Anda di halaman 1dari 3

TUGAS TIDAK TERSTRUKTUR

Nama: Della Silvia

KD 3.12 & 4.12

Indonesia adalah sebuah negara yang lahir dari sebuah perjuangan. Banyak faktor-faktor penting
yang mendorong terciptanya sebuah negara kesatuan yang utuh di tengah berbagai perbedaan dan
keberagaman yang terkandung dalam sebuah nama Indonesia. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa
segala daya upaya seperti peperangan, negosiasi, diplomasi, dan strategi merupakan usaha-usaha
yang dikerahkan oleh pendiri bangsa ini untuk meraih sebuah kata merdeka. Usaha mereka
kemudian membuahkan hasil berupa sebuah negara yang berdiri megah di sudut tenggara benua
Asia.

Berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara tercetak jelas dalam bab pertama Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengenai bentuk dan kedaulatan. Pada pasal 1 ayat 1
tertulis “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik” yang kemudian
dipertegas oleh pasal 37 ayat 5 yang menyebutkan “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Kehadiran dua pasal dalam sumber hukum di
Indonesia ini memperjelas peran penting bentuk negara dalam kelangsungan negara yang
bersangkutan. UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen dan hingga saat ini belum ada
pihak yang mempermasalahkan kedua pasal tersebut. Ditetapkannya dua pasal tersebut dalam UUD
1945 menandakan bahwa bentuk kesatuan dan republik merupakan bentuk negara yang paling ideal
dan dirasa paling cocok untuk mempersatukan keberagaman suku, ras, budaya, dan bahasa yang ada
di Indonesia.

Sebelum Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara yang berbentuk republik, telah terjadi
berbagai peristiwa besar yang kemudian memantapkan keputusan Indonesia sebagai sebuah negara
kesatuan yang berbentuk republik. Pada masa kolonial di abad ke-19 dan ke-20, Indonesia terdiri
dari vorstenlandenatau dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai wilayah raja-raja (Siraishi, 1990 :
1). Munculnya pemikiran bentuk negara pada saat itu ditandai dengan kehadiran politik etis. Adalah
seorang van Deventer yang kemudian mendapat julukan sebagai “Bapak Pergerakan Etis” pada
masa itu (Anon, 1900-1914: 57). Van Deventer menempatkan kesejahteraan penduduk asli di atas
segala-galanya dan merupakan seorang penentang kemiskinan di Jawa yang paling gigih dalam
menyerang praktik-praktik pemerasan yang saat itu dilakukan oleh Cultuur Stelsel (Anon, 1900-
1914: 57).

Kebijakan etis didasari oleh suatu pemikiran bahwa Belanda berhutang kehormatan pada Indonesia
sebab Belanda telah mengeruk kekayaan rakyat Indonesia untuk memakmurkan negaranya sendiri
sehingga timbul pemikiran bahwa Indonesia harus diperintah, bukan demi Belanda, tapi demi
penduduk aslinya (Vlekke, 1961: 382). Dalam politik etis ini, sektor yang dititikberatkan adalah
pendidikan sehingga muncul pelajar-pelajar Indonesia yang mendapat kesempatan untuk
mengenyam pendidikan di benua Barat. Berkat adanya kesepakatan ini, para pelajar Indonesia yang
memiliki rasa nasionalisme tinggi tersebut terdorong untuk membentuk organisasi-organisasi
pemuda seperti Budi Utomo yang mewadahi aspirasi dan keinginan masyarakat Indonesia saat itu
(Anon, 1900-1914: 90). Berkat pembentukan organisasi-organisasi nasional ini, rasa patriotisme
masyarakat Indonesia semakin membara dan berujung pada merebaknya pergerakan nasional demi
kemerdekaan Indonesia.

Sebelum proklamasi kemerdekaan, para pendiri bangsa telah memikirkan bagaimana seharusnya
bentuk negara dan pemerintahan Indonesia untuk seterusnya. Perundingan ini dilangsungkan melalui
sidang BPUPKI yang dilaksanakan pada tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Dua orang tokoh
bangsa yaitu Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin menyumbangkan pemikiran mereka
mengenai tiga pilihan bentuk negara bagi Indonesia yaitu negara kesatuan atau uni (eenheidstaat),
negara serikat atau federal (bondstaat), dan serikat negara-negara (statenbond) yang kemudian
dijelaskan lebih lanjut oleh Susanto Tirtoprodjo (Republika, 1999).

Pada negara kesatuan, yang berhak berhubungan dengan luar negeri hanya pemerintah pusat dan
pada negara federal, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berhak berhubungan dengan
luar negeri (Republika, 1999). Pemerintah pusat berhak mengadakan aturan langsung untuk semua
penduduk sedangkan pada serikat negara-negara, pemerintah pusat tidak berhak langsung membuat
aturan untuk penduduk melainkan hanya dengan perantara pemerintah daerah (Republika, 1999). Di
dalam sidang-sidang yang dilakukan, nampaknya usul mengenai pengkehendakan bentuk negara
yang berupa kesatuan mendominasi perdebatan pada saat itu.

Seorang Soepomo sendiri beranggapan bentuk kesatuan sejalan dengan pemikirannya mengenai
negara integralistik yang melihat bangsa sebagai suatu organisme namun kemudian dirangkum
kembali oleh Muhammad Yamin melalui lima alasan bentuk kesatuan (Republik, 1999). Pertama
adalah unitarisme sudah menjadi cita-cita gerakan kemerdekaan selama masa perjuangan. Hal ini
menggambarkan bagaimana kekuatan unitarisme dalam pergerakan perjuangan pada saat itu. Kedua
adalah agar tidak memberi kesempatan bagi provinsionalisme yang mengklasifikasikan daerah
mereka lebih superior dan berkuasa dari daerah lain. Ketiga adalah fakta bahwa tenaga-tenaga
terpelajar kebanyakan berada di Jawa sehingga menyulitkan tenaga di daerah-daerah untuk
membentuk negara federal mengingat luasnya Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan
terbesar di dunia. Keempat adalah wilayah-wilayah di indonesia yang tidak memiliki potensi dan
kekayaan yang sama sehingga semakin menyulitkan pembentukan negara federal. Kelima, dari sudut
geopolitik, dunia internasional akan melihat Indonesia sebagai negara yang kuat apabila berbentuk
sebagai negara kesatuan (Republika, 1999).

Bentuk negara republik sesungguhnya tidak langsung dapat diimplementasikan sesaat setelah
diputuskannya bentuk negara Indonesia pada sidang BPUPKI maupun setelah proklamasi
kemerdekaan dinyatakan. Indonesia mengalami berbagai macam peristiwa besar yang sempat
mengubah bentuk negara Indonesia pada saat itu. Salah satunya adalah Perundingan Linggarjati
pada tanggal 10 November 1946 yang saat itu diadakan oleh Indonesia dan Belanda untuk
menyepakati pembentukan negara federasi yaitu Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik
Indonesia Serikat (Badrika, 2006: 163). Republik Indonesia Serikat selanjutnya terikat dengan
Kerajaan Belanda di bawah naungan Uni Indonesia-Belanda yang diketuai oleh Ratu Belanda
(Badrika, 2006: 163).

Secara tidak langsung, Perundingan Linggarjati ini membuat Indonesia berubah secara struktur
dasarnya akibat keinginan agar Indonesia diakui oleh Belanda. Namun, harapan Belanda untuk
membentuk negara serikat ternyata tidak berjalan lancar. Terjadi berbagai ketimpangan di bidang
ekonomi yang membuat Indonesia kembali lagi menuju republik. Hal ini merupakan salah satu
bentuk nyata ketidakcocokan Indonesia terhadap bentuk negara lain selain republik. Pada tahun
1950, Republik Indonesia Serikat kemudian kembali lagi menuju Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdampak pada digantikannya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 sehingga
negara-negara bagian kembali bergabung pada Indonesia yang memutuskan untuk menjadi negara
kesatuan yang berbentuk republik (Badrika, 2006: 164).

Berdasarkan pernyataan-pernyataan pendiri bangsa mengenai bentuk negara Indonesia yang paling
pantas dan cocok untuk negara ini, penulis berpendapat bahwa bentuk negara yang paling pantas
untuk Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik sesuai dengan pasal 1 ayat 1 dalam
UUD 1945. Indonesia telah mencoba sistem negara lain seperti federal sebelumnya namun sebagian
besar orang Indonesia merasakan ketidakpuasan terhadap sistem federal yang membebani bangsa
terutama pada Perjanjian Den Haag (Kahin, 1952: 450). Selain itu negara-negara bagian mengalami
kesulitan dalam mengimbangi perkembangan negara-negara bagian lainnya sehingga terjadi
ketimpangan di berbagai bidang pada saat Indonesia berbentuk Serikat. Pernyataan Ferrazzi (2000:
84) yang menyebutkan bahwa federalisme cocok dengan nilai-nilai abadi dan penderitaan
masyarakat Indonesia pada masa penjajahan menurut penulis tidak mencerminkan semangat
persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagaimana yang disebutkan Muhammad Yamin dalam sidang
BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Indonesia haruslah menjadi negara persatuan yang tidak terpecah
belah, dibentuk ke dalam dan keluar badan bangsa Indonesia dengan tidak terbagi-bagi dan terkotak-
kotakkan. Negara federal apabila dibandingkan dengan negara kesatuan akan sangat terlihat
perbedaannya sebab negara kesatuan secara otomatis akan memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa. Berbeda dengan negara federal yang hanya akan melemahkan Indonesia.

Selain itu, bentuk negara federal ataupun serikat juga akan menghambat perkembangan suatu daerah
sebab suatu daerah tertentu tidak memiliki sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang
sama dengan daerah lainnya sehingga hal ini akan mempersulit peran pemerintah dalam pengawasan
dan penyeimbangan peran serta daerah-daerah tersebut di bawah negara federal ataupun serikat.
Membandingkan negara luas lainnya seperti Amerika Serikat yang menerapkan sistem federal
secara sukses dengan Indonesia tidak dapat dilakukan sebab secara tidak sadar telah terlupakan satu
aspek penting bernama kesetaraan. Perbedaan mendasar antara negara-negara barat yang
menerapkan sistem federal dengan Indonesia adalah suku dan ras yang ada di negara tersebut.
Negara barat kebanyakan homogen sehingga memudahkan penerapan sistem tersebut. Berbeda
dengan Indonesia yang heterogen dengan ratusan suku, ras, dan latar belakang budaya sehingga pola
pikir mereka juga berbeda-beda. Inilah yang menjadi faktor ketidakcocokan penerapan sistem
federal di Indonesia.

Dengan berbagai pertimbangan dan penjabaran mengenai bentuk negara dan pemerintahan yang
tepat untuk Indonesia, penulis menyatakan bahwa negara kesatuan yang berbentuk republik
merupakan bentuk yang paling cocok untuk Indonesia dan tidak akan dapat digantikan dengan
sistem-sistem lainnya. Indonesia membutuhkan sebuah negara yang dibentuk berdasarkan persatuan
dan kesatuan, bukan dikotak-kotakkan dan diklasifikasikan. Federal dan serikat hanya akan
menimbulkan perpecahan di tengah indahnya perbedaan. Sangat bertolak belakang dengan negara
kesatuan yang menjunjung tinggi keberagaman.

Anda mungkin juga menyukai