Anda di halaman 1dari 16

Nama : Imanuel Soni Tanudjaya

NIM : 04011281621123
Kelas : Beta 2016
Kelompok B7
I. Learning Issue
1. Anatomi Abdomen
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks
dan pelvis. rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk
dari dari otot abdomen, columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk membantu
menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering dipakai adalah pembagian
abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal dan dua bidang bayangan
vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding anterior abdomen menjadi
sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya berjalan horizontal melalui
setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca
dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga
kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Regio abdomen tersebut
adalah: hypocondriaca dextra,epigastrica, hypocondriaca sinistra, lumbalis dextra,
umbilical, lumbalis sinistra, inguinalis dextra, pubica/hipogastrica, dan inguinalis
sinistra.
1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung
empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal
kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan
sebagian dari hepar.
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal
pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan
kelenjar suprarenal kiri.
4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kiri, sebagian jejenum dan ileum.
7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum
dan ureter kanan.
8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus
(pada kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan
ovarium kiri.

Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga


regio yaitu : rongga peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga
pelvis. rongga pelvis sebenarnya terdiri dari bagian dari intraperitoneal dan
sebagian retroperitoneal. Rongga peritoneal dibagi menjadi dua yaitu
bagian atas dan bawah. rongga peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang
toraks, termasuk diafragma, liver, lien, gaster dan kolon transversum. Area
ini juga dinamakan sebagai komponen torako-abdominal dari abdomen.
Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi usus halus, sebagian kolon
ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ reproduksi
pada wanita.
Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang,
berisi aorta abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum,
pancreas, ginjal, dan ureter, permukaan paskaerior kolon ascenden dan
descenden serta komponen retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan
rongga pelvis dikelilingi oleh tulang pelvis yang pada dasarnya adalah
bagian bawah dari rongga peritoneal dan retroperitoneal. Berisi rektum,
kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan organ reproduksi interna
pada wanita.

2. Tatalaksana Perdarahan Abdomen


Tindakan pertama yang dilakukan saat berhadapan dengan pasien
trauma dengan sebab apapun adalah melakukan primary survey untuk
menyelamatkan pasien dari ancaman kematian. Semua tindakan
pemeriksaan dilakukan secepat mungkin dalam memastikan kondisi
airway, breathing, dan circulation. Tanda vital yang diperiksa saat pasien
trauma datang ke ruang gawat darurat menjadi petunjuk tingkat cedera
yang terjadi.
Masalah sirkulasi merupakan masalah pada primary survey yang
sering dihadapi pada pasien trauma tumpul abdomen. Syok karena
perdarahan harus bisa dinilai secepat mungkin untuk tindakan lebih lanjut.
Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan
darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih
dapat dikompensasi oleh tubuh. Bila perdarahan terus berlangsung maka
tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-
gejala klinis. Secara umum, syok hipovolemik karena perdarahan
menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi),
pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-
ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat. Ketidakstabilan
hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik berupa
penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan tahanan
pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral. Penurunan tekanan
darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi
tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal terjadinya
kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang mengakibatkan
peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan demikian, pada
tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun kompensasi
yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi
penurunan diastolik dan penurunan tekanan nadi. Oleh sebab itu,
pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan karena
pemeriksaan yang hanya berdasarkan pada perubahan tekanan darah
sistolik dan frekuensi nadi dapat menyebabkan kesalahan atau
keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa hipotensi diidentifikasi sebagai penanda adanya
cedera intra-abdomen pada pasien trauma tumpul.
Penegakan diagnosis cedera intra-abdomen pada pasien trauma
tumpul abdomen secara umum berdasarkan anamnesis tentang riwayat
trauma, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan ini
dilakukan saat secondary survey dalam penilaian awal pasien trauma.
Mekanisme terjadinya trauma sangat penting dalam menentukan
kemungkinan cedera organ intra-abdomen yang lebih spesifik. Semua
informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk
mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan
dalam kecelakaan kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi
kecelakaan, tanda vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis
senjata dan mekanisme lain yang bisa menunjang diagnostik.
Informasi tentang kejadian trauma (mekanisme trauma),
keterangan saksi mata, catatan dari paramedik sangat penting untuk
diketahui pada setiap pasien trauma sehingga bisa mendeteksi cedera
organ yang mungkin terjadi pada pasien. Pada kecelakaan lalu lintas, yang
perlu diketahui adalah kecepatan dan arah dari kecelakaan (kendaraan),
kerusakan kendaraan, penggunaan “seat-belts”, atau terlempar dari
kendaraan. Selain itu, riwayat AMPLE (Alergy, Medication, Past illness,
Last meal, Environment) penting diketahui untuk mengetahui kondisi
penyerta pasien yang mengalami trauma.
Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti
dan sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi.
Pada inspeksi, penderita harus diperiksa secara menyeluruh, mulai dari
bagian depan sampai belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum
sesuai anatomi abdomen. Inspeksi untuk melihat adanya goresan/laserasi,
robekan, luka, benda asing yang tertancap serta status hamil pada
perempuan. Adanya jejas, laserasi di dinding perut, atau perdarahan
dibawah kulit (hematomae) setelah trauma dapat memberikan petunjuk
adanya kemungkinan kerusakan organ di bawahnya. Ekimosis pada flank
(Grey Turner Sign) atau umbilicus (Cullen Sign) merupakan indikasi
perdarahan retroperitoneal, tetapi hal ini biasanya lambat dalam beberapa
jam sampai hari. Adanya distensi pada dinding perut merupakan tanda
penting karena kemungkinan adanya pneumoperitonium, dilatasi gaster,
atau adanya iritasi peritoneal. Pergerakan pernafasan perut yang tertinggal
merupakan salah satu tanda kemungkinan adanya peritonitis. Laserasi
abdomen yang terlihat sesuai pola sabuk pengaman mobil (Seat Belt Sign)
sering ditemukan sebagai tanda klinis terjadinya cedera organ intra-
abdomen. Sebuah penelitian menyatakan bahwa pada pasien trauma
tumpul abdomen, nyeri perut disertai dengan takikardi, nyeri lepas,
distensi abdomen, defans muscular, adanya laserasi abdomen (Seat Belt
Sign), atau ekimosis merupakan faktor prediktif dalam mengidentifikasi
cedera intra-abdomen.
Pada auskultasi dinilai apakah ada bising usus atau tidak. Pada
robekan (perforasi) usus, bising usus selalu menurun, bahkan kebanyakan
menghilang sama sekali. Adanya bunyi usus pada auskultasi toraks
kemungkinan menunjukkan adanya trauma diafragma. Perdarahan
intraperitoneum atau kebocoran (ekstravasasi) usus dapat memberikan
gambaran ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada
struktur yang berdektan seperti cedera tulang iga, tulang belakang,
panggul juga dapat menyebabkan ileus meskipun tidak terdapat cedera di
intra-abdomen, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada
cedera intraabdominal.
Pemeriksaan dengan perkusi menyebabkan pergerakan peritoneum,
dan dapat menunjukkan adanya peritonitis tetapi masih meragukan.
Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut
di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemiperitoneum. Perkusi redup
hati yang menghilang menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga
perut yang berarti kemungkinan terdapatnya robekan (perforasi) dari
organ-organ usus. Nyeri ketok seluruh dinding perut menunjukkan adanya
tanda-tanda peritonitis umum.
Pada palpasi yang paling penting adalah menilai nyeri. Nyeri
abdomen merupakan tanda klinis yang dievaluasi saat palpasi. Nyeri juga
dapat bersifat spontan tanpa dilakukan palpasi. Lokasi nyeri sangat penting
untuk mengetahui kemungkinan organ yang terkena. Nyeri abdomen
secara menyeluruh merupakan tanda yang penting kemungkinan
peritonitis akbat iritasi peritoneum, baik oleh darah maupun isi usus.
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary
guarding) dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans
muscular (involuntary guarding) adalah tanda yang penting dari iritasi
peritoneum. Palpasi menentukan adanya nyeri tekan superfisial, nyeri
tekan dalam, atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang
menyentuh perut dilepaskan tiba - tiba, dan biasanya menandakan
peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus yang mengiritasi
peritonium.
Pemeriksaan fisik abdomen pada saat awal sering gagal untuk
mendeteksi cedera abdomen yang signifikan pada pasien multitrauma.
Penundaan dalam mendiagnosis menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas, rawat inap berkepanjangan, dan akhirnya, biaya
kesehatan lebih besar. Gejala fisik yang tidak jelas, kadang ditutupi oleh
nyeri akibat trauma ekstraabdominal dan dikaburkan oleh intokasi atau
trauma kepala, merupakan penyebab utama tidak terdeteksinya cedera
intra-abdomen. Lebih dari 75% pasien dengan trauma abdomen yang
membutuhkan tindakan bedah segera, pada awalnya mempunyai gejala
klinik yang tidak khas (benign physical examination), sehingga ahli bedah
yang kurang waspada dan menganggap tidak ada cedera intraabdoemen.
Suatu penelitian menyatakan bahwa dari 437 pasien-pasien trauma tumpul
abdomen, 47% tidak mempunyai gejala klinik yang khas pada evaluasi
awal, 44% ditemukan dari hasil “diagnostic test” dan 77% dari mereka
didapatkan trauma intra abdominal. Tanda peritonitis merupakan
mandatori untuk dilakukan laparotomi tanpa menunggu hasil-hasil tes-tes
diagnostik. Oleh karena itu, pemeriksaan abdomen yang teliti, sistematik
sangat dianjurkan pada setiap kasus-kasus trauma abdomen.
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam manajemen
pasien trauma tumpul abdomen adalah : laboratorium, foto toraks dan
abdomen, ultrasonografi, Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL), CT scan
dan laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan dilakukan tergantung pada
stabilitas hemodinamik pasien dan prediksi tingkat keparahan cedera.
Pasien trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil dapat
dievaluasi dengan Ultrasonografi (USG) abdomen, atau CT scan. Pasien
trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik harus dievaluasi
dengan USG di ruang resusitasi jika tersedia, atau dengan lavage
peritoneum untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen.
Pemeriksaan laboratorium di awal kejadian trauma hanya sedikit
memberi arti kecuali digunakan sebagai data dasar dalam monitor
perkembangan klinik selanjutnya. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
secara serial, seperti misalnya serial haematocrit dan hemoglobin untuk
monitor kehilangan darah, amylase untuk monitor adanya trauma
pancreas. Pemeriksaan laboratorium awal yang diperlukan dalam
manajemen trauma abdomen antara lain:
 Complete Blood Count (CBC), menilai penurunan hemoglobin (Hb),
hematokrit (Hct) dan platelet (PLT)
 Blood Urea Nitrogen (BUN), dan serum kreatinin mungkin meningkat
menandakan adanya disfungsi ginjal.
 Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
 Analisa gas darah, yang mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.
 Tes koagulasi, yang menunjukkan pemanjangan PT dan APTT, untuk
menilai adanya koagulopati
 Pemeriksaan transaminase untuk menilai kemungkinan cedera hati.
Penelitian di Amerika mempelajari tentang beberapa hasil tes
laboratorium abnormal pada pasien yang mengalami cedera intra-
abdomen. Beberapa penelitian menunjukkan defisit basa (< -6 mEq/L)
adalah prediktif pada cedera intra-abdomen. Hematuria (25-50 RBC/hpf)
diprediksi empat kali lipat peningkatan risiko cedera intra-abdomen.
Tingkat hematokrit kurang dari 30% meningkatkan kemungkinan cedera
intra-abdomen lebih banyak daripada hematokrit <36%. Penurunan Hct
lebih dari 5% sangat signifikan berhubungan dengan cedera intra-
abdomen. Penanda laboratorium lainnya termasuk peningkatan jumlah
WBC dan peningkatan laktat, kurang berguna untuk mengidentifikasi
pasien dengan cedera intra-abdomen. Transaminase hati yang meningkat
(aspartate aminotransferase atau alanine aminotransferase) adalah
petanda adanya kerusakan hati.

Foto polos abdomen berguna untuk melihat adanya udara atau


cairan bebas intra-abdomen. Dibutuhkan kurang lebih 800 ml cairan bebas
baru bisa terlihat pada foto polos abdomen. Foto tegak dapat menunjukan
udara bebas intraperitoneal yang disebabkan oleh perforasi organ visera
berongga, adanya nasogastric tube pada rongga toraks (cedera
diaphragma). Pemeriksaaan rontgen servikal lateral, toraks
anteropaskaerior (AP), dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus
dilakukan pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang
hemodinamik stabil, maka pemeriksaan rontgen abdomen dalam keadaan
terlentang dan tegak mungkin berguna untuk mengetahui adanya uadara
ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma.
Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya
cedera retroperitoneum. Bila foto tegak dikontraindikasikan karena nyeri
atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur
(left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas intraperitoneal.

Diagnostic peritoneal lavage (DPL) yang dikenalkan pada tahun


1965 merupakan metode pemeriksaan penunjang yang dapat
mengidentifikasi adanya cedera intra-abdomen, tetapi sifatnya invasif.
DPL merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan untuk
mengidentifikasi cedera intra-abdomen pasien trauma tumpul terutama
pada pasien hipotensi paska trauma tanpa indikasi yang jelas untuk
laparotomi eksplorasi abdomen. Indikasi untuk melakukan DPL sebagai
berikut : nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya, Trauma
pada bagian bawah dari dada, hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan
yang jelas, pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran
(obat,alkohol, cedera otak), pasien cedera abdominal dan cedera medula
spinalis (sumsum tulang belakang), dan patah tulang pelvis. Sedangkan
kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah : pasien hamil, pernah
operasi abdominal, operator tidak berpengalaman dan bila hasil DPL
nantinya tidak akan merubah penatalaksanaan. Kriteria standar untuk
lavage peritoneal yang positif meliputi aspirasi setidaknya 10 mL darah,
lavage berdarah, sel darah merah hitung lebih besar dari 100.000 / mm3,
sel darah putih hitung lebih besar dari 500/mm3, amilase lebih besar dari
175 IU / dL, atau deteksi empedu, bakteri, atau serat makanan.

Di Amerika Serikat Ultrasonografi (USG) telah digunakan dalam


beberapa tahun terakhir untuk evaluasi pasien dengan trauma tumpul
abdomen. Pemeriksaan USG di unit gawat darurat pada pasien trauma
dikenal dengan nama FAST (Focused Assessment with Sonography in
Trauma). Pemeriksaan ini sifatnya non invasif dan memerlukan alat USG
portable yang bisa dibawa ke unit gawat darurat. Di Indonesia, beberapa
senter trauma sudah memiliki alat ini, tetapi masih banyak rumah sakit
yang belum memiliki alat USG di unit gawat darurat. Tujuan evaluasi
USG untuk mencari cairan bebas intraperitoneal. Hal ini dapat dilakukan
dengan cepat dan tidak invasive, dengan tingkat keakuratan sama dengan
DPL untuk mendeteksi hemoperitoneum. USG juga dapat mengevaluasi
hati dan limpa meskipun tujuan USG adalah untuk mencari cairan bebas di
intrapreitoneal. Mesin portabel dapat digunakan di ruangan resusitasi atau
di gawat darurat pada pasien dengan hemodinamik stabil tanpa menunda
tindakan resusitasi pada pasien tersebut. Keuntungan lain dari USG
daripada diagnostik peritoneal lavage adalah USG merupakan tindakan
yang noninvasif. USG dapat mendeteksi adanya laserasi pada hati dan
ginjal, namun tidak mampu secara tepat memastikan seberapa dalam dan
luas laserasi yang terjadi. Tidak diperlukan adanya tindakan lebih lanjut
setelah USG dinyatakan negatif pada pasien yang stabil. Sensitivitas
berkisar dari 85% sampai 99%, dan spesifisitas dari 97% sampai 100%.
Sebuah penelitian mengemukanan bahwa USG pada trauma tembus tidak
dapat diandalkan seperti pada trauma tumpul.

Computed Tomography Abdomen (CT scan Abdomen) adalah


metode yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan
trauma abdomen tumpul yang stabil. Metode pencitraan CT scan telah
membawa perubahan besar dalam penanganan pasien dengan trauma
tumpul abdomen. Manfaat terbesarnya adalah penurunan jumlah pasien
yang memerlukan tindakan pembedahan dan operasi non terapiutik. Saat
ini keakuratan CT scan dalam menilai tingkat beratnya cedera intra-
abdomen masih dipertanyakan. Suatu penelitian menyatakan bahwa
grading trauma hati preoperative dengan CT scan dihubungkan dengan
penemuan saat operasi, hanya 16% yang sesuai. Harus ditekankan untuk
mengambil tindakan intervensi operasi didasarkan pada stabilitas
hemodinamik pasien tanpa memperhatiakan grading CT scan (Mariappan
and Madhusudhanan, 2016).

Laparoskopi merupakan alat diagnostik yang saat ini berkembang


dalam mengevaluasi pasien trauma tumpul abdomen. Aplikasi diagnostik
dan terapeutik dari laparoskopi digunakan dalam banyak bidang, termasuk
juga trauma tumpul abdomen. Indikasi penggunaan laparoskopi dalam
trauma abdomen masih diperdebatkan, tetapi laparoskopi diagnostik sudah
sering dipergunakan untuk evaluasi cedera intra-abdomen, sehingga dapat
menentukan manajemen pasien selanjutnya. Syarat mutlaknya adalah
hemodinamik harus stabil. Kelemahan penggunaan laparoskopi pada
trauma abdomen diantaranya : pasien membutuhkan anestesi umum, risiko
pneumothraks pada cedera diaphragm, risiko emboli gas pada trauma vena
besar, peningkatan TIK pada pasien trauma kepala, masalah waktu dan
biaya.

American collage of surgeon juga mengeluarkan algoritme dalam


manajemen trauma tumpul abdomen. Perbedaanya adalah, penggunaan CT
scan untuk evaluasi pasien trauma tumpul abdoemn dengan hemodinamik
stabil, atas dasar tinggi atau rendahnya risiko terjadinya cedera
intra-abdomen.

Terapi definitif
A. Lien
Penatalaksanaan ruptur lien dapat dilakukan secara
pembedahan maupun terapi tanpa pembedahan. CT scan dapat
membantu menentukan tata laksana yang akurat dan menentukan
klasifikasi dari beratnya cedera. Indikasi pembedahan lien adalah
hipersplenisme, anemia hemolitik jenis tertentu, kista, abses, ruptur,
tumor, dan aneurisma arteri lienalis.
Pembedahan lien mencakup pengangkatan seluruh lien, reseksi
parsial, atau perbaikan. Perdarahan merupakan hal yang paling
memerlukan perhatian karena besarnya jumlah darah yang terkandung
di dalam organ lien. Curiga ruptur lien segera dioperasi bila ada tanda
meliputi hipotensi (Tekanan darah sistol < 90 mmHg), takikardi (heart
rate > 100x/mnt), hematokrit < 30.%, protrombin time >14 detik, cedera
multipel dan memerlukan transfusi darah. Agar pajanan adekuat,
dilakukan insisi garis tengah, subkosta kiri, paramedialis atau
tranversus. Selain itu, lambung di dekompresi dengan selang nasogaster
agar lapang pandang lebih jelas dan pemotongan lebih mudah
dilakukan.
 Non operatif
Hematom dan robeknya jaringan kapsular lien yang tidak
dalam dapat ditangani secara konservatif. Pemeriksaan penunjang
sangat diperlukan seperti identifikasi menggunakan CT scan dan
radiologi untuk melihat berapa besar cedera organ tubuh yang
terkena. Penatalaksanaan ruptur lien non operatif dilakukan pada
pasien yang sadar, mengalami hemodinamika stabil, dan tanpa
adanya cedera serius pada cedera abdomen. Pada skala I dan II
robekan pada kapsul lien cukup aman, tidak mengenai tubuh
trabekular lien dapat dilakukan terapi konservatif. hal-hal yang
perlu diperhatikan pada penatalaksanaan non operatif yaitu:
monitoring vital sign, monitoring produksi urin, evaluasi
hemoglobin dan identifikasi ulang menggunakan CT scan 8-12
minggu untuk mempercepat penyembuhan.
 Splenorafi
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan
lien yang masih berfungsi dengan teknik bedah. Splenorafi
merupakan teknik yang sering digunakan pada pasien yang
menderita cedera traumatik pada lien, dan keberhasilan prosedur
ini tergantung pada pemahaman ahli bedah tentang anatomi lien.
Pembedahan dengan teknik splenorafi dengan cara melakukan
penjahitan luka robekan lien merupakan tindakan yang aman.
Splenorafi dilakukan pada trauma lien dengan
hemodinamik yang stabil, adanya cedera intraabdomen lain dan
sesuai dengan skala trauma lien. Pada skala III dan IV memerlukan
mobilisasi untuk memaparkan hilus.
Splenorafi dilakukan dengan membuang jaringan nonvital,
mengikat pembuluh darah yang terbuka, dan menjahit kapsul lien
yang terluka. Jika penjahitan laserasi kurang memadai, dapat
ditambahkan dengan pemasangan kantong khusus dengan atau
tanpa penjahitan omentum.2 Prosedur pada splenorafi yaitu:
 Lien dimobilisasi sepenuhnya dari semua perlekatannya
sehingga dapat di inspeksi secara cermat. Jika perdarahan
banyak, dianjurkan mengendalikan arteri lienalis utama segera
dengan menggunakan loop pembuluh darah.
 Setelah lien dimobilisasi, lien biasanya diperiksa dengan
melepas bekuan darah di daerah yang cedera sehingga tempat-
tempat perdarahan di dalam laserasi lien dapat diidentifikasi.
 Setelah keseluruhan cedera dinilai, ligasi selektif pembuluh
darah hilum segmental yang tepat dapat dilakukan. Pada tahap
ini dapat diambil keputusan tentang apakah melakukan
splenektomi parsial formal akan diperlukan atau apakah
splenorafi dapat dilakukan dengan jahitan penutup parenkim
dan kapsula lien.
 Splenektomi
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang
tidak dapat diatasi dengan splenorafi, splenektomi parsial, atau
pembungkusan. Splenektomi diindikasikan hanya untuk kerusakan
lien yang sangat parah. Splenektomi traumatik dilakukan untuk
cedera pada lien yang menyebabkan perdarahan intra abdomen.
Prosedur ini mengikuti pedoman untuk splenektomi elektif dan
digabung dengan reparasi cedera lain sesuai yang diindikasikan
saat laparotomi darurat.
Spelenektomi parsial terdiri atas eksisi satu segmen,
dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian yang
tidak cedera masih vital. Sedangkan splenektomi total harus selalu
diikuti dengan reimplantasi lien yang merupakan suatu
autotransplantasi. Caranya ialah dengan membungkus pecahan
parenkim lien dengan omentum dan meletakannya di bekas tempat
lien atau menanamnya di pinggang pada belakang peritoneum
dengan harapan lien dapat tumbuh dan berfungsi kembali. Prosedur
dalam melakukan splenektomi yaitu:
 Splenektomi dilakukan dengan pasien dalam posisi
terlentang. Pemaparan lien dapat dipermudah dengan
menempatkan pasien dalam posisi Trendelenburg terbalik
dan dengan memiringkan sisi kanan meja operasi ke arah
bawah.
 Selang nasogastrik yang diinsersikan ke dalam lambung
setelah intubasi pada kasus elektif, berguna untuk
mendekompresi lambung dan membantu pemaparan. Dalam
splenektomi darurat untuk trauma, insersi selang
nasogastrik dapat dilakukan sebelum intubasi untuk
mengosongkan lambung.
 Untuk splenektomi elektif jika lien berukuran normal atau
sedikit membesar, insisi subkostal kiri memberikan
pemaparan yang baik. Pada kasus trauma abdomen, atau
pada kasus dimana splenektomi dikombinasikan dengan
prosedur intra abdomen lain seperti laparotomi staging
untuk penyakit Hodgkin, sebaiknya menggunakan insisi
panjang di garis tengah.
 Mobilisasi lengkap lien untuk kemudahan ligasi, agar arteri
dan vena lienalis dapat terlihat.
 Perlekatan ligamentosa dan vena-vena lambung yang
berjalan dari lien ke kurvatura mayor lambung (termasuk
pembuluh darah gastrika brevis) dan ligamentum
lienorenale dipotong. Pemotongan pembuluh darah tersebut
diselesaikan dengan lien dibawa ke insisi abdomen atau
pada lien yang masif ke dinding abdomen.
 Ligasi arteri dan vena lienalis yang dekat dengan hilus
dengan jahitan ganda.
 Lien diangkat
Pada pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil,
splenektomi tetap merupakan terapi pilihan. Jika ruptur lien sangat
serius (skala V) pemelihan pembedahan splenektomi sangat dianjurkan.

B. Gaster
C. Pankreas
D. Ginjal
II. Analisis Masalah
1. Bagaimana tatalaksana awal pada kasus?
Jawab: Lakukan primary survey dan tangani masalah yang ditemukan,
lakukan resusitasi cairan, hentikan pendarahan.

2. Bagaimana mekanisme abnormal hasil pemeriksaan di atas?


Jawab:
 RR 30x/menit
Kecelakaan  Trauma abdomen dan fraktur femur 
pendarahan  volume darah berkurang  perfusi ke jaringan
berkurang  oksigenasi inadekuat  mekanisme kompensasi
 takipnea
 Nadi 118x/ menit
Kecelakaan  Trauma abdomen dan fraktur femur 
pendarahan  volume darah berkurang  volume preload
berkurang  SV berkurang  mekanisme kompensasi 
takikardi
 TD 70/50 mmHg
Kecelakaan  Trauma abdomen dan fraktur femur 
pendarahan  volume darah berkurang  hipotensi

3. Apa saja regio pada abdomen dan apa saja kemungkinan organ yang
terganggu?
Jawab: Regio pada abdomen meliputi regio hipokondrium dextra et
sinistra, epigastrium, lumbalis dextra et sinistra, umbilikalis,
inguinal dextra et sinistra, dan hipogastrium.
Organ yang terganggu lien, gaster, pankreas, ginjal

4. Bagaimana mekanisme tangan dan kaki berkeringat dingin?


Jawab: Kecelakaan  Trauma abdomen dan fraktur femur  pendarahan
 volume darah berkurang  mekanisme kompensasi 
aktivasi saraf simpatik  berkeringat

Daftar Pustaka
De Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta

Salomone, Joseph. 2007. Blunt Abdominal Trauma. Department of Emergency


Medicine, Truman Medical Center, University of Missouri at Kansas City
School of Medicine. http://www.emedicine.com diakses pada 6 Agustus
2019.

Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006.

Anda mungkin juga menyukai