Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan

pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa

oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi

sering kali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena termasuk

penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu

sebagai peringatan bagi korbannya (Lanny Sustrani, dkk, 2004).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, jumlah penderita

hipertensi akan terus meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang

membesar. Pada 2025 mendatang, diproyeksikan sekitar 29 persen warga dunia

terkena hipertensi. Prosentase penderita hipertensi saat ini paling banyak terdapat

di negara berkembang. Data Global Status Report on Noncommunicable

Disesases 2010 dari WHO menyebutkan, 40 persen negara ekonomi berkembang

memiliki penderita hipertensi, sedangkan negara maju hanya 35 persen. Kawasan

Afrika memegang posisi puncak penderita hipertensi sebanyak 46 persen.

Sementara kawasan Amerika menempati posisi buncit dengan 35 persen. Di

kawasan Asia Tenggara, 36 persen orang dewasa menderita hipertensi.

Untuk kawasan Asia, penyakit ini telah membunuh 1,5 juta orang setiap

tahunnya. Hal ini menandakan satu dari tiga orang menderita tekanan darah tinggi.

"Untuk pria maupun wanita terjadi peningkatan jumlah penderita, dari 18 persen

menjadi 31 persen dan 16 menjadi 29 persen, (WHO, 2013). Di Indonesia, angka

1
penderita hipertensi mencapai 5,3% pada tahun 2015 dan penyakit tersebut

menduduki posisi ke-5 tingkat nansional penyebab kematian pada provinsi

sulawesi tenggara hipertensi menduduki posisi ke-2 penyakit penyebab kematian

dengan jumlah kasus 19.743.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi hipertensi?

2. Apa saja klasifikasi hipertensi?

3. Apa Etiologi hipertensi?

4. Bagaimanan Patofisiologi Hipertensi?

5. Apa saja manifestasi klinik hipertensi ?

6. Apa saja faktor resiko hipertensi?

7. Apa saja penggolongan obat-obat hipertensi?

8. Bagaimana penatalaksanaan hipertensi?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi hipertensi

2. Untuk mengetahui klasifikasi hipertensi

3. Untuk mengetahui etiologi hipertensi

4. Untuk mengetahui patofisiologi hipertensi

5. Untuk mengetahui manifestasi hipertensi

6. Untuk mengetahui aktor resiko hipertensi

7. Untuk mengetahui obat-obat hipertensi

8. Untuk mengetahui penatalakanaan hipertensi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah

sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg

pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan

cukup istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam

jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal

(gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan

stroke) bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang

memadai. (Kemenkes, 2014)

Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Commitee on Detection,

Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC) sebagai tekanan yang

lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan diklasifikasikan sesuai derajat

keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan darah (TD) normal tinggi

sampai hipertensi maligna. Keadaan ini dikategorikan sebagai primer/esensial

(hampir 90 % dari semua kasus) atau sekunder, terjadi sebagai akibat dari

kondisi patologi yang dapat dikenali, sering kali dapat diperbaiki (Marilynn E.

Doenges, dkk, 1999).

Hipertensi merupakan keadaan ketika tekanan darah sistolik lebih dari

120 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 80 mmHg. Hipertensi sering

3
menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang dapat mengakibatkan

semakin tingginya tekanan darah (Arif Muttaqin, 2009).

Menurut Bruner dan Suddarth (2001) hipertensi dapat didefinisikan

sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg

dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg. Pada populasi manula, hipertensi

didefinisikan sebagai tekanan sistolik di atas 160 mmHg dan tekanan diastolik

di atas 90 mmHg.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah meningkatnya

tekanan sistolik sedikitnya 140 mmHg dan diastolik sedikitnya 90 mmHg.

B. Klasifikasi Hipertensi

Menurut The Joint National Committee on Prevention, klasifikasi hipertensi

pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi,

hipertensi derajat I dan derajat II.

Menurut JNC VII (2003)

Klasiikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Derajat I 140-159 90-99

Hipertensi Derajat 2 ≥ 160 ≥ 100

4
Menurut JNC VIII (2014)

Klasiikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 < 80

Normal < 130 < 85

Normal Tinggi 130-139 85-89

Hipertensi Derajat I 140-159 90-99

Hipertensi Derajat 2 160-179 100-109

Hipertensi Derajat 3 ≥180 ≥110

Menurut WHO dan ISHWG (Internasional Society of Hypertension Working

Group)

Klafisikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 < 80

Normal < 130 < 85

Normal-Tinggi 130-139 85-89

Tingkat 1 (Hipertensi 140-159 90-99

Ringan) 140-149 90-94

Sub-grup : Perbatasan

Tingkat 2 (Hipertensi 160-179 100-109

Sedang)

Tingkat 3 (Hipertensi ≥ 180 ≥ 110

Berat)

5
Hipertensi Sistol ≥ 140 < 90

Terisolasi 140-149 < 90

Sub-rup : Perbatasan

Menurut Perhimpunan Hipertensi Indonesia

Klasiikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Derajat I 140-159 90-99

Hipertensi Derajat 2 ≥ 160 ≥ 100

Hipertensi Sistol ≥ 140 < 90

Terisolasi

C. Etiologi Hipertensi

Menurut (Widjadja,2009) Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat

dikelompokan menjadi dua yaitu:

1. Hipertensi Esensial atau Hipertensi Primer.

Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi esensial

yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui

penyebabnya (Idiopatik).

2. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi adalah

hipertensi sekunder, yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah

6
karena suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau

gangguan tiroid, hipertensi endokrin, hipertensi renal, kelainan saraf pusat

yang dapat mengakibatkan hipertensi dari penyakit tersebut karena

hipertensi sekunder yang terkait dengan ginjal disebut hipertensi ginjal

(renal hypertension). Gangguan ginjal yang paling banyak menyebabkan

tekanan darah tinggi karena adanya penyempitan pada arteri ginjal, yang

merupakan pembuluh darah utama penyuplai darah ke kedua organ ginjal.

Bila pasokan darah menurun maka ginjal akan memproduksi berbagai zat

yang meningkatkan tekanan darah serta ganguuan yang terjadi pada tiroid

juga merangsang aktivitas jantung, meningkatkan produksi darah yang

mengakibtkan meningkatnya resistensi pembuluh darah sehingga

mengakibtkan hipertensi. Faktor pencetus munculnya hipertensi sekunder

antara lain: penggunaan kontrasepsi oral, coarctation aorta, neurogenik

(tumor otak, ensefalitis, gangguan psikiatris), kehamilan, peningkatan

volume intravaskuler, luka bakar, dan stress karena stres bisa memicu

sistem saraf simapatis sehingga meningkatkan aktivitas jantung dan

tekanan pada pembuluh darah.

Berdasarkan gejalanya hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Hipertensi Benigna

Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang tidak menimbulkan

gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat penderita dicek up.

7
2. Hipertensi Maligna

Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang membahayakan

biasanya disertai dengan keadaan kegawatan yang merupakan akibat

komplikasi organ-organ seperti otak, jantung dan ginjal (Mahalul

Azam,2005).

D. Patofisiologi Hipertensi

Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan

darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha

untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek

kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi

segera. Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem

yang mengatur jumlah cairan tubuhyang melibatkan berbagai organ terutama

ginjal.

1. Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah

Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai

dengan penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis

merupakan proses multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh

darah dan terbentuk deposit substansi lemak, kolesterol, produk sampah

seluler, kalsium dan berbagai substansi lainnya dalam lapisan pembuluh

darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan plak di bawah lapisan

tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh darah, obstruksi luminal,

8
kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen pada organ atau bagian

tubuh tertentu.

Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam

pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah

vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi

endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer

2. Sistem renin-angiotensin

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin

II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE).

Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan

tekanan darah melalui dua aksi utama.

a) Meningkatkan sekresi Anti-Diureti Hormon (ADH) dan rasa haus.

Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke

luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi

osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler

akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler.

Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan

meningkatkan tekanan darah.

b) Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur

volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl

(garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya

konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan

9
volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan

volume dan tekanan darah.

Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi.


(Sumber: Rusdi & Nurlaela Isnawati, 2009)

E. Manifestasi Klinik Hipertensi

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan

darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti

perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat

dapat ditemukan edema pupil (edema pada diskus optikus).

10
Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit kepala bagian belakang,

kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada berdebar-debar, lemas,

sesak nafas, berkeringat dan pusing (Price, 2005).

Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi

maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu

sakit kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak

nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan

sering kencing di malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah

dijumpai meliputi gangguan penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan

gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan pendarahan

pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan

kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008).

Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah

mengalami hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat terjaga, kadang

kadang disertai mual dan muntah yang disebabkan peningkatan tekanan darah

intrakranial (Corwin, 2005).

F. Faktor Risiko Terjadinya Hipertensi

1. Faktor yang tidak dapat diubah

a) Usia

Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya

umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi

11
hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan

kematian sekitar di atas usia 65 tahun.

Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa

kenaikan tekanan sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan

diastolik sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam

menentukan ada tidaknya hipertensi. Tingginya hipertensi sejalan

dengan bertambahnya umur yang disebabkan oleh perubahaan struktur

pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan

dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibatnya terjadi

peningkatan tekanan darah sistolik. Penelitian yang dilakukan di 6 kota

besar seperti Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar dan

Makassar terhadap usia lanjut (55-85 tahun), didapatkan prevalensi

hipertensi terbesar 52,5 %

Dalam penelitian Anggraini (2009) diketahui tidak terdapat hubungan

bermakna antara usia dengan penderita hipertensi (Anggraini, 2009).

Namun penelitian Aisyiyah (2009) diketahui bahwa adanya hubungan

nyata positif antara usia dan hipertensi. Dalam penelitian Irza (2009)

menyatakan bahwa risiko hipertensi 17 kali lebih tinggi pada subyek >

40 tahun dibandingkan dengan yang berusia ≤ 40 tahun (Irza, 2009).

b) Jenis Kelamin

Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria

lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan wanita, dengan

rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga

12
memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan

darah dibandingkan dengan wanita Namun, setelah memasuki

manopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Setelah usia

65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih meningkat

dibandingkan dengan pria yang diakibatkan faktor hormonal. Penelitian

di Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita.

Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) menyebutkan bahwa

prevalensi penderita hipertensi di Indonesia lebih besar pada

perempuan (8,6%) dibandingkan laki-laki (5,8%). Sedangkan menurut

Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2006), sampai umur 55

tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan.

Dari umur 55 sampai 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan

dibanding laki-laki yang menderita hipertensi.

c) Keturunan (Genetik)

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan)

juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi

primer (essensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipenggaruhi faktor-

faktor lingkungan, yang kemudian menyebabkan seorang menderita

hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme

pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut Davidson bila

kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar 45% akan turun

ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita

hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya

13
2. Faktor yang dapat diubah

a) Kegemukan (obesitas)

Kegemukan (obesitas) adalah presentase abnormalitas lemak yang

dinyatakan dalam Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan antara

berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam meter. Kaitan erat

antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah

dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan IMT berkorelasi

langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.

Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33%

memiliki berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006). IMT

merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur

tingkat populasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa

(Zufry, 2010). Menurut Supriasa, penggunaan IMT hanya berlaku untuk

orang dewasa berumur di atas 18 tahun (Supriasa, 2001).

Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi

hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita

hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan

seorang yang badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan

sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006).

Hipertensi pada seseorang yang kurus atau normal dapat juga

disebabkan oleh sistem simpatis dan sistem renin angiotensin

(Suhardjono, 2006). Aktivitas dari saraf simpatis adalah mengatur fungsi

saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung,

14
menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan

garam (Syaifudin, 2006).

b) Psikososial dan Stres

Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi

antara individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang

untuk mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan

sumber daya (biologis, psikologis dan sosial) yang ada pada diri

seseorang (Depkes, 2006).

Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah,

dendam, rasa takut dan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak

ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut

lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat.

Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan

penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahaan

patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit

maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit

hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit

putih disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada

nasib mereka (Depkes, 2006).

c) Merokok

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang

dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak

lapisan endotel pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses

15
artereosklerosis dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi,

dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya

artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga

meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke

otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin

meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri (Depkes,

2006).

Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah dibuktikan dalam

penelitian bahwa dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia

berbahaya termasuk 43 senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat,

yaitu 1) Nikotin, merupakan salah satu jenis obat perangsang yang

dapat merusak jantung dan sirkulasi darah dengan adanya penyempitan

pembuluh darah, peningkatan denyut jantung, pengerasan pembuluh

darah dan penggumpalan darah. 2) Tar, dapat mengakibatkan

kerusakan sel paru-paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon

Monoksida (CO) merupakan gas beracun yang dapat menghasilkan

berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen (Depkes, 2008).

d) Olahraga

Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan

sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot

membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan

jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk

16
mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk

mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001).

Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui

mekanisme penurunan denyut jantung, tekanan darah, penurunan

tonus simpatis, meningkatkan diameter arteri koroner, sistem

kolateralisasi pembuluh darah, meningkatkan HDL (High Density

Lipoprotein) dan menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein) darah.

Melalui kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja secara lebih efisien.

Frekuensi denyut nadi berkurang, namun kekuatan jantung semakin

kuat, penurunan kebutuhan oksigen jantung pada intensitas tertentu,

penurunan lemak badan dan berat badan serta menurunkan tekanan

darah (Cahyono, 2008).

Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah

dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu

dengan melakukan olahraga aerobik yang teratur dapat menurunkan

tekanan darah tanpa perlu sampai berat badan turun (Depkes, 2006)

e) Konsumsi alokohol berlebih

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.

Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum

jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol dan peningkatan

volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam

menaikkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan

langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol dilaporkan

17
menimbulkan efek terhadap tekanan darah baru terlihat apabila

mengkomsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya

(Depkes, 2006).

Di negara barat seperti Amerika, komsumsi alkohol yang berlebihan

berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di

Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan

pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini

menyebabkan hipertensi sekunder di usia ini (Depkes, 2006).

Komsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada

laki-laki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi

perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih,

direkomendasikan tidak lebih satu kali minum per hari (Krummel, 2004).

f) Konsumsi Garam Berlebih

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena

menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan

meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus

hipertensi primer (essensial) terjadi respon penurunan tekanan darah

dengan mengurangi asupan garam 3 gram atau kurang, ditemukan

tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan

garam sekitar 7-8 gram tekanan rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2006).

Almatsier (2001) dan (2006), natrium adalah kation utama dalam

cairan ekstraseluler. Pengaturan keseimbangan natrium dalam darah

diatur oleh ginjal. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau

18
NaCl, selain itu garam lainnya bisa dalam bentuk soda kue (NaHCO3),

baking powder, natrium benzoate dan vetsin (monosodium glutamate).

Kelebihan natrium akan menyebabkan keracunan yang dalam keadaan

akut menyebabkan edema dan hipertensi. WHO menganjurkan bahwa

komsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih 6 gram/hari setara 110

mmol natrium (Almatsier, 2001, 2006).

g) Hiperlipidemia/Hiperkolestrolemia

Kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan

peningkatan kadar kolestrol total, trigliserida, kolestrol LDL atau

penurunan kadar kolestrol HDL dalam darah. Kolestrol merupakan

faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan

peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah

meningkat.

Penelitian Zakiyah (2006) didapatkan hubungan antara kadar

kolestrol darah dengan tekanan darah sistolik dan diastolik (Zakiyah,

2006). Penelitian Sugihartono (2007) diketahui sering mengkomsumsi

lemak jenuh mempunyai risiko untuk terserang hipertensi sebesar 7,72

kali dibandingkan orang yang tidak mengkomsumsi lemak jenuh

(Sugihartono, 2007).

G. Penggolongan Obat-Obat Hipertensi

Antihipertensi adalah obat – obatan yang digunakan untuk mengobati

hipertensi.14 Antihipertensi juga diberikan pada individu yang memiliki resiko

tinggi untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dan mereka yang beresiko

19
terkena stroke maupun miokard infark. Pemberian obat bukan berarti

menjauhkan individu dari modifikasi gaya hidup yang sehat seperti mengurangi

berat badan, mengurangi konsumsi garam dan alkohol, berhenti merokok,

mengurangi stress dan berolah-raga.

Pemberian obat perlu dilakukan segera pada pasien dengan tekanan

darah sistolik ≥ 140/90 mmHg. Pasien dengan kondisi stroke atau miokard

infark ataupun ditemukan bukti adanya kerusakan organ tubuh yang parah

(seperti mikroalbuminuria, hipertrofi ventrikel kiri) juga membutuhkan

penanganan segera dengan antihipertensi.

Tujuan Pemberian obat Antihipertensi :

 Mengurangi insiden gagal jantung dan mencegah manifestasi yang

muncul akibat gagal jantung.

 Mencegah hipertensi yang akan tumbuh menjadi komplikasi yang lebih

parah dan mencegah komplikasi yang lebih parah lagi bila sudah ada.

 Mengurangi insiden serangan serebrovaskular dan akutnya pada pasien

yang sudah terkena serangan serebrovaskular.

 Mengurangi mortalitas fetal dan perinatal yang diasosiasikan dengan

hipertensi maternal.

Obat-Obat Antihipertensi

Dikenal lima kelompok obat lini pertama (first line drug) yang digunakan untuk

pengobatan awal hipertensi yaitu : diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-

blocker), penghambat angiotensin converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat

reseptor angiotensin (Angiotensin-receptor blocker, ARB), dan antagonis kalsium.

20
1. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga

menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi

penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut,

beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah

efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang

interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya

menghambat influks kalsium. Hal ini terlihat jelas pada diuretik tertentu

seperti golongan tiazid yang menunjukkan efek hipotensif pada dosis kecil

sebelum timbulnya diuresis yang nyata.

a) Thiazide

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain

hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang

memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja dengan

menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal,

sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi, 2009). Tiazid

seringkali dikombinasikan dengan antihipertensi lain karena: 1) dapat

meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja

yang berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi, 2) tiazid mencegah

resistensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek obat-obat

tersebut dapat bertahan. Contoh obat : Hidrochlortiazid (Nafrialdi, 2009).

b) Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)

21
Diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal dengan

cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl-, menghambat resorpsi air

dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat

daripada golongan tiazid. Oleh karena itu diuretik ini jarang digunakan

sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal atau gagal jantung. Contoh obat : Furosemid, Bumetanide,Asam

Etakrinat (Nafrialdi, 2009).

c) Diuretik Hemat Kalium

Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik lemah.

Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk

mencegah hypokalemia. (Nafrialdi, 2009).

2. Penyekat Reseptor Beta Adrenergik (β-Blocker)

Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-blocker

dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain : (1) penurunan

frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan

curah jantung; (2) hambatan sekresi renin di sel jukstaglomeruler ginjal

dengan akibat penurunan Angiotensin II; (3) efek sentral yang

mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas

baroresptor, perubahan neuron adrenergik perifer dan peningkatan

biosentesis prostasiklin. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah

Propanolol, Metoprolol, Atenolol, Betaxolol, Bisoprolol, Pindolol, Acebutolol,

Penbutolol, Labetalol.

22
3. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)

Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama banyak digunakan di

klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung.19 Mekanisme kerja :

secara langsung menghambat pembentukan Angiotensin II dan pada saat

yang bersamaan meningkatkan jumlah bradikinin. Hasilnya berupa

vasokonstriksi yang berkurang, berkurangnya natrium dan retensi air, dan

meningkatkan vasodilatasi (melalui bradikinin). Contoh antihipertensi dari

golongan ini adalah Kaptopril, Enalapril, Benazepril, Fosinopril, Moexipril,

Quianapril, Lisinopril.

4. Penghambat Reseptor Angiotensin / Angiotensin Reseptor Blocker

(ARB)

Mekanisme kerja : inhibitor kompetitif dari resptor Angiotensin II (tipe 1).

Pengaruhnya lebih spesifik pada Angiotensin II dan mengurangi atau sama

sekali tidak ada produksi ataupun metabolisme bradikinin. Contoh

antihipertensi dari golongan ini adalah Losartan, Valsartan, Candesartan,

Irbesartan, Telmisartan, Eprosartan, Zolosartan.

5. Antagonis Kalsium / Calcium Chanel Blocker (CCB)

Mekanisme kerja : antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel

otot polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis

kalsium terutama menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang

dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti efek takikardia

dan vasokonstriksi, terutama bila menggunakan golongan obat dihidropirin

(Nifedipine). Sedangkan Diltiazem dan Veparamil tidak menimbulkan

23
takikardia karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung. Contoh

antihipertensi dari golongan ini adalah Amlodipine, Diltiazem, Verapamil,

Nifedipine.

6. Penghambat Simpatis

Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf simpatis

(saraf yang bekerja saat kita beraktivitas). Contoh obat yang termasuk

dalam golongan penghambat simpatetik adalah metildopa, klonidin dan

reserpin. Efek samping yang dijumpai adalah anemia hemolitik

(kekurangan sel darah merah karena pecahnya sel darah merah),

gangguan fungsi hati dan terkadang menyebabkan penyakit hati kronis.

Obat ini jarang digunakan (Depkes, 2006).

7. Alpha blocker

Prasozin, Terasozin dan Doxazosin merupakan penghambat reseptor α 1

yang menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vascular perifer yang

memberikan efek vasodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas

reseptor α2 sehingga tidak menimbulkan efek takikardia.

8. VASO-dilator langsung

Hedralazine dan Minokxidil menyebabkan relaksasi langsung otot polos

arteriol. Aktivitasi refleks baroreseptor dapat meningkatkan aliran

simpatetik dari pusat fasomotor, meningkatnya denyut jantung, curah

jantung, dan pelepasan renin. Oleh karena itu efek hipotensi dari

vasodilator langsung berkurang pada penderita yang juga mendapatkan

pengobatan inhibitor simpatetik dan diuretik.

24
H. Penatalaksanaan Hipertensi

Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan:

1. Terapi Nonfarmakologi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting

untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting

dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan

hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah

terlihat menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel berikut sesuai

dengan rekomendasi dari JNC VII

Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan

hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya

tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah

prehipertensi.

25
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan

tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes

atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop

Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium;

aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah

pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu

obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat

membebaskan pasien dari menggunakan obat.

Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk

menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk

dan obes disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini

diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril.

Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien

mengerti rasionalitas intervensi diet :

a) Hipertensi 2 – 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang

dengan berat badan ideal

b) Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight)

c) Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat

menurunkan tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk

d) Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga

prekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat

berlanjut ke DM tipe 2, dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit

kardiovaskular.

26
e) Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat

menurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi.

f) Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam,

kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik

dengan pembatasan natrium

JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya

dengan buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar total

lemak dan lemak jenuh berkurang. Natrium yang direkomendasikan < 2.4

g (100 mEq)/hari.

Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik

secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal

untuk kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik,

seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat

menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa

disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi dengan dokter

untuk mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk pasien

dengan kerusakan organ target. Merokok merupakan faktor resiko utama

independen untuk penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok

harus dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang dapat diakibatkan

oleh merokok

2. Terapi Farmakologi

27
Indonesia masih mengacu pada algoritma yang diterbitkan oleh JNC

VII dalam penatalaksanaan hipertensi. Pilihan terapi dimulai dengan

modifikasi gaya hidup. Kemudian pemberian obat disesuaikan dengan

stadium hipertensi dan indikasi yang mendukung lainnya seperti gagal

jantung, riwayat infark miokardium, risiko tinggi penyakit koroner, diabetes,

penyakit ginjal kronis, dan riwayat stroke berulang.

Strategi tatalaksana Farmakologis Hipertensi

Strategi tatalaksana hipertensi sebelumnya difokuskan pada

penggunaan berbagai jenis monoterapi, peningkatan dosis, atau

penggantian monoterapi. Namun, peningkatan dosis monoterapi hanya

28
sedikit menurunkan tekanan darah dan meningkatkan efek

samping.Strategi yang sedang dikembangkan menganjurkan terapi

kombinasi, single pill combination (SPC) therapy untuk meningkatkan

ketaatan, dan penggunaan SPC sebagai terapi awal kebanyakan penderita

hipertensi, kecuali pada lanjut usia dan tekanan darah normal-tinggi.Terapi

kombinasi awal lebih efektif daripada monoterapi dosis maksimal.

Kombinasi obat juga telah terbukti aman dan dapat ditoleransi. Pada

hipertensi yang tidak dapat terkontrol dengan kombinasi 2 obat dapat

ditambahkan obat ketiga; namun kombinasi 3 obat tidak direkomendasikan

sebagai terapi awal

Kombinasi 2 obat yang direkomendasikan adalah penghambat

angiotensin converting enzyme (ACE)/ angiotensin II receptor blockers

(ARBs) dengan calcium channel blockers (CCBs)/ diuretik, penyekat beta

dengan diuretik atau obat jenis lain merupakan alternatif jika terdapat

indikasi penggunaan penyekat beta seperti angina, pasca-infark miokard,

gagal jantung, dan pengontrolan denyut jantung. Monoterapi diberikan

pada penderita hipertensi stadium 1 dengan sistolik < 150 mmHg, pasien

risiko sangat tinggi dengan tekanan darah normal-tinggi, atau pasien lansia.

Pada hipertensi resisten, dapat ditambahkan spironolakton

Prinsip Umum terapi Anti-hipertensi

Tatalaksana dasar adalah kombinasi obat antihipertensi dengan

modifikasi gaya hidup. Terapi farmaka tidak hanya menurunkan tekanan

darah namun sekaligus mengurangi risiko stroke dan kematian.

29
Terapi awal hipertensi umumnya menggunakan satu jenis obat;

kombinasi dengan jenis obat lain direkomendasikan pada hipertensi

stadium 2 atau rerata tekanan darah > 20/10 mmHg melebihi tekanan darah

target. Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dalam penentuan jenis

obat antara lain usia, interaksi obat, komorbiditas,dan keadaan

sosioekonomi.

Kombinasi obat dengan mekanisme kerja sama perlu dihindari;

misalnya kombinasi obat penghambat ACE dengan ARBs, karena

efektivitas masing-masing obat akan berkurang dan risiko efek samping

meningkat.

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hipertensi atau Darah Tinggi adalah keadaan dimana seseorang mengalami

peningkatan tekanan darah diatas normal atau kronis (dalam waktu yang lama).

Hipertensi merupakan kelainan yang sulit diketahui oleh tubuh kita sendiri. Satu-

satunya cara untuk mengetahui hipertensi adalah dengan mengukur tekanan darah

kita secara teratur.

Hipertensi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: Faktor genetik, Usia,

keadaan emosi seseorang (stress), jenis kelamin, konsumsi Na terlalu tinggi,

obesitas, dan mengkonsumsi alkohol yang berlebih.

B. Saran

Agar terhindar dari penyakit hipertensi yang mematikan ini sebaiknya kita

menerapkan pola hidup sehat seperti mengkonsumsi makanan yang sehat dan

bergizi, mengatur pola makan, mengatur pola aktivitas dan mengatur pola istrahat.

Jika sudah terkena penyakit hipertensi sebaiknya kita menghindari berbagai

macam makanan dan minuman yang dapat menjadi pemicu terjadinya hipertensi.

31

Anda mungkin juga menyukai