Anda di halaman 1dari 47

Makalah

Airway Management, Intubasi, dan Kanulasi Vena

Disusun oleh:
Randi Agustian Sitorus, S.Ked (H1AP09036)
Nisa Kurniawati, S.Ked (H1AP11005)

Pembimbing:
AKBP dr. Yalta Nur Hasanudin, Sp.An.

SMF BAGIAN ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU – RS BHAYANGKARA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT,


pencipta alam semesta yang menjadikan malam dan siang, yang tidak pernah tidur
dan lupa, melalui rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
dengan judul “Airway Management, Intubasi, dan Kanulasi Vena” ini dengan baik.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anastesi dan Terapi Intensif RSUD DR. M.
Yunus Bengkulu – RS Bhayangkara, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Bengkulu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
telah melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. dr. Yalta Nur Hasanudin, Sp.An sebagai pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta
bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Keluarga dan teman – teman yang telah memberikan bantuan baik material,
moril, maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun makalah ini.
Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang positif sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat dan sumbangan pemikiran bagi pembaca.

Bengkulu, Agustus 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………..... i


KATA PENGANTAR………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...........………………………………………….......... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Saluran Nafas......................................................................... 2
2.2.
Masalah Pernapasan………………………………....….......................5
A. Obstruksi Jalan Nafas....................................................................... 5
B. Triple Airway Manuever................................................................... 6
C. Oral dan Nasal Airway..................................................................... 7
D. Face mask (sungkup muka).............................................................. 8
E. Laringeal Mask Airway.................................................................... 10
F. Esophageal – Tracheal Combitube (ETC)........................................ 11
2.3.
Intubasi Endotrakeal.............................................................................. 12

2.4.
Kanulasi Vena........................................................................................ 28
BAB III KESIMPULAN.………………………………………....…...... 40
DAFTAR PUSTAKA .…………………………………………………. 42

3
BAB I
PENDAHULUAN

Tatalaksana jalan napas adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk


membebaskan jalan napas dengan tetap mempertahankan kontrol servikal yang
bertujuan untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga
menjamin kecukupan oksigen di dalam tubuh. Jalan napas berfungsi dalam
mengantarkan antara gas atmosfir dan alveolus. Tatalaksana jalan napas yang
efektif menjaga jalan napas bebas dari sekret, kontaminasi dan obstruksi sambil
meminimalisir komplikasi.
Tatalaksana jalan napas merupakan suatu keterampilan yang mendasar dan
krusial yang digunakan tenaga medis dalam menangani masalah
kegawatdaruratan. Kegagalan untuk menjaga jalan napas yang adekuat dapat
menyebabkan kematian. Keenan dan Boyan melaporkan kelalaian dalam
memberikan ventilasi yang adekuat menyebabkan 12-27 pasien yang sedang di
operasi mengalami mati jantung (cardiac arest)). Salah satu penyebab utama dari
hasil akhir tatalaksana pasien buruk yang di data oleh American society of
anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode pernapasan
yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga
kesalahan mekanis yang terhitung terjadi sebanyak 37% pada saat tatalaksana
jalan napas yaitu: ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%),
dan kesulitan intubasi trakea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari
studi kasus mengalami kematian dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari
1541 pasien di atas), mengalami masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan
napas yang minimal. Menurut Cheney et al menyatakan beberapa hal yang
menjadi komplikasi dari tatalaksana jalan napas yang salah yaitu: trauma jalan
napas, pneumothoraks, obstruksi jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus.
Berdasarkan data-data berikut telah jelas bahwa tatalaksana jalan napas
yang baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi sehingga diperlukan
keterampilan yang baik dalam penatalaksanaan jalan napas.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran napas


Tatalaksana jalan napas merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh
tenaga medis, karena itu perlu menguasai anatomi jalan napas atas secara baik dan
benar agar dapat melakukan penatalaksanaan jalan napas
Jalan nafas yang normal secara fungsional dimulai dari hidung. Udara
lewat melalui hidung yang berfungsi sangat penting yaitu penghangatan dan
melembabkan (humidifikasi). Hidung adalah jalan utama pada pernafasan normal
jika tidak ada obstruksi oleh polip atau infeksi saluran nafas atas. Selama bernafas
tenang , tahanan aliran udara yang melewati hidung sejumlah hampir dua per tiga
dari total tahanan jalan nafas. Tahanan yang melalui hidung adalah hampir dua
kali bila dibandingkan melalui mulut. Ini menjelaskan mengapa pernafasan mulut
digunakan ketika aliran udara tinggi dibutuhkan seperti pada saat aktivitas
berat.Inervasi sensoris pada mukosa berasal dari dua divisi nervus trigeminal.
Nervus ethmoidalis anterior menginervasi pada septum anterior, dinding lateral,
sedangkan pada area posterior di inervasi oleh nervus nasopalatina dari ganglion
sphenopalatina. Anestesi lokal dengan topikal cukup efektif memblokade nervus
ethmoidalis anterior dan nervus maksila bilateral.
Faring meluas dari bagian belakang hidung turun ke kartilago krikoid
berlanjut sampai esofagus. Bagian atas atau nasofaring dipisahkan dengan
orofaring dibawahnya oleh jaringan palatum mole. Lidah adalah sumber dari
obstruksi pada laringofaring (hipofaring), biasanya karena menurunnya tegangan
muskulus genioglosus, yang bila berkontraksi berfungsi menggerakkan lidah
kedepan selama inspirasi dan berfungsi sebagai dilatasi faring.

2
Gambar 1. Anatomi saluran napas
Laring adalah tulang rawan yang dikelilingi oleh ligamen dan otot .Laring
terbentang pada level servikal 3 sampai 6 vertebra servikalis Laring terdiri dari 9
tulang rawan yaitu tiroid, krikoid, epiglotis, sepasang aritenoid, kornikulata dan
kuneiformis. Epiglotis memiliki lapisan membran mukus, merupakan lipatan
glosoepiglotis pada permukaan faring dan lidah. Pada bagian tertekan disebut
valecula. Valecula ini merupakan tempat diletakkannya ujung blade laringoskop.

Gambar 2. Anatomi laring

3
Gambar 3. Anatomi plica
Persarafan sensoris disuplai ke jalan napas atas dari nervus kranialis.
Membran mukosa hidung diinervasi oleh divisi oftalmikus saraf trigeminus
anterior dan oleh divisi maksilaris ke bagian permukaan superior dan inferior
palatum molle dan palatum durum. Nervus lingualis yang merupakan cabang
divisi mandibula nervus trigeminus dan nervus glossopharyngeal yang
memberikan sensasi umum ke duapertiga anterior dan sepertiga posterior lidah.
Cabang nervus fasialis dan nervus glossopharyngeal menginervasi superior faring,
tonsil dan bagian bawah palatum molle. Nervus vagus memberikan sensi pada
jalan napas dibawah epiglotis. Cabang laringeal superior nervus vagus dibagi
kedalam nervus eksternal (motorik) dan internal (sensoris) nervus laringeal
memberikan suplai ke laring diantara epiglotis dan pita suara. Cabang lain vagus,
nervus laringeal rekuren menginervasi laring yang berada dibawah pita suara dan
trakea.1,2
Muskulus krikoaritenoid posterior berfungsi untuk abduksi pita suara,
sedangkan muskulus krikoaritenoid lateral merupakan abduktor yang penting.
Ponasi meliputi kerja simultan yang komplek oleh muskulus laringea. Kerusakan
nervus motorik yang menginervasi laring dapat menyebabkan gangguan bicara
luas. Denervasi unilatera muskulus krikotiroid menyebabkan temuan klinis yang
bermakna. Bilateral palsy nervus laringeal superior dapat menyebabkan suara
serak atau cepat lelah jika berbicara meskipun kontrol jalan napas tidak terganggu.

4
Paralisis unilateral rekuren nervus laringeal dapat menyebabkan paralisis
ipsiateral pita suara sehingga menyebabkan gangguan kualitas suara.1
Suplai darah laring berasal dari cabang arteri tiroid. Arteri krikotiroid
berasal dari arteri tiroid yang merupakan cabang pertama dari arteri karotis
eksterna dan berjalan menyilang diatas membran krikotiroid. Arteri tiroid superior
berada di sisi lateral membran krikotiroid. Ketika merencanakan krikotiroidotomi,
anatomi dari arteri krikoid dan arteri tiroid harus dipertimbangkan, tetapi jarang
berefek pada praktek klinis. Teknik paling baik adalah untuk tetap pada garis
tengah, antara kartilago krikoid dan tiroid.2 Daerah yang sering mengalami
sumbatan jalan napas adalah hipofaring, terjadi pada pasien koma ketika otot lidah
dan leher
Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai setinggi
Cervikal 6 columna vertebaralis pada level kartilago tiroid. Trakea mendatar pada
bagian posterior, panjang sekitar 10 – 15 cm, didukung oleh 16 – 20 tulang rawan
yang berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi dua atau bifurkasio menjadi
brokus kanan dan kiri pada thorakal 5 kolumna vertebaralis. Luas penampang
melintang lebih besar dari glotis, antara 150 – 300 mm2.
Beberapa tipe reseptor pada trakea, sensitip terhadap stimulus mekanik
dan kimia. Penyesuaian lambat reseptor regang yang berlokasi pada otot-otot
dinding posterior, membantu mengatur rate dan dalamnya pernafasan, tetapi juga
menimbulkan dilatasi pada bronkus melalui penurunan aktivitas afferen nervus
vagus. Respon cepat resptor iritan yang berada pada seluruh permukaan trakea
berfungsi sebagai reseptor batuk dan mengandung reflek bronkokontriksi.

2.2 Masalah Pernapasan


A. Obstruksi jalan napas
Pada pasien yang tidak sadar atau dalam keadaan anestesia posisi terlentang,
tonus otot jalan napas otot genioglossus hilang, sehingga lidah akan
menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan napas baik total atau
parsial.

5
Tanda-tanda obstruksi partial:
1. Stridor , terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur atau melengking.
2. Retraksi otot dada kedalam didaerah supraclavicular, suprasternal, sela iga
dan epigastrium selama inspirasi
3. Nafas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar
bukannya mengembang/ membesar).
4. Balon cadangan pada mesin anestesi kembang kempisnya melemah.
5. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang
lebih berat.
Tanda-tanda obstruksi total sama seperti dengan obstruksi partial, akan tetapi
gejalanya lebih hebat dan stridor justru menghilang. Keadaan ini sering
terjadi dan harus cepat diketahui dan dikoreksi dengan beberapa cara,
misalnya manuver tripel jalan napas (triple airway maneuver), pemasangan
alat jalan napas.
B. Triple airway maneuver
A. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuever)
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan
penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain
mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap
keatas dan epiglotis terbuka, sniffing position, posisi hitup.
chin lif
B. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuever)

Head-tilt

6
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong
kedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah
melekat pada rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas
terbuka.

C. Oral dan Nasal Airway


Oropharingeal airway adalah alat berbentuk pipa gepeng lengkung seperti
huruf C berlubang ditengahnya dengan salah satu ujungnya bertangkai
dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau pasien menggigit lubang
tetap paten sehingga aliran udara tetap terjamin. Untuk memilih ukuran
OPA ,tempelkan OPA di samping wajah, dengan ujung OPA pada sudut
mulut, ujung yang lain pada sudut rahang bawah.
Indikasi
- Mencegah lidah dari obstruksi glotis
- Pasien tidak sadar atau dengan tidak ada gag reflex
- Biasa digunakan bersamaan dengan ETT
Kontraindikasi
- Terdapat gag reflex
- Cedera orofaring
Terdapat 2 cara pemasangan nasopharingeal airway
1. Menggunakan spatel lidah untuk menekan lidah dan menyisipkan airway
tersebut ke belakang
2. Masukkan pipa orofaring dengan sisi konkaf menghadap ke langit langit
mulut pasien. Segera putar pipa orofaring 180 derajat setelah mencapai

7
palatum molle sehingga sisi konkaf menghadap ke lidah,dorong pelan-
pelan sehingga seluruh pipa orofaring berada di dalam rongga mulut.
Nasopharingeal airway berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat
dari bahan karet lateks lembut. Pemasangan harus hati-hati dan untuk
menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi dengan jeli. Panjang nasal
airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung ke lubang
telinga, dan kira-kira dan kira-kira lebih panjang 2-4 cm lebih panjang dari
oral airway. Disebabkan karena risiko epistaksis, nasal airway tidak boleh
digunakan pada pasien yang diberikan antikoagulan atau anak dengan adenoid.
Nasal airway juga jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii.

D. Face mask (Sungkup muka)


Penggunaan face mask (sungkup muka) dapat memfasilitasi
pengaliran oksigen atau gas anestetis dari sistem pernapasan mesin
anestesi ke pasien dengan membuat kedap udara (airtight seal) dengan
wajah pasien. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung
usia.Ukuran 03 untuk bayi baru lahir 02, 01, 1 untuk anak kecil 2,3 untuk
anak besar dan 4,5 untuk dewasa
Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi
dan muntahan. Facemask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup
lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum.
Retaining hook dipakai untuk mengkaitkan head scrap sehingga face mask
tidak perlu terus dipegang. Beberapa macam mask untuk pediatrik di

8
disain untuk mengurangi dead space. Ventilasi yang efektif memerlukan
jalan nafas yang bebas dan face mask yang rapat/tidak bocor. Teknik
pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan reservoir bag
kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya kebocoran
sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang tinggi
dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan
adanya obstruksi jalan nafas.

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan
untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras
breathing bag. Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada
badan face mask dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis
menarik mandibula untuk ekstensi joint atlantooccipital. Tekanan jari-jari
harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak yang menopang dasar
lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking
ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw thrust manuver
yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.

9
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw
thrust yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan
seorang asisten untuk memompa bag.

E. Laryngeal Mask Airway


Sungkup laring (LMA, laryngeal mask airway) ialah alat jalan napas
berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berhubung dengan tujuan
menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti
balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras atau dari
polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten. 3
ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang,
proseal LMA yang memiliki lubang untuk memasukan pipa nasogastrik
dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan fastrach LMA yang
dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan napas yang sulit.
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang diakhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit napas dengan konektor berukuran
15 mm, dan di bagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat
dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi
pelumas dan masukan ke hipofaring, kemudian dikembangkan.

10
Gambar 6. Teknik pemasangan LMA
Sungkup laring terdiri dari 2 jenis yaitu:
- Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
- Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esofagus.
Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan
laringoskop. Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan diantaranya supaya
dapat dipasang langsung tanpa bantuan alat dan dapat digunakan jika
intubasi trakea diramalkan bakal mendapat kesulitan. LMA memang
tidak dapat mengganti kedudukan ntubasi trakea, tapi LMA merupakan
alternatif untuk ventilasi diantara sungkup muka dan intubasi trakea.
Pemasangan hendaknya menunggu anestesia cukup dalam atau

11
menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut,
faring-laring. Setelah alat terpasang, untuk menghindari pipa napasnya
tergigit, maka dapat dipasang pipa gulungan kain kasa (bite block) atau
pipa napas aring (OPA).
Kontraindikasi LMA adalah pasien dengan patologi faring (contoh:
abses), obstruksi faring, lambung penuh (contoh: kehamilan, hernia
hiatal) atau low pulmonary compliance (contoh: restriction airways
disease) yang membutuhkan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30
cmH2O. Biasanya, LMA harus dihindari pada pasien dengan
bronkospasme atau resistensi jalan napas tinggi, namun bukti baru
menunjukkan bahwa angka kejadian bronkospasme pada penggunaan
LMA lebih sedikit dibandingkan dengan TT karena LMA tidak
diletakkan di dalam trakea
F. Esophageal – Tracheal Combitube (ETC)
Combitube adalah alat jalan napas supraglotis, dapat digunakan
sebagai alat untuk memberikan jalan napas ketika baantuan alat
konvensional tidak efektif atau tidak mungkin. Pipa kombinasi esophagus
– tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa, masing-masing dengan
konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang lebih panjang
ujung distalnya ditutup. Pipa yang tranparant berukuran yang lebih
pendek punya ujung distal terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC
ini biasanya dipasangkan melalui mulut dan dimasukkan sampai 2
lingkaran hitam pada batang batas antara gigi atas dan bawah. ETC
mempunyai 2 balon untuk digembungkan, 100 ml untuk balon prosikmal
dan 15 ml untuk balon distal. Perhatian harus diberikan untuk
menghindari penempatan yang terlalu dalam pada esofagus yang dapat
menyumbat pembukaan glotis. Combitube di kontraindikasikan pada
pasien yang tingginya kurang dari 5 feet, gag flek yang intak, penyakit
esofagus.

12
2.3 Intubasi Endotrakeal
Intubasi endotrakeal/endotracheal tube (ETT) intubation adalah salah satu
tindakan yang dapat dilakukan dalam manajemen jalan napas yaitu dengan
memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan
mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan
trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi ETT dapat dilakukan pada
pasien sadar ataupun tidak sadar. Prosedur ini pada umumnya dilakukan sebagai
bagian dari praoperasi ataupun tindakan gawat darurat untuk menyelamatkan jalan
napas, sehingga intubasi endotrakeal harus dikuasai oleh seluruh petugas medis
dengan baik.
Teknik intubasi endotrakeal yang paling umum dilakukan adalah
metode rapid sequence intubation (RSI) dengan laringoskopi direk. Teknik ini
meliputi beberapa komponen penting, yaitu:
 Persiapan (meliputi persiapan pasien dan alat)
 Posisi
 Preoksigenasi
 Premedikasi
 Intubasi dan konfirmasi
 Manajemen pasca intubasi
Pemeriksaan jalan napas perlu dilakukan dengan baik untuk identifikasi
adanya penyulit saat akan dilakukan intubasi. Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan pendekatan LEMON (Look, Evaluate, Mallampati, Obstruction, Neck).
Manajemen jalan napas alternatif, seperti pemasangan laryngeal mask (LMA)
atau krikotiroidektomi, harus selalu disiapkan untuk mengantisipasi jika intubasi
gagal dilakukan.

A. Indikasi
Indikasi dilakukannya intubasi endotrakeal, atau dikenal
sebagai endotracheal tube (ETT) intubation, antara lain adalah:
1. Untuk mencegah terjadinya aspirasi
2. Perburukan dengan ancaman gagal napas: perdarahan intrakranial, syok
sepsis, trauma kepala, cedera servikal

13
3. Gangguan ventilasi
4. Gangguan oksigenasi: emboli paru, edema paru difus, sindroma distress
pernapasan akut, keracunan karbon monoksida, keracunan sianida
5. Gangguan patensi jalan napas: angioedema, anafilaksis, perdarahan
orofaring
6. Pasien operasi:
a. Yang membutuhkan anestesi umum dan durasi panjang
b. Operasi pronasi atau rotasi kepala
c. Operasi bagian kepala dan leher
B. Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut intubasi endotrakeal (endotracheal tube /
ETT intubation) antara lain adalah:
1. Obstruksi jalan napas total
2. Kelainan pada supraglotis atau glottis
3. Trauma laring
4. Transeksi jalan napas
5. Deformitas wajah atau orofaring
C. Kesulitan Intubasi
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi
seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi
akses jalan napas. Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi;
gigi terutama ompong, gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari
orofaring yang paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati
Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk
membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.

14
Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya
diperkirakan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.
Faktor lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi :
 Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
 Leher Pendek
 Mobilitas leher terbatas
 Pertumbuhan gigi tidak lengkap
 Langit-langit mulut sempit
 Pembukaan mulut kecil
 Jarak dari permukaan dalam mandibula ke tulang hyoid selama leher
ekstensi kurang dari 2 jari
 Jarak tyromental kurang dari 3 jari

D. Teknik Intubasi
Teknik intubasi endotrakeal, disebut juga sebagai endotracheal tube /
ETT intubation, yang paling umum dilakukan adalah dengan metode rapid

15
sequence intubation (RSI). Teknik ini meliputi beberapa komponen penting,
yaitu:
 Persiapan (meliputi persiapan pasien dan alat)
 Posisi
 Preoksigenasi
 Premedikasi
 Intubasi dan Konfirmasi
 Manajemen pasca intubasi
Persiapan Pasien
Persiapan pasien yang harus dilakukan sebelum intubasi endotrakeal adalah
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan saluran napas (airway assessment)
Pemeriksaan saluran napas diperlukan untuk mendeteksi adanya penyulit
ketika dilakukan intubasi. Pemeriksaan jalan napas yang tepat dapat mencegah
mortalitas dan morbiditas karena intubasi dan komplikasinya. Pemeriksaan
dapat dilakukan dengan pendekatan LEMON (Look, Evaluate, Mallampati,
Obstruction, Neck). Hal-hal yang harus diperiksa adalah:
L (Lihat): Lakukan inspeksi secara eksternal jalan napas pasien. Hal-hal yang
menandakan adanya jalan napas sulit adalah:
 Facies abnormal atau trauma wajah.
 Mandibula kecil.
 Lidah besar.
 Leher pendek dan lebar atau bull neck.
E (Evaluasi) : Evaluasi dilakukan berdasarkan aturan 3-3-2 untuk menilai
pembukaan mulut (mouth opening), jarak hiomental, dan jarak tirohioid. Hal
ini dapat dilakukan pada pasien dengan jalan napas tanpa penyulit. Pengukuran
dilakukan dengan cara:
 3 – pasien membuka mulut dan memasukkan 3 jari di antara gigi.
Apabila dapat mengakomodasi 3 jari, maka insersi laringoskop dan tuba
endotrakeal relatif lebih mudah

16
 3 – pengukuran jarak hiomental dilakukan dengan meletakkan 3
jari pada dasar mandibula, diantara mentum dan tulang hioid
 2 – penilaian jarak tirohioid dilakukan dengan meletakkan 2 jari
diantara kartilago tiroid dan tulang hioid
Apabila pasien tidak dapat menggunakan jarinya sendiri, maka dapat
digunakan jari pemeriksa.
M (Mallampati): Klasifikasi Mallampati dilakukan untuk menilai ukuran lidah
dan rongga oral. Penilaian ini dibedakan menjadi 4 kelas, yaitu:
 Kelas I: terlihat palatum durum, palatum mole, seluruh tonsil dan uvula.
 Kelas II: terlihat palatum mole, palatum durum, bagian atas tonsil dan
uvula.
 Kelas III: palatum durum, mole, dan dasar uvula terlihat.
 Kelas IV: palatum durum terlihat Mallampati kelas III dan IV
menunjukkan adanya manajemen jalan napas sulit, sehingga intubasi sulit
dilakukan.
O (Obstruksi / Obesitas): Obstruksi ditandai dengan adanya stridor, suara tidak
jelas (hot potato voice), dan sulit menelan cairan. Obstruksi pada saluran napas
atas merupakan penanda adanya jalan napas sulit. Indeks massa tubuh > 30
juga merupakan penyulit manajemen jalan napas.
N (Neck): Mobilitas leher perlu dinilai. Mobilitas leher yang kurang baik akan
mengganggu visualisasi glotis pada saat laringoskopi. Adanya kondisi seperti
penggunaan kolar leher, ankilosing spondylitis, atau artritis rematik juga dapat
mempengaruhi mobilitas leher. Selain itu, lingkar leher juga perlu dinilai.
Lingkar leher > 17 inch (43 cm) juga dapat menyulitkan visualisasi glottis.
Ditemukannya penyulit pada pemeriksaan-pemeriksaan tersebut bukan
indikasi bahwa intubasi tidak dapat dilakukan. Apabila pada pemeriksaan tidak
ditemukan adanya penyulit, intubasi umumnya lebih mudah dilakukan.

2. Penentuan ukuran tuba endotrakeal


Ukuran diameter tuba endotrakeal secara umum pada pasien dewasa
adalah 6.0 – 7.5 (wanita) dan 7.0 -9.0 (pria). Tuba endotrakeal umumnya

17
dimasukkan hingga 21 cm (wanita) dan 23 cm (pria). Pada anak-anak ukuran
tuba endotrakeal dapat dihitung dengan rumus:
 Diameter = (Usia dalam tahun / 4) + 4
 Panjang = (Usia dalam tahun / 2 ) + 4
Sedangkan pada bayi, umumnya digunakan ukuran tuba endotrakeal
dengan diameter 3.5 dan panjang 12 cm.
3. Pemasangan akses intravena
Akses intravena diperlukan pada seluruh pasien. Jika diperlukan, 2 buah akses
intravena perifer dapat dipasang.
4. Pemasangan monitor
Pemasangan monitor dilakukan untuk pemantauan tanda vital pasien, terutama
tekanan darah, saturasi oksigen, dan jantung. Jika tersedia, perlu dilakuakn
pemantauan karbon dioksida dengan menggunakan kapnografi/monitor end-
tidal carbon dioxide (EtCO2).
Peralatan
Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan
memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT
sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan
stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT. Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari
posisi pasien, kepala pasien harus sejajar dengan pinggang anestesiologis atau
lebih tinggi untuk mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan
untuk induksi dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin.
Persiapan alat untuk intubasi antara lain :
STATICS
S : Scope
T : Tube
A : Airway
T : Tape
I : Introducer
C : Connector
S : Suction

18
 Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop.
Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop
untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa
trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam
laringoskop:
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Perlu diperhatikan adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang
sehingga laring jelas terlihat.

19
 Tube

Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea
dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak
kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima
tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk
dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima
tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa
menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf
pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea
dan postintubation croup.

Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan
napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa

20
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.

Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

21
Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag
valve mask ataupun peralatan anesthesia.
Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.

Peralatan lain seperti, obat-obat anestesi (misalnya ketamine, propofol,


suksinilkolin, rokuronium, atau fentanyl) juga dapat disiapkan. Metode
manajemen jalan napas lain, seperti masker laring (laryngeal mask) atau
krikotiroidektomi juga harus siap dilakukan jika intubasi gagal dilakukan.
Penggunaan teknologi video laryngoscope sebaiknya digunakan bila tersedia
karena akan sangat mempermudah prosedur intubasi.

Posisi Pasien
Posisi pasien saat intubasi endotrakeal ataupun manipulasi jalan napas
lainnya sangat penting dalam menentukan kemudahan serta keberhasilan tindakan
yang akan dilakukan. Posisi yang dianjurkan adalah sniffing position pada pasien
tanpa penyulit. Bila terdapat kelainan servikal, maka kepala harus diletakkan
dalam posisi netral. Apabila pasien memiliki obesitas morbid, posisikan kepala
30o dengan bantal pengganjal. Kepala dapat direposisi hingga glottis mudah
terlihat.

Prosedur
Prosedur intubasi endotrakeal umumnya dilakukan dengan teknik RSI.
Teknik ini dilakukan dengan:
1. Preoksigenasi

22
Preoksigenasi merupakan proses penting yang harus dilakukan. Berikan pasien
100% oksigen via masker nonrebreather selama 3-5 menit. Hal ini dilakukan
untuk menghilangkan nitrogen (denitrogenisasi) dan memberikan cadangan
oksigen, sehingga dapat memperpanjang durasi apnea aman / safe apnea.
Proses ini sebaiknya dilakukan tanpa ventilasi tekanan positif. Ventilasi
dengan bag-valve-mask juga sebaiknya dihindari dan hanya dilakukan apabila
saturasi oksigen < 90%.
2. Premedikasi
Medikasi
Medikasi untuk intubasi terbagi menjadi 3, premedikasi, induksi, dan agen
paralitik.
Premedikasi:
Premedikasi tidak umum dilakukan. Jika diperlukan,obat premedikasi yang
dapat diberikan adalah lidocaine (1.5 mg/kgBB/IV), atau atropine.
Induksi:
Jika diberikan premedikasi, induksi dilakukan setelah pemberian obat-obat
premedikasi. Obat yang umum diberikan adalah fentanyl, ketamine, propofol,
etomidate, midazolam, dan thiopental.
Agen Paralitik:
Agen paralitik terbagi menjadi agen depolarisasi dan nondepolarisasi. Agen
depolarisasi satu-satunya adalah succinylcholine. Obat ini bisa meningkatkan
kadar kalium darah sehingga sebaiknya tidak digunakan pada kondisi dengan
risiko tinggi hiperkalemia, yaitu:
 Luka bakar pada area yang luas atau lebih dari 7 hari
 Crush injury
 Cedera tulang belakang atau cedera saraf lainnya
 Nekrosis otot ekstensif
 Miopati
 Hiperkalemia yang sudah terjadi sebelum intubasi

23
Pada kondisi di mana succinylcholine tidak dapat digunakan, dapat digunakan
agen paralitik nondepolarisasi, seperti rokuronium, veruconium, mivacurium,
atau pancuronium.

3. Proteksi dan posisi


Jalan napas pasien harus diproteksi dari aspirasi. Teknik penekanan krikoid
atau manuver Sellick umumnya dilakukan, namun demikian teknik ini sudah
tidak dianjurkan karena dinilai tidak efektif dalam mengurangi aspirasi.
Pasien diposisikan dalam posisi sniffing dengan cara elevasi kepala sekitar 10-
15o. Pada intubasi yang tidak dilakukan di ruang operasi, dokter harus
memastikan posisi pasien dan dirinya sendiri optimal untuk melakukan
intubasi, misalnya dengan menggeser posisi pasien ke pinggir ranjang.
4. Intubasi
Setelah dilakukan preoksigenasi dan premedikasi, pasien pada umumnya akan
mengalami apnea. Durasi waktu saat pasien mengalami apnea hingga
teroksigenasi melalui pemasangan intubasi merupakan waktu yang sangat
krusial. Apabila terjadi kesalahan, pasien dapat mengalami desaturase yang
dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Oleh karenanya, proses oksigenasi
apneik dapat dilakukan dengan cara memasang nasal kanul aliran tinggi
sepanjang intubasi dilakukan dengan oksigen 15 L/menit.
Intubasi endotrakeal dilakukan dalam beberapa langkah, yaitu:
 Melakukan laringoskopi dengan Laringoskop dan Blade Miller untuk
visualisasi bukaan glottis. Laringoskop dipegang dengan tangan kiri.
Pasien dalam posisi
 Blade Miller dimasukkan dari sisi kanan rongga orofaring, lidah digeser ke
arah kiri atas faring dengan laringoskop. Hindari kontak dengan gigi.
Ujung blade umumnya akan masuk dalam valekula
 Manipulasi eksternal dengan manuver BURP (backward, upward,
rightward, pressure) dapat dilakukan untuk membantu visualisasi glottis
bila sulit terlihat

24
 Ambil tuba endotrakeal (dapat menggunakan introducer/stylet jika
tersedia) dengan tangan kanan dan masukkan ke dalam glottis dengan
menyusuri blade laringoskop hingga batas panjang tuba yang
direkomendasikan. Pastikan visualisasi tuba memasuki korda vokalis
 Keluarkan stylet
 Inflasi balon tuba endotrakeal dengan udara seminimal mungkin
 Hubungkan tuba endotrakeal dengan bag-valve-mask ataupun ventilator
Lakukan konfirmasi posisi intubasi setelah selang endotrakeal berhasil
dimasukkan.
5. Konfirmasi
Konfirmasi posisi intubasi dilakukan dengan empat metode: visualisasi,
kapnografi/end-tidal carbon dioxide (EtCO2), auskultasi, atau rontgen toraks.
Auskultasi dilakukan pada toraks dan epigastrium. Palpasi fossa jugularis
sternalis juga dapat dilakukan untuk konfirmasi lokasi tuba. Tanda-tanda gagal
intubasi antara lain adalah:
 Suara napas unilateral
 Hipoksia dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
 Tuba endotrakeal tidak teraba
 Ekspansi dada tidak simetris
Apabila terdapat gagal intubasi berupa intubasi esofagus, maka intubasi harus
diulang. Pada intubasi bronkial, tuba endotrakeal dapat direposisi dengan
menarik beberapa centimeter sampai posisi dipastikan benar.

25
Follow-Up
Follow-up atau manajemen pasca intubasi yang harus dilakukan pasca intubasi
endotrakeal antara lain adalah:
 Fiksasi tuba endotrakeal
 Ventilasi mekanik
 Pemantauan fungsi jantung dan paru
 Pemantauan tekanan darah. Apabila terdapat hipotensi, dapat diberikan
bolus kristaloid intravena atau vasopressor.

E. Komplikasi Intubasi
Komplikasi intubasi endotrakeal, yang dikenal juga sebagai endotracheal
tube intubation yang dapat terjadi antara lain adalah:
 Hipoksia
 Hiperkarbia
 Trauma gigi
 Pneumothorax
 Kegagalan intubasi
 Aspirasi
 Avulsi pita suara
 Gangguan menelan
 Trauma laring

26
Komplikasi ini dapat terjadi saat intubasi, setelah pemasangan, dan saat
ekstubasi baik karena penggunaan laringoskop ataupun pemasangan tuba
endotrakeal.

F. Edukasi Pasien Intubasi


Edukasi pasien intubasi endotrakeal umumnya jarang dilakukan, terutama
pada kasus gawat darurat. Edukasi umumnya dilakukan pada pasien yang akan
dilakukan operasi meliputi:
 Jenis anestesi yang dilakukan
 Penjelasan risiko komplikasi potensial dari tindakan ini
 Cara memasukkan tuba endotrakeal
 Fungsi intubasi endotrakeal
 Kebutuhan pemakaian ventilator ataupun tidak
 Efek samping dan komplikasi yang dapat terjadi
 Efek samping obat anestetik yang diberikan
Kemungkinan adanya kegagalan dan membutuhkan manajemen jalan napas
penyelamatan, seperti krikotiroidektomi juga harus dijelaskan. Persetujuan pasien
untuk melakukan tindakan anestesi juga harus dilakukan sebelum prosedur.

G. Pedoman Klinis Intubasi


Pedoman klinis intubasi endotrakeal terbaru tahun 2015 dari Difficult Airway
Society (DAS) terutama adalah untuk mempertahankan oksigenasi sebagai
prioritas utama dengan melakukan preoksigenasi dan tetap memberikan oksigen
saat melakukan intubasi (apneic oxygenation). Rekomendasi DAS lainnya untuk
meningkatkan keberhasilan intubasi endotrakeal antara lain adalah:
 Intubasi akan lebih mudah dilakukan apabila dilakukan dalam
posisi sniffing dengan elevasi kepala menggunakan ganjalan (ramping)
 Pencegahan aspirasi terbaik adalah dengan meletakkan tuba yang terinflasi
dengan baik dalam trakea. Namun, rekomendasi DAS masih membenarkan
penekanan krikoid atau Manuver Sellick untuk dilakukan. Di sisi lain,
beberapa literatur lain menyatakan bahwa prosedur ini sudah tidak dianjurkan

27
 Jika penekanan krikoid dilakukan, apabila dalam percobaan pertama
laringoskopi sulit dilakukan maka penekanan krikoid harus dilepas dan tidak
boleh dilakukan lagi
 Apabila terdapat manajemen jalan napas sulit, dapat dilakukan
manuver chin lift ataujaw thrust untuk memperbaiki posisi jalan napas
 Penggunaan alat bantuan untuk mengamankan jalan napas,
seperti oropharyingeal tubeharus selalu dipertimbangkan dan disiapkan
 Menggunakan obat-obatan anestesi memiliki manfaat dan keuntungan
tersendiri saat intubasi
Intubasi idealnya hanya dicoba 1 kali dan jika gagal, dapat dilakukan ulang
oleh spesialis atau lanjutkan ke percobaan krikotiroidektomi. Intubasi hanya dapat
dilakukan sebanyak 3x pada pasien dengan saturasi terjaga dengan baik, atau pada
pasien dengan patensi jalan napas yang terganggu serta pasien syok atau
multitrauma.

H. Ekstubasi Perioperatif
Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu
pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan.
Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai
penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan
nafas yang mungkin menjadi komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas,
tentukaan apakah hambatan pada central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien
dengan membuat pasien sadar betul atau pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur
dalam), jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal
refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi hipnotik
maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien
mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai
kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan
dengan jalan nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien
tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan

28
setelahnya pasien menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas tetap lapang
berupa pipa orofaring atau nasofaring dan disertai pula dengan triple airway
manuver standar.
Syarat-syarat ekstubasi :
1. Vital capacity 6 – 8 ml/kg BB.
2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.
3. PaO2 diatas 80 mm Hg.
4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil.
5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.
6. Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.

2.4 Kanulasi Intravena


1. JALUR INTRAVENA (IV)
a. Relevansi Anatomis
Vena-vena ekstremitas memiliki dinding yang sangat tipis. Vena-vena
tersebut memiliki endotelium, lapisan otot yang mampu mengkontraksikan
lumen vena, dan disokong oleh jaringan ikat adventisia yang tipis.
Lapisan adventisia ini membuat vena sulit ditembus/ditusuk karena sulit
difiksasi di ruangnya dengan menembuskan ujung stylet kateter. Pada
beberapa bagian tubuh, vena-vena ini tidak berkatup, tetapi di tempat lainnya,
seperti di extremitas, vena tersebut memiliki katup, tekukan, sudut, dan
akhiran buntu. Faktor-faktor ini dapat mempersulit dalam menyusupkan
kateter. Vena-vena biasanya berjalan secara anatomis dalam suatu berkas
neurovaskular bersama-sama dengan arteri dan nervus, yang berpotensi
menyebabkan komplikasi penusukan vena (venipuncture) berupa cedera saraf
dan arteri.

29
Suatu jembatan keledai (mnemonic) yang dapat membantu untuk
mengingat posisi struktur ini adalah NAVEL –yang menunjukkan struktur
dari lateral ke medial: Nervus, Arteri, Vena, Ruang kosong (Empty space),
Limpatikus. Hal ini penting untuk terlihat saat mengkanulasi arteri atau vena
femoralis.
Pada Jalur Vena Sentralis memiliki risiko yang lebih besar. Lokasi insersi
yang sering digunakan adalah vena jugularis interna, subclavia, dan
femoralis.

b. Fisiologi Vena
Vena memiliki otot polos di dindingnya, yang dapat berkontraksi setelah
rangsangan tusukan, yang membuatnya semakin sulit dikanulasi pada
percobaan selanjutnya. Tekanan dalam vena rendah (27–31 mmHg) tetapi
tekanan pada jaringan jaringan bahkan lebih rendah lagi, yang menyebabkan
mudahnya terbentuk hematoma setelah penusukan berhasil – kecuali
diberikan penekanan setempat yang keras selama 30–45 detik.
Vena memiliki inervasi sensoris dan motoris (simpatis) dan akan
menimbulkan nyeri jika cairan yang diinfuskan dingin, hipotonis, atau
mengandung elektrolit iritan tertentu, seperti kalium klorida, atau emulsi
seperti intralipid, untuk Nutrisi Parenteral Total. Mekanisme perbaikan vena
yang ditusuk awalnya meliputi pembentukan trombus pada endotelium yang
gundul atau cedera. Oleh karena itu, cara untuk menjaga kateter tetap terbuka
adalah untuk menjaga aliran cairan intravena yang lambat masuk ke dalam
vena.

c. Indikasi Kanulasi Intravena


Indikasi pemasangan kanulasi intravena:
1. Pemberian cairan
2. Pemberian obat, secara kontinyu atau intermiten
3. Pemberian darah atau produk darah
4. Pemberian kontras radioopak atau sedasi

30
5. Tindakan profilaksis untuk pasien yang tidak stabil atau pada prosedur
tertentu.
d. Kontraindikasi pemasangan kanulasi intravena
Absolut:
1. Inflamasi atau infeksi pada kulit yang akan menjadi tempat pemasangan
kanula
2. Fistula arteriovenosa pada tempat pemasangan kanula
3. Tindakan mastektomi sebelumnya dengan pembedahan nodus axillaris
atau limfoedema pada tempat yang akan dipasang kanula.
Relatif :
1. Kecenderungan perdarahan
2. Vena dari lengan bawah pada pasien gagal ginjal yang mungkin
memerlukan pembentukan fistula arteriovenosa pada masa depan.

e. Hal-hal yang Harus Diperhatikan :


a. Sterilitas
Tindakan diatas merupakan tindakan invasif yang dapat mengundang kuman
untuk masuk ke aliran darah, karena itu harus dilakukan secara aseptis agar
kuman tidak masuk tubuh. Kulit disterilkan, alat-alat yang digunakan steril,
petugas steril, dan tindakan yang dilakukan secara aseptis. Sebaiknya cuci
tangan dengan sabun sebelumnya. Sterilisasi kulit dapat dilakukan dengan
salah satu desinfektan:
1. Povidon-iodine : Dioleskan dua kali, tunggu 30 detik, tak perlu dibilas
dengan alkohol.
2. Etil Alkohol : Konsentrasi 70%, tunggu 60 detik, biarkan yang kering.
Pungsi dilakukan setelah desinfektan kering agar tidak perih
b. Fiksasi
Kanula yang sudah terpasang harus dilakukan fiksasi dengan baik agar tidak
bergerak-gerak dan tercabut, kanula yang bergerak akan:

31
1. Menembus dinding vena
2. Melukai dinding dalam vena
3. Mengundang infeksi
Fiksasi dilakukan dengan plester hypafix dan plester coklat sehingga kanula
tidak bergerak dan infus set tidak mudah tercabut.
c. Menghitung Tetesan
Jumlah tetesan disesuaikan dengan :
1. Volume cairan infus yang akan diberikan
2. Waktu pemberian (24 jam, 12 jam, 6 jam, dll)
3. Macam penetes (dripper) dari infus set :
untuk dewasa 1 ml = 20 tetes / 15 tetes
untuk anak 1 ml = 60 tetes
4. Jumlah tetesan per menit:
Dewasa
jumlah cairan infus (ml) x 20 = jumlah cairan infus (ml)
lamanya infus (jam) x 60 lamanya infus (jam) x 3
Anak
jumlah cairan infus (ml) x 60 = jumlah cairan infus (ml)
lamanya infus (jam) x 60 lamanya infus (jam).
d. Monitoring dan Perawatan
Tiap pemasangan infus harus diamati hal-hal berikut :
1. Kelancaran tetesan yang semula lancar menjadi tidak lancar, mungkin
ada sumbatan, kanula tertekuk, atau ekstravasasi (keluar dari pembuluh
darah).
2. Keluhan nyeri : Bila ada nyeri mungkin akibat iritasi oleh cairan yang
hipertonis, ada infeksi atau ekstravasasi.
3. Infeksi : Biasanya disertai nyeri, panas dan kemerahan disekitar kanula
merupakan hal yang berbahaya karena dapat menyebar ke sistemik.
Kanula harus segera dicabut dan dipindah.
4. Pembengkakan : Mungkin ekstravasasi cairan atau hematoma. Segera
dicabut dan dipindah.

32
5. Perawatan secara aseptik : Dilakukan tiap hari, dijaga sebagai suatu
system tertutup (sambungan ujung infus dan kanula tak boleh dilepas).
6. Darah pada ujung slang : Harus dibersihkan karena dapat menyumbat
dan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman.
Kanulasi intravena harus diganti/ dilepas bila :
1. Ekstravasasi
2. Phlebitis
3. Setelah 3 hari
4. Tidak diperlukan lagi
f. Pembagian Jalur Intravena
Pembagian jalur intravena secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
macam yaitu:

1. Jalur Vena Perifer


2. Jalur Vena Sentral

g. Teknik Kanulasi Perifer


Seseorang harus memulai dari mengambil waktu untuk melihat dan
merasakan vena melalui palpasi lembut pada tempat insersi yang disukai.
Jika anda tidak menemukan pembuluh darah yang menjanjikan pada
tempat pertama andaperiksa, pertimbangkan untuk pindah ke ekstremitas
lain. Seringkali, kulit dan jaringan subkutan pasien tidak memungkinkan
kita untuk melihat vena-vena di bawah permukaannya tetapi vena-vena
tersebut dapat dirasakan.
Dengan menggunakan turniket, vena dalam ekstremitas terasa
memantul atau elastis di ujung jari, berbeda dengan jaringan lunak di
sekitarnya. Dengan menginjeksikan lidokain di sekitar vena akan
menganestesi kulit di atasnya serta menghambat venospasme.
Selang intrakateter (14–24 g) merupakan PTFE yang lurus (Teflon®)
atau selang plastik lainnya yang meruncing di ujungnya. Terdapat stylet

33
introducer baja yang berukuran pas di dalamnya. Stylet tersebut memiliki
ruang yang transparan yang melekat pada porosnya, yang memungkinkan
visualisasi darah segera sesudah venipuncture. Bevel ujung stylet teap
diarahkan ke atas, dan vena yang terbendung ditusuk dengan sudut 30°
dengan menegangkan kulit di distalnya. Hal ini dilakukan dengan perlahan
dan jangan berlebih sampai venanya mengempis.
Satu kesalahan yang sering dilakukan adalah mencoba untuk menarik
keluar kateter saat darah percikan pertama kali terlihat, yang sering
menyebabkan kateter terdorong ke dalam jaringan subkutan. Untuk
menghindari kesalahan ini, pastikan kateter dan stylet dimasukkan 2–3
mm lebih dalam setelah percikan darah pertama terlihat. Hal ini akan
memastikan bahwa kateter, bukan hanya ujung stylet, aman dalam lumen
vena sebelum kateter ditarik keluar.
Jangan bersikeras menggunakan kateter 14 g atau 16 g untuk semua
kasus. Kateter berukuran 18 g dan 20 g cukup untuk kebanyakan kasus,
dan darah dapat ditransfusikan melalui kateter yang lebih besar atau sama
dengan 22 g, sekalipun lebih lambat.
Tentu saja, pada kasus dimana diantisipasi akan terjadi kehilangan
darah yang cepat paling baik diakomodasi dengan banyak kateter
berkaliber besar (14 g, 16 g, dan 18 g). Kateter ini membantu
menyalurkan volume dengan lebih cepat dibandingkan kateter 16 g
berlumen tripel yang biasanya diinsersikan pada keadaan darurat, karena
berdasarkan panjang kateter berlumen tripel dan hukum hidrodinamis
Hagen–Poiseuille–dimana aliran berbanding lurus dengan jari-jari pangkat
empat (sehingga, sedikit pertambaan dalam diameter intraluminal
menghasilkan peningkatan aliran yang banyak).
h. Teknik Jalur Vena Sentralis (JVS)
1. Vena Jugularis Interna
Pada Gambar 15.2 menunjukkan pendekatan anterior kanulasi vena
jugularis interna (JI). Arteri carotis interna terletak di posterior dan
medial terhadap vena jugularis baik pada sisi kiri maupun kanan,

34
meskipun terdapat variasi yang cukup banyak. Carotis dapat terletak
baik langsung di posterior terhadap, atau dalam persentasi kasus yang
kecil, posterior dan lateral terhadap venanya. Saat menginsersikan
kateter JI, selalu terdapat risiko tertusuknya karotis.

Sternokleidom
astoideus
Vena
(caput medial)
jugularis
interna
Sternokleidomastoideus (caput lateral)

klavikula

Prosessus mastoideus Vena jugularis eksterna

Gambar 15.2 Kanulasi jugularis interna kanan via pendekatan anterior. Kepala
dirotasikan 30° ke sisi kontralateral. Landmarks-nya adalah kartilago cricoidea, otot
sternokleido-mastoideus, dan arteri karotis. Salah seorang mempalpasi kartilago
cricoidea dengan kiri jari telunjuk dan kemudian mempalpasi 2 cm lateral dari linea
mediana leher. Hati-hati mempalpasi dan melokalisasi arteri karotis yang terletak
antara line mediana dan tempat insersi. Arteri karotis harus diidentifikasi agar ujung
jarum penuntun tidak tembus ke dalamnya. Beberapa operator meretraksi arteri
karotis ke arah medial (menuju linea mediana). Hal ini harus dilakukan secara
perlahan agar vena jugularis interna tidak mengempis, yang membuatnya sulit
ditembusi. Salah seorang menginsersikan jarum penuntun (22 g) 2 cm lateral
terhadap linea mediana, dan tepat di lateral dimana pulsasi arteri karotis teraba.
Jarum diinsersikan melalui caput otot sternokleidomastoideus, bersamaan dengan
menyedot secara perlahan pada syringe plunger. Segera sesudah jarum penuntun
“menemukan” vena tersebut, dapat dilewatkan intracath 18 g atau jarum di lokasi
yang sama.

Vena
subclavia Incissura
sternalis

35
Gambar 15.3 Insersi kateter subclavia kanan. Landmarks topografisnya adalah
incissura suprasternalis dan titik tengah klavikula. Hal ini penting untuk menghindari
jarum miring ke posterior atau ke inferior. Hal ini akan mengurangi kemungkinan
ditembusnya ruang pleural. Perhatikan bahwa jarum masuk dari inferior klavikula,
tetapi dekat dengannya, seringkali bersentuhan dengan periosteum. Gunakan lidokain
secara bebas pada pasien yang sadar. Posisi Trendelenberg akan membuat vena terisi
dan membuatnya lebih mudah dimasuki jarum atau ujung kateter. Sekali jarum atau
kateter berada dalam lumen pembuluh darah subclavia, maka ia dapat ditransdusi.

2. Vena Subclavia
Vena subclavia merupakan tempat yang lebih baik untuk insersi jangka
panjang, tetapi berisiko mendapat pneumo-atau hemothoraks dan
cedera ductus thoracicus (subclavia kiri) saat membuat insersi.
Poin Kunci dalam Kanulasi JI (Gambar 15.2 dan 15.3)

a. Pendekatan JI yang paling sederhana adalah pendekataan anterior


(Gambar 15.2) dimana kateter diinsersikan setinggi kartilago
cricoidea, 2 cm lateral terhadap linea mediana, melalui otot
sternokleidomastoideus. Kepala pasien ditengokkan ke sisi
kontralateral 30°. Dengan insersi di sisi kanan lebih kurang
kemungkinannya terkena komplikasi karena jalur insersi kateter
lurus.
b. Hubungannya dengan vena subclavia adalah tepat di bawah
klavikula pada setengah medial klavikula. Arteri subclavia
posisinya relatif berubah pada setengah lateral tulang dan dapat
lebih mudah ditusuk jika dicoba lebih lateral dibandingkan lebih ke
medial (Gambar 15.3)
c. Persiapan kulit yang steril dan pemakaian baju bedah serta draping
pasien terbukti menurunkan angka infeksi.

36
d. Visualisasi ultrasonografik kini rutin digunakan untuk
mengidentifikasi pembuluh darah untuk melakukan insersi kateter.
e. “Jarum penuntun” gauge 22 atau yang lebih kecil, yang dilekatkan
pada syringe kecil, dapat digunakan untuk melokalisasi vena.
Posisi kepala di bawah (Trendelenberg) membantu mendilatasi
vena JI dan subclavia dan meningkatkan tingkat keberhasilan.
f. Vena tersebut seringkali dimasukkan pada lumen pembuluh darah
searah jalan masuk darah, atau searah jalan keluar darah.
Penyedotan ringan pada syringe plunger mencegah lumen menjadi
kolaps, dan menarik kulit dengan jarum yang lebih besar
memungkinkan jarum penuntun untuk menembus dinding vena
yang sulit tanpa mengikutkan kulit dan jaringan lunak dan dengan
demikian menekan vena.
3. Vena Femoralis
Menginsersikan kateter vena femoralis di daerah lipatan paha dapat
menjadi suatu permasalah mengingat kemungkinan infeksi dan
trombosis, dan sekali dimasukkan maka akan membuat pasien sulit
untuk berjalan. Meskipun demikian, jika akses vena diperlukan dan
pada saat itu tempat lainnya tidak memungkinkan, maka vena dan
arteri femoralis yang dikanulasi. Gambar 15.4 menunjukkan
landmarks untuk insersi. Persiapan yang steril dan dressing yang
seksama daerah tersebut merupakan hal yang penting, dan penggunaan
ultrasonografi semakin sering dilakukan untuk kanulasi femoral.
Mnemonic NAVEL mengingatkan kembali struktur-struktur yang
Ramus pubis
ditemui dari lateral ke medial (yaitu, menuju navel): Nervus, Arteri,
Spina iliaca
LineaRuang
Vena, pectinata
kosong (Empty space), dan Limfatik (lihat anterior
Gambar
Cincin femoralis superior
15.4).
Ligamentum Ligamentum
lacunar inguinale
Nervus femoralis
Pubis
Femoral sheath

Tuberculum Arteri
pubicum femoralis
37 Vena
Canalis femoralis femoralis

Adductor
Gambar 15.4 Anatomi femoral. Segitiga femoral kiri, aspek anterior. Landmarks-nya
adalah spina iliaca anterior superior, tuberculum pubicum, dimana ligamentum
inguinale berjalan di antaranya. Nervus, arteri, dan vena femoralis terlihat berjalan
bersama-sama dalam canalis femoralis, di bawah femoral sheath. Arteri dapat teraba
dan pulsatil. Sehingga vena dapat dimasuki dengan menginsersikan sebuah jarum
medial dari arteri femoralis yang berpulsasi, inferior dari ligamentum inguinale.

4. Memilih Lokasi Insersi Jalur Sentra


Tabel 15.1 menunjukkan risiko komplikasi relatif yang bergantung
pada lokasi insersi kateter vena jugularis interna , subclavia, dan
femoralis.
Dengan demikian, saat memilih lokasi kanulasi, pertimbangkan hal-hal
berikut ini:
 Seberapa cepat dan seberapa penting cairan dan obat-obat
diinfuskan?
Kaliber kateter yang lebih kecil (22 dan 20 g) suboptimal untuk
resusitasi cairan yang cepat; sehingga cairan akan mengalir terlalu
lambat. Kaliber kateter yang lebih besar esensial jika diduga akan
terjadi perdarahan yang banyak seperti transplantasi hepar.
 Jenis cairan atau obat-obatan apa yang akan diberikan?
Jika vasopresorlah yang akan digunakan, dapat terjadi nekrosis jika
menginfiltrasi vena perifer. Sehingga, obat-obat inotropik dan
vasopresor biasanya membutuhkan akses vena sentral.
 Akankah pasien diambulasi?

38
Pada pasien ambulatori, seseorang tidak boleh mengkanulasi vena
femoralis.
 Akankah pasien membutuhkan hemodialisis?
Jika pasien akan membutuhkan hemodialisis, sangatlah bijak untuk
mengajukan konsul pembedahan vaskular tentang lokasi
penempatan kateter yang optimal. Tempatkan kateter yang
berdisposisi untuk terkena trombosis dan stenosis pembuluh darah
besar, yang mungkin akan diperlukan nantinya jika pasien akhirnya
memerlukan hemodialisis atau kateter permanen untuk kemoterapi
atau plasmaferesis.
i. Komplikasi kanulasi intravena
Komplikasi yang berkaitan dengan kanulasi intravena jarang
terjadi tetapi dapat meliputi hematoma, trombosis, flebitis, kebocoran atau
infiltrasi, cederan atau kontak saraf dengan stylet, dan infeksi pada kateter
yang terpasang lama. Nyeri saat injeksi dapat berasal dari salah
penempatan atau infiltrating kateter. Jika nyeri dirasakan, seseorang dapat
menyelesaikan masalah itu dengan menyemprotkan cairan infus dengan
syringe untuk menentukan seberapa baiknya uji bolus infus masuk tanpa
terjadi pembengkakan.
Tetapi nyeri IV bisa hanya karena cairan IV yang dingin atau
adanya zat tambahan (misalnya, kalium). Sebaliknya, penambahan
lidokain ke dalam cairan atau menginjeksikan lidokain di sekitar vena
dapat menghasilkan proses IV yang baik.
Seseorang sebaiknya memudahkan penggantian IV yang
menyebabkan gejala. Saat menangani infiltrasi atau inflamasi, tinggikan
ekstremitasnya, keluarkan kateternya, dan hangatkan lokasi insersi secara
pasif (letakkan selimut di atasnya dan biarkan dari tubuhnya sendiri).
Kadang digunakan bantalan yang panas atau buntelan yang hangat tetapi
kadang menjadi penyebab luka bakar yang serius pada pasien.
Pada penempatan jalur vena sentralis, risiko komplikasi lebih
besar. Oleh sebab itu tindakan ini tidak dilakukan pada semua pasien, yaitu

39
pada pasien dengan hipovolemia dengan kegagalan kanulasi intravena
perifer. Berikut ini tabel komplikasi kanulasi pada vena sentralis.
Tabel 15.1 Risiko Komplikasi yang Berkaitan Dengan Penempatan
Jalur Vena Jugularis Interna, Subclavia, dan Femoral

Komplikasi Risiko Komplikasi Lokasi Kateterisasi


Vena Subclavia Vena Jugularis Vena Femoralis
Interna
Pneumothoraks 1,5-3,2% <0,1-0,2% NA
Hemothoraks 0,4-0,6% NA NA
Infeksi (laju/1.000 4 8,6 15,3
kateter hari)
Trombosis (laju/1.000 0-13 1,2-3 8-34
kateter hari) 0,5% 3% 6,25%
Penusukan arteri Risiko rendah Risiko tinggi Risiko rendah
Malposisi
Diadaptasi dari McGee, Gould MK. Preventing complications of central venous
catheterization. N Enl J Med 2003; 348:1123-33

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Airway merupakan komponen terpenting dalam menjaga keadaan vital
pasien, sehingga dalam keadaaan gawat darurat komponen inilah yang
pertama kali dipertahankan. Definisi Airway Management adalah memastikan
jalan napas tetap terbuka . Airway management dapat dilakukan dengan tripel
airway manuver ataupun menggunakan alat seperti oropharyngeal airway,
nasopharyngeal airway, face mask, laryngeal airway mask atapun intubasi
endotrakeal.
Penyebab utama jalan napas pada pasien tidak sadar adalah hilangnya
tonus otot tenggorokan sehingga pangkal lidah jatuh menyumbat faring dan
epiglotis menutup laring. Bila pasien masih bernapas sumbatan partial
menyebabkan bunyi napas saat inspirasi bertambah (stridor), sianosis (tanda

40
lanjut) dan retraksi otot napas tambahan. Tanda ini akan hilang pada pasien
yang tidak bernapas. Keadaan ini sering terjadi, bila terjadi dapat dikoreksi
dengan beberapa cara : 1. Manuver tripel jalan nafas (triple airway manuver),
2. Pemasangan alat jalan nafas faring (pharyngeal airway), 3. Pemasangan alat
jalan nafas sungkup laring (laryngeal mask airway), dan 4. Pemasangan pipa
trakea (endotracheal tube). Tujuan dilakukannya pengelolaan jalan napas atau
intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial,
mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi.
Teknik kanulasi intravena dalam terapi cairan perlu dikuasai secara
komprehensif karena tindakan ini merupakan tindakan yang paling penting
dan sering dilakukan pada pasien baik pada pasien dengan kondisi tidak
terancam jiwanya hingga gawat darurat. Pemilihan alat dan bahan serta
prosedur yang akan dilakukan pada pasien sangat penting untuk dipahami.
Tindakan invasif ini meskipun banyak keuntungan namun memiliki risiko
komplikasi yang cukup berbahaya apabila tidak dilakukan dengan benar.
Indikasi utama penggunaan prosedur ini adalah perbaikan dan stabilitas
hemodinamik. Penggunaan prosedur jalur vena sentralis merupakan tindakan
sekunder yang tidak dilakukan pada semua pasien berdasarkan pada
kegawatan/indikasi pemasangan dan abilitas pemasangan kanulasi perifer.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th edition.
2006. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
2. Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. Anesthesiology. 2008.
USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. p 685-717.
3. Miller DR.2010. Anasthesia.United States of America: Library of Congress
Cataloging-in-Publication Data
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
kedua. 2001. Jakarta: FKUI.
5. Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. Airway Management. Dalam:
Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 6ed. New York: McGraw-Hill;
2018.
6. Lafferty K, Dillinger R. Rapid Sequence Intubation. Medscape. 2018.
Diakses dari: https://emedicine.medscape.com/article/80222

42
7. Orebaugh S, Snyder J. Direct laryngoscopy and endotracheal intubation in
adults. UpToDate. 2017. Diakses dariL
https://www.uptodate.com/contents/direct-laryngoscopy-and-endotracheal-
intubation-in-adults.
8. Brown C. Approach to the difficult airway in adults outside the operating
room. UpToDate. 2016. Diakses dari:
https://www.uptodate.com/contents/approach-to-the-difficult-airway-in-
adults-outside-the-operating-room.
9. Frerk C, Mitchell VS, McNarry AF, Mendonca C, Bhagrath R, Patel A, et al.
Difficult Airway Society 2015 guidelines for management of unanticipated
difficult intubation in adults. Br J Anaesth. 2015;115:827–48
10. Allen P, Lawrence VN. Intubation, Tracheal Medications. StatPearls
Publishing 2018. Diakses dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507812/
11. Ghatehorde NK, Regunath H. Intubation, Endotracheal Tube, Medications.
StatPearls Publishing. 2018. Diakses dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459276/
12. Joshua G, Christian B, Barton E. Nasal Cannula Apneic Oxygenation
Prevents Desaturation During Endotracheal Intubation: An Integrative
Literature Review. West J Emerg Med. 2018;19(2)403–411.
13. Stewart JC, Bhananker S, Ramaiah R. Rapid-sequence intubation and cricoid
pressure. Int J Crit Illn Inj Sci. 2014;4(1):42-9.
14. Silva O, Cabrera D, Barrionuevo P, Johnson RL, Erwin PJ, Murad MH, et al.
Effectiveness of Apneic Oxygenation During Intubation: A Systematic
Review and Meta-Analysis. Ann Emerg Med. 2017;70:483-494.
15. Hyzy R. Complications of the endotracheal tube following initial placement:
Prevention and management in adult intensive care unit patients. UpToDate.
2018. Diakses dari: https://www.uptodate.com/contents/complications-of-the-
endotracheal-tube-following-initial-placement-prevention-and-management-
in-adult-intensive-care-unit-patients.

43
16. Edomwonyi N, Ekwere I, Omo E, Rupasinghe A. Postoperative Throat
Complications after Tracheal Intubation. Ann Afr Med. 2006;5:28–32.
17. Alexander, M., Corrigan, A., Gorski, L., Hanskin, J., Perruca R., 2010.
Infussion Nursing Society, Infussion Nursing : An evidence-based approach.
Third edition St. Louis : Dauders Elsevier.
18. Boros, M., 2006. Surgical Techniques, Textbook for Medical Students.
Szeged : Medicina.
19. Nurbearn, T., Daniels, R., 2010. ABC of Practical Procedures. UK : Willey-
Blackwell.
20. Rhoads, J., Meeker, B., J., 2008. Davis’s Guide to Clinical Nursing Skills.
Philadelphia : F.A. Davis Company.
21. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran.
Jakarta : EGC.

44

Anda mungkin juga menyukai