Anda di halaman 1dari 6

Jual Beli Salam & Ishtishna'

Pendahuluan
Bagi para petani yang bergerak dalam bidang agribisnis, terkadang membutuhkan modal
untuk memulai usahanya. Pemilik usaha agribisnis tersebut biasanya datang kepada pihak
bank untuk meminta pinjaman, dan pinjaman itu akan dikembalikan setelah usaha yang
dilakukan tersebut mendatangkan hasil. Atau juga berlaku sebaliknya, para pedagang grosir
biasanya memesan kepada pemilik usaha agribisnis untuk men-supply hasil usahanya kepada
mereka, dan memberikan modal terlebih dahulu untuk menjalankan usaha. Atau juga
transaksi jual beli atas suatu barang dengan pemesanan dan pembayaran dilakukan terlebih
dahulu. Jika dilihat dari praktik yang ada, transaksi jual beli jenis ini identik dengan jual beli
salam.

Pengertian
Bai' salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli (muslam) dengan penjual
(muslam ilaih). Spesifikasi dan harga barang pesanan harus sudah disepakati di awal akad,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka secara penuh. Ulama Syafi‟iyyah dan Hanabalah
menjelaskan, salam adalah akad atas barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang
ditangguhkan penyerahannya pada waktu tertentu, dimana pembayaran dilakukan secara
tunai di majlis akad. Ulama Malikiyyah menyatakan, salam adalah akad jual beli dimana
modal (pembayaran) dilakukan secara tunai (di muka) dan obyek pesanan diserahkan
kemudian dengan jangka waktu tertentu (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 598-599).
Salam biasanya diaplikasikan pada pembiayaan untuk petani (agribisnis) dengan jangka
waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar 2-6 bulan. Salam juga dapat diaplikasikan pada
pembiayaan barang manufaktur, seperti garmen, dimana ukuran barang itu sudah ditentukan
spesifikasinya. Dalam hal ini, pihak bank bertindak sebagai pembeli, sedangkan petani/
pemilik garmen adalah sebagai penjual.
Produk agrisbisnis dan manufaktur yang dibeli dari nasabah tidak dijadikan inventory oleh
pihak bank, karena hal itu bukan core business bank. Biasanya bank akan melakukan akad
salam yang kedua kalinya dengan pembeli kedua, seperti pedagang grosir, bulog dan lainnya.
Karena itu, dalam praktik perbankan syariah, dikenal istilah Salam Paralel.
Dalam praktiknya, terdapat nasabah yang mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen
dengan spesifikasi tertentu kepada pihak bank. Kemudian, pihak bank akan mereferensikan
kepada nasabah untuk menggunakan produk salam. Ini berarti, secara otomatis bank menjadi
pihak pemesan atas produk garmen yang akan diproduksi oleh nasabah, dan pihak bank akan
membayar dana yang dibutuhkan pada waktu pengikatan/ kontrak.
Kemudian, pihak bank akan mencari pembeli kedua, seperi pedagang grosir, atau bisa kepada
rekanan produsen garmen atas rekomendasi yang diberikan. Bila produk garmen telah selesai
diproduksi, bisa dihantarkan (delivery) secara langsung kepada rekanan tersebut Kemudian,
rekanan nasabah tersebut membayar kepada pihak bank, baik secara tunai ataupun cicilan.

Landasan Syariah
Bai‟ salam merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandasakan atas dalil-
dalil yang terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Diantara dalil (landasan
syariah) yang memperbolehkan praktik akad jual beli salam adalah sebagai berikut:
1. “Hai orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampai waktu
tertentu, buatlah secara tertulis...”
QS. Al Baqarah (2): 282 merujuk pada keabsahan praktik jual beli salam. Ayat ini merupakan
ayat terpanjang dalam Al Qur'an. Ayat ini memberikan petunjuk bahwa ketika kaum
muslimin melakukan transaksi muamalah secara tempo, maka hendaknya dilakukan
pencatatan untuk menghindari terjadinya perselisihan di kemudian hari, serta guna menjaga
akad/ transaksi yang telah dilakukan.
Mujahid dan Ibnu Abbas berkata, ayat ini diturunkan oleh Allah untuk memberikan legalisasi
akad salam yang dilakukan secara tempo, Allah telah memberikan izin dan menghalalkannya,
kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat tersebut (Ibnu Katsir, jilid I, hal. 500). Berdasarkan
pernyataan Ibnu Abbas ini, jelas sekali bahwa jual beli salam telah mendapatkan pengakuan
dan legalitas syara', sehingga operasionalnya sah untuk dilakukan.

2. “Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui” Hadits riwayat Imam Bukhari dari
Ibnu Abbas merupakan dalil yang secara sharih menjelaskan tentang keabsahan jual beli
salam.

Menurut riwayat Ibnu Abbas, suatu ketika Rasulullah datang ke Madinah, sedangkan
penduduk Madinah telah melakukan jual beli salam atas kurma untuk jangka waktu satu
tahun, dua tahun, dan bahkan tiga tahun. Melihat praktik ini, kemudian Rasulullah bersabda
seperti yang terdapat dalam matan hadits ini (Zuhaili, 2002, hal. 296).
Berdasarkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual beli salam harus ditentukan
spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu
penyerahannya (delivery), sehingga nantinya tidak terdapat perselisihan.

3. Kesepakatan ulama (ijma') akan bolehnya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu
Mundzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa jual beli
salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan
manusia. Pemilik lahan pertanian, perkebunan ataupun perniagaan (manufaktur) terkadang
membutuhkan modal untuk mengelola usaha mereka hingga siap dipasarkan, maka jual beli
salam diperbolehkan untuk mengakomodir kebutuhan mereka (Zuhaili, 1989, hal. 598).
Ketentuan ijma' ini secara jelas memberikan legalisasi praktik pembiayaan/ jual beli salam.

Rukun dan Syarat


Dalam jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yakni pembeli (muslam), penjual
(muslam ilaih), modal/ uang (ra'sul maal), barang (muslam fiih), dan sighat (ijab qabul/
ucapan). Disamping itu, ulama juga memberikan beberapa syarat untuk menentukan sahnya
jual beli salam. Mayoritas ulama sepakat bahwa akad salam dikatakan sah, jika memenuhi 6
syarat, yaitu; jenis barangnya jelas, spesifikasi jelas, kadarnya jelas, waktunya penyerahan
jelas, mengetahui kadar modal yang dibutuhkan, dan menyebutkan tempat penyerahan jika
dibutuhkan biaya delivery.
Untuk modal (ra'sul maal) harus dijelaskan spesifikasinya, baik dari jenis, kualitas dan
jumlahnya. Selain itu, modal tersebut harus diserahkan pada saat terjadinya akad/ kontrak, hal
ini mempertimbangkan kebutuhan penjual dan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
hutang (dari pihak pembeli) dan menghindari terjadinya riba. Dengan alasan, jika modal
diserahkan kemudian (dalam hal ini menjadi hutang), sementara barangnya juga akan
diserahkan kemudian (berarti merupakan tanggungan/ hutang), maka jual beli yang dilakukan
identik dengan jual beli hutang (dain bi dain), sementara terdapat larangan dari Rasulullah
atas transaksi jual beli hutang (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 600-602).
Untuk barang yang dijadikan sebagai obyek transaksi (muslam fiih), syarat yang harus
dipenuhi adalah harus dapat dispesifikasi dengan jelas dan dapat diakui sebagai hutang, bisa
diidentifikasi untuk menghilangkan kurangnya pengetahuan tentang macamnya (beras, kain)
tipenya (katun, sutra), kualitasnya (utama, madya, reguler), atau pun jumlahnya. Untuk
masalah delivery muslam fiih, ulama berbeda pendapat.
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabalah, mensyaratkan untuk menghantarkan
(delivery) muslam fiih di waktu kemudian hari, hal ini senada dengan hadits dari Ibnu Abbas
(ilaa ajalin ma'luum/ untuk jangka waktu yang diketahui), jadi terdapat tenggang waktu.
Berbeda dengan Imam Syafii, delivery muslam fiih bisa dilakukan secara kontan ataupun
dengan jangka waktu. Jika pengirimannya secara kontan, hal itu lebih baik, karena akan
terhindar dari gharar. Berkaitan dengan hadits Ibnu Abbas (ilaa ajalin ma'luum/ untuk jangka
waktu yang diketahui), adalah diketahuinya waktu penyerahan secara jelas, bukan hanya
jangka waktu semata (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 606).
Selain itu, muslam fiih merupakan komoditas yang lazim ada di pasaran, baik ketika
melakukan akad atau pun di saat delivery. Hal ini untuk memastikan bahwa muslam fiih
dapat di-delivery pada waktu yang diperjanjikan. Ulama mensyaratkan tidak boleh ada
khiyar, terutama khiyar ru‟yah terhadap muslam fiih. Jika pemesan memiliki hak khiyar,
muslam fiih akan kembali menjadi tanggungan muslam ilaih, dan begitu seterusnya. Untuk
itu, dalam akad salam tidak diperlukan khiyar, cukup dengan menyebutkan spesifikasi
muslam fiih untuk keabsahan akad salam.
Ada pun khiyar ‘aib tetap diperbolehkan, karena khiyar ini tidak mencegah kesempurnaan
serah terima barang. Pemesan harus menjelaskan tempat pengiriman barang, terutama jika
delivery tersebut memakan biaya, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan di
kemudian hari terkait dengan biaya transportasi. Seharusnya, muslam fiih merupakan
komoditas yang dapat diukur atau ditimbang, sehingga akan mengurangi perselisihan
(Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 607-614).
Menurut Hanafiyah, akad salam tidak bisa diterapkan pada binatang ternak. Hal ini
disandarkan pada hadits Rasulullah, “Sesungguhnya Nabi SAW melarang akad salam atas
binatang ternak” (HR. Hakim dan Daruquthni, hadits shahih). Dengan alasan, hewan ternak
sangat sulit untuk dispesifikasi, masing-masing item (ekor) memiliki nilai ekonomis yang
berbeda. Dikhawatirkan akan menimbulkan perselisihan di kemudian hari.
Berbeda dengan ulama Malikiyyah, Syafi‟iyyah dan Hanabalah. Akad salam tetap
diperbolehkan atas hewan ternak, dianalogkan dengan diperbolehkannya dijadikan sebagai
obyek utang-piutang. Diriwayatkan dari Imam Muslim, Rasulullah pernah melakukan
transaksi hutang piutang atas seekor onta. Namun demikian, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi, yakni; harus dijelaskan jenis hewan, umur, jenis kelamin, panjang pendeknya,
kurus gemuknya dan faktor lain (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 615). Begitu juga dengan
daging, ikan atau pun pakaian.

Implikasi Hukum Akad Salam


Dengan sah-nya akad salam, muslam ilaih berhak mendapatkan modal (ra‟sul maal) dan
berkewajiban untuk mengirimkan muslam fiih kepada muslam.
Bagi muslam, ia berhak memiliki muslam fiih sesuai dengan spesifikasi yang telah
disepakati, dan berkewajiban membayarkan ra‟sul maal kepada muslam ilaih. Sebenarnya,
akad salam ini identik dengan bai‟ ma‟dum, akan tetapi ia dikecualikan dan mendapatkan
rukhshah untuk dilakukan, karena adanya tuntutan kebutuhan dalam kehidupan masyarakat,
namun harus tetap memperhatikan syarat-syarat khusus sebagaimana telah disebutkan
(Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 619).

Perbedaan Salam dan Akad Jual Beli


Akad jual beli memiliki perbedaan dengan akad salam dalam beberapa hal sebagai berikut
(Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 619-630):
Menurut Hanafiyah, ra‟sul maal tidak boleh diganti sebelum serah terima dengan muslam
ilaih, serah terima ra‟sul maal merupakan syarat bagi sah-nya akad salam. Berbeda dengan
jual beli, harga bisa diganti jika berupa hutang, dan tidak harus diserahterimakan waktu akad.
Untuk muslam fiih tidak boleh ada penggantian, begitu juga dengan obyek akad jual beli
yang telah disepakati.
Jika muslam melakukan pembatalan (iqalah) atas sebagian kontrak, dengan mengambil
sebagian ra‟sul maal dan muslam fiih, maka diperbolehkan menurut mayoritas ulama. Begitu
juga dalam akad jual beli.
Muslam ilaih tidak diperbolehkan meminta muslam untuk lepas dari ra‟sul maal tanpa
persetujuannya, jika muslam setuju, maka akad salam batal. Dengan adanya ibra‟(bebas) dari
muslam, maka tidak akan pernah ada serah terima ra‟sul maal. Serah terima ra‟sul maal
merupakan syarat sahnya akad salam, berbeda dengan serah terima harga dalam akad jual
beli. Sebaliknya, dalam akad salam muslam boleh melakukan ibra‟ atas muslam fiih, tidak
dalam jual beli, obyek akad harus diserahkan.
Muslam boleh melakukan hawalah, kafalah dan rahn atas ra‟sul maal, begitu juga muslam
ilaih atas muslam fiih, dengan catatan, ra‟sul maal harus diserahkan muhal „alaih, kafil, rahin
pada saat melakukan akad.
BAHAN AJAR ASPEK HUKUM EKONOMI SYARIAH
Jual Beli Istishna’
Pendahuluan
Kebutuhan manusia sangat beragam, terkadang kebutuhan itu sifatnya unik dan tidak
ditemukan di pasaran. Misalnya, seseorang ingin memiliki rumah yang berbeda dengan tipe
rumah kebanyakan, maka ia akan datang kepada seorang arsitek untuk men-design rumah,
dan selanjutnya meminta kepada kontraktor untuk membangunkan rumah tersebut.
Dalam bidang usaha properti, hal ini sering ditemukan. Kebutuhan ini sudah dibaca oleh
pihak perbankan, mereka menawarkan produk bagi mereka yang ingin memiliki rumah, baik
rumah seperti tipe yang sudah umum ataupun membangun rumah dengan spesifikasi tertentu.
Jika kita lihat praktik yang ada, jual beli dengan cara pemesanan ini identik dengan jual beli
istishna'.

Pengertian
Bai' istishna' adalah akad jual beli antara pemesan (mustashni') dengan penerima pesanan
(shani') atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu‟), contohnya untuk barang-
barang industri ataupun properti. Spesifikasi dan harga barang pesanan haruslah sudah
disepakati pada awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
Apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu
waktu pada masa yang akan datang.
Secara teknis, istishna' bisa diartikan akad bersama produsen untuk suatu pekerjaan tertentu
dalam tanggungan, atau jual beli suatu barang yang akan dibuat oleh produsen yang juga
menyediakan bahan bakunya, sedangkan jika bahan bakunya dari pemesan, maka akad itu
akan menjadi akad ijarah (sewa), pemesan hanya menyewa jasa produsen untuk membuat
barang (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 631).
Istishna' menyerupai akad salam, karena ia termasuk bai' ma'dum (jual beli barang yang tidak
ada), juga karena barang yang dibuat melekat pada waktu akad pada tanggungan pembuat
(shani') atau penjual. Tetapi istishna' berbeda dengan salam, dalam hal tidak wajib pada
istishna' untuk mempercepat pembayaran, tidak ada penjelasan jangka waktu pembuatan dan
penyerahan, serta tidak adanya barang tersebut di pasaran.
Akad istishna' juga identik dengan akad ijarah, ketika bahan baku untuk produksi berasal dari
pemesan, sehingga produsen (shani') hanya memberikan jasa pembuatan, dan ini identik
dengan akad ijarah. Berbeda ketika jasa pembuatan dan bahan bakunya dari produsen
(shani'), maka ini dinamakan dengan akad istishna'(Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 631).
Kontrak istishna' biasanya dipraktikkan pada perbankan dalam proyek konstruksi, dimana
nasabah memerlukan biaya untuk membangun suatu konstruksi. Akad ini identik dengan
akad salam dalam hal cara memperoleh aset, maka kontrak istishna' selesai ketika barang/
bangunan itu selesai dibuat.

Landasan Syariah
Jika dianalogkan (qiyas) dengan bai‟ ma‟dum, maka jual beli istishna‟ tidak diperbolehkan.
Menurut Hanafiyah, jual beli istishna‟ diperbolehkan dengan alasan istihsanan, demi
kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi kebiasaan („urf) dalam beberapa masa tanpa
ada ulama yang mengingkarinya. Akad istishna‟ diperbolehkan karena ada ijma‟ ulama
(Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 632).
Menurut ulama Malikiyyah, Syafi‟iyyah dan Hanabalah, akad istishna‟ sah dengan landasan
diperbolehkannya akad salam, dan telah menjadi kebiasaan ummat manusia dalam
bertransaksi („urf). Dengan catatan, terpenuhinya syarat-syarat sebagaimana disebutkan
dalam akad salam. Diantaranya adalah adanya serah terima modal (pembayaran) di majlis
akad secara tunai. Ulama Syafi‟iyyah menambahkan, prosesi penyerahan obyek akad
(mashnu‟) bisa dibatasi dengan waktu tertentu, atau tidak (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 632).

Rukun dan Syarat


Dalam jual beli istishna', terdapat rukun yang harus dipenuhi, yakni pemesan (mustashni'),
penjual/ pembuat (shani'), barang/ obyek (mashnu') dan sighat (ijab qabul). Disamping itu,
ulama juga menentukan beberapa syarat untuk menentukan sahnya jual beli istishna'. Syarat
yang diajukan ulama untuk diperbolehkannya transaksi jual beli istishna' adalah:
• adanya kejelasan jenis, macam, ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan obyek
transaksi yang harus diketahui spesifikasinya.
• merupakan barang yang biasa ditransaksikan/ berlaku dalam hubungan antar manusia.
Dalam arti, barang tersebut bukanlah barang aneh yang tidak dikenal dalam kehidupan
manusia, seperti barang properti, barang industri dan lainnya.
• Stidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang
ditetapkan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akad salam, menurut pandangan Abu
Hanifah (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 633).
Istishna' adalah akad yang tidak mengikat, baik sebelum atau pun sesudah pembuatan barang
pesanan. Setiap pihak memiliki hak pilih (hak khiyar) untuk melangsungkan, membatalkan
atau meninggalkan akad tersebut, sebelum pemesan (mustashni') melihat barang yang
dipesan. Jika pembuat (shani') menjual barang pesanan (mashnu') sebelum pemesan
melihatnya, maka hal ini diperbolehkan. Karena akad ini bersifat tidak mengikat. Di sisi lain,
obyek akad dalam kontrak ini bukanlah barang yang telah dibuat, akan tetapi contoh dengan
spesifikasi (miniatur) yang berada dalam tanggungan.
Jika pembuat telah membawa barang pesanan tersebut kepada pemesan dan telah dilihat
olehnya, maka hak khiyar-nya menjadi gugur, karena ia telah merelakannya kepada pemesan,
sehingga ia mengirimkan kepadanya. Bagi pemesan yang telah melihat barang pesanan yang
dibawa oleh pembuat, ia tetap memiliki hak khiyar. Jika barang itu sesuai dengan
keinginannya, maka kontrak akan berlangsung, dan jika tidak, maka kontrak batal adanya, hal
ini menurut Abu Hanifah. Berbeda dengan Abu Yusuf, jika pemesan telah melihat barang
pesanannya dan telah sesuai dengan spesifikasinya, maka akad ini menjadi lazim, pemesan
tidak memiliki hak khiyar ( Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 634).
Jika pembuat datang kepada pemesan dengan membawa barang pesanan yang telah sesuai
dengan spesifikasi yang dipersyaratkan, maka hukum kontrak tersebut adalah munculnya
kepemilikan yang tidak mengikat (ghair lazim) pada hak pemesan, sehingga ia memiliki
pilihan untuk melihat (khiyar ru'yah). Jika ia telah melihatnya, maka ia bisa menentukan
untuk meneruskan atau meninggalkan kontrak.
Dari sisi pembuat, hukum kontrak tersebut adalah tetapnya kepemilikan yang mengikat jika
pemesan telah melihatnya dan ia merelakannya, dan pembuat sudah tidak memiliki pilihan
(hak khiyar) lagi. Jual beli istishna' berbeda dengan kontrak salam, dalam hal:
• obyek transaksi dalam salam berupa tanggungan dengan spesifikasi kualitas ataupun
kuantitas, sedangkan dalam istishna' berupa dzat/ barang.
• dalam kontrak salam disyaratkan adanya jangka waktu tertentu untuk menyerahkan barang
pesanan, hal ini tidak berlaku dalam akad jual beli istishna'.
• kontrak salam bersifat mengikat (lazim), sedangkan istishna' bersifat tidak mengikat (ghair
lazim).
• dalam kontrak salam dipersyaratkan untuk menyerahkan modal/uang saat kontrak dilakukan
(dalam majlis akad), sedangkan dalam istishna' bisa dibayar di muka, cicilan, atau waktu
mendatang sesuai dengan kesepakatan (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 634-635).

Anda mungkin juga menyukai