Anda di halaman 1dari 10

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Ekstrak Serai (Cymbopogon citratus)


Sampel tanaman serai (Cymbopogon citratus) di ambil di daerah
bulungan, bagian tumbuhan yang di ambil yaitu bagian batang dan bonggol,
selanjutya dilakukan dipreparasi sehingga menjadi simplisia yang akan digunakan
untuk proses maserasi. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan
sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun atau berupa bahan yang
dikeringkan (Depkes RI, 1995). Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu zat
berdasarkan perbedaan kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang
berbeda.

(a) (b)
Gambar 3. Proses maserasi (a) Pencampuran simplisia dengan
pelarutmethanol 70 % (b) Hasil maserasi
Harbone (1987) mengatakan bahwa sebelum ekstraksi, tumbuhan dapat
dikeringkan. Bila ini dilakukan, maka pengeringan tersebut harus dilakukan dalam
keadaan terawasi untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu
banyak. Bahan harus dikeringkan secepat-cepatnya, tanpa menggunakan suhu
tinggi, lebih baik dengan aliran udara. Setelah kering, sampel ini dapat disimpan
dalam waktu yang lama sebelum digunakan.
Proses ekstraksi menggunakan bahan baku simplisia tanaman serai
Cymbopogon citratus dengan perlarut metanol 70 % dengan perbandingan 1:4
selama 3x24 jam. Simplisia yang telah direndam selama 3x24 jam dilakukan
filtrasi menggunakan kertas saring sehingga mendapatkan hasil fitrasi sebanyak
250 mL, selanjutnya dilakukan evaporasi dengan menggunakan alat rotary
evaporasi untuk memisahkan ekstrak dari pelarut etanol sehingga dapat
menghasilkan ekstrak pekat yang bentuk pasta encer yang akan di oven pada
suhu 60oC selama 3x8 jam yang bertujuan untuk menghasilkan pasta kental
sebagai bahan pengujian selanjutnya.

4.2. Analisis Kadar Air dan Abu


Pengujian kadar air dan abu untuk mengetahui berapa persen kandungan
kadar air dan abu dari bahan simplisia tanaman serai. Hasil uji kadar air dan abu
dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kadar air dan Abu
Rata – rata
No Bahan
Kadar Air (%)
1 serai 2%

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam persen. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan
kesegaran dan daya awet suatu bahan, bahan dengan kadar air yang tinggi
mengakibatkan mudahnya bakteri dan jamur untuk berkembang biak, sehingga
bahan tidak layak lagi untuk digunakan. Kandungan kadar air yang rendah pada
simplisia dan ekstrak sangat baik dikarenakan daya simpan bahan bisa lebih lama
untuk pengujian selanjutnya (Winarno, 2008).
Hasil menunjukkan uji kadar air simplisia kering yaitu 2 % . nilai kadar
air ini sangat baik untuk simplisia dan ekstrak dikarnakan masih dalam kisaran
yang sangat aman yaitu kurang dari 10 %. Kadar air yang melebihi 10 % dapat
mengakibatkan ekstrak akan mudah ditumbuhi jamur (Isnawati dan Arifin, 2006)

4.3. Tingkat Kelangsungan Hidup/Survival Rate (SR) Pasca Pengangkutan


Tingkat kelangsungan hidup ikan patin pada saat transportasi selama
5 jam dengan melihat tingkat kelangsungan hidup (SR) yang telah diberikan
bahan anestesi berupa ekstrak serai.
SR (SURVIVAL RATE)
100.00

80.00 91.67 k1
83.33
75.00 p1
60.00
p2
40.00 50.00
41.67 p3
20.00 p4

0.00

Gambar 4. Kelangsungan hidup (SR) ikan patin pada saat transportasi


ket : (k1) adalah perlakuan kontrol (P1) perlakuan 5 ppm (P2) perlakuan 10 ppm
(P3) perlakuan 15 ppm (P4) perlakuan 20 ppm dengan media air setiap perlakuan
1 liter
Dari data gambar (4) di atas dapat dilihat bahwa ikan yang diangkut
dengan menggunakan transportasi sistem tertutup dengan lama perjalanan 5 jam
mencapai (SR) di atas 90 % hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di
antaranya adalah kebugaran ikan, penanganan dalam transportasi, pengemasan,
serta suhu dan shock. Kondisi shock tersebut dapat menyebabkan ikan cepat
mengalami kematian karna pada ikan yang stres akan terjadi peningkatan asam
laktat dalam darah. Jika asam laktat terakumulasi dalam darah cukup tinggi akan
mempercepat terjadinya proses kematian (Afrianto dan Liviawaty 1989,
diacu dalam Utomo 2001).

Praseno (1990), melaporkan dalam Suryaningrum et al (2008), bahwa


kualitas ikan yang diangkut merupakan faktor yang sangat menentukan dalam
keberhasilan proses transportasi ikan hidup. Menurut Ayres dan Wood (1977),
dalam Suryaningrum et al (2008), salah satu syarat yang sangat menentukan
keberhasilan transportasi ikan hidup ialah kondisi kesehatan dan kebugaran ikan
sebelum ditransportasikan. Menurut Achnadi (2005), ikan hidup yang akan
dikirim diharuskan dalam keadaan yang sehat.
Hasil penelitian Hariyanto et al, (2008). Menyebutkan bahwa semakin
tinggi konsentrasi ekstrak daun kecubung yang digunakan sebagai bahan pembius
ikan nila merah maka sintasan semakin rendah. Penggunaan obat bius harus
dilakukan dengan hati-hati, karna pada dasarnya obat itu racun (Dayat, 2004).
Menurut Sumartini et al, (2004) menyatakan bahwa kematian ikan pada
perlakukan kontrol dipengaruhi oleh perubahan kualitas air dan tingkat stress yang
terjadi disebabkan oleh pengaruh guncangan karna ikan dalam keadaan sselama
proses transportasi, pemberian ekstrak serai dapat menurunkan metabolisme
dengan cara menenangkan atau memingsankan ikan (Supriyono et al. 2010).
Tanaman serai bersifat menenangkan (sedative) dan membantu proses
pencernaan, serta berbau harum yang khas (aroma terapi). Senyawa penyusun
kadar geraniol dan sitronelol yang terkandung dalam tanaman serai berperan
penting dalam mekanisme anestesi memaluli jaringan pernafasan sehingga
mengurangi tingkat kesadaran ikan pada saat proses transportasi dan mengurani
tingkat stress pada ikan (Pirnoen dan Schreck, 2002).

4.4. Tingkat Kelangsungan Hidup/Survival Rate (SR) Pasca Pemeliharaan


Tingkat kelangsungan hidup merupakan persentase organisme yang
hidup pada akhir pemeliharaan dari jumlah organisme yang dipelihara setelah
proses pengangkutan dalam suatu wadah. Berdasarkan hasil penelitian , diperoleh
tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan ( P3) (66,67%) dan
(P2) (58,33%) sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan (P4) (16,67%)
(P5) (25,00%) dan (K1) (33,33%) (Gambar 5).
Tingginya tingkat mortalitas ikan patin pada perlakuan (P5) dan (P4)
diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu ikan mengalami stress
dan kualitas air yang kurang baik pada saat pemeliharaan. Effendi (1997),
menyatakan bahwa survival rate (SR) atau tingkat kelangsungan hidup
dipengaruhi oleh faktor biotik, yaitu persaingan, parasit, umur, predator,
kepadatan, dan penanganan manusia, sedangkan faktor abiotik adalah sifat fisika
dan kimia dalam perairan.
100.00
SR (SURVIVAL RATE)

80.00
1
60.00 66.67 2
58.33
3
40.00
4
33.33
20.00 25.00 5
16.67
0.00

Gambar 5. Kelangsungan hidup (SR) ikan patin pada saat pemeliharaan


ket : (k1) adalah perlakuan kontrol (P1) perlakuan 5 ppm (P2) perlakuan 10 ppm
(P3) perlakuan 15 ppm (P4) perlakuan 20 ppm

4.5. Tahap Anestesi


Dalam kegiatan anestesi pada ikan, ikan secara perlahan mengalami
perlambatat pergerakan dan perlambatan reaksi terhadap terhadap stimuli yang
diberikan lambatnya laju respirasi, kehilangan kontrol keseimbangan dan pada
akhirnya ikan tidak dapat merespon stimuli dari luar (David, 2000).
Menurut Harms (1998), anestesi pada ikan dilakukan untuk kegiatan
pemeriksaan, transportasi, diagnosis, dan oprasi. Prosedurnya yaitu menyiapkan
air, mengistirahatkan ikan. Penggunaan bahan anestesi yang berlebihan atau
overdosis digunakan untuk euthanasia. Anestesi untuk ikan biasanya
penggunaanya melalui air (perendaman), dan bias pula dengan cara anestesi
inhalasi (seperti anestesi gas pada mamalia), menurut Ismanadji et al (2005), ciri-
ciri ikan stress dapat dilihat dari perubahan warna, tubuh ikan menjadi pucat dan
agak gelisah. Sedangkan tanda-tanda ikan pingsan adalah tubuh ikan tenggelam
dengan posisi miring didasar air, tidak bergerak jika tidak ada rangsangan dari
luar, namun overculum masih bergerak lamban dan tubuh ikan berubah agak
pucat.
Pada saat ikan pingsan (keadaan tenang) akan terjadi aktivitas muscular
yang berlebih sebagai respon ikan yang memerlukan lebih banyak oksigen yang
terus menurun. Dan akan terjadi akumulasi asam laktat dalam darah dan otot yang
meningkatkan pH darah menurun, pada keadaan ini oksigen pada rantai
pernafasan mitokondria, yang dapat mengakibatkan kematian.
Tabel. . Aktivitas dan respon ikan patin selama pemingsanan pada
masing-masing konsentrasi.
Respon ikan pada saat proses pemingsanan
Menit P1 P2 P3 P4
(Waktu)
( 5 ppm/l) (10 ppm/l) (15 ppm/l) (20 ppm/l)
0-1 Normal Normal Normal Normal
1-2 Panik Panik Panik Panik
2-3 Hilang Hilang Tenang Tenang
keseimbanga keseimbangan
n
3-4 Tenang Tenang Pingsan Pingsan
4-5 Pingsan Pingsan Pingsan berat Pingsan berat
5-6 Pingsan berat Pingsan berat Roboh semua Roboh semua

Pada tabel . dapat dilihat bahwa ikan mengalami perubahan prilaku pada
saat proses pemingsanan dengan bahan anestesi ekstrak serai pada menit 0-1 ikan
mulai mengalami perubahan prilaku. Menit 5-6 ikan pingsan hingga roboh. Hal
ini disebabkan citronellal, sitronelol, dan geraniol pada ekstrak serai sangat
mempengaruhi system saraf yang ada pada ikan yang ditandai dengan hilangnya
kepekaan, diikuti dengan penurunan pergerakan selanjutnya terjadi keseimbangan
total dan akhirnya mengalami pemingsanan (Pirhonen dan Scheek, 2000).
Pada konsentrasi 5 ppm/l, menyebabkan ikan patin mengalami proses
pingsan pada menit ke 4-5 tepatnya di menit ke 5 gerakan ikan mulai tidak ada
dan tenang pada menit ke 5 ikan mengalami pingsan berat.
Pembiusan dengan konsentrasi 10 ppm/l, pada menit 1-2 ikan mulai
panik. Ikan bergerak cepat, sering timbul kepermukaan dan kehilangan sedikit
keaktifan dari rangsangan luar. Pada menit ke 4-5 ikan mengalami proses pingsan
dan pada menit ke 6 ikan mengalami pingsan berat, ikan berada di dasar, beberapa
ikan bergerak terbalik di dasar.
Pembiusan dengan konsentrasi 15 ppm/l, pada menit ke 1-2 ikan mulai
panik dan pada menit ke 3-4 ikan mengalami pingsa ringan dikarnakan masih
dapat menerima respon dari luar. Pada menit ke 5-6 ikan mengalami pingsan berat
hingga roboh, ditandai dengan posisi ikan berada di dasar dan beberapa ikan
dalam pososi terbalik.
Pembiusan dengan konsentrasi 20 ppm/l pada menit 1-2 ikan mengalami
kepanikan dan pada menit 2-3 ikan bergerak pelan hingga tenang dikarnakan
ekstrak serai mulai mempengaruh sistem saraf ikan. Pada menit ke 4-5 ikan
mengalami proses pemingsanan ringan hingga berat dan menit ke 6 ikan roboh
dan berada di dasar, sebagian ikan dalam posisi terbalik.
Menurut Septiarusli (2012), semakin tinggi konsenstrasi yang digunakan
dalam proses anestesi maka waktu induksinya semakin cepat dan waktu pulih
sadar semakin lama. Senyawa anestesi dengan konsentrasi rendah tidak akan
memberikan efek pingsan bagi ikan uji (Tahe dalam Septiarusli 2012).
Waktu rata-rata pembiusan untuk mencapai fase pingsan dalam penelitian ini
untuk masing-masing perlakuan yaitu di rentang menit ke 4-5. Yanto (2012),
menyatakan bahwa dalam anestesi diharapkan waktu induksi relatif cepat
sehingga mengurangi lamanya stres pada ikan. Karakteristik bahan anestesi yang
baik yaitu memiliki waktu induksi kurang dari 15 menit dan lebih baik apabila
kurang dari 3 menit (Shreck dan Moyle dalam Yanto, 2012)

4.6. Parameter kualitas air


Pengamatan kualitas air sebagai data pendukung penelitian. Menurut
Effendi (1997) bahwa kualitas air yang digunakan untuk budidaya merupakan
faktor variariabel yang memenuhi standar pengelolaan dan kelangsungan hidup,
pertumbuhan, perkembangbiakan, dan produksi ikan. Hasil pengamatan kualitas
air meliputi suhu, pH, oksigen terlarut (DO), dan amonia pada tiap-tiap perlakuan
disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini.
Parameter Nilai
pH 7,8
Suhu 20-27
DO 4,5-5,8
Amonia 0,15- 0,26
Dari data tabel di atas bahwa nilai kisaran kualitas air masih alam kriteria
normal bagi kelangsungan hidup ikan. Hasil pengukuran pH air di dapatkan 7,8,
kondisi ini masih dikatagorikan pada suasana netral. Boyd (1986) menyatakan
bahwa kisaran pH yang baik untuk tumbuh dan berkembang bagi organisme air
yaitu dikisaran 6,5-9,0 karna pada pH ini metabolisme organisme tidak terganggu.
Hal ini sesuai dengan pendapat berka (1986), yang menyatakan bahwa nilai pH
optimum yang digunakan untuk transportasi ikan pada umunya berkisaran antara
7-8,5. Selanjutnya menurut Syafriadiman et al (2005), menyatakan bahwa nilai
pH 7-9 merupakan nilai pH yang ideal untuk melakukan budidaya ikan.
Berdasarkan kandungan oksigen terlarut, kualitas air digolongkan
menjadi lima yaitu, kandungan yang oksigen melebihi atau sama dengan 8 mg/l
digolongkan sangat baik, kurang atau lebih dari 6 mg/l termasuk di dalam
golongan baik, kurang dari 4 mg/l digolongkan kritis, pada kisaran 2 ppm
digolongkan buruk dan kurang daari 2 mg/l digolongkan sangat buruk. Wardoyo
(1981) menyatakan bahwa kisaran oksigen terlarut yang dapat mendukung
kehidupan organisme secara normal yakni tidak boleh kurang dari 2 mg/l
Menurut Kordi dan Tancung (2010) , menyatakan bahwa kisaran suhu
yang optimum bagi kehidupan ikan patin adalah 25-23 oC. Hal ini menunjukan
bahwa hasil pengukuran parameter suhu air pada saat transportasi, pengamatan
menunjukan bahwa tidak terjadi terjadi perbedaan yang besar atau relatif kecil.

4.7. Analisis data


Hasil uji anova berdasarkan presentase kelangsungan hidup ikan patin
setelah transportasi dengan diberikan esktrak serai dengan konsentrasi 20, 15, 10
dan 5 ppm dapat dilihat pada Tabel
Tabel hasil analisi anova pembiusan ikan patin dengan esktrak serai
ANOVA
hasil
Mean
Sum of Squares df Square F Sig.
Between Groups
6.700 4 1.675 4.020 .021
Within Groups 6.250 15 .417
Total 12.950 19
Keterangan: berbeda nyata karena Fhitung > Fcrit (tabel) pada taraf signifikan
0,05; SS = Sum of square, df = degree of freedom, MS = Mean squares, F=
Fhitung, Fcrit =Ftabel
Berdasarkan hasil perhitungan anova dengan menggunakan SPSS 22
menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak serai dengan konsentrasi yang di
tentukan berbeda nyata dengan signifikan (=0,05) dengan diperoleh nilai
signifikan 0.021. Hasil ini menunjukkan bahan pemberian ekstrak serai
berpengaruh nyata dalam meningkatkan SR ikan patin. Untuk mengetahui
perbedaan antara perlakuan maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil)
yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana yang memiliki pengaruh yang
sama atau berbeda dan pengaruh yang terkecil sampai terbesar antara satu dengan
lainnya (Simanjuntak, 2008). Hasil uji BNT dapat dilihat pada Tabel

Tabel. Uji BNT Ekstrak Kulit Buah S. caseoralis


UJI BNT
Perlakuan Rata-rata
K1 41.67±1,25a
P1 75±2,25a
P2 91,76±2,75a
P3 83,33±2,5b
P4 50±1,5a

Hasil uji BNT menunjukkan bahan perlakuan P3 berbeda nyata dengan


perlakuan K1, P1, P2 dan P4, hal ini menunjukkan ikan patin yang diberikan
ekstrak serai pada konsentrasi 15 ppm mampu menunjukkan nilai SR ikan patin
yang di bius selama transportasi. Untuk perlakuan K1, P1, P2 dan P4 tidak
berpengaruh nyata antara konsentrasi, perlakuan pada hasil uji BNT dapat
disimpulkan bahwa P2 adalah perlakuan terbaik dengan rata-rata SR adalah
91,67% hasil ini menunjukan bahwa ekstrak serai dapat meningkatkan nilai SR
ikan patin selama transportasi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa esktrak serai dengan konsentrasi 15 ppm dapat meningkatkan
kelangsungan hidup ikan patin dengan presentase 91,67 % dibandingkan dengan
konsentrasi 5, 10 dan 20 ppm selama transportasi.
5.2. Saran
Sebagiknya perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui citarasa
ikan patin konsumsi yang ditrasnportasikan menggunakan bahan pembius berupa
ekstrak serai.

Anda mungkin juga menyukai