Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Jual Beli Melalui Iklan dalam Bidang Perumahan dan

Pemukiman

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan batasan terhadap apa

yang dimaksud dengan promosi. Promosi menurut Pasal 1 angka 6 adalah kegiatan

pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk

menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/jasa yang akan dan sedang

diperdagangkan.

Promosi Produk adalah pengkomunikasian informasi antara penjual dan

pembeli potensial atau pihak-pihak lainnya dalam saluran distribusi guna

mempengaruhi sikap dan perilakunya.32 Perusahaan mengkoordinasi unsur-unsur

dalam promosi produk, kemudian mengkoordinasikan promosi produk dengan

unsur-unsur dalam bauran pemasaran agar mencapai pasar sasaran dan memenuhi

tujuan perusahaan secara keseluruhan.

Promosi adalah kegiatan kampanye bagi sebuah product ataupun business

yang selalu ditandai oleh adanya pemberian insentif atau rewards untuk

merangsang pasar bergerak dan bertindak (membeli) product yang di kampanyekan

dalam ajang promosi tersebut saat itu juga.33 Promosi selalu menggunakan rewards

dan limited offers (penawaran dalam kondisi terbatas – baik dari sisi waktu atau

32
Mc Daniel, Lamb, Hair, Pemasaran, Edisi I, Jakarta: Salemba Empat, 2001, hlm. 46.
33
http://businesswizards.biz/2009/06/30/apa-bedanya-iklan-promosi-2/,diakseskan tanggal
22 juni 2019.

28
ketersediaan rewards) sebagai stressing, artinya promosi memberikan hadiah bagi

semua orang yang mau membeli product yang dipromosikan tersebut saat itu juga

atau dalam tenggang waktu masa promosi.

Kegiatan promosi merupakan bagian dari pemasaran sebagai sarana

komunikasi yang menjebatani produsen dengan sasarannya, melalui gaung promosi

(promotion), konsumen menyadari adanya kehadiran suatu produk (product)

dengan harga tertentu yang ditetapkan (price), serta mendapatkan informasi melalui

tempat (place) dimana produk tersebut dapat diperoleh.

Untuk zaman yang serba cepat di era teknologi ini, iklan adalah cara promosi

yang dianggap pilihan yang efektif dan efisien. Iklan merupakan salah satu ujung

tombak pemasaran, sebab iklan merupakan rangkuman segala bentuk pesan

mengenai kehadiran suatu produk atau jasa. Pemasaran tanpa dibarengi dengan

kegiatan periklanan adalah mustahil, karena dengan iklanlah masyarakat dapat

mengetahui keberadaan suatu barang dengan harga tertentu yang ditetapkan.34

Iklan atau Advertising, adalah kegiatan untuk mengumumkan keberadaan

sebuah product atau business kepada public, media distribusinya bisa banyak

medium yang digunakan mulai dari media cetak, selebaran. banner gantung

dipinggir jalan, sticker tempel di angkot-angkot ataupun billboard dan balihobaliho

di tempat-tempat strategis, tidak cuma itu saja, iklan juga didistribusikan dengan

menggunakan media electronik juga seperti media radio, televisi dan internet.35

34
http://klubdisainer.blogspot.com/2010/01/iklan-yang-baik.html diakseskan tanggal 21
juni 2019.
35
http://businesswizards.biz/2009/06/30/apa-bedanya-iklan-promosi-2/,diakseskan tanggal
21 Juni 2019.

29
Promosi dan iklan sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda, promosi

serta iklan adalah salah satu alat dalam kegiatan marketing untuk melakukan

kampanye kepada publik agar pasar tahu semua keunggulan-keunggulan tersebut.

Sekilas dua hal tersebut terlihat sama tetapi sebetulnya keduanya berbeda.

Bahkan jika kita mengamati lebih dalam sedikit saja akan terlihat sangat

berbeda. Namun UUPK tidak memberikan pengertian tentang iklan hanya

pengertian tentang promosi meskipun UUPK membedakan anatar perbuatan

“mempromosikan” dengan perbuatan “mengiklankan”. Berdasarkan pengertian

Promosi dalam UUPK, iklan merupakan bagian dari kegiatan promosi. Iklan

mempunyai peran yang sangat penting dibidang pemasaran, terutama dalam

hubungan antara pelaku usaha baik produsen maupun distributor, dengan

konsumen.

Dalam hubungan pelaku usaha dengan konsumen ini, iklan bisa berperan

sebagai berikut:

1. Media komunikasi untuk menyampaikan pesan pemasaran suatu produk

kepada masyarakat;

2. Iklan adalah sumber informasi bagi konsumen sebelum mengkonsumsi produk

barang atau jasa;

3. Iklan sebagai salah satu unsur penentu konsumen jadi atau tidak untuk membeli

produk.

Di dalam pembahasan mengenai pengertian dari iklan, banyak ahli-ahli yang

memberikan pendapat mereka masing-masing diantaranya adalah menurut Wright

yang dikutip oleh Liliweri mengemukakan bahwa iklan merupakan suatu proses

30
yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran yang

membantu menjual barang, memberikan layanan serta gagasan atau ide-ide melalui

saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif.36

Sejalan dengan hal tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa iklan merupakan

salah satu sarana penunjang bagi perusahaan di dalam mencapai tujuannya yaitu

meraih lebih banyak calon pembeli dan pelanggan dengan biaya yang rendah, di

dalam waktu yang lebih singkat. Bahkan iklan yang baik tidak hanya mampu

menggugah atau menarik minat masyarakat sehingga terdorong ke arah tindakan

pembelian, namun juga dapat memberikan keuntungan-keuntungan yang lain

kepada perusahaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh William Spriegel seperti

yang dikutip Astrid S. Susanto bahwa kegiatan periklanan yang baik dengan

kalkulasi dalam proporsi yang sebenarnya, dapat menghasilkan adanya penurunan

dari harga penjualan. Hal ini terjadi karena berkurangnya kegiatan berupa

pengeluaran biaya usaha penjualan dan penurunan harga satuan produk.

Justru karena itu, kegiatan periklanan yang baik telah menghasilkan bahwa

calon konsumen sendiri mencari barang atau jasa yang dibutuhkannya itu37

Penyalahgunaan iklan yang efeknya bisa dirasakan langsung oleh konsumen adalah

yang dilakukan oleh pelaku usaha, terkait dengan produk yang mereka jual. Untuk

melindungi konsumen dari perilaku nakal pelaku usaha ini, maka negara

memberlakukan beberapa peraturan perundang-undangan untuk mengawasi bidang

periklanan di Indonesia.

36
Alo Liliwweri, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti
1982, hlm. 20.
37
Astrid S. Susanto, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek, Bandung : PT Citra Aditya
Bakti, 1988, hlm. 207.

31
Beriklan yang baik menurut Perusahaan Persatuan Periklanan Indonesia

menyebutkan harus mengikuti peraturan-peraturan berikut ini:38

1. Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999, Pasal 17 Ayat a

yang berbunyi: "Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang

mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan

harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang

dan/atau jasa".

2. UU No.32 tahun 2002 tentang periklanan yakni Tata Krama dan Tata Cara

Periklanan Indonesia, bab II B No. 1 Ayat a yang berbunyi: "Iklan tidak boleh

menyesatkan, antara lain dengan memberikan keterangan yang tidak benar,

mengelabui dan memberikan janji yang berlebihan".

Sebuah iklan yang baik setidaknya harus memenuhi kriteria AIDCDA yaitu:

1. Attention : mengandung daya tarik

2. Interest : mengandung perhatian dan minat

3. Desire : memunculkan keinginan untuk mencoba atau memiliki

4. Conviction : menimbulkan keyakinan terhadap produk

5. Decision : menghasilkan kepuasan terhadap produk

6. Action : mengarah tindakan untuk membeli39

Berdasarkan konsep AIDCDA, promosi periklanan harus diperlukan

pengetahuan yang cukup tentang pola perilaku, kebutuhan, dan segmen pasar.

Konsep tersebut diharapkan konsumen dapat melakukan pembelian

38
http://kerockan.blogspot.com/2010/05/kriteria-iklan-yang-menarik.html, diakseskan
tanggal 21 Juni 2019.
39
http://vivaiklan.com/ketentuan diakseskan tanggal 22 Juni 2019.

32
berkesinambungan. Segala daya upaya iklan dengan gaya bahasa persuasinya

berusaha membuat konsumen untuk mengkonsumsi, yang tidak memperdulikan

status sosialnya.

Iklan perumahan dan pemukiman adalah salah satu bentuk penawaran

pengembang secara langsung kepada konsumen yang dilakukan oleh

petugaspetugas pemasaran pada waktu peyelenggaraan pameran. Iklan perumahan

dan pemukiman yang ditawarkan merupakan bagian dari perjanjian pembelian

perumahan dan pemukiman seperti fasilitas sosial maupun umum, kualitas

bangunan.40

Sebagai salah satu bentuk media informasi, iklan perumahan dan pemukiman

keberadaannya sangat dibutuhkan masyarakat guna menentukan dan

mempertimbangkan di dalam memiliki sebuah rumah di lokasi perumahan dan

pemukiman. Kewajiban produsen (pengembangan) didalam menerbitkan iklan

perumahan dan pemukiman adalah memberikan informasi yang benar/baik dan

jujur mengenai segala sesuatu yang tercantum di dalam iklan tersebut antara lain:

1. Adanya fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti : tempat peribadatan, jalan

praving, lapangan untuk bermain (taman), fasilitas olah raga, pasar, sekolahan,

fasilitas kesehatan.

2. Kualitas bahan bangunan yang dipakai, seperti: fundasi, genteng, tembok, pintu

dan jendela, lantai.

3. Fasiltas kredit pemilikan rumah melalui bank

40
Rhenald Khasali, Manajemen Periklanan, Konsep, dan Aplikasinya di Indonesia, Jakarta
: Gramedia, 1995, hal. 11.

33
4. Fasilitas air dari PDAM, fasilitas telepon dan listrik

5. Lokasi dekat kota, bebas banjir, jauh dari kawasan industri

6. Status tanah tidak dalam sengketa, bersetifikat, adanya IMB, SIPPT41

Apa yang tercantum dalam iklan perumahan dan pemukiman yang diterbitkan

oleh pengembang seperti yang tersebut diatas, merupakan kewajiban pelaku usaha

(Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen), antara lain memberikan informasi yang

benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang, menjamin mutu barang

yang diproduksi berdasarkan ketentuan standar mutu barang, memberikan

kompensasi ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan barang

yang diperdagangkan, member kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila

barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Kemudian di

dalam Pasal 8 UUPK antara lain (butir f) disebutkan pelaku usaha dilarang

memproduksi barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan

dalam iklan atau promosi penjualan barang atau jasa tersebut. Selain itu dalam Pasal

9 ayat 1 huruf k UUPK juga disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan

sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Melihat masih maraknya iklan-iklan yang memuat informasi menyesatkan

konsumen, Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) menyebutkan ada 2 (dua) pihak

yang akan merasakan dampak iklan menyesatkan tersebut, yaitu konsumen sebagai

sasaran utama pembuatan iklan, dan pelaku usaha lain sebagai kompetitor dari

produk yang diiklankan yang akan mengalami kerugian. Dalam jangka panjang

41
Shimp, Terence A. Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran
Terpadu. Edisi ke 5. Diterjemahkan oleh Revyani Sjahrial, Dyah Anikasi. Jakarta :
Erlangga,2003, hlm 34.

34
konsumen akan kehilangan seluruh kepercayaannya terhadap setiap pesan iklan

yang disampaikan pelaku usaha, walaupun sebenarnya pesan iklan tersebut

disampaikan dengan jujur.42

Tampaknya, apa yang dirumuskan dalam Pasal 10 UUPK yakni pelaku usaha

dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan

dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan

yang tidak benar atau menyesatkan mengenai : harga atau tarif barang atau jasa,

kegunaan suatu barang atu jasa, kondisi, tanggapan, jaminan hak atau ganti rugi

atas suatu barang atau jasa, tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang

ditawarkan dan bahaya penggunaan barang atau jasa. UU tersebut berkaitan dengan

adanya “fakta material” dalam suatu iklan, di mana pernyataan menyesatkan

mengenai harga, kegunaan, kondisi, tanggungan, jaminan, tawaran potongan harga,

hadiah, maupun bahaya penggunaan barang dan/atau jasa dapat mempengaruhi

konsumen dalam memilih atau membeli produk yang diiklankan.

Mengenai iklan yang menyesatkan, seorang ahli bernama Milton Handler

berpendapat bahwa Iklan Menyesatkan (False Advertising) adalah “jika

representasi tentang fakta dalam iklan adalah salah, yang diharapkan untuk

membujuk pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian tersebut

merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan kecurangan atau penipuan”.

Dalam praktek bisnis kerap akan timbul pernyataan palsu yang tidak sesuai

dengan kondisi produk yang sebenarnya, yang menyesatkan (Mislead Statement)

42
Bakti Subakti, Tanggungjawab kalangan periklananan terhadap iklan yang
disiarkan berkaitan dengan Perlindungan Konsumen, Makalah Seminar, Komisi
Periklanan Indonesia, Semarang, 2000.

35
atas suatu produk yang dijual atau iklan yang membohongi konsumen dengan cara

mengungkapkan hal-hal yang tidak benar (False statement), serta mempergunakan

opini subyektif yang berlebihan tanpa didukung fakta (Puffery). Selain terdapatnya

unsur penyesatan (misleading), untuk menentukan standar informasi iklan yang

menyesatkan juga didasarkan adanya fakta material yang dapat mempengaruhi

konsumen dalam memutuskan untuk melakukan pembelian. Terdapat beberapa

kriteria yang dapat dipergunakan sebagai standar penentuan terdapatnya informasi

iklan menyesatkan, yaitu adanya Penyesatan Informasi (Misleading), fakta

material, konsumen rasional, dan pembenaran terhadap klaimklaim iklan.

Keseluruhan kriteria tersebut sangat membantu pemerintah dan lembaga-lembaga

terkait dengan dunia periklanan untuk mengawasi berbagai tayangan iklan yang

terdapat di media cetak maupun media elektronik, sehingga potensi kerugian yang

kemungkinan dialami oleh konsumen dapat dihindarkan. 43

Setiap pelaku usaha pasti mengharapkan agar iklannya menimbulkan efek

tertentu kepada khalayak/konsumen yang dituju, efek ini menjadi tujuan

komunikasi dari suatu iklan. Namun, bukan berarti efek yang diharapkan adalah

khalayak/konsumen langsung membeli produk yang mereka iklankan, karena

walaupun tugas utamanya membantu menciptakan penjualan, iklan tidak dirancang

untuk menciptakan penjualan seketika. Dengan perkataan lain, efek iklan bersifat

jangka panjang. Terlebih-lebih dengan adanya beberapa bentuk iklan yang hanya

ditujukan untuk meningkatkan keperdulian konsumen terhadap merek-merek

43
Sudaryatmo. Hukum dan Advokasi Konsumen. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999, hlm.
88.

36
tertentu (brand awareness), sehingga merek-merek tersebut seolaholah melekat

dibenak konsumen pada saat akan melakukan pilihan. Pada bentuk iklan seperti ini

masalah penjualan bukan merupakan skala prioritas.

B. Perlindungan konsumen dalam bidang perumahan dan pemukiman

Perlindungan hukum kepada konsumen dapat diwujudkan dalam 2 bentuk

pengaturan, yaitu, pertama, melalui suatu bentuk perundang-undangan tertentu

yang sifatnya umum untuk setiap orang yang melakukan transaksi barang dan atau

jasa sedangkan kedua, melalui perjanjian yang khusus dibuat para pihak (pelaku

usaha dan konsumen) yang isinya antara lain mengenai ketentuan tentang ganti

rugi, jangka waktu pengajuan klaim, penyelesaian sengketa.

Dengan diberlakukannya UU No 8 Tahun 1999 maka dasar perlindungan

konsumen diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen

yang menyatakan bahwa segala upaya yang ditujukan untuk menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen.

Perlindungan terhadap konsumen dilakukan sebelum atau pada saat atau telah

terjadi transaksi yang menimbulkan suatu hubungan hukum antara pelaku usaha

selaku produsen dengan konsumen sebagai subyek hukum, dan barang dan atau jasa

sebagai obyek hukum dalam Undang-undang ini. Dengan disahkannya Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diharapkan dapat

digunakan sebagai sarana preventif guna mewujudkan perlindungan konsumen

dengan berdasarkan atas hak-hak yang juga dimiliki manusia. Jelas telah

diungkapkan dalam UU Perlindungan Konsumen, bahwa yang menjadi subyek

hukumnya adalah orang. Namun adanya hak dan kewajiban tersebut kemudian

37
menimbulkan suatu masalah baru, yaitu masalah perlindungan bagi para pihak

terhadap segala kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain berdasarkan hak dan

kewajiban yang dimilikinya.

Pembentukan Perlindungan Konsumen pada dasarnya antara lain

dimaksudkan memberikan tempat yang seimbang antara pelaku usaha dengan

konsumen. Masalah keseimbangan ini secara tegas dinyatakan dalam perjanjian

terhadap perlindungan konsumen. Sekalipun dalam berbagai peraturan

perundangundangan seolah mengatur dan/atau melindungi konsumen di bidang

perumahan dan pemukiman, tetapi pada kenyataannya pemanfaatannya

mengandung kendala tertentu yang menyulitkan konsumen. Undang-Undang

Perlindungan Konsumen mencoba untuk memberikan perlindungan terhadap ketiga

kepentingan konsumen tersebut di atas. Meskipun demikian pada pelaksanaan di

lapangan, konsumen belum secara maksimal memperoleh perlindungan hukum

secara adil.

Perlindungan hukum konsumen yang diberikan dalam UU No. 8 Tahun

1999 memberikan perlindungan kepada konsumen dengan adanya ketentuan yang

mengatur tentang:

1. Hak dan Kewajiban dari para pihak

Dalam UU No. 8 Tahun 1999 memberikan perlindungan terhadap konsumen

dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang apa saja hak hak sebagai

konsumen berikut dengan kewajibannya. Hak-hak dan kewajiban konsumen diatur

dalam Pasal 4 UUPK. Hak-hak dan kewajiban konsumen ini telah dijelaskan dalam

subbab sebelumnya.

38
2. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

Sesuai dengan UU No.8 Tahun 1999, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

telah diatur dalam Pasal 8. Ketentuan tentang perbuatan yang dilarang sebagai

seorang pelaku usaha telah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Dengan adanya

ketentuan ini, maka UU ini telah melindungi konsumen dari pelaku usaha yang

beritikad buruk.

3. Klausula baku

Setelah adanya UUPK, maka perlindungan konsumen dari penyalahgunaan

keadaan semakin membaik karena berdasarkan Pasal 18 UUPK dilarang memuat

klausula-klausula baku tertentu dalam perjanjian antara konsumen dengan pelaku

usaha. Adapun isi dari Pasal tersebut yaitu:

a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada

setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

1) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen;

3) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang

yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

4) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran;

39
5) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

6) memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

7) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak

oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang

dibelinya;

8) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang

yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

b. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya

sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya

sulit dimengerti.

c. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen

atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

d. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan

Undang-undang ini.

Pembatasan atau larangan untuk memuat klausula-klausula baku tertentu

dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya

penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, yang

pada akhirnya akan merugikan konsumen.

40
4. Tanggung jawab hukum

Dengan diberlakukannya UUPK, maka dalam hal melindungi konsumen dari

perbuatan pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen telah diatur dalam

Pasal 19 yang berisi tentang tanggung jawab sebagai pelaku usaha. Secara umum

tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat

penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat

didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan yang secara garis

besarnya hanya ada dua kategori, yaitu ganti kerugian yang berdasarkan atas

wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar

hukum.

Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat

tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa

kewajiban atas prestasi utama atau kewajiban jaminan/ garansi dalam perjanjian.

Bentuk-bentuk wanprestasi ini dapat terjadi apabila tidak memenuhi prestasi sama

sekali, terlambat dalam memenuhi prestasi, berprestasi tidak sebagaimana

mestinya.

Sedangkan tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum berbeda

dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perikatan yang lahir dari

perjanjian (karena terjadinya wanprestasi) dan akibat dari pelanggaran terhadap

larangan undang-undang.

Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus

merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa untuk

dapat menuntut ganti kerugian harus dipenuhi unsur-unsur seperti adanya perbuatan

41
melanggar hukum, adanya kerugian, adanya hubungan kausalitas antara perbuatan

melanggar hukum dengan kerugian, dan adanya kesalahan.

5. Penyelesaian sengketa

Dalam hal perlindungan konsumen apabila terjadi suatu sengketa, dalam UUPK

telah diatur mengenai penyelesaian sengketa yang terdapat dalam Pasal 45. Dalam

pasal ini disebutkan sebagai berikut:

1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku

usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di

luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam

Undang-undang.

4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya

tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak.

6. Sanksi

Adapun perlindungan terhadap konsumen dalam hal pemberian sanksi dalam

dunia bisnis terhadap pihak yang melakukan pelanggaran yang menyebabkan

kerugian biasanya adalah sanksi administratif. Adapun sanksi administratif yang

dikenakan adalah berupa ganti kerugian sebesar kerugian yang dialami. Namun hal

itu harus ditinjau terlebih dahulu mengenai sengketa yang terjadi. Sebab dalam

42
dunia bisnis tidak menutup kemungkinan adanya sanksi pidana. Hal ini dapat terjadi

apabila adanya, pelanggaran hukum atas larangan yang dilakukan oleh pelaku

usaha. Dalam hal ini maka selain pelaku usaha harus mengganti kerugian konsumen

( sanksi administratif ), pelaku usaha juga harus menanggung sanksi pidana dimana

telah diatur dalam Pasal 8 ayat 4 UUPK yang menyebutkan bahwa pelaku usaha

yang melakukan pelanggran terhadap Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 dilarang

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari

peredaran. Dalam hal ini yang berwenang menarik barang dan/atau jasa dari

peredaran adalah menteri dan menteri teknis.

Disamping adanya peraturan UU No. 8 Tahun 1999, ada juga peraturan lain

yang memberikan perlindungan terhadap konsumen perumahan dan pemukiman.

Dalam hal mengenai perlindungan terhadap konsumen perumahan dan pemukiman

tentang rumah yang layak untuk dihuni terdapat di dalam Penjelasan Pasal 5 Ayat

(1) UU No. 4 Tahun 1992 yang menyatakan rumah yang layak adalah bangunan

memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas

bangunan serta kesehatan penghuninya.

Seiring dengan perkembangan di dalam masyarakat, maka pemerintah

merasa perlu untuk dibuat suatu rancangan undang-undang tentang perumahan dan

pemukiman agar lebih maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap

konsumen perumahan.

Adapun yang dimaksud dengan “rumah yang layak huni dan terjangkau”

menurut penjelasan Pasal 3 huruf f RUU Perumahan dan Pemukiman adalah

bangunan rumah yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan keselamatan

43
bangunan dan kecukupan luas bangunan serta kesehatan penghuninya dan dari

biaya dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

Pasca diratifikasinya kovenan internasional hak-hak ekonomi sosial dan

budaya seharusnya RUU Perumahan dan Pemukiman mengatur kriteria layak lebih

maju sebagaimana yang tertuang dalam Komentar Umum No. 4 Pasal 11 ayat (1)

Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya mengenai Hak Atas

Tempat Tinggal yang layak. Dalam komentar umum tersebut didapat kriteria layak

adalah sebagai berikut:

1. Jaminan perlindungan hukum.

Perlindungan hukum mengambil banyak bentuk, diantaranya penyewaan

akomodasi (publik dan swasta), perumahan kolektif, kredit, perumahan darurat,

pemukiman informal, termasuk penguasaan tanah dan properti. Meskipun ada

beragam jenis perlindungan hukum, setiap orang harus memiliki tingkat

perlindungan hukum yang menjamin perlindungan hukum dari pengusiran paksa,

pelecehan, dan ancaman lainnya. Negara Pihak harus secara bertanggung jawab,

segera mengambil tindakan-tindakan yang bertujuan mengkonsultasikan jaminan

perlindungan hukum terhadap orang-orang tersebut dan rumah tangga yang saat ini

belum memiliki perlindungan, konsultasi secara benar dengan orang-orang atau

kelompok yang terkena.

2. Ketersediaan layanan, bahan-bahan baku, fasilitas, dan infra struktur

Tempat tinggal yang layak harus memiliki fasilitas tertentu yang penting bagi

kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan nutrisi. Semua penerima manfaat dari hak

atas tempat tinggal yang layak harus memiliki akses yang berkelanjutan terhadap

44
sumber daya alam dan publik, air minum yang aman, energi untuk memasak, suhu

dan cahaya, alat-alat untuk menyimpan makanan, pembuangan sampah, saluran air,

layanan darurat.

3. Keterjangkauan

Biaya pengeluaran seseorang atau rumah tangga yang bertempat tinggal harus

pada tingkat tertentu dimana pencapaian dan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar

lainnya tidak terancam atau terganggu. Tindakan harus diambil oleh Negara Pihak

untuk memastikan bahwa persentasi biaya yang berhubungan dengan tempat

tinggal, secara umum sepadan dengan tingkat pendapatan. Negara Pihak harus

menyediakan subsidi untuk tempat tinggal bagi mereka yang tidak mampu memiliki

tempat tinggal, dalam bentuk dan tingkat kredit perumahan yang secara layak

mencerminkan kebutuhan tempat tinggal. Dalam kaitannya dengan prinsip

keterjangkauan, penghuni harus dilindungi dengan perlengkapan yang layak ketika

berhadapan dengan tingkat sewa yang tidak masuk akal atau kenaikan uang sewa.

Di masyarakat, dimana bahan-bahan baku alam merupakan sumber daya utama

bahan baku pembuatan rumah, Negara adalah pihak harus mengambil langkah-

langkah untuk memastikan ketersediaan bahan baku tersebut.

4. Layak huni

Tempat tinggal yang memadai haruslah layak dihuni, artinya dapat

menyediakan ruang yang cukup bagi penghuninya dan dapat melindungi mereka

dari cuaca dingin, lembab, panas, hujan, angin, atau ancaman-ancaman bagi

kesehatan, bahaya fisik bangunan, dan vektor penyakit. Keamanan fisik penghuni

harus pula terjamin. Komite mendorong Negara Pihak untuk secara menyeluruh

45
menerapkan Prinsip Rumah Sehat yang disusun oleh WHO yang menggolongkan

tempat tinggal sebagai faktor lingkungan yang paling sering dikaitkan dengan

kondisi-kondisi penyebab penyakit berdasarkan berbagai analisis epidemiologi;

yaitu, tempat tinggal dan kondisi kehidupan yang tidak layak dan kurang sempurna

selalu berkaitan dengan tingginya tingkat kematian dan ketidaksehatan.

5. Aksesibilitas

Tempat tinggal yang layak harus dapat diakses oleh semua orang yang berhak

atasnya. Kelompok-kelompok yang kurang beruntung seperti halnya manula, anak-

anak, penderita cacat fisik, penderita sakit stadium akhir, penderita HIV-positif,

penderita sakit menahun, penderita cacat mental, korban bencana alam, penghuni

kawasan rawan bencana, dan lain-lain harus diyakinkan mengenai standar prioritas

untuk lingkungan tempat tinggal mereka.

6. Lokasi

Tempat tinggal yang layak harus berada di lokasi yang terbuka terhadap akses

pekerjaan, pelayanan kesehatan, sekolah, pusat kesehatan anak, dan fasilitas-

fasilitas umum lainnya. Di samping itu, rumah hendaknya tidak didirikan di lokasi-

lokasi yang telah atau akan segera terpolusi, yang mengancam hak untuk hidup

sehat para penghuninya.

7. Kelayakan budaya

Cara rumah didirikan, bahan baku bangunan yang digunakan, dan kebijakan-

kebijakan yang mendukung kedua unsur tersebut harus memungkinkan pernyataan

identitas budaya dan keragaman tempat tinggal. Berbagai aktivitas yang ditujukan

bagi peningkatan dan modernisasi dalam lingkungan tempat tinggal harus dapat

46
memastikan bahwa dimensi-dimensi budaya dari tempat tinggal tidak dikorbankan,

dan bahwa, diantaranya, fasilitas-fasilitas berteknologi modern, juga telah

dilengkapkan dengan semestinya.

Pemenuhan hak atas perumahan bukan merupakan suatu yang sederhana dan

memiliki aspek yang kompleks. Merupakan suatu kesalahpahaman jika

mewujudkan hak atas perumahan bagi warga negara dapat direalisasikan dengan

mempermudah bisnis properti. Pembangunan rumah dalam jumlah yang sebanyak-

banyaknya.44

Selain dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang

dijelaskan diatas dalam hal melindungi konsumen perumahan dan pemukiman,

perjanjian yang dibuat antara pihak pelaku usaha dengan konsumen juga

merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan dapat juga

memberikan perlindungan hukum kepada konsumen perumahan dan pemukiman.

Didalam melakukan suatu transaksi baik itu transaksi jual beli, sewa menyewa, dan

utang piutang, hal yang paling mendasari terjadinya transaksi tersebut adalah

karenanya adanya kesepakatan dari para pihak. Kesepakatan itulah yang

menyebabkan adanya suatu perjanjian.

Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa :

“Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

44
http://alghif.wordpress.com/2010/10/20/permasalahan-ruu-perumahan-danpemukiman/
diakseskan tanggal 2 juni 2019.

47
Dalam rumusan tersebut digunakan istilah persetujuan dan bukan perjanjian.

Namun kedua istilah yang berbeda ini tidak perlu dipertentangkan, karena pada

dasarnya mempunyai maksud yang sama, yaitu terciptanya kata sepakat dari kedua

belah pihak. Rumusan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tampaknya kurang lengkap,

sebab yang mengikatkan diri dalam perjanjian hanya salah satu pihak saja. Padahal

yang seringkali dijumpai adalah perjanjian dimana kedua belah pihak saling

mengikatkan diri satu sama lain, sehingga mempunyai hak dan kewajiban yang

bertimbal balik.

Selain itu di dalam membuat suatu perjanjian, para pihak harus telah

memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH

perdata. Syarat sah dalam suatu perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Apabila syarat-syarat tersebut diatas jika tidak terpenuhi syarat nomor 1 dan

nomor 2 maka perjanjian dapat dibatalkan sedangkan jika syarat nomor 3 dan 4

tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Hal penting dalam membuat isi dari perjanjian tersebut juga harus memiliki

itikad baik sebab isi dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menjadi

undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini sesuai dengan Pasal

1338 KUH Perdata yang isinya adalah semua persetujuan yang dibuat sesuai

dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

48
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan

kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dengan diberlakukannya Pasal 1338 KUH Perdata tersebut diharapkan dapat

mencegah terjadinya suatu masalah dikemudian hari oleh para pihak yang membuat

suatu perjanjian. Namun hal ini sering tidak diperhatikan oleh para pihak yang

membuat perjanjian sehingga sering bermunculan masalah mengenai terhadap

perjanjian yang dibuat. Masalah yang sering muncul tidak lain dari hal wanprestasi

yang dilakukan oleh salah satu pihak. Oleh karena itu apabila terjadi hal seperti itu,

maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi terhadap pihak yang telah

melanggar isi dari perjanjian. Hal ini sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata yang

berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada

orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya

untuk mengganti kerugian tersebut”.

Berdasarkan uraian diatas dapat kita lihat perlindungan hukum kepada

konsumen perumahan dan pemukiman telah diberikan dalam peraturan perundang-

undangan, yaitu, UUPK dan UU No.4 tahun 1992 serta dalam perjanjian yang

dibuat sendiri oleh konsumen dan pelaku usaha perumahan dan pemukiman, yang

berdasarkan Pasal 1338 ayat 1 suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

49

Anda mungkin juga menyukai