Anda di halaman 1dari 59

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT REFERAT

& ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS MARET 2019

UPAYA PENCEGAHAN GANGGUAN PENDENGARAN OLEH

PAJANAN BISING PADA PEKERJA INDUSTRI

Oleh :

Rahmawati, S.Ked

K1A1 15 145

Pembimbing

dr. Indria Hafizah, M.Biomed

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Rahmawati, S.Ked

NIM : K1A1 15 145

Judul Referat : Upaya Pencegahan Gangguan Pendengaran Oleh Pajanan

Bising Pada Pekerja Industri

Program Studi : Kedokteran

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian

Ilmu Kesehatan Masyrakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran

Universitas Halu Oleo.

Kendari, April 2018

Mengetahui, Pembimbing

dr. Indria Hafizah, M.Biomed

NIP. 19801125 2009122001

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah- Nya

sehingga penulisan referat yang berjudul “Upaya Pencegahan Gangguan

Pendengaran Oleh Pajanan Bising Pada Pekerja Industri” dapat

dirampungkan dengan baik. Shalawat dan salam juga senantiasa tercurahkan

kepada Nabi Muhammad SAW. Penulisan referat ini disusun untuk melengkapi

tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat & Ilmu

Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo. Melalui

kesempatan ini secara khusus penulis persembahkan ucapan terima kasih kepada

dr. Indria Hafizah, M.Biomed sebagai pembimbing referat saya. Dengan segala

kerendahan hati penulis sadar bahwa dalam penulisan tugas ini masih banyak

kekurangan dan ketidaksempurnaan.Penulis mengharapkan masukan, kritik dan

saran yang bersifat membangun kearah perbaikan dan penyempurnaan tugas ini.

Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang

membutuhkan.

Kendari, 10 April 2019

Rahmawati, S.Ked

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................... vi
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian .................................................................. 3
1.2.1 Tujuan Umum .............................................................. 3
1.2.2 Tujuan Khusus ............................................................. 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebisingan ............................................................................ 4
2.2 Anatomi Telinga.................................................................... 6
2.3 Gangguan Pendengaran Oleh Pajanan Bising ....................... 7
2.4 Upaya Pencegahan Gangguan Pendengaran Oleh Pajanan
Bising .................................................................................... 10
2.5 Tata Laksana Gangguan Pendegaran Oleh Pajanan Bising .. 21
BAB III. METODE PENGUMPULAN DATA
3.1 Data yang Dikumpulkan ....................................................... 23
3.2 Cara Pengumpulan Data ........................................................ 23
BAB IV. HASIL KEGIATAN PT. KRAKATAU STEEL BANTEN DAN
HASIL PENGUMPULAN DATA
4.1 Gambaran Singkat tentang PT. Krakatau Steel Banten ........ 24
4.2 Data Sekunder Hasil Pencatatan dan Pelaporan PT. Krakatau
Steel Banten ......................................................................... 29
4.3 Langkah Diagnosis Penyakit Akibat Kerja .......................... 30
BAB V. MASALAH KESEHATAN
5.1 Identifikasi Masalah .............................................................. 40

iv
5.2 Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Masalah dan Penyebab
Masalah Dominan ................................................................. 41
BAB VI. PEMECAHAN MASALAH PRIORITAS DAN USUSLAN
KEGIATAN
6.1 Alternatif-Alternatif Pemecahan Masalah............................. 44
6.2 Pengambilan Keputusan ....................................................... 45
6.3 Rencana Usulan Kegiatan .................................................... 47
BAB VII. PENUTUP
7.1 Simpulan ............................................................................... 51
7.2 Saran ...................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 46

v
DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 1. Nilai Ambang Batas Kebisingan 10


Tabel 2. Jumlah Pekerja PT. Krakatau Steel Banten 29
Berdasarkan Massa Kerja
Tabel 3. Intensitas Bising di Unit Kerja PT. Krakatau Steel 29
Banten
Tabel 4. Pengobatan Gangguan Pendengaran 37

Tabel 5. Analisis Kemungkinan Penyebab Masalah 40


Gangguan Pendengaran Pekerja Industri
Tabel 6. Tabel Paired Comparison 42

Tabel 7. Tabel Kumulatif 42

Tabel 8. Kriteria Mutlak dapat atau tidaknya RUK 45


dilakukan
Tabel 9. Plan of Action (PoA) 47

vi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kedokteran okupasi adalah cabang ilmu kedokteran komunitas

yang memberikan perhatian khusus pada komunitas pekerja. Kedokteran

okupasi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari pengaruh pekerjaan

terhadap kesehatan pekerja dan pengaruhnya terhadap pekerjaan melalui

upaya pencegahan primer (health promotion dan spesific protection),

pencegahan sekunder (early detection dan prompt treatment) dan

pencegahan tersier (rehabilitation). Dokter okupasi bertugas melakukan

upaya pencegahan terjadinya penyakit dan cedera akibat kerja melalui

penggunaan alat protektif perorangan, perubahan cara kerja, dan

pemeriksaan kesehatan secara berkala (Agus dan Seaton, 2005). Upaya

tersebut dilaksanakan dengan tujuan melindungi, memelihara,

meningkatkan derajat kesehatan pekerja, dan mencegah Penyakit Akibat

Kerja (PAK) sehingga pekerja mampu memberikan kontribusi bagi kinerja

perusahaan (Segal, 1999). Menurut data dari The Bureu of Labour Statistic

America pada tahun 2017 dalam Tarwaka (2012) terdapat 5 kasus PAK

setiap 100 pekerja pertahun.

Diagnosis PAK dilakukan oleh dokter umum atau dokter spesialis

yang berkompeten melalui 7 langkah diagnosis PAK meliputi penentuan

diagnosis klinis, menentukan pajanan yang dialami oleh pekerja di tempat

kerja, menentukan hubungan pajanan dengan diagnosis klinis, menentukan

1
besarnya pajanan, menentukan faktor individu yang berperan, menentukan

pajanan di luar tempat kerja, dan menentukan diagnosis PAK (Permenkes,

2016).

Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan

oleh pekerjaan dan/ atau lingkungan kerja. Penyakit Akibat Kerja yang

dimaksud meliputi jenis penyakit yang disebabkan pajanan faktor yang

timbul dari aktivitas pekerjaan, berdasarkan sistem organ, kanker akibat

kerja dan spesifik lainnya (Perpres, 2019). Jenis PAK yang diakibatkan

pajanan faktor yang ditimbulkan dari aktivitas pekerjaan salah satunya

disebabkan oleh faktor golongan fisika berupa pajanan bising, suhu

ekstrim, pencahayaan, vibrasi, dan radiasi pengion (Permenkes, 2016).

Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau

kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan

gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Kebisingan

yang melebih Nilai Ambang Batas (NAB) dapat menimbulkan PAK

berupa gangguan pendengaran atau kerusakan telinga baik bersifat

sementara atau permanen. Efek pemakaian peralatan berkekuatan tinggi di

tempat industri dapat menimbulkan kebisingan yang perlahan- lahan

menyebabkan trauma bising atau Noise Induced Hearing Loss (NIHL),

kehilangan pendengaran, rasa tidak nyaman , stress meningkat, tekanan

darah meningkat, sakit kepala, mudah lelah, gangguan emosional, dan

gangguan tidur (Sugeng, 2003). Hal ini merupakan penyebab tersering

terjadinya gangguan pendengaran (hearing loss) di seluruh dunia, 16%

2
hearing loss pada orang dewasa disebabkan lingkungan kerja yang bising

(Nandi dan Datharak, 2008). Kasus gangguan pendengaran oleh pajanan

bising dapat dideteksi dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan

audiometri sehingga mampu dilakukan upaya pencegahan dan

penatalaksanaan PAK oleh pajanan bising (Sugeng, 2003). Sehubungan

hal tersebut diperlukan evaluasi upaya pencegahan gangguan pendengaran

oleh pajanan bising pada pekerja industri.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui upaya pencegahan gangguan pendengaran oleh pajanan

bising pada pekerja industri.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Menentukan diagnosis PAK melalui tujuh langkah diagnosis PAK

2. Mengidentifikasi dan menentukan prioritas masalah Penyakit

Akibat Kerja (PAK) khususnya gangguan pendengaran oleh

pajanan bising pada pekerja industri di PT. Krakatau Steel Banten

3. Mengetahui upaya pencegahan gangguan pendengaran yang

dapat dilakukan pada pekerja industri di PT. Krakatau Steel

Banten

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebisingan

Bunyi didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh

getaran-getaran melalui media elastis dan manakala bunyi-bunyi tersebut

tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Kebisingan

adalah semua jenis suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-

alat proses produksi dan atau alat- alat kerja yang pada tingkat tertentu

dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Depnakertrans, 1999).

Pegukuran kebisingan bertujuan untuk memperoleh data kebisingan dan

menguranginya sehingga tidak menggangg,u, sedangkan jenis-jenis

Kebisingan yang sering dijumpai adalah (Suma’mur,1996):

1. Kebisingan kontinue dengan spektrurn frekuensi yang luas (steady

state wide band noise), misalnya mesin, kipas angin, dapur pijar,

dan lain-lain

2. Kebisingan kontinue dengan spektrum frekuensi yang sempit

(steady state narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup

gas, dan lain- lain

3. Kebisingan terputus-putus (intermittent), misalnya lalu lintas, suara

kapal terbang di lapangan udara

4. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti pukulan,

tembakan bedil atau meriam dan ledakan

4
5. Kebisingan impulsif berulang, misalnya mesin tempa di

perusahaan.

Pengaruh utama kebisingan kepada kesehatan adalah kerusakan

jaringan pendengaran yang menyebabkan ketulian progresif. Sedangkan

NAB yang diperbolehkan adalah 85 dB. Sumber bising ialah sumber bunyi

yang kehadirannya dianggap mengganggu pendengaran. Umumnya

sumber kebisingan dapat berasal dari kegiatan industri, perdagangan,

pembangunan, alat pembangkit tenaga, alat pengangkut dan kegiatan

rumah tangga. Sumber kebisingan dalam industri dapat di klasifikasikan

menjadi 3 macam, yaitu (Suma’mur,1996):

1. Mesin

Kebisingan yang ditimbulkan oleh aktifitas mesin.

2. Vibrasi

Kebisingan yang ditimbulkan oleh akibat getaran yang ditimbulkan

akibat gesekan, benturan atau ketidakseimbangan gerakan bagian

mesin. Terjadi pada roda gigi, batang torsi, piston, fan, bearing, dan

lain-lain.

3. Pergerakan udara, gas dan cairan

Kebisingan ini di timbulkan akibat pergerakan udara, gas, dan

cairan dalam kegiatan proses kerja industri misalnya pada pipa

penyalur cairan gas, outlet pipa, gas buang, jet, flare boom, dan

lain- lain.

5
2.2 Anatomi Te1inga

Anatomi Telinga manusia terdiri dari tiga bagian (Jatiningrum, 2010) :

Gambar 1. Anatomi Telinga (Atlas Anatomi Netter)

1. Telinga Bagian Luar

Terdiri dari daun telinga dan liang telinga (auditory canal) dibatasi oleh

membran timpani. Telinga bagian luar berfungsi menampung gelombang

suara dan menyebabkan membran timpani bergetar. Semakin tinggi

frekuensi getaran semakin tinggin pula membran tersebut bergetar begitu

juga pula sebaliknya.

2. Telinga Bagian Tengah

Terdiri dari tiga tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes) yang

berfungsi memperbesar getaran dalam membaran timpani dan meneruskan

getaran yang telah diperbesar ke oval window yang bersifat fleksibel. Oval

window ini terdapat pada ujung cochlea.

6
3. Telinga Bagian Dalam

Telinga bagian dalam juga disebut cochlea atau rumah siput. Cochlea

mengandung cairan, di dalamnya terdapat membrane basiler dan organ

corti yang terdiri dari sel-sel rambut yang merupakan reseptor-reseptor

pendengaran. Getaran dari oval window akan diteruskan oleh cairan dalam

cochlea.

2.3 Gangguan Pendengaran oleh Pajanan Bising

Kebisingan dapat menimbulkan gangguan pendengaran pada manusia

yang terpapar diantaranya adalah sebagai berikut (Nasri, 1997):

1. Tuli sementara (Temporary Treshold Shift, TTS)

Tuli yang diakibatkan oleh pemaparan terhadap bising dengan

intensitas tinggi Seseorang akan mengalami penurunan daya dengar

yang sifatnya sementara dan biasanya waktu pemaparan terlalu

singkat. Apabila tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup,

daya dengarnya akan pulih kembali.

2. Tuli menetap (Permanent Treshold Shift, PTS)

Tuli menetap diakibatkan oleh waktu paparan yang lama (kronis),

besarnya PTS di pengaruhi faktor-faktor sebagai berikut :

a. Tingginya level suara

b. Lama paparan

c. Spektrum Suara

d. Temporal pattern, bila kebisingan yang kontinyu maka

kemungkinan terjadi TTS akan lebih besar

7
e. Kepekaan individu

f. Pengaruh obat-obatan, beberapa obat-obatan dapat memperberat

ketulian apabila diberikan bersamaan dengan kontak suara,

misalnya quinine, aspirin dan beberapa obat lainnya

g. Keadaan kesehatan

3. Trauma akustik

Trauma akustik adalah setiap perlukaan yang merusak sebagian atau

seluruh alat pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal

atau beberapa pajanan dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi,

ledakan-ledakan atau suara yang sangat keras, seperti suara ledakan

meriam yang dapat memecahkan gendang telinga, merusakkan tulang

pendengaran atau saraf sensoris pendengaran.

Beberapa gangguan pendengaran lain:

1. Presbicusis

Presbicusis merupakan penurunan daya dengar sebagai akibat

pertambahan usia yang biasanya terjadi pada orang tua dan hal ini terjadi

karena adanya kelumpuhan syaraf pendengaran. Gejala ini harus

diperhitungkan jika menilai penurunan daya dengar akibat pajanan bising

ditempat kerja.

2. Tinitus

Tinnitus merupakan suatu tanda gejala awal terjadinya gangguan

pendengaran. Gejala yang ditimbulkan yaitu telinga berdenging. Orang

yang dapat merasakan tinnitus dapat merasakan gejala tersebut pada saat

8
keadaan hening seperti saat tidur malam hari atau saat berada diruang

pemeriksaan audiometri.

Adapun faktor yang memengaruhi terjadinya gangguan pendengaran

disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya (Salawati, 2013):

1. Frekuensi Bising

Frekuensi yang sering menyebabkan kerusakan pada organ Corti di koklea

adalah bunyi dengan frekuensi 3000 Hz sampai dengan 8000 Hz, gejala

timbul pertama kali pada frekuensi 4000 Hz. Hearing loss biasanya tidak

disadari pada percakapan dengan frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan

3000 Hz ˃25 dB. Apabila bising dengan intensitas tinggi terus berlangsung

dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan ketulian.

2. Usia dan Jenis Kelamin

Hearing loss sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, dengan

rasio 9,5 : 1. Usia rata-rata berkisar pada usia produktif yaitu antara usia

20-50 tahun.

3. Intensitas bising dan lamanya pajanan

Dalam menentukan nilai ambang batas tiap negara memiliki standarnya

masing-masing. Untuk Indonesia, nilai ambang batas faktor fisika

ditempat kerja sudah diatur dalam keputusan menteri tenaga kerja RI no.

KEP-51/MEN/1999.

9
Tabel 1. Nilai Ambang Batas Kebisingan

Waktu Pemajanan Perhari Intensitas Kebisingan dB (A)


8 jam 85
4 jam 88
2 jam 91
1 jam 94
30 menit 97
15 menit 100
7,5 menit 103
3, 75 menit 106
1,88 menit 109
0,94 menit 112
28,12 detik 115
14,06 detik 118
7,03 detik 121
3,52 detik 124
1,76 detik 127
0,88 detik 130
0,44 detik 133
0,22 detik 136
0,11 detik 139
Sumber : Kepmenaker No. KEP 51/ MEN/ 1999.

2.4 Upaya Pencegahan Gangguan Pendengaran oleh Pajanan Bising

Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam pengendalian penyakit akibat

kerja adalah (Depnakertrans RI, 1999):

1. Memberikan penerangan, bimbingan dan penyuluhan kepada tenaga

kerja pada waktu mulai masuk bekerja maupun secara periodik

mengenai:

a. Cara-cara bekerja yang benar dalam mengutamakan kesehatan dan

keselamatan kerja,

b. Selalu menjaga kebersihan diri sendiri dengan cara:

1) Memakai pakaian kerja yang bersih pada waktu bekerja,

2) Mencuci tangan, muka maupun mulut sebelum makan, minum

ataupun merokok,

10
3) Sehabis bekerja harus mandi memakai sabun khusus pelarut

logam dan menggunakan pakaian kerja dengan pakaiannya

sendiri yang bersih.

c. Disiplin memakai alat-alat proteksi pada waktu sedang bekerja.

2. Menyediakan sarana-sarana dan peralatan yang berkaitan dengan

pengendalian penyakit akibat kerja (PAK) seperti:

1) Pakaian kerja

2) Tempat mandi

3) Tempat mencuci tangan, muka, mulut, yang dekat ruangan kerja

4) Tempat mencuci pakaian kerja

5) Alat pelindung diri (APD)

6) Memasang papan-papan peringatan

7) Jika perlu memberikan sanksi bagi yang melanggar ketentuan

3. Menyediakan makan siang dengan gizi cukup

Sedangkan penerapan teknologi pengendalian faktor penyebab pada

lingkungan kerja dibedakan dalam:

1. Eliminasi atau meniadakan/menghilangkan sama sekali faktor

penyebab sehingga dianggap sebagai cara yang paling “ideal”

meskipun dalam pelaksanaannya perlu mempertimbangkan berbagai

aspek yang berkaitan dengan produksi. Apabila dalam proses produksi

digunakan bahan atau cara yang sangat berbahaya maka alternatifnya

adalah hindari atau hilangkan sama sekali

11
2. Substitusi yaitu mengganti semua proses atau bahan yang berbahaya

namun menghasilkan produk atau manfaat yang tidak berbeda,

misalnya mengganti asbestos dengan fibre glass, bahan karbon tetra

klorida dengan bahan hidrokarbon, perubahan penggunaan wadah

yang lebih kecil untuk mengganti wadah yang besar dalam proses

pengepakan. Pelaksanaan substitusi ini perlu senantiasa dievaluasi

kembali mengingat proses atau bahan pengganti dapat juga

menimbulkan pengaruh lain

3. Pengendalian teknis meliputi modifikasi atau penerapan cara teknis

guna meminimalkan pemajanan pada tenaga kerja, misal melalui cara

isolasi/pemisahan atau pemasangan penyekat, ventilasi lokal atau

umum serta penyelenggaraan tata rumah tangga yang baik. Metode

pengendalian teknis ini banyak dilakukan di tempat kerja dan sangat

bermanfaat dalam upaya mencegah kasus kecelakaan dan PAK.

Pemakaian alat pengaman mesin, tersedianya ruang panel/kendali,

exhaust fan atau penyedot lainnya, tata letak yang memenuhi syarat,

kebersihan dan kerapian di tempat kerja merupakan contoh lebih rinci

dari pengendalian teknis tersebut.

4. Pengendalian administratif, melalui peningkatan higiene perorangan

atau penyediaan fasilitas saniter, tanda peringatan, pertimbangan

aspek keselamatan dan kesehatan kerja dalam proses pembelian

bahan/peralatan, petunjuk cara kerja yang sehat dan aman, penerapan

sistem rotasi untuk mengurangi pemajanan,

12
5. Penggunaan APD oleh tenaga kerja sebagai alternatif paling akhir atau

diterapkan bersamaan dengan teknologi pengendalian lainnya.

Kesulitan atau problem tertentu yang dikeluhkan baik oleh perusahaan

atau tenaga kerja sering pula terjadi, misalnya telah disediakan namun

tidak digunakan, tidak tersedia atau terpelihara dengan baik, terasa

kurang nyaman, kurang cocok, mengganggu kerja dan sebagainya.

Pedoman umum untuk alat pelindung diri perlu diperhatikan, antara

lain adalah pemilihannya yang benar sesuai untuk potensi bahaya

yang dihadapi, pemeliharaan dilakukan secara teratur, dipakai secara

benar atau apabila diperlukan, disimpan secara aman dan dipahami

benar manfaatnya,

6. Pelatihan yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan, tidak hanya

mengenai PAK melainkan juga mengenai berbagai aspek higiene

perusahaan, ergonomi, kesehatan kerja dan juga berbagai segi

keselamatan kerja serta pengetahuan yang terkait. Pelatihan ini dapat

diselenggarakan secara khusus maupun langsung pada saat sebelum,

selama dan sesudah bekerja atau melalui forum komunikasi, diskusi,

pertemuan, dan sebagainya

7. Pemantauan dan evaluasi pada penerapan sistem pencegahan

dilakukan melalui audit untuk menjawab berbagai pertanyaan seperti

apakah resiko masih belum berkurang, bagimana keluhan atau

gangguan kesehatan, adakah penurunan kejadian kecelakaan atau

penyakit, sejauh mana efektivitas alat pengendali yang digunakan,

13
mungkinkah terdapat perubahan sikap atau persepsi terhadap

penerapan kesehatan dan keselamatan kerja dan sebagainya.

Pemeriksaan kesehatan kerja meliputi (Depnakertrans, 1980):

1. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja

Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja adalah pemeriksaan kesehatan

yang dilakukan oleh dokter sebelum seorang tenaga kerja diterima

untuk melakukan pekerjaan, antara lain:

a. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja ditujukan agar tenaga kerja

yang diterima berada dalam kondisi kesehatan yang setinggi-

tingginya, tidak mempunyai penyakit menular yang akan

mengenai tenaga kerja lainnya dan cocok untuk pekerjaan yang

akan dilakukan sehingga keselamatan dan kesehatan tenaga kerja

yang bersangkutan dan tenaga kerja lainnya dapat terjamin.

b. Semua perusahaan sebagaimana tersebut dalam undang-undang

No. 1 tahun 1970, harus mengadakan pemeriksaan kesehatan

sebelum kerja.

c. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja meliputi pemeriksaan

kesehatan fisik lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru

(bila mungkin) dan laboratorium rutin serta pemeriksaan lain

yang dianggap perlu.

d. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu perlu dilakukan pemeriksaan

yang sesuai dengan kebutuhan guna mencegah bahaya yang

diperkirakan timbul.

14
e. Pengusaha atau pengurus dan dokter wajib menyusun pedoman

pemeriksaan kesehatan sebelum kerja yang menjamin

penempatan tenaga kerja sesuai dengan kesehatan dan pekerjaan

yang akan dilakukannya dan pedoman tersebut mendapatkan

persetujuan terlebih dahulu oleh direktur.

f. Pedoman pemeriksaan kesehatan sebelum kerja dibina dan

dikembangkan mengikuti kemampuan perusahaan dan kemajuan

kedokteran dalam keselamatan kerja.

g. Jika 3 (tiga) bulan sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan

kesehatan oleh dokter, tidak ada keragu-raguan maka perlu

dilakukan pemeriksaan kesehatan sebelum kerja

2. Pemeriksaan kesehatan berkala

Pemeriksaan kesehatan berkala adalah pemeriksaan kesehatan pada

waktu tertentu terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh dokter.

a. Pemeriksaan kesehatan berkala dimaksudkan untuk

mempertahankan derajat kesehatan tenaga kerja sesudah berada

dalam pekerjaannya serta menilai kemungkinan adanya pengaruh-

pengaruh dari pekerjaan seawal mungkin yang perlu dikendalikan

dengan usaha-usaha pencegahan.

b. Semua perusahaan harus melakukan pemeriksaan kesehatan

berkala bagi tenaga kerja sekurang-kurangnya 1 tahun sekali.

15
c. Pengusaha atau pengurus dan dokter wajib menyusun pedoman

pemeriksaan kesehatan berkala sesuai dengan kebutuhan menurut

jenis-jenis pekerjaan yang ada.

d. Pedoman pemeriksaan kesehatan dikembangkan mengikuti

kemampuan perusahaan dan kemajuan kedokteran dan

keselamatan kerja.

e. Dalam hal ditemukan kelainan atau gangguan kesehatan pada

tenaga kerja pada pemeriksaan berkala, pengurus wajib

mengadakan tindak lanjut untuk memperbaiki kelainan-kelainan

tersebut dan sebabnya untuk menjamin terselenggaranya

keselamatan dan kesehatan kerja

f. Agar pemeriksaan kesehatan berkala mencapai sasaran yang luas,

maka pelayanan kesehatan di luar perusahaan dapat dimanfaatkan

oleh pengurus menurut keperluan.

g. Dalam melaksanakan kewajiban pemeriksaan kesehatan berkala,

Direktur Jenderal Pembina Hubungan Perburuhan dan

Perlindungan Tenaga Kerja dapat menunjuk satu atau beberapa

Badan sebagai penyelenggara yang akan membantu perusahaan

yang tidak mampu melakukan sendiri pemeriksaan kesehatan

berkala.

3. Pemeriksaan kesehatan khusus

16
Pemeriksaan kesehatan khusus adalah pemeriksaan kesehatan yang

dilakukan oleh dokter secara khusus terhadap tenaga kerja tertentu,

meliputi:

a. Pemeriksaan kesehatan khusus dimaksudkan untuk menilai

adanya pengaruh pengaruh dari pekerjaan tertentu terhadap tenaga

kerja atau golongan-golongan tenaga kerja tertentu.

b. Pemeriksaan kesehatan khusus dilakukan pula terhadap:

1) Tenaga kerja yang telah mengalami kecelakaan atau penyakit

yang memerlukan perawatan lebih dari 2 (dua) minggu.

2) Tenaga kerja yang berusia diatas 40 tahun atau tenaga kerja

wanita dan tenaga kerja cacat, serta tenaga kerja muda yang

melakukan pekerjaan tertentu

3) Tenaga kerja yang terdapat dugaan-dugaan tertentu mengenai

gangguan-gangguan kesehatannya perlu dilakukan

pemeriksaan khusus sesuai dengan kebutuhan

Program perlindungan kesehatan diperlukan untuk mengendalikan

dampak negatif faktor lingkungan kerja terhadap kesehatan karyawan.

Hearing Conservation Program (HCP) adalah suatu program khusus

perlindungan resiko kesehatan akibat pemajanan kebisingan di tempat

kerja. Adapun program konservasi pendengaran (HCP) yang dilaksanakan

dalam rangka pencegahan gangguan pendengaran oleh kebisingan adalah :

17
1. Survey dan monitoring kebisingan

Pemantauan kebisingan dilakukan secara internal secara periodik

setiap 6 bulan sekali. Hasil pengukuran dikomunikasikan pada unit

kerja terkait sebagai dasar dalam pelaksanaan pengawasan rutin

serta perencanaan perbaikan tahunan.

2. Seleksi kesehatan pekerja di lingkungan bising

Sebelum calon karyawan diterima dan dipekerjakan pada tempat

kerja bising, karyawan harus memenuhi persyaratan kesehatan

pendengaran yaitu ambang pendengaran dalam batas normal, tidak

ada kelainan pendengaran dan tidak memiliki kebiasaan di luar

perusahaan yang dapat memperburuk risiko yang menetap

dilakukan pengendalian administrasi seperti rotasi kerja atau

rehabilitasi medis.

3. Monitoring audiometri dan database pendengaran

Berdasarkan hasil pemantauan dan survey kebisingan ditetapkan

daftar karyawan yang terpajan di lingkungan bising. Daftar pekerja

di lingkungan bising tersebut di lakukan pemeriksaan khusus

audiometri untuk mengetahui perubahan ambang dengar terhadap

kondisi awal bekerja (baseline audiogram).

4. Program pengendalian lingkungan bising

Program pengendalian kebisingan terdiri dari :

18
a. Program konservasi pendengaran (HCP), monitoring

kebisingan, pemeriksaan audiometri, rekomendasi Divisi

K3LH, pengawasan dan pembinaan.

b. Program perbaikan Sistem Managemen tahunan bidang

Sistem Managemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang

disusun berdasarkan registrasi bahaya dari unit kerja yang

terkait.

c. Program maintenace dari Divisi terkait, yaitu perawatan

instalasi dan pesawat produksi (preventive maintance and

overhole), perawatan control room dan ruangan isolasi

sumber kebisingan (motor house dan hidrolic room),

modifikasi proses dan desain (engenering control)

d. Pengendalian administrasi lainya, seperti safety work permit,

akses terbatas (autorized anly area), safety sign, safety poster

dan lain- lain.

5. Alat pelindung diri

Perusahaan memberikan ear plug dan ear muff dalam jumlah yang

memadai dengan kontinuitas pengadaan yang terjamin pada seluruh

pekerja di lingkungan bising atau orang yang memasuki lingkungan

bising.

6. Sosialisasi program konservasi pendengaran (HCP) pada pekerja.

Materi sosialisasi program konservasi pendengaran yang ditujukan

pada kelompok karyawan dengan resiko gangguan pendengaran

19
seperti NIHL, trauma acoustic, tuli perseptif, tuli konduktif adalah

sebagai berikut :

a. Resiko kebisingan terhadap pendengaran.

b. Resiko kebisingan terhadap kesehatan lainnya

c. Profil kebisingan di tempat kerja

d. Program pengendalian administasi dan engenering control

kebisingan

e. Kebijakan perusahaan tentang pengaturan rotasi kerja dan

mutasi kesehatan.

f. Kriteria sasaran program dan tata laksana pemeriksaan

audiometri

g. Rekomendasi kesehatan dan tindak lajut pada karyawan

dengan indikasi ketulian akibat bising.

h. Pelaksanaan program konservasi pendengaran

7. Penelitian kebisingan

Untuk mengetahui efektifitas kebisingan dan tingkat pengaruh

kebisingan terhadap kesehatan karyawan bekerjasama dengan

lembaga profesional dan tenaga ahli untuk melakukan riset

kesehatan. Beberapa riset yang sudah dilakukan adalah : model

intervensi risiko ketulian akibat kerja, penilaian efektifitas alat

pelindung telinga, tingkat penurunan daya dengar pekerja di

lingkungan bising, dan lain- lain.

20
2.5 Tata Laksana Gangguan Pendengaran Oleh Pajanan Bising

A. Tata Laksana Medis

Untuk keperluan pencegahan, alat pelindung diri serta durasi kerja

sangat memengaruhi insiden gangguan pendengaran oleh pajanan

bising. Pertukaran jam kerja (work shift) setiap 12 jam telah terbukti

mampu menangani gangguan pendengaran. Tata laksana gangguan

pendengaran oleh bising dapat dilakukan melalui pemberian

neurotropin untuk merangsang pertumbuhan kembali saraf

pendengaran dan melindungi kehilangan pendengaran sensorineural.

Pemberian antioksidan dan steroid mampu mengatasi gangguan

pendengaran melalui mekanisme menghilagkan Reactive Oxygen

Species (ROS) dan meningkatkan sirkulasi dari koklea akibat trauma

akut akibat bising. Sementara itu pemberian N- asetilsistein dapat

digunakan mengatasi gangguan pendengaran yang bersifat sementara

atau pencegahan dini kerusakan sel rambut.

B. Tata Laksana Okupasi

1. Program Kembali Kerja

Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 10 Tahun

2016 menyatakan bahwa setiap pekerja yang mengaalami

kecelakaan kerja dan/ atau PAK dapat memperoleh manfaat

program kembali kerja berdasarkan rekomendasi dokter penasehat

yang dapat diberikan dalam proses pengobatan dan perawatan atau

setelah pekerja dinyatakan sembuh dengan kecacatan. Program

21
kembali kerja meliputi pelayanan kesehatan, rehabilitasi dan

pelayanan kerja. Selama pekerja mengikuti program kembali kerja

maka santunan sementara tidak mampu bekerja tetap dibayarkan

hingga selesai mengikuti pelatihan kerja

2. Penetapan Kelaikan Kerja

Bertujuan untuk menentukan pekerja dapat kembali bekerja pada

pekerjaan sebelumnya, bekerja dengan keterbatasan atau restriksi

tertentu atau berganti pekerjaan sesuai dengan kondisi kesehatan

pekerja. Rujukan penentuan kelaiakan kerja diperlukan jika:

a. Status kesehatan pasien kompleks (melibatkan lebih dari satu

sistem organ atau hanya melibatkan satu sistem organ tetapi

sistem organ yang vital

b. Pajanan faktor risiko yang ada di tempat kerja kompleks dan

saling berkaitan

c. Terdapat keraguan dalam menentukan besaran risiko yang ada

dan risiko yang dapat diterima

d. Terdapat ketidakpuasan pekerja atas penetapan elaikan kerja

e. Ada permintaan dari bagian kepegawaian atau bagian

keselamatan dan kesehatan kerja suatu perusahaan

f. Sumber daya manusia dan sarana prasarana di fasilitas

pelayanan kesehatan tidak memadai

BAB III

22
METODE PENGUMPULAN DATA

3.1 Data Yang Dikumpulkan

3.1.1 Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh secara tidak

langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak

lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan, atau laporan

historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang

dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Data sekunder

diambil dari pencatatan perusahaan yang berhubungan dengan

kebisingan

3.2 Cara Pengambilan Data

Data diperoleh dari jurnal dan laporan kasus yang berhubungan dengan

judul refarat

23
BAB IV

HASIL KEGIATAN PT. KRAKATAU STEEL BANTEN

DAN HASIL PENGUMPULAN DATA

4.1 Gambaran Singkat Tentang PT. Krakatau Steel Banten

Pabrik ini dibangun pada tanggal 15 September 1979, kemudian

diperluas pada tahun 1982 serta diresmikan pada tanggal 14 februari 1983

oleh presiden Suharto yang sekaligus mulai dioprasikan dengan kapasitas

produksi 1 juta ton per tahun. Pengerolan baja lembaran panas merupakan

unit produksi paling moderen dan baru karena sebagian besar

pengontrolnya telah menggunakan komputerisasi yaitu dengan program

Mable Logic Controler. Pada tahun 1984 telah berhasil memproduksi baja

yang digunakan untuk membuat pipa Grade API L X 25 yang digunakan

untuk pipa minyak bawah air yang kemudian mendapat sertifikat ISO

9002, ISO 1400 untuk lingkungan dan Llyod certivicate untuk pengakuan

internasional terhadap kualitas produksi plat untuk kapal.

a. Struktur Organisasi

Aktifitas pengerolan baja lembaran panas di dukung dua divisi

dibawah koordinasi Sub Direktorat Produksi Pengerolan Baja. Adapun

unit kerja tersebut adalah:

1) Divisi perawatan PBLP dan BK (PP III)

Divisi ini menangani masalah perawatan mesin, peralatan perawatan

dan instalasi yang dimiliki. Pada divisi ini terdapat beberapa dinas

yaitu:

24
a) Dinas perencanaan dan pengendalian perawatan

b) Dinas perawatan mekanik

c) Dinas perawatan listrik

d) Dinas perawatan komputer proses dan instrumen

e) Dinas utility dan shearing line

2) Divisi Pabrik Pengerolan Baja Lembaran Panas (HSM)

Divisi ini bertugas untuk membuat baja jenis Hot Rolled Coil, Plate dan

Sheet. Proses produksi dan fasilitas utama dari PBLP. Pada divisi ini

terdapat beberapa dinas yaitu :

a) Dinas operasi pengerolan baja lembaran panas

b) Dinas operasi penangan akhir material

c) Dinas strategi pengerolan

d) Dinas fasilitas utama pabrik baja lembaran panas

b. Sistem Kerja

1) Sistem Kepegawaian

Pada Hot Strip Mill (HSM) PT. Krakatau Steel terdapat dua macam

status kepegawaian yaitu :

a Karyawan Organik

Karyawan yang telah diangkat sebagai karyawan tetap dan telah

memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

25
b Karyawan Non Organik

Pegawai yang telah diangkat dalam jangka waktu tertentu, yang

masuk didalamnya adalah tenaga kerja harian lepas, tenaga kerja

kontrak dan tenaga kerja outsourching.

2) Waktu Kerja Karyawan

Pengaturan waktu kerja di Hot Strip Mill (HSM) sebagai berikut :

a Karyawan Non Shift

Waktu kerja karyawan adalah 8 jam sehari.

1 Jam kerja di mulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 16.30

2 Istirahat mulai pukul 12.00 sampai dengan 13.00

Khusus hari jum’at :

1 Jam kerja di mulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 17.00

2 Istirahat mulai pukul 11.30 sampai dengan 13.00

Hari Sabtu dan Minggu adalah waktu libur bagi karyawan non

shift.

b Karyawan Shift

Waktu kerja karyawan shift diatur secara bergilir 3 shift dalam 24

jam dimana masing–masing shift bekerja selama 8 jam, dengan

pembagian 3 grup shift bekerja dan 1 grup libur. Waktu kerja 1 shift

diperhitungkan perusahaan 7 jam kerja normal dan 1 jam

diperhitungkan sebagai waktu lembur. Pembagian waktu kerja shift

sebagai berikut :

1. Shift I : pukul 22.00 sampai dengan pukul 06.00

26
2. Shift II : pukul 06.00 sampai dengan pukul 14.00

3. Shift III : pukul 14.00 sampai dengan pukul 22.00

Pengaturan waktu istirahat untuk karyawan Shift tidak dialokasikan

waktu khusus tetapi dilakukan secara bergiliran pada personil

dalam satu kelompok kerja shift. Kondisi ini disebabkan oleh

operasi pabrik yang harus berlangsung terus menerus dalam 24 jam

sehingga tidak dimungkinkan untuk menyediakan waktu istirahat

tertentu yang berakibat pada berhentinya proses produksi. Selain

itu terdapat juga waktu lembur dan waktu cuti karyawan. Waktu

lembur dilakukan di luar waktu kerja normal atas perintah atasan

yang berwenang. Waktu cuti dibagi menjadi 2 macam, yaitu cuti

tahunan dan cuti besar:

a) Cuti tahunan yaitu masa cuti selama 12 hari kerja dalam satu

periode tahun kelender dan dapat bantuan cuti satu bulan gaji.

b) Cuti besar diberikan 4 tahun sekali dengan masa cuti 22 hari

kerja dan diberikan bantuan cuti 2 bulan gaji.

Tahapan produksi yang ada di pabrik HSM secara garis besar yang

dijelaskan masing-masing sebagai berikut :

1. Reheating Furnace

Untuk persiapan proses pengerolan, baja slab yang merupakan hasil

dari Pabrik Slab Baja dimasukkan ke dalam Reheating Furnace dimana

baja akan dipanaskan hingga mencapai temperatur sekitar 1250-

27
13000C. Proses pemanasan slab berlangsung sekitar 2 menit. Jenis

reheating furnace yang digunakan adalah :

2. Sizing Press

Setelah slab dipanaskan dalam reheating furnace dan sebelum

memasuki mesin pengerolan, slab tersebut mengalami proses perubahan

dimensi lebar dan panjangnya. Slab tersebut dimasukkan ke dalam

mesin Sizing Press dimana slab tersebut akan ditekan pada kedua

bagian sampingnya sehingga lebar dan tebal slab akan mengalami

perubahan dimensi. Proses penekanan yang dilakukan terhadap sisi

samping slab yang berprinsip sama dengan proses tempa. Hal ini

berguna agar struktur atom baja menjadi lebih kuat sebelum dilakukan

penipisan. Sehingga dimensi slab pun berubah menjadi lebih padat dan

tebal. Setelah melalui tahap Sizing Press, slab yang masih berpijar

menuju unit Roughing Mill dengan dihantarkan menggunakan hot roller

table.

3. Proses Pengerolan

Proses pengerolan meliputi dua tahap, yaitu roughing section pada

tahap pertama dan finishing section pada tahap kedua. Perbedaan pada

kedua proses ini adalah pada tahap roughing tidak diperlukan ketelitian

ketebalan yang presisi sedangkan pada tahap finishing diperlukan

ketelitian ketebalan yang presisi.

28
4.2 Dasar Sekunder Hasil Pencatatan dan Pelaporan PT. Krakatau Steel
Banten
Tabel 2. Jumlah Pekerja PT. Krakatau Steel Banten berdasarkan masa
kerja
Distribusi Usia Pekerja (dalam tahun)
Masa
No 26- 31- 36- 41- 46- Total
Kerja 20-25 >50
30 35 40 45 50
1 <5 tahun 19 2 3 2 0 0 0 26
6-10
2 0 0 0 0 0 0 0 0
tahun
11- 15
3 0 0 2 6 4 0 0 12
tahun
16- 20
4 0 0 0 1 7 2 0 10
tahun
21- 25
5 0 0 0 0 24 84 5 113
tahun
26- 30
6 0 0 0 0 0 3 5 8
tahun
7 >30 tahun 0 0 0 0 0 1 6 7
Total 19 2 5 9 15 90 16 176
Sumber : Data sekunder PT. Krakatau Steel Banten, 2009.

Berdasarkan data pengukuran intensitas bising, diketahui terdapat

52 orang pekerja yang bekerja di unit kerja dengan intensitas bising >85

dB (pekerja berisiko yang terpapar pajanan bising). Adapun faktor pajanan

bising di PT. Krakatau Steel sebagai berikut:

Tabel 3. Intensitas Bising di Unit Kerja PT. Krakatau Steel Banten


No Area Kerja Intensitas Bising (dB)
1 Boiler 87,3
2 Area WTP 88
3 Furnace 86,9
4 Sizing 88,6
5 Roughing 91,7
6 Finishing 90,6
S7 Coiller 85,3
8 Pengikat coil 76,8
9 Shearing line 86,7
10 HSPM 86,4
Sumber : Data sekunder PT. Krakatau Steel Banten, 2009.

29
4.3 Langkah Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Dalam menetapkan diagnosis PAK maka dilakukan tujuh langkah

diagnosis PAK:

Gambar 2. Tujuh langkah diagnosis PAK (Keputusan menteri tenaga kerja RI


no. KEP-51/MEN/1999).

A. Menegakkan diagnosis klinis

Diagnosis klinis harus ditegakkan terlebih dahulu dengan melakukan:

1. Anamnesa;

Pada penderita gangguan pendengaran oleh pajanan bising atau

yang lebih dikenal dengan Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

mengeluh mengalami penurunan pendengaran pada telinga secara

bilateral dan simetris diserta gejala penyerta lain berupa

konsentrasi yang berkurang, nyeri kepala, dan kesulitan tidur

yang berlangsung setelah bekerja di lingkungan dengan pajanan

bising secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama.

Adapun faktor yang memengaruhi terjadinya gangguan

pendengaran disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya

(Salawati, 2013):

30
a. Frekuensi Bising

Frekuensi yang sering menyebabkan kerusakan pada organ

Corti di koklea adalah bunyi dengan frekuensi 3000 Hz

sampai dengan 8000 Hz, gejala timbul pertama kali pada

frekuensi 4000 Hz. Hearing loss biasanya tidak disadari pada

percakapan dengan frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan

3000 Hz ˃25 dB. Apabila bising dengan intensitas tinggi

terus berlangsung dalam waktu yang cukup lama akan

mengakibatkan ketulian.

b. Usia dan Jenis Kelamin

Hearing loss sering terjadi pada pria dibandingkan pada

wanita, dengan rasio 9,5 : 1. Usia rata-rata berkisar pada usia

produktif yaitu antara usia 20-50 tahun.

c. Intensitas bising dan lamanya pajanan

Nilai ambang batas faktor fisika ditempat kerja sudah diatur

dalam keputusan menteri tenaga kerja RI no. KEP-

51/MEN/1999.

2. Pemeriksaan fisik;

Pemeriksan fisik yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan telinga

seperti otoskopi dan pemeriksaan tekanan darah berkaitan dengan

kemungkinan gangguan lain diantaranya gangguan kardiovaskular

berupa peningkatan tekanan darah

31
3. Bila diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang dan

pemeriksaan khusus.

Ada berbagai tes untuk mendiagnosis jenis dan tingkat keparahan

hearing loss, yaitu konduksi udara, audiometri konvensional atau

standar, bone conduction, pengenalan kata, immittance akustic,

emisi otoacoustic, auditory brainstem response dan audiometri

(Nandi dan Datharak, 2008).

B. Menentukan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja

Beberapa pajanan dapat menyebabkan satu penyakit, sehingga dokter

harus mendapatkan informasi semua pajanan yang dialami dan pernah

dialami oleh pekerja. Untuk memperoleh informasi tersebut,

dilakukan anamnesis pekerjaan yang lengkap, mencakup:

1. Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis dan pajanan yang

dialami (pekerjaan terdahulu sampai saat ini) serta periode waktu

melakukan masing- masing pekerjaan.

Golongan fisika : Bising, vibrasi, panas

Golongan psikososial: Beban kerja pada pekerja shift yang tidak

sesuai waktu, pengaturan waktu istirahat untuk karyawan Shift

tidak dialokasikan waktu khusus tetapi dilakukan secara

bergiliran pada personil dalam satu kelompok kerja shift. Kondisi

ini disebabkan oleh operasi pabrik yang harus berlangsung terus

menerus dalam 24 jam sehingga tidak dimungkinkan untuk

menyediakan waktu istirahat tertentu yang berakibat pada

32
berhentinya proses produksi. Selain itu terdapat juga waktu

lembur dan waktu cuti karyawan. Waktu lembur dilakukan di luar

waktu kerja normal atas perintah atasan yang berwenang.

3. Produk yang dihasilkan : Baja lembaran

4. Bahan yang digunakan : Baja panas

5. Cara bekerja :Proses produksi dikontrol secara

komputerisasi

6. Proses kerja :

a. Reheating furnace : Pemanasan baja pada suhu1250- 1300°C

di tungku pembakaran

b. Sizing Press :Proses penempaan baja agar menjadi

padat

c. Pengerolan : Terjadi peningkatan intensitas bising

pada proses ini oleh proses transportasi

yang sangat cepat dari mesin

pemotongan menujung mesin recoiling

dengan tujuan suhu panas baja tetap

terjaga

7. Riwayat kecelakaan kerja (tumpahan bahan kimia)

8. Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan : earplug dan ear muff

C. Menentukan hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis

Pajanan yang teridentifikasi berdasarkan evidence based dihubungkan

33
dengan penyakit yang dialami. Hubungan pajanan dengan diagnosis

klinis dipengaruhi oleh waktu timbulnya gejala setelah terpajan oleh

bahan tertentu. Penyakit lebih sering timbul apabila berada di tempat

kerja dan berkurang saat libur atau cuti. Hasil pemeriksaan pra-kerja

dan berkala dapat digunakan sebagai salah satu data untuk

menentukan penyakit berhubungan dengan pekerjaannya.

The National Institute for Occupational Safety and Health

(NIOSH) dan Indonesia menetapkan nilai ambang batas (NAB) bising

ditempat kerja sebesar 85 dB. Intensitas kebisingan dibawah nilai

ambang batas yang diperkenankan yaitu < 85 dB dengan waktu

pemaparan 8 jam sehari dan 40 jam seminggu sebagaimana yang

ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

No.Per.13/Men/X 2011 adalah aman bagi pekerja dan tidak

memberikan dampak terhadap gangguan pendengaran. Intensitas

kebisingan > 85 dB akan memberikan dampak pada gangguan

pendengaran berupa noise induced hearing loss (NIHL) atau

penurunan pendengaran akibat kerja (occupational hearing loss) baik

yang bersifat sementara atau tetap, apabila tidak dilakukan upaya-

upaya pengendalian terhadap intensitas kebisingan baik pengendalian

secara administratif maupun teknis (Arini 2005).

D. Menentukan besarnya pajanan

Penilaian untuk menentukan kecukupan pajanan tersebut untuk

menimbulkan gejala penyakit dapat dilakukan secara :

34
1. Kualitatif :

a. Pengamatan cara, proses dan lingkungan kerja dengan

memperhitungkan lama kerja dan masa kerja. Mayoritas pekerja

berusia 46- 50 tahun dengan masa kerja 21- 25 tahun dengan

hampir seluruh unit memiliki intensitas bising >85 dB.

Adnan (2001) dalam penelitiannya terhadap pekerja diskotik

“X” menyebutkan bahwa usia pekerja masih relatif muda dan

lama paparan dari bising masih relatif singkat dan sesuai dengan

pendapat Robert A. yang menyatakan bahwa banyak data

menunjukkan pada masyarakat industri kelompok usia muda

lebih sedikit menderita Noise Induce Hearing Loss (NIHL),

dibanding dengan kelompok usia tua. Hal tersebut dapat

dijelaskan oleh 3 faktor; presbyacusis (penurunan ambang

pendengaran karena usia), norsoacusis (penurunan ambang

pendengaran karena penyakit, dan sociaocusis (penurunan

ambang pendengaran karena paparan bising dalam kehidupan

sehari-hari).

b. Pemakaian alat pelindung secara benar dan konsisten untuk

mengurangi besar pajanan berupa penggunaan ear plug dan ear

muff yang dapat mengurangi intensitas bising hingga 30 dB

35
2. Kuantitatif :

a. Data pengukuran lingkungan kerja yang dilakukan secara

periodik : evaluasi intensitas kebisingan dilakukan secara

berkala setiap 6 bulan menggunakan sound level meter dengan

hasil pengukuran tertera seperti pada tabel 3

b. Data monitoring biologis meliputi status kesehatan pekerja pada

saat pra kerja dan pemeriksaan kesehatan secara berkala yang

dapat pantau sesuai arsip pencatatan kesehatan pekerja di

perusahaan.

E. Menentukan faktor individu yang berperan

Faktor individu yang berperan terhadap timbulnya penyakit antara

lain:

1. Usia dan jenis kelamin

Hearing loss sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita,

dengan rasio 9,5 : 1. Usia rata-rata berkisar pada usia produktif

yaitu antara usia 20-50 tahun.

2. Kebiasaan

Kebiasaan individu yang berperan seperti kebiasaan

mendengarkan musik dengan volume tinggi.

3. Riwayat penyakit keluarga (genetik)

F. Menentukan pajanan di luar tempat kerja

Penyakit yang timbul mungkin disebabkan oleh pajanan yang sama di

luar tempat kerja sehingga perlu informasi tentang kegiatan yang

36
dilakukan di luar tempat kerja seperti hobi, pekerjaan rumah dan

pekerjaan sampingan.

G. Menentukan diagnosis PAK

Berdasarkan enam langkah diatas, dibuat kesimpulan penyakit yang

diderita oleh pekerja adalah penyakit akibat kerja atau bukan penyakit

akibat kerja.

1. Aspek Medis

Tabel 4. Pengobatan Gangguan Pendengaran


Obat Fungsi
Kortikosteroid Meningkatkan sirkulasi mikro dari koklea
sesudah trauma akut akibat bising
Obat- obat penambah Meningkatkan aliran darah ke koklea
aliran darah (epinefrin) ketika diberikan sesudah trauma akibat
bising
Oksigen Mengurangi pergeseran ambang
pendengaran dan kehilangan sel rambut
sesudah rangsangan akibat bising
Neutropin Merangsang pertumbuhan kembali saraf
pendengaran dan melindungi kehilangan
pendengaran secara sensorineural
Antioksidan Menghilangkan Reactive Oxygen Sppecies
(ROS) karena trauma akibat bising

Selain pengobatan terdapat upaya kesehatan pencegahan lainnya

seperti pemeriksaan kesehatan sebelum kerja dilakukan oleh

dokter, pemeriksaan kesehatan berkala, dan pemeriksaan kesehatan

khusus pada pekerja dengan penyakit khusus atau pada pekerja

dengan risiko tinggi terpapar oleh pajanan bising intensitas tinggi.

2. Aspek Legal

PT. Krakatau Steel menyadari bahwa adanya jaminan

kesejahteraan bagi setiap karyawannya merupakan syarat mutlak

37
untuk meningkatkan kinerja karena secara psikologis setiap

karyawan yang telah merasa tercukupi kebutuhannya akan lebih

berkonsentrasi dalam pekerjaannya. Pemenuhan kebutuhan

tersebut antara lain berupa asuransi jaminan kerja, asuransi

kecelakaan dan dana pensiun.

3. Aspek Komunitas

Beberapa upaya pencegahan terjadinya gangguan pendengaran

oleh pajanan bising pad komunitas pekerja melalui beberapa

kegiatan diantaranya:

a. Memberikan penerangan, bimbingan dan penyuluhan kepada

tenaga kerja pada waktu mulai masuk bekerja maupun secara

periodik mengenai:

i. Cara-cara bekerja yang benar dalam mengutamakan

kesehatan dan keselamatan kerja,

ii. Selalu menjaga kebersihan diri sendiri dengan cara:

a) Memakai pakaian kerja yang bersih pada waktu bekerja,

b) Mencuci tangan, muka maupun mulut sebelum makan,

minum ataupun merokok,

c) Sehabis bekerja harus mandi memakai sabun khusus

pelarut logam dan menggunakan pakaian kerja dengan

pakaiannya sendiri yang bersih.

d) Disiplin memakai alat-alat proteksi pada waktu sedang

bekerja.

38
b. Menyediakan sarana-sarana dan peralatan yang berkaitan

dengan pengendalian penyakit akibat kerja (PAK) seperti:

1) Pakaian kerja

2) Tempat mandi

3) Tempat mencuci tangan, muka, mulut, yang dekat ruangan

kerja

4) Tempat mencuci pakaian kerja

5) Alat pelindung diri (APD) berupa alat proteksi telinga

6) Memasang papan-papan peringatan pada daerah hazard

7) Jika perlu memberikan sanksi bagi yang melanggar

ketentuan

c. Menyediakan makan siang dengan gizi cukup

39
BAB V

MASALAH KESEHATAN

5.1 Identifikasi Masalah

Identifikasi penyebab masalah gangguan pendengaran oleh pajanan bising


pada pekerja industri.

Tabel 4.Analisis Kemungkinan Penyebab Masalah Gangguan


Pendengaran oleh Pajanan Bising Pada Pekerja Industri
KOMPONEN KEMUNGKINAN PENYEBAB
Input Man 1. Kurangnya pengetahuan pekerja
industri mengenai upaya
pencegahan gangguan pendengaran
oleh pajanan bising
2. Kurangnya kesadaran dan kemauan
pekerja industri dalam menerapkan
upaya pencegahan gangguan
pendengaran oleh pajanan bising
Money Kurangnya dana yang dianggarkan
untuk penyediaan dan perbaikan
sarana prasarana untuk mendukung
upaya pencegahan gangguan
pendengaran oleh pajanan bising
pada pekerja industri
Material 1. Kurang tersedianya media informasi
mengenai bahaya bising dan upaya
pencegahan gangguan pendengaran
oleh pajanan bising terhadap pekerja
dalam bentuk pamflet, flip chart dan
leaflet.
2. Kurang tersedianya sarana prasarana
penunjang upaya pencegahan
gangguan pendengaran berupa APD
Metode Kurangnya sistem manajemen upaya
pencegahan PAK khususnya
gangguan pendengaran oleh pajanan
bising
Marketing Kurangnya ketersediaan media
promosi dan informasi yang menarik
pada pekerja.
Lingkungan Adanya kecenderungan
mementingkan upaya kuratif
dibanding upaya preventif

40
Proses P1 Tidak ada masalah
(Perencanaan)
P2 Tidak ada masalah
(Pelaksanaan)
P3 Tidak ada masalah
(Pengawasan)

5.2 Identifikasi Faktor- Faktor Penyebab Masalah dan Penyebab


Masalah Dominan
Berdasarkan analisis yang dilakukan, maka penyebab masalah yang
ditetapkan sebagai berikut:

A. Kurangnya pengetahuan pekerja industri mengenai upaya


pencegahan gangguan pendengaran oleh pajanan bising
B. Kurangnya kesadaran dan kemauan pekerja industri dalam
menerapkan upaya pencegahan gangguan pendengaran oleh
pajanan bising
C. Kurangnya dana yang dianggarkan untuk penyediaan dan
perbaikan sarana prasarana untuk mendukung upaya pencegahan
gangguan pendengaran oleh pajanan bising pada pekerja industri
D. Kurang tersedianya media informasi mengenai bahaya bising dan
upaya pencegahan gangguan pendengaran oleh pajanan bising
terhadap pekerja dalam bentuk pamflet, flip chart dan leaflet.
E. Kurang tersedianya sarana prasarana penunjang upaya pencegahan
gangguan pendengaran berupa APD
F. Kurangnya sistem manajemen upaya pencegahan PAK khususnya
gangguan pendengaran oleh pajanan bising
G. Kurangnya ketersediaan media promosi dan informasi yang
menarik pada pekerja.
H. Adanya kecenderungan pekerja mementingkan upaya kuratif

dibanding upaya preventif

Analisa prioritas penyebab masalah dilakukan dengan


menggunakan tabel paired comparison yaitu membandingkan tiap masalah

41
yang telah ditentukan untuk menentukan mana diantaranya yang lebih
penting dan lebih memungkinkan untuk diselesaikan terlebih dahulu. Hal
ini dilakukan agar penyelesaian masalah lebih efektif dan efisien
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi.

Tabel 5. Tabel Paired Comparison


A B C D E F G H Total
A B A D E F G H 1
B B B E F B H 3
C C E F C H 2
D E F D H 1
E F E E 2
F F F 2
G H 0
H 0
Total Vertikal 0 1 0 1 4 5 1 5
Total 1 3 2 1 2 2 0 0
Horizontal
Total 1 4 2 2 6 7 1 5 28

Tabel 6. Tabel Kumulatif


NO KODE TOTAL PRESENTASE KUMULATIF
1 F 7 7/28 x 100% 25% 25%
2 E 6 6/28 x 100% 21,4% 46,4%
3 H 5 5/28 x 100% 17,9% 64,3%
4 B 4 4/28 x 100% 14,3% 78,6%
5 C 2 2/28 x 100% 7,1% 85,7%
6 D 2 2/28 x 100% 7,1% 92,8%
7 A 1 1/28 x 100% 3,6% 96,4%
8 G 1 1/28 x 100% 3,6% 100%

Berdasarkan nilai kumulatif di atas, maka ditetapkan penyebab


masalah dengan nilai kumulatif dibawah 90% sebagai berikut:

42
A. Kurangnya sistem manajemen upaya pencegahan PAK khususnya
gangguan pendengaran oleh pajanan bising
B. Kurang tersedianya sarana prasarana penunjang upaya pencegahan
gangguan pendengaran berupa APD
C. Adanya kecenderungan pekerja mementingkan upaya kuratif

dibanding upaya preventif

D. Kurangnya kesadaran dan kemauan pekerja industri dalam

menerapkan upaya pencegahan gangguan pendengaran oleh

pajanan bising

E. Kurangnya dana yang dianggarkan untuk penyediaan dan


perbaikan sarana prasarana untuk mendukung upaya pencegahan
gangguan pendengaran oleh pajanan bising pada pekerja industri

43
BAB VI

PEMECAHAN MASALAH PRIORITAS DAN USULAN KEGIATAN

6.1 Alternatif Pemecahan Masalah

Berdasarkan analisis penyebab masalah prioritas maka diperoleh

beberapa alternatif pemecahan masalah:

A. Perbaikan sistem manajemen upaya pencegahan faktor penyebab

PAK khususnya gangguan pendengaran oleh pajanan bising

B. Penyediaan sarana prasarana pendukung upaya pencegahan berupa

penyediaan APD serta pedoman penggunaan dan penyimpanan

APD yang benar

C. Mewajibkan seluruh pekerja melaksanakan upaya pencegahan dan

deteksi dini gangguan kesehatan melalui pemeriksaan kesehatan

guna membentuk pola pikir pekerja yang mengutamakan upaya

preventif.

D. Meningkatkan kemauan dan kesadaran pekerja untuk

melaksanakan upaya pencegahan melalui penyuluhan pentingnya

melakukan upaya pencegahan dan pemberlakuan aturan tegas

berupa sanksi bagi pekerja

E. Perbaikan sistem pengelolaan keuangan dan pemberlakuan

peraturan khusus yang mengatur jumlah dana yang dianggarkan

untuk menyediakan dan memperbaiki sarana prasarana dalam

mendukung upaya pencegahan

Setelah membuat beberapa alternatif pemecahan masalah, maka dapat


dibuat beberapa kriteria yang dapat digunakan, sebagai berikut :

44
Tabel 7. Kriteria Mutlak dapat atau tidaknya RUK dilakukan
Input
Krite Out
Marke Ket.
ria Man Money Material Metode put
ting
Dapat
A 1 1 1 1 1 1
dilakukan
Dapat
B 1 1 1 1 1 1
dilakukan
Dapat
C 1 1 1 1 1 1
dilakukan
Dapat
D 1 1 1 1 1 1
dilakukan
Dapat
E 1 1 1 1 1 1
dilakukan

6.2 Pengambilan Keputusan


Berdasarkan nilai kumulatif untuk menyelesaikan suatu masalah
yang terdiri dari 5 penyebab masalah yang dijabarkan yaitu:
1. Perbaikan sistem manajemen upaya pencegahan faktor penyebab

PAK khususnya gangguan pendengaran oleh pajanan bising

2. Penyediaan sarana prasarana pendukung upaya pencegahan berupa

penyediaan APD serta pedoman penggunaan dan penyimpanan

APD yang benar

3. Mewajibkan seluruh pekerja melaksanakan upaya pencegahan dan

deteksi dini gangguan kesehatan melalui pemeriksaan kesehatan

guna membentuk pola pikir pekerja yang mengutamakan upaya

preventif.

4. Meningkatkan kemauan dan kesadaran pekerja untuk

melaksanakan upaya pencegahan melalui penyuluhan pentingnya

melakukan upaya pencegahan dan pemberlakuan aturan tegas

berupa sanksi bagi pekerja

45
5. Perbaikan sistem pengelolaan keuangan dan pemberlakuan

peraturan khusus yang mengatur jumlah dana yang dianggarkan

untuk menyediakan dan memperbaiki sarana prasarana dalam

mendukung upaya pencegahan

46
6.3 Rencana Usulan Kegiatan

Tabel 8. Plan of Action (PoA)

Tujuan Kegiatan Sasaran Lokasi Waktu Personil Biaya


Perbaikan sistem Seluruh pekerja PT. Krakatau 1 kali dalam Pimpinan,  Pembuatan
manajemen upaya Evaluasi dan penerapan di PT. Krakatau Steel Banten staff, dan tanda peringatan
pengendalian PAK: sebulan
pencegahan faktor Steel Banten tenaga pada daerah
penyebab PAK khususnya kesehatan dengan
khususnya Eliminasi : melakukan pekerja yang pengelola intensitas bising
gangguan pemantauan dan rentan terkena program tinggi:
pendengaran oleh menghilangkan sumber pajanan bising Keselamatan Poster: 10 x Rp.
pajanan bising bahaya (bising) dan 12.000= Rp.
Kesehatan 120.000
Subtitusi: mengganti Kerja (K3)  Noise control
alat- alat yang berisiko di PT. management:
meningkatkan risiko Krakatau Penyediaan alat
Steel Banten pengukur
Administrasi:
intensitas bising
pengaturan rotasi kerja
berupa sound
(setiap 90 menit sekali
level meter dan
dilakukan rotasi
calibrator
pekerja), penggunaan
1 buah x Rp.
tanda peringatan pada
5.000.000 =
daerah dengan intensitas
Rp. 5.000.000
bising tinggi, pemakaian
 Total: Rp.
APD, pemeriksaan
5.120.000
kesehatan pekerja, dan

47
noise control
management
Penyediaan sarana Penyediaan ear plug dan Seluruh pekerja PT. Krakatau 1 kali dalam Pimpinan,  Penyediaan ear
prasarana ear muff dalam jumlah di PT. Krakatau Steel Banten staff, dan plug dan ear
triwulan
pendukung upaya yang memadai dengan Steel Banten tenaga muff bagi
pencegahan kontinuitas pengadaan khususnya kesehatan pekerja yang
berupa penyediaan yang terjamin pada pekerja yang pengelola memiliki risiko
APD serta seluruh pekerja di rentan terkena program terpajan bising:
pedoman lingkungan bising pajanan bising Keselamatan Rp 100.000X
penggunaan dan dan 52 orang = Rp.
penyimpanan APD Kesehatan 5.200.000
yang benar Kerja (K3)  Percetakan
di PT. media
Krakatau sosialisasi
Steel Banten pedoman
penggunaan
dan
penyimpanan
APD:
Banner Rp.
60.000x 2 = Rp.
120.000
Poster: Rp.
12.000 x4 =
Rp.48.000
Brosur: Rp.
3000 x 52 =
156.000

48
 Total : Rp.
5.524.000
a.
Mewajibkan Melaksanakan Seluruh pekerja PT. Krakatau Pemeriksaan Staff dan  Pemeriksaan
seluruh pekerja pemeriksaan kesehatan di PT. Krakatau Steel Banten kesehatan tenaga kesehatan
melaksanakan sebelum kerja, Steel Banten, sebelum kesehatan pekerja:
upaya pencegahan pemeriksaan secara khususnya bekerja: pengelola  Pemeriksaan
dan deteksi dini berkala dan pemeriksaan pekerja yang Setiap awal program kesehatan
gangguan kesehatan khusus pada rentan terkena penerimaan Keselamatan sebelum kerja :
kesehatan melalui pekerja pajanan bising dan dan Rp. 10.000.000
pemeriksaan penempatan Kesehatan  Pemeriksaan
kesehatan guna pekerja Kerja (K3) kesehatan
membentuk pola Pemeriksaan di PT. berkala : Rp.
pikir pekerja yang kesehatan Krakatau 45.000/ pekerja
mengutamakan berkala: 2 Steel Banten x 176 pekerja x
upaya preventif. kali dalam 1 2 kali
tahun pemeriksaan
Pemeriksaan per tahun = Rp.
kesehatan 15.840.000
khusus: 1  Pemeriksaan
kali dalam 1 kesehatan
tahun khusus: Rp.
10.000.000
 Total : Rp.
35.840.000

49
Meningkatkan Sosialisasi program Seluruh pekerja PT. Krakatau 1 kali dalam Pimpinan,  Pemateri
kemauan dan konservasi pendengaran di PT. Krakatau Steel Banten staff, dan Rp. 150.000
1 tahun
kesadaran pekerja (HCP) pada pekerja Steel Banten, tenaga  Snack
untuk mengenai bahaya khususnya kesehatan 60 orang x Rp.
melaksanakan pajanan bising terhadap pekerja yang pengelola 15.000 =
upaya pencegahan gangguan kesehatan rentan terkena program 900.000
melalui serta pembinaan pekerja pajanan bising Keselamatan  Total = Rp.
penyuluhan secara berkala dan 1.050.000
pentingnya Kesehatan
melakukan upaya Kerja (K3)
pencegahan dan di PT.
pemberlakuan Krakatau
aturan tegas berupa Steel Banten
sanksi bagi pekerja
Perbaikan sistem Pertemuan antar Pimpinan dan PT. Krakatau Pimpinan,  Transportasi
pengelolaan pemegang kebijakan staff pengelola Steel Banten staff, dan 25 orang x
keuangan dan secara berkala guna kebijakan yang tenaga 10.000=
pemberlakuan evaluasi dan perbaikan terkait kesehatan 250.000
peraturan khusus kebijakan mengenai pengelola
yang mengatur peraturan pengelolaan program
jumlah dana yang dana kesehatan pekerja Keselamatan
dianggarkan untuk dan
menyediakan dan Kesehatan
memperbaiki Kerja (K3)
sarana prasarana di PT.
dalam mendukung Krakatau
upaya pencegahan Steel Banten
Total : Rp. 47.784.000

50
BAB VII

PENUTUP

A. Simpulan

1. Diagnosis PAK dapat ditentukan melalui 7 langkah diagnosis yaitu


menentukan diagnosis klinis, menentukan pajanan yang dialami
pekerja di tempat kerja, menentukan hubungan pajanan dan
diagnosis klinis, menentukan besarnya pajanan, menentukan faktor
individu yang berperan, menentukan pajanan di luat tempat kerja,
dan menentukan diagnosis PAK.
2. Berbagai faktor dapat menjadi penyebab terjadinya PAK
khususnya gangguan pendengaran oleh pajanan bising diantaranya
disebabkan oleh pengelolaan sistem manajemen yang kurang
memadai, kurangnya dukungan pimpinan serta rendahnya
kesadaran dan kemauan masyarakat dalam menerapkan upaya
pencegahan gangguan pendengaran oleh pajanan bising.
3. Upaya pencegahan PAK khususnya upaya pencegahan gangguan
pendengaran oleh pajanan bising di PT.Krakatau Steel Bantel dapat
dilaksanakan melalui pengelolaan sistem manajemen perusahaan
yang baik dan terarah, dukungan pimpinan melalui pembuatan
kebijakan, serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran pekerja
dalam mendukung upaya pencegahan PAK
B. Saran

Perlu adanya pengelolaan dan evaluasi secara berkesinambungan terhadap

pelaksanaan upaya pencegahan gangguan pendengaran oleh pajanan bising

pada pekerja industri

51
Daftar Pustaka

Adnan, Z. 2001. Karakteristik Pekerja Yang Terpapar Musik Diskotik dan


Hubungannya Dengan Kemampuan Pendengaran Pada Diskotik “X” di
Kota Medan. Program Magister Kesehatan Kerja Program PascaSarjana
Universitas Sumatera Utara Medan.
Agus, R., Seaton. 2005. Practical Occupational Medicine. Arnold Publishers.
United Kingdom.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan RI No
56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat
Kerja. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 2016. Kepmenaker No Kep.
10/MEN/2016. Tentang Tata Cara Pemberian Program Kembali Kerja
Serta Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif Kecelakaan Kerja dan
Penyakit Akibat Kerja. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.
Jakarta.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 1999. Kepmenaker No Kep.
51/MEN/1999. Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat
Kerja. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Jakarta.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 1980. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi No. Per 02/Men/1980 Tentang Pemeriksaan
Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Jakarta.
Jatiningrum, T, Astuti. 2010. Penilaian Risiko Kebisingan Berdasarkan Analisa
Noise Mapping dan Noise Dose di Unit Produksi Hot Strip Mill P.T.
Krakatau Steel Cilegon-Banten. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Nasri, S. M. 1997. Tehnik Pengukuran dan Pemantauan Kebisingan di Tempat


Kerja. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Nandi, S. S., Dhatrak, S. V. 2008. Occupational Noise Induced Hearing Loss in


India. India Journal of Occupational and Environment Medicine 12 (2):
53-56.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat
Kerja. Peraturan Presiden RI.
Robert, AD. 2006. Noise-Induced Hearing Loss, Head and Neck Surgery
Otolaryngology 4 th edition, Lippincott Williams and Wilkins.
Salawati, L. 2013. Noise Induced Hearing Loss. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala
13 (1): 45-49.

52
Segal, L. 1999. Issues in the Economic Evaluation of Health Promotion in the
Workplace. Center of Health Program Evaluation and Health Economic
Unit. Monash University.
Sugeng, A.M., Jusuf, R. M. S, Pusparini, J. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan
KK. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Suma’mur, P. K. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Sagung Seto.
Jakarta.
Tarwaka. 2012. Dasar- Dasar Keselamatan Kerja Serta Pencegahan Kecelakaan
di Tempat Kerja. Harapan Press. Surakarta.

53

Anda mungkin juga menyukai