Anda di halaman 1dari 47

0

RESPONSI

LAPORAN KASUS

PASIEN PEREMPUAN 76 TAHUN DENGAN OMI ANTEROSEPTAL

Oleh:

Dewantari Saputri G99141047


Fitroh Annisah G99141048
Puji Rahmawati G99141049
Ilma Anisa G99141051
Aprilisasi Purnama S. G99151018
Ery Radiyanti G99151021
Naila Shofwati P. G99151022

Pembimbing:
dr. Niniek Purwaningtyas, SpJP(K), FIHA

KSM KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR


FK UNS / RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
2015
1

BAB I
PENDAHULUAN

Jantung merupakan organ yang sangat penting dalam tubuh manusia.


Jantung memiliki dua atrium, yaitu atrium kanan dan atrium kiri, yang membentuk
ruang atas jantung, dan dua ventrikel, yaitu ventrikel kiri dan ventrikel kanan, yang
membentuk ruang yang lebih rendah pada jantung. Salah satu fungsi jantung adalah
untuk memompakan darah baik ke paru maupun ke seluruh tubuh. Bagian jantung
yang berfungsi untuk memompakan darah ke paru-paru adalah ventrikel kanan,
sedangkan bagian jantung yang berfungsi untuk memompakan darah ke seluruh
tubuh adalah ventrikel kiri.
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Definisi
gagal yaitu relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh, penekanan arti gagal
ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium
ditujukan spesifik pada fungsi miokardium, gagal miokardium umumnya
mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat
menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam
fungsi pompanya.
Kompensasi terhadap gagal jantung kongestif tersebut merupakan alasan
kedatangan penderita ke rumah sakit. Berdasarkan data Medicare di Amerika
Serikat dan data Scottish di Eropa, gagal jantung merupakan penyebab rawat inap
yang paling banyak di rumah sakit. Data lain menyebutkan bahwa sekitar 5 juta
warga Amerika mengalami gagal jantung, dan terjadi penambahan 550.000
penderita gagal jantung setiap tahunnya. Selain insidensi yang tinggi, angka
kematian pada gagal jantung kongestif juga tidak sedikit. Salah satunya, gagal
jantung kongestif dapat menyebabkan edema paru yang memiliki angka kematian
12% di rumah sakit. Data lain menunjukkan bahwa angka kematian akibat gagal
jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun dan sekitar setengah dari penderita gagal
jantung mengalami kematian dalam waktu 5 tahun setelah didiagnosis.
Angka kejadian CHF semakin meningkat dari tahun ke tahun, tercatat 1,5%
sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita CHF dan 700.000

1
2

diantaranya harus dirawat di rumah sakit per tahun. Faktor risiko terjadinya gagal
jantung yang paling sering adalah usia lanjut, 75 % pasien yang dirawat dengan
CHF berusia antara 65 dan 75 tahun. Terdapat 2 juta kunjungan pasien rawat jalan
per tahun yang menderita CHF, biaya yang dikeluarkan diperkirakan 10 miliar
dollar per tahun. Faktor risiko terpenting untuk CHF adalah penyakit arteri koroner
dengan penyakit jantung iskemik. Hipertensi adalah faktor risiko terpenting kedua
untuk CHF. Faktor risiko lain terdiri dari kardiomiopati, aritmia, gagal ginjal, dan
penyakit katup jantung.
Tingginya insidensi dan angka kematian pada gagal jantung kongestif sesuai
dengan data tersebut menunjukkan bahwa kasus gagal jantung kongestif
memerlukan perhatian lebih di kalangan masyarakat. Untuk itu diperlukan
pemahaman lebih lanjut mengenai gagal jantung kongestif ini. Itulah sebabnya,
kasus ini perlu diangkat untuk dipelajari.

Tujuan :
1. Mengetahui definisi dari gagal jantung
2. Mengeetahui Etiologi gagal jantung
3. Mengetahui Patogenesis gagal jantung
4. Mengetahu manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang
5. Mengetahui Kriteria gagal jantung
6. Mengetahui terapi non farmakologi dan farmakologi dari gagal jantung
7. Mengetahu prognosis gagal jantung
3

BAB II
STATUS PENDERITA

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama Pasien : Ny. D
Usia : 76 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Alamat : Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah
Tanggal Masuk : 08-11-2015
No. RM : 00950990

B. Keluhan Utama
Sesak napas

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak napas. Sesak napas
dirasakan sejak 1 hari SMRS. Sesak napas dirasakan terus menerus, tidak
disertai dengan bunyi ngik-ngik, dan semakin memberat dengan
aktivitas. Sesak napas dirasakan tidak berkurang dengan istirahat, namun
pasien mengaku lebih nyaman dengan posisi duduk. Pasien tidak
mengeluh adanya terbangun pada malam hari karena sesak.
Pasien juga mengeluh batuk sejak 3 hari SMRS. Batuk disertai
dengan dahak berwarna putih, tanpa darah. Pasien tidak mengeluhkan
demam, keringat dingin, mual, muntah, nyeri dada, maupun berdebar-
debar. Tidak ada keluhan BAB dan BAK.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi : disangkal

3
4

Riwayat Diabetes Melitus : disangkal


Riwayat Penyakit Jantung : (+) terkontrol dengan terapi digoxin
1 x 0,25 mg, furosemid 1 x 40 mg,
candesartan 1 x 8 mg, CPG 1 x 75
mg.

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi


Riwayat Merokok : disangkal
Riwayat Minum alkohol : disangkal
Riwayat Olahraga : pasien jarang olahraga
Pasien makan teratur 2 kali sehari dengan sayur dan lauk pauk.

G. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang geriatri yang tinggal bersama anak dan cucunya.
Pasien dirawat menggunakan fasilitas pembayaran BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
Tampak sesak, kesadaran composmentis E4V5M6
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80x/ menit
Heart Rate : 80x/ menit
Respirasi : 28x/ menit
SiO2 : 99% dengan O2 3 lpm nk
C. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
5

D. Leher
JVP tidak meningkat
E. Thoraks
Simetris (+), retraksi (-)
1. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (+) PSM III/6 di apex hingga axilla
2. Paru
Suara dasar vesikuler (+/+), Ronkhi basah halus (+/+) 1/3 basal,
Ronkhi basah kasar (-/-).
F. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
G. Ekstremitas

Oedem _ _ Akral dingin Sianosis

III.PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium
Pemeriksaan tanggal 8 November 2015
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Hematologi Rutin Hasil Rujukan
Hemoglobin 8.4 g/dl 11.6 – 16.1
Hematokrit 26 % 33 – 45
Leukosit 4.7 ribu/ul 4.5 – 11
Trombosit 223 ribu/ul 150 – 450
6

Eritrosit 2.72 juta/ul 4.50 – 5.10


Golongan darah AB
Kimia Klinik
GDS 88 mg/dl 60 -140
SGOT 25 u/l <31
SGPT 9 u/l <34
Albumin 4 g/dl 3.2 – 4.6
Kreatinine 2.2 mg/dl 0.6-1.2
Ureum 85 mg/dl <50
Elektrolit
Natrium darah 126 mmol/L 132 – 146
Kalium darah 3.4 mmol/L 3.7 – 5.4
Chlorida darah 91 mmol/L 98 – 106
Analisa Gas Darah
Ph 7.450 7.310 – 7.420
BE -3.3 mmol/L -2 - +3
PCO2 30 mmHg 27.0 – 41.0
PO2 135.0 mmHg 70 – 100
Hematokrit 25 % 37 – 50
HCO3 20.1 mmol/L 21.0 – 28.0
Total CO2 21.0 mmol/L 19.0 – 2.4
O2 saturasi 99 % 94.0 – 98.0
Laktat
Arteri 1.84 mmol/L 0.36 – 0.75
Serologi
HbsAg nonreactive
7

B. Elektrokardiografi

Tanggal 8 November 2015

Kesimpulan : Sinus Rhytm, HR 80 kali per menit, normoaxis, Q patologis


V1 – V3, LVH sokolow-lyon.
8

C. Pemeriksaan foto rontgen thorax

Kesimpulan: Cardiomegaly dengan aortoskeloris, oedem pulmonum

IV.RESUME
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari SMRS.
Sesak napas dirasakan terus menerus, semakin memberat dengan aktivitas.
Sesak napas dirasakan tidak berkurang dengan istirahat, namun pasien
mengaku lebih nyaman dengan posisi duduk. Terbangun di malam hari
karena sesak disangkal. Pasien juga mengeluh batuk sejak 3 hari SMRS.
Batuk disertai dengan dahak berwarna putih, tanpa darah. Tidak ada keluhan
demam, keringat dingin, mual, muntah, nyeri dada, maupun berdebar-debar.
BAB dan BAK tidak ada kelainan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sesak, kesadaran
compos mentis, tekanan darah: 130/80 mmHg, nadi: 80 x/ menit, heart rate:
80 x/menit, frekuensi respirasi: 28 x/menit, SiO2 : 99% dengan O2 3lpm
NK. Pada pemeriksaan jantung didapatkan batas jantung kesan melebar,
terdengar bising jantung PSM III/6 di apex hingga axilla. Pada pemeriksaan
paru, terdengar ronki basah halus (+/+) di 1/3 basal.
9

V. ASSESSMENT

A(x) : OMI anteroseptal


F(x) : CHF NYHA IV
E(x) : Penyakit Jantung Koroner
P : anemia (8.4)
Intoleransi aspilet
Azotemia (ur 85, cr 2.2)
Hipokalemia (3.4)

VI. PENATALAKSANAAN IGD


1. O2 3 lpm nk
2. Injeksi Furosemid 40 mg iv

VII. PLAN TERAPI


1. Mondok bangsal Aster V
2. Bedrest tidak total, setengah duduk
3. O2 3 lpm
4. DJ III 1700 kkal
5. Infus RL 10 tpm
6. Injeksi furosemid 20 mg/8 jam
7. Clopidogrel 1 x 75 mg
8. Simvastatin 20 mg 0 – 0 – 1
9. Candesartan 1 x 8 mg Jika K < 4.5, Cr < 3.5
10. Spironolakton 1 x 25 mg
11. ISDN 3 x 5mg

VIII.PLANNING
1. Cek lab melengkapi
2. Cek EKG pagi besok
3. Echocardiography
4. Konsul interna
10

IX. PROGNOSIS
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad sanam : dubia ad malam
 Ad fungsionam : dubia ad malam

X. FOLLOW UP

Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan/Diagnosis Penatalaksanaan


8/11/15 Nyeri dada (-) Px Fisik Terapi
DPH I sesak nafas (-) Cor : 1. Bedrest total
Aster 5 berdebar (-) I : IC tidak tampak 2. O2 3 lpm NK
P : IC tidak kuat angkat
3. DJ III 1700 kkal
TD : 140/60 mmHg P : Batas jantung kesan
HR : 76x/menit melebar 4. Infus RL 10 tpm
RR : 20x/menit A : BJ I-II (N) regular, 5. Injeksi Furosemide 20
Nadi: 76x/menit bising (+) sistolik grade
mg/12jam
5/6 di apeks (axilla)
6. Clopidogrel 1 x 75 mg
Pulmo: SDV (+/+), 7. Simvastatin 1 x 20 mg
RBH (+/+) minimal
8. Candesartan 1 x 8 mg

Dx : 9. Spironolakton 1 x 25 mg jika
A(x) : OMI Cr ≤ 3,5; K ≤ 4,5
anteroseptal 10.ISDN 3 x 5 mg jika TDS ≥
F(x) : FC NYHA IV 160 mmHg
E(x) : Penyakit
Jantung Koroner Plan
1. EKG / pagi
P :
1. Dispepsia 2. Cek lab melengkapi
2. Intoleransi (Profil lipid, asam urat)
Aspillet 3. Echocardiography (lihat
3. Azotemia (Cr
2,2; Ur 85) echo lama)
4. Anemia (Hb 8,4) 4. Konsul Interna
11

EKG tanggal 8/11/15

Kesimpulan:
Sinus rhytm, HR 75 bpm, normoaxis, Q patologis V1 – V3, LVH, LV strain
12

Lab tanggal 9/11/15

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN


KIMIA KLINIK
Gula Darah Puasa 54 mg/dl 70 – 110
Glukosa 2 Jam PP 80 mg/dl 80 – 140
Asam Urat 12.0 mg/dl 2.4 – 6.1
Kolesterol Total 129 mg/dl 50 – 200
Kolesterol LDL 80 mg/dl 96 – 206
Kolesterol HDL 40 mg/dl 33 – 92
CKMB 84 mg/dl < 150

Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan/Diagnosis Penatalaksanaan


9/11/15 Nyeri dada (-), Px Fisik Terapi
DPH II sesak nafas (-), Cor : 1. Bedrest tidak total posisi ½
Aster 5 berdebar (-) I : IC tidak tampak duduk
P : IC tidak kuat angkat
2. O2 3 lpm NK
TD :130/80mmHg P : Batas jantung kesan
HR : 80x/menit melebar 3. DJ II 1700 kkal
RR : 20x/menit A: BJ I-II (N) regular, 4. Infus RL 10 tpm
Nadi: 80 x/menit bising (+) sistolik grade
5. Injeksi Furosemide 20
5/6 di apeks (axilla)
mg/8jam
Pulmo: SDV (+/+), 6. Clopidogrel 1 x 75 mg
RBH (+/+) di 1/3 basal
7. Simvastatin 1 x 20 mg
lapang paru
8. Candesartan 1 x 8 mg
Dx : 9. Spironolakton 1 x 25 mg
A(x) : OMI jika Cr ≤ 3,5; K ≤ 4,5
anteroseptal 10. ISDN 3 x 5 mg jika TDS ≥
F(x) : FC NYHA IV 100 mmHg
E(x) : Penyakit
Jantung Koroner
P : Plan
1. Dispepsia 1. EKG / pagi
2. Intoleransi 2. Cek lab melengkapi
Aspillet
13

3. Azotemia (Cr 3. Echocardiography (lihat


2,2; Ur 85) echo lama)
4. Anemia (Hb 8,4)
4. Konsul Interna
14

EKG Tanggal 9/11/15

Kesimpulan:

Sinus rhytm, HR 66 bpm, normoaxis, Q patologis V1 – V3


15

Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan/Diagnosis Penatalaksanaan


10/11/15 Nyeri dada (-), Px Fisik Terapi
DPH III sesak nafas (-), Cor : 1. Bedrest total posisi ½
ICVCU berdebar (-) I : IC tidak tampak duduk
P : IC tidak kuat angkat
2. O2 3 lpm NK
TD :150/60mmHg P : Batas jantung kesan
HR : 72x/menit melebar 3. Diet jantung + ginjal 1700
RR : 20x/menit A: BJ I-II (N) regular, kkal
Nadi: 72 x/menit bising (+) sistolik grade
4. Infus NaCl 0,9% 16 tpm
5/6 di apeks (axilla)
5. Injeksi Furosemide 20
Pulmo: SDV (+/+), mg/8jam
RBH (-/-)
6. Clopidogrel 1 x 75 mg

Dx : 7. Simvastatin 1 x 20 mg
A(x) : OMI 8. Candesartan 1 x 8 mg
anteroseptal 9. Spironolakton 1 x 25 mg
F(x) : FC NYHA IV jika Cr ≤ 3,5; K ≤ 4,5
E(x) : Penyakit 10. ISDN 3 x 5 mg jika TDS ≥
Jantung Koroner 100 mmHg
P : 11. Infus EAS primer 1 fl/12
1. Dispepsia jam (TS Interna)
2. Anemia
hipokromik 12. KSR 3 x 1 tab (TS Interna)
mikrositik
3. Azotemia et Plan
causa AKI dd -
Acute on CKD
4. Hiponatremia
sedang
5. Hipokalemia
ringan
6. Hiperurisemia
(AU 12,0)
16

Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan/Diagnosis Penatalaksanaan


11/11/15 Nyeri dada (-) Px Fisik Terapi
DPH IV sesak nafas (-) Cor : 1. Mobilisasi duduk
Aster 5 berdebar (-) I : IC tidak tampak 2. O2 3 lpm NK
P : IC tidak kuat angkat
3. Diet jantung + ginjal 1700
TD : 150/80 mmHg P : Batas jantung kesan
HR : 92 x/menit melebar kkal
RR : 20x/menit A: BJ I-II (N) regular, 4. Infus NaCl 0,9% 16 tpm
Nadi : 92 x/menit bising (+) sistolik grade
5. Injeksi Furosemide 20
BC : 5/6 di apeks (axilla)
1277 – 1200 = +77 mg/24 jam
ml Pulmo: SDV (+/+), 6. Clopidogrel 1 x 75 mg
RBH (-/-)
7. Simvastatin 1 x 20 mg

Dx : 8. Candesartan 1 x 16 mg
A(x) : OMI 9. Spironolakton 1 x 25 mg
anteroseptal jika Cr ≤ 3,5; K ≤ 4,5
F(x) : FC NYHA IV 10. ISDN 3 x 5 mg jika TDS ≥
E(x) : Penyakit 100 mmHg
Jantung Koroner 11. Infus EAS primer 1 fl/12
P : jam (TS Interna)
1. Dispepsia 12. KSR 3 x 1 tab (TS Interna)
2. Anemia
hipokromik
mikrositik Plan
3. Azotemia et 1. Aff DC
causa AKI dd 2. Cek DR3, Ur/Cr,
Acute on CKD elektrolit
4. Hipokalemia
ringan
5. Hiperurisemia
(AU 12,0)

Lab tanggal 11/11/2015

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN


HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.8 g/dl 11.6 – 16.1
17

Hematokrit 35 % 33 – 45
Leukosit 9.0 ribu/ul 4.5 – 11.0
Trombosit 128 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 4.28 juta/ul 4.10 – 5.10
KIMIA KLINIK
Creatinine 1.8 mg/dl 0.6 – 1.2
Ureum 68 mg/dl < 50
ELEKTROLIT
Natrium darah 128 mmol/L 132 – 146
Kalium darah 3.6 mmol/L 3.7 – 5.4
Chlorida darah 98 mmol/L 98 – 106

Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan/Diagnosis Penatalaksanaan


12/11/15 Nyeri dada (-) Px Fisik Terapi
DPH V sesak nafas (-) Cor : 1. Mobilisasi duduk
Aster 5 berdebar (-) I : IC tidak tampak 2. O2 3 lpm NK
P: IC tidak kuat angkat
3. Diet jantung + ginjal 1700
TD : 160/70 mmHg P: Batas jantung kesan
HR : 72 x/menit melebar kkal
RR : 20x/menit A: BJ I-II (N) regular, 4. Infus NaCl 0,9% 16 tpm +
Nadi : 72 x/menit bising (+) sistolik grade
KCl 25 mg
BC : 5/6 di apeks (axilla)
1500-1500= 0 5. Furosemide 1 x 40 mg
Pulmo: SDV (+/+), 6. Clopidogrel 1 x 75 mg
RBH (-/-)
7. Simvastatin 1 x 20 mg

Dx : 8. Candesartan 1 x 16 mg
A(x) : OMI 9. Spironolakton 1 x 25 mg
anteroseptal jika Cr ≤ 3,5; K ≤ 4,5
F(x) : FC NYHA IV 10. ISDN 3 x 5 mg jika TDS ≥
E(x) : Penyakit 100 mmHg
Jantung Koroner 11. Infus Kidmin 1 fl/12 jam
P : (TS Interna)
1. Dispepsia 12. KSR 3 x 1 tab (TS Interna)
18

2. Anemia
hipokromik Plan
mikrositik 1. Cek elektrolit post
teratasi (Hb koreksi
11,8) 2. BLPL
3. Azotemia et
causa AKI dd
Acute on CKD
4. Hiponatremia
ringan (Na 128)
5. Hiperurisemia
(AU 12,0)
6. Hipokalemia (K
3,6)
19

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh atau
kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang
tinggi atau kedua-duanya.
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien
harus memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal
saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi
cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari
gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat.

Gambar 1. Tanda dan Gejala Gagal Jantung

B. Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
penting untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di negara maju penyakit arteri
koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan di negara
berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit katup jantung dan
penyakit jantung akibat malnutrisi. Secara garis besar penyebab terbanyak gagal
jantung adalah penyakit jantung koroner (60-75%), dengan penyebab penyakit

19
20

jantung hipertensi (75%), penyakit katup (10%) serta kardiomiopati dan sebab lain
(10%).
Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan serta
tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai faktor
risiko independen perkembangan gagal jantung. Penyakit jantung koroner
merupakan penyebab utama untuk terjadinya gagal jantung. Perubahan gaya hidup
dengan konsumsi makanan yang mengandung lemak, dan beberapa faktor yang
mempengaruhi, sehingga angka kejadiannya semakin meningkat.
Hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada
beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan
dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik, meningkatkan risiko
terjadinya infark miokard dan memudahkan untuk terjadinya aritmia.
Echocardiography yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat
dengan perkembangan gagal jantung. Adanya krisis hipertensi dapat menyebabkan
timbulnya gagal jantung akut.
Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab utama
terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regurgitasi
mitral dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan beban awal)
sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan beban akhir).
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal
jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang
berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung
alkohol). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus. Alkohol juga dapat
menyebabkan malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-obatan juga dapat
menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doksorubisin dan obat
antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek
toksik langsung terhadap otot jantung.
21

C. Patogenesis
Pada gagal jantung terjadi suatu kelainan multisistem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis
serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi
gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac
output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal,
sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin dan
natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga
aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi
dan nekrosis miokard fokal.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan
noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang
pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.

D. Manifestasi Klinis
Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik, yang hingga kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi gagal
jantung. Prinsip dan teknik pemeriksaan yang benar harus dikuasai, sehingga
riwayat gagal jantung yang objektif dapat digali secara detail.
Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas,
dan lelah. Keluhan lelah diakibatkan oleh rendahnya cardiac output pada gagal
jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan komorbiditas non-cardiac lainnya
seperti anemia dapat pula memberikan kontribusi. Gagal jantung pada tahap awal,
22

sesak nafas hanya dialami saat pasien beraktivitas berat, seiring dengan semakin
beratnya gagal jantung, sesak nafas terjadi pada aktivitas yang semakin ringan dan
akhirnya dialami pada saat istirahat. Penyebab dari sesak nafas ini kemungkinan
besar multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah kongesti paru, yang
diakibatkan oleh akumulasi cairan pada jaringan intertisial atau intraalveolar
alveolus. Hal tersebut mengakibatkan teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang
menstimulasi pernafasan pendek dan dangkal yang menjadi karakteristik cardiac
dypnea. Faktor lain yang dapat memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara
lain adalah kompliance paru, meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot
respiratoir dan diagfragma, serta anemia. Keluhan sesak nafas bisa jadi semakin
berkurang dengan mulai timbulnya gagal jantung kanan dan regurgitasi trikuspid.
Ortopneu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur
mendatar, dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung
dibandingkan sesak saat aktivitas. Gejala ortopneu biasanya menjadi lebih ringan
dengan duduk atau dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopneu diakibatkan
oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam
sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan
kapiler paru. Batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses ini, dan
seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau ortopneu merupakan
gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula dialami pada
pasien paru dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien paru dengan
mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur.
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan
batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari
tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND
antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya tekanan
pada arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas disertai edema
pada intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan nafas.
Keluhan ortopneu dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat tidur
dengan kaki menggantung, sedangkan pada pasien dengan keluhan PND keluhan
batuk dan mengi yang menyertai seringkali tidak menghilang walau sudah
mengambil posisi tersebut. Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung.
23

Cardiac asthma (asma cardiale) berhubungan erat dengan timbulnya PND, ditandai
dengan timbulnya wheezing sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus
dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner wheezing lainnya.
Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam mengevaluasi
pasien dengan gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu
menentukan apa penyebab gagal jantung dan juga untuk mengevaluasi beratnya
sindroma gagal jantung. Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak
tidak memiliki keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama
lebih dari beberapa menit. Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih berat,
pasien bisa memiliki upaya nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk
menyelesaikan kata-kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa normal atau
tinggi, tapi pada umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV
yang sangat menurun. Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya
stroke volume dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat
vasokontriksi sistemik. Sinus takikardi adalah gejala non spesifik yang diakibatkan
oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi perifer mengakibatkan
ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir dan ujung jari juga
diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan.
Pemeriksaan jantung seringkali tidak dapat memberikan informasi yang
berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali, ictus cordis
biasanya tergeser kebawah intercostal space (ICS) ke V dan ke lateral linea
midclavicularis. Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi
prekodial (ictus) teraba lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial
ini tidak cukup untuk mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa
pasien, bunyi jantung ketiga dapat didengar dan teraba pada apeks.
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami
hipertrofi dapat memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada
parasternal kiri (right ventricular heave). Bunyi jantung ketiga (gallop) umum
ditemukan pada pasien dengan volume overload yang mengalami takikardi dan
takipneu, dan seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat. Bunyi
jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi biasanya ada pada
24

pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid


umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut.

Gambar 2. Gejala Klinis Gagal Jantung


E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara
lain adalah darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na dan K), ureum kreatinine,
SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan
gagal jantung karena untuk mendeteksi anemia, mendeteksi gangguan elektrolit
(hipokalemia dan/atau hiponatremia), menilai fungsi ginjal dan hati, dan mengukur
brain natriuretic peptide (beratnya gangguan hemodinamik).
Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran
hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara pasien dengan gagal
jantung kronik tidak memilikinya.
Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap pasien
yang dicurigai gagal jantung. Temuan EKG yang normal hampir selalu
menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Temuan seperti gelombang Q patologis,
hipertrofi ventrikel kiri dengan strain, right bundle branch block (RBBB), left
25

bundle branch block (LBBB), AV blok, atau perubahan pada gelombang T dapat
ditemukan. Gangguan irama jantung seperti takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan
fibrilasi atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole ventrikular (VES) dapat sering terjadi
dan tidak selalu menggambarkan prognosis yang buruk, sementara takikardi
ventrikular sustained dan nonsustained dapat dianggap sebagai sesuatu yang
membahayakan. Jenis aritmia seperti ini biasanya tidak terdeteksi pada resting ECG
tapi dapat terdeteksi pada monitoring holter 24- atau 48- jam.
Pemeriksaan echocardiography saat ini telah menjadi metode diagnostik
umum digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium dan
perikadium, dan mengevaluasi gerakan regional dinding jantung saat istirahat dan
saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung. Pada penilaian gagal jantung
echocardiography adalah metode diagnostik yang dapat dipercaya, dapat diulang,
dan aman dengan banyak fitur seperti doppler echo, doppler tissue imaging, strain
rate imaging, dan cardiac motion analysis. Fitur yang paling penting pada evaluasi
gagal jantung adalah penilaian Left-ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya
remodelling ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik.

F. Kriteria Gagal Jantung


Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan
secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau
satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jika
kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti
hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik.
Kriteria mayor dan minor dari Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung

Kriteria Mayor
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
26

Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon
pengobatan gagal jantung
Kriteria Minor
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit

Kemampuan fungsional penderita dengan gagal jantung didapat melalui


anamnesa yang cermat, atau jika memungkinkan melalui test saat aktivitas. Analisis
udara ekspirasi saat beraktivitas adalah pemeriksaan gold-standard untuk
mengukur keterbatasan fisik seseorang. Test ini tidak umum dilakukan diluar center
transplantasi jantung. Untuk mempermudah hal klasifikasi fungsional, NYHA
mengklasifikasikan gagal jantung menjadi 4 kelas fungsional yang dapat ditentukan
melalui anamnesa. Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut NYHA tidak dapat
dicampur-adukkan dengan stadium gagal jantung menurut ACC/AHA. Klasifikasi
NYHA didasarkan pada limitasi fungsional, sementara stadium gagal jantung
menurut ACC/AHA didasarkan pada progresi gagal jantung, terlepas dari status
fungsionalnya.
27

Gambar 3. Klasifikasi Gagal Jantung

G. Uji Diagnosis Gagal Jantung


Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi rendah. Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi normal. Echocardiography merupakan metode yang paling
berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik.
28

Gambar 4. Skema Diagnostik

H. Penatalaksanaan
Tujuan dalam mendiagnosa gagal jantung dan memberi terapi dini tidak
berbeda dengan kondisi kronis lainnya, yaitu menurunkan mortalitas dan
morbiditas. Tujuan pengobatan gagal jantung antara lain :
- Menurunkan mortalitas
- Mempertahankan / meningkatkan kualitas hidup
- Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresivitas kerusakan
miokard, remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan
akumulasi cairan, dan perawatan di rumah sakit.

1. Terapi non farmakologis


Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan
gagal jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-
keluhan pasien, kapasitas fungsional, morbiditas dan prognosis. Perawatan
29

mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk


mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa
merawat dirinya pasien perlu diberi pelatihan baik oleh dokter atau perawat
terlatih.

Tabel 2. Topik Keterampilan Merawat Diri

Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri


Definisi dan etiologi Memahami penyebab gagal jantung dan mengana
gagal jantung keluhan-keluhan timbul
Gejala-gejala dan Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung
tanda-tanda gagal Mencatat berat badan setiap hari
jantung Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan
Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai
anjuran
Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat
digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat
Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darah
Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur
Kepatuhan Mengikuti anjuran pengobatan
Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan
membuat keputusan realistik

2. Terapi Farmakologis
Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis secara garis besar
bertujuan mengatasi permasalahan preload dengan menurunkan preload,
meningkatkan kontraktilitas juga menurunkan afterload. Pemilihan terapi
farmakologis ini tergantung pada penyebabnya. Selama bertahun-tahun obat
golongan diuretik dan digoksin digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-
obat ini mengatasi gejala dan meningkatkan kualitas hidup, namun belum
terbukti menurunkan angka mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat
mempengaruhi sistem neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik,
barulah morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung membaik.
30

a) Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI)

Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran
terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien
dengan gagal jantung yang simtomatik dan LVEF < 40%. Terapi dengan
ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, menurunkan
angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan
angka keselamatan. Pada pasien yang menjalani perawatan terapi dengan
ACEI harus dimulai sebelum pasien pulang rawat (Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti A).
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :

- LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala


- Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :

- Riwayat adanya angioedema


- Stenosis bilateral arteri renalis
- Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
- Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
- Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI :

- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum


- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi
meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang
dimonitoring ketat
31

Gambar 5. Dosis Awal dan Target Dosis Obat Gagal Jantung

b) Angiotensin receptor blocker (ARB)

Pada pasien dengan tanpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE,
ARB direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40%
yang tetap simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI
dan BB, kecuali telah mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB
memperbaiki fungsi ventrikel dan kejahteraan pasien dan mengurangi
hospitalisasi untuk perburukan gagal jantung (Kelas Rekomendasi I, Tingkat
Bukti A).
Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab
kardiovaskular (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B). ARB
direkomendasikan sebagai alternatif pada pasein yang intoleran terhadap
ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB mengurangi risiko kematian
akibat kardiovaskular atau perlunya perawatan akibat perburukan gagal
jantung. Pada pasien yang dirawat, terapi dengan ARB harus dimulai sebelum
pasien dipulangkan (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B)
Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan
pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan gagal
32

jantung. Angiotensin Reseptor Blocker direkomendasikan sebagai pilihan lain


pada pasien yang tidak toleran terhadap ACEI.
Pasien yang harus mendapatkan ARB :

- Left ventrikular ejection fraction (LVEF) < 40%


- Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
- Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA)
walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete
bloker

Memulai pemberian ARB:

- Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum


- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia

c) Beta Blocker
Alasan penggunaan beta bloker (BB) pada pasien gagal jantung adalah
adanya gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat
memperburuk kondisi gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak
ditoleransi, BB harus diberikan pada pasien gagal jantung yang simtomatik
dan dengan LVEF < 40%. BB meningkatkan fungsi ventrikel dan
kesejahteraan pasien, mengurangi kejadian rawat akibat perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan keselamatan. Jika memungkinkan pada pasien
yang menjalani perawatan, terapi BB harus dimulai secara hati-hati sebelum
pasien dipulangkan (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
- Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik
sehingga memperbaiki perfusi miokard
- Meningkatkan LVEF
- Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal
Pasien yang harus mendapat BB :
- LVEF < 40%
33

- Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV),


pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark
miokard
- Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis
jika diindikasikan)
- Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis
diuresis). Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk
diberikan pada pasien yang baru saja masuk rawat karena GJA, selama
pasien telah membaik dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat
inotropik intravenous, dan dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya
24 jam setelah dimulainya terapi BB
Kontraindikasi :
- Asthma (COPD bukan kontranindikasi)
- AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan
pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm)

Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :


- Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg,
metoprolol CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan
supervisi jika diberikan dalam setting rawat jalan
- Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai
sebelum pasien dipulangkan dengan hati-hati

d) Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang
disertai tanda dan gejala kongesti (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan mengurangi tanda
dan gejala kongesi vena sistemik dan pulmoner pada pasien dengan gagal
jantung. Diuretik mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron (RAAS) dan biasanya digunakan bersamaan dengan ACEI atau
ARB. Dosis diuretik harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien dan
membutuhkan monitoring klinis yang cermat. Secara umum loop diuretik
dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat. Thiazid dapat pula digunakan
34

dengan loop diuretik untuk edema yang resisten, namun harus diperhatikan
secara cermat kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia, atau
hipokalemia. Selama terapi diuretik, sangat penting level kalium, natrium,
dan kreatinine dipanantau secara berkala.
Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :

- Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan


risiko hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan
bersamaan
- Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron
digunakan bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya
tidak dibutuhkan
- Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium
termasuk antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan
ACEI/ARB. Penggunaan diuretik antagonis non-aldosteron harus
dihindari. Kombinasi dari antagonis aldosteron dan ACEI/ARB hanya
boleh diberikan pada supervisi yang cermat

Penggunaan diuretik pada gagal jantung :

- Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit


- Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid
karena efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan
natriuresis
- Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat
perbaikan klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung
- Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal
telah tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan
untuk mencapai hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah
mungkin
- Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat
badan harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus
selalu disokong pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk mencapai
hal ini diperlukan edukasi pasien
35

Gambar 6. Obat Diuretik pada Gagal Jantung


Keterangan:
*Dosis harus disesuaikan dengan volume status / berat badan pasien,
dengan pertimbangan dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan
fungsi ginjal dan ototoksisitas
** Jangan menggunakan thiazid jika eGFR < 30mL/menit, kecuali
diresepkan dengan loop diuretic

e) Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika
ditambahkan pada terapi yang sudah ada, termasuk dengan ACEI.
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
- LVEF < 35%
- Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
- Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Memulai pemberian spironolakton :

- Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum


- Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan
meningkatkan dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
36

f) Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)

Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hydralizine-
ISDN dapat digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh
ACEI dan ARB. Penambahan kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan
pada pasien dengan gejala yang persisten walau sudah diterapi dengan ACEI,
BB, dan ARB atau Aldosteron Antagonis. Terapi dengan H-ISDN pada
pasien-pasien ini dapat mengurangi risiko kematian (Kelas Rekomendasi IIa,
Tingkat Bukti B), mengurangi angka kembali rawat untuk perburukan gagal
jantung (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B), memperbaiki fungsi
ventrikel dan kemampuan latihan (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti A).
Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak
uji klinis adalah :

- Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi


- Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi
- Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan
afrika-amerika

Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus,


gagal ginjal berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).
Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :

- Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari


- Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan
dinaikan bila terdapat hipotensi simtomatik
- Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang
digunakan pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN 40
mg tiga kali sehari, atau jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis
maksimal tertoleransi

g) Digoxin
Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat
digunakan untuk mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan
37

AF dan LVEF < 40%, digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB
untuk mengontrol tekanan darah (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C).
Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF <
40%, terapi dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi
ventrikel dan kesejahteraan pasien, mengurangi kemungkinan perawatan
ulang untuk perburukan gagal jantung, hal ini walau demikian tidak memiliki
dampak terhadap angka mortalitas (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B).
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung
dengan meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar
kalsium bebas dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari
peningkatan kadar natrium intrasel akibat penghambatan Na-K-ATPase dan
pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+
akibat peningkatan natrium intrasel.
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
- Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan
fungsi ventrikel kiri.
- Menstimulasi baroreseptor jantung
- Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga
menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal.
- Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan
peningkatan vagal tone.
- Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat>
80x/menit, dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan
digoksin.
- Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF
< 40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan
ARB, beta bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang
tetap simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.

I. Prognosis
Menentukan prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks, banyak
variabel yang harus diperhitungkan seperti etiologi, usia, komorbiditas, variasi
38

progresi gagal jantung tiap individu yang berbeda, dan hasil akhir kematian (apakah
mendadak atau progresif akibat gagal jantung).
Pengobatan gagal jantung menggunakan ACE Inhibitor (ACEI) dan Beta-
blocker (BB) saat ini dapat memperpanjang usia harapan hidup pasien dengan gagal
jantung.
39

BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien Ny. D datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 1 hari
SMRS. Sesak dirasakan terus menerus meski pasien beristirahat. Pasien lebih
nyaman dengan posisi duduk. Sesak pada malam hari saat tidur disangkal. Pasien
juga mengeluh batuk dengan dahak berwarna putih dan BAK sedikit. Keluhan
demam dan nyeri dada disangkal. Berdebar disangkal.
Pasien memiliki riwayat sakit jantung dan rutin kontrol dengan obat digoxin
1x40 mg, furosemid 1x40mg, candesartan 1x80mg, CPG 75mg, dan KSR 2x1mg.
Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus disangkal.
Dari hasil pemeriksaaan fisik didapatkan pasien terlihat compos mentis, TD
130/80, HR 80x/menit, nadi 80x/menit, RR 26x/menit, SiO2 99% dengan O2 3lpm.
Dari pemeriksaan jantung ditemukan batas jantung kesan melebar dan bising
jantung (+) sistolik 5/6 di apeks. Pada pemeriksaan pulmo terdengar RBH di 1/3
basal. Didapatkan oedema di kedua kaki. Dari hasil pemeriksaan EKG didapatkan
gambaran sinus ritmis HR 75 bpm, normoaxis, Q patologis di V1-V3, LVH, LV
strain.
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 1 hari SMRS.
Sesak dirasakan terus menerus meski pasien beristirahat menunjukkan bahwa
pasien mengalami dispnea akibat meningkatnya usaha nafas yang terjadi akibat
adanya kongesti pembuluh darah paru dan perubahan kemampuan pengembangan
paru. Pasien ini juga merasakan orthopnea yang terutama disebabkan oleh
redistribusi aliran darah dari bagian tubuh bagian bawah ke arah sirkulasi sentral
akibat pengaruh gravitasi. Reabsorbsi cairan interstisial dari ekstremitas akan
menyebabkan kongesti vaskular lebih lanjut. Batuk yang dirasakan pasien dapat
terjadi akibat kongesti paru.
Menurut derajat gangguan yang berkaitan dengan gejala pada pasien yang
diklasifikasikan menurut NYHA, pasien ini masuk dalam kategori NYHA kelas IV
karena terjadi simptom saat pasien beristirahat.
Dari hasil pemerikaan jantung ditemukan kesan pelebaran batas jantung yang
kemungkinan menunjukkan adanya kardiomegali. Adanya bising jantung

39
40

menunjukkan adanya gangguan fungsi katup. Bising jantung timbul akibat aliran
turbulen dalam bilik dan pembuluh darah jantung. Aliran turbulen terjadi apabila
darah melewati struktur yang abnormal (penyempitan lubang katup dan insufisiensi
katup) atau akibat aliran darah yang cepat sekali melalui katup yang normal.
Adanya bising jantung sistolik pada apeks menunjukkan adanya mitral regurgitasi
atau insufisiensi katup mitral. Insufisiensi katup mitral pada pasien ini terjadi karena
adanya pembesaran ruang jantung yang mengakibatkan penggeseran otot papilarois
dan melebarkan lubang katup mitral sehingga mengurangi kontak daun katup
selama penutupan katup. Pada pemeriksaan pulmo terdengar RBH di 1/3 basal paru.
RBH dapat terjadi akibat adanya cairan di pulmo. RBH terdengar di bagian basal
paru karena ada pengaruh gravitasi terhadap cairan tersebut. Peningkatan tekanan
dalam pembuluh darah vena pulmonalis menyebabkan kongesti dan edema
interstisial. Edema pada ekstremitas dapat terjadi akibat penimbunan cairan dalam
ruang interstisial. Edema terjadi pada ekstremitas bawah karena adanya pengaruh
gravitasi, dimana cairan cenderung mengalir ke bawah akibat gaya gravitasi yang
lebih besar.
Dari hasil pemeriksaan EKG didapatkan gambaran sinus ritmis HR 75 bpm,
normoaxis, Q patologis di V1-V3, LVH, LV strain. Gambaran EKG ini
menunjukkan adanya OMI anteroseptal. Hal ini didukung dengan terapi preventif
sekunder ACS rutin yang dijalani sebelum masuk rumah sakit.
Faktor risiko pada pasien ini adalah adanya riwayat penyakit jantung dengan
medikasi rutin dengan digoxin , furosemid ,candesartan , dan CPG. Obat-obatan
yang digunakan pasien ini menunjukkan adanya riwayat ACS dan gagal jantung.
Pada pasien ini, diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan adanya RBH,
edema perifer, dan dispneu. Gejala ini memenuhi 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor gejala gagal jantung menurut Framingham sehingga dapat ditegakkan
diagnosis gagal jantung.
Setelah diagnosis awal ditegakkan perlu diberikan terapi awal untuk gagal
jantung yaitu diuretik. Pasien ini diberikan oksigen nasal kanul 3 lpm serta injeksi
furosemid 40mg secara intravena. Pemberian furosemid akan mengurangi retensi
air dan garam sehingga mengurangi volume ekstraseluler, aliran balik vena, dan
preload sehingga edema perifer dan kongesti paru berkurang sedangkan curah
41

jantung tidak berkurang. Dosis awal furosemid yang diberikan pada pasien gagal
jantung biasanya sekitar 20-40mg. Pemberiannya diawali dengan dosis rendah
kemudian ditingkatkan sampai terjadi perbaikan gejala. Untuk terapi gagal jantung
lain yang diberikan agar meningkatkan survival pasien antara lain dengan
pemberian candesartan dan spironolakton. Candesartan yang merupakan golongan
ARB akan menghambat aktivitas angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan
penurunan sekresi aldosteron yang akan berdampak pada penurunan resistensi
perifer dan penurunan volume intravaskular. Spironolakton merupakan antagonis
aldosteron sehingga penggunaan obat ini akan mencegah retensi air dan natrium
serta ekskresi kalium dan magnesium. Spironolakton diberikan apabila kalium
≤4.5mmol/L dan kreatinin <3,5 mg/dL. Pada pemberian spironolakton, kalium
perlu dimonitor untuk mempertimbangkan risiko hiperkalemi pada pasien dengan
terapi spironolakton.
Terapi lain yang diberikan pada pasien ini antara lain CPG, simvastatin dan
ISDN yang merupakan terapi preventif sekunder yang diberikan pada pasien ACS.
CPG merupakan obat antiplatelet yang akan menginhibisi fungsi platelet sehingga
mencegah terbentuknya trombus. CPG diberikan sebagai alternatif aspirin pada
pasien yang mengalami intoleransi atau alergi aspirin. ISDN merupakan obat
golongan vasodilator yang akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah arteri dan
vena sehingga terjadi penurunan preload. Selain itu, dengan adanya vasodilatasi,
suplai oksigen pada daerah miokardium yang iskemik akan meningkat. ISDN
diberikan jika tekanan darah pasien ≥ 90 mmHg. Kemudian pemberian simvastatin
pada pasien ini bertujuan untuk mengontrol kadar kolesterol dengan menghambat
sintesis kolesterol. Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa
mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor HMG Co-A Reduktase (statin) harus
diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah
menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat kontra indikasi. Terapi statin
diberikan dengan sasaran kadar LDL <70 mg/dL.
Pada pasien ini untuk rencana diagnostik yang dilakukan adalah cek
laboratorium, EKG setiap pagi, rontgen thoraks, serta echocardiografi. Pemeriksaan
laboratorium darah rutin dilakukan untuk melihat adakah infeksi atau anemia yang
mungkin menjadi penyebab terjadinya gagal jantung. Kemudian pemeriksaan kimia
42

klinik seperti GDS, SGOT/SGPT, albumin, creatinin dan ureum untuk melihat
adanya faktor risiko DM, disfungsi hepar akibat gagal jantung, serta gangguan
fungsi ginjal. Pemeriksaan elektrolit dilakukan untuk melihat adanya retensi cairan
dan monitoring efek obat yang diberikan terhadap elektrolit. Analisis gas darah
dilakukan untuk menghitung kebutuhan oksigen pasien. Rontgent thoraks
dilakukan untuk menilai ukuran jantung. Echocardiografi dilakukan untuk menilai
disfungsi jantung. Kemudian pemeriksaan EKG menilai penghantaran listrik di
jantung. Dengan melihat EKG dapat dinilai adakah pembesaran ruang jantung,
iskemi atau infark yang mungkin dapat menyebabkan gagal jantung.
Pada tanggal 8 (DPH I) saat pasien sudah dipindahkan ke bangsal aster V,
pasien masih merasakan sesak napas. Hal ini disebabkan karena masih adanya
peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru yang menyebabkan cairan terdorong ke
jaringan paru. Hal ini akan menyebabkan kongesti dan edema interstisial di paru
yang akan mengganggu kemampuan dalam pengembangan paru pasien. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan Azotemia (Cr 2,2; Ur 85), hipokalemia (K
3.4), hiponatremia (Na 126), dan anemia (Hb 8,4). Pada pasien gagal jantung,
peningkatan kadar kreatinin serum bisa disebabkan karena pasien menerima terapi
candesartan (golongan ARB) atau memang ada penurunan fungsi ginjal. Sedangkan
kondisi hipokalemia dan hiponatremia pada pasien bisa disebabkan karena pasien
mendapat terapi furosemid (golongan diuretik). Pada pasien gagal jantung sering
ditemukan kondisi anemia. Kondisi ini, lebih sering dijumpai pada pasien dengan
usia lanjut, perempuan, dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Anemia
berhubungan dengan status fungsional dan prognosis yang lebih buruk serta risiko
rehospitalisasi yang lebih tinggi. Oleh karena itu pasien direncanakan akan
dikonsulkan ke bagian penyakit dalam.
Pada tanggal 9 (DPH II) keluhan sesak napas pada pasien sudah berkurang.
Dari hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 140/60, heart rate 76
x/menit, frekuensi denyut nadi 76 x/menit, dan frekuensi napas 20 x/menit. Dari
hasil pemeriksaan pulmo, suara ronki basah halus sudah terdengar minimal. Hal ini
disebabkan karena cairan yang ada di paru sudah sedikit berkurang akibat terapi
medikamentosa yang diberikan. Oleh karena itu, injeksi furosemid yang awalnya
diberikan 20 mg/ 8 jam diganti menjadi 20 mg/ 12 jam. Hasil EKG menunjukkan
43

sinus rhytm, heart rate 66 bpm, normoaxis, dan terdapat Q patologis di v1-v3. Hal
ini menunjukkan pada pasien telah terjadi Old Myocard Infark (OMI) anteroseptal,
dimana Q patologis terdapat di v1-v3 dan gambaran ST elevasi yang biasa terjadi
pada AMI telah menjadi isoelektrik. Hasil ekokardiografi menunjukkan adanya
LVH konsentrik dengan disfungsi diastolik relaksasi, kontraktilitas LV menurun
(EF 40%), AR, MR, dan TR Mild.
Pada tanggal 10 (DPH III) pasien sudah tidak mengeluhkan sesak napas. Hal
ini juga dibuktikan dari hasil pemeriksaan fisik pulmo yang sudah tidak didapatkan
suara ronki basah halus. Tanda vital pasien didapatkan tekanan darah 150/60, heart
rate 72 x/menit, frekuensi denyut nadi 72 x/menit, dan frekuensi napas 20 x/menit.
Dari hasil pemeriksaan lanjutan didapatkan azotemia et causa AKI dd acute on
CKD, hiponatremia sedang, hipokalemia ringan, dan hiperurisemia (AU 12.0). Dari
TS penyakit dalam diberikan terapi infus EAS primer 1 fls/ 24 jam dan KSR 3x1.
EAS primer berisi asam amino total 69 g/l, nitrogen 8.3 g/l, xylitol 10 gr/l. Indikasi
penggunaan EAS primer pada pasien ini karena terdapat azotemia. Sedangkan KSR
berisi kalium klorida. Indikasi penggunaan untuk pencegahan dan pengobatan
hipokalemia. KSR dapat berinteraksi dengan spironolakton yang dapat
menyebabkan hiperkalemia. Oleh karena itu pada pasien yang menggunakan obat
ini secara bersamaan perlu di monitoring kadar kaliumnya.
Pada tanggal 11 (DPH IV) kondisi pasien sudah mulai stabil dan pasien dilatih
untuk mobilisasi duduk. Hasil pemeriksaan tanda vital pasien didapatkan tekanan
darah 150/80, heart rate 92 x/menit, frekuensi denyut nadi 92 x/menit, dan frekuensi
napas 20 x/menit. Injeksi furosemid diturunkan menjadi 20 mg/ 24 jam dan
candesartan dinaikkan menjadi 1x16 mg. Candesartan dinaikkan dosisnya untuk
menurunkan tekanan darah pasien. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
perbaikan kadar ureum, creatinin, natrium, kalium, dan hemoglobin. Pasien
kemudian direncanakan aff DC dan cek laboratorium Dr3, Ur, Cr, dan elektrolit.
Tanggal 12 (DPH V) kondisi pasien mengalami perbaikan. Hal ini terlihat
dari tidak adanya keluhan yang dirasakan pasien dan hasil vital sign pasien tekanan
darah 160/70 mmHg, heart rate 72 x/menit, frekuensi denyut nadi 72 x/menit, dan
frekuensi napas 20 x/menit. Anemia telah teratasi dengan adanya peningkatan Hb
menjadi 11.8. Terapi yang masih diberikan adalah furosemid 1x40 mg, CPG 1x75
44

mg, simvastatin 1x20 mg, spironolakton 1x25 mg, candesartan 1x16 mg, ISDN
3x5mg, dan KSR 3x1. Pasien diusulkan untuk BLPL.
Tujuan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi gejala dan
meningkatkan survival pasien. Terapi yang dilakukan pada gagal jantung dapat
berupa terapi farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologis yang
diberikan pada pasien gagal jantung bertujuan untuk mengurangi gejala dan
meningkatkan tingkat survival pasien gagal jantung. Obat yang dapat diberikan
untuk mengurangi gejala antara lain diuretik dan digoxin. Sedangkan obat lain yang
dapat meningkatkan survival antara lain ACE-Inhibitor, ARB, Beta-blocker, serta
antagonis aldosteron. Selain terapi farmakologis, terapi non farmakologis berupa
modifikasi gaya hidup pada pasien gagal jantung juga perlu dilakukan. Terapi non
farmakologis yang dapat dilakukan antara lain diet rendah garam dan rendah lemak,
menurunkan berat badan pada pasien dengan obesitas, latihan fisik, menghindari
konsumsi alkohol, dan berhenti merokok.
45

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
1. Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien
harus memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal
saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi
cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari
gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat.
2. Secara garis besar penyebab terbanyak gagal jantung adalah penyakit jantung
koroner (60-75%), dengan penyebab penyakit jantung hipertensi (75%),
penyakit katup (10%) serta kardiomiopati dan sebab lain (10%).
3. Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis secara garis besar bertujuan
mengatasi permasalahan preload dengan menurunkan preload, meningkatkan
kontraktilitas juga menurunkan afterload.
4. Prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks, banyak variabel yang harus
diperhitungkan seperti etiologi, usia, komorbiditas, variasi progresi gagal
jantung tiap individu yang berbeda, dan hasil akhir kematian (apakah mendadak
atau progresif akibat gagal jantung).

Saran
1. Untuk tenaga medis pengetahuan cara memdiagnostik yang tepat untuk pasien
gagal jantung sangat diperlukan untuk menentukan terapi yang tepat dengan
hasil prognosis yang lebih baik.
2. Komunikasi dokter ke pasien juga diperlukan agar pasien mematuhi pengobatan
dan mencegah komplikasi yang lebih lanjut.

45
46

DAFTAR PUSTAKA

Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Society
Cardiology. European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.

Jessup M, Abraham WT, Casey DE, et al. 2009 Focused update: ACCF/AHA
guidelines for the diagnosis and management of heart failure in adults: a
report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation. 2009;119:1977–
2016.

Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper
DL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York:
Mc graw hill; 2008. p. 1443.

McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for
the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the
European Society of Cardiology. Developed in collaboration with the Heart.
Eur Heart J 2013;32:e1–641 – e61.

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung Edisi Pertama. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai