Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

“Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut”

Disusun Oleh :

dr. Julinda Tri Jayanti

DOKTER INTERNSIP RS. BHAYANGKARA

KOTA MANADO

2015

1
BAB I

PENDAHULUAN

Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary
Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala
berupa terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah ini mulai dikenal pada akhir 1950an dan
permulaan tahun 1960an. Masalah yang menyebabkan terhambatmya arus udara tersebut bisa
terletak pada saluran pernapasan maupun pada parenkim paru. Kelompok penyakit yang
dimasksud adalah Bronkitis Kronik (masalah dalam saluran pernapasan), emfisema (masalah
dalam parenkim). Ada beberapa ahli yang menambahkan ke dalam kelompok ini yaitu Asma
Bronkial Kronik, Fibrosis Kistik dan Bronkiektasis. Secara logika penyakit asma bronkial
seharusnya dapat digolongkan ke dalam golongan arus napas yang terhambat, tetapi pada
kenyataannya tidak dimasukkan ke dalam golongan PPOK.1,2
Pada tahun 2004, Institut Nasional Inggris mendefinisikan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) ditandai dengan obstruksi aliran udara. Obstruksi aliran udara biasanya progresif, tidak
sepenuhnya reversibel dan tidak berubah tajam selama beberapa bulan. Penyakit ini didominasi
disebabkan oleh merokok. Istilah PPOK yang lebih disukai untuk obstruksi aliran udara terkait
dengan penyakit kronis bronkitis dan emfisema. Ini terkait erat dengan, tetapi tidak identik dengan,
PPOK. Meskipun asma dikaitkan dengan obstruksi aliran udara biasanya dianggap sebagai entitas
klinis terpisah. Beberapa pasien dengan asma kronis juga mengembangkan obstruksi aliran udara
yang relatif tetap (konsekuensi dari saluran napas renovasi) dan sering dibedakan dari PPOK.
Karena prevalensi tinggi asma dan PPOK, kondisi ini hidup berdampingan pada banyak pasien,
menciptakan ketidakpastian diagnostik. Kondisi lainnya juga berhubungan dengan obstruksi aliran
udara yang buruk reversibel termasuk cystic fibrosis, bronkiektasis, dan bronkiolitis obliteratif.
Meskipun syarat yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial saluran napas obstruktif
penyakit, mereka tidak konvensional dicakup oleh definisi PPOK.1
Berikut ini akan dibahas laporan kasus pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik.

BAB II

2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. BP
Umur : 71 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status pernikahan : Menikah
Alamat : Wanga Mongena Jaga IV Motoling Timur
Agama :Kristen Protestan
Tanggal Masuk : 2 juli 2015

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Sesak Napas

Riwayat penyakit sekarang :


Sesak napas dialami sejak kurang lebih 3 bulan, memberat sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit, dirasakan terus menerus tidak dipengaruhi oleh aktifitas. Batuk dialami
penderita sejak kurang lebih 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, batuk dirasakan
berdahak warna putih tanpa disertai strep darah. Keluhan demam maupun riwayat
demam disangkal oleh pasien. Pasien bisa tidur dengan satu bantal, tidak pernah
terbangun malam hari karena sesak, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca. Riwayat
penurunan berat badan disangkal oleh pasien, keringat malam hari juga disangkal.
Riwayat merokok sejak umur 20 tahun, penderita dapat menghabiskan dua bungkus
rokok dalam satu hari. BAB dan BAK tidak ada kelainan.

Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat hipertensi diketahui penderita sejak kurang lebih lima tahun yang lalu.

3
III. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Sedang
Berat badan : 60 kg
Tanda-tanda vital :
 Tekanan darah : 140/90 mmHg
 Nadi : 96 x/menit
 Suhu : 37,5 ºC
 Pernapasan : 28 x/menit

Status Generalis :
Kepala : normochephali
Mata : pupil isokor, sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-
Telinga : serumen -/-, cairan-/-
Hidung : rhinore-/-, epistasis -/-
Mulut : sianosis (-), atrofi papil (-)
Thorax : Cor : Ictus cordis tidak tampak, IC tidak teraba,
BJ I-II normal, bising (-)
Pulmo : bentuk dada barrel chest, pergerakan dinding dada
simetris, sela iga melebar, SP vesikuler, ekspirasi
memanjang, Rh-/-, Wh+/+
Abdomen :
 Inspeksi : datar, lemas
 Palpasi : NTE (-), NTSP (-), Hepar dan Lien tidak teraba
 Perkusi : redup, shifting dullnes (-)
 Auskultasi : bising usus normal
Ekstremitas : akral hangat, kekuatan otot 5/5/5/5

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

4
a. Laboratorium :
Darah lengkap : Leukosit 11 ribu/uL
Eritrosit 4,58 juta/uL
Hb 11,9 g/dL
Hematokrit 34,6 %
Trombosit 276 ribu/uL
b. Radiologi : direncanakan
c. EKG : dalam batas normal

V. DIAGNOSIS KERJA
PPOK eksaserbasi akut
Hipertensi gr II

VI. PENATALAKSANAAN
O2 2-3 Liter/menit
Nebulizer combivent/8 jam
Ambroxol 30 mg 3x1 tab
Amlodipin 5 mg 1-0-0

VII. Rencana Pemeriksaan


Laju endap darah
Sputum BTA 3 kali
SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin, GDP
Foto Thorax
Tes Faal Paru

RESUME

5
Seorang laki-laki umur 71 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan utama sesak. Sesak
napas dialami sejak ± 3 bulan, memberat sejak 1 hari SMRS, dirasakan terus menerus tidak
dipengaruhi oleh aktifitas. Batuk dialami penderita sejak ±3 bulan SMRS, batuk dirasakan
berdahak warna putih tanpa disertai strep darah. Keluhan demam maupun riwayat demam (-).
Pasien bisa tidur dengan satu bantal, tidak pernah terbangun malam hari karena sesak, sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca. Riwayat penurunan berat badan (-), keringat malam hari (-). Riwayat
merokok sejak umur 20 tahun, penderita dapat menghabiskan dua bungkus rokok dalam satu hari.
BAB dan BAK tidak ada kelainan.
Riwayat penyakit dahulu hanya hipertensi yang diketahui penderita sejak 5 tahun yang lalu.
Pemeriksaan fisik didapatkan tensi 140/90, nadi 96x/menit, respirasi 28 kali/menit, suhu
badan 37,5 derajat celsius. Pada pemeriksaan thoraks ditemukan pergerakan dinding dada simetris,
bentuk dada barrel chest, pergerakan dinding dada simetris, sela iga melebar, SP vesikuler,
ekspirasi memanjang, Rh-/-, Wh+/+.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

6
A. Definisi
Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif
Pulmonary Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang
mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah ini mulai dikenal
pada akhir 1950an dan permulaan tahun 1960an. Masalah yang menyebabkan
terhambatmya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran pernapasan maupun pada
parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimasksud adalah Bronkitis Kronik (masalah
dalam saluran pernapasan), emfisema (masalah dalam parenkim). Ada beberapa ahli yang
menambahkan ke dalam kelompok ini yaitu Asma Bronkial Kronik, Fibrosis Kistik dan
Bronkiektasis. Secara logika penyakit asma bronkial seharusnya dapat digolongkan ke
dalam golongan arus napas yang terhambat, tetapi pada kenyataannya tidak dimasukkan
ke dalam golongan PPOK.2 Suatu kasus obstruksi aliran udara ekspirasi dapat digolongkan
sebagai PPOK bila obstruksi aliran udara ekspirasi tersebut cenderung progresif. Kedua
penyakit tadi (bronkitis kronik, emfisema) hanya dapat dimasukkan ke dalam kelompok
PPOK jika keparahan penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya bersifat progresif. Pada
fase awal, kedua penyakit ini belum dapat digabungkan ke dalam PPOK.2 Jika dilakukan
pemeriksaan patologik pada pasien yang mengalami obstruksi saluran napas, diagonosis
patologiknya ternyata sering berbeda satu sama lain. Diagnosis patologik tersebut dapat
berupa emfisema sebesar 68%, bronkitis 66%, sedangkan bronkiolitis sebesar 41%. Jadi
dapat disimpulkan bahwa kelainan patologik yang berbeda menghasilkan gejala klinik
yang serupa.2

B. Epidemiologi
Insiden PPOK penduduk negeri Belanda ialah 10-15% pria dewasa , 5% wanita
dewasa dan 5% anak-anak. Faktor risiko yang utama adalah rokok. Perokok mempunyai
risiko 4 kali lebih besar daripada daripada bukan perokok, dimana faal paru cepat menurun.
Penderita pria : wanita = 3-10 : 1. Pekerjaan penderita sering berhubungan erat
dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. Di daerah perkotaan, insiden PPOM 1 ½
kali lebih banyak daripada pedesaan. Bila seseorang pada saat anak-anak sering batuk,
berdahak, sering sesak, kelak pada masa tua timbul emfisema.3

7
C. Etiologi
Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab paling umum dari eksaserbasi PPOK.
Namun, polusi udara, gagal jantung, emboli pulmonal, infeksi nonpulmonal, dan
pneumothorax dapat memicu eksaserbasi akut. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
setidaknya 80 % dari PPOK eksaserbasi disebabkan oleh infeksi. Infeksi tersebut 40-50%
disebabkan oleh bakteri, 30% oleh virus, dan 5-10% karena bakteri atipikal. Infeksi
bersamaan oleh lebih dari satu patogen menular tampaknya terjadi dalam 10 sampai 20%
pasien. Meskipun ada data epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan polusi yang
berkaitan dengan peningkatan ringan pada eksaserbasi PPOK dan perawatan di rumah
sakit, mekanisme yang terlibat sebagian besar tidak diketahui. Dalam sebuah studi di
Eropa, meningkat dari 50 mg / m 3 di tingkat polutan harian menunjukkan peningkatan
risiko relatif perawatan di rumah sakit untuk PPOK untuk SO2 (RR 1,02), NO2 (RR 1,02),
dan ozon (RR 1,04). Emboli pulmonal juga dapat menyebabkan eksaserbasi PPOK akut,
dan, dalam satu penelitian terbaru, Emboli Pulmonal sebesar 8,9% menunjukkan pasien
rawat inap dengan eksaserbasi PPOK.4

D. Diagnosis
Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdsarakan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK klinis. Apabila
dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai
derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, dan PPOK berat). Diagnosis PPOK klinis ditegakkan
apabila :

a. Anamnesis
a. Ada faktor risiko :
- Usia (pertengahan)
- Riwayat pajanan (asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja)

8
b. Gejala
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa
dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses
penuaan.
- Batuk Kronik
Batuk kronik adalah batuk yang hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan
pengobatan yang diberikan.
- Berdahak Kronik
Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk.
- Sesak nafas5

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama
auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan
PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas
atau perubahan bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut :
a. Inspeksi
- Bentuk dada barrel chest (dada seperti tong)
- Terdapat cara bernapas purse lips bretahing (seperti orang meniup)
- Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas.
- Pelebaran sela iga.
b. Palpasi
- Fremitus melemah
c. Perkusi
- Hipersonor

d. Auskultasi
- Suara nafas vesikuler melemah atau normal
- Ekspirasi memanjang
- Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)

9
- Ronki

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain :
- Radiologi (foto thoraks)
- Spirometri
- Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia
kronik)
- Analisa gas darah
- Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihhan antibiotik bila terjadi eksaserbasi)
Meskipun kadang-kadang hasil pmeriksaan radiologis masih normal pada PPOK
ringan tetapi pemriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis
penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dan keluhan pasien.
Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :
- Paru hiperinflasi atau hiperlusen
- Diafragma datar
- Corakan bronkovaskular meningkat
- Bulla
- Jantung pendulum
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor resiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan
sesak nafas terutama saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan
atau yang lebih tua.5

E. Eksaserbasi akut
Pada seseorang yang telah didiagnosis sebagai penderita PPOK dalam keadaan normal
penderita ini telah berada dalam keadaan dispnea, berdahak, dan batuk. Pada eksaserbasi akut,
ketiga gejala ini bertambah. Eksaserbasi akut PPOK dapat disebabkan oleh infeksi sistem

10
pernapasan, pengaruh polusi lingkungan, gagal jantung, infeksi sistemik, atau juga emboli paru.
Eksaserbasi akut PPOK yang ringan belum memerlukan perawatan di rumah sakit, sedangkan
eksaserbasi yang sedang dan berat harus dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit.3

11
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan untuk menghilangkan atau
mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya agar oksigenisasi dapat
kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan menghindari perburukan penyakit atau
timbulnya obstruksi kembali pada kasus dengan obstruksi yang reversibel. Dasar-dasar
penatalaksanaan ini pada PPOK adalah :6
1) Usaha mencegah perburukan penyakit
2) Mobilisasi lendir
3) Mengatasi bronkospasme
4) Memberantas infeksi
5) Penanganan terhadap komplikasi
6) Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi.
Pada asma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi akut memerlukan
penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi yang terjadi dapat diatasi seoptimal mungkin
sehingga risiko komplikasi dan perburukan penyakit dapat dihindari sedapat mungkin. Pada
obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK dan SOPT penatalaksanaan bertujuan untuk
memperlambat proses perburukan faal paru dengan menghindari eksaserbasi akut dan faktor-
faktor yang memperburuk penyakit. Pada penderita PPOK penurunan faal paru lebih besar
dibandingkan orang normal. Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada penderita PPOK menurun sebesar 52 ml
setiap tahunnya.6

12
a. Penatalaksanaan Umum6
1) Pendidikan terhadap penderita dan keluarga.
Mereka hendaklah mengetahui penyakitnya, yang meliputi berat penyakit, faktor-
faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk
penyakit.Perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan dan pengobatan
2) Menghindari rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi.
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit.
Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus
dihindari, karena zat itu juga dapat menimbulkan eksaserbasi/memperburuk perjalanan
penyakit.
3) Menghindan infeksi Infeksi saluran napas sedapat mungkin dihindan oleh karena dapat
menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.
4) Lingkungan sehat.
Perubahan cuaca yang mendadak, udara terlalu panas atau dingin dapat
meningkatkan produksi sputum dan obstruksi saluran napas. Tempat ketinggian dengan
kadar oksigen rendah dapat menurunkan tekanan oksigen dalam arteri. Pada penderita
PPOK terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonale dapat diperlambat bila penderita
pindah dari dataran tinggi ke tempat di permukaan laut.
5) Mencukupkan kebutuhan cairan.
Hal ini penting untuk mengencerkan sputum sehingga mudah dikeluarkan. Pada
keadaan dekompesasi kordis, pemakaian kortikosteroid dan hiponatremi memperbesar
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan.
6) Nutrien yang cukup.
Pemberian makanan yang cukup perlu dipertahankan oleh karena penderita sering
mengalami anoreksia oleh karena sesak napas, dan pemakaian obat -obatan yang
menimbulkan rasa mual.

13
b. Pemberian obat-obatan
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi obstruksi
saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3 golongan
bronkodilator utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan
golongan xanthin, ke tiga obat ini mempunyai cara kerja yang berbeda dalam mengatasi
obstruksi saluran napas. Dalam otot saluran napas persarafan langsung simpatometik
hanya sedikit; meskipun banyak terdapat adenoreseptor beta dalam otot polos bronkus,
reseptor ini terutama adalah beta-2. Pemberian beta agonis menimbulkan
bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenilsiklase, yaitu substansi
penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi. Persarafan
bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui nervus vagus Pada asma aktifitas
refleks vagal dianggap sebagai komponen utama bronkokonstriksi; tetapi peranan
vagus yang pasti tidak diketahui. Substansi penghantar saraf tersebut adalah asetilkolin
yang dapat menimbulkan bronkokonstniksi. Atropin adalah zat antagonis kompetitif
dan asetilkolin dan dapat menimbulkan relaksasi otot polos bronkus sehingga timbul
bronkodilatasi. Obat golongan xanthin bekerja sebagai bronkodilator melalui
mekanisme yang belum diketahui dengan jelas.6
Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya bronkodilator adalah :
- Blokade reseptor adenosin
- Rangsangan pelepasan katekolamin endogen
- Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor
-Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos dan penghambatan
penglepasan mediator dan sel mast.
Cara kerja obat bronkodilator adalah dengan menimbulkan bronkodilatasi. Obat
golongan simpatomimetik sperti adrenalin dan efedrin selain menimbulkan efek
bronkodilatasi juga menimbulkan takikardi dan palpitasi; pemakaian obat-obat yang
selektif terhadap reseptor beta mengurangi efek samping ini. Golongan agonis beta-2
yang dianggap selektif antara lain adalah terbutalin, feneterol, salbutamol, orsiprenalin
dan salmeterol. Di samping bersifat sebagai bronkodilator, bila diberikan secara
inhalasi dapat memobilisasi lendir. Pemberian beta-2 dapat menimbulkan tremor tetapi

14
bila terus diberikan maka gejala akan berkurang. Pemberian salbutamol lepas lambat
juga dapat diberikan. Pada penderita asma obat ini mungkin bisa mengurangi timbulnya
serangan asma malam. Dosis salbutamol lepas lambat 2 x 4 mg mempunyai manfaat
yang sama dengan dosis 2 x 8 mg dengan efek samping yang lebih minima1.
Antikolinergik seperti ipratropium bromide merupakan bronkodilator utama pada
PPOK, kanena pada PPOK obstruksi saluran napas yang terjadi lebih dominan
disebabkan oleh komponen vagal. Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan
bronkodilator lain seperti agonis beta-2 dan xanthin memberikan efek bronkodilatasi
yang lebih baik, sehingga dosis dapat di turunkan sehingga efek samping juga menjadi
sedikit. Pada penderita asma akut pemberian antikolinergik tidak direkomendasikan
oleh karena efeknya lebih rendah dibandingkan golongan agonis beta-2; tetapi
penambahan obat antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi. Pada asma
kronik antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi melalui blokade reseptor
muskaninik non spesifik. Meskipun efeknya kurang dari gonis beta-2 tapi penambahan
obat ini memberikan efek tambahan terutama pada penderita asma yang lebih tua.
Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah, selain bersifat
bronkodilator obat ini juga berperan dalam meningkatkan kekuatan otot diafragma.
Pada penderita emfisema dan bronkitis kronik metabolisme obat golongan xanthin ini
dipengaruhi oleh faktor uimur, merokok, gagal jantung, infeksi bakteri dan penggunaan
obat simetidin dan eitromisin. Oleh karena itu penggunaan obat xanthin pada PPOK
membutuhkan pemantauan yang ketat. Pemberian bronkodilator secara inhalasi sangat
dianjurkan- oleh kanena cara ini memberikan berbagai keuntungan yaitu :6
• Obat bekerja langsung pada saluran napas
• Onset kerja yang cepat
• Dosis obat yang kecil
• Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam darah rendah
• Membantu mobilisasi lendir.

Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan inhalasi dosis terukur, alat
bantu spacer, nebuhaler, turbuhaler,dischaler, rotahaler dan nebuliser. Hal yang perlu
diperhatikan adalah cara pemakaian yang tepat dan benar sehingga obat dapat mencapai

15
saluran napas dengan dosis yang cukup.Pada orang tua dan anak-anak serta pada suatu
serangan akut yang berat mungkin obat tidak bisa dihisap dengan baik sehingga sukar
mendapatkan bronkodilatasi yang optimal pada pemakaian inhalasi dosis terukur.
Pemberian inhalasi fenoterol 1 ml konsentrasi 0,1% dengan nebuliser pada serangan asma
memberikan perbaikan faal paru yang sangat bermakna pada 32 penderita asma yang
berobat ke poli Asma RSUP Persahabatan; tetapi pada 19 orang penderita PPOK dengan
eksaserbasi akut, inhalasi ini memberikan perbaikan subjektif sedangkan peningkatan faal
paru tidak bermakna.6
Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator harus selalu dicoba, meskipun tidak
terdapat perbaikan faal paru. Apabila selama 2–3 bulan pemberian obat tidak terlihat
perubahan secara objektif maupun secara subjektif maka tidaklah tepat untuk meneruskan
pemberian obat. Tetapi pemberian bronkodilator tetap diindikasikan pada suatu serangan
akut. Pemberian bronkodilator jangka lama pada penderita sebaiknya diberikan dalam
bentuk kombinasi, untuk mendapatkan efek yang optimal dengan efek samping yang
minimal.6

2. Ekspektoran dan Mukolitik


Pemberian cairan yang cukup dapat mengencerkan sekret, tetapi pada beberapa
keadaan seperti gagal jantung perlu dilakukan pembatasan cairan. Obat yang menekan
batuk seperti kodein tidak dianjurkan karena dapat mengganggu pembersihan sekret dan
menyebabkan gangguan pertukaran udara; di samping itu obat ini dapat menekan pusat
napas. Tetapi bila batuk sangat mengganggu seperti batuk yang menetap, iritasi saluran
napas dan gangguan tidur obat ini dapat diberikan. Ekspektorans dan mukolitik lain seperti
bromheksin, dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistem
selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran
napas dan kerusakan yang disebabkan oleh oksidans.6

3. Antibiotika
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi, terutama pada
keadaan eksaserbasi., Infeksi virus paling sering menimbulkan eksaserbasi diikuti oleh

16
infeksi bakteri. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan makin
memburuk.Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam
penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotika dapat mengurangi lama dan beratnya
eksaserbasi.Perubahan warna sputum dapat merupakan indikasi infeksi bakteri.
Antibiotika yang biasanya bermanfaat adalah golongan penisilin, eritromisin dan
kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 7–10 hari. Apabila antibiotika tidak
memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme.6

4. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid pada suatu serangan akut baik pada asma maupun PPOK
memberikan perbaikan penyakit yang nyata. Steroid dapat diberikan intravena selama
beberapa hari, dilanjutkan dengan prednison oral 60 mg selama 4–7 hari, kemudian
diturunkan bertahap selama 7–10 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat
dihentikan tanpa turun bertahap. Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus
pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru dari gejala
penyakit. Pemberian kortikosteroid jangka lama memperlambat progresivitas
penyakit.6

c. Terapi Oksigen
Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu Pa 02 < 55 mmHg pemberian oksigen
konsentrasi rendah 1–3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis,
koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi dapat mencetuskan
dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada saat adanya infeksi saluran
napas. Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin merupakan petunjuk
perlunya oksigen tambahan. Pada penderita dengan infeksi saluran napas akut dan
dekompensasi kordis pemberian Inspiratory Positive Pressure Breathing (IPPB)
bermanfaat untuk mencegah dan menyembuhkan atelektasis.6

BAB IV
PEMBAHASAN

17
Pada kasus didapatkan Seorang laki-laki umur 71 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan
utama sesak. Sesak napas dialami sejak kurang lebih 3 bulan, memberat sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, dirasakan terus menerus tidak dipengaruhi oleh aktifitas. Batuk dialami
penderita sejak kurang lebih 3 bulan SMRS, batuk dirasakan berdahak warna putih tanpa disertai
strep darah. Keluhan demam maupun riwayat demam disangkal pasien. Pasien bisa tidur dengan
satu bantal, tidak pernah terbangun malam hari karena sesak, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca.
Riwayat penurunan berat badan disangkal, keringat malam hari disangkal. Riwayat pwnggunaan
OAT disangkal pasien. Riwayat merokok sejak umur 20 tahun, penderita dapat menghabiskan dua
bungkus rokok dalam satu hari. BAB dan BAK tidak ada kelainan. Riwayat penyakit dahulu hanya
hipertensi yang diketahui penderita sejak 5 tahun yang lalu. Pemeriksaan fisik didapatkan tensi
140/90, nadi 96x/menit, respirasi 28 kali/menit, suhu badan 37,5 derajat celsius. Pada pemeriksaan
thoraks ditemukan pergerakan dinding dada simetris, bentuk dada barrel chest, pergerakan dinding
dada simetris, sela iga melebar, SP vesikuler, ekspirasi memanjang, Rh-/-, Wh+/+. Maka
berdasarkan gejala klinis berupa adanya sesak, batuk, lendir, riwayat merokok, serta pemeriksaan
fisis dapat disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis.
Namun untuk menegakkan diagnosa perlu dilakukan tes faal paru (spirometri), selain itu
juga dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3x , gram, untuk menyingkirkan diagnosa TB. Adapun
pemeriksaan darah rutin, LED, SGOT, SGPT, GDP, ureum, kreatinin adalah untuk memeriksa
adanya kelainan lain.
Penyakit paru obstruksi kronis merupakan penyakit paru kronik yang ditandai dengan
keterbatasan aliran udara di dalam saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat
progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas
berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan
dapat diobati. Penyebab utama PPOK biasanya adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan
partikel gas berbahaya.

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa
dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan
yang diberikan. Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai

18
batuk. Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami
adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
Pada terapi diberikan O2 2-3 L/menit hal ini bertujuan untuk perbaikan psikis, koordinasi
otot, toleransi beban kerja dan pola tidur karen hipoksemi dapat mencetuskan dekompensatio
kordis pada penderita PPOK terutama pada saat adanya infeksi saluran napas. Selanjutnya
diberikan Nebulizer Combivent yang berisi Ipatropium bromida dan Salbutamol sulfat yang
bertujuan sebagai bronkodilator utama pada PPOK, karena pada PPOK obstruksi saluran napas
yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh komponen vagal. Ambroxol juga diberikan untuk
mengobati gejala batuk disertai lendir.

DAFTAR PUSTAKA

1. Devereux, Graham. Definition, epidemiology, and risk factor. In : ABC of chronic


obstructive pulmonary disease. BMJ Vol.332; 2006; 1142.

19
2. Djojodibroto, R.Darmanto. Penyakit paru obstruktif kronik. Dalam : Respirologi. Jakarta:
ECG; 2009; 120-5.
3. Assagaf, Hood. Mukty, Abdul. Penyakit paru obstruktif menahun. Dalam : Dasar-dasar
ilmu penyakit paru. Yogyakarta; UGM Press;2009.
4. Etiology of Acute COPD Exacerbations [online], [cited in 2011,October 30]. Available
from : http://emedicine.medscape.com/article/807143-overview
5. Supari, Siti Fadilah. Pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008; 3-51.
6. Yunus, Faisal. Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi. Jakarta; Bagian pulmonologi
fakultas kedokteran universitas indonesia; 2008; 28-32.

20

Anda mungkin juga menyukai