Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

“Korupsi Dalam Perspektif Budaya”

Oleh Kelompok 3

Kelas : II.C

M.Fadhan jonaf (183110261)

Febyoza Wulandari (183110253)

Indah Helmalia P (183110256)

Nurul Qamaria (183110265)

Risma Tri Anisa (183110271)

Shafira Izzati (183110273)

Yanandra Febiola (183110278)

Yuliza Novita (183110280)

Dosen Pembimbing :
Wiwi Sartika,DCN.Mbiomed

D-III KEPERAWATAN PADANG

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

T.A 2019/ 2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat dan hidayah yang Allah SWT anugerahkan kepada kita
sehingga dapat menyusun makalah dengan judul “Korupsi Dalam Perspektif Budaya”. Makalah
ini disusun dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Budaya Anti
Korupsi.

Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya


kepada semua pihak yang sudah mendukung penyusunan makalah ini sehingga makalah ini dapat
terselesaikan. Selanjutnya kami berharap supaya makalah ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis
maupun pembaca. Kami sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk
itu, kami sangat terbuka atas kritik dan saran positif dari pembaca.

Padang,15 Agustus 2019

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…...............……………............………………………….i

DAFTAR ISI………………..............…………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……….........………………………………………….......................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi..................................................................................................


2.2 Korupsi Dalam Perspektif Budaya..........................................................................
2.3 Perspektif Kebudayaan............................................................................................

BAB III PENUTUP

Kesimpulan………………….....................………………………………

DaftarPustaka...........................…………………………………………………iii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Salah satu masalah besar yang terjadi di republik ini adalah masalah korupsi. Korupsi
membuktikan bahwa hampirsetiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Korupsi tersebut
memunculkan indikasi terhadap masyrakat tentang ketidakpercyaan rakyat terhadap pemerintah.
Narasi sifatnya membangun optimisme yang selalu digelorakan setiap rezimnya, yang seakan
menjunjung tinggi penyelenggara negara yang bebas korupsi dinilai hanya sekedar isapan jempol
belaka.

Indonesia memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pemberantasan korupsi .


tindakan pidana korupsi dipandang sebagai serious crime karena mampu mengganggu hak
ekonomi dan hak sosial masyarakat dan negara dalam skala besar, sehingga penangannya harus
dilakukan dengan extra ordinary treatment, serta pembuktiannya membutuhkan langkah-langkah
serius, profesional dan independen1

Langkah ini diperlukan mengingat korupsi tergolong sebagai white collar crime adalah
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang terhormat dan status yang tinggi dalam kaitan
dengan okupasinya (jabatan). Sehingga korupsi semakin memperburuk citra pemerintah di mata
masyarakat tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap
terhadap hukum.

Permasalahan korupsi di indonesia yang tidak kunjung selesai menyebabkan munculnya


suatu istilah “budaya korupsi” dalam masyarakat. Korupsi memang bukan dikatakan sebagai
kebudayaan yang diwariskan secara turun menurun oleh para pendahulu namun korupsi
dipandang sebagai suatu kenyataan dimana korupsi tidak lagi diberantas. lalu bagaimana negara
membangun suatu sistem yang mampu membangun budaya hukum yang anti korupsi masih
menjadi Pekerjaan rumah setiap penguasa atau rezim. apakah langkah pemerintah dalam
menekan angka korupsi ? tulisan ini mencoba melihat permasalahan korupsi melalui pendekatan
teori friedman terkait dengan sistem hukum yang selanjutnya akan dijelaskan di bagian
permasalahan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi

Terminologi korupsi sendiri itu merupakan tindakan perampokan terhadap uang negara
yang bersumber dari rakyat. Rose ackerman mendefiniskan korupsi sebagai pembayaran ilegal
kepada pejabat publik untuk mendapatkan keuntungan. Sedangkan menurut johson korupsi
sebagai penyalahgunaan peran dan sumber daya publik atau penggunaan bentuk pengaruh politis
yang tidak terlegitimasi yang dilakukan oleh pihak publik maupun swasta. Jadi korupsi
merupakan tindakan penyelewengan serta penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
seorang individu maupun kelompok yang merugikan orang lain untuk memperkaya diri sendiri.

Menurut penasehat komisi pemberantasan korupsi (KPK) abdullah hemahua berdasarkan


kajian serta pengalaman terdapat 8 penyebab terjadinya korupsi di indonesia di antaranya :
sistem penyelenggara negara yang keliru, kompensasi PNS yang rendah, pejabat yang serakah,
law enforcement tidak berjalan, hukuman ringan terhadap koruptor, pengawasan yang tidak
efektif serta tidak ada keteladanan.

2.2 Korupsi Dalam Perspektif Budaya

Bank Dunia mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang penyelenggara


negara untuk meraih keuntungan pribadi dan atau kelompoknya. Berdasarkan defisini ini, secara
spesifik menyatakan bahwa korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai/penyelenggara
negara.

Mayoritas definisi yang dikemukakan di luar sana, padanan katanya mirip dengan
pendefinisian yang diberikan oleh Bank Dunia ini. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah hanya
pejabat publik/pegawai pemerintah atau pihak-pihak yang berhubungan dengan mereka saja yang
dapat dikatakan korupsi? Jika iya, pertanyaan selanjutnya adalah apakah korupsi itu sesuatu yang
mutlak atau relatif di dalam masyarakat?
Menarik untuk diperhatikan, bahwa seiring dengan adanya gelombang demokratisasi di
pertengahan abad ke-20, peradaban manusia sudah mulai berjalan di arah yang lebih baik. Dalam
artian, bahwa cara-cara lama, sudut pandang, dan pola pikir kolot sudah semakin ditinggalkan
oleh sebagian besar umat manusia.

Sebagai bukti, kehidupan demokrasi semakin dijunjung tinggi, meninggalkan cara-cara


kekerasan dan gaya feodal dalam memimpin ataupun menduduki tampuk kekuasaan. Emansipasi
wanita dan kesetaraan gender menjadi frase yang didengungkan di berbagai negara, sebagai
bentuk dari kemajuan pola pikir umat manusia yang tidak mensubordinasi gender lain, dalam hal
ini wanita.

Meskipun dalam prakteknya, di setiap negara mempunyai perkembangan dan kemajuan


yang berbeda-beda. Di sisi lain, perbudakan yang dahulu adalah lumrah, saat ini -moral dan
hukum- menjadi sebuah hal yang diharamkan oleh dunia internasional karena melanggar hak
asasi manusia.

Kemajuan-kemajuan semacam itu, memang patut disyukuri dan ditingkatkan. Namun di


sisi lain, ketika beberapa variabel dari penyokong peradaban manusia sudah mulai berkembang
ke arah yang lebih baik, kesadaran terhadap sikap anti-korupsi belum tercermin secara universal,
berbeda dengan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya.

Kesadaran akan sikap anti-korupsi dapat hadir, apabila didukung dengan pola budaya
masyarakat yang juga anti terhadap korupsi. Penting halnya bagi masyarakat dan penyelenggara
negara mendapatkan edukasi yang baik mengenai istilah korupsi dan perilaku-perilaku yang
merujuk pada tindak korupsi, yang penulis katakan di awal adalah sesuatu yang sulit
didefinisikan. Mengapa hal ini penting?

Karena yang terjadi di beberapa kasus adalah seseorang/sekelompok orang melakukan


tindak pidana korupsi diakibatkan yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa yang
dilakukannya adalah termasuk korupsi. Atau di kasus lain, seseorang/kelompok melakukan
tindak korupsi, karena hal itu sudah dianggap lumrah dan wajar di lingkungan sekitarnya.
Menurut Haller dan Shore, korupsi dapat dimulai dari pemahaman tentang konsep, cara
memandang apakah tindakan tertentu termasuk korupsi atau tidak. Cara pandang masyarakat
tentang apa yang boleh dan tidak boleh, benar atau salah, baik atau buruk, korupsi atau tidak,
menjadi landasan dalam bersikap dan berperilaku.

Kasus korupsi bukan merupakan wajah baru direpublik ini, pasca runtuhnya rezim orde
baru yang dinilai unsur KKN yang terselubung dan teroganisir kini indonesia mulai berbebenah
membangun sebuah landasan hukum bebas akan unsur Korupsi Kolusi dan Nepotisme dengan di
undangkannya dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan
bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi pada masa presiden B.J. Habibie, di rezim berikutnya pada masa
kepemimpinan Presden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, kemudian pada tahun 2002 Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya Ini dinilai
merupakan langkah optimis dalam membangun negeri bebas dari KKN melalui rezim yang baru
di bangun setiap periode pemerintahan. Segudang harapan dibangun dalam sebuah narasi hukum
yang mampu membawah era baru tanpa korupsi. Lantas apakah itu akan membangun budaya
hukum baru dalam lingkungan bermasyarakat maupun birokrasi di republik ini. Salah satu
wartawan terkenal yaitu almarhum muktar lubis pernah mengatakan bahwa korupsi telah
menjadi budaya bangsa indonesia. Pernyataan yang susah untuk diingkari bawah pada
hakikatnya manusia itu berbudaya, maka hasil kebudayaan manusia melahirkan peradaban yang
lebih baik dari masa ke masa. Hal yang dihasilkan oleh peradaban maju antara lain adalah
budaya bersih anti kekerasan, kejahatan dan ketidakadilan. Dengan menyebut korupsi sebagai
budaya apakah berarti bahwa orang indonesia pada umumnya makhluk rakus? Sehingga tidak
lagi patuh pada norma hukum ?

Berangkat dengan asumsi tersebut dengan mengacu pada Teori Friedman bahwa salah satu
komponen konsep hukumnya yaitu mengatur tentang budaya hukum yang dimana budaya hukum
sebagai sikap dan nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap dan
nilai yang memberikan pengaruh baik positif dan negatif kepada tingkah laku yang berkaitan
dengan hukum. demikian juga dengan kesenangan dan ketidaksenangan untuk berperkara adalah
bagian dari budaya hukum. oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain
dari keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang
logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Seperti yang dijelaskan sebelumnya
dengan dikaitkan dengan budaya hukum friedman bahwa sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan. Budaya atau kultur hukum adalah
suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan
dihindari atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitanya dengan kesadaran hukum
masyarakat. Mengutip Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya
hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara
sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator
berfungsinya hukum begitupun sebaliknya apabila kepatuhan masyrakat terhadap hukum
menurun atau apatis maka hukum tidak berfungsi.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa istilah budaya hukum mengacu kepada pengetahuan
publik, sikap dan pola perilaku masyarakat berkaitan dengan sistem hukum. The term legal
culture has been loosly used to discribe a number of related phenomena. It refers to public
knowlege of and attitudes and behavior patterns toward the legal system. Do people feel and act
as if courts are fair ? When are they willing to use courts ? What part of the law do they consider
legitimate ? What do they know about the law in general ? These attitudes differ from person to
person, but one can also speak of the legal culture of a country or a group, if there are patterns
that distinguish it from the culture of the countries or groups (Lawrence, 1975).

Friedman, menelaah budaya hukum dari pelbagai perspektif. Ia menganalisa budaya


hukum nasional yang dibedakan dari sub-budaya hukum yang berpengaruh secara positif atau
negatif terhadap hukum nasional. Ia juga membedakan budaya hukum internal dan budaya
hukum eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum warga masyarakat yang
melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus, seperti polisi, jaksa hakim dalam menjalankan
tugasnya, sedangkan budaya hukum eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada
umumnya, misalnya bagaimana sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap ketentuan
perpajakan, perceraian dan sebagainya. Ia juga membedakan budaya hukum tradisional dan
budaya hukum modern. Dengan adanya pelbagai sistem hukum dalam suatu komunitas politik
tunggal maka disebut pluralisme hukum. Pluralisme hukum dapat berbentuk horizontal atau
vertikal. Pada yang horisontal masingmasing subsistem atau sub-budaya mempunyai kekuatan
hukum sama, sedangkan yang vertikal kekuatan hukumnya berbeda-beda. Menurut Friedman,
budaya hukum menunjuk pada dua hal yaitu : (1) unsur adatistiadat yang organis berkaitan
dengan kebudayaan secara menyeluruh; dan (2) unsur nilai dan sikap sosial. Lebih lanjut
dikatakan bahwa sistem hukum yang terdiri dari struktur dan subtansi, bukanlah merupakan
mesin yang bekerja. Apabila kedua unsur itu berfungsi dalam masukan dan keluaran proses
hukum, maka kekuatan-kekuatan sosial tertentu berpengaruh terhadapnya. Kekuatan-kekuatan
sosial itu merupakan variabel tersendiri yang disebut ‘budaya hukum’. Variabel itu berproses
bersamaan dengan kebudayaan sebagai suatu variasi, yang kemungkinan variabel tersebut
menentang, melemahkan, atau memperkuat sistem hukum (Lawrence, 1975). Friedman melihat
bahwa hukum itu tidak layak hanya dibicarakan dari segi struktur dan subtansinya saja,
melainkan juga dari segi unsur tuntutan-tuntutan (demands) yang berasal dari
kepentingankepentingan (interests) individu dan kelompok masyarakat ketika berhadapan
dengan institusi hukum. Kepentingan kepentingan dan tuntutan-tuntutan tersebut merupakan
kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang tercemin dalam sikap dan nilai-nilai yang ada di
masyarakat. Unsur kekuatan-kekuatan sosial tersebut disebut oleh Friedman sebagai budaya
hukum (legal culture)

Konsepsi sistem hukum friedman memberikan pandangan yang cukup jelas. Merujuk
dengan sistem hukum friedman dengan melihat perkembangan sistem hukum di indonesia dalam
hal penanganan kasus korupsi. Maraknya kasus korupsi di indonesia menimbulkan suatu tanda
tanya bawasanya apakah yang menjadi faktor maraknya kasus korupsi di indonesia? Penalaran
perihal tersebut mungkin akan cenderung menitik beratkan terhadap sistem hukum dan kemudian
ditunjang oleh struktur hukum selaku ekskutor atau motor penggerak dari sistem hukum tersebut
lalu pada akhirnya berdampak pada kehidupan bermasyarakat yang kemudian membentuk
sebuah pemikiran atau asumsi. Perilaku atau budaya merupakan suatu konsepsi yang timbul
akibat interaksi antara hukum dan masyarakat yang memunculkan suatu paradigma, dalam
konteks ini hukumlah yang membentuk masyarakat tersebut. Lebih jelas lagi bahwa budaya
hukum merupakan suatu jaringan nilai-nilai dan sikap yang berhubungan dengan hukum, atau
orang berpaling kepada hukum atau kepada pemerintah atau meninggalkannya sama sekali.
Budaya hukum itu sendiri merupakan ide-ide, sikap, harapan dan pendapat tentang hukum bahwa
:
 Budaya hukum seseorang akan menentukan perilaku menerima atau menolak hukum
 Perbedaan budaya hukum para pelaku dapat menimbulkan interpretasi dan pemahaman
terhadpa norma hukum
 Dalam menjalankan fungsi hukum maka hukum selalu berhadapan dengan nilai-nilai atau
pola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat, sehingga dapat muncul ketidaksesuaian
antara apa yang seharusnya (das sollen) dan apa yang senyatanya (das sain) ada perbedaan
antara law in the book and law in action
 Budaya hukum eksternal dan budaya hukum internal.
Sehingga dalam kasus pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan melalui
penegakan hukum yang terkait dalam reformasi hukum tidak hanya pembaharuan undang-
undang atau substansi tetapi juga pembaharuan sturjtur serta budaya hukum. Kultur atau
budaya alaha nilai-nilai sikap yang mengikat sistem secara bersama atau menentukan tempat
sistem itu secara bersama atau menentukan tempat dari sistem hukum itu dalam budaya
masyarakat sebagai suatu keseluruhan.

Selanjutnya, Data Annual Report World Economic Forum (WEF) setiap tahunnya masalah
korupsi selalu menjadi permasalahan utama di indonesia. Tentu hal tersebut sangat
mempengaruhi pandangan dunia terhadap sistem hukum, struktur serta budaya hukum di
indonesia. Yang notabene bahwa Korupsi merupakan kejahatan yang sangat merugikan negara
sehingga hal itu mampu memutar haluan para investor untuk melakukan investasi yang pada
akhirnya berimbas lambannya pertumbuhan ekonomi negara. Sumber lainnya yaitu
Transparency International merilis indeks persepsi korupsi negara-negara di dunia di tahun
2017, pada surveynya atau hasil analisanya indonesia menduduki peringkat 96. Melihat sumber
data tersebut mungkin kembali membangkitkan narasi lawas dari wartawan mukhtar lubis
bahwsanya korupsi merupakan sudah menjadi budaya di republik ini dan lemahnya penegakan
pemberantasan korupsi di indonesia yang berujung pada budaya hukum yang apatis.

Membahas korupsi memang tidak akan ada habisnya karena ini bergantung terhadap
budaya hukum khususnya di indonesia, dimana menimbulkan pandangan akan lemahnya sistem
serta struktur hukum dalam melakukan penanganan terhadap kasus tersebut. Upaya pemerintah
dalam memperketat sistem hukum dengan mengeluarkan aturan terkait pemberantasan korupsi
tak selamanya berujung baik. Fenomenanya justru bahwa pejabat publik sendiri yang menjadi
aktor utama dari headline kasus korupsi di republik ini. Hal tersebut menimbulkan stigma dan
kemudian memunculkan mind set yang berkembang di masyarakat akan ketidakpercayaan
masyarkarat terhadap pejabat publik yang merupakan representasi masyarakat. Masyarakatpun
,menjadi sinis terhadap berbagai upaya pemberantasan korupsi,orang tidak lagi percaya korupsi
dapat diberantas. Koesno aldi dalam bukunya yang berjudul penanggulangan tindak pidana
korupsi dalam berbagai perspektif faktor budaya hukum yang melemahkan hukum terhadap
koruptor seperti bahwa sikap masyarakat yang menganggap kasus korupsi sebagai angin lalu dan
masa bodoh terhadap prosesi penegakan hukum. Korupsi dipandang sebagai penyakit kronis
yang sulit disembuhkan atau bahkan dapat dikatakan bahwa menjadi suatu sistem yang menyatu
dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan pemerintahan justru akan hancur jika
hukum benar-benar ditegakkan. Pola perilaku tersbeut disebabkan karena pandangan masyarkat
yang sudah mempercayai bahwa penyelesaian tindak pidana korupsi tidak sepenuhnya dilakukan
secara konsisten (selalu ada permakluman dan kompromi). Penegakan dipandang hanya sebagai
formalitas.

Penulis berikan contoh sebagaimana yang tertera di buku Prof. Etty Indriati, Ph.D yang
membahas soal cara pandang ini. Beliau mengutip beberapa pertanyaan yang diajukan untuk
mengetahui cara pandang seseorang dan masyarakat terhadap tindakan korupsi sebagai berikut.

1. Memberikan rincian program dan harga kepada beberapa pegawai perusahaan tertentu
sebelum lelang dimulai termasuk korupsi?

2. Apakah memotong sekian persen dari anggaran yang dicairkan untuk anggota
parlemen yang menyetujui anggaran termasuk korupsi? Apakah ini yang disebut
“commitment fee” dan pemerintah/birokrasi harus menolak atau justru bekerja sama
berbagi hasil?

3. Apakah mencantumkan kegiatan yang sebenarnya tidak dijaklankan termasuk korupsi?

4. Apakah memberi diskon sesudah pemenang lelang ditentukan termasuk korupsi?

5. Apakah menerima hadiah lebaran, hadiah natal, hadiah ulang tahun dari
pebisnis/perusahaan pemenang lelang termasuk korupsi yang disebut gratifikasi?
6.Apakah dengan memberikan sedikit uang kepada pegawai negeri sebagai imbalan atas
kerjanya yang cepat dan tangkas, tidak bertele-tele, juga merupakan tindak korupsi yang
dianggap sebagai gratifikasi atau bahkan suap?

Hasil dari jawaban yang diberikan oleh responden beragam, ada yang menjawab “ya,
tidak, tergantung, hal itu wajar, dsb.” Inilah yang menjadi masalah utamanya. Korupsi seringkali
didefinisikan dengan mengacu pada standar nilai yang ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.
Sedangkan standar nilai dalam satu masyarakat, tentu akan berbeda dengan standar nilai di
kelompok masyarakat lainnya. Artinya apa yang bagi seseorang adalah korupsi, bagi orang lain
dianggap sebagai hal yang wajar, ataupun bentuk silaturahmi atau cara agar relasi/hubungan
lebih intim.

Selain perkara cara pandang yang masih abu-abu, tindakan korupsi yang merajalela juga
merupakan suatu proses enkulturasi, yaitu interaksi sosial saat orang-orang belajar, memahami,
dan mempraktekkan serta membangun kebiasaan yang berkembang di sekitar menjadi
kebudayaannya.

Kultur korupsi di masyarakat terbentuk karena adanya kondisi yang memungkinkan atau
terkadang memaksa untuk melakukan hal tersebut. Pola-pola yang ada di masyarakat berupa
kesenjangan ekonomi, krisis kepercayaan, buruknya pelayanan birokrasi, penegakan hukum yang
lemah, minimnya edukasi dan pendidikan anti-korupsi, menjadikan perilaku korupsi adalah hal
yang dianggap lumrah sebagai bentuk jawaban atas kesulitan yang sering masyarakat hadapi.

Penulis berikan contoh, suatu ketika ada sekelompok orang ingin membuat KTP
Elektronik sebagai bentuk kepatuhan mereka pada peraturan yang telah dicanangkan pemerintah.
Di tengah proses berjalan, muncul berita di media bahwa dana proyek E-KTP telah
diselewengkan oleh anggota parlemen, sehingga proses pembuatannya tidak kunjung selesai,
dengan kata lain dikorupsi.

Padahal, mereka sangat membutuhkan kartu itu untuk keperluan administrasi lainnya.
Maka, mereka melakukan hal yang mungkin disebut “sogokan” atau memberi uang pelicin
kepada petugas kelurahan/dinas kependudukan sipil agar E-KTP mereka cepat jadi. Hal inilah
yang penulis katakan sebagai hal memaksa, sehingga perilaku-perilaku korup masih terus
tumbuh subur di kalangan masyarakat.

Sehingga tidak mengherankan, apabila banyak pejabat dan penyelenggara negara yang
notabene memiliki wewenang dan kekuasaan untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Mengingat, bahkan di kehidupan masyarakat awam yang tidak mempunyai kuasa, wewenang,
atau alat-alat pendukung lainnya, perilaku semacam itu sudah membudaya.

Kenyataan yang sedemikian rupa, tentulah menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi
penegak hukum, penyelenggara negara, dan masyarakat awam dalam menyikapi budaya korupsi
yang secara sadar ataupun tidak, telah dilestarikan sekian lama. Namun, menjadi sesuatu yang
sulit, jika mengupayakan membasmi budaya korupsi hanya dengan pendekatan hukum pidana
semata.

Cara mengatasi sesuatu yang muncul karena enkulturasi adalah dengan membangun
pemaknaan baru atau cara pandang baru, dan melakukan enkulturasi yang serupa atas pemakaan
baru tersebut. Jika merujuk kepada budaya korupsi, maka harus dibangun pemaknaan baru, yaitu
sikap dan semangat anti-korupsi.

Sikap anti-korupsi ini ditularkan melalui enkulturasi budaya melalui lembaga-lembaga


sosialisasi yang ada, semisal keluarga, media massa, tokoh masyarakat dan tokoh agama, apparat
penegak hukum, dan lain sebagainya. Penanaman nilai anti-korupsi yang utuh dan seragam,
sehingga universalitas dari sikap anti-korupsi akan sama besar dan pengaruhnya, seperti sikap
anti totaliter/otoriter, anti diskriminasi gender, dan anti perbudakan yang telah diadopsi di
seluruh dunia.

2.2 Perspektif Kebudayaan

a. Skema Cara-Tujuan
Sekema Cara-Tujuan pada dasarnya mau menjelaskan bahwa korupsi itu terjadi akibat adanya
dorongan kuat untuk memperoleh kekayaan, sementara akses legal terhadap sumberdaya
ekonomi itu sangat terbatas. Misalnya: ingin beli rumah dan mobil tetapi gaji dan pendapatan
legal lainnya tidak mendukung. Hal ini pada akhirnya mendorong orang tersebut untuk mencari
penghasilan lain di luar penghasilan yang legal secara hukum dan sah menurut norma-norma
sosial dalam masyarakat. Apakah menjadi kaya itu penting?

Menurut Merton setiap masyarakat memiliki standar masing-masing untuk mengukur tinggi
rendahnya pencapaian (prestise) dalam kehidupan sosial anggotanya, termasuk cara-cara untuk
mencapai tujuan itu telah diatur dalam norma- norma sosial yang dipegang oleh masyarakat itu
(Lipset & Lenz, 2011). Memang tidak semua masyarakat menjadikan kekayaan sebagai prestise,
ada yang menjadikan kasta sebagai prestise, kepemilikan barang-barang berharga seperti
kepemilikan kula di masyarakat Trobriand, dll. Tetapi di “abad belanja” seperti saat ini,
pencapaian ekonomi itu menjadi prestise yang paling diminati banyak orang. Bukan saja karena
kekuatan ekonomi dapat memanjakan dan memenuhi keinginan kita untuk berbelanja, tetapi juga
karena kekuatan ekonomi dapat dikonfersi dengan banyak hal, seperti: dapat menggerakan
massa, bisa menjamin kekuasaan politik, seks, penghargaan, kedermawanan, dsb. Kesuksesan
secara ekonomi pada akhirnya menjadi tujuan banyak orang, terutama aktor-aktor yang duduk
sebagai penyelenggara pemerintahan. Karena desakan sturktur (untuk mendapatkan kekayaan
dan penghargaan), idealnya seseorang harus berusaha mengumpulkan kekayaan dengan cara-cara
yang sesuai dengan norma- norma sosial yang ada. Sebab bila tidak sesuai, seseorang akan
dianggap melakukan menyimpang demi mendapatkan kekayaan.
Korupsi menurut Merton adalah sikap yang termotimvasi oleh desakan-desakan struktur sosial
(untuk sukses secara ekonomi) yang berakibat pada pelanggaran norma- norma sosial untuk
mencapainya. Hal seperti ini terjadi pada orang-orang yang memiliki akses terbatas untuk
menjangkau sumberdaya ekonomi yang ada, tetapi memiliki motivasi yang tinggi untuk
sukses secara ekonomi sehingga mereka melakukan cara-cara di luar aturan normatif (skema
cara-tujuan).

Tesis Merton ini menurut Lipset & Lenz (2011:182) dapat dibuktikan melalui data hasil Survei
Nilai-nilai Dunia lintas nasioanal tahun 1990-1993 yang menunjukan adanya hubungan antara
motivasi pencapaian yang tinggi dengan tingkat korupsi yang tinggi pada suatu negara. Negara-
negara yang kurang makmur dengan motivasi pencapaian kekayaan yang tinggi pada aktor-aktor
penyelenggara negara memiliki tingkat korupsi yang sangat tinggi. Sebab negara tidak mampu
membuka akses sumberdaya ekonomi yang lebih mudah untuk warga negaranya. Sebaliknya di
negara-negara makmur yang dapat membuka akses sumberdaya ekonomi relatif lebih mudah
pada warga negaranya, cenderung memiliki tingkat korupsi yang relatif rendah, seperti di
Denmark, Norwegia dan Swedia (Lipset & Lenz, 2011:182).

Singkatnya, skema cara-tujuan itu menyatakan bahwa korupsi itu disebabkan oleh tingginya
motivasi untuk kaya namun memiliki akses yang terbatas ke sumber daya ekonomi, sehingga
untuk menjadi kaya seseorang harus melakukan cara-cara di luar kaidah-kaidah normatif.
Sayangnya pandangan ini masih sulit untuk menjelaskan mengapa justru orang-orang kaya yang
memiliki akses ke sumberdaya ekonomi yang sering terlibat kasus korupsi (cara-cara pencapaian
di luar norma-norma sosial). Oleh karena itu berikut ini akan dipaparkan pandangan mengenai
moral ekonomi korupsi.

b. Moral Ekonomi Korupsi


Moral ekonomi korupsi merujuk pada suatu tradisi ekonomi masyarakat purba atau masyarakat
pra-kapitalis. Relasi ekonomi masyarakat pra-kapitalis berlangsung dalam komunitas kecil,
yang ditopang oleh jaringan sosial yang kuat dan hubungan personal yang hangat (Alhumami,
2012). Prinsip ekonomi ini berbasis pada tiga hal pokok, yakni: mutuality(hubungan saling
menguntungkan), reciprocity (bersifat timbal balik), dan solidarity(solidaritas). Menurut
Alhumami (2012) untuk mewujudkan ketiga hal pokok itu, maka seluruh aktivitas ekonomi
digerakkan melalui pola jaringan patronase (patron-clientage) terutama dalam dua hal: (1)
mengalokasikan sumberdaya ekonomi dan (2) memberikan proteksi agar sumberdaya ekonomi
itu hanya dimiliki oleh kelompok mereka. Seorang patron adalah orang yang memiliki akses
langsung ke sumberdaya ekonomi, sehingga orang-orang yang memperoleh keuntungan
finansial adalah mereka yang punya hubungan dekat dengan sang patron.
Bentuk-bentuk moral ekonomi pra-kapitalis ini dapat dijumpai dalam praktik- praktik korupsi
saat ini. Setidaknya praktik korupsi melibatkan tiga aktor kunci, yakni: pejabat negara yang
punya akses ke sumberdaya ekonomi (APBN), anggota DPR selaku pihak yang menyetujui
penggunaan APBN, dan pengusaha yang berkepentingan dengan proyek-proyek yang didanai
dengan APBN. Relasi ketiga aktor ini sangat rawan untuk terjadi korupsi, sebab mereka dapat
menjalin hubungan patron-klien yang tersembunyi (informal) dengan prinsip-prinsip moral
ekonomi pra-kapitalis, yakni: hubungan saling menguntungkan, bersifat timbal balik, dan
menguatkan solidaritas (saling melindungi) antara sesama kelompok yang menuai keuntungan
finansial dari hubungan itu. Dalam hal ini pejabat negara dan DPR sebagai patron yang memiliki
akses ke APBN dan pengusaha sebagai klien. Patron dalam relasi ini akan mendistribusikan
sumberdaya ekonomi dalam bentuk proyek-proyek yang didanai dari APBN kepada para
pengusaha selaku klien. Kemudian mereka akan berbagi keuntungan dari hubungan-hubungan
itu. Pengusaha yang memiliki kedekatan dengan sang patron akan mendapat distribusi
proyek yang lebih memadai dibanding yang lainnya.

c. Familisme yang Tak Bermoral


Perspektif ini berasumsi bahwa korupsi itu merupakan ekspresi perasaan wajib membantu,
memberikan keuntungan bagi orang-orang yang sudah menanam budi terutama sekali pada
keluarga, teman-teman dan anggota kelompok (Lipset & Lenz, 2011:184). Konsep seperti ini
lebih akrab dikenal dengan istilah “nepotisme” dimana orang tak perduli dengan kapasitas diri
seseorang, asalkan ia keluarga atau teman dekat, berkualitas atau tidak dia tetap harus
diprioritaskan. Di Indonesia, hal semacam ini banyak dijumpai dalam praktek-praktek politik di
tingkat nasioanal maupun di daerah- daerah otonomi baru hasil pemekaran. Disebut “familisme
yang tak bermoral” karena prinsip ini lebih mengedepankan kewajiban menolong keluarga dan
mengabaikan pertimbangan profesionalitas dan perbaikan lembaga yang melayani orang banyak.

Edward Banfield memperkenalkan konsep ini setelah ia melakukan penelitian lapangan di


“negara Mafia” Sisilia, Italia bagian Selatan. Banfield menyatakan bahwa dalam sebuah
masyarakat dengan familisme (kekeluargaan) tak bermoral seperti di Sisilia, tidak ada orang
yang berpikir untuk memajukan kepentingan kelompok yang lebih luas, kecuali hal itu
menguntungkan dirinya sendiri dan keluarganya. Banfield sampai pada kesimpulan bahwa
korupsi di Italia Selatan adalah ekspresi kekuatan familisme tak bermoral seperti familisme
yang menopang Mafia.
Lipset & Lenz (2011:186) menguji pendapat Banfield ini melalui Survei Nilai- nilai Dunia tahun
1990. Survei ini mengukur skala nilai-nilai familisme (kekeluargaan) dengan tingkat korupsi
yang terjadi di suatu negara. Hasilnya menunjukan bahwa negara negara dengan tingkat
kekeluargaan (familisme) yang tinggi seperti di negara-negara Asia cenderung memiliki
tingkat korupsi yang tinggi. Sementara negara- negara dengan tingkat kekeluargaan (familisme)
yang tergolong rendah seperti di negara Skandinavia memiliki tingkat korupsi yang cenderung
rendah. Indonesia adalah salah satu negara Asia yang tingkat kekeluargaannya (familisme)
sangat tinggi dengan tingkat korupsi yang cukup tinggi pula. Berdasarkan data Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) tahun 2016, seperti sudah ditunjukan di atas, Indonesia masuk dalam urutan ke-90
dari 176 negara yang disurvei oleh lembaga Transparency International (TI).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah diundangkannya tindak pidana korupsi maka indonesia secara resmi telah
mendeklarasikan dirinya sebagai negara yang memerangi korupsi. Kebijakan
pemberantasan korupsi di indonesia bertumpu pada tiga elemen dalam sistem hukum
yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Budaya hukum masyarakat
memiliki peranan penting dalam penanggulangan tindak pidana korupsi. Dikarenakan
ini mencakup seperti apa masyarakat memandang sistem hukum seperti apakah
elemen hukumnya sudah dapat bekerja secara maksimal atau tidak.
Data-data kasus korupsi menimbulkan bahwa Hukum telah kehilangan
kepercayaan dan pamor dalam mewujudkan nilai keadilan yang harus diberikan. Ia
tidak lagi berada pada posisi otoritatif untuk menata dan mengendalikan proses
ekonomi, sosial, politik dll, melainkan difungsikan sebagai alat untuk kepentingan-
kepentingan tertentu yang tidak mendasar pada nilai-nilai pancasila.
DAFTAR PUSTAKA

Huntington, SP. 2009. “Modernization and Corruption”. In Heidenheimer and


Johnston (Eds.) Political Corruption, Concepts, and Contexts. New Jersey: Third Ed.
Transaction Publisher. pp. 253.

Indriati, Etty. 2014. Pola dan Akar Korupsi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rose-Ackerman. 1999. Corruption and Government. Causes, Consequences


and Reform. Cambridge: Cambridge University Press.

Siahaan, Monang. 2013. Korupsi: Penyakit Sosial yang Mematikan. Jakarta:


Elex Media Komputindo.

Suradi. 2017. Pendidikan Anti Korupsi. Yogyakarta: Gava Media.

Wattimena, Reza. 2012. Filsafat Anti-Korupsi: Membedah Hasrat Kuasa,


Pemburuan

Anda mungkin juga menyukai