Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan
Distonia servikal idiopatik (Idiopathic Cervical Dystonia),
didefinisikan sebagai gerakan berputar dan melilit yang bersifat involunter
pada leher yang disebabkan oleh kontraksi involunter abnormal dari otot yang
terdapat di leher (Fahn, et al., 1987).
Distonia servikal idiopatik (Idiopathic Cervical Dystonia) merupakan
bentuk paling umum distonia fokal pada dewasa. Sebelumnya, timbul keraguan
bahwa ICD merupakan suatu gangguan terkait psikiatri, namun sekarang
gangguan ini dikategorikan sebagai gangguan neurologis dan banyak studi
klinis yang menjelaskan gejala klinis dari penyakit ini (Dauer, et al., 1998).
ICD ini sendiri juga dikenal sebagai ‘spasmodic torticollis’ atau
tortikolis spasmodik. Tortikolis merupakan gejala klinis berupa leher yang
terasa melilit dan mungkin dapat timbul akibat berbagai macam penyakit non-
distonik (Dauer, et al., 1998).

B. Distonia

1. Definisi
Distonia merupakan tonus dan postur abnormal yang menetap dari
sekelompok otot.

Distonia dapat berupa:

a. Fokal, dapat berupa kram penulis (writer’s cramp), tortikolis


yang sering disebut dengan ‘distonia servikal idiopatik’ dan
spasme hemifasial.
b. Generalisata, dapat berupa distonia torsi umum, yaitu suatu
keadaan adanya gerakan menggeliat yang abnormal, bisa
merupakan akibat dari genetik (diturunkan secara dominan) atau

1
simtomatis karena keadaan lain (obat-obatan, lesi struktural
otak, penyakit degeneratif).

Gambar 1.1 Jenis Torticollis

2. Anatomi
Otot leher ada yang melekat pada tulang hyoid dan ada yang tidak
melekat pada tulang hyoid. Otot yang tidak melekat pada tulang hyoid yaitu :
(1) Musculus Sternocleidomastoideus, origo di manubrium sterni dan
clavicula (1/3 medial) serta insersio di processus mastoideus os temporalis.
Adapun aksinya yakni bilateral-flexi kepala, rotasi unilateral kepala,
memalingkan wajah ke sisi sebaliknya. Otot ini dipersarafi oleh nervus
accessorius (N XI); (2) Musculus scalenus anterior dan scalenus medius, origo
di processus transverses vertebra cervicalis bagian atas dan insersio di costa 1.
Aksinya adalah fleksi leher dan elevasi costa 1. Otot ini dipersarafi oleh ramus
ventralis nervus cervicalis (Gambar 2.1 dan Gambar 2.2).3

2
Gambar 2.1 Otot leher ( Tampak lateral)3

Gambar 2.2 Otot leher ( Tampak anterior)3

Otot leher yang melekat pada hyoid terbagi menjadi dua yaitu suprahyoid dan
infrahyoid. Otot yang berada infrahyoid yaitu : (1) Musculus Omohyoid (otot
ini memiliki dua belly yang dihubungkan dengan tendon intermediet), origo
untuk inferior belly dari scapula-medial ke suprascapular notch (tendon
intermediet dihubungkan ke klavikula dan rib 1. Insersionya pada tulang
hyoid. Aksinya yaitu untuk menekan tulang hyoid. Omohyoid dipersarafi oleh
ansa cervicalis; (2) Musculus Sternohyoid , origonya berasal dari sternum-
manubrium klavikula dan insersionya di tulang hyoid. Aksinya untuk
mendepresi tulang hyoid. Sternohyoid dipersarafi ansa cervicalis; (3)
Musculus Sternothyroid, origonya dari sternum-manubrium dan insersionya di
kartilago tiroidea. Aksinya adalah untuk depresi kartilago tiroidea, depresi
tulang hyoid dan laring secara indirek. Sternothyroid dipersarafi oleh ansa
cervicalis; (4) Musculus Thyrohyoid, origo dari kartilago tiroidea dan insersio
di tulang hyoid. Aksinya untuk depresi tulang hyoid dan elevasi laring.
Thyrohyoid dipersarafi oleh C1 dan Nervus hipoglossus ( N X11) (Gambar
2.3 dan Gambar 2.4).3

3
4
Gambar 2.3 Otot Infrahyoid dan suprahyoid3

Otot leher yang berada suprahyoid yaitu : (1) Musculus Digastricus (memiliki
dua belly), origo posterior belly dari tulang temporal-mastoid notch (medial
terhadap processus mastoideus) sedangkan origo anterior belly dari bagian
dalam mandibula. Insersionya pada tulang hyoid melalui tendon intermediet.
Aksinya untuk elevasi tulang hyoid dan depresi mandibula. Posterior belly
dipersarafi oleh nervus facialis ( N VII) dan anterior belly dipersarafi oleh
nervus trigeminus (N V3); (2) Muculus Stylohyoid, origo di tulang temporal-
processus styloideus dan insersio di tulang hyoid. Aksinya untuk elevasi
tulang hyoid dan dipersarafi oleh nervus facialis (N VII); (3) Musculus
mylohyoid, origo dari mandibula-mylohyoid line dan insersio di tulang hyoid.
Aksinya untuk elevasi tulang hyoid serta mengangkat dasar mulut selama
menelan. Otot ini dipersarafi ileh nervus trigeminus (N V3); (4) Musculus
Geniohyoid, origonya dari bagian dalam mandibula dan insersio di tulang
hyoid. Aksinya untuk elevasi tulang hyoid dan membawa hyoid ke depan.

5
Otot ini dipersarafi oleh C1, nervus hypoglossus ( N XII) (Gambar 2.3 dan
Gambar 2.4).3

6
Gambar 2.4 Otot Infrahyoid dan Suprahyoid serta aksinya3

1. Etiologi
Gangguan aliran pada ganglia basalis diduga memiliki peran
penting dalam penyebab distonia. Lesi pada putamen dapat dikaitkan
dengan hemidistonia. Keterlibatan kedua belah putamen mungkin
memiliki tanggung jawab terhadap distonia umum (Hornykiewicz, et al.,
1988).
Tortikolis dan distonia tangan diduga melibatkan nukleus
kaudatus dan talamus. Gangguan pada talamus dan subtalamus, serta
kekacauan fungsi hipotalamus, diduga juga ikut terlibat (Hornykiewicz, et
al., 1988).
Karena ganglia basalis memiliki peran dalam mempertahankan
postur kepala normal, jaras ganglia basalis dan refleks vestibulo-okular
ikut terlibat dalam perkembangan penyakit distonia servikal. Gangguan

7
pada sistem neurotransmiter juga dapat menjadi penyebab distonia
(Assmann, et al., 2002).

E. Tortikolis

1. Definisi
Tortikolis adalah suatu kontraksi involunter abnormal otot pada
leher yang berakibat gerakan yang terus-menerus ataupun berakhir
menjadi postur abnormal pada kepala (Rondot, et al., 1991).

Tortikolis merupakan kondisi dimana terjadi kontraksi dari otot-


otot leher, yang berakibat puntiran pada leher. Gangguan tersebut dapat
terjadi akibat faktor kongenital, histeris, maupun penyebab sekunder
seperti tekanan pada saraf aksesorius, inflamasi kelenjar pada leher, atau
spasme otot. Disebut juga wry neck (Dorland, 2011).

2. Etiologi
Pada tahun 1902 Meige menulis ‘kondisi tidak wajar tak akan
ditemukan pada otot maupun saraf tetapi di dalam pikiran itu sendiri
(Meige & Feindel, 1907), dan pada tahun 60-an psikiater mengklaim
bahwa gangguan tersebut muncul akibat kecemasan kastrasi [leher kaku
berakibat ereksi pada penis (Abse, 1987)] atau secara simbolik yaitu
berpaling dari dunia (Cleveland, 1959). Penyakit ini sekarang dipandang
sebagai abnormalitas pada otak; teknik pencitraan fungsional otak,
elektrofisiologis dan genetik telah digunakan untuk menjelaskan
patogenesis dari tortikolis spasmodik. Evolusi dari konsep yang digunakan
untuk menjelaskan etiologi dari tortikolis spasmodik telah memacu
peningkatan kemampuan kita untuk mengenali dan menunjukkan bahwa
keberagaman dan terkadang gejala aneh mungkin berasal dari kelainan
fungsional halus dari sistem saraf (Dauer, et al., 1998).

8
3. Patofisiologi

Etiologi dari tortikolis spasmodik sendiri belum diketahui, tetapi


saat ini sudah banyak kemajuan dalam mencari tahu kaitan antara penyakit
ini dengan kelainan genetik pada keluarga pada pasien dengan distonia
servikal pada dewasa yang diwariskan secara genetik. Keterkaitan
terhadap kromosom 18p telah ditemukan pada sebuah keluarga, dan pada
lokus DYT1 telah disingkirkan pada dua keluarga yang lain. Rangsangan
nyeri telah diterima dan diproses oleh ganglia basalis, dan perubahan
sinaps yang dipicu oleh rangsang nyeri mungkin dapat menyebabkan
kelainan fisiologis yang mendasari distonia. Teori lain menyatakan bahwa
kelainan utama pada vestibulum memiliki tanggung jawab terhadap
terjadinya tortikolis spasmodik (Dauer, et al., 1998).

Selain itu berdasarkan etiologinya patofisiologi penyakit ini dapat


dibagi menjadi:

a. Tortikolis kongenital

Kasus tortikolis otot kongenital sangat jarang ditemui (<2%) dan


telah diyakini hal tersebut disebabkan karena trauma lokal
terhadap jaringan lunak dari leher pada saat sebelum atau selama
proses kelahiran (Canale, 1998). Penjelasan yang paling umum
terkait trauma pada kelahiran yaitu trauma pada otot
sternokleidomastoid, berakibat terjadinya fibrosis atau pada mal
posisi dalam rahim sehingga menyebabkan pemendekan dari otot
sternokleidomastoid (Robin, 1996).

b. Tortikolis yang didapat

Patofisiologi dari tortikolis yang didapat tergantung pada proses


penyakit yang mendasarinya. Spasme otot leher yang
menyebabkan tortikolis dapat berasal karena trauma maupun

9
inflamasi dari otot leher atau saraf kranial akibat berbagai macam
proses suatu penyakit (Sobolewski, et al., 2008).

Tortikolis akut dapat merupakan akibat dari trauma benda tumpul


pada kepala dan leher, atau akibat posisi tidur yang kurang tepat.
Tortikolis akut mungkin dapat terjadi selama beberapa hari hingga
minggu sebagai akibat dari efek samping penggunaan obat
(semisal, obat penghambat reseptor dopamin, metoklopramid,
fenitoin, atau karbamazepin). Setelah penghentian konsumsi obat
tersebut, gangguan tersebut akan sembuh kembali tanpa
penanganan lebih lanjut. Setelah penyakit tortikolis traumatik akut
ini sembuh, gejala kronis maupun persisten dapat kembali muncul
setelah beberapa hari atau minggu dalam proses pemulihan
(Sobolewski, et al., 2008).

Tortikolis spasmodik idiopatik (Idiopathic Spasmodic Torticollis)


bersifat kronis, bentuk progresif dari tortikolis yang dikategorikan
sebagai distonia fokal. Memiliki etiologi yang tidak diketahui,
walaupun lesi pada talamus telah dicurigai sebagai penyebabnya.
Gejala penyakit ini dapat timbul akibat penyakit yang didapat,
penyebab non-traumatik meliputi episode kontraksi involunter
tonik maupun klonik dari otot-otot leher. Gejala akan bertahan
selama kurang lebih 6 bulan dan berakibat besar terhadap
keterbatasan somatik dan fisiologis (Sobolewski, et al., 2008).

c. Kelainan jaras ganglia basalis

Sebagai penyakit neurodegeneratif, tortikolis, atau distonia servikal


idiopatik, diyakini sebagai akibat dari kelainan jaras pada ganglia
basalis yang berasal dari kerentanan selektif dari struktur ini
terhadap proses biokimia yang menyebabkan disfungsi neuronal
(Naumann, et al., 1998).

10
4. Manifestasi Klinis
Gejala awalnya muncul secara perlahan, pasien mulai
mengeluhkan sensasi tarikan pada leher, perasaan terlilit, atau sensasi
sentakan pada kepala. Sering kali, gejala non-spesifik dapat mengarahkan
kepada diagnosis yang tidak tepat seperti artritis, radikulopati servikal,
gangguan psikologis, penyakit Parkinson atau kelainan sendi pada
temporal maupun mandibula, dan pasien biasanya telah berkonsultasi
kepada dokter sebelumnya hingga akhirnya memutuskan untuk berobat ke
klinik/rumah sakit (Jankovic, et al., 1991). Ketika gejala yang timbul telah
diperiksa dan di analisa secara spesifik, gejala sensori (dideskripsikan
sebagai nyeri, sensasi tarikan atau kekakuan) atau derajat dari rotasi
maupun penyimpangan posisi kepala ditemukan pada sebagian besar
pasien, dengan sensasi sentakan maupun tremor dari kepala telah jelas
menjadi gejala yang sangat jarang dikeluhkan (Rivest & Marsden, 1990).
Berbagai macam kelainan postur leher dan kepala telah banyak
ditemukan pada keluhan-keluhan penyakit ini. Penyimpangan postur dapat
terjadi pada satu sisi maupun kombinasi dari berbagai sisi yang mana
dapat menyebabkan perubahan posisi kepala. Tortikolis rotasional adalah
rotasi dari dagu di sekitar aksis longitudinal ke arah bahu; laterokolis
adalah rotasi kepala pada bidang koronal, posisi telinga mengarah ke bahu.
Anterokolis dan retrokolis adalah rotasi kepala pada bidang sagital; pada
anterokolis posisi dagu menuju ke arah dada dan retrokolis membuat
posisi dagu menjadi sedikit naik dan posisi tengkuk yang semakin ke arah
belakang. Mungkin juga terjadi penyimpangan sagital atau lateral dari
bagian dasar leher dari garis tengah tubuh (Consky & Lang, 1994).
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya penyakit ini,
banyak pasien juga menderita distonia pada bagian tubuh lain ataupun
tremor yang serupa dengan gejala tremor pada umumnya. Distonia
ekstraservikal hanya ditemukan pada sekitar ~20% dari pasien (Chan, et
al., 1991); pada dagu (oromandibular), kelopak mata (blepharospasm),
lengan/telapak tangan (writer’s cramp) dan badan (axial) adalah bagian

11
tubuh yang paling sering terkena dampak. Tremor tangan postural atau
kinetik ditemukan pada sekitar ~25% pasien (Dauer, et al., 1998).

5. Diagnosis Klinis

Tujuan utama dalam pemeriksaan fisik adalah untuk menemukan


bukti terjadinya tortikolis atau distonia servikal sebagai temuan utama yang
menunjukkan proses utama penyakit ini, dengan gejala tambahan yang dapat
berupa distonia pada tungkai atau tangan yang minimal dan biasanya unilateral
(Kruer, 2015).
Faring posterior harus diperiksa untuk memastikan tanda-tanda
inflamasi dan infeksi. Leher harus di palpasi untuk memeriksa apakah ada
massa, adenopati, atau nyeri fokal. Sebuah pemeriksaan neurologis lengkap
perlu dilakukan, termasuk uji kekuatan, defisit sensoris, dan cara berjalan
(Kruer, 2015).
Karakterisasi dari postur kepala dan/atau leher meliputi tonus dan
gerakan kepala distonik (Kruer, 2015).
 Tonus kepala dan postur leher (ketika kronis, dapat menyebabkan
skoliosis)

Pada tortikolis rotasi, kepala berputar di sekitar sudut hidung dan


dagu menuju ke bahu; hal ini adalah penyimpangan yang paling
umum terjadi pada kepala dan leher. Namun hal ini tidak selalu
identik dengan torsion distonia (Kruer, 2015).

Pada tortikolis sederhana, tidak ditemukan kemiringan posisi


kepala. Pada laterokolis, kepala miring ke satu sisi dengan posisi
telinga menuju arah bahu, tonus yang asimetris dan gumpalan otot
akan muncul. Sedangkan pada anterokolis, posisi kepala miring ke
depan dengan dagu ke arah dada, dan tonus otot-otot leher anterior
akan meningkat. Pada retrokolis, kepala miring dalam posisi
hiperekstensi, dengan tonus otot meningkat dan terdapat
gumpalan otot-otot leher posterior (Kruer, 2015).

12
 Gejala distonia lain

Distonia ekstraservikal dapat terjadi pada sisi ipsilateral dari


distonia servikal (jika terjadi bilateral atau kontralateral,
pertimbangkan distonia umum atau torsion distonia). Distonia
mulut, wajah, atau mandibula kadang berhubungan dengan
blepharospasm dan distonia laring tetapi tidak dengan
penggunaan neuroleptik (Kruer, 2015).

Temuan non-distonik meliputi (Kruer, 2015):

1) Kesulitan menelan
2) Radikulopati servikal
3) Neuropati ulnaris sekunder
4) Depresi reaktif, kesadaran diri

13
 Tortikolis kongenital

Pasien dengan tortikolis otot kongenital sering timbul gejala


kekakuan otot, tanpa nyeri tekan, dan massa jaringan lunak pada
otot sternokleidomastoid sesaat setelah lahir. Massa ini, yang
mana sering terlokalisir di sekitar sternokleidomastoid yang
menempel pada klavikula, kadang-kadang akan membesar selama
4-6 minggu pertama kemudian ukurannya akan menyusut. Pada
saat usia 4-6 bulan, massa ini biasanya akan hilang, dan hanya
akan ditemukan temuan klinis berupa otot sternokleidomastoid
yang mengeras dan memendek serta postur tortikolis. Kepala akan
miring menuju sisi letak massa tersebut berada dengan dagu yang
berputar ke arah berlawanan (Kruer, 2015).

6. Diagnosis Banding
Kondisi lain yang harus dipertimbangkan pada evaluasi kasus
tortikolis termasuk sebagai berikut (Kruer, 2015):

a. Deformitas spinal: Pada awal masa kanak-kanak “dropped


head syndrome” akan terlihat pada miopati dan miastenia,
mungkin menyerupai anterokolis
b. Juvenile cerebral palsy dengan distonia servikal
c. Distonia yang didapat saat masa kanak-kanak, seperti hematom
atau tumor lain pada otot sternokleidomastoid
d. Refluks gastroesofagal (Sandifer syndrome)
e. Radikulopati
f. Fraktur vertebra segmen C1 dan C2
g. Gangguan gerak pada individu dengan gangguan
perkembangan

14
7. Penatalaksanaan

Pendekatan komprehensif terhadap perawatan medis terhadap


tortikolis meliputi beberapa tujuan penatalaksanaan. Seluruh penyebab
yang dapat dipulihkan yang mendasari penyakit tortikolis harus ditelaah
dan diobati dengan tepat (Kruer, 2015).
Pengobatan meliputi pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid
(NSAIDs), obat golongan benzodiazepin dan muscle relaxants,
antikolinergik, dan injeksi intramuskular lokal toksin botulinum. Terapi
fisik meliputi latihan peregangan, pemijatan, biofeedback sensoris, dan
stimulasi saraf transkutan elektrik (TENS) (Kruer, 2015).

7.1 Terapi Fisik

Peregangan secara pasif dan manual pada otot sternokleidomastoideus


sebelum usia 12 bulan adalah terapi fisik yang paling efektif. Hal ini dapat
dilakukan oleh orang tua dengan cara satu tangan berada pada kepala anak
dan bahu ipsilateral, kemudian fleksi lateral dari kepala anak dilakukan
berbarengan dengan rotasi ke arah yang berlawanan. Cara ini dilakukan
setidaknya dua kali dalam satu hari, dilakukan 10-15 peregangan, dengan
waktu dilatasi mencapai 30 detik. Dengan latihan yang dilakukan secara
benar dan teratur setiap hari, didapatkan hasil yang memuaskan yakni
lebih dari 90%, dan rekurensi 2%. 4

Selain itu, dapat juga dilakukan terapi fisik berupa terapi paraphino dan
thermoterapi, serta iontophoresis dan terapi microcurrent. Terapi fisik
yang lain yaitu dengan masase pada otot leher dan jaringan subkutan yang
kaku dapat mengurangi nyeri, mobilisasi sendi, dan terapi kraniosakral.
Pada anak yang lebih besar dapat digunakan penyangga (torticollis brace)
yang bersifat membantu terapi.4

7.2 Toksin Botulinum

15
Pada beberapa studi dilaporkan penggunaan Injeksi toksin botulinum
untuk segala jenis distonia servikal. Metode ini aman dan efektif pada
anak dan remaja. Toksin ini akan menurunkan spasme dan dapat
meregangkan otot yang kaku secara manual. Beberapa kasus tortikolis
dewasa berhasil diatasi dengan toksin botulinum ini. Akan tetapi, tidak ada
bukti ilmiah yang adekuat untuk keamanan dan efisiensi dari pengobatan
modern ini.4

7.3 Operasi

Penatalaksanaan operatif dianjurkan untuk anak dengan usia diatas 12-18


bulan yang tidak berhasil dengan penatalaksanaan secara konservatif atau
dijumpai wajah yang asimetris dan plagiocephaly (Gambar 2.6). Operasi
untuk memanjangkan otot sternokleidomastoideus yang kontraktur
dijumpai pada 3% kasus. Operasi sangat direkomendasikan jika didapati
keterbatasan gerakan sampai 30 derajat serta pada kasus deformitas tulang
wajah yang kompleks.4

Gambar 2.6 Penatalaksanaan tortikolis secara operatif 4

16
Menurut Ling et al, waktu yang optimal untuk operasi adalah antara
1-4 tahun. Hal ini didasari pada kebanyakan anak-anak dibawah usia 1
tahun respon terhadap terapi konservatif. Namun demikian, untuk kasus
pada dewasa dengan tortikolis kongenital yang terabaikan, dapat dilakukan
reseksi unipolar pada ujung distal dari otot sternikleidomastoideus.
Hasilnya didapati jarak dari gerakan leher dan kemiringan kepala
meningkat dan secara kosmetik tampilannya membaik (Gambar 2.7).7

Gambar 2.7 Gambaran preoperatif dan postoperatif pada pasien tortikolis


dewasa7

8. Prognosis

Kondisi tortikolis ini biasanya tidak akan mengakibatkan kematian,


dan masa hidup individu yang terkena adalah normal. Namun, morbiditas
dari kondisi ini menyangkut 3 area yang mungkin memerlukan pengobatan
tambahan (Kruer, 2015):
 Nyeri kronis akibat distonia atau ketegangan otot dalam upaya
mengimbangi postur kepala yang normal
 Spondilosis servikal dari postur distonia abnormal kronis, yang
dapat menyebabkan radikulopati dan/atau stenosis spinal
 Rasa malu terhadap masyarakat atau penarikan diri secara
sosial disertai depresi

17
BAB III

KESIMPULAN

Seorang laki-laki 43 tahun datang ke IGD RS PKU


Muhammadiyah Wonosobo dengan keluhan nyeri di leher bagian belakang
dirasakan sejak 3 hari SMRS. Pasien berkata bahwa tengkuk kepala pasien
tiba-tiba nyeri saat bangun tidur, jika pasien menggerakkan kepala maupun
menoleh nyeri semakin bertambah. Pasien juga mengeluhkan pusing,
namun tidak ada mual maupun muntah. Pasien tidak demam. Kekuatan
otot ekstremitas pasien masih dalam batas normal.

Dari pemeriksaan fisik didapati terdapat nyeri pada leher bagian


belakang dan terdapat keterbatasan pergerakan kepala pasien. Pada
pemeriksaan vital sign tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan lain
tidak ditemukan kelainan.

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik diduga pasien


menderita tortikolis spasmodik akibat salah posisi tidur. Suatu posisi
abnormal pada otot leher yang menetap dan mengakibatkan keterbatasan
gerak pada kepala pasien. Untuk menunjang diagnosis dan menyingkirkan
diagnosis banding dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologi.

Pengobatan sesuai gejala harus dilakukan untuk mencegah


terjadinya komplikasi. Pengobatan gejala harus dimulai segera seperti
pemberian obat anti inflamasi, vitamin B12 untuk menjaga fungsi sistem
saraf dan otak, serta pemberian obat anti spasmodik.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Abse, D. W., 1987. Hysteria and Related Mental Disorders: An Approach to


Psychological Medicine. 1st penyunt. s.l.:Wright.

2. Assmann, B. et al., 2002. Selective decrease in central nervous system serotonin


turnover in children with dopa-nonresponsive dystonia. Pediatric research, 52(1),
pp. 91-94.

3. Canale, S. T., 1998. Congenital muscular torticollis. Dalam: Campbell's Operative


Orthopaedics. s.l.:Mosby, pp. 1064-1067.

4. Chan, J., Brin, M. & Fahn, S., 1991. Idiopathic cervical dystonia: clinical
characteristics. Movement disorders : official journal of the Movement Disorders
Society, 6(2), pp. 119-126.

5. Cleveland, S. E., 1959. Personality dynamics in torticollis. The Journal of nervous


and mental disease, pp. 150-161.

6. Consky, E. & Lang, A., 1994. Clinical assessments of patients with cervical
dystonia. Dalam: J. Jancovic & M. Hallett, penyunt. Therapy with botulinum
toxin. New York: Marcel Dekker, pp. 211-237.

7. Dauer, W. T., Burke, R. E., Greene, P. & Fahn, S., 1998. Current concepts on the
clinical features, aetiology and management of idiopathic cervical dystonia. Brain
: a journal of neurology, pp. 547-560.

8. Dorland, 2011. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 32nd penyunt.


s.l.:Elsevier Health Sciences.

9. Fahn, S., Marsden, C. D. & Calne, D. B., 1987. Classification and investigation of
dystonia. Dalam: Movement disorders 2. London: Butterworths, p. 332–358.

10. Hornykiewicz, O. et al., 1988. Biochemical evidence for brain neurotransmitter


changes in idiopathic torsion dystonia (dystonia musculorum deformans).
Advances in neurology, p. 157165.

11. Jankovic, J., Leder, S., Warner, D. & Schwartz, K., 1991. Cervical dystonia:
clinical findings and associated movement disorders. Neurology, 41(7), pp. 1088-
1091.

19
12. Kruer, M. C., 2015. Torticollis Clinical Presentation. [Online]
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1152543-clinical#b3
[Diakses 20 June 2016].

13. Meige, H. & Feindel, E. C. L., 1907. Tics and their treatment. London: S.
Appleton.

14. Naumann, M. et al., 1998. Imaging the pre- and postsynaptic side of striatal
dopaminergic synapses in idiopathic cervical dystonia: a SPECT study using
[123I] epidepride and [123I] beta-CIT. Movement disorders : official journal of
the Movement Disorders Society, 13(2), pp. 319-323.

15. Rivest, J. & Marsden, C., 1990. Trunk and head tremor as isolated manifestations
of dystonia. Movement disorders : official journal of the Movement Disorders
Society, 5(1), pp. 60-65.

16. Robin, N., 1996. Congenital muscular torticollis. Pediatrics in review, 17(10), pp.
374-375.

17. Rondot, P., Marchand, M. & Dellatolas, G., 1991. Spasmodic Torticollis —
Review of 220 Patients. Le Journal Canadien Des Sciences Neurologiques, pp.
143-151.

18. Sobolewski, B., Mittiga, M. & Reed, J., 2008. Atlantoaxial rotary subluxation
after minor trauma. Pediatric emergency care, 24(12), pp. 852-856.

20

Anda mungkin juga menyukai