaitan dengan

karakter jabatan tertentu (the occupational character of the offence)

berkaitan dengan element pertama kejahatan jabatan berhubungan dengan

individu yang sehubungan dengan jabatannya, praktek inilah yang tumbuh

subur selama decade orde baru hingga sekarang yang masih sangat eksis

dan popular dikalangan pejabat kita sering kali jabatan digunakan sebagai

instrument untuk melakukan tindak pidana korupsi dan melakukan

kejahatan jabatan lainnya. Element yang kedua berkaitan dengan karakter

jabatan pelaku tindak pidana hal ini memungkinkan apabila dalam suatu

jabatan memungkinkan untuk melakukan suatu tindak pidana korupsi dan

pada umumnya kejahatan jabatan menurut Sutherland sebagai Crime

committed by person of respectability and high social status in the course

3
Marwan Effendy, Peradilan In Absentia dan Koneksitas, PT. Timpani Publishing,
Jakarta, 2010, hal. 51.
3

of their occupation (kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang

memiliki kedudukan social yang tinggi dalam pekerjaannya) perumusan

yang dilakukan oleh Sutherland ini kemudian merombak paradigma

masyarakat bahwa pelaku kejahatan adalah orang-orang yang berasal dari

kelas social yang rendah seperti maling ayam, tukang cabul dan kejahatan

kekerasan lainnya. Proses tersebut berjalan begitu cepat, efektif, sistematis

dan terkendali yang merupakan kejahatan yang begitu kompleks dan

penuh dengan sandiwara kepalsuan.4

Ketika zaman berubah dari Rezim Orde baru ke Zaman Reformasi

maka kita menuju pada posisi transisi menuju sebuah Negara yang bersih

dari korupsi, penegakan hukum, hak asasi manusia, transparansi birokrasi,

reformasi birokrasi, dan pembersihan mentalitas korupsi para petinggi

Negara, keseluruhan proses transisi tersebut dari masa B.J. Habibie hingga

sekarang ternyata jauh panggang dari api dalam pemberantasan korupsi,

pada nyatanya reformasi hanya berhasil mengganti president tapi tidak

dengan mental pejabat akibatnya dapat dirasakan hingga sekarang masih

suburnya praktek-praktek korupsi dimana mana mulai dari stakeholder

yang terendah hingga kelevel eksekutif sebagai decision maker lahirnya

undang-undang korupsi seperti UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi; Kepres RI No 73 Tahun 2003 tentang

Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi; PP RI No 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan

4
Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008, hal 22.
4

Tindak Pidana Korupsi; UU RI No 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas dari KKN; UU No 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No 20

Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999; UU No 25

tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang: PP No 71 tahun 2000 tentang tata cara

Pelaksanaan Perang Serta Masyarakat Dan Pemberian Penhargaan Dalam

Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; PP No 109 Tahun

2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala

Daerah. Rapatnya barisan pelaku tindak pidana korupsi menjadikan hukum

sering kali dinilai tidak efektif dan terjadi stagnantasi dalam penegakan

hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi.5

Berdasarkan Data ICW (Indonesia Corruption Watch), dari 191

kasus korupsi yang terjadi 13 kota besar di Indonesia, setidaknya

ditemukan beberapa pokok masalah penting dalam penanganan korupsi,

diantaranya ada beberapa kasus korupsi di daerah, meskipun telah

dilimpahkan ke pengadilan dan dinyatakan bersalah serta divonis penjara,

namun praktiknya terdakwa tidak bisa langsung dibui. Hal ini disebabkan

karena putusan bersalah tersebut tidak diikuti dengan perintah hakim untuk

segera memasukkan terdakwa ke dalam penjara, sehingga pelaksanaan

eksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dilaksanakan6.

5
Ulhaq, Renungan Tentang Tindak Pidana Korupsi dan Kejahatan Dalam Jabatan
(Kumpulan tulisan hukum Tahun 2010).
6
http://www.antikorupsi.org/id/content/mengambil-alih-kasus-korupsi, diakses tanggal 15
Oktober 2017.
5

Seiring dengan berjalannya waktu pelaku tindak Pidana Korupsi

semakin mendapatkan ritme yang singkron dengan keragu-raguan aparat

penegak hukum dan semakin kreatif dalam mencari celah hukum yang

terdapat dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

para pelaku tindak pidana Korupsi semakin percaya diri akan kemampuan

mereka memalsukan dan menghianati keadilan dalam menggerogoti

keuangan Negara kemudian setelah dia merasa sudah terancam sanksi

Pidana dengan cerdas dan lihai mereka membuat alasan yang nampak

logis dan menipu penegak hukum untuk lari dari jerat hukum atau

melarikan diri seperti Kasus Anggoro Wijoyo yang melarikan diri ke

Singapura, Nunun Nurbaiti pelaku suap Trevel Cek terhadap anggota DPR

RI, serta Kasus Bendahara Partai Demokrat M.Nazaruddin yang melarikan

diri ke Singapura dengan alasan sakit setelah dipanggil KPK, kasus Alih

Fungsi Lahan PT. KAI di Medan dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung

(MA) memvonis pengusaha Handoko Lie selama 10 tahun penjara dan

uang pengganti korupsi Rp 185 miliar lebih pada saat hendak di eksekusi

Handoko telah kabur ke luar negeri, kasus E. KTP Miryam S Haryani

memberikan keterangan palsu dalam persidangan yang menguntungkan

pihak-pihak tertentu sempat melarikan diri, dan yang paling

menghebohkan kasus mantan Ketua DPR Setya Novanto dengan modus

sakit karena menabrak tiang listrik untuk mengulur waktu pemeriksaan.

Dalam KUHAP memberikan kesempatan dapat dilakukannya

sidang In Absentia, yaitu dalam Pasal 213 dan Pasal 214 Ayat (1)
6

KUHAP, mengatur dapat dilakukannnya persidangan In Absentia yaitu

dalam perkara-perkara lalu lintas jalan, yakni apabila terdakwa dan

kuasanya tidak hadir pemeriksaan perkara dilanjutkan, adanya ketentuan

ini ditujukan untuk mempercepat penyelesaian perkara, dimana dalam

perkara lalu lintas diterapkan prinsip peradilan cepat, singkat, dan biaya

murah. Selain KUHAP ada beberapa ketentuan yang memperbolehkan

dilakukannya sidang In Absentia yaitu Undang-undang Tindak Pidana

Ekonomi, dan Undang-undang No.7/Drt/ 1955 tentang Pengusutan,

Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Peradilan In Absentia

diatur dalam Pasal 16 yaitu : jika sudah cukup alasan untuk menduga

bahwa seorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya, ada

putusan yang tak dapat di ubah lagi, telah melakukan suatu tindak pidana

ekonomi maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan

pengadilan dapat memutus perampasan barang-barang yang telah disita.

Disinilah kekhususan dari suatu Undang-undang Pidana yang dibuat diluar

KUHP artinya terdapat ketentuan-ketentuan yang berbeda dari ketentuan

Pidana Umum.Khususnya dalam hukum acaranya yang membuka jalan

untuk dilakukannya sidang In Absentia.7

Pelaksanaan Persidangan In Absentia sebagai langkah Preventif

untuk mengejar pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri keluar

negeri dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dan terhadap

Implementasi Peradilan In Absentia dalam Penanganan Perkara Tindak

7
Undang-undang No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi
7

Pidana Korupsi. Dengan mengadili mereka secara In Absentia sesuai

dengan peraturan perundang-undangan sudah tepat demi kepastian hukum

dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) tersangka/terdakwa, karena

implementasi tersebut merupakan salah satu upaya mengefektifkan

penyelamatan kekayaan dan keuangan negara.Dengan adanya putusan

hakim, harta tersangka/terdakwa yang telah disita dapat langsung

dieksekusi, dan meskipun mungkin ada hambatan dalam pelaksanaan

eksekusinya. Peradilan InAbsentia dirasakan merupakan solusi yang

paling pas untuk menjawab permasalahan tersebut. Pengadilan InAbsentia

sendiri dapat diartikan sebagai upaya untuk mengadili seorang terdakwa

dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri. Pengaturan

peradilan In Absentia ini di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana tidak dicantumkan secara jelas, baik di dalam ketentuan Pasal-pasal

yang bersangkutan maupun di dalam penjelasannya. Hanya di dalam Pasal

196 dan Pasal 214 terdapat sedikit pengaturan tentang In Absentia yang

sifatnya terbatas.

Peradilan In Absentia sendiri dapat dilaksanakan dan harus

memenuhi unsur-unsur yaitu :

1. Karena terdakwa tinggal atau berpergian ke luar negeri


2. Adanya usaha dari terdakwa untuk melakukan tindakan
pembangkangan, misalnya melarikan diri .
3. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di
sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa
dan diputus tanpa kehadirannya.8

8
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsisebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Pasal 38 Ayat (1).
8

Namun dalam pelaksanaan Pengadilan In Absentia banyak

mendapat hambatan dan kesulitan, diantaranya kesulitan adanya data tidak

Rill atau sepihak sedangkan dalam hukum pidana materil adalah kongkret,

kedua tidak bisa dilakukanya klarifikasi terhadap terdakwa karena

pembuktiannya sepihak, ketiga disini Hakim agak kesulitan untuk

menimbulkan keyakinannya, keempat Jaksa harus menhadirkan bukti

kongkret seperti hasil audit dll. Sedangkan hukum Pembuktian yang dianut

di Indonesia adalah system pembuktian Negatif plus keyakinan hakim

dimana hakim harus mendengar pihak-pihak (audi et alteram patem)

disinilah kesulitan dan agak lunturnya nilai-nilai objektivitas karena hakim

tidak dapat mendengarkan keterangan dari terdakwa namun untuk

menyeret pelaku tindak pidana dan didukung oleh legalitas yang ada

didalam undang-undang pidana khusus dapatlah dilakukan peradilan In

Absentia. Dengan artian lain bahwa PeradilanInAbsentia ibarat buah

simalakama bagi penegak hukum, khususnya Kejaksaan pelaksanaan

Eksekusi tertunda menjadi tunggakan kinerja.

Pengadilan In Absentia dalam Undang-undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi adalah dengan mempertimbangkan bahwa

perbuatan mereka para terdakwa merupakan salah satu potensi yang

merusak perekonomian negara dan tindak pidana yang dilakukan

tergolong tindak pidana khusus yang membahayakan negara dan

merugikan keuangan negara yang sangat besar. Serta tidak adanya

pertanggungjawaban dari para terdakwa, setelah terbukti bersalah


9

melakukan tindak pidana, akan tetapi melarikan diri sehingga perkaranya

diadili dan diputus secara In Absentia (tanpa kehadiran terdakwa).9

Ketentuan ini juga menunjukan kelebihan yaitu mempercepat dan

mempermudah pengembalian asset-asset serta menciptakan kepastian

hukum. Sedangkan kelemahannya adalah ketentuan tersebut hanya

menjerat terdakwa yang telah dipanggil secara sah namun tidak hadir

tanpa alasan yang sah dan terdakwa yang telah meninggal dunia namun

terbukti secara sah bersalah, sedangkan untuk yang sakit permanen atau

sakit buatan seakan tidak dapat terjamah oleh ketentuan tersebut yang

mungkin tidak hadirnya dalam proses persidangan patut diduga dengan

alasan-alasan yang sengaja dibuat untuk menghindari proses hukum

terhadapnya.

Dengan adanya mekanisme Pengadilan In Absentia dalam Undang-

undang No. 31 Tahun 1999 merupakan langkah maju untuk penegakan

hukum pidana terhadap pelaku Tipikor yang mempunyai alasan yang

sangat kreatif untuk menipu penegak hukum, dengan adanya sidang In

Absentia maka tidak ada lagi hak Imunitas yang dimiliki dengan melarikan

diri keluar negeri dan dengan demikian tidak ada lagi tempat berlindung

(save heaven) dimanapun dan kemanapun koruptor tersebut melarikan diri

dan menyembunyikan aset-aset hasil korupsinya,10 dengan optimalisasi

9
Sulistyohadi, Penerapan Peradilan In Absentia dalam rangka pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Di Indonesia, Yogyakarta, Paper FH UII Press.
10
Riesa Susanti, Tesis, Peradilan In Absentia Dalam kaitannya dengan perlindungan hak
terdakwa tindak pidana korupsi, Jakarta, 2006, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Univ.Indonesia,
Hal 72.
10

sidang In Absentia akan mengembalikan kerugian Negara yang dibawa

kabur oleh para Koruptor.

Diperlukan keberanian penegak hukum dalam melaksanakan

Pengadilan In Absentia bagi terdakwa kasus Korupsi, maka kasus Korupsi

seperti Anggoro Wijoyo dan lainnya akan mendapatkan sanksi

pengambilan harta kekayaan yang mereka peroleh dari hasil tindak Pidana

korupsi walaupun terdakwa tidak hadir di persidangan, vonis pidana tetap

dapat dijatuhkan dan eksekusi terhadap pidana perampasan kemerdekaan

walaupun tertunda namun eksekusi terhadap hasil dari tindak pidana

korupsi yang mereka lakukan dapat di eksekusi dengan segera. Namun

sebaik-baiknya aturan Perundang-undangan yang dibentuk akan tetapi jika

mentalitas aparat penegak hukum selalu memberikan celah untuk

melarikan diri terhadap pelaku tindak pidana korupsi maka akan sia-sialah

undang-undang yang di formulasikan dengan tujuan yang baik, sistem

peradilan pidana adalah sistem yang menuntut seluruh stakeholder yang

terlibat untuk taat dan konsisten dalam menerapkan hukum yang

berkeadilan.

Dalam penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi tanpa

kehadiran tersangka/terdakwa bukan berarti perkara sudah selesai atau

menunggu kehadiran tersangka/terdakwa perkara dapat disidangkan.

Ketidakhadiran tersangka/terdakwa tidak menghalangi persidangan,

penegak hukum baik Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dapat

mengupayakan PengadilanInAbsentia. Pengaturan PengadilanIn Absentia


11

diatur Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-

undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal 38

Ayat (1) dinyatakan:

“Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir
di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat
diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum (legal system)

adalah satu kesatuan hukum yang terdiri dari tiga unsur yakni struktur

hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Secara sederhana, struktur

hukum berkaitan dengan lembaga-lembaga atau institusi-institusi

pelaksana hukum atau dapat dikatakan sebagai aparat penegakan hukum.

Dalam hal hukum pidana, maka lembaga yang bertugas melaksanakannya

terwujud dalam suatu sistem peradilan pidana (criminal justice system),

yang pada hakikatnya merupakan “sistem kekuasaan menegakkan hukum

pidana” yang terdiri atas kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan,

kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan serta kekuasaan

pelaksanaan putusan/pidana oleh badan/aparat


11
pelaksana/eksekusi. Dalam proses penegakan hukum pidana, unsur-

unsur tersebut terwujud dalam lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan

Pengadilan.

11
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001, hal. 28.
12

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan berada

pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan

bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses

penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai

pelaksana penetapan dan putusan pengadilan. Dengan begitu Kejaksaan

sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya institusi

Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat

diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut

Hukum Acara Pidana. Berdasarkan data yang penulis dapat, Pengadilan

Tipikor Pekanbaru sudah menyindangkan/memutus Perkara Tipikor In

Absentia dalam kurun tahun 2010 s/d tahun 2017. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 1.1

Putusan Perkara Tipikor melalui mekanisme Peradilan In

Absentia di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri

Pekanbaru dari tahun 2010 s/d tahun 2017 :

No. Nama No. Putusan Pidana Denda Uang Asal


terdakwa Badan Pengganti Limpah
Perkara
1. KHAIRUL 12/Pid-Sus- Pidana 7 Sebesar --- Kejari
RUSLI TPK/2014/ (tujuh) Rp.500 Pekan-
PN. PBR tahun . baru
dan 6 000.00
(enam) 0,-
bulan (lima
13

penjara ratus
juta
rupiah)
subsida
ir 6
(enam)
bulan
kurung
an
2. TEUKU 75/Pid-Sus- Pidana Sebesa Membaya Kejari
MUH. TPK/2015/P 6 r r UP Dumai
NASIR N. PBR (enam) Rp.200 Rp.180.25
tahun . 0.
dan 6 000.00 000,-
(enam) 0,- (seratus
bulan (dua delapan
penjara ratus puluh
juta juta dua
rupiah ratus
) 6 lima
(enam) puluh
bulan ribu
kurun rupiah)
gan
3. ARNIS 41/Pid-Sus- Pidana 4 Sebesar --- Kejari
FEBRIAN TPK/2016/P (empat) Rp.200 Beng-kalis
A N. PBR tahun .
penjara 000.00
0,-
(dua
14

ratus
juta
rupiah)
2 (dua)
bulan
kurung
an
4. SUNARDI 88/Pid-Sus- Pidana 7 Sebesar Membayar Kejari
TPK/2016/ (tujuh) Rp.200 UP Indragiri
PN. PBR tahun . Rp.835.68 Hulu
penjara 000.00 4.
0,- 493,-
(dua (delapan
ratus ratus tiga
juta puluh lima
rupiah) juta enam
3 (tiga) ratus
bulan delapan
kurung puluh
an empat ribu
empat
ratus
Sembilan
puluh tiga
rupiah)

Mengacu uraian dan data diatas penulis tertarik meneliti studi

kasus Putusan No. 75/ Pid-Sus-TPK/2015/PN. PBR tanggal 24 Nopember

2015di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru dengan

mekanisme Pengadilan In Absentia dikarenakan Pasca Putusan


15

berkekuatan hukum tetap, Jaksa Penuntut Umum tidak dapat

melaksanakan kewenangan Eksekusinya untuk mengeksekusi terdakwa

ataupun merampas harta benda terdakwa untuk membayar uang

pengganti, jika dikaitkan dengan penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi tujuan pengadilan In Absentia untuk menyelamatkan keuangan

negara dapat dikatakan tidak tercapai dan tidak terlaksananya eksekusi

khususnya pidana tambahan uang pengganti akan menjadi tunggakan

kinerja bagi Kejaksaan.

Berdasarkan uraian dari latar belakang dan studi kasus di atas,

penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang di tuangkan dalam

bentuk proposal tesis yang berjudul : “PELAKSANAAN PUTUSAN

PENGADILAN IN ABSENTIA PENGADILAN TIPIKOR

PEKANBARU TERHADAP UANG PENGGANTI TINDAK

PIDANA KORUPSI”.

B. Masalah Pokok

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan

diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah Pelaksanaan Putusan Pengadilan In Absentia

Pengadilan Tipikor Pekanbaru terhadap Uang Pengganti Tindak

Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara No. 75/PID.SUS-

TPK/2015/PN.PBR) ?
16

2. Apa sajahkah hambatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan In

Absentia Pengadilan Tipikor Pekanbaru terhadap Uang

Pengganti Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara No.

75/PID.SUS-TPK/2015/PN.PBR) ?

3. Bagaimanakah upaya untuk mengatasi hambatan Pelaksanaan

Putusan Pengadilan In Absentia Pengadilan Tipikor Pekanbaru

terhadap Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus

Perkara No. 75/PID.SUS-TPK/2015/PN.PBR) ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pelaksanaan Putusan Pengadilan In

Absentia Pengadilan Tipikor Pekanbaru terhadap Uang

Pengganti Tindak Pidana Korupsi oleh Jaksa Penuntut

Umum pada Kejaksaan Negeri Dumai terkait kewenangan

Eksekusi Jaksa Penuntut Umum.

b. Untuk mengetahui hambatan Jaksa Penuntut Umum pada

Kejaksaan Negeri Dumai untuk melaksanakan (Eksekusi)

Putusan Pengadilan In Absentia Pengadilan Tipikor

Pekanbaru terhadap Uang Pengganti Tindak Pidana

Korupsi.
17

c. Untuk mengetahui upaya dalam mengatasi hambatan

pelaksanaan Putusan Pengadilan In Absentia Pengadilan

Tipikor Pekanbaru terhadap Uang Pengganti Tindak Pidana

Korupsi oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri

Dumai terkait kewenangan Eksekusi Jaksa Penuntut

Umum.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini,

yaitu :

a. Untuk mengetahui pelaksanaan Putusan Pengadilan In

Absentia Pengadilan Tipikor Pekanbaru terhadap Uang

Pengganti Tindak Pidana Korupsi oleh Jaksa Penuntut

Umum pada Kejaksaan Negeri Dumai terkait kewenangan

Eksekusi Jaksa Penuntut Umum.

b. Untuk mengetahui hambatan Jaksa Penuntut Umum pada

Kejaksaan Negeri Dumai untuk melaksanakan (Eksekusi)

Putusan Pengadilan In Absentia Pengadilan Tipikor

Pekanbaru terhadap Uang Pengganti Tindak Pidana

Korupsi.

c. Untuk mengetahui upaya dalam mengatasi hambatan

pelaksanaan Putusan Pengadilan In Absentia Pengadilan

Tipikor Pekanbaru terhadap Uang Pengganti Tindak Pidana

Korupsi oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri


18

Dumai terkait kewenangan Eksekusi Jaksa Penuntut

Umum.

D. Kerangka Teori

Mentalitas koruptif di negeri ini sudah beranak dan mengakar ke

berbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Tindak

pidana korupsi (Tipikor) bahkan tidak hanya menjalar ke wilayah birokrasi

pemerintah (beaurocratic corruption), tetapi juga dalam sistem peradilan

(judiciary corruption) di Indonesia.12

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes)

maka pencegahannya juga harus dilakukan dengan luar biasa pula. Hal ini

ditegaskan dalam konsiderans UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: “Tindak Pidana Korupsi yang

selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara,

tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan

sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar

biasa”.

Salah satu cara yang dilakukan secara luar biasa adalah dapat

dilangsungkannya pemeriksaan perkara korupsi tanpa dihadiri oleh

terdakwa (Pengadilan In Absentia). Pengadilan In Absentia ini telah

diamanatkan dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 atas perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

12
AzizSyamsuddin, Tindak Pidana Khusus. Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 175.
19

menyebutkan: “dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak

hadir disidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat

diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”.

Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi sumber utama

dalam hukum acara pidana mengamanatkan pemeriksaan yang langsung

dan lisan. Menurut Andi Hamzah menyatakan pendapat yang sama, bahwa

pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung,

artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara

perdata dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya.Pemeriksaan juga

dilakukan dengan lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dengan

terdakwa.13

Upaya yang ditempuh Jaksa Penuntut Umum melalui

Pengadilan InAbsentia adalah suatu kebijakan pidana yang merupakan

salah satu bidang yang seyogyanya menjadi pusat perhatian

kriminologi, karena kriminologi sebagai studi yang bertujuan mencari

dan menentukan faktor-faktor yang membawa timbulnya kejahatan-

kejahatan dan penjahat. Kajian mengenai kebijakan hukum pidana

(Penal Policy) yang termasuk salah satu bagian dari ilmu hukum

pidana, erat kaitannya dengan pembahasan hukum pidana nasional

yang merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa

Indonesia.

13
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 25.
20

Menurut Marwan Effendy menyatakan bahwa sebagian besar

kalangan menyatakan bahwa peradilan In Absentia dapat mengefektifkan

upaya penyelamatan kekayaan negara yang telah dijarah oleh terdakwa

dengan alasan putusan pengadilan In Absentia merupakan sarana yang sah

untuk penyelamatan kerugian negara, apabila prosedur pelaksanaannya

sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga pengembalian

kerugian keuangan negara dapat direalisasikan tanpa khawatir mendapat

gugatan dari pihak lain.14

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan atau yang biasa di kenal

dengan istilah “Politik Kriminal” yang dapat meliputi ruang lingkup

yang cukup luas. Maksudnya dalam upaya penanggulangan kejahatan

dapat ditempuh dengan :

a. Penerapan hukum pidana (Criminal law application)


b. Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment)
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media masa (influencing views of society on
crime and punishment).15

Dalam Teori sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M.

Friedman sebagaimana dikutif Otje Salman dan Anton F. Susanto,

sistem hukum meliputi:

1. Struktur hukum (legal structure), yaitu bagian-bagian yang


bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada
dan disiapkan dalam sistem. Misalnya kepolisian, kejaksaan,
pengadilan.

14
Marwan Effendy, op. cit., hal. 27.
15
Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peraan Saksi, Remaja, Karyawa, Bandung,
1988, hal 68.
21

2. Substansi Hukum (Legal Substance), yaitu hasil aktual yang


diterbitkan oleh sistem hukum, misal putusan hakim berdasarkan
Undang-undang.
3. Budaya Hukum (Legal Culture), yaitu sikap publik atau nilai-nilai
komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya
sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan
bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam
kerangka budaya milik masyarakat.16

Dengan demikian untuk dapat beroperasinya hukum dengan

baik, hukum itu merupakan satu kesatuan (sistem) yang dapat

dipertegas sebagai berikut :

1. Struktural mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut


yang, mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal,
hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak -hak dan
kewajiban-kewajiban.
2. Substansi mencakup isi norma-norma hukum serta perumusannya
maupun cara penegakannya yang berlaku bagi pelaksanaan hukum
maupun pencari keadilan.
3. Kultur pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum
yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi
abstrak mengenai apa yang di anggap baik dan apa yang dianggap
buruk. Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-
nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus di
serasikan.

Terkait dengan sistem hukum tersebut, Otje Salman

mengatakan perlu ada suatu mekanisme pengintegrasian hukum,

bahwa pembangunan hukum harus mencakup tiga aspek di atas, yang

secara ilmuan berjalan melalui langkah-langkah strategis, mulai dari

perencanaan pembuatan aturan (Legislation Planing). Proses

pembuatannya (law making procces), sampai kepada penegakan

16
Ibid, hal 153.
22

hukum (law inforcement) yang dibangun melalui kesadaran hukum

(law awareness) masyarakat.17

Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya “Polisi dan penegak

hukum” sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo, menjelaskan tentang

persoalan penegak hukum sebagai berikut: “secara sosiologis setiap

penegak hukum baik yang bertugas dibidang kehakiman, kejaksaan,

kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan mempunyai

kedudukan(status) dan peranan (role)”, kedudukan (social)merupakan

posisi tertentu dalam posisi pemasyarakatan yang mungkin tinggi, sedang-

sedang saja, atau rendah kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu

wadah yang lainnya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu.

Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi adalah merupakan suatu peranan

(role).Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu,

lazimnya dinamakan pemegang peran (role accupant).18Suatu hak

sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat,

sedangkan kewajiban adalah beban tugas suatu peranan tertentu dapat

dijabarkan kedalam unsur-unsur sebagai berikut :

a) Peranan yang ideal (ideal role);


b) Peranan yang seharusnya (expected role);
c) Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role);
d) Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role);

Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya

merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang

17
Ibid, hal. 154.
18
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum di Indonesia, Falkutas Hukum UNDIP, Semarang:
1989, hal.36.
23

tidak secara ketat diatur oleh kaedah-kaedah hukum, tetapi mempunyai

unsur penilaian pribadi.19

Implementasi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto

ada beberapa faktor yang mempengaruhi berlakunya hukum. Faktor-

faktor tersebut adalah sebagai berikut :

1. Faktor hukumnya sendiri.


2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakkan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 20

Kelima faktor tersebut saling berkaitan, karena merupakan esensi

dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektifitas

penegakan hukum.Dalam praktek penyelenggaraan penegakan hukum di

lapangan pada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan

keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu

rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan

suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif.Suatu kebijakan atau

tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang

dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan

dengan hukum.

Mengakaji masalah hakikat pidana dan pemidanaan, maka

pembicaraan tertuju kepada masalah tujuan dari dijatuhkannya sanksi


19
Ibid, hal. 246.
20
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 8.
24

pidana. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan pemidanaan adalah

untuk memenuhi rasa keadilan. Selain itu ada yang mengemukakan

bahwa tujuan pemidanaan dapat dilihat melalui dua teori mengenai

alasan-alasan yang membenarkan (Justification) pejatuhan hukuman

(sanksi), yaitu :

1. Teori Absolut (Vergel-dingstheorie)


Menurut teori ini, tujuan pemidanaan sebagai pembalasan terhadap
para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang
mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota
masyarakat, sedangkan Roeslan Saleh mengatakan sebagai reaksi-
reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja
ditimpakan Negara kepada pembuat delik.
2. Teori Relatif (Doeltheorie).
Menurut teori ini, tujuan pemidanaan adalah :
a. Menjerakan, agar si pelaku atau terpidana menjadi jera dan
tidak mengulangi lagi perbuatannya (Speciale Preventie) serta
masyarakat umum agar mengetahui jika melakukan perbuatan
yang sama, akan mengalami hukuman yang serupa atau
disebut pula General Preventie.
b. Memperbaiki pribadi si terpidana, berdasarkan perlakuan dan
pendidikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa
menyesal dan tidak akan mengulangi perbuatannya dan
kembali kepada masyarakat sebagai orang baik dan berguna.
c. Membinasakan (menjatuhkan hukuman mati) atau membuat
terpidana tidak berdaya dengan menjatuhkan hukuman
seumur hidup.

Pandangan di atas sangatlah wajar apabila beranjak dari

pandangan bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi (Bijzon-

Deresantierecht) sebab dengan bertumpu pada sanksi itulah hukum

pidana difungsikan untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan

keadilan.21 Namun pandangan tersebut banyak ditentang dengan

21
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,
Antara Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 21-22.
25

munculnya pandangan disamping pidana yang ditujukan untuk

memberikan penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera,

pemidanaan juga bertujuan agar pelaku dapat kembali hidup

bermasyarakat sebagaimana mestinya. Menurut Muladi selain Teori

Absolut dan Teori Relatif, terdapat Teori pemidanaan gabungan yakni

Teori Relatif Teleologis, pandangan teori ini menganjurkan adanya

kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan

yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus dimana pencegahan

dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran

yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan 22. Berdasarkan

uraian Kerangka Teori tersebut, maka penulisan Tesis ini Penulis akan

mengacu pada Teori Penegakan Hukum Soerjono Soekanto.

E. Konsep Operasional

Untuk memudahkan dan membatasi permasalahan serta

menghindari perbedaan pengertian mengenai istilah-istilah yang

dipergunakan dalam penelitian ini, dibawah ini diberikan definisi

operasional sebagai berikut :

Pelaksanaan adalah proses, cara, perbuatan melaksanakan suatu

rancangan atau keputusan.23

Putusan adalah hasil dari suatu pemeriksaan suatu perkara.24

22
Siswanto, op.cit, hal.225.
23
Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Widya Karya,
Semarang, 2011, hal. 281.
24
J.C.T Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 136.
26

Pengadilan adalah lembaga otoritas Negara untuk menyelesaikan

perselisihan dan pencarian keadilan dalam hal sipil, buruh, administratif,

dan kriminal di bawah hukum.25

Putusan Pengadilan adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis

Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau

mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang berperkara,dan

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.26

In Absentia adalah dengan ketidakhadiran.27

Pengadilan In Absentia adalah pemeriksaan suatu perkara tanpa

kehadiran pihak tergugat (dalam perkara perdata dan tata usaha negara)

atau terdakwa (dalam perkara pidana).28

Tindak Pidana adalah setiap perbuatan yang diancam hukuman sebagai

kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam KUHP maupun

peraturan perundang-undangan lainnya.29

Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

Negara.30

25
Team Penerbit Citra Umbara, Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung, 2008, hal. 331.
26
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama, Kencana, Jakarta,
2012, hal. 173.
27
Suharso dan Ana Retnoningsih, op. cit., hal. 12.
28
Jonaedi Efendi, dkk, Kamus Istilah Hukum Populer, Kencana, Jakarta, 2016, hal. 319.
29
Team Penerbit Citra Umbara, op. cit., hal. 493.
30
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsisebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Pasal 2 Ayat (1).
27

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah Pengadilan khusus yang

berada di lingkungan Peradilan Umum, yang berkedudukan di setiap

ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum

pengadilan negeri yang bersangkutan. 31

Pekanbaru adalah ibukota Provinsi Riau yang sekaligus memperoleh

status Kotamadya Daerah Tingkat II Pekanbaru.32

Uang Pengganti adalah pidana tambahan yang dijatuhkan hakim dalam

kapasitasnya yang berkorelasi dengan pengembalian keuangan Negara

melalui perampasan aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.33

F. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang diharapkan penulis

menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Bila dilihat dari jenisnya, penelitian ini adalah penelitian

hukum observasi (Observasi Research) atau dengan cara survey

artinya melakukan penelitian secara langsung kelokasi atau objek

penelitian. Sedangkan dilihat darisifatnya, maka penelitian ini

bersifat Deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk

memberikan gambaran yang lebih jelas tentang Pelaksanaan

31
Rachmat Trijono, Kamus Hukum, Pustaka Kemang, Jakarta, 2016, hal. 125.
32
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri dengan No.Des 52/1/44-25 tanggal 20 Januari
1959.
33
Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor, Kompas, Jakarta, 2013, hal. 163.
28

Putusan Pengadilan In Absentia Pengadilan Tipikor Pekanbaru

terhadap Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi.

2. Objek Penelitian

Adapun yang jadi Objek Penelitian Penulis adalah

pelaksanaan Putusan Pengadilan InAbsentia Pengadilan Tipikor

Pekanbaru terhadap uang pengganti tindak pidana korupsi

(Perkara No. 75/Pid.Sus-TPK/2015/PN. PBR) di Kejaksaan

Negeri Dumai.

3. Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul Penelitian ini maka penelitian ini

dilakukan diwilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

di Pengadilan Negeri Pekanbaru dan Kejaksaan Negeri Dumai,

hal tersebut didasari oleh karena putusan tersebut atau perkara

tersebut diadili pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di

Pengadilan Negeri Pekanbaru serta pelaksanaan putusan oleh

Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Dumai.

4. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Adapun yang menjadi Populasi yakni :

1. Team Penyidik Kejaksaan Negeri Dumai (Kasi Pidsus

dan Jaksapenyidik) sebanyak 6 (enam) orang;


29

2. Team Penuntut Umum/ Jaksa P-16A Kejaksaan Negeri

Dumai (Kasi Pidsus dan Jaksa penyidik) sebanyak 6

(enam) orang;

3. Asisten Tindak Pidana KhususKejaksaan Tinggi Riau

dan Kasi Penuntutan Kejati Riau sebanyak 2 (dua)

orang;

4. Majelis HakimIn Absentia (Ketua dan Anggota Majelis)

Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada Pengadilan Negeri

Pekanbaru sebanyak 3 (tiga) orang.

b. Sampel

Adapun sampel yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah bagian dari populasi yang akan dijadikan Objek

penelitian, dengan menggunakan tekhnik pengambilan sampel

metode Purposive Sampling adalah menetapkan sejumlah

sampel yang mewakili jumlah populasi yang ada yang kategori

sampelnya itu telah ditetapkan sendiri oleh penulis, yaitu

sebagai berikut :

1) Team Penyidik Kejaksaan Negeri Dumai(Kasi Pidsus dan

Jaksa penyidik)yang melakukan penyidikan perkara yang

disidang secara In Absentia di Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru;

2) Team Penuntut Umum/ Jaksa P-16A Kejaksaan Negeri

Dumai (Kasi Pidsus dan Jaksa penyidik) yang


30

menyindangkan perkara In Absentia Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru;

3) Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Riau

dan Kasi Penuntutan Kejati Riau pengendali penuntutan

perkara yang disidang secara In Absentia di Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru;

4) Majelis Hakim In Absentia (Ketua dan Anggota Majelis)

yang menyidangkan perkara In Absentia Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru.

5. Data dan Sumber Data

Adapun Data dan Sumber data yang digunakan penulis

dalam penulisan tesis ini adalah :

a. Data Primair

Data yang diperoleh dan dikumpulkan di lapangan langsung

dari responden melalui wawancara mengenai pelaksanaan

Putusan Pengadilan In Absentia pada Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru (Perkara

No. 75/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Pbr tanggal 24 November

2015 atas nama Teuku Muh. Nasir) oleh Penuntut Umum

Kejaksaan Negeri Dumai.

b. Data Sekunder

Untuk mendapatkan hasil memadai, dalam penelitian hukum

sosiologis atauempiris sebaiknya peneliti didukung oleh data


31

sekunder atau studi dokumentasi.34 Adapun data sekunder

penulis gunakan, yakni :

(1) Bahan Hukum Primair berupa Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946),

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981), Undang-undang No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsisebagaimana telah diubah dan ditambah dengan

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang

No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia, Undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No.

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan

Putusan Pengadilan In Absentia Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi (Perkara No. 75/Pid.Sus-

TPK/2015/PN.Pbr tanggal 24 November 2015 atas

nama Teuku Muh. Nasir).

(2) Bahan Hukum Sekunder berupa bahan-bahan penelitian

yang berasal dari literatur atau hasil penulisan para

34
Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, Genta Publishing, Jakarta, 2016,
hal. 70.
32

sarjana yang berupa buku yang berkaitan dengan pokok

pembahasan.

(3) Bahan Hukum Tersier berupa bahan-bahan penelitian

yang diperoleh melalui ensiklopedia atau sejenisnya yang

berfungsi mendukung data primer dan data sekunder

seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Internet.

6. Alat Pengumpul Data

a. Wawancara

Wawancara yang dimaksud disini adalah wawancara

Non struktur yaitu wawancara dimana sipewawancara bebas

menanyakan suatu hal kepada responden tanpa terikat dengan

daftar-daftar pertanyaan, dengan demikian si pewawancara

bebas menentukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan

permasalahan yang ditelitinya. Adapun wawancara tersebut

Penulis lakukan dengan Penyidik Kejaksaan, Penuntut Umum,

dan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara secara In

Absentia di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada

Pengadilan Negeri Pekanbaru (Perkara No. 75/Pid.Sus-

TPK/2015/PN.PBR) dengan Penulis.

b. Kuisioner

Kuisioner Adalah metode pengumpulan data dengan

cara membuat daftar-daftar pertanyaan yang memiliki korelasi

dengan permasalahan yang diteliti, yang pada umumnya dalam


33

daftar pertanyaan itu telah disediakan jawaban-jawabannya.

Dengan demikian responden hanya diberikan tugas untuk

memilih jawaban sesuai dengan seleranya. Walaupun demikian

tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam kuisioner ini bentuk

pertanyaannya model essai, dimana dalam hal ini responden

sendirilah yang memberikan jawabannya. Adapun Kuisioner

ini penulis lakukan dengan Penyidik Kejaksaan, Penuntut

Umum, dan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara

secara In Absentia di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

pada Pengadilan Negeri Pekanbaru (Perkara No. 75/Pid.Sus-

TPK/2015/PN. PBR) dengan Penulis.

7. Analisa Data

Dalam penelitian ini dianalisi data melalui Hasil wawancara

dan kuisioner secara kualitatif yaitu data tidak dianalisis dengan

menggunakan statistik atau matematik ataupun sejenisnya, dengan

menguraikan secara deskriptif dari data yang diperoleh yaitu apa

yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan dan perilaku

nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. 35

Sedangkan data hasil kuisioner dianalisis secara kumulatif dalam

penetapan metode analisis ini disesuaikan dengan kategori data dan

keinginan peneliti. Dalam menarik kesimpulan digunakan metode

35
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta: 1990,hal. 32.
34

Induktif dengan cara menganalisis dari permasalahan yang bersifat

khusus terhadap hal-hal yang bersifat umum.

8. Penarikan Kesimpulan

Metode penarikan kesimpulan akhir secara Induktif yaitu

dari keadaan yang khusus kepada yang umum. Yang termasuk

dalam kesimpulan secara khusus adalah peraturan perundang-

undangan yang disesuikan pada lokasi tempat peneliti melakukan

dalam penelitian baik berupa subjek dan objek penelitian,

sedangkan kesimpulan secara umum adalah analisis yang dapat

dihubungkan dengan teori dan pendapat para ahli yang tertuang

kedalam tinjauan kepustakaan.

Anda mungkin juga menyukai